• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 5 BAB II LANDASAN TEORI A.Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin atau keduanya (Purnamasari, 2009). Sebelumnya World Health Organization (WHO) juga telah merumuskan bahwa DM merupakan suatu kumpulan problem anatomi dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana terdapat defisiensi hormon insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi hormon insulin (WHO, 1999).

Secara epidemiologi diabetes sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini (Purnamasari, 2009).

Dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138%, yang disebabkan oleh karena :

a. Faktor demografi: 1) Jumlah penduduk meningkat; 2) Penduduk usia

(2)

b. Gaya hidup yang kebarat-baratan: 1) Penghasilan per capita tinggi; 2) Restoran siap santap; 3) Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang aktifitas tubuh

c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi

d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes lebih panjang (Suyono, 2009).

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2006), membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Gejala tidak khas DM di antaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan proritus vulva pada wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah satu kali saja sudah cukup menegakkan diagnosis abnormal (Purnamasari, 2009). Sedangkan menurut standar pelayanan medis ADA 2010, diagnosis DM dapat ditegakkan melalui kriteria pada Lampiran 1.

Klasifikasi Diabetes Melitus (Tjokroprawiro, 1994; ADA, 2010): a. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes Melitus Tipe 1 ini disebabkan oleh karena adanya proses autoimun/idiopatik yang menyebabkan defisiensi hormon insulin absolut. DM ini disebabkan oleh kekurangan hormon insulin dalam darah yang terjadi karena kerusakan dari sel beta pankreas. Hal ini berkaitan dengan adanya faktor herediter antara lain, yaitu sel-sel yang

(3)

commit to user

rentan terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta yang juga mengarah pada penghancuran sel-sel beta. Gejala yang menonjol adalah penderita kencing (terutama malam hari), mudah lapar dan sering haus. Sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan suntikan insulin seumur hidup (Tjokroprawiro, 1994).

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus Tipe 2 ini bervariasi, mulai dominan resistensi hormon insulin disertai defisiensi hormon insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi hormon insulin disertai resistensi hormon insulin. DM ini disebabkan hormon insulin yang ada dalam tubuh tidak dapat bekerja dengan baik, kadar hormon insulin normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsinya untuk metabolisme glukosa kurang akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia. Ada 75% dari penderita DM tipe 2 diketahui DM setelah usia 30 tahun (Tjokroprawiro, 1994).

c. Tipe Lain

1) Defek genetik fungsi sel beta 2) Defek genetik kerja hormon insulin 3) Penyakit eksokrin pankreas

4) Endokrinopati

(4)

6) Infeksi

7) Sebab imunologi yang jarang

8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM d. Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes Melitus gestasional adalah keadaan intoleransi

karbohidrat dari seorang wanita yang diketahui pertama kali ketika selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga dan kembali normal dalam 6 minggu setelah persalinan, yang terjadi karena kelainan yang dipicu oleh kehamilan, diperkirakan karena terjadinya perubahan pada metabolisme glukosa. Sering asimtomatis sehingga diagnosis ditentukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan rutin (Aini et al., 2011).

Jika kadar gula darah terus-menerus tinggi ini berarti tidak terkontrol, lama-kelamaan akan timbul komplikasi yang pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah, misalnya pembuluh darah otak (stroke), pembuluh darah mata (dapat terjadi kebutaan), pembuluh darah ginjal (GGK-hemodialisis), dan lain-lain. Jika sudah terjadi komplikasi ini maka usaha untuk menyembuhkan keadaan ini sangat sulit. Oleh karena itu, usaha pencegahan dini untuk komplikasi tersebut diperlukan dan diharapkan sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya berbagai hal yang tidak menguntungkan (Depkes RI, 2003).

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes terdiri dari terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi

(5)

commit to user

meliputi edukasi, perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan dan latihan jasmani, dan terapi farmakologi seperti obat anti hiperglikemi oral dan hormon insulin, yang pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologi yang telah dilakukan tidak memberikan hasil yang cukup berarti (Yunir et al., 2009).

2. Tes Hemoglobin A1c (HbA1c)

Tes hemoglobin A1c dapat disebut juga uji glikohemoglobin atau hemologlobin terglikosilasi. HbA1c adalah tes yang digunakan untuk melihat kontrol rata-rata gula darah selama periode 6 minggu hingga 3 bulan. Oksigen di seluruh tubuh diangkut oleh hemoglobin yang terdapat pada eritrosit. Hemoglobin dapat bergabung dengan glukosa yang masuk ke dalam darah pada saat tubuh mengalami peningkatan kadar glukosa dan mengalami proses yang disebut glikosilasi. Reaksi pengikatan aldehid pada protein dikenal sebagai reaksi glikosilasi. Glikosilasi terjadi jika hemoglobin bercampur dengan larutan berkadar glukosa tinggi, rantai beta molekul hemoglobin mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel. Selain itu, glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi.

Sehingga tingkat HbA1c dapat mencerminkan tingginya glukosa pada darah (Dansinger, 2012).

HbA1c terbentuk karena adanya penambahan glukosa terhadap asam amino valin N-terminal pada rantai a-hemoglobin [a-N (1- deeoxy) fructosyl-Hb]. HbA1c biasa dinyatakan sebagai presentasi total

(6)

hemoglobin. Diagnosis ditegakkan bila kadar HbA1c dinyatakan ≥ 6,5% (Setiawan, 2011).

Rekomendasi International Expert Commite 2009 untuk

mendiagnosis dan identifikasi tinggi individu risiko tinggi dalam HbA1c adalah:

a. HbA1c adalah pemeriksaan kadar glikemik kronik yang tepat dan

akurat serta berkorelasi positif dengan risiko komplikasi DM.

b. HbA1c memiliki beberapa kelebihan dibanding pemeriksaan

glukosa.

c. Diagnosis ditegakkan bila nilai ≥ 6,5%. Diagnosis dikonfirmasi dengan pengulangan. Konfirmasi tidak dilakukan jika individu menunjukkan gejala dan kadar gula plasma > 200 mg/dl.

d. HbA1c diindikasikan pada suspect DM namun tidak didapati

gejala klasik dan kadar gula plasma < 200 mg/dl ( > 11,1 mmol/L). e. Tidak didapati adanya ambang batas glikemik yang rendah pada

awal risiko DM.

f. Kadar HbA1c 6,4% diduga lebih berisiko berkembang menjadi DM (Setiawan, 2011).

Hemoglobin yang mengalami glikosilasi pada orang normal hanya berkisar 5%, namun pada penyandang DM meningkat secara proposional. Nilai normal tes HbA1c bila kadar HbA1c menunjukkan angka 4,0-6,0% selama 6 minggu sampai 3 bulan. Hasil pemeriksaan dapat dipengaruhi kehamilan, anemia, gagal ginjal, dan hemoglobinopati.

(7)

commit to user

Pada individu yang normal, HbA1c mempunyai faktor bias minimal. Adapun hal-hal yang dapat memengaruhi HbA1c selain yang disebutkan di atas adalah ras, rentang hidup eritrosit dimana pada seseorang yang mempunyai penyakit hemolitik akan memperlihatkan kelangsungan hidup eritrosit yang singkat dan kadar HbA1c yang rendah, varian hemoglobin seperti HbS, HbE, HbD, dan HB. Kadar HbA1c menunjukkan konsentrasi gula darah jangka panjang dimana pemeriksaan ini dapat dipakai sebagai pengukuran keberhasilan terapi, target, dan proses pencegahan komplikasi (Sacks, 2013).

Ketika HbA1c di atas 7% maka faktor risiko terjadinya komplikasi dari DM semakin besar. Namun pemeriksaan HbA1c akan memiliki hasil yang signifikan apabila pemeriksaan HbA1c dikombinasikan dengan manifestasi klinis (Williams et al., 2009).

Sebuah penelitian studi cross sectional menemukan korelasi yang signifikan antara skor kecemasan dengan HbA1c (korelasi koefisien, 0,41, p = 0,03) dan kadar gula darah postpradial (korelasi-koefisien, 0,51, p =

0,02) sehingga pemeriksaan HbA1c dan gula darah postprandial dapat menunjukkan kualitas pengendalian DM dan secara tidak langsung menunjukkan adanya gangguan kecemasan pada penyandang DM tipe 2 (Balhara, 2011).

3. Kecemasan

Kecemasan atau yang dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari bahasa Latin “Angustus” yang berarti kaku atau “ango, anci” yang

(8)

berarti tercekik atau tercekat (Trismiati, 2004). Kecemasan adalah keadaan tegang yang berlebihan atau tidak pada tempatnya yang ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut (Maramis, 2009). Sedangkan menurut Barlow dan Durand (2006) kecemasan adalah keadaan suasana hati yang berorientasi pada masa yang akan datang, yang ditandai oleh adanya kekhawatiran karena manusia tidak dapat memprediksi atau mengontrol kejadian yang akan datang.

Perkiraan prevalensi gangguan kecemasan di masyarakat (per 1000 orang) adalah : gangguan kecemasan menyeluruh 30%, gangguan panik 15%, agorafobia 20%, fobia sosial 30%, fobia sederhana 45%, dan gangguan obsesif-kompulsif (yang tidak berhubungan dengan gangguan kecemasan lain) 10%. Di pelayanan kesehatan primer prevalensinya adalah 7,9% gangguan kecemasan menyeluruh dan 2,6% gangguan panik (Maramis, 2009).

Tingkat kecemasan yang diderita oleh seseorang dengan orang lain berbeda. Oleh karena itu perlu dibedakan antara kecemasan yang normal dan kecemasan yang patologis. Kecemasan yang normal adalah suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, perubahan, pengalaman sesuatu yang baru dan belum dicoba, dan penemuan identitasnya sendiri serta arti hidup. Sedangkan kecemasan patologis adalah respons yang tidak sesuai terhadap stimulus yang diberikan berdasarkan pada intensitas atau durasinya (Kaplan, 2010).

(9)

commit to user

Etiologi dari gangguan kecemasan belum diketahui secara pasti, namun diduga dua faktor yang berperan terjadi di dalam gangguan kecemasan yaitu, faktor biologi dan psikologi (Idrus, 2006).

Faktor biologi yang berperan pada gangguan kecemasan adalah “neurotransmitter”. Ada tiga neurotransmitter utama yang berperan pada gangguan kecemasan yaitu, norepinefrin, serotonin, dan Gamma Amino

Butiric Acid atau GABA. Namun menurut Idrus, neurotransmitter yang

memegang peranan utama pada gangguan cemas menyeluruh adalah serotonin, sedangkan norepinefrin terutama berperan pada gangguan panik (Idrus, 2006).

Teori umum tentang peranan norepinefrin di dalam gangguan kecemasan adalah bahwa pasien yang menderita mungkin memiliki sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk. Badan sel pada sistem noradrenergik terutama berlokasi di lokus seruleus di pons rostral, dan mengeluarkan aksonnya ke korteks serebri, sistem limbik, batang otak, dan medula spinalis (Kaplan, 2010). Pemberian obat-obat yang meningkatkan kadar norepinefrin dapat menimbulkan tanda-tanda kecemasan, sedangkan obat-obatan menurunkan kadar norepinefrin akan menyebabkan depresi (Idrus, 2006).

Dikenalinya banyak tipe reseptor serotonin telah memicu pencarian akan peranan serotonin dalam patogenesis gangguan kecemasan. Beberapa

laporan menyatakan bahwa pelepasan serotonin, menyebabkan

(10)

(Kaplan, 2010). Mengenai peranan serotonin dalam gangguan kecemasan ini didapatkan dari hasil pengamatan efektivitas obat-obatan golongan serotonergik terhadap kecemasan seperti buspiron atau buspar yang merupakan agonis reseptor GABA-Benzodiazepin kompleks sehingga serotonin dapat berperan sebagai anti cemas. Kemungkinan lain adalah interaksi antara serotonin dan norepinefrin dalam mekanisme kecemasan sebagai anti cemas (Idrus, 2006).

Peranan Gamma Amino Butiric Acid (GABA) pada gangguan

kecemasan berbeda dengan norepinefrin. Norepinefrin bersifat

merangsang timbulnya cemas, sedangkan GABA bersifat menghambat terjadinya kecemasan (Idrus, 2006). Peranan GABA dalam gangguan kecemasan didukung kuat oleh manfaat benzodiazepine yang akan

meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABAA, di dalam

pengobatan beberapa jenis gangguan kecemasan. Benzodiazepine potensi rendah paling efektif untuk gejala gangguan kecemasan menyeluruh. Benzodiazepin potensi tinggi efektif untuk pengobatan gangguan panik (Kaplan, 2010).

Banyak bukti menunjukkan bahwa manusia mewarisi

kecenderungan untuk tegang atau gelisah. Kontribusi-kontribusi kecil dari banyak gen di wilayah-wilayah kromosom yang berbeda secara kolektif membuat seseorang rentan mengalami kecemasan jika ada faktor-faktor psikologi dan sosial tertentu yang mendukungnya (Barlow, 2006).

(11)

commit to user

Sedangkan faktor psikologi yang berperan, dijelaskan oleh Freud dalam bukunya, Inhibitions, Symptoms, and Anxiety, kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat diterima menekan untuk mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar. Sebagai suatu sinyal, kecemasan, menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam. Idealnya, penggunaan represi saja menyebabkan pemulihan keseimbangan psikologi tanpa pembentukan gejala. Jika represi tidak berhasil sebagai suatu pertahanan, mekanisme pertahan lain (seperti konversi, pengalihan, dan regresi) mungkin menyebabkan pembentukan gejala, menghasilkan gambaran neurotik klasik seperti histeria, fobia, neurosis obsesif-kompulsif (Kaplan, 2010).

Ansietas dapat akut atau kronik. Pada ansietas akut serangan datang mendadak dan cepat hilang. Ansietas kronik terjadi untuk jangka waktu lama walaupun tidak seintensif ansietas akut. Efek dari gejala kecemasan ini biasanya dirasakan cukup gawat untuk memengaruhi prestasi kerjanya. Bila dilihat dari segi jumlah, orang yang menderita ansietas kronik jauh lebih banyak dibanding dengan ansietas akut.

Klasifikasi kecemasan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) – III (2001) :

a. Gangguan ansietas fobik

Ansietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya situasi ini

(12)

tidak membahayakan. Sebagai akibatnya, situasi atau objek tersebut dihindari atau dihadapi dengan rasa terancam.

1) Agorafobia

Gejala psikologi yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari ansietasnya. Ansietas yang timbul harus terbatas pada setidaknya dua dari situasi berikut: banyak orang, keramaian, tempat umum, dan bepergian ke luar rumah, dan bepergian sendiri. Gejala yang sangat menonjol adalah menghindari situasi fobik tersebut.

2) Fobia sosial

Gejala psikologi yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari ansietasnya. Ansietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu dan gejala yang sangat menonjol adalah menghindari situasi fobik tersebut.

3) Fobia khas (terisolasi)

Gejala psikologi yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari ansietasnya. Ansietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu, dan pasien biasanya sedapat mungkin menghindari situasi fobik tersebut. Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti halnya agorafobia dan fobia sosial.

(13)

commit to user 4) Gangguan ansietas fobik lainnya.

5) Gangguan ansietas fobik yang tidak tergolongkan.

b. Gangguan ansietas lainnya

Manifestasi ansietas merupakan gejala utama dan tidak terbatas pada situasi lingkungan tertentu saja. Dapat disertai gejala-gejala depresif dan obsesif, bahkan juga beberapa unsur dari ansietas fobik tetapi bersifat ringan.

1) Gangguan panik (ansietas paroksismal episodik)

Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan ansietas berat dalam satu bulan, pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya, tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya, dan dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala ansietas pada periode di antara serangan-serangan panik.

2) Gangguan cemas menyeluruh

Pasien harus menunjukkan ansietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas pada keadaan tertentu saja (sifatnya free floating atau mengambang). Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur kecemasan, ketegangan motorik, dan overaktivitas otonomik.

(14)

3) Gangguan campuran ansietas dan depresi

Terdapat gejala-gejala ansietas maupun depresi di mana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri.

4) Gangguan ansietas campuran lainnya

Memenuhi kriteria gangguan ansietas menyeluruh dan juga menunjukkan ciri-ciri yang menonjol dari kategori gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stres, akan tetapi tidak memenuhi kriterianya secara lengkap.

5) Gangguan ansietas lainnya yang ditentukan. 6) Gangguan ansietas yang tidak tergolongkan.

Gejala-gejala kecemasan terdiri atas dua komponen, yaitu komponen psikis atau mental dan komponen somatis atau fisik. Gejala psikis berupa ansietas atau kecemasan itu sendiri. Ada berbagai istilah yang sering digunakan oleh orang banyak, misalnya khawatir atau was-was, penampilan berubah, sulit konsentrasi, mood berubah, mudah marah, cepat tersinggung, gelisah, tidak bisa diam, dan timbul rasa takut (Mudjaddid, 2009; Maramis, 2009).

Komponen fisik yang merupakan manifestasi dari keterjagaan yang berlebihan (hyperarousal syndrome) : jantung berdebar, nafas mencepat (hiperventilasi, yang sering dirasakan sebagai sesak), mulut

(15)

commit to user

ketegangan otot (biasanya di pelipis, tengkuk, atau punggung). Hiperventilasi sering tidak disadari oleh penderita ansietas yang dikeluhkan adalah gejala-gejala akibat berubahnya keseimbangan asam basa di darah, terjadinya hipokapnea, yang paling sering terjadi adalah perasaan pusing seperti melayang, rasa kesemutan di tangan dan kaki, kalau parah dapat terjadi spasme otot tangan dan kaki (spasme karpopedal), gangguan tidur, impotensi (Mudjaddid, 2009; Maramis, 2009).

Penatalaksanaan gangguan kecemasan harus memperhatikan prinsip holistik (menyeluruh) dan ekletik (mendetail) yaitu meliputi organo-biologi, aspek psikoedukatif, dan aspek sosiokultural (Mudjaddid, 2009). Mencari dan membicarakan konflik, menjamin kembali

“reassurance”, gerak badan serta rekreasi yang baik dan obat tranquilizer

biasanya dapat menghilangkan dengan segera neurosa cemas yang baru (Maramis, 2009).

4. Hubungan antara kecemasan dengan Diabetes Melitus Tipe 2

Fisher (2001) melaporkan bahwa faktor emosi dapat memengaruhi status kesehatan seseorang. Perjalanan penyakit kronik seperti diabetes dipengaruhi kecemasan. Faktor emosi, kecemasan, atau stres secara langsung dapat mencetuskan timbulnya diabetes tetapi di samping itu harus ada faktor lain (predisposisi) yang sudah ada di dalam diri seseorang seperti keturunan (herediter), kegemukan, dan lain-lain.

(16)

Penelitian empiris pada saat ini menunjukkan adanya prevalensi kecemasan yang tinggi pada populasi diabetes. Alasan mengapa prevalensinya tinggi belum dapat dijelaskan sepenuhnya. Terdapat dua hipotesis yang menerangkan terjadinya dan berulangnya kecemasan pada pasien diabetes, yaitu:

a. Kecemasan terjadi sebagai hasil perubahan biokimia akibat

langsung dari diabetes atau terapinya. Hipotesis ini didasari beberapa penemuan sebagai berikut: 1) Pada DM tipe 2, kecemasan mendahului diagnosis DM tipe 2 (menjadi risiko terjadinya DM tipe 2) walaupun pada perjalanan DM yang lanjut dapat menimbulkan kecemasan; 2) Kecemasan terjadi lebih tinggi pada tahun pertama diketahuinya diabetes; 3) Pada sebagian besar pasien DM, ditemukan adanya gangguan perasaan yang atipik (79% pasien diabetes mengalami gangguan perasaan); 4) Adanya bahan biologi yang sama-sama didapat pada pasien diabetes maupun pasien yang mengalami kecemasan yaitu peningkatan

produksi kortisol, gangguan metabolisme neurotransmitter

norepinefrin dan serotonin, berkurangnya pemakaian glukosa dan

meningkatnya resistensi insulin; 5) Beberapa penelitian

menunjukkan meningkatnya angka kejadian kecemasan pada pasien diabetes dengan komplikasi (Mudjaddid, 2009).

b. Kecemasan terjadi akibat faktor psikologi dan psikososial yang berhubungan dengan penyakit ataupun terapinya. Kecemasan pada

(17)

commit to user

pasien diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang dialami dari penyakitnya yang kronik. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya kesulitan beradaptasi terhadap komplikasi diabetes. Hubungan ketidakmampuan adaptasi dengan gejala kecemasan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Pandangan terhadap penyakit yang diderita; 2) Dukungan sosial yang buruk;

3) Coping strategy yang kurang baik (Mudjaddid, 2009).

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

= Diteliti = Tidak diteliti

Kecemasan pada DM Tipe 2

Peningkatan hormon ACTH Peningkatan hormon kortisol Peningkatan hormon katekolamin Peningkatan hormon glukokortikoid

Gula darah meningkat

HbA1c meningkat

Analisis s

(18)

C. Hipotesis

Ada hubungan antara kecemasan dengan peningkatan kadar HbA1c pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 di RSUD Karanganyar.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 1997, sebelum tahun itu ada beberapa lembaga donor internasional yang tergerak memberikan bantuan kemanusiaan pada LSM dan pemerintah Indonesia untuk isu

Box Culvert yang digunakan sebagai akses lalu lintas adalah lorong yang fungsinya menghubungkan jalan lama yang telah dibuat namun jalan tersebut terhalang oleh struktur

Kerajaan Negeri dalam usaha menyediakan kemudahan asas untuk golongan berpendapatan rendah, antara lain telah membina banyak rumah pangsa dan rumah awam kerajaan di seluruh

Pada penelitian ini, hands on activity dilakukan dengan cara siswa menggali in- formasi melalui pengamatan dan mengaju- kan pertanyaan serta menjawab pertanyaan yang disampaikan

Kualitas mikrobiologi makanan dalam kaleng ditentukan, baik yang masih layak untuk dikonsumsi maupun yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi berdasarkan angka lempeng total

Hal ini berarti bahwa 33,8% variabel manajemen laba dapat dijelaskan oleh variabel- variabel independen yaitu auditor big four , leverage , growth , nilai absolut dari total

Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding telah memeriksa, membaca, mempelajari dan meneliti dengan seksama berkas perkara yang bersangkutan yang terdiri

d. Standar dan kinerja pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung. Pekerjaan pemeliharaan meliputi jenis pembersihan, perapihan, pemeriksaan, pengujian, perbaikan