• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM PEMBEBASAN 10 ABK WNI DARI KELOMPOK ABU SAYYAF TAHUN 2016 Oleh : Putu Ratih Kumala Dewi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM PEMBEBASAN 10 ABK WNI DARI KELOMPOK ABU SAYYAF TAHUN 2016 Oleh : Putu Ratih Kumala Dewi"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM PEMBEBASAN 10 ABK WNI DARI KELOMPOK ABU SAYYAF TAHUN 2016

Oleh : Putu Ratih Kumala Dewi

Abstrak : Indonesia kembali dikejutkan oleh peristiwa pembajakan kapal dan penyanderaan 10 awak kapal berkewarganegaraan Indonesia oleh kelompok separatis Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Ini memang bukan pertama kalinya bagi Indonesia dimana warga negaranya disandera oleh kelompok separatis, namun keberhasilan pemerintah Indonesia dalam membebaskan sandera dari kelompok Abu sayyaf ini menarik untuk dibahas dikarenakan 10 ABK WNI yang menjadi sandera mampu dibebaskan kurang dari 3 bulan sejak kejadian pembajakan kapal, tanpa tebusan dan tanpa kontak senjata. Sehingga timbul pertanyaan bagimanakah strategi diplomasi Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf? Dalam menjawab pertanyaan diatas, penulis menggunakan konsep diplomasi, multi-track diplomacy dan peace making. Hasil dari penelitian ini adalah strategi diplomasi yang digunakan oleh Indonesia adalah Total Diplomasi dimana selain menjalankan first track diplomacy juga menjalankan second track

diplomacy yang melibatkan track dua (aktor non pemerintah dan profesional) dan

track empat (penduduk sipil).

Kata kunci : Diplomasi Indonesia, Abu Sayyaf, Multi Track Diplomacy, Total Diplomasi,

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia kembali dikejutkan oleh peristiwa pembajakan kapal dan penyanderaan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Pada tanggal 26 Maret 2016 , dua kapal berbendera Indonesia dibajak oleh kelompok Abu Sayyaf saat sedang berlayar dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan menuju ke Batangas, Filipina selatan. Dua kapal yang dibajak itu adalah kapal Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 10 orang awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Dalam Penyanderaan 10 ABK WNI ini, Pihak pembajak yakni kelompok Abu Sayyaf menyampaikan tuntutan dalam membebaskan 10 WNI dengan syarat uang tebusan sebesar 50 juta peso dengan tenggat waktu hingga 31 Maret 2016 (Simanjuntak, 2016).

Keberadaan kelompok gerakan separatis Abu Sayyaf merupakan pecahan dari kelompok pejuang Moro yang berkonflik di Filipina Selatan. Filipina Selatan adalah sebuah daerah yang tidak henti-hentinya mengalami konflik. Konflik di Filipima berkaitan erat dengan persaingan misi agama Islam dan Kristen/ pasca abad ke-13. Diskriminasi negara terhadap kelompok minoritas Muslim menjadi lebih kentara ketika menyebut mereka sebagai Moro, artinya identik dengan kelompok Islam yang dulu menduduki Spanyol. Bermula dari inilah konflik terus berkecamuk. Agama dan identitas etnik bahkan menempati bagian penting dari konflik itu. Pemberontakan oleh kelompok Muslim Minoritas di Mindanao, Filipina Selatan, misalnya, lebih karena diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ekonomi dan politik, walaupun ada unsur agama yang cukup berperan.

Orang-orang dalam kelompok Abu Sayyaf merupakan mantan anggota Front Pembebasan Muslim Moro (MNLF) yang merasa tidak puas dengan cara-cara yang diambil seniornya di MNLF, sehingga dalam kelompok kecil mereka yang muda-muda membentuk kelompok baru dan mendapat simpati dari para pendukungnya. Tujuan kelompok Abu Sayyaf jelas memperjuangkan kelompok minoritas di Filipina dengan menggunakan aksi kekerasan. Tindakan separatis ini mendapat perlawanan dari pemerintah Filipina. Pemerintah dan militer negara itu seringkali menurunkan pasukan dengan mesin perang lengkap untuk menekan pergerakan kelomok ini sehingga menimbulkan kontrak senjata.

Walaupun bermula dari konflik domestik di Filipina namun beberapa waktu terakhir kelompok ini semakin memperlebar jaringan hingga ke Malaysia dan Indonesia. Kelompok Abu Sayyaf diduga bertanggung jawab atas serangkaian aksi penyanderaan, kekerasan serta

(3)

pembunuhan terutamanya warga negara asing dan sederet aksi kriminal terorisme dan tindak pidana lainya. Nama kelompok Abu Sayyaf yang telah digolongkan dalam Organisasi Teror Asing (Foreign Terorist Organizations) kembali mencuat setelah baru baru ini, melakukan pembajakan terhadap dua kapal dengan 10 ABK WNI yang membawa 7.000 ton batubara bertolak dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menuju Filipina pada 15 Maret (Satria Hadi, 2016).

Pemerintah Indonesia dalam mengupayakan pembebasan 10 ABK WNI ini mengutamakan pendekatan kemanusiaan, kedekatan religius menjadi prioritas melalui upaya persuasif, negosiasi, diplomasi, sebelum memutuskan mengambil langkah operasi militer sebagai pilihan terakhir. Hingga pada tanggal 12 Mei 2016 10 ABK WNI dibebaskan tanpa tebusan atapun kontak senjata.

Ini memang bukan pertama kalinya bagi Indonesia dimana warga negaranya disandera oleh kelompok separatis, namun keberhasilan pemerintah Indonesia dalam membebaskan sandera dari kelompok Abu sayyaf ini menarik untuk dibahas dikarenakan 10 ABK WNI yang menjadi sandera mampu dibebaskan kurang dari 3 bulan sejak kejadian pembajakan kapal, tanpa tebusan dan tanpa kontak senjata. Sehingga timbul pertanyaan bagimanakah strategi diplomasi Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf?

METODE PENELITIAN

Artikel ilmiah ini menggunakan metode penulisan deskriptif atau studi kepustakaan

(library research). Pengumpulan data lebih difokuskan pada informasi-informasi atau kajian

yang diperoleh dari buku, surat kabar elektronik, dan publikasi dari instansi-instansi terkait yang relevan dengan peristiwa dalam artikel ilmiah ini seperti Kementrian Luar Negeri Indonesia dan pemerintah Filipina. Selain itu, data-data yang diperoleh berasal dari media internet sebagai penunjang informasi untuk keperluan analisis.

Adapun kerangka pemikiran yang digunakan untuk menganalisa permasalahan dalam artikel ilmiah ini adalah konsep diplomasi, multi-track diplomacy dan peace making,. Di dalam konsep-konsep ini dijabarkan bahwa negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya dengan melalui diplomasi.

(4)

Diplomasi merupakan aktivitas politik yang penting dan membutuhkan sumber daya dan keahlian yang baik. Tujuannya adalah untuk memungkinkan Negara mengamankan kebijakan luar negerinya tanpa menggunakan kekerasan , perang, propaganda atau hukum (Berridge. 2002: 1). Diplomasi secara teori yaitu praktek pelaksanaan hubungan antar negara melalui perwakilan resmi. Diplomasi menurut R. P. Barston adalah manajemen hubungan antar negara atau hubungan antar negara dengan aktor-aktor hubungan internasional lainnya. Adapun sebuah definisi yang terkait dengan metode yaitu diplomasi mewakili tekanan politik, ekonomi dan militer kepada negara-negara yang terlibat dalam aktivitas diplomasi, yang diformulasikan dalam pertukaran permintaan dan konsesi antara para pelaku negosiasi.

Diplomasi juga merupakan teknik operasional untuk mencapai kepentingan nasional di luar wilayah jurisdiksi sebuah Negara (Olton dan Plano, 1999: 201). Sedangkan pengertian lain mengatakan diplomasi sangat erat dihubungkan dengan hubungan antar negara, adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin dalam berhubungan dengan negara lain (Roy, 1991: 5). Azeta Cungu dan Tanya Alfredson mendefinisikan strategi diplomasi sebagai sebuah rencana atau metode yang digunakan untuk mencapai kebijakan luar negeri (Cungu dan Alfredson, 2008: 6).

Bagi negara manapun, tujuan diplomasi adalah pengamanan kebebasan politik dan integritas teritorialnya. Ini bisa dicapai dengan memperkuat hubungan dengan negara sahabat, memelihara hubungan erat dengan negara yang sehaluan dan menetralisir negara yang memusuhi (Roy, 1991: 5). Beberapa ahli menyimpulkan, unsur diplomasi yaitu negosiasi yang dilakukan untuk mencapai kepentingan nasional dengan tindakan-tindakan diplomatik yang diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakan dengan sarana damai, pemeliharaan perdamaian tanpa merusak kepentingan nasional adalah tujuan diplomasi.

Untuk mencapai tujuan kepentingan nasional, diplomasi tidak hanya dilakukan antar Negara tetapi juga antara Negara dengan subyek hubungan Internasional lainnya, tidak hanya dilakukan oleh Negara tetapi juga semua subyek hubungan Internasional. Hal ini tercermin dalam konsep multi track diplomacy. Konsep multi track diplomacy muncul sebagai sebuah sistem peacemaking (Diamonddan McDonald.1996:12)

Dalam multi track diplomacy, pelaksanaan diplomasi dilakukan melalui beberapa jalur, diantaranya:

(5)

Track one atau First Track Diplomacy, yaitu upaya-upaya diplomasi yang dilakukan

berdasarkan interaksi pemerintah secara resmi, (Diamond dan McDonald. 1996: 26) 2) Track two: nongovernment/ professional

Dimana pada jalur ini, seorang professional non-pemerintah mampu mewujudkan perdamaian melalui resolusi konflik untuk menganalisa, mencegah, menyelesaikan, serta mengakomodasi konflik internasional dengan cara komunikasi, pemahaman, dan membangun hubungan baik dalam menghadapi masalah secara bersama-sama. Aktor-aktor disini tentu memiliki potensi yang besar untuk menciptakan perdamaian dengan caranya tanpa adanya intervensi dari pemerintah (Diamond dan McDonald. 1996: 52)

3) Track three: business

Dimana dalam menciptakan perdamaian, pada jalur ini menggunakan perdagangan yang juga dapat membawa keuntungan. Bisnis menjadi lahan yang potensial untuk pencapaian peacebuilding melalui aspek ekonomi. Tidak hanya itu, hubungan persahabatan dan pemahaman internasional melalui komunikasi informal juga dapat mendukung berbagai kegiatan dalam mewujudkan perdamaian. Sebagai contoh ialah kerjasama antara Indonesia dengan Cina dalam kesepakatan perdagangan bebas. Melalui kesepakatan tersebut, tentu saja dapat menciptakan simbiosis mutualisme di antara kedua negara sehingga potensi untuk terjadinya konflik di kedua negara tersebut dapat terhindarkan melalui kerjasama yang dilakukan. (Diamond dan McDonald. 1996: 52)

4) Track four :private citizen

Track keempat ialah warga negara privat. Dalam jalur ini, pencapaian perdamaian dilakukan oleh warga negara privat atau personal yang berkontribusi dalam kegiatan pembangunan dan perdamaian. Pada jalur ini biasanya dilakukan dengan diplomasi yang dilakukan oleh seorang warga negara melalui program pertukaran, organisasi voluntary privat, NGOs dan berbagai kelompok kepentingan. Biasanya aktivitas pada jalur ini tidak terlihat oleh mata publik dan hanya melalui pemahaman saja pencapaian perdamaian dapat dilakukan. Sebagai contoh program pertukaran pelajar yang ditawarkan institusi tertentu dengan misi menyelesaikan satu proyek sosial yang bermanfaat tidak hanya bagi negaranya saja akan tetapi juga bagi negara yang dituju (Diamond dan McDonald. 1996: 60)

(6)

Pada jalur ini, menekankan pada proses pembelajaran sebagai wujud terciptanya perdamaian. Kajiannya meliputi penelitian yang berhubungan dengan institusi pendidikan baik sekolah maupun universitas dan think tanks yakni penelitian, analisis, dan program studi, serta pusat penelitian kelompok yang berkepentingan khusus. Think tanks dalam hal ini memiliki banyak akivitas seperti penelitian dan analisis mengenai situasi dan beberapa konflik yang berhubungan dengan studi kasus. Selain itu, kegiatan yang dilakukan melalui seminar dan workshop dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengeksplor sebuah masalah. Isu-isu yang ada dalam komunitas pendidikan juga mengenai bagaimana mendapatkan sebuah keadilan tanpa harus terjadi kekerasarn. Sebagai contoh ialah program beasiswa yang ditawarkan oleh institusi tertentu sebagai pelatihan untuk meningkatkan pemikiran yang kritis tergantung dengan program yang diambil sesuai minat dan bakatnya (Diamond dan McDonald. 1996: 70) 6) Track six : activism

ada jalur ini menekankan pada aktivisme dalam hal HAM, lingkungan hidup, keadilan sosial dan ekonomi, serta advokasi terhadap kepentingan khusus mengenai kebijakan tertentu yang diambil pemerintah. Aktivisme tersebut diwujudkan dalam bentuk protes, pendidikan, advokasi, aturan, dukungan, dan pengawasan (Diamond dan McDonald. 1996: 87)

7) Track seven: religion

Pada jalur ini, kegiatan yang dilakukan berorientasi pada perdamaian oleh komunitas-komunitas spiritual dan religius dan anti kekerasan. Biasanya gerakan-gerakan tersebut merujuk pada pacifisme yakni adanya kepercayaan bahwa resolusi konflik dengan jalan damai adalah yang paling benar dan sanctuary yakni tempat yang dianggap suci dan mampu melindungi seseorang. Sebagai contoh ialah tindakan sosial berupa kampanye atau diskusi yang dilakukan komunitas religius (Diamond dan McDonald. 1996: 97)

8) Track eight : funding

Hal ini terkait dengan perwujudan perdamaian melalui pendanaan oleh komunitas tertentu yang mampu menyediakan dukungan finansial untuk berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh jalur-jalur lain. Sebagai contoh ialah yayasan Ford Foundation, yakni yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan penelitian dimana berkonsentrasi pada isu-isu keamanan dan kebijakan publik (Diamond dan McDonald. 1996: 108)

(7)

Pada jalur ini, pelaksanaan perdamaian dilakukan melalui informasi dimana memanfaatkan media yang ada baik melalui media cetak, elektronik dan lain-lain. Penyebaran informasi yang dilakukan melalui media tertentu dapat menjadi sarana edukasi misalnya melalui film dokumenter sejarah atau kebutuhan akan informasi yang dapat diakses dengan cepat melalui media cetak atau internet (Diamond dan McDonald. 1996: 120)

Kedelapan track mulai dari track 2-9 dapat disebut sebagai Second Track Diplomacy, yaitu upaya-upaya diplomasi yang dilakukan oleh elemen-elemen non pemerintah secara tidak resmi. Upaya ini harus melancarkan jalan bagi negosiasi dan persetujuan dalam rangka first track

diplomacy dengan memanfaatkan informasi penting dari para pelaku second track diplomacy.

Hal ini dibutuhkan dalam rangka mencapai kesuksesan dalam menjalankan misi politik luar negeri. Second-track diplomacy di dalam pelaksanannya melibatkan berbagai aktor dengan latar belakang yang berbeda-beda, sesuai dengan bidangnya masing-masing, contohnya kaum bisnis atau profesional, warga negara biasa, kaum akademisi (peneliti, pendidik),NGO, lembaga-lembaga keagamaan dan keuangan, dan jalur kesembilan yakni media massa. Media massa dinilai memiliki fungsi yang sangat strategis karena memainkan peran sebagai pemersatu seluruh aktor diplomasi publik melalui aktivitas komunikasi yang dibuat olehnya. Second Track

Diplomacy dilakukan dengan melibatkan People-to-People Diplomacy untuk melancarkan jalan

bagi negosiasi dan persetujuan dalam rangka menunjangfirst track diplomacy.

Tabel 1. Track I dan Track II Diplomacy

Track I Track II Aktor Perwakilan resmi, pemerintah, organisasi Multinasional, Elit, pemimpin lawan

Perwakilan tidak resmi, NGO, pemimpin lokal dan regional, kelompok Grassroots

Metode

Insentif positif dan negative, mediasi, dukungan politik dan ekonomi

Diskusi dua-arah, workshop pendidikan, rekonsiliasi Grassroots

Arena Konflik Hadir dalam semua arena akan tetapi lebih

Hadir di semua arena tetapi lebih berperan dalam

(8)

menekankan pada

Peacemaking dan

Peacekeeping ketika aktor resmi memutuskan untuk menghentikan-pertikaian, kedamaian dimungkinkan dan adanya langkah untuk bernegosiasi dalam perjanjian.

pencegahan konflik dan Peacebuilding ketika aktor lokal dan regional mendeteksi adanya tanda bahaya terkait dengan kekerasan dan dengan segera dapat mendukung teknik rekonsiliasi personal antara pihak yang berlawanan.

Multi track diplomacy merupakan bagian dari peace making, sehingga patut dijelaskan

makna peace making disini. Peace making dalam kaitannya dengan multi-track diplomacy mempunyai arti yang lebih umum. Peace making memiliki arti tidak hanya serangakaian tindakan untuk mewujudkan perdamaian diantara pihak yang berlawanan tetapi juga merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah, memanajemen,dan resolusi konflik; untuk rekonsiliasi; untuk eksplorasi berbagai isu terkait perdamaian umum maupun berbagai tipe konflik yang lebih khusus; untuk mendidik dan meneliti berbagai isu tersebut; untuk membangun teori dan praktek langsung; untuk mempengaruhi kebijakan; untuk menyediakan informasi; untuk memfasilitasi dialog; negosiasi dan mediasi;dan semua tindakan itu didasari dan ditujukan untuk membangun hubungan yang lebih baik antara Negara maupun masyarakat ((Diamond dan McDonald. 1996: 13). Konsep peace making dalam tulisan ini adalah untuk melihat bagaimana strategi diplomasi yang dipilih Indonesia dalam usaha pembebasan 10 ABK WNI yang menjadi tahanan ditujukan untuk mewujudkan peace making yakni mencapai resolusi konflik, memfasilitasi dialog,negosiasi dan mediasi dalam mencapai tujuan akhir yakni pembebasan sandera tanpa menggunakan kekerasan.

Konsep diplomasi, multi track diplomacy dan peace making inilah yang akan digunakan untuk menganalisis bagaimana strategi diplomasi yang digunakan oleh Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya, dalam hal ini adalah untuk menyelamatkan 10 ABK WNI yang menjadi tawanan.

(9)

PEMBAHASAN Kelompok Abu Sayyaf Dalam Hubungan Internasional

Kelompok Abu Sayyaf merupakan sebuah kelompok militan yang berdiri pada awal tahun 1990-an (Sholahuddin, 2011: 25) dan beroperasi di Filipina Selatan. Kelompok militant berbasis agama ini mengupayakan berdirinya sebuah negara Islam yang merdeka di Mindanao bagian Barat dan daerah Sulu, dimana daerah Filipina Selatan merupakan daerah dengan populasi umat Muslim tertinggi (Manalo, 2004 :32).

Filipina Selatan adalah sebuah daerah yang tidak henti-hentinya mengalami konflik. Konflik bermula dari persaingan misi agama Islam dan Kristen/ pasca abad ke-13. Diskriminasi negara terhadap kelompok minoritas Muslim menjadi lebih kentara ketika menyebut mereka sebagai Moro, artinya identik dengan kelompok Islam yang dulu menduduki Spanyol. Dari sinilah konflik terus berkecamuk. Agama dan identitas etnik bahkan menempati bagian penting dari konflik itu. Pemberontakan oleh kelompok Muslim Minoritas di Mindanao, Filipina Selatan, misalnya, lebih karena diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ekonomi dan politik, walaupun hal yang paling krusial adalah menyangkut agama.

Konflik di Filipina terus berlanjut, setelah Spanyol berkuasa maka beralih kekuasaan kepada Amerika, Jepang dan sampai Filipina memproklamasikan dirinya sebagai negara yang merdeka pada tanggal 4 Juli 1946. Konflik di Filipina dimulai dengan kolonisasi yang dilakukan oleh orang arab dan kemudian oleh Kristen, yangmana keberbedaan kedua agama tersebut, hingga sekarang masih berkompetisi untuk memperebutkan perhatian penduduk pribumi. Orang-orang Arab Islam bergeser ke Selatan Filipina ketika Orang-orang-Orang-orang Kristen menduduki Utara Filipina. Daerah Selatan yang pada awalnya didominasi oleh Muslim telah terusik dengan kehadiran agama Kristen sampai ke daerah ini. Pada masa pemerintahan Marcus, konflik awal terjadi akibat suatu peristiwa pembunuhan di Corregidor. Para sukarelawan Muslim Filipina, yang dilatih dalam taktik geriliya oleh suatu pasukan resmi, dibunuh atas perintah komandan pasukan. Mereka menolak di kirim ke Sabah guna melakukan inflirtasi Militer. Karena peristiwa ini terbentuklah Moro National Liberation Front (MNLF), MNLF adalah sebuah gerakan yang sangat berpengaruh dalam memperjangkan kebebasan Muslim Moro. Dua kelompok lainnya adalah Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan yang paling belakangan adalah Abu Sayyaf yang terbentuk pada tahun 1989 (Anonim, 2016). Ketiga kelompok gerakan ini memiliki tujuan

(10)

yang sama yakni ingin mendirikan sebuah Negara teokrasi Islam di Mindanao Filipina Selatan dan pembangunan ekonomi di wilayah mereka.

Kelompok Abu Sayyaf pertama muncul pada tahun 1989 dibawah kepemimpinan Abdurajak Janjalani. Abdurrajak Janjalani merupakan mantan anggota MNLF yang tidak menyetujui dilakukannya proses perdamaian antara MNLF dan Pemerintah Republik Filipina melalui Tripoli Agreement (Wahjudi, 2003: 85). Dalam Tripoli Agreement, bukan menyepakati tentang kemerdekaan tetapi disepakati adanya daerah otonomi khusus bagi penduduk Moro di Filipina Selatan (Atkinson, 2012:6). Ini menyebabkan tujuan dibentuknya negara Islam menjadi dikorbankan oleh MNLF. Hal ini menyebabkan Abdurrajak Janjalani beserta pengikutnya keluar dari keanggotaan MNLF.

Sebelum keluar dari MNLF, Abdurrajak Janjalani dan para pengikutnya telah membentuk Mujaheeden Commando Freedom Fighters (MCFF) pada tahun 1989 dan pada tahun 1991 secara resmi memisahkan diri dari MNLF. MCFF atau dikenal sebagai Kelompok Janjalani, kelompok ini berkembang menjadi apa yang kita kenal sebagai kelompok Abu Sayyaf Abdurrajak Janjalani menggunakan julukan “Abu Sayyaf” untuk menghormati pemimpin pasukan Mujahidin Afghanistan, Abdul Rasul Sayyaf dimana ia pernah tergabung dalam pasukan mujahidin pimpinan Abdul Rasul Sayyaf di Afghanistan ketika melawan Uni Soviet (Atkinson, 2012:7).

Kelompok dibawah pimpinan Janjalani menjalankan sebuah pembentukan negara yakni Islamic Theocratic State of Mindanao (MIS), dan memasukan kepercayaan agama yang meneriakan intoleransi dengan tujuan untuk menyebarkan Islam melalui Jihad (Hasbullah, 2003 : 242), dimana yang menjadi target sasarannya adalah semua umat Kristen Filipina. Dalam pencarian objeknya, Kelompok ini telah menetapkan ideologinya dengan tegas dan agenda operasional yang terikat pada sebuah maksud usaha pengabungan yang memaksa dominasi Islam di dunia melalui perlawanan bersenjata (Manalo,2004 : 32).

Kelompok Janjalani, atau MCFF kemudian dikenal sebagai kelompok Abu Sayyaf pada bulan Agustus 1991 ketika mereka melakukan pengeboman terhadap “M/V Doulos”, sebuah kapal misionaris Kristen yang berlabuh di Zamboanga, Filipina Selatan (Atkinson, 2012 : 7). Antara tahun 1991 dan 1998, kelompok militant ini mulai memperluas dan mengembangkan kemampuannya, dilihat dari pergerakannya kelompok ini rapi dalam melancarkan serangkaian serangan kecil terhadap warganegara asing. Pada tahun-tahun pertama, kelompok Abu Sayyaf banyak melakukan penculikan penduduk local, dan level kemampuan mereka meningkat

(11)

disebabkan oleh banyaknya angota mereka adalah direkrut dari kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan perjuangan MNLF ataupun MILF (Manalo,2004 : 35).

Saat ini Kelompok Abu Sayyaf dipimpin oleh Khadafi Janjalani, dikenal kelompok separatis Islam yang sangat radikal di Filipina Selatan. Mereka melakukan berbagai tindak kekerasan, seperti pemboman, penculikan, pembunuhan, dan pemerasan dalam mengupayakan berdirinya sebuah negara Islam (Council of Foreign Relations, 2009). Kelompok Abu Sayyaf di

Filipina ini telah sangat meresahkan warga Filipina dengan aksi-aksi pengeboman, penculikan dan pengeksekusian terhadap sandera. Kelompok Abu Sayyaf ini digolongkan dalamOrganisasi Teror Asing (Foreign Terorist Organizations) oleh pemerintah Amerika serikat.1

Menurut Charles W Kigley Jr dan Eugene R Wirtkopf, terorisme adalah suatu penggunaan ancaman kekerasan, suatu metode pertempuran atau strategi untuk meraih tujuan tertentu, yang ditujukan untuk menimbulkan keadaan takut di pihak korban (Kegley dan Wittkopf, 2001: 222). Ranstop berpendapat bahwa fanatisme agama adalah sebuah motif utama dari terorisme, dan dinyatakan dengan tegas oleh keberagaman keyakinan, seperti Islam, Yahudi, Kristen, dan keyakinan lain, acapkali menempuh aksi terorisme. Ia berpendapat bahwa terorisme agama adalah suatu tipe kekerasan politik yang dimotivasi oleh rasa krisis spiritual dan sebuah reaksi terhadap perubahan sosial dan politik (Manalo, 2004:31).

Menurut Ronald Gottersman, terdapat dua jenis organisasi teroris yaitu domestik dan internasional. Teroris dari organisasi berjenis domestik melakukan aktifitasnya hanya di dalam negeri tempat ia berdomisili. Sedangkan teroris dari organisasi berjenis internasional menyerang musuh mereka dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Atif M Mir membedakan lingkup gerakan dalam dua bagian yaitu domestic terorism dan International Terorism. Domestic Terorism yaitu gerakan terorisme yang dilakukan didalam batas teritorial suatu negara dan dilakukan oleh perseorangan atau kelompok dengan tujuan-tujuan khusus politik, ekonomi atau agama. Internasional terorism yaitu gerakan terorisme yang dihubungkan dengan penyerangan-penyerangan terhadap susunan-susunan pihak ketiga (Third Party Target) di wilayah atau teritorial asing dan dapat pula di dukung serta disponsori oleh suatu Negara (Wahjudi, 2003:81). Jadi, pada domestic terrorism tidak dijumpai unsur asing baik korban maupun dan pada

1 Organisasi Teroris Asing ( FTOs ) adalah organisasi asing yang disebut oleh Menteri Luar Negeri sesuai dengan Pasal 219 Undang- Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan ( INA ) , sebagaimana telah diubah . Sebutan FTO memainkan peran penting dalam perjuangan melawan terorisme dan merupakan cara yang efektif untuk membatasi dukungan untuk kegiatan teroris dan menekan kelompok untuk keluar dari bisnis

terorisme . Dikutip dari Departemen Luar Negeri AS, "Patterns of Global Terorism 2003 pada

(12)

terorisme yang bersifat trans-nasional atau yang disebut dengan internasional terrorism didalamnya melibatkan unsur asing, baik yang menyangkut (sebagian) pelaku dan atau (sebagian) korban, walaupun kejadian itu berada diwilayah territorial negara tertentu. Terorisme Domestik dan Terorisme Internasional hanya dapat dibedakan, tetapi seringkali keduanya tidak dapat dipisahkan.

Kelompok Abu Sayyaf merupakan teroris yang berbasis di Filipina dan beroperasi didalam batas teritorial Negara Filipina, namun dalam melakukan aksinya kelompok ini seringkali melibatkan unsur asing. Dalam kasus pembajakan kapal Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 di perairan territorial Filipina terdapat unsur asing yakni korbannya adalah 10 ABK berkewarganegaraan Indonesia yang menjadi sandera.Sehingga Kelompok Abu Sayyaf dapat dikategorikan sebagai kelompok terorisme internasional.

Dalam perkembangan studi Hubungan Internasional kelompok teroris merupakan aktor HI yang termasuk dalam non-state actor. Pada umumnya kehadiran terorisme internasional dilator belakangi oleh tujuan-tujuan yang bersifat etnis, politis, agama, dan ras. Menurut Kegley (1997), terdapat non-state actor lain yang berperang dalam hubungan internasional: kelompok etno-nasional, pergerakan keagamaan, dan teroris. Kelompok etno-nasional adalah perkumpulan manusia yang menempatkan identitas kebangsaan mereka lebih dahulu dibandingkan identitas kenegaraan. Kelompok etno-nasional merasa persamaan etnis, daerah, suku, dan bahasa amatlah penting, dan mereka sangat berpotensi untuk memiliki sifat etnosentrisme. Dengan begitu, kelompok etno-nasional sangat memungkinkan untuk melakukan pemberontakan separatis karena negara dianggap tidak lagi penting bagi mereka.

Pergerakan keagamaan menganggap bahwa kepercayaan atau agama mereka harus dianut oleh seluruh dunia (Kegley & Wittkopf, 1997). Pergerakan keagamaan menganggap bahwa identitas agama mereka jauh lebih penting daripada yang lain, maka mereka akan tetap mempertahankan identitas mereka sebisa mungkin agar tidak disaingi oleh yang lain, termasuk negara. Apabila negara dianggap berpotensi untuk merusak identitas keagamaan mereka, maka pergerakan keagamaan dapat melakukan gerakan separatis guna menyelamatkan identitas keagamaan mereka.

Kelompok teroris adalah salah satu aktor selain pemerintah yang aktivitasnya meresahkan dunia internasional dan membuat kekacauan di negara (Kegley & Wittkopf 1997). Kelompok teroris memiliki satu ciri khas, yaitu seringkali menggunakan aksi kekerasan dan

(13)

ancaman-ancaman guna menyampaikan niatnya. Kelompok teroris seringkali bersebrangan sikap dengan negara.

Bila melihat pada non-state actor tersebut maka kelompok Abu Sayyaf termasuk kelompok teroris yang berbasis gerakan keagamaan. Hingga saat ini keberadaan Kelompok Abu Sayyaf tetap ada di Filipina, berusaha mendirikan negara Islam adalah cita-cita mereka. Banyaknya orang-orang Kristen yang tinggal di pulau Mindanao Selatan dan mengakibatkan tersingkirnya orang-orang Muslim dari pulau ini ke daerah-daerah pesisir dari pulau ini. Karena merasa tersingkirkan Kelompok Abu sayyaf berusaha untuk membebaskan daerah ini dengan memusuhi orang-orang Kristen dengan cara meneror mereka dengan melakukan kekerasan.

Organisasi terorisme internasional tidak bertujuan atau bercita-cita membentuk suatu negara baru/pemerintahan baru melainkan bagaimana menciptakan keadaan khaos dan tidak terkontrol suatu pemerintahan yang menjadi sasarannya sehingga pemerintahan itu tunduk dan menyerah terhadap idealismenya. Untuk mencapai cita-citanya mendirikan sebuah negara Islam di Filipina Selatan, kelompok Abu Sayyaf melakukan perlawanan dengan cara kekerasan. Kelompok Abu Sayyaf melakukan pemboman, penculikan, dan pengeksekusian terhadap sandera. Kelompok ini melakukan aksi terror dengan melakukan pengeboman-pengeboman di daerah-daerah Filipina, melakukan pembajakan terhadap kapal asing, penculikan dan penyanderaan warga negara asing termasuk juga pada WNI.

Strategi Diplomasi Indonesia

Keterampilan dalam berdiplomasi merupakan syarat utama seorang diplomat yang terlibat dalam politik internasional, yang pada dasarnya dipergunakan untuk mencapai kesepakatan, kompromi, dan penyelesaian masalah dimana tujuan-tujuan pemerintah yangsaling bertentangan. Berbicara mengenai kegiatan diplomasi pasti akan menuju ke diplomat dan depatemen luar negeri. Karena Negara menciptakan departemen ini untuk mengurusi urusan yang berkaitan dengan Negara lain. Tapi seiring dengan perkembangan zaman, cakupan isu, aktor, dan agenda diplomasi dalam hubungan internasional semakin kompleks dan berkembang. Tugas diplomasi bukan lagi tugas dari pemerintah melainkan dapat dilakukan oleh swasta/ non pemerintah.

(14)

Diplomasi tradisional yang hanya melibatkan peran pemerintah (first track diplomacy) dalam menjalankan misi diplomasi, tidak akan efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara. Oleh karena itu, aktivitas diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik sangat dibutuhkan dalam rangka melengkapi aktivitas diplomasi tradisional. Ide menuju open diplomacy dan total diplomacy menjadi alternatif yang digunakan untuk menjawab tantangan dan peluang dalam kerjasama bilateral dan multilateral yang menyokong politik luar negeri Indonesia saat ini. Pelibatan peran aktor non Negara dalam kegiatan diplomasi yang dijalankan dan dikembangkan oleh unsur non-pemerintah biasa disebut sebagai second track diplomacy yang melibatkan masyarakat nonpemerintah sebagai pelaku diplomasi adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh-tokoh pendidik, lembaga-lembaga Universitas, tokoh agama, para kalangan pebisnis dan individu-individu.

Dalam mencapai kepentingan nasionalnya Indonesia telah memiliki sebuah Grand

Strategy dalam diplomasi melalui program operasional yang berwujud kebijakan Total Diplomacy. Total diplomasi adalah alat dan cara yang digunakan dalam diplomasi dengan

melibatkan semua stakeholders. Dari sudut pelaksanaan diplomasi, maka kemampuan antisipasi menghadapi kemungkinan ancaman, tantangan, dan gangguan serta memanfaatkan semua peluang sebagai bagian dari perjuangan mencapai sasaran Kepentingan Nasional, yang disebut sebagai Diplomasi Total. Diplomasi Total mempunyai tujuan ganda, yaitu pertama: untuk menggalang seluruh kekuatan nasional dan kedua : bahwa pelaksanaan diplomasi harus mencerminkan aspirasi masyarakat sebagai bagian dari Kepentingan Nasional (Emilia, 2013: 284).

Kelompok Abu Sayyaf merupakan non state actor dan diplomasi dapat digunakan tidak hanya antar sesama Negara tetapi juga dengan aktor non Negara. Hasil analisa yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa strategi diplomasi Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf adalah dengan menggunakan multi-track diplomacy atau yang disebut juga dengan diplomasi total yang dilakukan di bawah pemerintah Indonesia, namun melibatkan semua unsur anak bangsa.

(15)

Gambar 1.

3 Jalur negosiasi dalam diplomasi pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf

Sumber : (Tempo.2016: 31)

Adapun strategi diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia tersebut yakni :

First track diplomacy

Dalam track pertama ini dilakukan oleh pemerintah. Walaupun dalam pelaksanaan strategi diplomasi total melibatkan banyak pihak namun tetap dipimpin oleh pemerintah. Dalam track one ini, jajaran yang terlibat dari pemerintah yakni Kemenlu, TNI dan Polri dimana petugas Polri ada di Filipina dan selama ini berkoordinasi.

Sejak kelompok Abu Sayyaf mengumumkan bahwa pihaknya bertanggung jawab atas pembajakan kapal dan penyanderaan awak kapal dimana 10 orangnya merupakan WNI, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsuri kemudian terbang menuju Filipina pada 1-2 April 2016 dan berkoordinasi dengan pihak Filipina. Dari pertemuan dengan pihak-pihak penting di Manila, ada 4 poin yang dibawa pulang yaitu: Pertama, mengintensifkan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah Filipina dalam upaya pembebasan sandera WNI. Kedua, menekankan kembali mengenai pentingnya keselamatan ke-10 WNI kita tersebut. Ketiga, menyampaikan

(16)

apresiasi atas kerjasama yang sejauh ini telah diberikan oleh otoritas Filipina dalam rangka koordinasi pelepasan sandera. Dan keempat, melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait lainnya.

Dalam usaha pembebasan para sandera, TNI juga melakukan operasi intelijen di bawah koordinasi dari Kementerian Luar Negeri. Tim ini dipimpin Mayor Jendral Purnawirawan Kivlan Zen. Tim ini beranggatakan 7 orang dan merupakan bagian dari oeprasi intelijen Badan Intelijen Strategis tentara Indonesia. Tim ini menggandeng Intelijen Filipina dan menyertakan PT. Patria Maritim Lines perusahaan pemilik Kapal. Menurut Kivlan pada tanggal 27 Maret 2016 Perusahaan pemilik kapal mengirim sejumlah tim untuk bernegosiasi. Kivlan turun ke Filipina karena punya kontak dengan sejumlah tokoh Moro. Ia pernah menjadi anggota pasukan perdamaian untuk menjaga genjatan senjata antara pemerintah Filipina dan pembrontak MNLF yang dipimpin oleh Nur Misuari pada 1995-1996 (Tempo, 2016:31).

Kesiagaan TNI, bisa semakin memperkuat peran-peran diplomasi yang dilaksanakan oleh Kemlu. Selama proses negosiasi dilakukan, desakan menggunakan kekuatan militer juga terus menggema. Pasukan TNI juga telah disiapkan di sekitar wilayah Kalimantan menunggu perintah melaksanakan kekuatan militer. Indonesia juga sempat menawarkan pihak Filipina untuk meminta izin menggunakan kekuatan milter dalam upaya pembebasan 10 WNI. Tawaran itu dilontarkan oleh Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu. Namun permintaan itu ditolak oleh pihak Filipina karena dalam konstitusi Filipina, tidak diizinkan kekuatan militer (negara lain) di Filipina tanpa perjanjian. Namun Menteri Luar Negeri Filipina dan panglima angkatan bersenjata Filipina tampak jelas komitmen untuk menyelesaikan masalah ini dan terus berkomunikasi dengan pihak Luar Negeri Indonesia.

 Second track diplomacy

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi menyatakan bahwa upaya pembebasan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf melibatkan banyak pihak, tidak hanya pemerintah ke pemerintah, tapi juga jaringan-jaringan informal lainnya (Shemi, 2016)

(17)

Selain tim pada track one, juga terdapat tim lain yang bergerak dalam usaha pembebasan sepuluh abk WNI yang disandera, yakni :

1. Yayasan sukma bentukan Surya Paloh

Yayasan sukma menurunkan tim yang tediri atas mayor jendral purnawirawan Supriadin, Ahmad Baedowi, Samsu Rizal Panggabean, dan Desi Fitriani jurnalis Metro TV. Supriadin merupakan bekas panglima komando daerah militer iskandar muda aceh dan kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Partai Nasdem. Ahmad Baedowi merupakan direktur pendidikan sukma. Sedangkan Samsu Rizal merupakan pengajar di jurusan Hubungan Internasional serta Magister perdamaian dan resolusi konflik Universitas Gajah Mada. (Tempo, 2016:30) Dalam pergerakannya melakukan diplomasi dengan kelompok Abu Sayyaf, tim sukma juga melibatkan 2 LSM yang merupakan LSM pemberdayaan masyarakat dan anti kekerasan di Mindanau Filipina Selatan.Tim Sukma juga tetap berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia melalui Edi Mulya yang merupakan Minister Konselor Kedutaan Besar di Filipina.

Tim sukma melakukan diplomasi dengan menggunakan pendekatan pendidikan, budaya dan agama kepada orang-orang kunci informal di Filipina. Dengan menggandeng tokoh informa Filipina tim yayasan sukma membuat peta negosiasi dengan cara kekerabatan di 3 titik yaitu: Sulu, Zamboanga dan Manila. Sejumlah informa dan penghubung mereka libatkan. Dalam usahanya melakukan negosiasi Baedowi menerima panggialan telepon pertama kali dan berbicara dengan Al- Habsi. Al-Habsi memberikan teleponnya kepada Julian Philips anak buah kapal Brahma 12. Dalam pembicaraan tersebut, Julian mengatakan uang tebusan 50 juta peso harus sudah diterima pada senin 18 April 2016. Jika uang tidak diserahkan, Al-Habsi akan mengeksekusi 1 dari 10 sandera. Tim Sukma terus bergerak ke Filipina dan bertemu dengan tokoh Informal di Sulu. Berkat dibantu beberapa tokoh informal tersebut, Al-Habsi pun berkompromi dengan tenggat yang disampaikannya. Baedowi dan Desi menemui tokoh ini di selatan kota Jolo, Sulu.

2. Tim yang dibentuk oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla

Jusuf Kalla menugaskan Hamid Awaludin untuk mengurus sandera. Hamid adalah Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Palang Merah Indonesia Pusat. Hamid menggunakan jaringan palang Merah Internasional dan palang merah Filipina. Diluar jalur formal,

(18)

hamid mengirim utusan Informal. Ia menunjuk sesorang yang mempunyai jaringan dengan kelompok Moro. Tim bentukan Jusuf Kalla memantau pergerakan sandera termasuk juga kondisi kesehatannya. Menurut hamid, sungguh penting untuk memastikan kondisi dan posisi sandera ketika masih di tangan penyandera. (Tempo, 2016:32)

Diplomasi yang dijalankan oleh tim sukma dan tim bentukan Jusuf Kalla ini menunjukkan adanya pelibatan aktor non pemerintah sebagai bagian dari total diplomasi. Dimana kedua tim ini melibatkan pihak non pemerintah dan orang-orang professional yang ahli di bidangnya yang merupakan representasi dari track 2 dan pelibatan private citizen yang merupakan representasi dari track four. Tidak hanya melibatkan kaum professional, diplomasi yang dilakukan oleh seorang warga negara melalui organisasi voluntary privat, NGOs dan berbagai kelompok kepentingan. Aktor-aktor disini memiliki potensi besar untuk menciptakan perdamaian dengan caranya tanpa adanya intervensi dari pemerintah.

Kelebihan pada jalur ini ialah dapat menunjukkan isu yang dihadapi dengan jelas serta mampu mencari jalan alternatif dan improvisasi dalam pemecahan masalah yang mungkin saja tidak terjangkau oleh pemerintah (Diamond dan McDonald. 1996: 52) dan adanya kebebasan untuk mengadakan kegiatan positif apapun dengan tujuan perdamaian tanpa adanya intervensi dari pemerintah (Diamond dan McDonald. 1996: 60).

Namun kekurangannya ialah pencapaian konsensus membutuhkan waktu yang lama dan tidak terikat oleh hukum karena terbatasnya legitimasi yang dimiliki oleh seorang aktor non-pemerintah (Diamond dan McDonald. 1996: 52) dan kecenderung individualis dan subjektif dalam menyikapi sesuatu karena hanya melihat pada sisi pribadi saja, bukan dari hasil diskusi ataupun kesepakatan bersama (Diamond dan McDonald. 1996: 60) dikarenakan kedua tim ini bergerak secara sendiri-sendiri walaupun tetap berkoordinasi dengan pemerintah demi tercapainya tujuan peace making.

Aktivitas pada kedua jalur ini tidak terlihat oleh mata publik dan hanya melalui pemahaman saja pencapaian perdamaian dapat dilakukan. Hal ini menunjukkan diplomasi yang dilakukan dengan kelompok Abu Sayyaf juga dilaksanakan dengan metode diplomasi tertutup. Diplomasi tertutup dilakukan untuk mencegah agar upaya diplomatik tidak mengalami kegagalan pada tahap awal alis prematur mengingat kemungkinan penolakan oleh berbagai pihak di luar

(19)

pemerintah, atau bahkan keberatan oleh negara lain. Apabila nanti hasilnya sudah siap dilakukan, hasil diplomasi ini akan diumumkan terbuka.

First track diplomacy dan second track diplomacy menunjukkan upaya pembebasan ini

melibatkan banyak pihak, semua anak bangsa. diplomasi total yang tidak saja hanya terfokus pada diplomasi government to government, tapi juga melibatkan jaringan-jaringan informal seperti professional non pemerintah maupun private citizen yang semuanya dibuka untuk satu tujuan. Dalam strategi ditplomasi total, dua acuan dipakai pemerintah yaitu, keselamatan sandera dan membuka simpul komunikasi dengan sebanyak pihak. Keselamatan WNI menjadi prioritas utama dan pihak pemerintah Indonesia membuka komunikasi dengan banyak pihak. Proses pembebasan sandera tersebut melalui proses panjang dengan Situasi di lapangan yang sangat dinamis dengan tingkat komplilasi yang sangat tinggi.

KESIMPULAN

Dalam usaha pembebasan 10 ABK WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf, pemerintah Indonesia menggunakan jalur diplomasi dan bukan jalur kekerasan. Strategi yang dipilih adalah Total Diplomasi yang merupakan perwujudan dari multi track diplomacy. First

track diplomacy dan second track diplomacy menunjukkan upaya pembebasan ini melibatkan

banyak pihak, semua anak bangsa. Diplomasi total yang tidak saja hanya terfokus pada diplomasi government to government (track one) yakni Kemenlu, TNI dan Polri tapi juga melibatkan jaringan-jaringan informal seperti professional non pemerintah (track two) maupun

private citizen (track four) seperti yayasan sukma yang tediri atas mayor jendral purnawirawan

Supriadin, Ahmad Baedowi, Samsu Rizal Panggabean, dan Desi Fitriani jurnalis Metro TV juga melibatkan 2 LSM yang merupakan LSM pemberdayaan masyarakat dan anti kekerasan di Mindanau Filipina Selatan; serta tim yang dibentuk oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menugaskan Hamid Awaludin.

. Dalam pelaksanaannya berbagai pihak dalam second track diplomacy tetap berkoordinasi dengan pemerintah, dan pemerintah tetap menjadi pemimpin dalam diplomasi ini yang semuanya dilakukan untuk satu tujuan peace making yakni memulangkan sandera dalam keadaan selamat.

(20)
(21)

DAFTAR PUSTAKA

Alfredson, Tanya dan Cungu, Azeta.2008.Negotiation Theory and Practice.Food and Arigulture Organization of The United Nation

Anonim.2016. Bapak Pedang Lupa Indonesia. Diakses pada Mei 2016 dari

http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/16/04/18/o5u41p1-bapak-pedang-lupa-indonesia

Atkinson, Garrett. 2012. Abu Sayyaf: The Father of the Swordsman”, A review of the rise of Islamic insurgency in the southern Philippines

Berridge, G.R.2002. Diplomacy Theory and Practice.New York : Palgrave.

Council of Foreign Relations. (2009. ) Abu Sayyaf Group (Philippines, Islamist separatists).Diakses pada April 2016 dari

http://www.cfr.org/philippines/abu-sayyafgroup-philippines-islamist-separatists/p9235

Diamond, Louise and John McDonald.1996. Multi Track Diplomacy, A System Approach to Peace. USA: Kumarian Press

Emilia, Ranny. 2013. Praktek Diplomasi. Jakarta: Baduose Media

Hasbullah, Moeflich. (2003)“ Asia Tenggara konsentrasi Baru Kebangkitan Islam. Bandung: Fokusmedia

Kegley, Jr., Charles and Eugene R. Wittkopf,. 2001. World Politics: Trend and Transformation. Bedford: St. Martins,

Manalo, Eusoquito P. (2004). The Philippine Response To Terorism: The Abu Sayyaf Group,” Thesis: Noval Postgraduate School

Olton Roy dan Jack C. Plano. Kamus Hubungan Internasional. Diterjemahkan oleh Wawan Juanda. Jakarta: Putra A. Bardhin CV. Cetakan Kedua, 1999

Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Jakarta: Rajawali Pers.

Satria Hadi, Mahardika et.al. (2016) Markas Abu Sayyaf Diserbu, 18 Tewas, Bagaimana

Nasib 10 WNI? . .Diakses pada April 2016 dari

https://m.tempo.co/read/news/2016/04/11/078761438/markas-abu-sayyaf-diserbu-18-tewas-bagaimana-nasib-10-wni

Shemi, Helmi . 2016 Tetap Pakai Diplomasi Total, Pemerintah Kembali Fokus pada 4 Sandera diakses pada April 2016 dari http://www.arah.com/article/2768/menlu-retno-pembebasan-sandera-gunakan-dua-acuan-utama.html

Sholahuddin, “NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia”. (, 2011), Jakarta: Komunitas Bambu

Simanjuntak, Rico Afrido. (2016). Bajak Kapal RI, Kelompok Abu Sayyaf Kesulitan Dana. Diakses pada April 2016 dari http://nasional.sindonews.com/read/1096507/14/bajak-kapal-ri-kelompok-abu-sayyaf-kesulitan-dana-1459225888

(22)

Tempo. 2016. Berebut Panggung Pembebasan Sandera. 9-16 Mei 2016. Jakarta : Tempo Wahjudi, Garnijanto Bambang. 2003 “Kerjasama Regional ASEAN Menghadapi Isu

Terorisme Internasional (Penaganan Aksi Teroisme Internasional di Filipinai Bagian Selatan Oleh ASEAN Tahun 2000 dan 2001)”, Jakarta: Universitas Indonesia

Gambar

Tabel 1. Track I dan Track II Diplomacy

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Subagyo (2014) dan Sudarsono (2015), Kompas dalam memberitakan peristiwa-peristiwa terorisme dan kekerasan bernuansa

Perancangan media promosi ini memiliki tujuan utama, yaitu untuk memperkenalkan pada target market tentang salah satu daya tarik Artotel yaitu Triwulan

Tujuan studi ini adalah : (1) Untuk mengetahui pesan – pesan moral yang di berikan orang tua Etnis Tionghoa dalam mendidik anaknya; (2) Untuk mengetahui

Ketiga komponen untuk menilai berpikir kreatif dalam matematika tersebut meninjau hal yang berbeda dan saling berdiri sendiri, sehingga siswa atau individu

Dalil akhlak, tidak menetapkan wujud Tuhan dengan jalan keabsahan realitas dan tidak dapat memuaskan kaum skeptik dalam wacana eksistensi Tuhan, tetapi hanya mengatakan

Tipe kamar, harga dan fasilitas yang beragam, musik yang diputar di hotel serta sense dan feel yang dilakukan G Suites Hotel Surabaya diharapkan akan

Berdasarkan uraian diatas, bahwa flexibility otot punggung tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan heading dalam permainan sepakbola, maka penelitian

Capaian indicator pada Tri Wulan I tahun 2016 sudah mencapai standar yaitu 100%.