• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYIGIAN KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU SUMBAWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYIGIAN KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU SUMBAWA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENYIGIAN KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU

SUMBAWA

CHAIRUSSYUKUR ARMAN

Fakultas Peternakan Universitas Mataram Jl. Majapahit No. 62 Mataram 83125 Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Survei yang bertujuan untuk menyigi karakteristik reproduksi kerbau Sumbawa telah dilakukan di Desa Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2003. Dari hasil penelitian ini didapati bahwa pubertas pada kerbau Sumbawa tercapai pada umur antara 28 – 29 bulan dan saat kawin pertama berumur 33 bulan. Untuk satu kebuntingan dibutuhkan 3 kali perkawinan dengan jumlah betina yang dikawini sebanyak 4 – 6 ekor. Perkawinan dan kelahiran kerbau Sumbawa terjadi pada musim hujan, dengan puncaknya terjadi pada bulan Maret setiap tahun. Lama kebuntingan kerbau adalah 10 bulan dan saat beranak pertama umurnya mencapai 43 bulan. Anak kerbau menyusu selama 7 – 8 bulan, birahi pertama setelah beranak selama 1,5 bulan, dan jarak antara dua kelahiran antara 20 – 21 bulan. Berat lahir kerbau Sumbawa adalah 18 kg pada yang betina dan 19 kg pada yang jantan, sedangkan berat sapihnya adalah 85 kg pada anak betina dan 92 kg pada anak jantan.

Kata kunci: Kerbau Sumbawa, karakteristik, reproduksi

PENDAHULUAN Latar belakang

Kerbau Sumbawa termasuk tipe kerbau lumpur (Bubalus bubalis). Kerbau lokal ini telah lama hidup dan beradaptasi dengan sangat baik pada lingkungan lembab-tropis (tropical humid environment), tipikal pulau Sumbawa. Semua kerbau Sumbawa dipelihara di daerah perdesaan, dan seperti halnya sapi, ternak ini memainkan peranan penting dalam penyediaan tenaga kerja untuk kegiatan pertanian sawah dan ladang serta alat transportasi/mengangkut hasil bumi. Karenanya, kerbau Sumbawa populer dijuluki oleh masyarakat lokal sebagai “traktor hidup”. Selain itu, kerbau Sumbawa juga penting sebagai sumber air susu dan daging bagi kebutuhan konsumsi masyarakat tani-ternak desa dan penduduk kota. Bagi peternak Sumbawa, kepemilikan ternak kerbau merupakan lambang prestise ( social-prestige) dan bukti kemakmuran pemiliknya. Mengingat kontribusi dan peranannya yang demikian besar, kerbau Sumbawa terkonsen-trasi pada daerah agro-ekologi tertentu di Pulau Sumbawa.

Meskipun peranan kerbau sangat penting dalam mendukung perekonomian daerah

maupun nasional, spesies ini seringkali diabaikan dan diacuhkan bahkan nyaris dilupakan orang. Kerbau Sumbawa dibiarkan hidup secara alami menurut kemauannya sendiri dan menentukan masa depannya sendiri. Masih ada beberapa pandangan bahwa ternak kerbau sangat tidak efisien dalam tata-laksana pemeliharaannya, di antaranya membutuhkan banyak air, tidak tahan udara panas, berbahaya bagi keselamatan orang yang memelihara, kualitas dan cita rasa daging yang tidak baik dan tidak enak. Akibat ketidakpedulian dan minimnya penanganan serta perhatian pemerintah terhadap si mutiara hitam -“black-pearl”- ini, bukan hal yang mengejutkan apabila jumlah kerbau di Kabupaten Sumbawa terus menurun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Survei terbaru tahun 2006 yang dilakukan oleh Tim Peneliti Fakultas Peternakan Universitas Mataram mencatat angka penurunan populasi sebesar 1,89% per tahun selama periode tersebut. Penurunan ini pada satu sisi disebabkan oleh tingginya pengeluaran atau penjualan kerbau antar pulau dan pemotongan lokal yang melebihi dari kemampuan produksi, dan pada sisi lain kemungkinan diakibatkan oleh rendahnya tingkat reproduktivitas kerbau. Penyebab utama buruknya kinerja reproduksi pada ternak kerbau adalah lemahnya tanda-tanda birahi, birahi tenang, anestrus bermusim, dan panjangnya periode postpartum unestrus;

(2)

didapati pula masalah menurunnya libido pada kerbau jantan selama musim panas (GORDON, 1996).

Penelitian mengenai berbagai aspek reproduksi pada kerbau Sumbawa masih sangat sedikit dan terbatas. Sehubungan dengan itu, tulisan ini bermaksud memaparkan hasil penelitian survei tentang penyigian karakteristik reproduksi kerbau Sumbawa dan kemudian membandingkan-nya dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan pada ternak kerbau lokal di daerah lainnya.

Tujuan

Tujuan dari survei ini adalah untuk menghimpun data dasar tentang ternak kerbau khususnya ditinjau dari aspek reproduksi di Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Sasaran

Sasaran dari survei ini adalah terungkap dan teridentifikasikannya secara jelas karakteristik atau ciri-ciri reproduksi kerbau Sumbawa sehinggga dapat dijadikan bahan kebijakan pemerintah dalam pengembangan dan perbaikan kuantitas dan kualitas ternak kerbau pada masa mendatang.

MATERI DAN METODE Lokasi

Survei dilakukan pada tahun 2003 di Desa Penyaring, Kecamatan Moyo Hilir,

Kabupaten Sumbawa, Provinsi NTB. Pemilihan desa ini didasarkan pada jumlah populasi kerbau yang cukup banyak dan peternak sudah biasa melakukan pemerahan kerbau laktasi sehari-hari. Dengan demikian, Penyaring dikenal luas oleh masyarakat Sumbawa sebagai desa penghasil air susu dan industri kecil rumah tangga (home industry) pembuatan permen susu (DILAGA, et al., 2003).

Peternak (responden)

Sebanyak 36,2% dari seluruh peternak kerbau di Desa Penyaring dipilih sebagai responden dalam penelitian survei ini. Data yang dihimpun adalah berbagai informasi tentang karakteristik reproduksi kerbau. Informasi Struktur populasi kerbau digali melalui wawancara langsung dengan petrnak kerbau dan pengamatan langsung di padang gembala serta di kandang.

Analisis data

Analisis data ditujukan untuk menjawab tujuan penelitian. Semua informasi dan data yang terkumpul ditabulasi sesuai kategori datanya, selanjutnya dihitung rataan dan persentasenya menggunakan statistik sederhana arithmetic mean.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian survei di Desa Penyaring diperoleh gambaran tentang struktur populasi kerbau Sumbawa seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Struktur populasi kerbau Sumbawa pada kondisi pemeliharaan di Desa Penyaring, Moyo Hilir, Sumbawa

Jenis kelamin No. Kelas umur

Jantan (ekor) Betina (ekor)

Rasio Jantan : Betina 1. Menyusu 64 71 1 : 1.11 2. Sapih – 1 tahun 55 56 1 : 1.02 3. 1 – 4 tahun 58 64 1 : 1.11 4. 5 – 8 tahun 23 94 1 : 4.09 5. 9 – 12 tahun 13 57 1 : 4.38 Jumlah 213 342 1 : 1.61

(3)

Tampak dari tabel di atas bahwa imbangan atau rasio antara kerbau jantan : betina dewasa masih sempit, artinya seekor kerbau jantan berumur di atas 4 tahun hanya dipakai untuk melayani sekitar 4 ekor kerbau betina. Padahal pada sistem pemeliharaan ekstensif dengan melepas kerbau di padang penggembalaan seperti yang dipraktekkan di Desa Penyaring, seekor kerbau jantan dapat mengawini lebih banyak betina lagi. Tegasnya, nisbah jantan: betina sebesar 1:10 adalah sangat baik untuk kondisi pemeliharaan seperti itu (DILAGA et al., 2003). Apalagi jika dilihat calon ternak pengganti yang berusia muda (umur menyusu – umur 4 tahun), ternyata nisbah jantan:betina sangat sempit, yaitu 1:1. Keadaan ini akan menjadi sangat buruk bagi pengembangan ternak kerbau pada masa yang akan datang. Dampak negatif yang dirasakan peternak sampai saat ini akibat dari sempitnya imbangan kerbau jantan:betina itu adalah seringkalinya seekor betina dikawini oleh pejantan pada saat birahi. Hal ini dapat dipahami karena ketika kerbau sedang dalam keadaan birahi maka kerbau jantan akan berlaga terlebih dahulu utuk memperebutkan hak mengawini lebih dahulu. Akibatnya seringkali pejantan yang lebih muda dan kecil badannya serta tidak diperhitungkan justru mendapat jatah pertama untuk mengawini kerbau betina. Pejantan yang berhasil memenangkan pertarungan selanjutnya akan mengawini betina tadi, sedangkan pejantan pecundang mendapat giliran terakhir. Dalam sehari peternak dapat menyaksikan seekor kerbau betina dikawini oleh paling sedikit 3 ekor kerbau jantan.

Struktur populasi pada Tabel 1 menjadi sedemikian rupa karena salah satu penyebabnya adalah peternak responden tidak selektif dalam menjual kerbau miliknya. Hal ini mejadi lebih jelas apabila diperhatikan data pada Tabel 2.

Tampak pada Tabel 2 bahwa penjualan kerbau jantan lebih banyak dibandingkan kerbau betina (58 ekor vs 39 ekor). Hal ini dapat dimengerti karena harga kerbau jantan untuk semua kategori atau kelas umur lebih mahal daripada kerbau betina. Namun demikian, masih banyak peternak responden yang menjual kerbau betinanya untuk semua

kategori umur. Hal inilah yang menyebabkan struktur populasi kerbau menjadi kurang baik ditinjau dari sudut reproduksi karena akan memperlambat laju pertambahan populasi kerbau.

Data hasil penyigian karakteristik reproduksi kerbau Sumbawa disajikan dalam Tabel 3.

Umur pubertas

Peubah (variable) ini sering dikaitkan dengan gejala birahi pertama pada kerbau yang bersangkutan. Apabila seekor kerbau dara menunjukkan keinginan kawin dan gejala birahi pertama, maka kerbau tersebut sudah pubertas. Kerbau Sumbawa memperlihatkan keinginan kawin dan birahi pertama (age ofpuberty) pada umur 28 bulan pada yang jantan dan 29 bulan pada yang betina. Perkawinan kerbau terjadi pertama kalinya setelah dewasa kelamin (sexual maturity) pada umur 33 bulan baik untuk yang jantan maupun betina. Hal ini menunjukkan bahwa kerbau milik peternak di Desa Penyaring tergolong agak cepat usia dewasa kelaminnya dibandingkan kerbau lainnya yang pernah dilaporkan. Sebagian besar informasi menunjukkan bahwa ternak kerbau, baik yang jantan maupun betina mecapai kematangan seksual pada umur 3- 4 tahun (FISCHER dan BODHIPAKSHA, 1992). TOELIHERE (1977) seperti disitasi oleh FISCHER dan BODHIPAKSHA (1992) menyatakan bahwa kerbau betina di Indonesia pertama kali dikawinkan rata-rata pada umur 3,76 tahun.

Pola kelahiran bermusim

Kerbau adalah hewan polyestrus dan mampu kawin sepanjang tahun. Namun demikian, pola kelahiran secara bermusim yang dilaporkan di banyak negara adalah diakibatkan oleh suhu lingkungan, fotoperiod dan ketersediaan pakan (GORDON, 1996). Hal ini sejalan dengan pernyataan peternak bahwa, menurut mereka perkawinan kerbau Sumbawa cenderung berdasarkan musim, demikian pula musim di mana kerbau banyak beranak. Musim kerbau kawin dan beranak ternyata sama waktunya dengan musim di mana banyak rumput ditemukan (Gambar 1). Ketiga kondisi tersebut (kawin-beranak-produksi rumput) ternyata berlangsung pada saat musim penghujan.

(4)

Tabel 2. Distribusi umur kerbau Sumbawa yang dijual oleh peternak responden di Desa Penyaring, Moyo Hilir, Sumbawa

Jenis kelamin No. Kategori umur

Jantan (ekor)/% Betina (ekor)/%

Rasio Jantan : Betina 1. Anak 6/9.38 4/6.25 1.5 : 1 2. Muda 16/25.00 8/12.50 2 : 1 3. Dewasa 36/56.25 18/28.13 2 : 1 4. Tua 0/0.00 9/14.06 - Jumlah 58 342 1.5 : 1

Sumber: DILAGA et al. (2003)

Tabel 3. Karakteristik reproduksi kerbau Sumbawa hasil penyigian di Desa Penyaring Moyo Hilir Sumbawa

No. Peubah Jantan Betina

1. Umur tampak mau kawin dan birahi (bulan) 28 29

2. Umur kawin pertama kali (bulan) 33 33

3. Frekuensi kawin untuk satu kebuntingan (kali) 3

4. Jumlah betina yang dikawini (ekor) 4 - 6

5. Tiga bulan terbanyak terjadi perkawinan (%) Februari = 15

Maret = 30

April = 20

6. Lama bunting (bulan) 10

7. Umur beranak pertama (bulan) 43

8. Tiga bulan terbanyak terjadi kelahiran (%) Februari = 21

Maret = 32

April = 14

9. Lama menyusu (bulan) 7 - 8

10. Birahi pertama setelah beranak (bulan) 1.5

11. Jarak dua kelahiran (bulan) 20 - 21

12. Bobot lahir anak (kg) 19 18

13. Bobot sapih (kg) 92 85

Sumber: DILAGAet al. (2003)

Sekitar 65% perkawinan kerbau terjadi pada periode Februari sampai April, dengan puncak kelahiran pada bulan Maret (30%). Demikian pula saat kelahiran, sekitar 67% berlangsung pada periode Febuari hingga April di mana puncak kelahiran juga terjadi pada bulan Maret (32%), sedangkan persediaan pakan didapati berlimpah pada bulan Januari sampai dengan Mei. Kondisi sebaliknya dilaporkan oleh LIANG et al. (1982) bahwa, ada dua musim kelahiran yang menyolok pada kerbau lumpur di Pahang Tenggara, Malaysia. Yang pertama, kira-kira 32% anak kerbau lahir selama periode Februari sampai April dan kedua kira-kira 32% anak kerbau lahir selama periode

Agustus sampai Oktober. Sebagian besar ternak kerbau di negara tersebut cenderung memilih waktu melahirkan anaknya pada kedua puncak periode musim kelahiran tersebut yang jatuh pada musim kering. Namun demikian, kondisi musim yang terkering itu kemudian segera diikuti dengan musim hujan sehingga memungkinkan anak-anak kerbau muda yang sedang tumbuh memperoleh rumput di padang penggembalaan yang tumbuh kembali akibat tersiram air hujan. Perbedaan musim terhadap aktivitas ovaria dan angka konsepsi mungkin lebih tergantung pada persediaan makanan hijauan daripada suhu atau kelembaban udara. Angka konsepsi terbesar dan kelahiran terbanyak berhubungan dengan musim di mana

(5)

hijauan lebih banyak tersedia (TOELIHERE, 1981).

Dari hasil survei DILAGA et al (2003), timbul pertanyaan mengapa pola perkawinan dan kelahiran kerbau Sumbawa berlangsung pada musim hujan? Tampaknya ini terkait dengan faktor suhu lingkungan atau iklim pulau Sumbawa. Pada musim panas libido kerbau jantan terdepresi sehingga aktivitas perkawinan menurun dan pejantan lebih memilih perkawinan pada musim hujan saat stres suhu tidak terlalu mencekam. Akibatnya, pola reproduksi (kelahiran) anak-anak kerbau buah perkawinannya dengan kerbau betina juga terdistribusi pada bulan-bulan tertentu selama musim hujan. Dalam kondisi yang serba alami di pulau Sumbawa, segala sesuatunya bergerak secara beraturan, secara sadar kerbau memilih kawin pada musim (bulan) tertentu dalam setahun ketika kondisi lingkungan favourable untuk melakukan aktivitas perkembangbiakan. Hanya penyesuaian secara naluriah seperti itulah yang menyebabkan kerbau Sumbawa mampu bertahan hidup, tumbuh dan berproduksi serta bereproduksi secara optimal.

Lama bunting

Lama kebuntingan kerbau Sumbawa rata-rata adalah 10 bulan. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan lama kebutingan kerbau lumpur yang bervariasi antara 322 sampai 341 hari (RATANADILOK NA PHUKET, 1975; JAINUDEEN, 1977). Umumnya diasumsikan bahwa lama kebuntingan adalah 330 hari dan agak lebih lama pada kerbau lumpur dibandingkan kerbau air/sungai tipe perah (FISCHER dan BODHIPAKSHA, 1992). Kerbau lumpur yang sedang bunting umumnya tidak memerlukan perawatan khusus. Pada kebuntingan awal, mereka tetap dapat dipakai bekerja, namun selama bagian terakhir masa kebuntingan, mereka biasanya tidak dipakai bekerja terlalu berat.

Apabila disimak lebih teliti Gambar 1, seolah-olah kerbau bunting selama 12 bulan, karena bulan terbanyak kawin dan beranak sama, padahal lama bunting kerbau sekitar 10 bulan (Tabel 3). Hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk mencapai satu kebuntingan,

kebanyakan kerbau betina dikawini oleh kerbau jantan sebanyak 3 kali (service perconception, S/C = 3, Tabel 3). Dengan demikian dalam satu tahun dibutuhkan waktu selama 3 bulan untuk proses perkawinan secara alami agar terjadi kebuntingan. RANJHAN dan PATHAK (1993) mendapatkan rata-rata angka kebuntingan kerbau sebesar 52,7 persen dari hasil kawin alam, dan untuk mencapai angka tersebut dibutuhkan 2,01 perkawinan per konsepsi. Selang waktu antara dua perkawinan yang berturutan adalah 10 - 15 menit.

Umur kelahiran pertama

Kerbau lumpur di Asia Tenggara umumnya mengalami kelahiran pertama lebih lambat dari ternak lainnya. Hal ini disebabkan oleh faktor manajemen dan pakan yang masih rendah. Kerbau Sumbawa beranak pertama kali rata-rata pada umur 43 bulan. Umur ini hampir sama dengan rata-rata umur beranak pertama kerbau lumpur di Filipina yakni 3,6 tahun (USRI, 1994). Walaupun kerbau lumpur melahirkan pertama pada umur yang lebih tua daripada sapi pedaging dan sapi perah, namun jumlah anak yang diproduksikan selama hidupnya lebih banyak dibandingkan sapi. Hal ini dikarenakan daya reproduktifnya kadangkala melebihi umur 20 tahun (USRI, 1994).

Lama menyusu

Lama menyusu kerbau Sumbawa berkisar antara 7 - 8 bulan, setelah itu diikuti oleh masa kering (dry period) selama 4 – 5 bulan. AGARWALA (1962) yang dikutip oleh RANJHAN dan PATHAK (1993) melaporkan masa kering kerbau rata-rata 152 hari. Namun demikian, dianjurkan masa kering kerbau adalah selama 60 hari sebagai periode istirahat agar dapat membantu memulihkan dan membangun kembali cadangan tubuh (body reserve) serta jaringan ambing kerbau. Mengingat mayoritas masa kering kerbau melebihi 60 hari, maka sulit untuk menekan periode kering lebih singkat dari waktu tersebut pada ternak kerbau.

Birahi pertama setelah beranak

Kemunculan kembali birahi pertama setelah beranak pada kerbau betina adalah sangat

(6)

penting bagi keberlangsungan kinerja (performance) reproduksinya. Hasil survei menunjukkan bahwa birahi pertama setelah beranak pada kerbau Sumbawa adalah 1.5 bulan. RANJHAN dan PATHAK (1993) mencatat variasi yang luas kejadian birahi pertama setelah beranak pada ternak kerbau

di berbagai negara. Rata-rata dan kisaran birahi pertama setelah beranak pada kerbau Bulgaria adalah 118 hari (14-410 hari), kerbau Mesir 35 hari (0-76 hari), kerbau India 35 hari (24-50 hari), kerbau Filipina 44 hari (35-51 hari), dan persilangan kerbau Filipina dengan kerbau India 50 hari (45-53 hari).

Gambar 1. Grafik bulan kawin dan bulan beranak kerbau Sumbawa, serta produksi rumput di Desa Penyaring Moyo Hilir Sumbawa (DILAGA et al. 2003)

Jarak dua kelahiran

Jarak antar dua kelahiran (calving interval atau intercalving period) adalah jarak antara kelahiran yang berturutan. Ini merupakan karakteristik reproduksi yang penting untuk menilai potensi produksi selama masa kehidupan ternak kerbau. Jarak beranak kerbau Sumbawa berkisar antara 20 – 21 bulan. Jarak ini tergolong singkat untuk kerbau milik peternak responden jika dibandingkan dengan kerbau lumpur di Surin National Buffalo Breeding Centre, Thailand yaitu rata-rata 1,6 tahun. Kebanyakan kerbau beranak pada interval antara 501 – 600 hari (1,4-1,6 tahun) (CHANTALAKHANA et al., 1981). HARBERS (1981) yang disitasi oleh FISCHER dan BODHIPAKSHA (1992) mengamati jarak

beranak kerbau lumpur di delapan desa sebelah timur laut Thailand adalah 18,3 bulan, sedikit lebih cepat dari kerbau Sumbawa hasil survei ini (DILAGA et al., 2003).

Bobot lahir anak

Rata-rata berat lahir kerbau Sumbawa adalah 19 kg untuk anak jantan dan 18 kg untuk anak betina. Tampak di sini bahwa kerbau jantan yang baru lahir 1 kg lebih berat daripada kerbau betina. FISCHER dan BODHIPAKSHA (1992) melaporkan perbedaan berat lahir antara anak jantan dan betina yang baru lahir adalah sebesar 0,8 kg untuk yang jantan. Rata-rata berat lahir anak kerbau di Thailand berkisar antara 27,8 sampai 29 kg (BHANNASIRI, 1975) dan di Malaysia mencapai berat hingga 38,3 kg (FADZIL, 1969). 0 10 20 30 40 50 60 70 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Bulan Kawin Bulan Beranak Produksi Rumput % Jawaban Responden

(7)

Untuk kerbau lumpur liar (feral) di bagian utara Australia, TULLOCH (1968) mendapatkan berat lahir sebesar 30,8 kg.

Bobot sapih

Umumnya di daerah perdesaan di negara-negara kawasan Asia Tenggara, anak kerbau lumpur tidak disapih. Anak kerbau dipelihara bersama induknya sampai mencapai umur satu tahun atau lebih ketika air susu induk mengalir (berlaktasi) secara alami. Bobot sapih kerbau Sumbawa mencapai 92 kg pada yang jantan dan 85 kg pada yang betina.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari hasil penelitian survei di Kabupaten Sumbawa dapat disimpulkan bahwa pubertas pada kerbau Sumbawa tercapai pada umur antara 28 – 29 bulan dan saat kawin pertama berumur 33 bulan. Untuk satu kebuntingan dibutuhkan 3 kali perkawinan dengan jumlah betina yang dikawini sebanyak 4 – 6 ekor. Perkawinan dan kelahiran kerbau Sumbawa terjadi pada musim hujan, dengan puncaknya terjadi pada bulan Maret setiap tahun. Lama kebuntingan kerbau adalah 10 bulan dan saat beranak pertama umurnya mencapai 43 bulan. Anak kerbau menyusu selama 7 – 8 bulan, birahi pertama setelah beranak selama 1,5 bulan, dan jarak antara dua kelahiran antara 20 – 21 bulan. Berat lahir kerbau Sumbawa adalah 18 kg pada yang betina dan 19 kg pada yang jantan, sedangkan berat sapihnya adalah 85 kg pada anak betina dan 92 kg pada anak jantan.

Saran

Untuk mengoptimalkan efisiensi reproduksi kerbau Sumbawa, perlu dilakukan penelitian secara eksperimental pada kondisi on-station, kemudian diikuti penelitian serupa pada kondisi on-farm.

Untuk mengatasi masalah reproduksi disarankan berbagai strategi (termasuk

manajemen pakan, breeding dan suckling, serta terapi hormonal) dapat diterapkan untuk meningkatkan kinerja (performance) kerbau Sumbawa. Penelitian yang menyigi aspek reproduksi kerbau jantan juga perlu dilakukan secara sistematis dan mendalam pada kedua kondisi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BHANNASIRI, T. 1975. Certain Characteristics of the Thai Water Buffalo. Dept. of Livestock Development, Ministry of Agric. and Coop., Bangkok, Thailand.

CHANTALAKHANA, C., USANAKORNKUL, S., KAMNERDPETCH, V., NA PHUKET, S.R., VEERASIT, P. dan POOKESORN, W. 1981. Age at First Calving and Calving Interval of Thai Swamp Buffaloes. Ann. Rep. 1981. The Nat. Buffalo Res. and Development Proj., Bangkok, Thailand, pp. 50-55.

DILAGA, S.H., ARMAN, C., HASYIM dan LESTARI. 2003. Potensi Kerbau sebagai Penghasil Susu untuk Menunjang Penelitian Uji Klinis Anti H. pylori

pada Anak Balita Kurang Gizi di Kabupaten Sumbawa. Proyek Penelitian dan Pengembangan Teknologi-Bappeda.

FADZIL, M. 1969. Birth Weight of the Malayan Swamp Buffalo. Kajian Vet. 2:67-69.

FISCHER, H. dan BODHIPAKSHA, P. 1992. Chapter 7. Reproduction in Swamp Buffaloes. In: Buffalo Production. Eds. N.M. TULLOH dan J.H.G. HOLMES, World Animal Science, C6, Elsevier, pp. 153-169.

GORDON, I. 1996. Controlled Reproduction in Cattle and Buffalo. CAB International, p. 438.

JAINUDEEN, M.R. 1977. Reproduction of the Malaysian Swamp Buffalo (Bubalus bubalis). First Joint Conf. on Health and Production of Australian and Local cattle in Southeast Asia, Kuala Lumpur, Malaysia.

LAING, J.B., OMAR, M.A. dan YUSUF, A.W. 1982. Productivity of Buffalo Under Farm Conditions. Animal Production and Health in the Tropics, Penerbit University Malaysia, pp. 355-359. RANJHAN, S.K. dan PATHAK, N.N. (1993). Textbook on

Buffalo Productio. Third Revised Edition, Vikas Publishing House, PVT, Ltd., p. 273.

RATANADILOK NA PHUKET, S. 1975. The Improvement of Buffalo Production and Management Under Thailand Condition. In: The Asiatic Water

(8)

Buffalo. ASPAC Food and Fertilizer Tech. Center, Taiwan, pp. 157-158.

TOELIHERE, M.R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak, Penerbit Angkasa, Bandung, hlm. 188-189.

TULLOCH, D.G. 1968. Incidence of Calving and Birth Weights of Domesticated Buffalo in the Northern Territory. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod., 7:144-147.

USRI, N. 1994. Reproduksi Kerbau Lumpur Betina. Bulletin PPSKI, No. 43 Tahun IX April-Juni, hlm. 23.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengembangan, penelitian, dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa buku ajar matematika diskrit dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis

Harimurti (1984: 69) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan makna atau maksud. Artinya, antara kalimat bagian yang satu dengan

Public Relations memiliki peran penting dalam membentuk citra organisasi sehingga Public Relations harus mengetahui apa yang akan dilakukan untuk organisasinya serta apa yang

Dilan- Evet, gideceğimiz yerin yerel zaman birimiyle on bin yıl kadar önceydi, yeni ekimler yapmıştık, daha sonra başka görevlilerin gittiğini duydum; ama

Namun karena epistemologi sudah menjadi kata yang akrab dalam bahasa Indonesia maka epistemologi ilmu pengetahuan sama halnya dengan pengertian epistemologi yaitu suatu cabang

Tujuan kreatif dari perancangan desain kemasan Loenpia Nyonya Giok ini adalah menciptakan kemasan baru yang sesuai dengan sifat produk, praktis, dapat melindungi,

APB, FACR, dan Inflasi mempunyai pengaruh negatif yang tidak signifikan terhadap ROA pada Bank Umum Syariah. REO mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap ROA pada Bank

Ketua tim sebagai perawat penerima delegasi sebaiknya mening- katkan diri dan menambah wawasan dan in- formasi tentang tentang pendelegasian tugas kepala ruang yang