• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

137 EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK

WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY Ipang Djunarko dan Iryana Butar-Butar

Faculty of Pharmacy Sanata Dharma University Yogyakarta ipang@usd.ac.id

ABSTRACT

This study aimed at describing glibenclamide prescription service profile which includes the availability of glibenclamide prescription information services provided by pharmacist at the pharmacy as well as the availability and completeness of the prescription copies and the drug label.

This study was non-experimental study or observational descriptive study design through Participatory observation Partial. The data obtained included type of drug information provided, copy of prescription, drug label, and the status of prescribing provider,which were analyzed by descriptive statistics.

From 124 sample of pharmacies, 3 (2,43%) pharmacies refused to serve prescription. Profil of prescription service given : 30 (24,19%) pharmacies returned the prescription, 4 (3,23%) refused making copy of prescription, 1 (0,81%) pharmacy didn’t provide medicine appropriately with prescription, 21 (16,94%) didn’t attach drug label, 8 (6,45%) didn’t provide drug information service, and 53 (42,74%) pharmacies didn’t conduct the prescription service by competent pharmacist. From the amount of 113 which provide drug information service, there was no pharmacy give drug information service completely based on Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004.

Keywords : drug information service, glibenclamide prescription, pharmacies PENDAHULUAN

Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian adalah suatu praktek yang dilakukan dengan tanggung jawab kepada kebutuhan obat individu pasien. Tanggung jawab tersebut dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu : (1) menjamin semua terapi yang diterima oleh individu pasien sesuai (appropriate), paling efektif (the most effective possible), paling aman (the safest available), dan praktis (convenient enough to be taken as indicated); (2) mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah permasalahan berhubungan terapi dengan obat yang menghambat pelaksanaan tanggung yang pertama

(Strand, Morley, Cipolle, 2004). Program pharmaceutical care dapat menurunkan kejadian merugikan pada penggunaan obat, terutama obat untuk pengobatan jangka panjang. Dilaporkan pharmaceutical care meningkatkan kesadaran pasien akan efek merugikan dari obat (Fischer et. al, 2002). Sesuai Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, pelayanan kefarmasian telah bergeser orientasi, dari obat ke pasien (patient oriented) yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan

(2)

138 pasien. Salah satu bentuk interaksi tersebut

adalah melaksanakan pemberian informasi. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar pelayanan.

Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu sub sistem pelayanan kesehatan,

mengarahkan pasien tentang

kebiasaan/pola hidup yang mendukung tercapainya keberhasilan pengobatan, memberi informasi tentang program pengobatan yang harus dijalani pasien, memonitor hasil pengobatan dan bekerja sama dengan profesi lainnya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal bagi pasien. Menurut Permenkes No. 922 tahun 1993, pasal 15 ayat 4, Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan (1) penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan (2) penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, telah disusun dan mulai diberlakukan Kepmenkes No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang bertujuan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi; untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional; dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Pelayanan informasi obat menurut WHO (2004) harus diberikan kepada pasien dengan bahasa

yang familiar dan mudah dimengerti. Informasi yang diberikan meliputi beberapa hal, antara lain frekuensi pemberian obat, waktu penggunaan obat, lama penggunaan obat, cara penggunaan obat, cara penyimpanan, anjuran untuk tidak membagikan penggunaan obat kepada orang lain, dan peringatan untuk menjauhkan obat dari jangkauan anak-anak.

Praktik kefarmasiaan menurut Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan. Dalam hal ini peran Apoteker di apotek untuk memberikan pelayanan informasi obat dan edukasi kepada pasien sangat penting mengingat telah terjadi perubahan gaya hidup yang menyebabkan perubahan pola penyakit di masyarakat berdampak kepada meningkatnya prevalensi penyakit kronik dan degeneratif. Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kronik dan degeneratif memerlukan terapi seumur hidup selain perubahan pola hidup. Glibenklamid sebagai anti diabetes oral golongan obat keras yang harus dibeli di apotek dengan resep Dokter sebagai permintaan tertulis kepada Apoteker, akan meningkatkan risiko adanya efek samping obat dan interaksi dengan obat penyakit lain atau obat lain yang mungkin digunakan jika pemberian informasi kepada pasien tidak dilakukan sesuai standar pelayanan kefarmasian di apotek. Berdasarkan data profil kesehatan tahun 2010 dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, jumlah apotek terbanyak di Provinsi DIY berada di wilayah Kabupaten

(3)

139 Sleman dengan rata-rata tingkat kenaikan

jumlah apotek dari tahun 2002-2010, tiap tahun sebesar 10,35%. Data-data di atas mendorong peneliti memilih apotek di Kabupaten Sleman DIY sebagai tempat penelitian dan secara khusus mengevaluasi ketersediaan pelayanan informasi obat resep Glibenklamid sebagai antidiabetes oral berdasarkan standar peraturan Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004. Permasalahan

1. Bagaimanakah profil pelayanan resep obat Glibenklamid di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY ? 2. Berapa besarkah tingkat ketersediaan

pelayanan informasi obat resep Glibenklamid menurut Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek? Tujuan

1. Mengetahui profil pelayanan resep obat Glibenklamid di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY.

2. Memperoleh besar tingkat ketersediaan pelayanan informasi obat resep Glibenklamid menurut Kepmenkes No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. METODE PENELITIAN

Bahan, Alat, dan Cara Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental atau observasional dengan rancangan penelitian yang bersifat deskriptif.

Berdasarkan setting tempat, penelitian ini dilakukan di komunitas apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY. Berdasarkan setting waktu, penelitian ini termasuk dalam penelitian prospektif. Berdasarkan cara dan waktu pengambilan sampel, penelitian ini termasuk dalam penelitian cross-sectional yaitu tiap subyek diobservasi hanya satu kali saja dan tidak

berarti harus dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005).

Bahan penelitian yang digunakan data jumlah apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman pada tanggal 25 Maret 2011. Sedangkan alat yang digunakan adalah daftar cek (check list), resep obat glibenklamid, skenario penelitian, dan protokol penelitian.

1. Tahap pra penelitian

Tahap awal dilakukan proses perizinan ke Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, diteruskan kepada Kepala Dinkes Kabupaten Sleman DIY guna memperoleh data jumlah apotek. Selain itu dilakukan pemohonan kerja sama dengan dokter umum untuk membuatkan resep obat Glibenklamid sebagai instrumen penelitian.

Penentuan sampel dilakukan secara pengambilan acak sederhana secara undian (simple random sampling lottery technique). Penetapan jumlah sampel yang ingin diteliti, untuk populasi kecil atau lebih kecil dari 10.000 menurut Notoatmodjo (2005) dengan rumus 1.

n =

Keterangan : N = besar Populasi; n= besar Sampel; d = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (0,05) (Notoatmodjo, 2005).

Dalam penelitian ini sampel yang akan terlibat sebesar :

n = = 120,3 = 120 apotek N = besar populasi atau jumlah apotek

yang ada di wilayah Kabupaten Sleman DIY pada tahun 2010 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan

(4)

140 Kabupaten Sleman DIY pada 25

Maret 2011

n = besar sampel penelitian atau apotek sampel

d = ketepatan yang diinginkan (0,05) Jumlah sampel ditambahkan 3% untuk mewakili apotek-apotek baru yang sekiranya muncul pada saat penelitian ini sedang dilakukan, menjadi = 3% x 121 = 3,63 sampel = 4 sampel. Jumlah apotek sampel keseluruhan menjadi 124 apotek. Kemudian dilakukan pembuatan daftar cek yang isinya terkait jenis-jenis informasi yang harus diberikan oleh staf apotek dalam pelayanan obat resep menurut

Kepmenkes RI No.

1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Selanjutnya dilakukan observasi posisi apotek sampel dan latihan skenario penelitian oleh peneliti.

2. Tahap pengumpulan data

Jenis pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Observasi Partisipatif Partiil (pengamatan terlibat sebagian), dimana pengamat (observer) benar-benar mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sasaran pengamatan (observee/target observation) dan hanya mengambil bagian pada kegiatan tertentu saja. (Notoatmodjo, 2005).

3. Tahap pengolahan data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah hasil proses pelayanan resep obat yaitu daftar cek, salinan resep, dan etiket obat. Data diolah dan disajikan menggambarkan tingkat ketersediaan informasi obat resep Glibenklamid menurut Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan kelengkapan salinan resep dan etiket berdasar syarat yang seharusnya.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Profil Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY

Berdasarkan data dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2011 yang diambil pada tanggal 25 Maret 2011, terdapat 172 apotek yang tersebar di 17 Kecamatan, kecuali Kecamatan Minggir dan Cangkringan yang tidak memiliki apotek. Oleh karena itu sampel yang diperoleh merupakan 124 apotek yang mewakili populasi apotek di Kabupaten Sleman DIY.

Analis data yang diperoleh terkait jenis-jenis pelayanan informasi yang diberikan sesuai dengan Kepmenkes 1027 tahun 2004 sebagai berikut :

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Apotek yang Melayani Resep dan Tidak Melayani Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY

Dari sebanyak 124 apotek sampel yang ada, diketahui bahwa tiga diantaranya menolak melayani resep (Gambar 1). Ketiga apotek tersebut menolak dengan cara menyarankan untuk menebus obat di apotek lain sambil memberikan alamat apotek lain yang terdekat.

(5)

141 Gambar 2. Profil Pelayanan Resep Obat

Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY

Dari 124 apotek sampel yang ada, terdapat sebesar 121 apotek yang dapat dilihat profil pelayanan resepnya. Definisi obat keras menurut Permenkes RI Nomor 949/Menkes/ Per/IV/2000 adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Obat Glibenklamid adalah termasuk dalam obat keras, yang berarti Glibenklamid pada dasarnya harus dibeli menggunakan resep dokter. Namun pada data hasil penelitian tampak bahwa 30 (24,8%) apotek mengembalikan resep obat pada saat pelayanan resep (Gambar 2). Padahal dalam Permenkes No.922 tahun 1993 pasal 17 ayat 2 resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 4 apotek dari 121 apotek menolak membuatkan salinan resep. Beberapa diantaranya mengatakan alasannya bahwa obat glibenklamid dapat dibeli tanpa resep, cukup dengan menunjukkan contoh kemasan obat kepada staf apotek. Bahkan ada diantaranya yang memberikan alasan bahwa obat Glibenklamid merupakan obat golongan bebas yang tidak memerlukan resep.

Ditemukan 1 apotek dari 121 apotek menyerahkan obat tidak sesuai dengan yang tertulis pada resep. Pada resep tertulis jumlah obat yang harus ditebus sebanyak

10 tablet, namun apotek yang bersangkutan menyerahkan obat sejumlah 50 tablet. Hal ini jelas sangat tidak sesuai dengan resep yang diberikan.

Berikut diperoleh bahwa dari 91 apotek yang tidak mengembalikan resep, sebanyak 87 apotek bersedia memberikan salinan resep dan sebanyak 4 apotek tidak bersedia memberikan salinan resep (Gambar 3).

Gambar 3. Perbandingan Jumlah Apotek yang Bersedia dan Tidak Bersedia untuk Memberikan Salinan Resep di Apotek-Apotek Wilayah Sleman DIY

Perlu diingat bahwa salinan resep harus memuat bagian-bagian antara lain nama, alamat apotek, nama APA, nomor surat izin APA, tanda det/nedet (obat telah ditebus), nomor resep, dan tanggal peresepan. Perlu juga dipastikan bahwa keterangan pada salinan resep harus sama dengan yang ada pada resep.

Dari gambar 4, dapat disimpulkan bahwa rata-rata tingkat kelengkapan dari 87 salinan resep yang ada adalah 93,2%. Hasil ini menunjukkan bahwa salinan resep termasuk cukup lengkap isinya. Bagian yang paling sedikit dicantumkan dalam salinan resep adalah nomor resep, yaitu sebanyak 56 apotek dari 87 apotek sampel yang memberikan salinan resep.

(6)

142 Gambar 4. Kriteria Kelengkapan

Format dan Isi Salinan Resep yang Diberikan pada Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY

Biasanya apoteker akan menanyakan alamat pasien dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Data ini digunakan untuk kelengkapan administrasi yang dibutuhkan oleh apotek. Diketahui dari data bahwa apotek yang menanyakan alamat hanya 45% atau sebanyak 41 apotek dari 91 apotek sampel (Gambar 5).

Gambar 5. Jumlah Apotek yang Menanyakan Alamat dan Nomor Telepon Pasien yang dapat Dihubungi pada saat Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Wilayah Kabupaten Sleman DIY

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 21 apotek dari 121 sampel apotek tidak mecantumkan etiket pada obat yang diserahkan pada pasien (Gambar 6). Obat hanya diserahkan begitu saja kepada pasien tanpa disertakan etiket. Bahkan ada yang menyerahkan tanpa kemasan yang sesuai, sehingga pelayanan yang terjadi nampak sama seperti jika membeli obat golongan bebas.

Gambar 6. Ketersediaan Etiket Obat pada Kemasan Obat yang Diserahkan

Gambar 7. Kriteria Kelengkapan Format dan Isi dari Etiket Obat Resep Glibenklamid Menurut WHO tahun 2004

Etiket obat yang disertakan pada obat resep yang akan diserahkan kepada pasien harus berisikan beberapa hal yaitu tanggal penyerahan obat, nama pasien, aturan pakai dalam bahasa yang mudah dimengerti, nama generik obat, kekuatan obat, jumlah obat, cautionary label atau peringatan dan nama apotek (WHO, 2004). Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa kekuatan obat sangat jarang dicantumkan dalam etiket. Di samping itu nama generik obat, jumlah obat, dan peringatan pun masih sedikit yang mencantumkan.

Sebesar 43,80% atau sebanyak 53 apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY yang dalam pelayanan resep obat dilakukan bukan oleh apoteker. Hasil ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/Menkes/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik yang mengatakan bahwa pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (APA). Dari 53 apotek yang dalam

(7)

143 pelayanannya bukan oleh apoteker,

diketahui sebanyak 32 apotek dilayani oleh Asisten Apoteker (AA), sisanya 21 apotek oleh petugas lain di luar apoteker maupun AA (Gambar 10).

Gambar 8. Perbandingan Pelayanan Resep oleh Asisten Apoteker dan Petugas Lain pada Saat Kunjungan ke Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY

Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid

Ketersediaan informasi obat yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yaitu pada Bab II No. 1.2.5 meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Idealnya, keempat macam informasi tersebut harus disampaikan kepada pasien pada saat penyerahan obat. Tujuan pemberian informasi obat pada dasarnya adalah untuk meningkatkan efektifitas terapi dan melindungi pasien dari kesalahgunaan obat yang diterima. Data terkait pelayanan informasi obat resep glibenklamid dalam penelitian ini adalah informasi yang diberikan secara lisan oleh pihak apotek tanpa diminta terlebih dahulu atau atas kesadaran dari pihak apotek tersebut. Dari data yang ada ditunjukkan bahwa hanya sebanyak 93% atau 113 apotek dari 121 apotek sampel memberikan pelayanan informasi obat resep Glibenklamid.

Gambar 9. Ketersedian Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY

Terkait kelengkapan ketersediaan informasi obat resep Glibenklamid, diperoleh bahwa kombinasi informasi yang diberikan adalah sebanyak 5 macam, yaitu cara pemakaian saja; cara pemakaian dan jangka waktu pengobatan; cara pemakaian dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari; jangka waktu pengobatan saja; serta cara pemakaian, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman terkait penggunaan obat resep glibenklamid belum bisa dikatakan lengkap (Gambar 10).

Gambar 10. Profil Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid Menurut Kepmenkes RI No. 1027 Tahun 2004

Keterangan :

A = Cara pemakaian obat B = Cara penyimpanan obat C = Jangka waktu pengobatan

D = Aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari

(8)

144 Sebagian besar apotek memberikan

informasi hanya terkait cara pemakaian obat. Selain itu, tidak ada satupun dari apotek-apotek sampel di Kabupaten Sleman DIY yang memberikan pelayanan informasi obat berupa cara penyimpanan obat. Cara penyimpanan Glibenklamid adalah disimpan pada suhu kamar.

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan peundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Untuk ujian apoteker, berisi materi tentang aspek Keprofesian, Peraturan Perundang-undangan, Perkembangan Praktek Kefarmasian, Farmakoterapi dan Jaminan mutu (ISFI-APTFI, 2009). Dari itu, pastinya seorang apoteker akan lebih berkompetensi dalam pekerjaan kefarmasian dibandingkan dengan yang bukan apoteker.

Dari 113 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat, sebanyak 66 apotek oleh Apoteker, 30 apotek oleh Asisten Apoteker, dan 17 apotek oleh petugas lain. Masih banyak apotek yang menyampaikan informasi obat yang salah. Data yang dikategorikan menjadi informasi yang salah adalah informasi yang pada dasarnya tidak sesuai dengan literatur atau tidak lengkap. Penyampaian informasi cara pemakaian obat sangat berpengaruh terhadap informasi cara pemakaian yang dituliskan di etiket obat. Apabila informasi yang disampaikan salah, maka yang dituliskan pada etiket obat pun pasti salah.

Gambar 11. Profil Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid terkait Pihak Apotek yang Memberikan Pelayanan Informasi Obat dan Benar atau Salah Informasi yang Diberikan

Cara penggunaan obat merupakan informasi yang paling banyak disampaikan oleh apotek-apotek di Kabupaten Sleman DIY. Dari sebanyak 113 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat, diketahui bahwa sebanyak 112 memberikan informasi terkait cara pemakaian obat. Acuan yang digunakan terkait cara penggunaan obat Glibenklamid yang sesuai dan benar adalah Drug Information Handbook (Lacy et al, 2009). Dalam buku itu dikatakan bahwa cara pemakaian obat Glibenklamid yang benar adalah 2,5-5 mg/hari, diminum bersama sarapan atau saat makan pertama pada hari itu. Obat Glibenklamid harus diminum bersamaan dengan makan. Jadi, jika obat glibenklamid yang akan diberikan adalah yang berkekuatan 5 mg, maka cara pemakaian yang benar adalah sekali sehari 1 tablet diminum pada pagi hari bersamaan dengan makan.

Terdapat 5 apotek dari 113 apotek sampel yang memberikan informasi terkait jangka waktu pengobatan. Secara garis besar isi dari informasi yang disampaikan adalah

menyarankan untuk kembali

memeriksakan diri ke dokter setelah obat habis. Selain itu, ada 2 apotek dari 113 apotek sampel memberikan informasi tentang “aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari” yaitu anjuran untuk mengurangi konsumsi

(9)

145 makanan dan minuman yang manis sebagai

bagian dari aksi diet dalam terapi non farmakologis.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Profil pelayanan resep obat glibenklamid apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY adalah terdapat 3 apotek (2%) dari 124 apotek sampel menolak melayani resep. Dari 121 apotek yang bersedia melayani diperoleh profil pelayanan resep yang diberikan yaitu apotek yang mengembalikan resep (24,80%), menolak memberikan salinan resep (3,30%), menyerahkan obat tidak sesuai resep (0,80%), tidak mencantumkan etiket pada kemasan obat (17,40%), tidak memberikan informasi obat (6,60%), dan pelayanan dilakukan bukan oleh Apoteker (43,80%).

2. Tingkat ketersediaan pelayanan informasi obat yang diberikan oleh apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY berdasarkan Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, diketahui sebanyak 113 apotek dari 121 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat resep gibenklamid, tidak terdapat apotek yang memberikan pelayanan informasi secara lengkap berdasarkan Kepmenkes 1027 tahun 2004.

Saran

1. Informasi hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi

dalam membantu pengadaan

pengawasan terkait pelaksanaan pelayanan resep dan informasi obat di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY berdasar Kepmenkes 1027 tahun 2004.

2. Dilakukan penelitian tentang tingkat

kemampuan apoteker dalam

memberikan informasi obat yang benar kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011, Profil Kesehatan Kabupaten Sleman Tahun 2010, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, DIY.

Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027 Menkes SK IX 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian

di Apotek, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta.

Fischer, L.R., Defor T.A., Cooper S., Scott, L.M., Boonstra, D.M., Eelkema, M.A., Goodman, M.J., 2002, Pharmaceutical Care and Health Care Utilization in an

HMO, Effective Clinical Practice,

http://www.acponline.org/journals/ecp/ marapr02/fischer.htm, diakses pada tanggal 03 Oktober 2010.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), 2009, Surat Keputusan Bersama Ikatan Sarjana

Farmasi Indonesia dan Asosiasi

Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia tentang Program Pendidikan Profesi Apoteker (P3A), Jakarta.

Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2009, Drug Information Handbook, seventeenth edition, ApHA, USA.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

922/Menkes/PER/X/1993 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Notoatmodjo, S., 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta, 84-101.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2009, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta.

Undang-undang Republik Indonesia, 2009, Undang-undang Republik Indonesia No.

(10)

146 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,

Jakarta

World Health Organization, 2004, Management of Drugs at Health Centre Level, WHO, Brazzaville.

Gambar

Gambar  3.  Perbandingan  Jumlah  Apotek  yang  Bersedia  dan  Tidak  Bersedia  untuk  Memberikan  Salinan  Resep  di  Apotek-Apotek  Wilayah  Sleman DIY
Gambar  7.  Kriteria  Kelengkapan  Format  dan  Isi  dari  Etiket  Obat  Resep  Glibenklamid  Menurut  WHO  tahun  2004
Gambar  8.  Perbandingan  Pelayanan  Resep  oleh  Asisten  Apoteker  dan  Petugas  Lain  pada  Saat  Kunjungan  ke  Apotek-Apotek  Wilayah  Kabupaten  Sleman DIY
Gambar  11.  Profil  Pelayanan  Informasi  Obat  Resep  Glibenklamid  terkait  Pihak  Apotek  yang  Memberikan  Pelayanan  Informasi  Obat  dan  Benar  atau  Salah  Informasi yang Diberikan

Referensi

Dokumen terkait

Strategi yang diperlukan dalam efektivitas guru agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang telah direncanakan maka dalam proses teknis diarahkan

terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Mendengarkan Cerita Rakyat Siswa Kelas V Gugus Ramayana, Kecamatan Patikraja ”. Penulis melakukan penelitian ini berdasarkan fakta-fakta

selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, yang telah memberikan ilmu, nasihat dan kebijakannya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.. selaku Ketua

Manajer Investasi dapat menghitung sendiri Nilai Pasar Wajar dari Efek tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif dan

Metode uji One Way Anova digunakan untuk menguji lebih dari 2 perlakuan yaitu apakah terdapat perbedaan harga saham sebelum, pada saat dan sesudah pengungkapan

Kombinasi perlakuan polybag ukuran sedang dengan media campuran tanah dan pasir dapat diaplikasikan untuk ke- giatan budidaya pandan wong karena se- lain mempunyai

4 Mengidentifikasi letak suatu benda, Siswa bisa melengkapi kalimat dengan Memahami arah preposisi yang benar untuk menyebutkan Hometown letak benda sesuai gambar

Pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) PGRI 1 Pacitan salah satu permasalahan yang terjadi yaitu kesalahan pencatatan dalam proses pengelolaan data khususnya bagian