• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Setiap perusahaan yang terdaftar di bursa efek wajib menyajikan laporan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Setiap perusahaan yang terdaftar di bursa efek wajib menyajikan laporan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

II.1 Laporan Keuangan

Setiap perusahaan yang terdaftar di bursa efek wajib menyajikan laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan sarana informasi keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Laporan keuangan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak eksternal, misalnya investor dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan investasi dana mereka.

Pertanggung jawaban manajer atas pengelolaan perusahaan diwujudkan dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk memperoleh informasi sehubungan dengan posisi keuangan dan hal-hal yang telah dicapai oleh perusahaan.

II.1.1 Pengertian Laporan Keuangan

Menurut Munawir (2004), “Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut”. (h.2).

Berdasarkan pendapat Supangkat (2005), “Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses pencatatan, penggabungan, dan pengikhtisaran semua transaksi yang dilakukan perusahaan dengan seluruh pihak terkait dengan kegiatan usahanya dan peristiwa penting yang terjadi di perusahaan”. (h.20).

(2)

Sawir (2005) mengatakan bahwa “Laporan keuangan adalah hasil akhir proses akuntansi. Setiap transaksi yang dapat diukur dengan nilai uang, dicatat dan diolah sedemikian rupa. Laporan akhir pun disajikan dalam nilai uang”. (h.2).

Kieso, Weygandt, Warfield (2005) mendefinisikan laporan keuangan sebagai berikut “the principle means through which a company communicates its financial information to those outside it. These statements provide a company’s history quantified in monetary terms”. (p.2).

Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan merupakan suatu instrumen yang sangat penting untuk menilai kinerja keuangan perusahaan dalam suatu periode tertentu. Laporan keuangan berisi informasi-informasi penting yang terkait dengan kinerja keuangan serta informasi-informasi penting lainnya yang berharga bagi pengguna laporan keuangan.

II.1.2 Tujuan Laporan Keuangan

Salah satu tujuan dasar laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi yang relevan bagi pemakai informasi keuangan dalam rangka pengambilan keputusan. Untuk itu, laporan keuangan harus mampu menggambarkan posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan pada saat tertentu.

Laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen atau pertanggung jawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Bab 4 Accounting Principal Board Statement No. 4 dalam Riahi-Belkaoui (2004) menyatakan bahwa tujuan laporan keuangan dapat diikhtisarkan sebagai berikut :

(3)

• Tujuan khusus laporan keuangan adalah menyajikan secara wajar dan sesuai prinsip akuntansi berterima umum, posisi keuangan, hasil operasi, dan perubahan lain dalam posisi keuangan.

• Tujuan umum laporan keuangan adalah sebagai berikut :

a. Menyediakan informasi yang dapat dipercaya tentang sumber daya ekonomi dan kewajiban suatu usaha bisnis.

b. Menyediakan informasi yang dapat dipercaya tentang perubahan sumber daya bersih sebagai hasil dari aktivitas-aktivitas perusahaan yang menghasilkan keuntungan.

c. Menyediakan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk mengestimasi earnings potensial perusahaan.

d. Menyediakan informasi lain yang dibutuhkan tentang perubahan sumber ekonomi dan kewajiban.

e. Mengungkapkan informasi lain yang relevan dengan kebutuhan pemakai.

II.1.3 Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan

Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004), laporan keuangan memiliki 4 karakteristik kualitatif pokok yaitu :

1. Dapat dipahami

Kualitas penting informasi dalam laporan keuangan adalah kemudahan untuk segera dapat dipahami oleh pemakai. Untuk maksud ini, pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar

(4)

2. Relevan

Agar bermanfaat, informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan jika dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan, menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu.

3. Keandalan

Agar bermanfaat, informasi juga harus handal (reliable). Informasi memiliki kualitas handal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang jujur dan yang seharusnya disajikan.

4. Dapat dibandingkan

Pemakai harus dapat membandingkan laporan keuangan perusahaan antar periode untuk mengidentifikasi kecenderungan (trend) posisi dan kinerja keuangan perusahaan.

II.1.4 Bentuk-Bentuk Laporan Keuangan Laporan keuangan perusahaan terdiri dari : 1. Neraca (Balance Sheet)

Neraca memberikan informasi mengenai berapa jumlah harta (asset), utang (liability), dan modal (equity) dari suatu organisasi pada suatu titik waktu, biasanya akhir tahun atau akhir periode akuntansi yang ditetapkan.

(5)

2. Laporan Laba Rugi (Income Statement)

Laporan ini memberikan informasi mengenai kenaikan kekayaan entitas karena pendapatan yang diperoleh serta penurunan kekayaan karena biaya yang dikeluarkan selama periode tertentu.

3. Laporan Arus Kas (Statement of Cash Flow)

Laporan ini memberikan suatu informasi mengenai arus kas masuk (cash inflow) dan arus kas keluar (cash outflow) selama suatu periode tertentu, sesuai dengan periode laporan keuangan lain.

4. Laporan Modal (Retained Earning Statement)

Laporan ini menggambarkan bagaimana modal organisasi didistribusikan (dalam bentuk perincian komposisi pemilik modal), keuntungan pada suatu periode dibagikan dalam bentuk pembagian laba kepada para pemegang saham atau kerap disebut sebagai dividen. (Nainggolan, 2006, h.1-5).

II.1.5 Pengguna Laporan Keuangan

Pengguna laporan keuangan adalah mereka yang memiliki kepentingan atas perusahaan atau disebut juga dengan stakeholder. Para pengguna laporan keuangan dapat berasal dari pihak internal maupun eksternal perusahaan.

Mengacu pada Munawir (2004), pihak-pihak yang berkepentingan terhadap posisi keuangan maupun perkembangan suatu perusahaan adalah para pemilik perusahaan, manajer perusahaan yang bersangkutan, para kreditur, bankers, para investor dan pemerintah dimana perusahaan tersebut berdomisili, buruh serta pihak-pihak lainnya lagi.

(6)

II.2 Laporan Laba Rugi

Kieso et al. (2005) menyatakan, “Income Statement is the report that measures the success of the company operations for a given period of time. The business and investment community uses the income statement to determine profitability, investment value, and creditworthiness”. (p.126).

Pada dasarnya, laporan laba rugi terdiri dari 4 elemen yaitu pendapatan (revenue), beban (expense), keuntungan (gain) dan kerugian (losses). Berikut ini adalah definisi dari masing-masing elemen tersebut yang mengacu pada Kieso et al.

1. Pendapatan (revenue) adalah arus masuk atau penambahan lain dalam aset dari suatu entitas atau penyelesaian kewajiban selama periode menghasilkan atau memproduksi barang, memberikan jasa, atau kegiatan lain yang merupakan aktivitas utama entitas.

2. Beban (expense) adalah arus keluar atau penggunaan aset atau penambahan kewajiban selama periode menghasilkan atau memproduksi barang, memberikan jasa, atau kegiatan lain yang merupakan aktivitas utama entitas.

3. Keuntungan (gain) adalah peningkatan dalam ekuitas (aktiva bersih) dari transaksi yang tak terduga dari suatu entitas kecuali transaksi yang menghasilkan pendapatan atau investasi oleh pemilik entitas.

4. Kerugian (losses) adalah penurunan dalam ekuitas (aktiva bersih) dari transaksi yang tak terduga dari suatu entitas kecuali transaksi yang menimbulkan beban atau distribusi kepada pemilik entitas.

(7)

Terlepas dari segala kegunaan informasi yang terkandung didalamnya, menurut Kieso et al. laporan laba rugi memiliki keterbatasan sebagai berikut :

1. Sesuatu yang tidak dapat diukur dengan tepat tidak dilaporkan dalam laporan laba rugi. Contohnya; pengakuan merk (brand recognition), pelayanan pelanggan (customer service), dan kualitas produk (product quality);

2. Angka dalam pendapatan dipengaruhi oleh metode akuntansi yang digunakan. Contohnya; metode depresiasi (straight line, double declining, sum of the year digit) dan metode penilaian persediaan (FIFO, LIFO, Avergae); dan

3. Pengukuran laba melibatkan pertimbangan (judgement). Contohnya, pertimbangan dalam masa manfaat aktiva tetap dan pertimbangan dalam penghapusan utang tak tertagih (bad debt write-off)

Keterbatasan-keterbatasan tersebut dinilai dapat memberi peluang kepada manajemen untuk melakukan manajemen laba.

II.2.1 Laba

Laba merupakan komponen laporan keuangan yang dapat dilihat dalam laporan laba rugi (income statement). Biasanya laba digunakan untuk menilai kinerja manajemen, memprediksi laba masa depan, dan menilai resiko dalam investasi.

Menurut Theodorus (2000), laba bisa diartikan sebagai arus kekayaan atau jasa yang melebihi keperluan untuk mempertahankan modal konstan. Konsep laba sebagai pengukuran yang fundamental terus menerus menghadapi tantangan, akan tetapi dilihat dari sudut perspektif informatif konsep laba jelas menggambarkan kegiatan akuntansi. Konsep laba tersebut adalah :

(8)

• Laba sebagai pengukur efisiensi

Efisiensi mempunyai arti yang nyata, paling tidak dalam konsep. Salah satu interpretasi dari efisiensi adalah kemampuan menghasilkan output secara maksimum, relatif terhadap sejumlah sumber daya tertentu atau suatu output yang konstan dengan pemakai sumber daya yang minimal, atau kombinasi dari harga tertentu sehingga menghasilkan return maksimal bagi pemilik perusahaan. • Laba sebagai alat ramal

FASB Statement of Financial Concept No. 1 menyatakan bahwa investor, kreditor, dan pihak lainnya sering menilai prospek arus masuk kas bersih perusahaan dengan menggunakan laba untuk membantu mereka mengevaluasi daya laba (earning power), meramal laba yang akan dating atau memberikan pinjaman kepada perusahaan.

II.3 Manajemen Laba

Menurut Kieso et al. (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut, “ Planned timing of revenues, expenses, gains and losses to smooth out bumps in earnings”. (p.128). Artinya, manajemen laba digunakan untuk meningkatkan laba pada tahun berjalan pada beban atas pendapatan di masa yang akan datang atau sebaliknya mengurangi laba tahun berjalan untuk meningkatkan pendapatan di masa yang akan datang.

(9)

II.3.1 Bentuk-Bentuk Manajemen Laba

Menurut Scott (1997), bentuk-bentuk dari manajemen laba adalah sebagai berikut :

1. Taking a bath

Biasanya pola ini dilakukan pada saat perusahaan mengalami kekacauan atau sedang melakukan reorganisasi. Manajemen perusahaan yang harus melaporkan kerugian, merasa bahwa mereka mungkin juga harus sekaligus melaporkan kerugian yang besar. Akibatnya, manajer akan melakukan write-off terhadap aset, dan sebagainya.

2. Income minimization

Pola ini biasanya dipilih oleh perusahaan yang mengalami keuntungan yang tinggi. Kebijakan yang termasuk dalam income minimization adalah melakukan write-off terhadap capital assets dan intangibles, membebankan biaya iklan dan pengeluaran R&D, dan sebagainya.

3. Income maximization

Perusahaan yang cenderung melanggar perjanjian utang biasanya melakukan income maximization. Dari perspektif teori akuntansi positif, manajer melakukan maksimasi laba yang dilaporkan dengan tujuan untuk mendapatkan bonus. 4. Income smoothing

Merupakan bentuk manajemen laba yang paling sering dilakukan. Melalui income smoothing, manajer menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi.

(10)

II.4 Perataan Laba

Perataan laba terkait erat dengan konsep earnings management. Pada kenyataannya, manajer sering kali terlibat dalam praktik manajemen laba (earning management), dan perataan laba (income smoothing) merupakan salah satu bentuk dari manajemen laba. Perataan laba mempunyai tujuan yang jelas, yaitu menghasilkan pertumbahan laba yang stabil.

II.4.1 Definisi Perataan Laba

Anggapan bahwa perusahaan secara sengaja meratakan labanya diusulkan pertama kali oleh Hepworth (1953) dan dikembangkan oleh Gordon (1964) dengan serangkaian proposisi sebagai berikut :

1. Kriteria yang digunakan oleh manajemen dalam memilih prinsip akuntansi adalah memaksimalkan utilitas atau kesejahteraan.

2. Kesejahteraan manajer yang ditingkatkan dengan (1) keamanan kerja manajer, (2) tingkat pertumbuhan pendapatan manajer, dan (3) tingkat pertumbuhan ukuran perusahaan.

3. Pencapaian dari tujuan manajemen yang dinyatakan dalam definisi kedua tergantung pada kepuasan pemegang saham terhadap kinerja perusahaan.

4. Kepuasan pemegang saham terhadap perusahaan meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan (atau rata-rata dari tingkat pengembalian atas ekuitas) dan stabilitas pendapatan, sangat penting bagi para manajer untuk bebas mencapai tujuan mereka sendiri.

(11)

Menurut Koch dalam Suwito dan Herawaty (2005), perataan laba dapat didefinisikan sebagai cara yang digunakan oleh manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan agar sesuai dengan target yang diinginkan baik secara artifisial melalui metode akuntansi, maupun secara riil melalui transaksi.

Sedangkan Beidleman dalam Accounting Theory karya Belkaoui (2004) mendefinisikan perataan laba sebagai berikut :

“Smoothing of reported earnings may be defined as the intentional dampening or fluctuations about some level of earnings that is currently considered to be normal for a firm. In this sense smoothing represents an attempt on the part of the firm’s management to reduce abnormal variations in earnings to be extent allowed under sound accounting and management principles”. (p.450).

Ketika laba yang dilaporkan di bawah laba yang diharapkan, maka manajemen cenderung untuk menaikkan laba, dan apabila laba yang dilaporkan lebih besar dari laba yang diharapkan, maka manajemen cenderung menurunkan jumlah laba yang seharusnya dilaporkan.

II.4.2 Faktor Pendorong Perataan Laba

Berbagai macam faktor muncul untuk mendorong dilakukannya perataan laba. Faktor yang diasumsikan menyebabkan manajer melakukan perataan laba menurut Riahi-Belkaoui (2004) dalam buku Accounting Theory, adalah :

1. Mekanisme pasar kompetitif, yang mengurangi pilihan-pilihan yang tersedia untuk manajemen.

2. Skema kompensasi manajemen, yang terkait langsung dengan kinerja perusahaan.

(12)

3. Ancaman pergantian manajemen. (p.451).

Berikut adalah beberapa faktor yang mendorong manajemen melakukan perataan laba dalam Sugiarto (2003) :

1. Kompensasi bonus

Pada penelitiannya, Healy menemukan bukti bahwa manajer yang tidak dapat memenuhi target laba yang ditentukan akan memanipulasi laba agar dapat mentransfer laba masa kini menjadi laba masa depan. Selain itu, menurut Harahap (2005), pentingnya laporan keuangan mengundang manajemen untuk meratakan laba demi mendapatkan bonus yang tinggi.

2. Kontrak utang

Defond dan Jimbalvo (1994) dengan menggunakan model Jones, mengevaluasi tingkat akrual perusahaan yang tidak dapat memenuhi target laba. Mereka menemukan bahwa perusahaan yang melanggar perjanjian utang telah merekayasa labanya, satu periode sebelum perjanjian utang itu dibuat.

3. Faktor politik

Jones (1991) meneliti perusahaan yang sedang diinvestigasi oleh International Trade Commision (ITC). Ia menemukan bukti bahwa produsen domestik cenderung menurunkan laba dengan teknik discretionary accrual untuk mempengaruhi keputusan regulasi impor. Naim dan Hartono (1996) meneliti perusahaan yang diduga melakukan monopoli dan menemukan bahwa manajer perusahaan melakukan perataan laba untuk menghindari undang-undang Anti-Trust.

(13)

4. Pengurangan pajak

Arens, Elder, Beasley (2005) mengatakan bahwa perusahaan melakukan perataan laba untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. 5. Perubahan CEO

Pourciao (1993) menemukan bukti bahwa perekayasaan laba dilakukan dengan meningkatkan unexpected accruals pada periode satu tahun sebelum penggantian eksekutif tak rutin.

6. Penawaran saham perdana

Clarkson (1992) menyatakan ada reaksi positif dari pengumuman earnings forecast yang ada di prospektus dengan tingkat penjualan saham, karena publik hanya melihat laporan keuangan yang dilaporkan pada regulator. Banyak perusahaan yang melakukan perataan laba demi mendapatkan dan mempertahankan investor. (Jones, 2005).

II.4.3 Metode Perataan Laba

Berikut adalah pengklasifikasian metode perataan laba menurut beberapa ahli sebagaimana tercantum dalam Assih dan Gudono (2000).

1. Bartov (1993)

a. Accrual based manipulation, yaitu manipulasi dengan menggunakan metode atau taksiran akuntansi atau dengan memperlakukan transaksi yang menyebabkan laba yang dilaporkan mendekati angka yang ditargetkan.

b. Real manipulation, yaitu memanipulasi dengan cara memaksimalkan aliran kas yang diharapkan untuk saat ini.

(14)

2. Dascher dan Malcom (1970)

a. Real smoothing, yaitu dengan sengaja melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan pertimbangan pengaruh perataannya terhadap laba.

b. Artificial smoothing, yaitu perataan laba dengan menerapkan prosedur akuntansi untuk memindah biaya dan/atau pendapatan dari satu periode ke periode yang lain.

3. Ronen dan Sadan (1975)

a. Perataan laba melalui kejadian dan/atau pendapatan dari satu periode ke periode yang lain.

b. Perataan laba melalui alokasi selama periode tertentu. c. Perataan laba melalui klasifikasi.

Sedangkan, menurut Riahi-Belkaoui (2004) ada dua jenis perataan laba, yaitu : 1. Intentional atau designed smoothing

Adalah keputusan atau pilihan yang dibuat untuk mengatur fluktuasi earnings pada level yang diinginkan.

2. Natural smoothing

Adalah income generating process yang natural, bukan hasil dari tindakan yang diambil oleh manajemen.

II.4.4 Teknik Perataan Laba

Dalam Sugiarto (2003) berbagi teknik yang dilakukan dalam perataan laba adalah :

(15)

kebijakan manajemen sendiri (accruals) misalnya, pengeluaran biaya riset dan pengembangan. Selain itu, banyak juga perusahaan yang menggunakan kebijakan diskon dan kredit, sehingga hal ini dapat menyebabkan meningkatnya jumlah piutang dan penjualan pada bulan terakhir tiap kuarter dan laba kelihatan stabil pada periode tertentu.

2. Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu. Manajer mempunyai wewenang untuk mengalokasikan pendapatan atau beban untuk periode tertentu. Misalnya, jika penjualan meningkat maka manajemen dapat membebankan biaya riset dan pengembangan serta amortisasi goodwill pada periode itu untuk menstabilkan laba.

3. Perataan melalui klasifikasi. Manajemen memiliki kewenangan untuk mengklasifikasikan pos-pos laba rugi dalam kategori yang berbeda. Misalnya, jika pendapatan non-operasi sulit untuk didefinisikan, maka manajer dapat mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan non-operasi.

Sedangkan, menurut Leopold (1998), teknik pengelolaan laba perusahaan dapat dilakukan dengan cara :

1. Income Shifting

Proses mengelola laba dengan cara memindahkan laba dari satu periode ke periode lainnya. Pemindahan ini dapat dilakukan dengan cara mempercepat atau menunda pengakuan dari pendapatan dan atau biaya. Cara-cara teknis yang dapat dilakukan adalah :

(16)

• Mempercepat pengakuan pendapatan. Misalnya dengan cara membujuk dealer atau wholeseller agar membeli produk perusahaan ketika mendekati akhir periode fiskal. Cara ini disebut channel loading.

• Penundaan pengakuan biaya yang dilakukan dengan cara mengkapitalisasi biaya dan mengamortisasikannya ke masa datang. Misalnya, biaya penelitian dan pengembangan, promosi, dan mengkapitalisasi bunga.

• Memindahkan beban ke periode berikutnya dengan cara mengadopsi metode akuntansi tertentu. Sebagai contoh mengadopsi FIFO untuk penilaian persediaan, menggunakan metode penyusutan garis lurus, dan lain sebagainya.

• Membebankan sejumlah besar biaya pada satu waktu. Misalnya penilaian kembali aset (asset impairment), biaya restrukturisasi perusahaan. Pendekatan ini memungkinkan pengakuan beban lebih cepat dan akan meringankan beban laporan keuangan pada periode berikutnya.

2. Classifying

Laba dapat pula dikelola dengan cara mengklasifikasikan pendapatan dan biaya secara selektif. Cara yang paling biasa dilakukan adalah memasukkan biaya ke dalam kategori unussual, nonrecurring items, laba (rugi) atas penghentian usaha (discontinued operations) atau kategori akun lain yang kurang dianggap penting oleh analis.

(17)

II.4.5 Tujuan Perataan Laba

Tujuan dari perataan laba mendatangkan banyak pendapat dari para peneliti terdahulu. Berbagai penelitian yang dilakukan membuktikan banyak tujuan yang melatarbelakangi terjadinya perataan laba pada suatu perusahaan.

Adapun menurut Foster (1986) sebagaimana tercantum dalam Suwito et al., tujuan dari perataan laba yaitu antara lain :

1. Memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar bahwa perusahaan tersebut memiliki resiko yang rendah.

2. Memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba di masa mendatang.

3. Meningkatkan kepuasan relasi bisnis.

4. Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemampuan manajemen. 5. Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.

Sedangkan menurut Heyworth dalam Syahriana (2006), terdapat empat tujuan manajemen melakukan perataan laba :

1. Mengurangi total pajak terutang.

2. Meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena penghasilan yang stabil dinilai dapat mendukung kebijakan dividen yang stabil pula.

3. Meningkatkan hubungan antara manajer dan karyawan karena pelaporan penghasilan yang meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji dan upah.

4. Siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat dibandingkan dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat diperlunak.

(18)

Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa perataan laba yang dilakukan oleh manajemen bertujuan untuk menjaga laba perusahaan tetap stabil dari tahun ke tahun.

II.5 Saham

Mengacu pada Kieso et al. (2005), mendefinisikan saham sebagai berikut : “Common stock is the residual corporate interest that bears the ultimate risk of loss and receives the benefit of success. It is guaranteed neither dividends nor assets upon dissolutions”. (p.722).

Harga pasar saham mencerminkan nilai suatu perusahaan. Semakin tinggi harga saham, maka semakin tinggi pula nilai perusahaan tersebut dan sebaliknya. Harga saham yang terlalu rendah sering diartikan bahwa kinerja perusahaan kurang baik. Namun bila harga saham terlalu tinggi dapat mengurangi minat investor untuk berinvestasi sehingga harga saham sulit untuk meningkat lagi.

II.5.1 Klasifikasi Saham

Menurut Fakhruddin (2008), klasifikasi saham dapat dibedakan atas beberapa hal, seperti berikut ini :

1. Berdasarkan cara peralihan hak, saham dapat dibedakan atas

a. Saham atas unjuk atau bearer stocks, artinya pada saham tersebut tidak tertulis nama pemiliknya agar mudah dipindahtangankan dari satu investor ke investor lainnya.

(19)

b. Saham atas nama atau registered stocks, merupakan saham yang ditulis dengan jelas siapa pemiliknya, dimana cara peralihannya harus nelalui prosedur tertentu.

2. Berdasarkan hak tagihan atau klaim, maka saham terbagi atas :

a. Saham biasa atau common stocks, yaitu saham yang menempatkan pemiliknya paling junior terhadap pembagian dividen, dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi. Saham biasa merupakan saham yang paling banyak dikenal dan diperdagangkan di pasar. b. Saham preferen atau preferred stocks, merupakan saham yang memiliki

karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obligasi), tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil seperti yang dikehendaki investor.

3. Berdasarkan kinerja saham, maka saham dikategorikan atas :

a. Blue chip stocks, yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi tinggi, sebagai pemimpin di industri sejenis, memiliki pendapatan yang stabil dan konsisten dalam membayar dividen.

b. Income stocks, yaitu saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan membayar dividen lebih tinggi dari rata-rata dividen yang dibayarkan pada tahun sebelumnya.

c. Growth stocks (well known), yaitu saham-saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai pemimpin di industri sejenis yang memiliki reputasi tinggi. Selain itu, terdapat juga growth stocks (lesser known), yaitu saham dari emiten yang tidak sebagai pemimpin dalam industri namun memiliki ciri seperti growth stocks (lesser known).

(20)

d. Speculative stocks, yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara konsisten memperoleh penghasilan dari tahun ke tahun, akan tetapi memiliki kemampuan penghasilan yang tinggi di masa mendatang, meskipun belum pasti.

e. Counter cyclical stocks, yaitu saham yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi makro maupun situasi bisnis secara umum. Pada saat resesi ekonomi, harga saham ini tetap tinggi, dimana emitennya mampu memberikan dividen yang tinggi sebagai akibat dari kemampuan emiten dalam memperoleh penghasilan yang tinggi pada masa resesi. (h.132).

II.5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Saham

Harga saham berubah-ubah setiap saat berdasarkan informasi yang diperoleh investor di bursa efek. Dalam aktivitas di pasar modal, harga saham merupakan faktor penting yang diperhatikan investor dalam melakukan investasi. Menurut Juniarti (2005) mengatakan bahwa harga saham di pasar modal setiap saat bisa mengalami perubahan. Beberapa faktor yang mempengaruhi harga saham, antara lain :

1. Harapan investor terhadap tingkat pendapatan dividen untuk masa yang akan datang. Apabila tingkat pendapatan dan dividen suatu saat stabil maka harga saham cenderung stabil. Sebaliknya jika tingkat pendapatan dan dividen berfluktuasi karena siklus perusahaan atau perubahan teknologi maka harga saham berfluktuasi juga.

2. Kondisi perekonomian

(21)

terhadap kondisi yang akan datang sehingga harga saham cenderung stabil dan demikian sebaliknya.

3. Tingkat pendapatan perusahaan

Tingkat pendapatan tercermin dari earning per share (EPS) terkait dengan kenaikan harga saham. Apabila fluktuasi dari EPS semakin besar maka harga saham akan semakin besar pula.

Selain faktor internal perusahaan, faktor eksternal perusahaan juga mempengaruhi perdagangan saham. Faktor-faktor diluar perusahaan yang dapat mempengaruhi perdagangan saham antara lain kebijakan pemerintah, perkembangan kurs, kondisi bursa, volume dan frekuensi di bursa, kekuatan pasar, tingkat inflasi, kebijakan moneter, kondisi ekonomi dan keadaan politik.

II.5.3 Return Saham

Pada dasarnya investor termotivasi untuk melakukan investasi pada suatu instrumen dengan harapan mendapatkan return yang sesuai. Return merupakan tingkat keuntungan yang diperoleh investor atas investasi yang dilakukan. Return investasi tergantung pada instrumen investasinya. Ada yang menjamin tingkat kembalian yang akan diterima, misalnya sertifikat deposito di bank yang memberikan bunga sebesar persentase tertentu.

Lain halnya dengan saham. Saham tidak menjanjikan return yang pasti bagi investor sehingga dalam melakukan investasi, investor akan selalu memperhitungkan hasil atas saham (return) yang dimilikinya. Menurut Wahyudi (2003), return saham adalah keuntungan yang dinikmati investor atas investasi saham yang dilakukannya. Return tersebut memiliki dua komponen yaitu current income dan capital gain.

(22)

Bentuk dari current income berupa keuntungan yang diperoleh melalui pembayaran yang bersifat periodik berupa dividen sebagai hasil kinerja perusahaan. Sedangkan capital gain berupa keuntungan yang diterima karena selisih antara harga jual dan harga beli saham.

Dengan melakukan perataan laba maka perusahaan akan mampu mengendalikan abnormal return yang terjadi ketika laba diumumkan. Apabila pengumuman laba merupakan good news bagi investor, maka harga saham yang meningkat akan memberikan return tersendiri bagi investor, sehingga hal tersebut menarik perhatian investor untuk berinvestasi pada perusahaan.

Namun, apabila pengumuman laba menjadi bad news bagi investor, maka harga saham yang turun akan menyebabkan investor menarik atau melepaskan investasinya dari perusahaan. Dengan demikian, laba yang relatif stabil diharapkan akan meningkatkan persepsi pihak eksternal atas kinerja perusahaan.

II.6 Pengukuran Perataan Laba dan Return Saham

Foster (1986) dalam Suwito et al., menyebutkan bahwa pengumuman yang berhubungan dengan laba (Earning Related Announcement) merupakan salah satu pengumuman yang dapat mempengaruhi harga sekuritas atau saham. Beaver (1968) dalam Assih (2000) menyebutkan bahwa bila pengumuman laba tahunan mengandung informasi, variabilitas perubahan harga akan tampak lebih besar pada saat laba diumumkan daripada saat lain selama tahun yang bersangkutan karena terdapat perubahan dalam keseimbangan nilai harga saham saat itu selama periode pengumuman (h.37).

(23)

Untuk membedakan perata dan bukan perata digunakan indeks Eckel dengan formula sebagai berikut :

Dimana :

Δ S : Perubahan pendapatan operasional dalam satu periode Δ I : Perubahan laba operasional dalam satu periode

CV : Koefisien variasi dari variabel yaitu standar deviasi dibagi dengan nilai yang diharapkan (ukuran rata-rata dari variabel)

Dasar pengambilan keputusan :

1. Apabila Indeks Eckel >1 maka perusahaan adalah perata, dan 2. Apabila Indeks Eckel <1 maka perusahaan bukanlah perata laba.

Sedangkan untuk menghitung return saham dalam penelitian ini, dihitung berdasarkan waktu pelaporan laporan keuangan kepada BEI, yang diasumsikan paling lambat adalah pada tanggal 31 Maret. Return tersebut dapat dihitung dengan rumus :

Dimana :

Pt : Harga jual terakhir saham perusahaan pada hari ke t Pt-1 : Harga jual terakhir saham perusahaan pada hari ke t-1

Return Saham = (Pt – Pt-1)

Pt-1

(24)

II.7 Penelitian Terdahulu

Di Indonesia, penelitian mengenai tindakan perataan laba telah banyak dilakukan. Penelitian mengenai perataan laba akan dikelompokkan menjadi dua bagian seperti berikut :

II.7.1 Penelitian Mengenai Tindakan Perataan Laba di Pasar Modal Indonesia

II.7.1.1 Anna Suzanti (2001) – Analisis Pengaruh Perataan Laba terhadap Return Saham dan Resiko pasar saham Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta Penelitian ini bertujuan untuk meneliti apakah ada pengaruh perataan laba terhadap return saham dan resiko pasar saham untuk perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta. Selain itu, penelitian ini juga menguji apakah ada perbedaan antara return saham dan resiko pasar saham perusahaan yang melakukan perataan laba dengan return saham dan resiko pasar saham perusahaan yang tidak melakukan perataan laba.

Sampel yang digunakan sebanyak 130 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier sederhana untuk menguji pengaruh perataan laba terhadap return dan resiko pasar saham dan digunakan uji z untuk menguji perbedaan antara return saham dan resiko pasar saham perusahaan yang melakukan perataan laba dengan return saham dan resiko pasar saham perusahaan yang tidak melakukan perataan laba.

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada pengaruh perataan laba atas return saham dan resiko pasar saham perusahaan perata laba. Return saham perusahaan perata

(25)

ini juga menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara resiko pasar saham perusahaan perata laba dengan resiko pasar saham perusahaan bukan perata laba.

II.7.1.2 Ratno Agriyanto (2006) – Analisis Perataan Laba dan Pengaruhnya Terhadap Reaksi Pasar dan Resiko Investasi pada Perusahaan Publik di Indonesia

Dalam penelitian ini, permasalahan yang dibahas adalah apakah terdapat perbeadaan reaksi pasar dan rata-rata resiko investasi antara perusahaan perata laba dan bukan perata. Penelitian ini dilakukan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan sampel yang diambil adalah sebanyak 62 perusahaan yang diambil melalui metode purposive sampling.

Melalui perhitungan indeks Eckel, sampel penelitian terbagi atas 48 perusahaan sebagai perata laba dan 14 bukan perata laba. Data penelitian dikumpulkan dengan dokumentasi. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan teknik analisis regresi berganda dan uji t sampel independen setelah memenuhi beberapa syarat pengujian dan asumsi klasik.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa reaksi pasar yang dilihat pada tiga hari setelah pengumuman laba tidak menunjukkan perbedaan reaksi pasar antara perusahaan perata laba dengan perusahaan bukan perata dengan tingkat signifikansi 5%. Disamping itu, hasil penelitian ini juga tidak menunjukkan perbedaan resiko investasi antara perusahaan perata laba dengan perusahaan bukan perata dengan tingkat signifikansi 5%.

(26)

II.7.1.3 Syahril Djaddang (2006) – Analisis Hubungan Perataan Laba dengan Ekspektasi Laba Masa Depan Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengaruh dan hubungan perataan laba (net earnings, leverage, total asset, dan discretionary accrual) terhadap ekspektasi kinerja masa depan perusahaan. Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 36 perusahaan manufaktur yang terdafatr di Bursa Efek Jakarta yang dipilih dengan metode purposive sampling.

Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dalam pengumpulan datanya dan menggunakan Modified Jones Model sebagai asumsi perataan laba. Metode analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif, uji normalitas, uji asumsi klasik, dan uji hipotesis yang menggunakan uji korelasi, uji regresi berganda, uji f dan uji t.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel net earnings, leverage, dan total asset mempunyai hubungan positif terhadap ekspektasi laba masa depan perusahaan, sedangkan variabel discretionary accrual tidak mempunyai hubungan positif dengan ekspektasi laba masa depan perusahaan. Namun, hubungan antara variabel net earnings, leverage, dan total asset terhadap ekspektasi laba masa depan adalah hubungan dengan korelasi positif lemah.

(27)

II.7.1.4 Yuliana Mawarti (2007) – Pengaruh Perataan Laba terhadap Reaksi Pasar pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta

Penelitian ini melihat bagaimana pengaruh perataan laba terhadap reaksi pasar pada perusahaan manufaktur yang ada di Bursa Efek Jakarta. Populasi dalam penelitian ini hanya perusahaan manufaktur yang terdaftar di Busa Efek Jakarta. Sampel yang diambil sebanyak 58 perusahaan dimana 32 perusahaan dikategorikan melakukan perataan laba dan 26 perusahaan tidak melakukan perataan laba.

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa laporan keuangan tahunan perusahaan pada Bursa Efek Jakarta. Return yang diharapkan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan mean adjusted model dan perataan laba diukur menggunakan Indeks Eckel. Teknik analisis data menggunakan persamaan garis regresi yang dihitung dengan menggunakan analisis Ordinary Least Square (OLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan perataan laba mempunyai pengaruh negatif terhadap reaksi pasar yang diukur menggunakan CAR pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang melakukan perataan laba dinilai negatif sehingga pasar tidak bereaksi pada saat pengumuman laba. Perhitungan regresi sederhana menunjukkan bahwa perataan laba berkontribusi rendah terhadap reaksi pasar.

(28)

II.7.1.5 Muhammad Aulia Rahman (2008) – Analisa Pengaruh Perataan Laba terhadap Reaksi Pasar atas Pengumuman Informasi Laba Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis adanya kandungan informasi di seputar tanggal pengumuman laba untuk mengetahui adanya reaksi pasar dan menganalisis tingkat pengaruh tindakan perataan laba terhadap reaksi pasar tersebut. Pengujian kandungan informasi ini dilakukan dengan melakukan penghitungan terhadap nilai mutlak abnormal return dan menggunakan model estimasi market model untuk mengetahui return ekspektasi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa harga saham perusahaan yang mengumumkan laba serta Indeks Harga Saham Gabungan yang diperoleh dari Pojok Bursa Universitas Islam Indonesia. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 59 perusahaan dengan metode purposive sampling. Data perusahaan kemudian dianalisis dengan uji distribusi t.

Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa reaksi pasar yang diproksikan dengan nilai mutlak abnormal return pada perusahaan perata laba lebih kecil bila dibandingkan dengan reaksi pasar pada perusahaan bukan perata laba. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengujian statistik yang menghasilkan kesimpulan rata-rata nilai mutlak abnormal return perusahaan perata laba lebih kecil dari nilai mutlak abnormal return perusahaan bukan perata laba.

Rangkuman dari hasil penelitian-penelitian terdahulu di atas dapat dilihat pada tabel II.1 pada bagian lampiran.

(29)

II.7.2 Penelitian Mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba

II.7.2.1 Nani Syahriana (2006) – Analisis Perataan Laba dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta

Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba yaitu besaran perusahaan, net profit margin, operating profit margin, dan return on asset. Sampel penelitian berjumlah 73 perusahaan. Pemisahan antara perusahaan yang melakukan perataan laba dan yang tidak melakukan dengan menggunakan Indeks Eckel terhadap laba operasi.

Analisis statistik yang digunakan terdiri dari pengujian univariate untuk mengetahui signifikan tidaknya perbedaan antara perusahaan perata dan bukan perata, dalam hal ini menggunakan uji t jika data berdistribusi normal dan Mann-Whitney Test jika data tidak berdistribusi normal. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perataan laba dilakukan pengujian multivariate dengan menggunakan logistic regression.

Hasil perhitungan dengan Indeks Eckel menunjukkan bahwa sebanyak 15 perusahaan yang melakukan praktik perataan laba. Sedangkan dari hasil analisis regresi logistik baik secara serentak maupun terpisah terhadap keempat variabel independen yang diduga berpengaruh pada praktik perataan laba ternyata hanya operating profit margin yang terbukti berpengaruh. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa besaran perusahaan, net profit margin dan return on asset tidak berpengaruh pada praktik perataan laba, hanya operating profit margin yang dapat mempengaruhi perusahaan untuk melakukan tindakan tersebut.

(30)

II.7.2.2 Diefky Berryllian (2007) – Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur dan Keuangan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta

Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan timbulnya perataan laba pada perusahaan manufaktur dan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sampel terdiri dari 52 perusahaan dan faktor yang diuji dalam penelitian ini adalah besaran perusahaan, net profit margin, operating profit margin, dan kelompok usaha.

Untuk mengidentifikasi perusahaan yang melakukan praktik perataan laba dengan menggunakan Indeks Eckel. Metode statistik yang digunakan adalah statistik inteference meliputi pengujian univariate, seperti Mann-Whitney Test dan Two-Independent sample t-Test.

Pengujian yang dilakukan univariate menunjukkan bahwa besaran perusahaan, net profit margin , operating profit margin dan kelompok usaha tidak berpengaruh terhadap tindakan perataan laba. Hasil pengujian univariate tersebut didukung oleh hasil pengujian multivariate yang dilakukan secara serentak maupun terpisah yang menunjukkan keempat variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap praktik perataan laba.

(31)

II.7.2.3 Diastiti Okkarisma Dewi (2010) – Pengaruh Jenis Usaha, Ukuran Perusahaan dan Financial Leverage terhadap Tindakan Perataan Laba pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Penelitian ini menguji pengaruh jenis usaha, ukuran perusahaan dan financial leverage terhadap tindakan perataan laba pada perusahaan manufaktur dan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini menggunakan 61 perusahaan manufaktur dan 42 perusahaan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Untuk menentukan praktik perataan laba digunakan Indeks Eckel. Pengujian hipotesis menggunakan model analisis Ordinary Least Square (OLS) untuk menguji pengaruh dari jenis usaha, ukuran perusahaan dan financial leverage terhadap tindakan perataan laba.

Hasil penelitian membuktikan bahwa jenis usaha dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap tindakan perataan laba pada perusahaan manufaktur dan keuangan. Sedangkan, financial leverage pada perusahaan manufaktur tidak berpengaruh signifikan terhadap tindakan perataan laba, tetapi berpengaruh signifikan terhadap tindakan perataan laba pada perusahaan keuangan.

Rangkuman dari hasil penelitian-penelitian terdahulu di atas dapat dilihat pada tabel II.2 pada bagian lampiran.

(32)

II.8 Pengembangan Hipotesis

Sebagaimana diuraikan dalam landasan teori, salah satu faktor yang diasumsikan menyebabkan manajer melakukan perataan laba adalah mekanisme pasar kompetitif. Clarkson (1992) dalam Sugiarto (2003) menyatakan ada reaksi positif dari pengumuman earning forecast dengan tingkat penjualan saham, karena publik hanya melihat laporan keuangan yang dilaporkan pada regulator.

Beaver (1968) dalam Assih (2000) juga menyebutkan bahwa perilaku harga dan volume sekitar tanggal pengumuman mengindikasikan bahwa laba tahunan mengandung informasi yang relevan untuk penilaian perusahaan.

Net earnings merupakan salah satu faktor penentu perataan laba. Harahap (2005) menyatakan bahwa melalui perataan laba, laba tersebut dapat diatur sedemikian rupa oleh manajemen sehingga laba yang dihasilkan tidak berfluktuasi secara signifikan dan terlihat lebih stabil. Semakin besar net earnings suatu perusahaan, semakin besar pula harapan investor akan kenaikan return saham sehingga perusahaan akan cenderung melakukan perataan laba.

Berdasarkan teori tersebut, hipotesis yang dikembangkan adalah seperti berikut : Ha.1 : Net earnings mempunyai pengaruh positif terhadap return saham perusahaan

perata laba.

Ukuran perusahaan merupakan nilai yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan. Terdapat berbagai proksi yang biasanya digunakan untuk mewakili ukuran perusahaan, yaitu total asset, total sales, jumlah karyawan, dan lain sebagainya.

(33)

perusahaan yang lebih kecil karena perusahaan yang lebih besar menjadi subjek pemeriksaan (pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah dan masyarakat umum).

Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor penentu perataan laba karena semakin besar ukuran suatu perusahaan maka perusahaan tersebut diharapkan dapat menghasilkan laba yang lebih besar pula. Akibat dari kondisi tersebut, maka pihak perusahaan akan cenderung meratakan labanya untuk menarik investor. Semakin besar ukuran suatu perusahaan maka semakin besar juga harapan investor akan kenaikan return saham.

Berdasarkan teori tersebut, hipotesis yang dikembangkan adalah seperti berikut : Ha.2 : Total asset mempunyai pengaruh positif terhadap return saham perusahaan

perata laba.

Ha.3 : Total sales mempunyai pengaruh positif terhadap return saham perusahaan perata laba.

Menurut Sartono (2001), leverage menunjukkan proporsi penggunaan utang untuk membiayai investasi. Leverage merupakan salah satu faktor penentu perataan laba. Sebagaimana disebutkan dalam teori, salah satu faktor pendorong perataan laba adalah perjanjian utang. Dimana dalam perjanjian tersebut, pihak perusahaan harus menjaga tingkat utang yang dimilikinya. Semakin tinggi utang suatu perusahaan, maka perusahaan tersebut akan cenderung meratakan labanya untuk menarik investor.

Semakin besar tingkat utang suatu perusahaan maka semakin besar pula resiko yang dihadapi investor. Akibat dari kondisi tersebut, investor akan mengharapkan return yang semakin tinggi sehingga perusahaan akan cenderung melakukan praktik perataan laba untuk tetap menjaga tingkat utangnya.

(34)

Berdasarkan teori tersebut, hipotesis yang dikembangkan adalah seperti berikut : Ha.4 : Leverage mempunyai pengaruh positif terhadap return saham perusahaan perata

laba.

Dalam penelitian Syahriana (2006), operating profit margin merupakan salah satu variabel independen yang mempengaruhi praktik perataan laba. Menurut Assih (2000), perusahaan yang memiliki profit yang lebih tinggi cenderung melakukan perataan laba dibandingkan perusahaan yang memiliki profit rendah.

Operating profit margin adalah rasio untuk mengukur tingkat profitabilitas suatu perusahaan. Sama halnya dengan net earnings, investor juga lebih menyukai tingkat profitabilitas yang cenderung stabil dibandingkan dengan yang berfluktuasi secara signifikan. Operating profit margin merupakan salah satu faktor penentu perataan laba karena semakin tinggi profit suatu perusahaan maka semakin tinggi juga harapan investor akan kenaikan return saham.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, hipotesis yang dikembangkan adalah sebagai berikut :

Ha.5 : Operating profit margin mempunyai pengaruh positif terhadap return saham perusahaan perata laba.

Referensi

Dokumen terkait

Neuron-neuron itu relatif tidak peka terhadap fitur-fitur visual lain; mereka tidak merespons secara selektif terhadap orientasi berbeda dan memiliki medan

The TBS model can be distinguished from the afore discussed scaffoldings in terms of orientation and induction, identify key concepts and focus group discussions

Namun pada era milenial saat ini hijrah justru lebih diartikan dengan perubahan seseorang dari yang sebelumnya buruk menjadi ke arah yang lebih baik atau

yang dialami oleh siswa sehingga kajian tentang kejenuhan belajar bisa

Secara politik orang Papua asli dibeking oleh UU Otsus yang memberikan prioritas kepada orang Papua asli (putra-putri daerah asli) untuk menjadi pemimpin politik namun

wanita mempunyai berat badan yang ringan dibandingkan pria, adanya lemak lebih banyak pada tubuh wanita merupakan cadangan energy yang lebih besar, kemampuan berbeda enzim

Perencanaan yang meliputi Perhitungan komponen elemen mesin seperti : poros, bantalan, roda gigi, pen, sabuk dan puli yang diaplikasikan dalam pembuatan mesin

Hasil penghitungan korelasi Somers’d juga tidak menunjukkan hubungan atau korelasi yang signifikan antara kontrol glikemik pada pasien wanita DM tipe 2 dengan kejadian BAS