• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMANS DAN PROFIL PRODUKTIVITAS CALON BIBIT SUMBER SAPI PERANAKAN ONGOLE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERFORMANS DAN PROFIL PRODUKTIVITAS CALON BIBIT SUMBER SAPI PERANAKAN ONGOLE"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMANS DAN PROFIL PRODUKTIVITAS

CALON BIBIT SUMBER SAPI PERANAKAN ONGOLE

(Productivity Performance and Profile of Ongole Crossbred

Replacement Bulls and Heifers)

ARYOGI,E.ROMJALI,D.B.WIJONO danW.C.PRATIWI Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati, Pasuruan 67184

ABSTRACT

The national beef production could be increased by increasing the productivity and population of beef cattle; through improving the genetic quality of beef cattle. The aim of this research was to study productivity performance and profile of some Ongole crossbred as prospective replacement bulls and heifers in Beef Cattle Research Station. The Ongole crossbred prospective candidate cattles, were 32 head of cows and 5 heads of bulls. Every 8 heads of cows were kept together with 1 bull at group stall in Beef Cattle Research Instalation for mating purpose. Cattles were given ration (consists of forage and concentrate) that are prepared with LEISA principle. Paramaters were: productivity performance and profile of cows and bulls, performance of the calves and nutritient consumption. Data are presented descriptively. The results showed that: all bulls were negative from any reproductive diseases like Brucella, Leptospira, Enzootic Bovine Loucosis and Infectious Bovine Rhinotracheitis; semen quality and quantity of bulls (consistency, mass moved, motility, concentration and percentage live of sperm) met the requirement as bulls candidate; their hump height (135.6 ± 2.1 cm) was higher than thase belonged to farmers (134.8 ± 2.9 cm); body weight of cow at early pregnant (273 ± 28 kg ) and early lactation (332 ± 58 kg) were higher than those belonged to farmers (266 ± 13 kg and 298 ± 33 kg); calf rate and calf crop of cow were 87.5% and 77%; birth weight of calves (23 ± 3 kg) were higher than thse belonged to farmers (19 – 20 kg); body weight coeficient variance value of bulls (19%) and cows (15%), enabled to be selected to get better calves; total nutritient ration consumption met the basic requirements of cattles, but nutritient digestibility value of ration maight be low. This early productivity performance and profile of Ongole crossbred bull and cow candidate, met the requirement of prospective cattles.

Key Words: Performance, Profile, Productivity, Prospective Candidate, Ongole Crossing Cattle

ABSTRAK

Untuk meningkatkan produksi daging dalam negeri perlu dilakukan peningkatan produktivitas dan populasi sapi potong; salah satu caranya adalah menyediakan pejantan unggul sebagai bibit sumber untuk memperbaiki mutu genetik sapi. Penelitian bertujuan mengetahui performans dan profil produktivitas beberapa calon bibit sumber sapi Peranakan Ongole yang berada di Loka Penelitian Sapi Potong (Lolitsapo). Calon Bibit sumber sapi potong PO hasil seleksi berupa indukan sebanyak 32 ekor dan pejantan sebanyak lima ekor, ditempatkan di empat kandang kelompok di Lolitsapo (8 indukan : 1 pejantan) dan diatur perkawinannya untuk menghasilkan pedet. Ternak mendapat ransum hijauan dan konsentrat yang disusun berdasar prinsip LEISA. Parameter yang diamati: performans dan profil produktivitas sapi pejantan dan indukan, performans pedet dan konsumsi nutrien ransum ternak. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan: sapi calon pejantan bebas penyakit reproduksi (Brucella, Leptospira, Enzootic Bovine Loucosis dan Infectious Bovine Rhinotracheitis); volume dan kualitas produksi semennya (konsistensi, gerakan massa, motilitas, konsentrasi dan hidup mati spermatozoa) telah memenuhi standar sebagai bibit sumber; tinggi gumba sapi (135,6 ± 2,1 cm) di atas rata-rata sapi di peternak (134,8 ± 2,9 cm); berat badan awal bunting dan awal laktasi sapi calon induk bibit sumber (273 ± 28 kg dan 332 ± 58 kg) lebih tinggi dibanding yang di peternak (266 ± 13 kg dan 298 ± 33 kg); calf rate dan calf crop induk sebesar 87,5 % dan 77 %; berat lahir pedet (23 ± 3 kg) lebih tinggi dibanding yang di peternak (19 – 20 kg); koefisien keragaman berat badan sapi pejantan (19%) dan indukan (15%) memungkinkan untuk dilakukan seleksi guna menghasilkan performans pedet yang lebih baik; serta jumlah konsumsi nutrien ransum telah memenuhi kebutuhan ternak, tetapi diduga nilai kecernaannya rendah. Disimpulkan, performans dan profil

(2)

produktivitascalon bibit sumber sapi Peranakan Ongole di Lolitsapo, memenuhi persyaratan awal sebagai calon bibit sumber.

Kata Kunci: Performans, Profil, Produktivitas, Bibit Sumber, Sapi Peranakan

PENDAHULUAN

Populasi sapi potong (lokal maupun silangan) saat ini sedang dalam kondisi yang mengkhawatirkan, yaitu dalam 5 tahun terakhir telah terjadi penurunan sebesar 4,1% atau dari populasi 11.137.000 ekor pada tahun 2001 menjadi 10.680.000 ekor pada tahun 2006 (LUTHAN, 2006). Untuk meningkatkan kembali populasi sapi potong tersebut, langkah yang dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan produktivitas (produksi dan reproduksi) nya melalui penyediaan sapi-sapi pejantan yang unggul. Produktivitas seekor sapi potong yang tinggi, disamping akan menghasilkan produksi daging yang banyak sehingga akan mengurangi jumlah sapi yang harus dipotong untuk memenuhi permintaan daging, juga akan meningkatkan natural increase.

Sapi Peranakan Ongole (PO) adalah salah satu sapi lokal Indonesia yang populasinya cukup besar dan tersebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia, sehingga mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Sapi PO dilaporkan merupakan hasil persilangan yang tak beraturan dan berlangsung lama antara sapi lokal di Jawa dengan sapi Sumba Ongole (SO) yang berasal dari Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (SUSILOWATI et al., 2004). Sapi SO adalah hasil perkembangbiakan dari sapi Ongole (dari India) yang pada pertengahan abad 20 telah diternakkan di Pulau Sumba (HARDJOSUBROTO, 1994).

Beberapa penelitian dan pengamatan telah melaporkan bahwa sapi PO merupakan sapi tipe dwiguna, tahan serangan penyakit parasit, temperatur udara panas, kelembaban udara rendah, daerah kering, pakan terbatas kualitas dan kuantitasnya, serta efisiensi reproduksi (S/C, CI) lebih efisien dibanding sapi silangan

Bos taurus dengan Bos indicus yang dipelihara dengan kondisi peternak rakyat. Laju pertumbuhan/pertambahan berat badan sapi PO yang lebih kecil dibanding sapi silangan (tetapi tetap efisien karena sesuai kuantitas dan

telah dipahami secara kurang tepat oleh peternak sehingga sapi PO dianggap kalah menguntungkan untuk dipelihara dibanding sapi silangan.

Loka Penelitian Sapi Potong sebagai Unit Pelaksana Teknis yang mempunyai mandat nasional melakukan penelitian dan pengembangan sapi potong, telah mempunyai beberapa pejantan dan indukan sapi PO sebagai bibit sumber (sapi yang dibudidayakan untuk menghasilkan calon-calon sapi bibit) penghasil calon pejantan unggul. Namun karena mutu genetiknya masih perlu ditingkatkan dan jumlah sapinya masih terbatas sehingga belum memadai untuk melayani kebutuhan masyarakat, maka masih diperlukan upaya perbaikan mutu genetik, serta perbanyakan dan penyebaran populasi ternaknya, terutama sebagai sapi pejantan unggul. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui performans produktivitas (produksi dan reproduksi) dan profil produktivitas dari beberapa sapi Peranakan Ongole yang telah terpilih sebagai calon bibit sumber.

MATERI DAN METODE

Kegiatan ini berupa off farm research

selama 11 bulan, dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong, serta menggunakan materi sapi bibit sumber hasil seleksi di peternak rakyat yang berupa 5 sapi PO pejantan dan 32 sapi PO indukan atau dara siap kawin. Pada sapi pejantan, sebelum digunakan sebagai pemacek terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sampel darah ke Balai Besar Penelitian Veteriner di Bogor untuk memastikan bahwa ternaknya bebas/negatif dari beberpa penyakit penting yang penularan/penyebarannya melalui aktivitas reproduksi seperti Brucella, Leptospira, Enzootic Bovine Loucosis dan Infectious Bovine Rhinotracheitis.

Untuk terjadi kebuntingan dan menghasilkan anak sebagai calon perbanyakan bibit sumber atau sebagai penghasil calon

(3)

pejantan dipelihara secara kelompok di 4 kandang (masing-masing kandang berisi 8 ekor induk dan 1 ekor pejantan). Semua sapi telah diberi identitas berupa nomor telinga dan dilengkapi dengan skema perkawinan yang tersusun secara jelas dan terencana untuk setiap induk dan pejantan, sehingga setiap anak sapi yang dihasilkan akan mempunyai catatan silsilah tetuanya yang jelas.

Mulai bulan kedua dari masa penelitian, dua kali setiap bulannya dilakukan pengukuran produksi dan kualitas semen sapi pejantan; sedangkan setiap dua bulan dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi rectal. Sapi induk yang positif bunting dipindah ke kandang kelompok, mulai umur kebuntingan 7 bulan dipindah ke kandang individu sampai pedetnya disapih umur 205 hari.

Selama pemeliharaan, sapi diberi ransum yang disusun berdasarkan prinsip LEISA (low external input sustainable agriculture), jumlah bahan keringnya sekitar 4% berat badan ternak, mengandung protein kasar 9 – 11% dan TDN

60 – 70%. Ransum terdiri dari 60% hijauan (jerami padi, rumput gajah dan leguminosa) dan 40% konsentrat (25% konsentrat komersial dan 75% konsentrat formula sendiri). Jenis dan komposisi bahan pakan penyusun ransum yang diberikan ke ternak tercantum dalam Tabel 1, sedang kandungan nutrien konsentrat dan ransumnya di Tabel 2.

Parameter yang dapat diamati

a. performans produktivitas pejantan, yaitu: perkembangan berat badan serta libido, kuantitas dan kualitas produksi semen b. performans produktivitas indukan, yaitu:

perkembangan berat badan, jumlah induk yang berhasil bunting (calf rate) dan jumlah pedet yang dilahirkan (calf crop) selama penelitian

c. performans pedet, yaitu: berat lahir

d. profil produktivitas sapi pejantan bibit sumber

Tabel 1. Jenis dan komposisi bahan pakan penyusun ransum yang diberikan ke ternak

Pakan Jenis bahan Komposisi

(% segar ransum)

Jumlah pemberian (kg/ekor/hari)

Hijauan Rumput Gajah

Jerami padi Gliricidia 18 30 18 3 5 3 Konsentrat Pabrikan

Buatan sendiri (% segar): tumpi jagung : 40 dedak padi : 34 kulit kopi : 12 tetes : 3 garam :10 mineral : 1 9 25 (10,0) (8,5) (3,0) (0,75) (2,5) (0,25) 1,4 4,2 - - - - - -

Tabel 2. Kandungan nutrien konsentrat dan ransum yang diberikan ke ternak (% BK)

Uraian BK PK SK TDN

Konsentrat pabrikan Konsentrat buatan sendiri Ransum 88,4 78,8 73,5 10,1 9,3 10,1 20,1 25,6 32,4 64,2 56,3 66,2 BK = bahan kering; PK = protein kasar; SK = serat kasar; TDN = total digestible nutrient

(4)

e. profil produktivitas sapi indukan bibit sumber

f. konsumsi nutrien ransum ternak

Data yang diperoleh diolah dan disajikan secara deskriptif

HASIL DAN PEMBAHASAN Performans produktivitas

Sapi pejantan calon bibit sumber kesehatan reproduksi

Pemeriksaan sampel darah oleh Balai Besar Penelitian Veteriner di Bogor, menunjukkan hasil bahwa ke lima sapi pejantan calon bibit sumber dipastikan bebas/negatif dari beberapa penyakit penting yang penularan/ penyebarannya melalui aktivitas reproduksi seperti Brucella, Leptospira, Enzootic Bovine Loucosis (EBL) dan Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBL), sehingga secara klinis ke lima sapi tersebut memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai pejantan bibit sumber.

Tinggi gumba (TG) dan berat badan (BB) bibit sumber yang digunakan sebagai pejantan di awal penelitian, tampak di atas sapi pejantan (pada umur yang sama, yaitu antara I-1 sampai I-2) yang digunakan oleh peternak rakyat di beberapa desa sentra sapi PO di kabupaten Tuban, Bojonegoro, Bondowoso dan Situbondo tahun 2006 yang rata-ratanya sebesar 134,8 ± 2,9 cm dan 399 ± 58 kg. Standar khusus yang ditetapkan oleh Balai Besar Inseminasi Buatan (BIBB) Singosari untuk pejantan sapi PO, pada umur I-2 : TG minimal nya 145 cm dan BB nya di atas 450 kg. Beberapa sapi pejantan yang ada di peternak rakyat, mampu mencapai standar BBIB tersebut pada saat berumur I-3, yaitu TG = 145,7 cm dan BB = 516 kg. Mengingat pejantan yang digunakan dalam

penelitian masih memungkinkan untuk tumbuh, maka diperkirakan target BBIB tersebut dapat terpenuhi saat pejantan mulai mencapai umur I-3.

Perkembangan berat badan

Pada awal penelitian, rata-ratanya tinggi gumba sapi pejantan sebesar 135,6 ± 2,1 cm dan berat badannya 338 ± 34 kg, sedangkan pada akhir penelitian berat badan rata-ratanya sebesar 497 ± 45 kg. Selama penelitian, ternak mengalami pertambahan berat badan harian sebesar 0,51 ± 0,03 kg atau mengalami peningkatan berat badan sebesar 159 kg (47%). Perkembangan berat badan per bulan dari ke lima sapi pejantan selama penelitian, rata-ratanya tercantum dalam Gambar 1.

300 325 350 375 400 425 450 475 500 525 aw 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 bulan pemeliharaan be ra t ba da n (k g)

Gambar 1. Perkembangan berat badan sapi pejantan calon bibit sumber

Libido serta produksi dan kualitas semen pejantan

Hasil pemeriksaan libido serta produksi dan kualitas semen terhadap 5 sapi bibit sumber pejantan (diamati 2 kali/bulan selama 9 bulan), data rata-ratanya di Tabel 3.

Tabel 3. Libido, produksi dan kualitas semen bibit sumber sapi pejantan No. Libido (detik) pH Warna Volume (ml) Kekentalan GM Motil (%) Konsentrat (x106/c) H/M (%) 01 179 7 Krem 3,25 Kental +++ 75 182 95/5 02 170 7 Susu 2,50 Sedang ++ 70 143 89/11 03 412 7 Bening 1,75 Encer + 70 84 84/16 04 184 7 Kuning 2,00 Sedang ++ 70 75 87/13 awal

(5)

(Sapi 01) (Sapi 02)

(Sapi 03) (Sapi 04)

Gambar 2. Performans eksterior calon-calon sapi pejantan

Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa kualitas semen dari 5 ekor pejantan bibit sumber, 4 ekor diantaranya (Gambar 2) memenuhi standar persyaratan sebagai sapi pejantan yang ditetapkan oleh ANONIMUS (2003), yaitu: pH 6,2 – 7,0; warna minimal putih susu; konsistensi minimal sedang; gerakan massa minimal ++; motil minimal 70%; konsentrasi minimal 1 x 106 per cc dan ANONIMUS (2005) yaitu hidup/mati minimal 70/30%. Seekor sapi jantan (nomor 3) yang belum memenuhi persyaratan sebagai pejantan, diduga karena umurnya yang masih muda (I-1 awal), sehingga tingkat kedewasaan kelamin/ tubuh ternaknya belum maksimal.

Sapi indukan bibit sumber perkembangan berat badan

Perkembangan berat badan bibit sumber sapi indukan selama penelitian, datanya termuat

dalam Gambar 3. Rata-rata berat badan di awal penelitian 223 ± 31 kg dan diakhir penelitian 322 ± 38 kg. Pertambahan berat badan ternaknya adalah 99 kg selama 10 bulan atau sekitar 0,32 ± 0,11 kg/hari. Pertambahan berat badan induk selama penelitian cukup kecil, tetapi diduga telah mencapai berat badan minimal tertentu yang memungkinkan terjadinya aktivitas reproduksi, yaitu ditunjukkan dengan kemampuan sapi untuk beranak. HINOJOSA et al. (2003) menyatakan bahwa variabel utama pemeliharaan sapi indukan sebagai penghasil bibit adalah keberhasilan ternaknya untuk dapat beranak setiap tahun.

Berat badan sapi indukan pada status fisiologis awal kebuntingan adalah 273 ± 28 kg, pada awal laktasi/beranak 332 ± 58 kg dan pada saat menyusui sampai umur pedetnya 3,8 ± 1,1 bulan (belum sapih) adalah 304 ± 77 kg. WESTHUIZENet al. (2001) mengatakan bahwa

(6)

sapi akan mengalami estrus (awal proses terjadinya kebuntingan), ternyata lebih ditentukan oleh kapan sapi tersebut mampu mencapai berat badan tertentu dari pada oleh kapan sapi tersebut mencapai umur dewasa kelamin/tubuhnya. Pada penelitian ini diduga pencapaian berat badan tersebut adalah 273 ± 28 kg. 200 240 280 320 360 awal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 akhi r Bulan pemeliharaan kg

Gambar 3. Perkembangan berat badan sapi indukan calon bibit sumber

Berat badan induk saat awal bunting dan awal laktasi, tampak lebih tinggi dibanding dengan hasil penelitian ARYOGI (2005) terhadap sapi induk muda PO di Jatim yang sebesar 266 ± 13 kg dan 298 ± 33 kg. Berat badan induk yang cukup tinggi pada awal laktasi akan sangat mendukung/ berkorelasi positip dengan perkembangan pedet yang menyusuinya, karena menurut TILLMANet al.

(1998) sapi induk yang menyusui akan terlebih dahulu memanfaatkan nutrien yang ada di tubuhnya untuk mencukupi kebutuhan anaknya sebelum untuk kebutuhan yang lain.

Penurunan berat badan induk yang tidak terlalu besar tampak terjadi pada sapi induk yang sedang menyusui pedetnya sampai umur sekitar 3,8 bulan, yaitu dari 332 kg menjadi 304 kg (turun 28 kg atau 8 % dari berat badan awal menyusui). Hal ini diduga terjadi karena disamping umur pedet yang masih muda dan pertumbuhan pedet yang tidak terlalu besar (50 kg selama 4 bulan) sehingga kebutuhuhan susu pedet belum/tidak banyak, juga karena berat badan induk di awal laktasi yang cukup bagus. Hasil penelitian ARYOGI (2005) melaporkan bahwa penurunan berat badan induk PO selama menyusui pedetnya 3 – 4 bulan di peternak

rakyat Jawa Timur adalah dari 299 kg menjadi 257 atau terjadi penurunan 42 kg.

Jumlah induk yang berhasil bunting (calf rate) dan beranak (calf crop)

Sampai akhir penelitian, dari 36 indukan yang dikawinkan secara alam di kandang kelompok dengan perbandingan pejantan : indukan = 1 : 8, berhasil bunting sebanyak 31 ekor (calf rate (CR) = 87,5 %), kemudian 24 induk diantaranya telah beranak (calf crop

(CC) = 77 %). Nilai CR hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan patokan yang sering digunakan sebagai standar dalam memperkirakan perkembangan populasi sapi di suatu kawasan, yaitu sekitar 65%. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan alam menggunakan sapi pejantan di kandang kelompok, adalah cukup efektif mendukung keberhasilan terjadinya kebuntingan.

Nilai CC yang tidak sebesar dengan nilai CR nya, terjadi karena awal mulai bunting antar induk yang tidak bersamaan/menyebar di hampir semua bulan, sehingga sampai akhir penelitian masih ada beberapa ekor induk yang belum beranak.

Performans pedet

Berat lahir

Dari 24 pedet yang dihasilkan (13 jantan dan 11 betina), rata-rata berat lahirnya setelah dikonversikan ke pedet jantan adalah 23 ± 3 kg. Berat lahir pedet tersebut lebih besar dibanding yang dilaporkan di Jateng yang sebesar 19,6 kg (ANONIMUS, 2002) atau di Jatim yang sebesar 18,9 kg (ARYOGI, 2005). Hal ini diduga karena ukuran tinggi gumba (TG) bibit sumber yang digunakan (sapi pejantan 136 ± 2 cm, sapi indukan 122 ± 5 cm) lebih tinggi dari sapi pejantan (pada umur yang sama, yaitu antara I-1 sampai I-2) yang digunakan oleh peternak rakyat di beberapa desa sentra sapi PO di kabupaten Tuban, Bojonegoro, Bondowoso dan Situbondo tahun 2006 yang rata-ratanya sebesar 135 ± 3 cm, serta sapi indukan yang ada di peternak rakyat Jateng, DIY dan Jatim yang sebesar 119 – 121 cm (WAHYONOet al., 2003). PHILLIPS (2001) menyatakan bahwa berat lahir pedet adalah

(7)

bersifat genetis, tetua yang mempunyai ukuran tubuh besar (bukan kondisi gemuk kurusnya) akan menghasilkan anak dengan berat lahir yang besar; sementara WESTHUIZEN et al. (2001) menyatakakan bahwa ukuran tubuh sapi potong berkorelasi positip dengan berat lahir anak keturunannya, sehingga digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi. Berat lahir yang cukup tinggi pada pedet yang dihasilkan oleh bibit sumber, diharapkan akan mampu menghasilkan sapi-sapi materi penelitian yang mempunyai ukuran tubuh semakin besar. Profil produktivitas

Sapi pejantan bibit sumber

Performans berat badan dan koefisien keragaman sapi pejantan bibit sumber tampak cukup bervariasi antar ternak (385 ± 75 kg dan 19 %) dan antar saat mengawini indukannya (409 ± 65 kg dan 16%). Kondisi ini memberikan peluang yang cukup besar untuk melakukan seleksi dengan lebih memanfaatkan sapi pejantan yang berat badannya tinggi guna penghasilkan pedet yang tinggi berat lahirnya. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sapi pejantan yang saat mengawini indukan dan berhasil bunting mempunyai berat badan di atas rata-rata (471 ± 27 kg), akan menghasilkan pedet dengan berat lahir yang lebih besar (24 ± 2 kg) dibanding sapi pejantan yang berat badannya di bawah rata-rata (382 ± 16 kg dan berat lahir pedetnya 22 ± 3 kg). Berat lahir sapi potong mempunyai nilai heritabilitas (h2) yang tinggi, yaitu 20 – 58% (HARDJOSUBROTO, 1994), tetapi jarang digunakan sebagai dasar seleksi karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya dystocia. Dalam penelitian ini, terbukti bahwa berat badan sapi pejantan Peranakan Ongole sampai 512 kg tidak menyebabkan terjadinya dystocia

terhadap pedet keturunannya yang berat lahir 26 kg.

Dari 31 sapi induk yang berhasil bunting, ternyata 42% (13 induk) dan 32% (10 induk) diantaranya hasil perkawinannya dengan pejantan nomor 1 dan 5 (Tabel 6.). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat fertilitas sapi jantan sebagai pejantan, lebih ditentukan oleh tingkat kualitas dan volume produksi semennya, sedangkan tingkat libidonya lebih sebagai pendukungnya.

Sapi indukan bibit sumber

Koefisien keragaman berat badan saat awal laktasi yang cukup tinggi dari sapi indukan bibit sumber (15%), memberikan peluang untuk melakukan seleksi terhadap sapi-sapi indukan tersebut agar dapat diperoleh berat sapih pedet-pedet turunannya yang lebih baik. Data hasil penelitian ini menunjukkan, sapi indukan yang berat badan saat awal laktasinya di atas rata-rata (356 ± 40 kg) akan menghasilkan pedet dengan berat badan 77 ± 35 kg pada umur 5 ± 2 bulan, sedang induk yang di bawah rata-rata (278 ± 16 kg) akan menghasilkan pedet pada umur yang sama dengan berat 62 ± 43 kg.

Konsumsi nutrien ransum bibit sumber

Sistem pemeliharaan sapi di kandang model kelompok, menyebabkan pengukuran konsumsi nutrien ransum ternaknya tidak dapat dilakukan secara per individu dan tidak dapat dibedakan antara sapi indukan dengan sapi pejantan. Data rata-rata konsumsi nutrien ransum sapi bibit sumber, tercantum dalam Tabel 7.

Ransum yang dikonsumsi ternak selama penelitian, rata-rata jumlah bahan keringnya sebesar 3,6% berat badan ternak, terdiri dari (dasar bahan kering): rumput gajah 10%, jerami padi 33%, leguminosa 13%, konsentrat pabrik 11% dan konsentrat formula sendiri 33%; sedangkan rata-rata kandungan nutriennya adalah: bahan kering 51%, protein kasar 9%, serat kasar 28% dan TDN 54%.

Konsumsi nutrien ransum tampak telah mencukupi/melebihi kebutuhan ternak kecuali serat kasarnya yang kurang 6%. Namun demikian, kecukupan nutrien yang dikonsumsi ternak tersebut ternyata hanya mampu menghasilkan rata-rata pertambahan berat badan sebesar 0,3 kg/hari dari target 0,40 kg/hari. Hal ini terjadi diduga karena faktor kecernaan nutrien ransumnya yang rendah, sehingga hanya sebagian nutrien yang termanfaatkan ternak untuk meningkatkan berat badannya. BONDI (1987) menyatakan bahwa ransum yang disusun dari bahan-bahan yang tinggi kandungan serat kasarnya, akan menurunkan nilai kecernaan atau nilai manfaat nutriennya bagi ternak.

(8)

Tabel 7. Rata-rata konsumsi nutrien ransum sapi bibit (kg/ekor/hari)

Bahan ransum Segar BK PK SK TDN

Rumput Gajah 5,5 1,04 0,09 0,39 0,53

Jerami padi 5,0 3,50 0,13 1,36 1,36

Leguminosa 4,8 1,44 0,27 0,40 1,09

Konsentrat pabrik 1,5 1,20 0,12 0,36 0,77

Konsentrat formula sendiri 4,5 3,60 0,33 1,15 2,03

Total 21,3 10,78 0,94 3,66 5,78

Kebutuhan ternak* 8,10 0,81 3,90 5,70

- / + dari kebutuhan (%) 2,68 (33) 0,13 (16) -0,24 (6) 0,08 (1) Sapi Bos indicus, berat badan 300 kg dan ADG 0,4 kg (RANJHAN, 1980): BK = bahan kering; PK = protein kasar; SK = serat kasar; TDN = energi

KESIMPULAN

Berdasarkan performans dan profil produktivitas ternaknya, beberapa pejantan dan indukan sapi Peranakan Ongole di Lolitsapo adalah memenuhi persyaratan awal untuk dijadikan sebagai sapi calon bibit sumber.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 2003. Semen Beku Sapi Bali. UPTD Peternakan Prop. Bali. Tabanan

ANONIMUS. 2005. Teknologi Pemisahan Spermatozoa X dan Y Pada Sapi Potong. Lolitsapo, Grati, Pasuruan.

ANONIMUS. 2002. Analisa potensi genetik berbagai genotip sapi potong. Laporan Akhir Proyek TA. 2002. Loka Penelitian Sapi Potong Grati Pasuruan. Puslitbangnak. Departemen Pertanian. Bogor.

ARYOGI. 2005. Kemungkinan Timbulnya Interaksi Genetik dan Ketinggian Lokasi Terhadap Performan Sapi Potong Silangan Peranakan Ongole di Jawa Timur. Tesis S2. Program Studi Ilmu Peternakan. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. BONDI, A.A. 1987. Animal Nutrition. English

Edition. John Wiley & Sons Ltd. Chichester. Great Britain.

HARDJOSUBROTO,W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Grasindo. Jakarta HINOJOSA, A., A. FRANCO and I. BOLIO. 2003

Genetic and Environmental Factors Affecting Calving Inter val In A Commercial Beef Herd In A Semi-Humid Tropical Environment.

LUTHAN,F. 2006. Kebijakan program swasembada daging 2010. Proc. Orasi dan Seminar Menyongsong Rencana Kecukupan Daging Tahun 2010. Fak. Peternakan Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta.

PHILLIPS, A. 2001. Genetic Effects on The Productivity of Beef Cattle. http://www. Dpif.nt.gov.au/ dpif/pubcat.

RANJHAN,S.K. 1980. Animal Nutrition In Tropics. Second edition. Vikas Publishing House LTD. New Delhi.

SUSILOWATI, T., I. SUBAGIYO, KUSWATI, A. BUDIARTO, MUHARLIEN dan M.Y. AFRONI. 2004. Inventarisasi Ternak Lokal Jawa Timur. Kerjasama antara Fak. Peternakan Unibraw dengan Dinas Peternakan Prop. Jatim. TILLMAN,A.D.,H.HARTADI,S.REKSOHADIPRODJO,

S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke 4. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

WAHYONO,D.E.,D.B.WIJONO,P.W.PRIHANDINI,B. SETIADI dan U.KUSNADI. 2003. Pembentukan bibit unggul sapi potong. Laporan Akhir Penelitian T.A. 2002. Lolitsapo, Grati, Pasuruan.

WESTHUIZEN, R.R.,S.J.SCHOEMAN,G.F.JORDAAN

and J.B.VAN WYK. 2001. Genetik Parameters for Reproductive Traits In A Beef Cattle Herd Estimated Using Multitrait Analysis. http://www.sasas.co.za/sajas.html.

Gambar

Tabel 1. Jenis dan komposisi bahan pakan penyusun ransum yang diberikan ke ternak
Tabel 3. Libido, produksi dan kualitas semen bibit sumber sapi pejantan
Gambar 2. Performans eksterior calon-calon sapi pejantan
Gambar 3.  Perkembangan berat badan sapi indukan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Rumah menjadi tempat bagi keluarga untuk hidup dan mengembangkan karunia Allah dalam diri mereka.. Rumah juga menjadi tempat berelasi dengan lingkungan masyarakat sekitar, dengan

Pengendalian parkir di Pantai Sanur, di Pantai Segara dan Pantai Sindhu untuk memenuhi kebutuhan parkir diperlukan untuk menyediakan parkir diluar badan jalan

Dengan demikian dapat disimpulkan dari hasil tes diketahui bahwa produk yang digunakan dapat membantu memfasilitasi proses pembelajaran dan efektif digunakan dalam

Tabel 2 dan tabel 3 masing-masing menunjukkan rugi- rugi daya saluran setelah terjadi resonansi akibat pemasangan kapasitor bank dan filter.. Tabel 1 sampai tabel 3

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Barat | Triwulan II 2014 Sektor Industri Pengolahan, Pendorong Pertumbuhan 31 Dalam aspek penyaluran kredit, perlambatan

(arakteristik dari striktur adalah perubahan epitel uretra oleh aringan +ibrosa padat karena trombo+lebitis lokal di korpus spongiosum dalam. 2pitel itu sendiri biasanya

Beberapa poin didalam pembangungan yang berkelanjutan di bidang industri pariwisata akan didiskusikan dalam ruang lingkup peran pemangku kebijakan, sektor pendukung

sesuai dengan pawos 68 ayat 6 yaitu: (a) faktor kemanusiaan; (b) hak asasi manusia; (c) untuk memberikan motivasi kepada laki-laki agar tidak takut untuk