• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA INTERAKSI DALAM KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU MENYIMPANG PESERTA DIDIK (Studi Korelasi pada Peserta Didik Kelas XI SMAN 3 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2017-2018) - Raden Intan Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "POLA INTERAKSI DALAM KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU MENYIMPANG PESERTA DIDIK (Studi Korelasi pada Peserta Didik Kelas XI SMAN 3 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2017-2018) - Raden Intan Repository"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

Tahun Ajaran 2017-2018)

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mendapatkan Gelar SarjanaPendidikan (S.Pd)

Dalam Ilmu Bimbingan dan Konseling

Oleh : HESDALIYA NPM 1311080180

Jurusan : Bimbingan dan Konseling

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN

(2)

Tahun Ajaran 2017-2018)

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Dalam Ilmu Bimbingan dan Konseling

Oleh : HESDALIYA NPM 1311080180

Jurusan : Bimbingan dan Konseling

Pembimbing I : Defriyanto, S.IQ., M.Ed. Pembimbing II : Nova Erlina, S.IQ., M.Ed.

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN

(3)
(4)
(5)
(6)

v











































Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari

Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan

petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.(QS. Yunus 57).1

(7)

vi dalam ku persembahkan skripsi ini kepada :

1. Kedua orang tuaku tercinta yang aku banggakan, Ayahandaku Muzanni dan

Ibundaku Rosinah yang telah mengasuh dan mendidikku dengan penuh kasih

sayang, kesabaran dan ketulusan, serta tak pernah henti memberikan

dukungan dan doa untukku.

(8)

vii

AgungTanggamus. Penulis adalah anak ketiga dari tigabersaudara dari pasangan

Bapak Muzannidan Ibu Rosinah. Penulis menempuh pendidikan formal diSD Negeri

1 Kota Batudari tahun 2001 dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan di

SMP N 1 Kota Agung dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, kemudian

melanjutkan ke MAN 1 Tanggamusdari tahun 2010 dan lulus pada tahun 2013.

Padatahun 2013, penulis diterima di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Raden Intan Lampung di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan pada program

(PBI)melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) IAIN Raden Intan

Lampung tahun ajaran 2013/2014,kemudian pada semester ke tiga penulis pindah

(9)

viii

puji bagi Allah SWT yang takhenti-hentinya melimpahkan rahmat dan karunia-Nya

sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tetap

tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinantikan syafaatnya di yaumul akhir

nanti.

Dengan rasa syukur yang dalam, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan judul: “Pola Interaksi Dalam Keluarga Dengan Kecenderungan

Perilaku Menyimpang Peserta Didik (studi korelasi pada peserta didik kelas XI di

SMA Negeri 3 Bandar Lampung) ”.

Dengan kerendahan hati disadari bahwa dalam penulisan skripsi ini peneliti

banyak mengalami kesulitan dan hambatan namun berkat bimbingan serta motivasi

dari berbagai pihak akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Maka pada

kesempatan ini peneliti ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Dr. H. Chairul Anwar, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

UIN Raden Intan Lampung;

2. Andi Thahir, M.A.,Ed.D, selaku Ketua Program Studi Bimbingan Konseling

UIN Raden Intan Lampung;

3. Dr. Ahmad Fauzan, M.Pd, selaku sekretaris Program Studi Bimbingan

(10)

ix dapat terselesaikan dengan baik;

5. Nova Erlina, S.IQ., M.Ed, selaku Pembimbing II yang telah banyak

menyediakan waktunya dalam memberikan masukan dan bimbingan serta

memberikan pengarahan kepada peneliti sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini sesuai yang diharapkan;

6. Bapak dan Ibu Dosen Bimbingan dan Konseling Fakultas Tarbiyah dan

Keguruan UIN Raden Intan Lampung, terima kasih atas bimbingan dan ilmu

yang telah diberikan selama ini;

7. Seluruh staf karyawan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan

Lampung khususnya Jurusan Bimbingan dan Konseling, terima kasih atas

ketulusan dan kesediannya membantu peneliti dalam menyelesaikan

syarat-syarat administrasi;

8. Drs. Mahlil, M.Pd.I Selaku Kepada Sekolah SMA N 3 Bandar Lampung yang

telah membantu dan memberikan izin kepada peneliti di sekolah yang beliau

pimpin dan kepada dewan guru khususnya guru Bimbingan dan Konseling

yang telah mendampingi serta memberikan informasi sehingga kebutuhan

data yang diperlukan dapat terpenuhi;

9. Teman-teman angkatan 2013/2014 program studi Bimbingan dan Konseling

(11)

x

10. Almamaterku tercinta Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan

Lampung.

Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan semua pihak yang telah

membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga bermanfaat. Amin.

Bandar Lampung, Penulis

Hesdaliya

(12)

xi

PERSETUJUAN... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Batasan Masalah... 12

D. Rumusan Masalah ... 12

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 13

F. Ruang Lingkup Penelitian... 14

BAB II LANDASAN TEORI A. Tujuan Tentang Interaksi dalam Keluarga ... 15

1. Pengertian Keluarga ... 15

2. Pola Interakasi Keluarga ... 18

B. Tinjauan Tentang Remaja ... 33

1. Pengertian Remaja ... 33

2. Ciri-ciri Masa Remaja ... 35

(13)

xii

D. Pola Interaksi dalam Keluarga dengan Kecenderungan

Perilaku Menyimpang Peserta Didik/Remaja ... 47

E. Kajian Hasil Penelitian yang Relavan... 48

F. Kerangka Pikir... 49

G. Hipotesis... 51

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian... 52

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 52

1. Variabel penelitian ... 52

2. Definis Operasional Variabel... 53

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 55

1. Populasi ... 55

2. Sampel... 55

3. Teknik Pengambilan Sampling ... 55

D. Teknik Pengumpulan Data ... 56

1. Angket (Kuesioner)... 56

2. Wawancara (Interview) ... 56

3. Dokumentasi ... 57

E. Instrumen Penelitian... 58

1. Instrumen Penelitian... 58

2. Uji Persyaratan Instrumen... 60

F. Teknik Pengolahan Data ... 66

1. Editing ... 66

2. Coding ... 66

(14)

xiii

2. Pengujian hipotesis ... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data dan Hasil Penelitian... 70

B. Uji Hipotesis... 75

1. Pengujian Hipotesis... 75

2. Interpretasi koefisien korelasi ... 76

3. Penentuan arah korelasi antara pola interaksi dalam keluarga dengan perilaku menyimpang peserta didik... 77

4. Pengujian koefisien determinasi antara pola interaksi dalam keluarga dengan perilaku menyimpang peserta didik... 79

C. Pembahasan... 81

BAB V PENUTUP A. Simpulan... 84

B. Saran... 85

(15)

xiv

(16)
(17)
(18)

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses bimbingan atau pertolongan yang diberikan

terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Ramayulis bahwa “pendidikan adalah usaha sadar yang dijalankan

oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau

sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan

penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.”1Selain pendapat tersebut terdapat

pula pendapat yang mengatakan bahwa “pendidikan adalah segala usaha orang

dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan

jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan”2 Lebih lanjut Ramayulis juga

mengatakan bahwa.

Pendidikan adalah segala usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan latihan yang diselenggarakan di lembaga pendidikan formal (sekolah), non formal (masyarakat) dan informal (keluarga) dan dilaksanakan sepanjang hayat, dalam rangka mempersiapkan peserta didik agar berperan dalam berbagai kehidupan.3

Dari penjelasan tentang pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli

diatas dapat dipahami bahwa untuk mencapai tingkat penghidupan yang lebih tinggi

seseorang harus melewati suatu proses yaitu pendidikan, dengan demikian seseorang

1Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2010, hlm. 13.

2 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga, Rineka

Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 2.

(19)

mampu berperan dalam berbagai kehidupan serta dapat mengembangkan kondisi

jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan. Pendidikan dapat diperoleh melalui

pendidikan formal (sekolah), nonformal (masyarakat), dan informal (keluarga).

Dalam pembahasan ini peneliti akan membahas pendidikan yang diperoleh

melalui jalur informal (keluarga). Pendidikan informal merupakan pendidikan yang

pasti dialami sesorang sejak ia dilahirkan, dan biasanya dilaksankan sendiri oleh

orang tua dan anggota keluarga yang lain, tidak pernah dilaksanakan khusus

disekolah, pendidikan tidak terperogramkan tidak waktu belajar yang tertentu.

Pendidikan informal merupakan “pendidikan atau pelatihan yang terdapat di

dalam keluarga atau masyarakat dalam bentuk yang tidak terorganisasi.”4 Lebih

mendalam mengenai pendidikan informal Kamrani sebagaiman yang dikutip oleh

Bahri bahwa “pendidikan di lingkungan keluarga berlangsung sejak anak lahir,

bahkan setelah dewasapun orang tua masih berhak memberi nasihat kepada anak.”5

Pendapat tersebut juga ditegaskan sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an

surat At-Tahrim ayat 6 yaitu:























Artinya: “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang

4Kamus Besar Bahasa Indonesia,Depdiknas, 1997, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 215.

(20)

Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.”6

Berdasarkan firman Allah SWT di atas jelaslah bahwa keluarga memiliki nilai

yang strategis dalam memberikan pendidikan nilai kepada anak, terutama pendidikan

nilai Ilahiyah. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ayat di atas bahwa orang tua

diperintahkan untuk mendidik anak-anaknya agar dapat tunduk dan patuh kepada

Allah SWT serta berbuat baik sesama manusia. Menurut kartono, bahwa “keluarga

merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan

anak.”7 Selanjutnya Fatmawati berpendapat bahwa “keluarga merupakan tempat

pertama dan utama bagi anak dalam mendapat pendidikan.”8Selain pendapat tersebut

terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa “keluarga dan pendidikan tidak bisa

dipisahkan selama ini telah diakui bahwa keluarga adalah salah satu dari tri pusat

pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan secara kodrati.”9

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa pendidikan bagi

anak di dalam keluarga adalah sangat penting, karena di dalam keluargalah seseorang

anak pertama kali mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, kedua orang tua yang

berperan sebagai pendidik dalam keluarga memiliki tugas dan bertanggungjawab

untuk mendidik dan memlihara anak-anaknya. Hal tersebut, karena sememangnya

dalam Islam sangat menganjurkan kepada para pendidik (orang tua) untuk mendidik

6Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Diponegoro, Bandung, 2005, hlm.

84.

7Kartini Kartono, Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 57.

8Enung Fatmawati, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), Pustaka Setia,

Bandung, 2010, hlm. 96.

(21)

anak-anaknya dengan semaksimal mungkin, agar seorang anak dapat tumbuh dan

berkembang baik dalam hubungan kepada Allah maupun kepada manusia.

Selanjutnya Dradjat mengungkapkan bahwa situasi pendidikan di dalam

keluarga dapat terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan saling mempengaruhi

secara timbal balik (interaksi) antar anggota keluarga, baik itu antar orang tua dan

anak, anak dan anak dan lain-lain.10 Terjadinya dalam keluarga akan selalu

mempengaruhi satu dengan yang lain dan saling memberikan stimulus dan respon.

Dengan demikian interaksi antara anak dengan orang tua, akan membentuk

gambaran-gambaran tertentu pada masing-masing pihak sebagai hasil dari interaksi.

Selain pendapat di atas, Ali dan Asrori juga mengatakan bahwa “interaksi antar

anggota keluarga merupakan salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi

perilaku remaja, harmonis-tidaknya, intensif-tidaknya interaksi antar anggota

keluarga akan mempengaruhi perkembangan sosial remaja yang ada di dalam

keluarga.”11

Interaksi dalam keluarga, Gerungan berpendapat bahwa “keluarga merupakan

kelompok sosial yang bersifat primer, kelompok primer atau disebut juga

face-to-face-group yaitu kelompok sosial yang anggotanya sering berhadapan muka dan

saling mengenal dekat dan karena itu hubungannya lebih erat.”12 Lebih mendalam

beliau juga mengungkapkan bahwa “peranan kelompok primer dalam kehidupan

10Zakiah Dradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2012, h. 35.

11Mohammad Ali & Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm.

95.

(22)

individu besar sekali karena di dalam kelompok primer inilah manusia pertama-tama

berkembang dan di didik sebagai makhluk sosial.”13

Berkenaan dengan interaksi di dalam keluarga Munirianto menyebutkan

beberapa kriteria yang dapat di lakukan oleh anggota keluarga terutama orang tua

agar dapat menciptakan suasana interaksi yang harmonis di dalam keluarga, kriteria

tersebut antara lain sebagai berikut: (1) menciptakan kehidupan beragama atau

spiritualitas dalam keluarga; (2) terdapat waktu bersama; (3) dalam interaksi,

keluarga menciptakan hubungan yang baik antar anggota keluarga; (4) saling harga

menghargai dalam interaksi ayah, ibu, dan anak; (5) keluarga sebagai unit terkecil

harus erat dan kuat, jangan longgar dan jangan rapuh; (6) jika mengalami krisis dan

benturan-benturan maka prioritas utamanya adalah keutuhan keluarga14.

Berdasarkan kriteria keluarga harmonis di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah

keluarga dapat dikatakan harmonis apabila di dalamnya telah pondasikan dengan

kehidupan beragama serta anggota-anggota saling menghargai satu sama lain dan

saling menjaga keutuhan keluarga itu sendiri apabila terjadi konflik. Selain itu

komunikasi antara ayah, ibu dan anak, komunikasi antara ayah dan anak, komunikasi

antara ibu dan anak dan komunikasi antara anak dan anak perlu dibangun secara

harmonis dalam rangka membangun pendidikan yang baik dalam keluarga, ada

baiknya orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk mengkomunikasikan

semua permasalahan yang di alaminya.

13Ibid, h. 36

14 Munirianto ,Keharmonisan Keluarga, Konsep Diri Dan Kenakalan Remaja (Jrnal

(23)

Penjelasan di atas sesuai dengan pendapat Bahri yang mengatakan bahwa “yang

mengawali komunikasi tidak mesti dari orang tua kepada anak, tetapi bisa juga

sebaliknya, yaitu anak kepada orang tua, atau dari anak kepada anak sehingga semua

anggota di dalam keluarga dapat aktif, reflektif dan kreatif dalam berinteraktif.”15

Dari pendapat tersebut maka jelaslah bahwa untuk menciptakan suasana interaksi

yang intensif dan harmonis di dalam keluarga sangatlah diperlukan adanya suasana

timbal balik dan saling terbuka dalam berkomunikasi, jika dalam keluarga telah

tercipta suasana yang demikian maka konflik di lingkungan keluarga terutama antara

orang tua dan anak akan dapat tercegah dan teratasi dengan baik.

Berhubungan dengan hal di atas Bahri mengatakan bahwa

Pendidikan dasar yang baik harus diberikan kepada anggota keluarga sedini mungkin dalam upaya memerankan fungsi pendidikan dalam keluarga yaitu menumbuh kembangkan potensi laten anak, yaitu untuk mentranfer nilai-nilai dan sebagai agen transformasi kebudayaan. Kehidupan keluarga yang harmonis perlu di bangun di atas dasar sistem interaksi yang kondusif.16

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan salah satu

bentuk kelompok sosial yang bersifat primer dimana di dalam kelompok primer

terjadi proses sosialisasi yang anggota-anggotanya memiliki intensitas pertemuan dan

memiliku hubungan yang erat antar anggotanya. Interaksi yang terjadi di lingkungan

keluarga merupakan proses interaksi sosial yang bersifat primer dikatakan interaksi

primer karena di dalam interaksi inilah manusia pertama kali di didik dan

berkembang sebagai makhluk sosial, sehingga ketika seorang anak memasuki dunia

luar kepribadiannya sudah terbentuk dan terarahkan.

(24)

Namun demikian, pada kenyataannya dalam keluarga dalam hal ini orang tua

kurang, atau bahkan tidak memiliki waktu untuk berinteraksi/berkomunikasi dengan

anak-anaknya sehingga oranng tua tidak memiliki kesempatan untuk menanamkan

nilai-nilai yang positif serta nilai-nilai keagamaan terhadap anak, maka sebagai akibat

dari situasi yang demikian dapat menimbulkan perbuatan yang tidak menguntungkan

atau dapat membawa kearah perilaku yang menyimpang. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Kartono bahwa:

Rumah tangga yang berantakan disebabkan oelh kematian ayah atau ibu, perceraian diantara bapak dengan ibu, hidup terpisah, poligami, ayah mempunyai simpanan “istri” lain, keluarga yang diliputi konflik keras, semua itu merupakan sumber yang subur untuk memunculkan deliquency remaja.17

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa situasi di dalam keluarga

sangat menentukan terbentuknya perilaku seorang anak dalam keluarga, dengan

demikian apabila situasi di dalam keluarga kurang baik atau tidak harmonis maka

dapat dipastikan seorang anak akan memiliki kecenderungan perilaku yang kurang

baik pula. Perilaku menyimpang di kalangan remaja sangat mencemaskan masyarakat

luas, karena dapat membawa kerugian baik bagi remaja itu sendiri terutama mereka

yang masih duduk dibangku sekolah pada khususnya dan bagi masyarakat luas pada

umunya. Karena sesungguhnya, anak remaja masih berada pada tahap “tumbuh untuk

mencapai kematangan.” Secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana individu

menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak

merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan

merasa sama, atau paling tidak sejajar.18

17Kartini Kartono, Op Cit, hlm. 59

(25)

Selain itu usia remaja sekitar 13-18 tahun, dan pada usia tersebut remaja sangat

rentan, karena pada saat itu emosi seseorang paling besar, seorang berusaha tampil

lebih baik daripada orang lain ia tidak mau kalah dengan orang lain, emosi yang tidak

stabil ini menyebabkan mudah masuknya pengaruh dari luar. Beliau juga mengatakan

bahwa remaja adalah mereka yang berusia 13-18.19

Kondisi emosi yang tidak stabil pada remaja sangat mudah sekali menyebabkan

masuknya pengaruh dari luar, situasi keluarga yang penuh konflik dapat membuat

remaja merasa kurang akan kasih sayang dan perhatian dari keluarga terutama orang

tua, sehingga tidak jarang remaja mencari pelarian bagi kerisauan dan ketidakpuasan

hatinya dengan mencari kesenangan hidup di tempat lain, dengan demikian besar

kemungkinan remaja tersebut dapat mudah terpengaruh dengan sekelompok

pergaulan yang kurang baik dan dapat menimbulkan perilaku yang kurang baik pula

dalam hal ini adalah perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai dan norma

masyarakat. Sebagaimana Kartono mengatakan bahwa:

Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan berpijak, di kemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensatoris dalam bentuk dendam dan sikap bermusuh terhadap dunia luar, ia mulai mengembangkan reaksi kompensatoris negatif untuk mendapatkan keenakan dan kepuasan hidup dengan melakukan perbuatan kriminal.20

Situasi keluarga yang kurang harmonis sengat berpengaruh besar terhadap

kecenderungan munculnya perilaku kriminal dikalangan remaja, perilaku tersebut

merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang. Menurut Sarwono dalam

(26)

ilmu sosial perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan remaja termasuk salah satu

dari bentuk masalah sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat dan merupakan

masalah yang sangat penting untuk dicermati di berbagai kalangan, terutama bagi

remaja yang masih berada di bangku sekolah karena hal ini sangat mengganggu

proses belajar menagajar yang ada di sekolah.21

Menurut Sarwono perilaku menyimpang adalah “semua bentuk tingkah laku

yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam masyarakat (norma agama,

etika, peraturan sekolah dan keluarga, dan lain-lain.”22

Selanjutnya pendapat Paulus Hadisuprapto, bentuk-bentuk perilaku menyimpang

remaja disekolah yaitu:

a) Tindak kriminal dan kejahatan

b) Ketidak disiplinan anak disekolah

c) Penyimpangan seksual anak

d) Penyalahgunaan narkotika dan alkohol

e) Hubungan seksual sebelum menikah

f) Tidak disiplin dengan peraturan.23

Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh Purnomowardani dan Koentjoro yang

mengemukakan bahwa sebagian besar korban peyelenggaraan narkotika dan

minuman keras, merokok, kekerasan fisik adalah remaja, yang terabagi dalam

golongan umur 14-16 tahun (47,7%); golongan umur 17-20 tahun (51,3); golongan

21Sarlito Wirawan Sarwono,Psikologi Remaja,Rajawali pers, 2008, h. 204 22Op. Cit., hlm. 205.

(27)

umur 21-24 tahun (31%). Tinjauan dari tingkat pendidikan dan latar belakang status

ekonomi keluarga.24

Dari beberapa penjelasan yang telah diuraikan diatas, dan melihat kenyataan di

lapangan masih bannyak ditemukan peserta didik usia sekolah menengah yang

berperilaku menyimpang di lingkungan sekolah, hal ini juga ditemukan pada peserta

didi kelas XI yang ada di SMAN 3 Bandar Lampung, menurut peneliti di SMAN 3

Bandar Lampung tepatnya kelas XI sangat tepat untuk dijadikan subjek dalam

penelitian ini, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap Guru

Bimbingan Konseling di SMAN 3 Bandar Lampung

Selain itu berdasarkan data yang penulis peroleh dari dokumentasi Guru

Bimbingan dan Konseling bahwa terdapat jumlah yang cukup banyak ditemukan

peserta didik yang berperilaku meyimpang. Dari hasil prapenelitian yang penulis

lakukan pada tanggal 15 Oktober 2016 di SMAN 3 Bandar Lampung diperoleh data

tentang jumlah peserta didik kelas XI SMAN 3 Bandar Lampung yaitu sebagai

berikut :

Tabel 1

Jumlah Peserta Didik Kelas XI SMAN 3 Bandar Lampung Tahun pelajaran 2017/2018

No. Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah

1 XI IPS 1 19 16 35

2 XI IPS 2 20 15 35

3 XI IPS 3 17 16 33

jumlah 56 47 103

Sumber: dokumentasi kelas XI SMAN 3 Bandar Lmapung

24Verdian Nendra Dimas Pratama, Perilaku Remaja Pengguna Minuman Keras, Merokok,

Dan Kekerasan Fisik di Desa Jatigono Kecematan Kunir Kabupaten Lumajang, 146 Jurnal Promkes,

(28)

Selain data diatas penulis juga mendapatkan data dari guru Bimbingan dan

Konseling yang ada di SMAN 3 Bandar Lampung sejak bulan Oktober 2016 sampai

bulan Desember 2016 terdapat peserta didik kelas XI SMAN 3 Bandar Lampung

sebanyak 45 peserta didikyang mengalami perilaku menyimpang yaitu sebagai

berikut:

Tabel 2

Bentuk Perilaku Menyimpang Peserta Didik Kelas XI SMAN 3 Bandar Lampung

No Indikator Penyimpangan perilaku jumlah

1 Membolos Sekolah 12

2 Merokok di Lingkungan Sekolah 8

3 Berkelahi 3

4 Suka Berbuat Kegaduhan Saat Proses Belajar Berlangsung 5

5 Tidak Disiplin dengan Peraturan Sekolah 16

6 Mengkonsumsi Narkoba dan Alkohol 1

Jumlah 45

Sumber: Dokumentasi Guru Bimbingan dan Konseling SMAN 3 Bandar

Lampung

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat dikatakan bahwa masih banyak peserta

didik yang mengalami perilaku menyimpang di XI SMAN 3 Bandar Lampung

khususnya peserta didik kelas XI. Peserta didik yang mengalami perilaku

menyimpang di lingkungan sekolah sangat menunggu proses kegiatan belajar

mengajar baik terhadap peserta didik yang bersangkutan maupun terhadap

teman-teman lainnya. Dengan demikian peneliti tertarik melakukan terkait dengan pola

interaksi dalam keluarga siswa tersebut, sehingga peserta didik cenderung melakukan

(29)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka

permasalahan dalam penelitian ini adalah masih banyak ditemukan perilaku

menyimpang yang dilakukan peserta didik khususnya kelas XI SMAN 3 Bandar

Lampung, berikut ini identifikasi masalahnya :

1. Terdapat peserta didik yang membolos sekolah

2. Teradapat peserta didik yang merokok di lingkungan sekolah

3. Terdapat peserta didik yang berkelahi

4. Terdapat peserta didik yang suka berbuat kegaduhan saat jam belajar

berlangsung

5. Terdapat peserta didik yang tidak disiplin dengan peraturan sekolah

6. Terdapat peserta didik yang mengkonsumsi narkoba

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka untuk lebih efektif dalam penelitian ini

dan mengingat luasnya cakupan pembahasan masalah ini, maka peniliti

memfokuskan pembahasan pada Study Korelasi (hubungan) antara Pola Interaksi

dalam Keluarga dengan Kecenderungan Perilaku Menyimpang pada Peserta Didik

(Remaja) Kelas XI SMAN 3 Bandar Lampung.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan di atas maka peneliti

merumuskan masalah dari penelitian ini yaitu: “Adakah korelasi (hubungan) antara

pola interaksi dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku menyimpang pada

(30)

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi (hubungan)

antara pola interaksi dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku

menyimpang pada peserta didik /remaja kelas XI SMAN 3 Bandar

Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmiah bagi

wahana perkembangan ilmu psikologi keluarga dan psikologi remaja

terutama yang berhubungan dengan perilaku menyimpang dikalangan

remaja

b. Kegunaan Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan orang tua mengenai keterlibatannya dalam

mengantisipasi dan mengatasi perilaku menyimpang pada anak, bila

penelitian ini terbukti maka hasil penelitian ini juga dapat

dtigunakan sebagai upaya untuk meningkatkan pola interaksi dalam

keluarga yang baik atau harmonis dalam bentuk usaha pencegahan

(31)

2) Selain itu kegunaan praktis dalam penelitian ini juga dapat

memperkaya konsep-konsep bimbingan, baik Bimbingan dan

Konseling Keluarga maupun Bimbingan Konseling Sekolah,

terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, budaya, agama,

moral kesusilaan serta pertumbuhan dan perkembangan kepribadian

dalam mencegah perilaku menyimpang pada peserta didik atau

remaja.

F. Ruang Lingkup Penelitian

1. Sebagai subjek dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI

SMAN 3 Bandar Lampung Sebagai objek dalam penelitian ini adalah pola

interaksi dalam keluarga dan perilaku meyimpang peserta didik.

2. Lokasi penelitian ini yaitu XI SMAN 3 Bandar Lampung penelitian ini

(32)

A. Tujuan Tentang Interaksi dalam Keluarga 1. Pengertian Keluarga

“Keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting dalam

masyarakat.”1 Pendapat lain mengatakan bahwa “kelompok primer adalah

kelompok sosial yang anggota-anggotanya sering berhadapan muka dan saling

mengenal dari dekat dan karena itu hubungannya saling lebih erat.”2

Selain pendapat di atas, lebih lanjut Bahri berpendapat bahwa “keluarga

adalah sebuah intuisi yang terbentuk karena ikatan perkawinan, di dalamnya

hidup bersama pasangan suami-istri secara sah karena pernikahan.”3 Lebih

mendalam koerner & Fitzpatrick yang dikutip oleh Lestari mengatakan bahwa

definisi keluarga dapat ditinjau beredasarkan 3 sudut pandang yaitu:

a. definisi struktural. Keluarga di definisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya, definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. b. Definisi fungsional. Keluarga didefinisikan dengan berkenaan pada

terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu, definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.

c. definisi transaksional. Keluarga di definisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi,

1Abu Ahmadi , Psikologi social, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, ha.221 2Gerungan , Psikologi Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2010, h. 92

3Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak, Rineka Cipta, Jakarta,

(33)

pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana fungsinya.4

Berdasarkan pendapat dari para ahli mengenai pengertian keluarga di atas

dapat disimpulkan bahwa keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok

sosial yang terbentuk melalui hubungan perkawinan untuk menyelenggaraka

hal-hal yang berkenaan dengan ke orangtuaan dan pemeliharaan anak, berdasarkan

ciri-ciri khusus dari keluarga yang diantaranya bersifat permanen dan kekal

karena terbentuk atas dasar ikatan emosional kebersamaan, saling mengenal

secara akrab dan intim sehingga keluarga dapat di klasifikasikan sebagai

kelompok primer. Sebagai kelompok primer dan lingkungan yang pertama kali

dikenal remaja, maka dengn sendirinya proses interaksi pertama terjadi di

lingkungan keluarga, sehingga keluarga mempunyai peranan yang cukup besar

bagi kehidupan remaja.

Pada umumnya keluarga memiliki beberapa fungsi yang meliputi melahirkan

dan merawat anak, menyelesaikan masalah, dan saling peduli antar anggotanya.

Menurut Berns yang dikutip Lestari keluarga memiliki 5 fungsi dasar, yaitu:

1) reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk memepertahankan populasi yang ada dalam masyarakat

2) sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik generasi sebelmnya ke generasi yang lebih mudah

3) penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada para angotanya seperti ras, etnik, religi, sosial, ekonomi, dan peran gender

4) dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan, dan jaminan kehidupan

(34)

5) dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak, interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh dan berdaya tahan sehingga membrikan rasa aman pada anak.5

Berdasarkan penjelasan dari fungsi-fungsi keluarga yang dikemukakan oleh

para ahli di atas dapat dipahami bahwa keluarga sebagai kelompok primer dalam

masyarakat didalamnya terdapat fungsi reproduksi untuk melanjutkan keturunan,

tempat sosialisasi (proses penerimaan nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan

keterampilan), tempat penentuan identitas pada para anggotanya, tempat

pemenuhan kebutuhan ekonomis serta sebagai tempat dimana

anggota-anggotanya mendapat perlindungan bagi ketentraman dan perkembangan

jiwanya.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah diuraikan di atas dapat

disimpulkan bahwa keluarga merupakan suatu kelompok sosial terkecil dalam

masyarakat yang didalamnya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Di dalam keluarga

terdapat rasa saling sayang, saling mengasihi, di dalam keluarga juga terdapat

kontrol sosial, motivasi sosial dari para anggotanya. Sebagai lingkungan

pendidikan pertama dan utama bagi anak, maka dari sinilah perkembangan

kepribadian anak bermula, di dalam keluarga orang tua mengajarkan kepada

anak-anaknya tentang penguasaan diri, nilai-nilai dan peran sosial sehingga

ketika anak sudah cukup umur untuk memasuki kelompok sosial lain di luar

lingkungan keluarganya pondasi dari kepribadiannya sudah terarahkan dan

terbentuk.

(35)

2. Pola Interakasi Keluarga

Proses interaksi dalam keluarga merupakan salah satu bentuk dari

interaksi sosial yang bersifat primer. Interaksi sosial dalam keluarga yang

bersifat primer ini ditandai dengan adanya hubungan antara anggota

keluarga. di dalam interaksi primer terdapat interaksi sosial yang lebih

intensif dan anggota-anggotanya sering berhadapan muka serta saling

mengenal lebih dekat, sehingga hubungannya lebih erat.6

Bahri berpendapat bahwa yang diperlukan dalam berinteraksi dalam

keluarga ialah antara lain komunikasi antar keluarga, sebab jika di dalam

suatu keluaraga tidak terdapat komunikasi antar anggotanya maka sepilah

kehidupan keluarga dari kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran, dan

sebagainya, dan sebagai akibatnya kerawanan antar anggota keluarga pun

sukar untuk dihindari. Kemudian hubungan yang akrab antar orang tua dan

anak sangat penting untuk dibina dalam berinteraksi di lingkungan keluarga,

keakraban hubungan itu dapat dilihat dari frekuensi pertemuan antara ornag

tua dan anak dalam suatu waktu dan kesempatan.7

Selain pendapat-pendapat yang telah diuraikan di atas terdapat pula

pendapat yang mengatakan bahwa faktor utama yang dapat mempengaruhi

perkembangan sosial anak di dalam keluarga ialah faktor keutuhan keluarga.

Keutuhan keluarga adalah keutuhan dalam struktur keluarga yaitu bahwa

keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Selain keutuhan dalam struktur

6Gerungan, Op.Cit, hlm 92

(36)

keluarga dimaksudkan pula keutuhan dalam interaksi keluarga bahwa dalam

kelurga harus berlangsung interaksi sosial yang wajar (harmonis) apabila

orang tuanya sering berselisih dan menyatakan sikap saling bermusuhan

dengan disertai tindakan-tindakan yang agresif maka keluarga itu tidak dapat

disebut utuh.8

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat asrori yang mengatakan

bahwa “harmonis-tidaknya, intensif-tidaknya interaksi antar anggota

keluarga akan mempengaruhi perkembangan sosial remaja yang ada di

dalam keluarga.”9

Bentuk-bentuk komunikasi dalam keluarga menurut Brian dalam

kutipan Pratikto, salah satunya adalah komunikasi orangtua dengan anak.

Komunikasi yang terjalin antara orangtua dan anak dalam satu ikatan

keluarga di mana orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak.

Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak di sini bersifat dua arah,

disertai dengan pemahaman bersama terhadap sesuatu hal dimana antara

orangtua dan anak berhak menyampaikan pendapat, pikiran, informasi atau

nasehat. Hubungan interpersonal antara orangtua dan anak muncul melalui

transformasi nilai-nilai. Transformasi nilai dilakukan dalam bentuk

sosialisasi. Pada proses sosialisasi di masa kanak-kanak orangtua adalah

membentuk kepribadian anak-anaknya dengan menanamkan nilai-nilai yang

8Gerungan, Op.Cit, hlm. 199

9Mohammad Ali & Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm.

(37)

dianut oleh orangtua. Hal yang dilakukan orangtua pada anak di masa awal

pertumbuhannya sangat mempengaruhi berbagai aspek psikologis

anak-anak.10

Adapun penjelasan dari aspek-aspek keluarga harmonis di atas adalah

sebagai berikut:

1. Menciptakan kehidupan beragama/spritualitasdalam keluarga.

Sebuah keluarga yang harmonis di tandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Dradjat bahwa:

Agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya yang Maha Esa, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yang dapat menjamin keselarasan, keseimbangan anggota masyarakat dalama mencapai kemajuan lahiriyah dan kebahagiaan rohaniah.11

Pendapat di atas juga sejalan dengan firman Allah SWT dalam

Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi:

                                       Artinya:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”12

10Brian Abraham Rogi, Peranan Komunikasi Keluarga Dalam Menanggulangi Kenakalan

Remaja Di Kelurahan Tataaran 1 Kecamatan Tondano Selatan,(e-journal “Acta Diurna” Volume IV.

No.4. Tahun 2015), di unduh 10 maret 2017 pukul 14:00

11Zakiah Dradjat, Op. Cit.,hlm. 87

(38)

Jadi dapat disimpulkan bahwa kehidupan beragama sangatlah

penting bagi kehidupan manusia, karena di dalam agama terdapat

nilai-nilai moral dan etika kehidpan, sehingga manusia dapat mencapai

kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat, di dalam ayat

Al-Qur’an pun telah ditegaskan oleh Allah SWT bahwa manusia

diperintahkan berpedoman kepada akidah agama yang lurus yaitu agama

islam yang diridhoi Allah.

2. Mempunyai waktu bersama keluarga

Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu bersama

keluarganya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bahri bahwa

“moment seperti waktu makan, menonton televise, duduk santai, ketika

anak sedang bermain didalam rumah, dapat dimanfaatkan oleh orang tua

untuk bercengkrama, bersenda gurau atau membicarakan hal-hal yang

bermanfaat bagi kebaikan anggota keluarga.13

Dengan terciptanya situasi seperti yang telah diungkapkan oleh

Bahri di atas maka seorang anak yang ada di dalam keluarga akan

merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orang tuanya, sehingga

anak akan betah tinggal dirumah.

3. Dalam interaksi, keluarga menciptakan hubungan yang baik antar

anggota keluarganya.

(39)

Untuk terjalinnya hubungan yang baik di dalam keluargatentu banyak faktor yang mempengaruhinya misalnya, factor pendidikan, kasih saying, profesi, pemahaman terhadap norma agama dan mobilitas orang tua, hubungan yang baik antar orang tua tidak hanya diukur dengan pemenuhian materi saja, tetapi kebutuhan mental spiritual juga merupakan ukuran keberhasilan dalam menciptakan hubungan tersebut.14

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam

menciptakan hubungan yang baik antar anggota keluarga maka orang

tua yang memiliki peran yang paling menentukan dalam keluarga perlu

memperhatikan faktor-faktor terkait menciptakan hubungan yang baik

dengan anak-anaknya, faktor-faktor tersebut antara lain ialah

pendidikan, kasih sayang, materi, mental spiritual, pemahaman

norma-norma agama dan lain-lain.

Selain itu untuk menciptakan hubungan yang baik di dalam

keluarga diperlukan juga adanya komunikasi timbal balik antar

anggotanya, karena pada dasarnya komunikasi merupakan dasar bagi

terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Melalui komunikasi secara

timbal balik dalam keluarga dapat membantu memecahkan

permasalahan yang dihadapi anak diluar rumah, dalam hal ini orang tua

dapat berperan sebagai teman, sehingga anak dapat lebih leluasa dalam

menyampaikan semua permasalahannya.

(40)

4. Saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak.

Sebagaimana yang diungkapkan Mohammad Ali dan Mohammad

Asrori bahwa manusia normal baik anak maupun orang dewasa

senantiasa membutuhkan penghargaan atau dihargai orang lain, dalam

hal interaksi antar orang tua dan anak sikap yang menyatakan kasih

sayang kepada anak merupakan sesuatu yang penting, anak harus

mengetahui bahwa dirinya disayangi oleh orang tuanya, sehingga anak

merasa bahwa dirinya dibutuhkan keluarga, situasi demikian dapat

membuat anak merasa aman, dihargai dan disayangi.15

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam

berinteraksi antar anggota keluarga sangat diperlukan adanya sikap

saling menghargai satu sama lain antar anggotanya, keluarga yang

harmonis ialah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap anggota

keluarga.

5. Keluarga sebagai unit terkecil harus erat dan kuat, jangan longgar dan

jangan rapuh.

Hubungan yang erat antar anggota keluarga, juga menentukan

harmonisnya sebuah kerluarga, apabila didalam keluarga tidak memiliki

hubungan yang kuat dan erat maka dapat menimbulkan hubungan yang

renggang antar anggotanya, hal ini dapat terlihat dari sikap saling

memiliki dan sikap kebersamaan yang kurang. Hubungan yang erat

(41)

dapat diwujudkan dalam bentuk adanya sikap kebersamaan, adanya

komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai

satu sama lain.

6. Jika mengalami krisis dan benturan-benturan maka prioritas utamanya

adalah keutuhan keluarga.

Menurut Lestari, “konflik di dalam keluarga lebih sering dan

mendalam bila dibandingkan dengan konflik dalam konteks sosial

lainnya.”16 Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa didalam

keluarga akan sering terjadi konflik, oleh karena itu anggota keluarga

perlu mengetahui cara pemecahan masalah yang tepat apabila terjadi

konflik dilingkungan keluarga. Pada dasarnya di dalam keluarga yang

harmonis setiap anggotanya akan berusaha menyelesaikan masalah

dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari sertiap

permasalahan yang hadir dalam lingkungan keluarga agar keutuhan

keluarga akan tetap terjaga.

yaitu diungkapkan oleh Khalid Bin Abdurrahman yang mengatakan

bahwa ada 4 cara yang dapat ditempuh dalam bergaul dengan sesama

anggota keluarga antara lain sebagai berikut:

a. Setiap anggota keluarga memperlakukan anggota keluarga lain seperti memperlakukan dirinya

b. Mencintai dan menyayangi c. Menghargai perasaan yang lain

(42)

d. Saling membantu dalam melaksan,akan kewajiban.17

Berdasarkan dari bebrapa pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa banyak sekali cara yang dapat di tempuh oleh anggota keluarga

untuk dapat menciptakan interaksi yang baik dengan sesama anggota di

dalam keluarga,cara tersebut antara lain meliputi kehidupan beragama

yang baik, memiliki waktu yang cukup untuk bersama keluarga, salaing

berkomunikasi, memiliki hubungan yang erat antar anggota keluarga

dengan cara saling mencintai, saling menyayangi, saling menghargai

serta saling tolong menolong dalam melaksanakan berbagai kewajiban.

Bahri berpendapat bahwa “ada beberapa bentuk interkasi dalam

keluarga yaitu: interaksi antara suami dan istri, interaksi antar ayah, ibu dan

anak, interaksi antara ayah dan anak, interaksi antar ibu dan anak, interaksi

antar anak dan anak.”18

Berdasarkan bentuk-bentuk interaksi di dalam keluarga tersebut, maka

dalam penelitian ini peneliti akan memfokuskan pada bentuk interaksi antara

ayah, ibu dan anak (orang tua dan anak) karena mengingat lebih besarnya

peranan orang tua terhadap tumbuh kembang anak, baik atau buruknya sikap

orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya mempengaruhi pula

terbentuknya kepribadian maupun tingkah laku anak, oleh karena itu peneliti

lebih memfokuskan penelitian ini pada bentuk interaksi antara ayah, ibu dan

anak.

17Syeh Khalid Bin Abdurrahman Al-Akk, Cara Islam Mendidik Anak, Ad-Dawa, Jogjakarta,

2006, hlm. 265

(43)

Adapun penjelasan dari masing-masing bentuk interaksi dalam keluarga

yang telah disebutkan di atas ialah sebagai berikut:

a. Interkasi antara suami dan istri

Interaksi sosial antara suami dan istri selalu saja terjadi dimana dan kapan saja, interkasi social dengan intensivitas yang tinggi terjadi di dalam kehidupan berumah tangga, pasangan suami istri selalu mendambakan kehangatan cinta dari lawan jenisnya, oleh karena itu mereka berusaha mencari sikap dan perilaku yang dapat mengantarkan kepada kehangatan cinta. Ada beberapa langkah yang dapat mengantarkan pasangan suami istri kepada kehangatan cinta yaitu: ungkapan cinta, efek sentuhan, beri bantuan, siap dengan dukungan, jangan pelit pujian, munculkan segala kebaikannya, sisihkan waktu berdua, panggilan khusus, dan dengarkan.

Selain pendapat di atas, terdapat pula pendapat dari Sri Lestari

mengatakan bahwa “kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah

keberhasilan melakukan penyesuaian diantara pasangan, penyesuaian ini

bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berfikir yang luwes,

penyesuaian adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang

lain dan lingkungan.”19 Sri Lestari juga berpendapat bahwa terdapat

sepuluh aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dan

yang tidak bahagia, aspek tersebut antara lain:

1. Komunikasi 2. Flesibelitas 3. Kedekatan

4. Kecocokan kepribadian 5. Resolusi konflik

6. Relasi seksual

7. Kegiatan diwaktu luang 8. Keluarga dan pengolahan

(44)

9. Keuangan

10. Keyakinan spiritual20

Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa banyak sekali hal-hal yang perlu diperhatikan dan

dilakukan oleh pasangan suami istri dalam berinteraksi dengan baik agar

dapat menciptakan hubungan yang baik, hal-hal tersebut antara lain

dengan menumbuhkan situasi kehangatan dalam cinta dan kasih sayang,

hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan ungkapan cinta,

sentuhan, memberi bantuan, sikap siap dan mendukung, memberi

pujian, memberi panggilan khusus dan mendengarkan.

Selain itu dalam islam pun tata cara berinteraksi antara suami dan

istri juga telah diterangkan di dalam Al-Qur’an, salah satunya ialah

dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum 21













Artinya:”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

yang telah disebutkan di atas bahwa di dalam ayat tersebut Allah

SWT memberikan tanda-tanda dari kebesarannya dengan menciptakan

(45)

manusia dengan berpasang-pasangan agar manusia dapat saling berkasih

sayang sehingga manusia mendapat ketenangan hati melalui rasa saling

menyayangi tersebut. Selain itu pasangan suami istri juga perlu

mengadakan musyawarah dalam mengatur dan memecahkan masalah

yang hadir dalam keluarga khususnya dalam mengatur masalah ekonomi

dan pendidikan anak dalam keluarga.

b. Interaksi antara ayah, ibu dan anak (orang tua anak)

Interaksi antara ayah, ibu dan anak atau dengan kata lain interaksi

antara orang tua dan anak adalah proses interaksi yang terjadi antara

ayah, ibu dan anak, interaksi antara orang tua dan anak sangat berkaitan

erat dengan proses penerimaan pendidikan pada anak penjelasan

tersebut sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa:

anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan hubungan, pengalaman anak sepanjang waktu bersama orang-orang yang mengenal mereka dengan baik, serta berbagai karakteristik dan kecenderungan yang mulai mereka pahami merupakan hal-hal pokok yang mempengaruhi perkembangan konsep dan kepribadian sosial mereka, dengan demikian seorang anak memerlukan hubungan yang berkualitas baik dalam perkembangannya, hubungan tersebut dapat meliputi: penyesuaian kesejahteraan, perilaku sosial dan tranmisi nilai. Kualitas hubungan antara orang tua dan anak merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan, rasa aman, kepercayaan, efeksi positif dan ketanggapan dalam hubungan mereka. Kehangatan menjadi komponen mendasar dalam hubungan orang tua dan anak yang dapat membuat anak merasa dicintai dan mengembangkan rasa percaya diri, rasa aman merupakan dimensi dalam hubungan yang berkembang karena interaksi yang berulang yang memperlihatkan adanya kesiagaan, kepekaan dan ketanggapan.21

(46)

Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa orang tua yang

baik adalah ayah-ibu yang pandai menjadi sahabat sekaligus teladan

bagi anaknya sendiri, karena sikap bersahabat dengan anak mempunyai

peranan besar dalam mempengaruhi jiwanya dalam berperan sebagai

sahabat bagi anak-anaknya orang tua harus menyediakan waktu untuk

anak-anaknya, seperti menemani anak dalam suka dan duka memilihkan

teman yang baik dan lain-lain, dalam keluarga orang tua memiliki

tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya, mendidik anak berarti

mempersiapkan anak-anak untuk kehidupan dimasa yang akan dating,

dalam hal ini orang tua harus mengajarkan kepada anak tentang

bagaiamana mengembangkan sikap yang menarik sebagai cara hidup.

Selain itu terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa nasihat

kepada anak mesti dilakukan jika di dalam sikap dan perilakunya

terdapat gejala yang kurang baik bagi perkembangannya, selain itu

orang tua juga harus memberikan teladan dalam hal disiplin yang baik

dengan kebijaksanaan dengan menggunakan pujian bukan dengan selalu

mengkritik atau hukuman.22

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa

proses interaksi yang terjadi antara ayah, ibu dan anak (orang tua-anak)

tidak terlepas dari proses penerimaan berbagai ilmu pada anak, karena

sejak dilahirkan seorang anak sudah sering berinteraksi dengan orang

(47)

tuanya, dengan demikian proses interaksi antara orang tua dan anak

memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan dan terbentuknya

kepribadian anak.

c. Interaksi Antar Ibu dan Anak

Cinta seorang ibu keapada anaknya adalah cinta sejati dan tidak

pernah berubah sampai kapan pun, pada umumnya pendekatan

pendidikan yang sering dilakukan dalam satu keluarga berkisar pada

pendekatan individual, pendekatan emosional, pendekatan rasional,

pendekatan fungsional dan pendekatan keagamaan.23

Berdasarkan pendapat diatas dapat dipahami bahwa hubungan

antara ibu dan anak tidak hanya terjadi pasca kelahiran anak, tetapi

sudah berlangsung ketika seorang anaka msih dalam kandungan ibu,

hubungan yang terjadi antara ibu dengan anak bersifat fisiologis dan

psikologis. Secara fisiologis makanan yang dimakan oleh ibu yang

sedang hamil akan memepengaruhin pertumbuhan fisik anak, sedangkan

secara fisikologis antara ibu dan anak terjadi hubungan emosional, hal

ini ditandai dengan adanya tali jiwa yang utuh dan tidak bisa di cerai

beraikan.

d. Interaksi Antara Ayah dan Anak

Pada fase awal kehidupan anak, dia tidak hanya berkenalan dengan

ibunya tetapi juga berkenalan dengan ayahnya sebagai orang tua,

(48)

keduanya sama-sama memberikan cinta, kasih dan saying kepada

anaknya bagaimanapun keadaan anaknya. Setiap pengalaman, entah

yang baik dan atau yang buruk yang diperoleh anak akan menjadi

referensi bagi anak dalam perkembangannya, oleh karena itu orang tua

perlu memberikan pengalaman yang baik-baik saja yaitu melalui

pendidikan yang diberikan dalam rumah tangga. Sebagaimana Bahri

mengatakan bahwa:

Seorang ayah dengan kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan bagi anaknya akan berusaha meluangkan waktu dan mencurahkan pikirannya untuk memperhatikan pendidikan anak-anaknya, rela menyisihkan uangnya untuk membelikan buku dan peralatan sekolah anak, menyediakan ruang belajar, khusus untuk keperluan belajar anak, membantu anak bila dia mengalami kesulitan belajar, menjadi pendengar yang baik ketika anak menceritakan berbagai pengalaman yang didapatnya diluar rumah.24

Pernyataan Richard Riley (dalam Horn, 1998), “Ketika ayah terlibat

dalam kehidupan anak, anak akan belajar lebih banyak”, mendukung

penelitian yang dilakukan Departemen Pendidikan Amerika mengenai

remaja yang terlibat dalam pendidikan mereka. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa remaja yang ayahnya terlibat dalam hidupnya

memperoleh nilai pelajaran yang tinggi, lebih aktif dalam

kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan-kegiatan bermasyarakat serta lebih mampu

menerima dirinya dengan baik. Robert Blanchard dan Henry Biller

(dalam Gottman dan Declaire, 1997) melakukan penelitian dengan

membandingkan tiga kelompok anak laki-laki kelas tiga. Kelompok

(49)

pertama dalah kelompok anak yang ayahnya ada dan masuk dalam

kehidupan anak, kelompok ke dua adalah anak-anak yang ayahnya tidak

ada, dan kelompok ke tiga adalah anak-anak yang ayahnya ada tapi

tidak terlibat dalam kehidupan anak. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa prestasi akademik anak kelompok pertama adalah yang paling

baik, kelompok ke dua paling buruk, dan kelompok ke tiga berada di

tengah. Biller sendiri mengatakan bahwa “memiliki ayah yang punya

kecakapan tidak akan memfasilitasi perkembangan intelektual anak jika

ayah tidak secara konsisten masuk dalam kehidupan anak laki-laki atau

jika kualitas hubungan ayah dan anak lakilakinya negatif”.25

Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa interaksi antara

ayah dan anak juga merupakan salah satu aspek penting bagi

perkembangan dan pembentukan kepribadian seorang anak, ayah dalam

keluarga sangatlah penting peranannya, oleh karena itu seorang ayah

perlu memperhatikan aspek-aspek penting dalam berinteraksi dengan

anak, seorang ayah yang baik ialah seorang ayah yang dapat menjadi

teladan sekaligus sahabat bagi anak-anaknya.

e. Interaksi Antara Anak dengan Anak

Mengenai interaksi sesama anak Bahri berpendapat bahwa

“hubungan antara sesama anak bisa berlangsung dimana dan kapan saja,

banyak hal yang menjadi penghubung jalannya interaksi antar sesame

25Orthorita Putri Maharani, Hubungan Antara Dukungan Sosial Ayah Dengan Penyesuain

Sosial Pada Remaja Laki-Laki,Jurnal Psikologi 2003, NO. 1, 23 - 35 ISSN : 0215 – 8884, di unduh

(50)

anak, misalnya masalah pelajaran, masalah main, masalah rekreasi, dan

sebagainya.”26

Berdasarkan pendapat di atas bahwa seorang adik yang meminta

bantuan kepada kakaknya bagaimana cara belajar yang baik adalah salah

satu bentuk interaksi antara sesama anak.

Interaksi yang berlangsung antara anak dengan anak tidak hanya

sepihak saja tetapi secara timbal balik, pada suatu waktu mungkin saja

seorang kakak yang memulai pembicaraan untuk membicarakan suatu

hal kepada adiknya, bahasa yang mereka pergunakan sesuai dengan

alam pemikiran dan tingkat penguasaan bahasa yang dikuasai, mereka

bertukar pengalaman, bersenda gurau, bermain atau melakukan aktivitas

apa saja menurut cara mereka masing-masing dalam suka dan duka.

B. Tinjauan Tentang Remaja 1. Pengertian Remaja

Sebelum peneliti menjelaskan lebih jauh tentang remaja terlebih dahulu

peneliti ingin memberikan penjelasan terkait kategori peserta didik usia sekolah

menengah adalah golongan usia remaja yaitu peneliti berpedoman kepada

pendapat Nidya Damayanti yang mengatakan bahwa “siswa-siswi (peserta didik)

SLTP/SLTA adalah siswa siswi yang berada dalam golongan usia remaja.”27

Dari pendapat tersebut jelas bahwa usia remaja adalah mereka yang sedang

26 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak, Rineka Cipta, Jakarta,

2004.,h. 60

(51)

mengenyam pendidikan di tingkat sekolah menengah pertama (SLTP) dan

sekolah menengah atas (SLTA).

Maka secara lengkap definisi tersebut ialah sebagai berikut:

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.28

Selain dari beberapa pendapat di atas terdapat pula pendapat yang

mengatakan bahwa “sejak usia remaja kita bisa langsung membedakan pria dan

wanita, mengenali pria misalnya dari kumis, suara yang berat, jakun, otot-otot

yang kuat, dan lain-lain. Mengenali wanita dari panggulnya yang besar,

payudaranya, suaranya yang lembut, dan lain-lain.”29

Pendapat lain tentang remaja juga dikemukakan oleh Al-Mighwar yang

mengatakan bahwa “remaja yang dalam bahasa aslinya disebut Adolescence,

berasal dari bahasa latin yang artinya tumbuh/tumbuh untuk mencapai

kematangan.”30 Lebih lanjut beliau juga berpendapat bahwa “istilah Adolescence

juga mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional,

sosial, dan fisik.”31

Selanjutnya, Sarwono juga berpendapat bahwa:

Remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik ketika alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya, secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya

28Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Rajawali Pers, 2008, hlm. 9 29Ibid., hlm 59

30Mohammad Ali dan Mohammad Ansori, Op. Cit., hlm. 9.

(52)

yang sempurna secara faali, alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula.32

Sesuai dengan pendapat dari beberapa para ahli di atas dapat diambil

pengertian bahwa remaja adalah suatu usia dimana individu sedang mengalami

proses pertumbuhan dan perkembangan untuk mencapai sebuah kematangan,

pertumbuhan dan perkembangan itu dapat meliputi aspek fisik dan aspek psikis,

perubahan pada aspek fisik contohnya yaitu pada alat-alat kelaminnya sudah

mencapai kematangan, adapun perubahan pada aspek fisik pada remaja

perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan. Sedangkan aspek psikis atau

psikologis pada remaja yaitu mulai matangnya emosi, selain itu perubahan pada

aspek psikologis juga dapat terlihat ketika remaja itu telah mencapai tinglkat

kemandirian yang baik hal ini dapat ditunjukan saat remaja tersebut dalam

menangani masalah ia lebih berfikir dewasa.

Berdasarkan penjelasan dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan

bahwa remaja adalah suatu masa perkembangan anak-anak dari segi fisik

maupun mental, dimana dari segi fisik mereka mengalami perubahan dengan

menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder, lalu dari segi mental mereka

mengalami perkembangan menuju sebuah kedewasaan dan kemandirian.

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Jerslid yang dikutip oleh Sarwono mengungkapkan bahwa “masa remaja

mencakup periode atau masa tumbuhnya seseorang dalam masa transisi dari

(53)

masa kanak-kanak kemasa dewasa.”33 Selain pendapat tersebut, terdapat pula

pendapat yang mengatakan bahwa:

Secara teoritis dan empiris dari segi psikologis, rentangan usia remaja berada pada usia 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita, dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi laki-laki. Jika dibagi atas remaja awal dan remaja akhir, remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai 17/18 tahun, dan remaja akhir dalam rentangan 17/18 tahun sampai 21/22 tahun.34

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa

yang dikatakan remaja ialah mereka yang secara teoritis dan empiris berada pada

usia 12 tahun sampai 21 tahun bagi seorang wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun

bagi laki-laki, dimana pada usia itu seseorang sedang berada pada masa transisi

dari masa kanak-kanak kemasa dewasa.

Kemudian lebih lanjut Al-Mighwar menyebutkan cirri-ciri

Gambar

Gambar 1 46Gambar 2 50
Tabel 1Jumlah Peserta Didik Kelas XI SMAN 3 Bandar Lampung
Tabel 2Bentuk Perilaku Menyimpang Peserta Didik Kelas XI SMAN 3 Bandar
Gambar 1Skema hubungan keluarga dan sekolah dalam kaitannya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan akustik pada sistem ventilasi di kamar mesin, balk pada sa luran udaranya maupun dalam memi/ih fan yang rendah tingkat kebisingannya, dengan lidak mengurangi

Change the word in the bracket into the correct type of Conditional Sentences.. If she prepared her homework everynight, she (get) better

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengetahui apakah ada pengaruh pembelajaran Concept Attainment Model dan Discovery Learning pada pokok materi Evolusi

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik, sehingga penulis dapat

The sores indicated that there is a significant difference in the students’ speaking achievement between the students who are taught by using pictorial story and the students who

Kopetensi berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh guru kelas B1 RA Mazroatul Ulum Pringtulis Nalaumsari Jepara, Ibu Nur Jannah, bahwasanya dalam pembelajaran

Nilai input untuk kecepatan konstan sama besar dengan nilai ramp dan berbanding lurus terhadap waktu sehingga semakin bertambahnya waktu maka nilai inputnya juga akan

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas pertanyaan siswa melalui penerapan model pembelajaran problem posing pada