• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIALEKTOLOGI PERSEPTUAL VARIASI LINGUISTIK BAHASA SUNDA DIALEK CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIALEKTOLOGI PERSEPTUAL VARIASI LINGUISTIK BAHASA SUNDA DIALEK CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DIALEKTOLOGI PERSEPTUAL

VARIASI LINGUISTIK BAHASA SUNDA DIALEK CIAMIS

PROVINSI JAWA BARAT

(PERCEPTUAL DIALECTOLOGY OF

SUNDANESE LINGUISTIC VARIATION OF CIAMIS DIALECT

IN WEST JAVA PROVINCE)

Wagiati

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

Jalan Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor, Sumedang wagiati@unpad.ac.id

Nani Darmayanti

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

Jalan Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor, Sumedang n.darmayanti@unpad.ac.id

Duddy Zein

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor, Sumedang

zein@unpad.ac.id

Abstract

This writing examines the linguistic variation of Sundanese dialect of Ciamis Regency, West Java, within perceptual dialectology perspective. Theoretically, the approach used in this research is perceptual dialectology. Methodologically, this study uses a combination approach (combined research methods). Data collection was done by participant observation with introspection, in-depth interviews, and document review. This study was conducted in Ciamis Regency in five districts based on wind directions, namely Sindangkasih District, Sukamantri District, Lakbok District, Banjarsari District, and Pamarican District. The results show that in Ciamis Regency there is a distribution of Sundanese sub-dialects based on the perceptions of the speech community regarding the distribution of these sub-dialects, which can be classified into three main sub-dialects based on the distribution of the dialect, namely the West Ciamis Sundanese dialect, the East-Central Sundanese sub-dialect, and the Southeast Ciamis Sundanese sub-dialect.

Keywords: perceptual dialectology, linguistic variation, Sundanese language, Ciamis.

Abstrak

Kajian ini mengkaji variasi linguistik bahasa Sunda dialek Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, dalam perspektif dialektologi perseptual. Secara teoretis, pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah dialektologi perseptual. Adapun secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi (metode penelitian gabungan). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan participant observation atau pengamatan berperan serta dengan introspeksi, wawancara mendalam, dan telaah dokumen. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis di lima kecamatan yang ditentukan berdasarkan arah mata angin, yaitu Kecamatan Sindangkasih, Kecamatan Sukamantri, Kecamatan Lakbok, Kecamatan Banjarsari,

(2)

dan Kecamatan Pamarican. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Ciamis terdapat persebaran subdialek dari bahasa Sunda berdasarkan persepsi masyarakat tutur terhadap sebaran subdialek tersebut, yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga subdialek utama berdasarkan persebaran dialektalnya, yaitu subdialek bahasa Sunda Ciamis Barat, subdialek bahasa Sunda Ciamis Timur - Tengah, dan subdialek bahasa Sunda Ciamis Tenggara.

Kata kunci: dialektologi perseptual, variasi linguistik, bahasa Sunda, Ciamis

1. Pendahuluan

Bahasa menjadi satu di antara aspek penting dalam kehidupan manusia, khususnya dalam proses komunikasi dan interaksi di antara sesamanya. Proses interaksi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya bertujuan, salah satunya untuk menyambungkan persepsi, ide, gagasan, harapan, dan sebagainya di antara mereka. Proses tersebut tidak akan berjalan apabila tidak ditopang dengan instrumen dan alat penghubungnya. Dalam konteks komunikasi verbal di antara manusia, bahasalah yang menjadi instrumen tersebut. Itulah sebabnya, bahasa memiliki posisi yang vital dalam kehidupan manusia, khususnya dalam proses komunikasi dan interaksi. Perbedaan persepsi dalam proses komunikasi tidak jarang menimbulkan apa yang disebut sebagai konflik. Konflik-konflik horizontal kerap kali muncul beriringan dengan kekeliruan dan kesalahan persepsi antarmanusia dalam proses komunikasi. Oleh sebab itu, upaya meminimalkan adanya gesekan horizontal yang disebabkan oleh salah persepsi itu dapat diupayakan melalui penguasaan bahasa sebagai instrumennya.

Suatu daerah tutur memiliki bahasa pertama atau bahasa ibu yang masih dominan digunakan sebagai pengantar komunikasi di antara anggota tuturnya. Dalam perkembangannya, suatu bahasa daerah kerap kali mengalami dinamika yang begitu kompleks, khususnya apabila dihubungkan dengan perkembangan globalisasi dengan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Dalam konteks Indonesia, dinamika tersebut semakin kompleks ketika bahasa daerah dihadap-hadapkan dengan kebijakan politik bahasa yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Di satu sisi, Indonesia diuntungkan dengan adanya politik bahasa yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional karena hal tersebut dapat meminimalisasi terjadinya salah persepsi akibat perbedaan bahasa dalam

proses komunikasi antaretnik. Bahasa Indonesia dapat digunakan sebagai bahasa nasional yang dengannya masyarakat antaretnis dapat saling berkomunikasi satu dengan lainnya tanpa khawatir akan adanya perbedaan bahasa. Namun, di sisi yang lain, kebijakan politik bahasa tersebut juga telah berdampak terhadap eksistensi bahasa daerah yang sedikit demi sedikit mengalami pergeseran bahasa.

Kebijakan politik bahasa, dalam hal ini peresmian bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional menjadi satu hal yang patut disyukuri. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia telah berhasil menjadi alat komunikasi dan interaksi antarsuku bangsa yang hidup di negara Indonesia. Perbedaan sosiokultural dan lingual tidak lagi menjadi penghalang komunikasi antarmasyarakat. Sebab dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, komunikasi antarsuku bangsa akan mudah dilakukan. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi apabila bahasa Indonesia tidak dijadikan sebagai bahasa nasional. Pertama, penduduk di daerah dengan bahasa yang berbeda akan berkomunikasi dengan cara mereka masing-masing tanpa keduanya saling mengerti. Situasi ini tentu saja tidak akan menghasilkan praktik komunikasi yang efektif–bahkan rentan adanya salah persepsi dan salah komunikasi, alih-alih menyebutnya dengan istilah “kesimpangsiuran komunikasi”. Kesimpangsiuran komunikasi ini pada masanya nanti akan rentan memunculkan konflik horizontal. Jika kondisi ini terus berlangsung, sampai kapan pun tidak akan pernah ada kesepakatan sosial yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bersatu dalam suatu negara kesatuan. Kedua, memunculkan konsensus sosial untuk memilih dan mengambil salah satu dari kekayaan 413 bahasa daerah (Pusat Bahasa, 2009 dan Wahyuni, 2010) sebagai bahasa nasional. Namun demikian, kondisi yang kedua ini akan memunculkan dua

(3)

risiko besar, yakni munculnya kecemburuan terhadap daerah yang bahasanya terpilih sebagai bahasa nasional, dan rentan memunculkan sikap etnosentris pada suku bangsa penutur bahasa yang terpilih menjadi bahasa nasional. Atas dasar itu, pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dapat dipandang sebagai kebijakan yang tepat di tengah kondisi bangsa Indonesia yang multikultural.

Namun demikian, di tengah hiruk-pikuk kecemasan orang-orang akan lunturnya loyalitas berbahasa daerah, naluri pemertahanan bahasa sebenarnya sudah dimiliki secara alami oleh penuturnya. Tarik-menarik kosakata bahasa satu dengan bahasa lainnya yang sering bersinggungan merupakan bentuk nyata upaya pemertahanan bahasa. Tarik-menarik ini tanpa disadari telah memberikan pengaruh pada bahasa lawan dan bahasa penutur sendiri. Pengaruh itu dapat diadaptasi secara langsung tanpa melalui perubahan bunyi atau melalui perubahan bunyi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa saling keterpengaruhan tersebut merupakan bentuk eksistensi dari masing-masing bahasa.

Di Indonesia, terdapat banyak etnis yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap kelompok etnis memiliki bahasa dan budaya tersendiri. Bahasa daerah yang ada di suatu wilayah tutur digunakan sebagai alat komunikasi antarmasyarakat dalam etnik tersebut. Selain kekayaan bahasa, mereka juga memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam. Oleh sebab itu, berbagai bahasa dan budaya tersebut harus dipertahankan sebagai kekayaan intelektual demi menjaga keberagaman dalam persatuan berbangsa dan bernegara (Wacana, 2013).

Bahasa daerah dalam hubungannya dengan kehidupan sosial dalam suatu masyarakat tutur, setidaknya memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai alat komunikasi dan sebagai medium praktik kebudayaan lokal daerah setempat. Dwifungsi bahasa daerah ini sejalan dengan fungsi bahasa itu sendiri, yaitu fungsi pragmatik

(pragmatical use) dan fungsi kultural (cultural use). Adapun penggunaan bahasa dengan fungsi

kultural dapat dipahami sebagai praktik lingual di dalam kegiatan kultural. Dalam konteks yang lebih sempit, fungsi kultural dari bahasa daerah ini adalah sebagai medium penyampaian dalam pelaksanaan kebudayan lokal suatu masyarakat tertentu. Itu artinya, ada beberapa

wujud kebudayaan lokal yang menjadikan bahasa sebagai medium penyampaiannya.

Bahasa Sunda ditetapkan sebagai bahasa ibu oleh masyarakat Sunda, sekaligus dijadikan sebagai alat untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Adanya politik bahasa yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sedikit-banyaknya telah memengaruhi penggunaan bahasa-bahasa daerah, termasuk penggunaan bahasa Sunda oleh masyarakat Sunda. Itulah sebabnya, dewasa ini keberadan bahasa Sunda, seperti halnya bahasa-bahasa daerah lainnya, mulai mengalami tekanan fungsional, seiring dengan politik bahasa tersebut. Atas fakta tersebut, dewasa ini dapat disaksikan bahwa bahasa Sunda mulai ditinggalkan oleh penuturnya, meskipun sama-sama berkomunikasi dengan penutur Sunda. Dengan demikian, disadari ataupun tidak, bahasa Sunda telah mengalami pergeseran bahasa. Jika kondisi ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan mengarah kepada gejala kepunahan bahasa (language death). Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Mbete (2003) bahwa apabila dalam suatu keluarga, praktik berbahasa antara orang tua dengan anaknya—dan sebaliknya--dalam bahasa lokal sudah semakin jarang apalagi menghilang, kondisi ini merupakan tanda serius akan adanya kematian bahasa (Mbete, 2003).

Ciamis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan tingkat kompleksitas penduduknya yang cukup tinggi. Kompleksitas tersebut salah satunya disebabkan oleh letak geografis Ciamis yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Kondisi ini menjadikan Ciamis sebagai salah satu daerah enklave bahasa yang di dalamnya memungkinkan adanya persinggungan dua bahasa atau lebih. Persinggungan antarbahasa akan memunculkan dinamika lingual yang kompleks pula. Kabupaten Ciamis mayoritas berpenduduk suku Sunda. Namun demikian, karena salah satu kebijakan politik masa orde baru, yakni transmigrasi dan pemerataan penduduk di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, menjadikan banyaknya penduduk suku Jawa yang juga tinggal dan menetap di beberapa wilayah Kabupaten Ciamis. Transmigrasi ini juga sedikit-banyaknya akan berpengaruh terhadap dinamika sosiokultural dan lingual yang ada di Ciamis.

(4)

Adanya persinggungan sosiokultural dan lingual antara masyarakat Sunda dan Jawa di sebagian wilayah Ciamis telah menjadikan di sebagian wilayah terebut terjadi pencampuran bahasa, perilaku budaya, dan nilai-nilai keyakinan dalam kehidupan masyarakatnya. Hal itu disesuaikan dengan pola kebutuhan keseharian dan kemudahan mereka dalam berinteraksi di antara mereka. Sebagai contoh, dalam penggunaan bahasanya. Masyarakat di Kabupaten Ciamis, khususnya di bagian timur dan tenggara, kerap kali memunculkan pola bahasa Sunda dengan logat, dialek, dan pemaknaan atas istilah-istilah tertentu yang berbeda dengan bahasa Sunda pada umumnya.

Fenomena, gejala, dan kondisi demikian terjadi pula pada bahasa Sunda yang ada di Kabupaten Ciamis. Bahasa Sunda di Kabupaten Ciamis (selanjutnya disebut bahasa Sunda dialek Ciamis) telah mengalami kontak bahasa dengan bahasa-bahasa lainnya, khususnya bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bahasa-bahasa tersebut saling berpengaruh satu sama lain sehingga dapat ditemukan glos-glos dan anasir bahasa lainnya yang memiliki realisasi yang sama dan etimon yang sama pula. Fenomena, gejala, dan kondisi tersebut pada masanya nanti akan memunculkan dan menyebabkan kesimpangsiuran tentang status bahasa di wilayah tersebut. Kesimpangsiuran dan ketidakjelasan status tersebut akan terlihat jelas apabila dilakukan kalkulasi dialektometri (dalam kajian dialektologi bahasa) untuk menen-tukan status bahasa dan dialek di wilayah tersebut.

Senada dengan fenomena sosiokultural dan lingual yang telah disebutkan, kajian ini berupaya untuk memerikan fenomena lingual yang ada di masyarakat tutur di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Indonesia dalam perspektif dialektologi perseptual. Secara teoretis, dialektologi perseptual memiliki cara kerja yang berbeda dengan kajian dialektologi pada umumnya. Dialektologi perseptual mengkaji bagaimana masyarakat tutur memandang suatu dialek atau subdialek yang ada di wilayah tuturnya. Oleh sebab itu, kajian ini memfokuskan pada persepsi masyarakat tutur terhadap dialek atau subdialek bahasa Sunda di Kabupaten Ciamis yang pada masanya nanti dapat diambil simpulan apakah bahasa yang digunakan di wilayah tersebut masuk pada perbedaan bahasa,

dialek, atau subdialek. Namun, pada praktiknya nanti, kajian ini juga akan diperkaya dengan kajian dialektometri untuk memverifikasi hasil kajian dari dialektologi perseptual tersebut. Kajian seputar dialektologi perseptual belum banyak dilakukan, khususnya dalam konteks kebahasaan di Indonesia. Meskipun demikian, penelitian-penelitian dengan kerangka dialektologi perseptual telah banyak dilakukan di beberapa negara di dunia (Alhazmi, 2017; Eppler & Benedikt, 2017; Kaur, 2014; Lundberg, 2007; Sousa, Suarez, Crujeiras, & Calaza, 2020).

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Indonesia dengan memilih lima kecamatan sebagai daerah pengamatan yang ditentukan berdasarkan arah mata angin. Masing-masing kecamatan ditentukan empat desa yang dipilih berdasarkan arah mata angin juga. Daerah-daerah yang diambil sebagai tempat penelitian adalah Kecamatan Sindangkasih (Desa Sindangkasih, Desa Wanasigra, Desa Budiharja, dan Budiasih); Kecamatan Sukamantri (Desa Tenggerharja, Desa Mekarwangi, Desa Sukamantri, dan Desa Cibeureum); Kecamatan Lakbok (Desa Kertajaya, Desa Sidaharja, Desa Cintajaya, Desa Baregbeg); Kecamatan Banjarsari (Desa Banjarsari, Desa Cicapar, Desa Ciulu, dan Desa Kawasen); dan Kecamatan Pamarican (Desa Kertahayu, Desa Mekarmulya, Desa Pamarican, dan Desa Sidaharja). Untuk selanjutnya, Kecamatan Sindangkasih disebut sebagai Daerah Pengamatan (DP) 1; Kecamatan Sukamantri sebagai Daerah Pengamatan (DP) 2; Kecamatan Lakbok sebagai Daerah Pengamatan (DP) 3; Kecamatan Banjarsari sebagai Daerah Pengamatan (DP) 4; dan Kecamatan Pamarican sebagai Daerah Pengamatan (DP) 5.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua pendekatan, yaitu pendekatan secara teoretis dan pendekatan secara metodologis. Secara teoretis, pendekatan yang dipakai di dalam penelitian ini adalah pendekatan dialektologi perseptual.

2. Kajian Teori

Dialektologi perseptual memiliki perbedaan cara kerja dengan kajian dialektologi pada umumnya. Dialektologi perseptual mengkaji bagaimana masyarakat tutur memandang suatu dialek atau subdialek yang ada di wilayah

(5)

tuturnya. Salah satu bidang dialektologi perseptual adalah melihat penilaian linguistik dan penilaian masyarakat tutur terhadap perbedaan dialek atau subdialek di suatu wilayah tutur (Boughton, 2006).

Adapun secara metodologis, pendekatan yang dipakai di dalam penelitian ini adalah pendekatan kombinasi (metode penelitian gabungan). Metode kombinasi itu sendiri dapat dipahami sebagai pendekatan penelitian yang menggabungkan dan menghubungkan antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif (Creswell, 2009). Metode yang digunakan pada penelitian ini diambil dan digunakan atas pertimbangan bahwa metode ini dapat menggambarkan, menjelaskan, dan membangun relasi dari kategori-kategori dan data yang ditemukan.

Penelitian ini dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap penyediaan data, analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Pelaksanaan penelitian diawali dengan penyediaan data yang dilakukan dengan beberapa teknik berikut, yaitu (1) teknik partisipasi atau peran serta, (2) teknik observasi atau pengamatan, (3) teknik wawancara, dan (4) teknik rekonstruksi data intuitif dan introspeksi. Pada tahap penyediaan data, langkah pertama yang diambil adalah menentukan dan menetapkan daerah yang akan dijadikan sebagai lokasi dilaksanakannya penelitian ini.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan participant observe atau pengamatan berperan serta dengan introspeksi, wawancara mendalam, dan telaah dokumen. Untuk menguji kemantapan dan keabsahan data yang telah berhasil dikumpulkan, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi data. Triangulasi data adalah usaha membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Moleong, 2007). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber dengan cara membandingkan data hasil pengamatan di lokasi penelitian dengan hasil wawancara dari para informan, juga membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen seperti data demografis dan sumber sekunder berupa data sejarah dari Dinas Kebudayaan Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Tahap analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif; artinya bahwa serangkaian kegiatan analisis yang dilakukan pada penelitian ini berkaitan dan berhubungan langsung dengan pola-pola yang umum pada wujud dan perilaku data yang ada yang dipengaruhi dan yang hadir bersama dengan konteks-konteksnya (Kholil, 2016). Penganalisisan data juga dilakukan dengan langkah-langkah berikut, yaitu (1) penelaahan dan penyeleksian data, (2) pengidentifikasian dan pengunitan data, (3) pengategorisasian atau penggolongan data, dan (4) penafsiran dan penjelasan makna data. Data yang sudah dianalisis disajikan secara deskriptif, yaitu perumusan dan pengungkapan hasil analisis dengan menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Indonesia dengan memilih lima kecamatan sebagai daerah pengamatan yang ditentukan berdasarkan arah mata angin. Masing-masing kecamatan ditentukan empat desa yang dipilih berdasarkan arah mata angin juga. Daerah-daerah yang diambil sebagai tempat penelitian adalah Kecamatan Sindangkasih (Desa Sindangkasih, Desa Wanasigra, Desa Budiharja, dan Budiasih); Kecamatan Sukamantri (Desa Tenggerharja, Desa Mekarwangi, Desa Sukamantri, dan Desa Cibeureum); Kecamatan Lakbok (Desa Kertajaya, Desa Sidaharja, Desa Cintajaya, Desa Baregbeg); Kecamatan Banjarsari (Desa Banjarsari, Desa Cicapar, Desa Ciulu, dan Desa Kawasen); dan Kecamatan Pamarican (Desa Kertahayu, Desa Mekarmulya, Desa Pamarican, dan Desa Sidaharja). Untuk selanjutnya, Kecamatan Sindangkasih disebut sebagai Daerah Pengamatan (DP) 1; Kecamatan Sukamantri sebagai Daerah Pengamatan (DP) 2; Kecamatan Lakbok sebagai Daerah Pengamatan (DP) 3; Kecamatan Banjarsari sebagai Daerah Pengamatan (DP) 4; dan Kecamatan Pamarican sebagai Daerah Pengamatan (DP) 5.

Pada setiap daerah pengamatan, dipilih 5 orang responden pada rentang usia 20–60 tahun. Artinya, pada penelitian ini telah dipilih sebanyak 25 orang responden yang tersebar pada 5 daerah pengamatan yang telah ditetapkan. Dari keseluruhan responden, 11 orang berjenis kelamin perempuan dan 14 orang berjenis kelamin laki-laki.

(6)

50 leksikon yang diujarkan berdasarkan bahasa Sunda dialek Ciamis. Selanjutnya, mereka akan diminta untuk menilai apakah dialek yang diujarkan tersebut memiliki kesamaan atau perbedaan dengan dialek tuturnya. Penilaian tersebut akan dinilai berdasarkan skala penilaian (sama, mirip, dan berbeda). Masing-masing skala akan diberi nilai 20 (sama), 10 (mirip), dan 0 (berbeda). Semakin mendekati angka 20, berarti dialek tersebut memiliki persamaan dengan dialek tuturnya. Begitu juga sebaliknya, semakin mendekati angka 0, berarti dialek tersebut memiliki perbedaan dengan dialek tuturnya.

3. Hasil dan Pembahasan

Secara resmi, Kabupaten Ciamis dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dalam perkembangannya, wilayah administratif Kabupaten Ciamis dikurangi dengan Kota Banjar berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Banjar di Provinsi Jawa Barat dan kemudian dikurangi kembali dengan wilayah administratif Pangandaran yang memisahkan diri menjadi kabupaten tersendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan letak administratif, Kabupaten Ciamis berbatasan dengan daerah kabupaten/ kota lainnya, yaitu: a) sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan; b) sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikamalaya; c) sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Kota Banjar; dan d) sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pangandaran.

Dilihat dari geografisnya, Kabupaten Ciamis, khususnya di sebelah timur, berbatasan langsung dengan wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah. Itu artinya, persinggungan antarbahasa dan antarbudaya di wilayah tersebut sangat dominan. Posisi geografis masyarakat etnis Sunda di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat sebagai penutur asli bahasa Sunda memiliki posisi yang sangat strategis. Beberapa enklave bahasa penutur bahasa Sunda di Ciamis memungkinkan

bersinggungan dengan penutur bahasa lainnya, khususnya bahasa Jawa. Daerah Ciamis menjadi salah satu daerah perbatasan antarprovinsi, yakni Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Jawa Tengah. Setiap daerah perbatasan kerap kali menjadi bahasa peralihan, tidak hanya dalam aspek administratif melainkan juga dalam aspek bahasa dan budaya. Tarik-menarik dan saling pengaruh antarbahasa dan antarbudaya menjadi hal yang lumrah terjadi di daerah perbatasan. Bahasa Sunda dialek Ciamis berinteraksi dengan bahasa Jawa. Kantong-kantong bahasa Jawa juga banyak ditemukan di daerah Ciamis, khususnya di wilayah Ciamis bagian timur dan tenggara, seperti Kecamatan Lakbok, Keamatan Banjarsari, dan Kecamatan Pamarican.

Secara lingual, meskipun bahasa Jawa di Kabupaten Ciamis dituturkan oleh sebagian kecil masyarakat, namun secara keseluruhan, bahasa Sunda dialek Ciamislah yang berpotensi paling banyak memperoleh ancanam pergeseran bahasa. Selain desakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, bahasa Sunda dialek Ciamis juga memperoleh desakan dari penduduk etnis Jawa yang kian hari kian bertambah jumlahnya di wilayah administratif Kabupaten Ciamis. Masyarakat Jawa mengalami peningkatan yang cukup signifikan secara demografis. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari faktor ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Kondisi lingual di daerah Ciamis memperlihatkan gejala yang menarik, khususnya dari segi persebaran dialektal kebahasaannya. Kondisi ini disebabkan oleh wilayah administratif Kabupaten Ciamis yang bersinggungan langsung dengan wilayah tutur yang bukan bahasa Sunda, yaitu penutur bahasa Jawa yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Kondisi ini, secara alamiah, menjadikan adanya variasi bahasa yang ada di wilayah tersebut. Namun, gejala kebahasaan tersebut akan semakin menarik apabila pembahasannya dibawa ke arah persepsi penutur di setiap daerah pengamatan penelitian terhadap setiap persebaran dialektal yang ada di Kabupaten Ciamis. Kajian inilah yang disebut dengan dialektologi perseptual. 3.1 Persebaran Dialektal Bahasa

Sunda Dialek Ciamis, Jawa Barat, Indonesia Berdasarkan Dialektologi

(7)

Perseptual

Bagian ini membahas persepsi masyarakat tutur di Kabupaten Ciamis terhadap familiaritas kebahasaan dengan dialek atau subdialek yang tersebar di wilayah tersebut. Seperti yang telah disebutkan di bagian metode, pada penelitian ini ditetapkan lima daerah pengamatan yang ditentukan berdasarkan arah mata angin. Kelima daerah pengamatan tersebut adalah Kecamatan Sindangkasih, Kecamatan Sukamantri, Kecamatan Lakbok, Kecamatan Banjarsari, dan Kecamatan Pamarican. Secara keseluruhan, dari pengamatan langsung di lapangan, bahasa Sunda sebagai bahasa daerah di wilayah Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat-Indonesia masih dominan digunakan sebagai bahasa komunikasai antarmasyarakat. Namun demikian, di sebagian wilayah Kabupaten Ciamis, khususnya di bagian timur dan tenggara yang posisinya berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah, terdapat kantung-kantung persebaran bahasa Jawa yang dibawa oleh para imigran ke wilayah tersebut. Kondisi ini, sedikit-banyaknya telah berpengaruh terhadap kondisi bahasa Sunda di wilayah tersebut. Saling pengaruh antara bahasa Sunda dan Jawa di sebagian wilayah Kabupaten Ciamis ini pada masanya nanti akan membentuk suatu karakteristik yang khas dari bahasa Sunda dialek Ciamis. Hal ini dapat dilihat dari adanya realisasi leksikal bahasa Sunda dialek Ciamis yang terpengaruh, baik secara fonologis, morfologi, maupun secaran leksikal, dari bahasa Jawa. Beberapa leksikon tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 1 Pengaruh Persebaran Dialektal Bahasa Jawa terhadap Bahasa Sunda Dialek Ciamis,

Jawa Barat

No. Gloss Bentuk Realisasi 1 leher böhöŋ; bö?öŋ; gulu? 2 mata pano; soca; mripat 3 lidah lεtah; ilat 4 punggung toŋgoŋ; gәgәr

5 kaki suku; sampεyan; sikil 6 lutut tu?ur; dәŋkul

7 tangga tarajε?; andε? 8 hutan löwöŋ; alas

9 matahari panonpoε?; matapoε; srεŋεŋε? 10 benih binih; bibit

11 daun daun; godoŋ 12 baik saε?; alus; apik 13 berat börat; abot

14 dorong suruŋ; suŋkruk 15 kepala desa lurah; kuwu 16 rumput jukut; sukәt 17 tertawa söri?; guyu? 18 licin lö?ör; luńu? 19 tajam sököt; landәp 20 sempit hörin; sәsәk

Secara status kebahasaan, bahasa Sunda dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang berkerabat, yaitu masuk rumpun Austronesia atau Nusantara (Mulyana, 1975). Relasi di antara bahasa sekerabat ternyata tidak sama antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, ada yang lebih dekat atau lebih jauh (Blust, 1977). Blust mengelompokkan bahasa sekerabat berdasarkan jauh dekatnya hubungan yang dinamakan

subgrouping. Telah banyak penelitian tentang subgrouping bahasa Nusantara, seperti penelitian

(Dyen, 1965), (Mees, 1967), (Blust, 1977), atau (Suryata, 1998). Suryata (1998) secara khusus mengelompokkan bahasa Sunda dan bahasa Jawa sebagai bahasa sekerabat yang memiliki relasi yang cukup dekat.

Selanjutnya, yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana persebaran dialek dan subdialek dari bahasa Sunda di Kabupaten Ciamis ini dilihat dari persepsi masyarakat penutur yang ada di wilayah tersebut berdasarkan dialektologi perseptual.

Seperti yang telah disebutkan, setiap responden akan diperdengarkan sebanyak 50 leksikon yang diujarkan berdasarkan bahasa Sunda dialek Ciamis. Selanjutnya, mereka akan diminta untuk menilai apakah dialek yang diujarkan tersebut memiliki kesamaan atau perbedaan dengan dialek tuturnya. Penilaian tersebut akan dinilai berdasarkan skala penilaian (sama, mirip, dan berbeda). Masing-masing skala akan diberi nilai 20 (sama), 10 (mirip), dan 0 (berbeda). Semakin mendekati angka 20, berarti dialek tersebut memiliki persamaan dengan dialek tuturnya. Begitu juga sebaliknya, semakin mendekati angka 0, berarti dialek tersebut memiliki perbedaan dengan dialek tuturnya.

(8)

Secara keseluruhan, dari hasil pengakuan responden dapat dilihat bahwa di Kabupaten Ciamis terdapat persebaran subdialek dari bahasa Sunda yang dituturkan berbeda oleh para penutur di suatu wilayah dengan penutur di wilayah lainnya. Hal ini dilihat dari persepsi masyarakat tutur terhadap sebaran subdialek tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Persepsi Masyarakat Tutur terhadap Persebaran Subdialek di Kabupaten Ciamis No. Persebaran SubdialekDaaerah Pengamatan Rata-Rata Persepsi

1 Kecamatan Sindangkasih 15,2 2 Kecamatan Sukamantri 15,6 3 Kecamatan Lakbok 10,4 4 Kecamatan Banjarsari 8,4 5 Kecamatan Pamarican 12,8

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa subdialek yang tersebar di Kecamatan Sindangkasih dan Kecamatan Sukamantri dipersepsikan sebagai bahasa yang memiliki tingkat kesamaan yang cukup tinggi oleh masyarakat tutur di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Indonesia, yaitu 15,2 untuk Kecamatan Sindangkasih dan 15,6 untuk Kecamatan Sukamantri. Itu artinya, subdialek yang ada pada kedua daerah tersebut memiliki kesamaan dengan dialek bahasa Sunda standar. Sementara itu, subdialek yang tersebar di Kecamatan Pamarican dan Kecamatan Lakbok dipersepsikan oleh masyarakat tutur di Kabupaten Ciamis sebagai subdialek yang mirip dengan bahasa Sunda standar, yaitu 12,8 untuk Kecamatan Pamarican dan 10,4 untuk Kecamatan Lakbok. Adapun subdialek yang tersebar di Kecamatan Banjarsari dipersepsikan sebagai subdialek yang berbeda dengan bahasa Sunda standar meskipun perbedaannya hampir mendekati mirip, yaitu 8,4.

Diagram 1 Persepsi Masyarakat Tutur terhadap Persebaran Subdialek di Kabupaten Ciamis

Seri1 15.2 15.6 10.4 8.4 12.8 Sindangk

asih Sukamantri Lakbok Banjarsari Pamarican 0 5 10 15 20 Judu l S um bu Judul Bagan

Pemetaan bahasa Sunda dialek Ciamis berdasarkan persepsi masyarakat tutur di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga subdialek utama berdasarkan persebaran dialektalnya, yaitu subdialek bahasa Sunda Ciamis Barat, subdialek bahasa Sunda Ciamis Timur-Tengah, dan subdialek bahasa Sunda Ciamis Tenggara. Untuk lebih jelas, dapat dilihat dari peta persebaran dialektal subdialek bahasa Sunda di Kabupaten Ciamis, berikut ini.

Gambar 1

Peta Persebaran Dialektal Subdialek Bahasa Sunda di Kabupaten Ciamis

3.2 Persebaran Dialektal Subdialek Bahasa Sunda di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Indonesia Berdasarkan Dialektometri

Pada bagian sebelumnya telah dikaji persebaran dialektal subdialek bahasa Sunda di Kabupaten Ciamis berdasarkan dialektologi perseptual. Sebagai bentuk verifikasi dari kajian dialektologi perseptual, perlu dibandingkan dengan analisis berdasarkan dialektologi formal, yaitu melalui penghitungan dialektometri. Hasil perhitungan dialektometri dapat memperlihatkan tingkat perbedaan di setiap wilayah yang pada masanya nanti akan ditetapkan apakah perbedaan-perbedaan tersebut dapat disebut sebagai perbedaan bahasa, dialek, atau subdialek.

Pola persebaran dialektal subdialek bahasa Sunda di Kabupaten Ciamis dapat dilihat, salah

(9)

satunya, melalui kalkulasi persentase perbedaan realisasi glos di setiap daerah pengamatan. Semakin banyak kosakata di suatu daerah pengamatan yang berbeda dengan bahasa Sunda standar, baik melalui inovasi leksikal maupun melalui inovasi internal fonologis berarti daerah tersebut disinyalir memiliki resistensi bahasa Sunda yang rendah. Oleh sebab itu, kita lihat kalkulasi persentase perbedaan realisasi glos bahasa Sunda yang ada pada tabel berikut.

Analisis data dalam dialektologi merupakan analisis variasi leksikal pada masing-masing titik pengamatan (Patriantoro, 1999). Variasi leksikal itu sendiri dipahami sebagai suatu konsep makna sama, tetapi diwakili dengan bentuk yang berbeda. Data keseluruhan yang dipetakan secara dialektal sebanyak 200 kata swadesh. Dalam analisis dialektal, data yang merupakan variasi fonologi dikelompokkan sebagai kata yang sama, sedangkan data yang berbeda secara morfologi atau secara leksikal dikelompokkan sebagai leksikon yang berbeda (Nadra, 1997).

Pemetaan keseluruhan data digunakan untuk mengetahui keadaan variasi bahasa Sunda di Kabupaten Ciamis yang hubungannya dengan penyebaran dialektal bahasa Jawa di wilayah tersebut. Hasil pemetaan ini kemudian dihitung beda leksikal di setiap daerah pengamatan. Penghitungan beda leksikon antartitik pengamatan ini untuk mengetahui jarak linguistik dalam persentase antartitik pengamatan. Dari lima daerah pengamatan ditentukan delapan titik pengamatan yang dihitung beda leksikonnya dengan membentuk segi tiga atau segi banyak, yaitu 1-2, 1-4, 1-5, 2-3, 2-5, 3-4, 3-5, dan 4-5. Persebaran antartitik tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3 Persebaran Antartitik Berdasarkan Segitiga dan Segibanyak

Garis Antartitik Beda Leksikon Antartitik Pengamatan 1 --- 2 21 1 --- 4 79 1 --- 5 32 2 --- 3 81 2 --- 5 35 3 --- 4 24 3 --- 5 47 4 --- 5 30

Selanjutnya, beda leksikon antartitik pengamatan dihitung untuk memperoleh jarak linguistik dalam persentase. Penghitungan ini menggunakan rumus dialektometri sebagai berikut.

s X d%

n = d%

s : jumlah beda leksikon antartitik pengamatan

n : jumlah peta leksikon yang diperbandingkan

d%: jarak linguistik dalam persentase

- 81% ke atas: dianggap perbedaan bahasa - 51--80%: dianggap perbedaan dialek - 31--50%: dianggap perbedaan subdialek - 21--30%: dianggap perbedaan wicara

- 20% ke bawah: dianggap tidak ada perbedaan Dari hasil penghitungan jarak linguistik dengan menggunakan rumus dialektometri didapat hasil sebagai berikut.

Garis Antartitik Beda Leksikon Antartitik Pengamatan 1 --- 2 10,5% 1 --- 4 39,5% 1 --- 5 16% 2 --- 3 40,5% 2 --- 5 17,5% 3 --- 4 12% 3 --- 5 23,5% 4 --- 5 15%

Berdasarkan penghitungan dialektometri dengan menggunakan segi tiga antartitik diperoleh jarak linguistik antartitik pengamatan tertinggi terjadi pada titik pengamatan 2--3, sementara jarak linguistik antartitik pengamatan terendah pada titik pengamatan 1--2. Meskipun titik 2--3 memiliki perbedaan paling tinggi, tetapi jika dilihat berdasarkan klasifikasi perbedaan berdasarkan jarak linguistik, titik tersebut masih dianggap sebagai perbedaan subdialek. Berikut disajikan persentase unsur-unsur kebahasaan antartitik pengamatan dengan segitiga antardesa.

(10)

Peta 1 Persentase Unsur-Unsur Kebahasaan Antartitik Pengamatan dengan Segitiga

Antartitik 1 2 3 4 5 10 40 23 17 16 39 15 12

4. Penutup

4.1 Simpulan

Dilihat dari geografisnya, Kabupaten Ciamis, khususnya di sebelah timur, berbatasan langsung dengan wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah. Itu artinya, persinggungan antarbahasa dan antarbudaya di wilayah tersebut sangat dominan. Posisi geografis masyarakat etnis Sunda di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat sebagai penutur asli bahasa Sunda memiliki posisi yang sangat strategis. Berapa di enclave bahasa, penutur bahasa Sunda di Ciamis memungkinkan bersinggungan dengan penutur bahasa lainnya, khususnya bahasa Jawa.

Kondisi lingual di daerah Ciamis memperlihatkan gejala yang menarik, khususnya dari segi persebaran dialektal kebahasaannya.

Kondisi ini disebabkan oleh wilayah administratif Kabupaten Ciamis yang bersinggungan langsung dengan wilayah tutur yang bukan bahasa Sunda, yaitu penutur bahasa Jawa yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Kondisi ini, secara alamiah, menjadikan adanya variasi bahasa yang ada di wilayah tersebut.

Bahasa Sunda sebagai bahasa daerah di wilayah Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Indonesia masih dominan digunakan sebagai bahasa komunikasai antarmasyarakat. Namun demikian, di sebagian wilayah Kabupaten Ciamis, khususnya di bagian timur dan tenggara yang posisinya berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah, terdapat kantung-kantung persebaran bahasa Jawa yang dibawa oleh para imigran ke wilayah tersebut.

Di Kabupaten Ciamis terdapat persebaran subdialek dari bahasa Sunda yang dituturkan berbeda oleh para penutur di suatu wilayah dengan penutur di wilayah lainnya. Hal ini dilihat dari persepsi masyarakat tutur terhadap sebaran subdialek tersebut.

Pemetaan bahasa Sunda dialek Ciamis berdasarkan persepsi masyarakat tutur di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat-Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga subdialek utama berdasarkan persebaran dialektalnya, yaitu subdialek bahasa Sunda Ciamis Barat, subdialek bahasa Sunda Ciamis Timur-Tengah, dan subdialek bahasa Sunda Ciamis Tenggara.

4.1 Saran

Penulis berharap ada penelitian lanjutan di kecamatan lain yang ada di Kabupaten Ciamis.

DAFTAR PUSTAKA

Alhazmi, L. 2017. “A Perceptual Dialect Map of Western Saudi Arabia”. White Rose College of Arts

& Humanities Student Journal, 1(3), 2–17.

Blust, R. 1977. The Proto Austronesian Pronouns and Austronesian Subgrouping. Leiden: A Preliminary Report, Rijkuniversiteit.

Boughton, Z. 2006. “When Perception isn’t Reality: Accent Identification and Perceptual Dialectology in French”. Journal of French Language Studies, 16(3), 277–304.

Creswell, J. W. 2009. Research Design Pendekatan Penelitian Kulitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Penerjemah Achmad Fawaid.

Dyen, I. 1965. “Lexicostatistical Classification of The Austronesia Language”. Memory of the

International Journal of American Linguistics, 28, 31–42.

(11)

Spatial Analysis of Kurdish Varieties”. Journal of Linguistic Geography, 5, 109–130. Kaur, P. 2014. “Accent Attitudes: Reactions to English as a Lingua Franca”. Procedia - Social and

Behavioral Sciences, 134, 3–12.

Kholil, S. 2016. Metodologi Penelitian Komunikasi. Medan: Perdana Publishing.

Lundberg, G. H. 2007. “Perceptual Dialectology and the Future of Slovene Dialects”. Slovenski Jezik

- Slovene Linguistic Studies, 6, 97–109.

Mbete, A. M. 2003. “Bahasa dan Budaya Lokal Minorita, Asal-Muasal, Ancaman Kepunahan dan Ancangan Pemberdayaan dalam Kerangka Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan” Universitas Udayana. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Linguistik Pada

Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Mees, C. 1967. Perbandingan Bahasa-Bahasa Nusantara. Kualalumpur: University of Malaya Press. Moleong, L. J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, S. 1975. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka. Nadra. 1997. Geografi Dialek Bahasa Minangkabau. Universitas Gadjah Mada.

Patriantoro. 1999. Dialektologi Bahasa Melayu di Kalimanan Barat. Pontianak: FKIP Uiversitas Tanjungpura Pontianak.

Sousa, X., Suarez, S., Crujeiras, R. M., & Calaza, L. 2020. “A GIS-Based Application for Documenting and Analysing Perceptions About Language Variation”. Dialectologia, 24, 177–203.

Suryata, P. 1998. “Subgrouping dan Migrasi Sembilan Bahasa di Indonesia: Kajian Linguistik Komparatif”. Jurnal Iptek Dan Humaniora, 3(2), 111–125.

Wacana, G. I. P. 2013. “Relasi Kekerabatan Bahasa-Bahasa di Kabupaten Poso”. Jurnal

Kependidikan, 6(1), 1–9.

Wahyuni, S. 2010. Tarik-Menarik Bahasa Jawa Dialek Banyumas dan Bahasa Sunda di Perbatasan

Jawa Tengah-Jawa Barat Bagian Selatan sebagai Sikap Pemertahanan Bahasa oleh Penutur.

(12)

Gambar

Tabel 1 Pengaruh Persebaran Dialektal Bahasa  Jawa terhadap Bahasa Sunda Dialek Ciamis,
Diagram 1 Persepsi Masyarakat Tutur terhadap  Persebaran Subdialek di Kabupaten Ciamis
Tabel 3 Persebaran Antartitik Berdasarkan  Segitiga dan Segibanyak

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANAVA) terhadap cookies kelor menunjukkan bahwa konsentrasi tepung kelor (T) dan suhu pemanggangan (S) berpengaruh nyata

Apabila dulu hanya bisa diakses dari komputer rumah (Home Computer), dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi sekarang kita dapat melakukan komunikasi melalui internet

The Rainforest Alliance works to conserve biodiversity and ensure sustainable livelihoods by transforming land-use practices, business practices and consumer behavior. The

Pemanfaatan tanaman obat seperti jahe dan pandan dalam bentuk sirup umumnya disukai oleh masyarakat karena tidak hanya memiliki rasa yang khas namun juga memiliki manfaat

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri skala

Dalam sebuah masyarakat terdapat berbagai unsur kebudayaan seperti bahasa, organisasi sosial dan lain-lain. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh penduduk di desa Krembangan

Pemberian obat secara parenteral merupakan pemberian obat melalui injeksi atau infuse. Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Obat yang diberikan secara parenteral akan

Hasil analisis yang kami lakukan dengan menggunakan metodologi FAST, dimana dibutuhkan suatu database untuk penyimpanan data pada bagian pelanggan yang ada pada Dewita Salon