• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang gradual. Hal ini kemudian akan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang gradual. Hal ini kemudian akan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Degradasi lahan merupakan suatu proses alami yang cenderung menurunkan fungsi lahan. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang secara prinsip berkaitan erat dengan komponen pembentuk sistem lahan tersebut (UNCCD, 2013). Terjadinya proses degradasi lahan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan mulai dari penurunan kualitas lahan sampai terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang gradual. Hal ini kemudian akan menyebabkan hilangnya atribut fungsional lingkungan sehingga mendorong terciptanya lahan yang tidak produktif.

Permasalahan degradasi lahan di berbagai belahan dunia telah dialami oleh banyak negara. Simon (2010) menjelaskan bahwa terjadinya proses degradasi lahan di berbagai negara dimulai sejak terjadinya perang dunia antara beberapa negara maju. Selama masa perang tersebut, terjadi eksploitasi hutan secara berlebihan yang bertujuan untuk membiayai perang. Selain itu, kawasan hutan juga turut dijadikan sebagai medan pertempuran sehingga mengalami kerusakan yang sangat parah. Dampak dari hal tersebut adalah terciptanya kawasan terbuka yang rawan terhadap ancaman degradasi lahan sehingga pasca berlangsungnya perang dunia, banyak negara yang berupaya untuk memulihkan kondisi hutannya.

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Nawir et al. (2008) menyatakan bahwa permasalahan degradasi lahan dimulai sejak adanya upaya untuk

(2)

meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada suatu negara. Kesenjangan kesejahteraan antara negara maju dengan negara berkembang pada abad ke-19, telah mengarahkan adanya kebijakan untuk melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara maksimal. Hal ini kemudian mendorong terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan secara berlebihan khususnya di negara yang berada pada kawasan tropis. Upaya ini telah berhasil secara baik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun memberikan pengaruh negatif terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Hal tersebut memicu terciptanya kawasan hutan yang rusak dan tidak produktif yang rawan terhadap penurunan kualitas lahan.

Kobayashi (2004) menjelaskan faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya degradasi lahan adalah adanya intervensi manusia terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Intervensi ini diwujudkan melalui serangkaian aktivitas pengelolaan yang bertujuan untuk memperoleh nilai ekonomi tanpa mempertimbangkan karakteristik lingkungan yang ada. Dampak dari kebijakan ini telah berakibat pada tingginya laju kerusakan hutan yang mencapai + 13,5 juta hektar per tahun baik yang disebabkan oleh pemanenan maupun alih fungsi lahan. Hal ini kemudian mendorong terjadinya proses degradasi lahan yang menyebabkan perubahan kondisi lingkungan dari produktif menjadi tidak produktif.

Selaras dengan hasil penelitian Kobayashi (2004), Nawir et al. (2008) menyatakan terdapat 2 faktor utama yang menyebabkan terjadinya proses degradasi lahan yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung

(3)

yang mendorong proses degradasi lahan adalah adanya intervensi manusia dalam pengelolaan hutan melalui kegiatan eksploitasi yang berlebihan dan praktik alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan pertanian, industri, maupun pemukiman. Adapun faktor tidak langsung yang turut menyebabkan terjadinya proses degradasi lahan antara lain meliputi:

1. Kegagalan skema pasar dalam menampung produk hasil hutan sehingga nilai jual kayu menjadi rendah. Hal ini kemudian mendorong pengelolan hutan untuk memanen kayu sebanyak mungkin agar dapat mengembalikan modal dan memperoleh keuntungan.

2. Kegagalan kebijakan dalam memberikan izin bagi pengelola hutan untuk melakukan kegiatan ekstrasi hasil hutan tanpa mewajibkan untuk melakukan penanaman sehingga kapasitas regenerasi hutan menjadi terganggu akibat pembukaan lahan yang berlebihan saat melakukan pemanenan.

3. Permasalahan sosial - politik secara umum seperti perubahan kebijakan yang senantiasa terjadi setiap adanya pergantian kepemimpinan

Dalam menghadapi permasalahan degradasi lahan, dapat dilakukan berbagai alternatif kegiatan, baik melalui rehabilitasi maupun restorasi. Kegiatan rehabilitasi dan restorasi merupakan suatu upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan dengan melakukan intervensi terhadap sistem lahan yang terdegradasi (Wardhana et al., 2011). Namun demikian, Lamb et al. (2003) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar dalam penerapan kegiatan ini. Kegiatan rehabilitasi lahan merupakan upaya pemulihan produktivitas lingkungan namun tidak dapat mengembalikan keseluruhan jenis flora maupun fauna asli dari ekosistem.

(4)

Sedangkan yang dimaksud dengan restorasi adalah upaya pemulihan struktur, produktivitas, dan biodiversitas jenis asli dari kawasan hutan yang ada. Meskipun memiliki perbedaan dilihat dari segi definisi, secara teknis pelaksanaan rehabilitasi dan restorasi lahan memiliki banyak kemiripan baik dari segi teknik silvikultur maupun manajemennya.

Berlangsungnya proses degradasi lahan telah memberikan dampak negatif terhadap kondisi lingkungan. Proses ini juga mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi lahan dari satu ekosistem menuju ekosistem lain. Berubahnya suatu ekosistem pada prinsipnya merupakan salah satu siklus alam yang tidak dapat dihindari karena adanya interaksi antara faktor biotik dengan faktor abiotik. Proses berubahnya kondisi lahan ini dalam terminologi sistem lebih dikenal dengan istilah transisi (Mather, 1992). Terjadinya proses transisi lahan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, Lambin dan Geist (2003) menjelaskan bahwa faktor yang paling dominan dalam mendorong terjadinya transisi lahan adalah adanya intervensi manusia dalam melakukan kegiatan pengelolaan lahan. Intervensi ini kemudian akan mengakibatkan terjadinya proses transisi baik secara positif maupun negatif sehingga mendorong terjadinya perubahan kondisi lahan.

Proses transisi lahan yang dilatabelakangi oleh permasalahan degradasi telah terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia. Proses degradasi lahan di Indonesia telah dimulai sejak berlangsungnya upaya eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam hal ini, Pemerintah Belanda melalui badan usahanya (VOC) memberikan ijin untuk melakukan pembukaan hutan agar dapat diubah menjadi area pertanian

(5)

(cultuurstelsel) serta memenuhi kebutuhkan bahan baku konstruksi dalam pembuatan kapal. Pasca Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, proses degradasi lahan justru mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini disebabkan adanya kegiatan eksploitasi secara berlebihan terhadap sumberdaya alam yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang dengan tujuan untuk membiayai perang Asia - Pasifik (Sutyoso, 1970; Nawir et al., 2008).

Pasca kemerdekaan Indonesia, proses degradasi lahan pun terus berlanjut. Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan terus intensif dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk menambah devisa negara. Hal ini telah mengakibatkan bertambahnya luasan hutan tidak produktif akibat adanya penurunan kualitas lahan. Permasalahan ini kemudian menjadi suatu problema serius pada awal tahun 1970-an dimana adanya peningkatan jumlah penduduk yang pesat semakin menambah tekanan terhadap sumberdaya alam untuk dapat dikonversi menjadi area pemukiman dan penyedia pangan (Sutyoso, 1970; Whitten, et al., 1996).

Berbagai permasalahan terkait degradasi lahan di Indonesia seakan telah menjadi suatu tradisi yang terus diwariskan secara turun temurun mulai dari masa penjajahan sampai masa kemerdekaan. Perubahan paradigma pengelolaan hutan dari waktu ke waktu tidak lantas memberikan pengaruh positif untuk dapat menekan terjadinya proses degradasi lahan. Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi cenderung meningkatkan tekanan terhadap lahan. Dalam hal ini, lahan dituntut mampu menyediakan bahan pangan yang mencukupi untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, dibutuhkan pula ketersediaan lahan

(6)

untuk pembangunan fasilitas umum baik perindustrian, jaringan jalan, dan pemukiman. Hal ini semakin memperbesar peluang munculnya lahan terdegradasi. Namun demikian, dibalik berbagai permasalahan tersebut terdapat suatu kajian yang menarik pada beberapa lokasi di Pulau Jawa, salah satunya adalah Kabupaten Gunungkidul.

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan Pulau Jawa yang didominasi oleh bentang lahan karst. dengan konfigurasi lahan yang cukup bervariasi. Faida et al. (2011) menyatakan daerah ini merupakan bagian dari pegunungan seribu yang dahulu terkenal sebagai kawasan hutan yang lebat dengan berbagai jenis vegetasi daerah tropis. Namun seiring berkembangnya waktu, wilayah Kabupaten Gunungkidul mulai mengalami pembukaan hutan baik untuk pemukiman maupun bercocok tanam. Sutyoso (1970) dan Khan (1963) menyatakan pada awalnya, kegiatan ini masih bersifat terbatas dan tidak menggakibatkan kerusakan lingkungan yang besar. Akan tetapi, sejak dilakukannya eksploitasi kayu oleh Belanda dan konversi kawasan hutan menjadi perkebunan daerah Gunungkidul mulai mengalami laju degradasi lahan yang tinggi sehingga berubah menjadi lahan kritis. Dampak dari hal tersebut adalah terciptanya suatu bentang lahan yang tandus dan sulit ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman.

Kondisi Kabupaten Gunungkidul yang tandus pada masa itu, kemudian mendorong masyarakat dan pemerintah untuk melakukan serangkaian upaya agar dapat memperbaiki kualitas lahan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Gunungkidul dapat hidup dengan layak sehingga mampu menekan angka

(7)

kematian yang telah terjadi pada waktu itu. Disamping itu, upaya ini juga diarahkan untuk menekan laju urbanisasi penduduk Gunungkidul ke daerah lain dengan tujuan untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak. Hasil dari tindakan tersebut pada akhirnya telah berhasil merubah kondisi wilayah Gunungkidul dari daerah kering yang tandus bertransisi menjadi lahan yang hijau dengan berbagai vegetasi (Sutyoso, 1970).

Momentum perubahan lahan (transisi) di wilayah Gunungkidul merupakan suatu kajian yang menarik untuk dipelajari karena mampu merepresentasikan suatu proses rehabilitasi yang panjang. Selain itu, ditinjau dari sudut pandang sejarah, proses transisi di Gunungkidul memiliki tahap yang cukup menarik karena dimulai dari kawasan hutan menjadi lahan kritis kemudian kembali menjadi kawasan hutan. Pernyataan bahwa wilayah Gunungkidul yang dulu terkenal tandus, sekarang sudah tidak berlaku karena telah berubah menjadi hijau dengan berbagai tutupan vegetasi. Berdasarkan fakta tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui proses berlangsungnya transisi lahan yang terjadi di wilayah Gunungkidul. Selain itu, perlu dilakukan identifikasi hubungan antara proses transisi lahan dengan perubahan dinamika sosial yang terjadi di daerah Gunungkidul. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1970-an daerah Gunungkidul dikenal sebagai daerah termiskin di Indonesia sehingga perlu diidentifikasi pengaruh proses transisi lahan terhadap transisi sosial yang ada. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pembelajaran dalam menyusun dan merumuskan strategi rehabilitasi hutan dan lahan untuk memulihkan kondisi lingkungan di masa mendatang.

(8)

1.2. Perumusan Masalah

Kobayashi (2004) mendefinisikan rehabilitasi sebagai suatu upaya untuk memperbaiki kawasan hutan dan meningkatkan kualitas lingkungan. Arah dari kegiatan rehabilitasi ditujukan untuk memperbaiki diversitas biologi, meningkatkan nilai komersial dari produk kayu maupun non kayu yang berasal dari dalam hutan, meningkatkan fungsi hutan, dan memperbaiki kesuburan tanah. Upaya ini dapat diwujudkan dengan beragam cara yaitu mengurangi dampak pemanenan, mempercepat regenerasi alam, memperbaiki spesies pilihan, pengayaan tanaman, dan manajemen tapak secara lestari.

Berdasarkan PP Nomor 76 tahun 2008, rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan suatu upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Ditinjau dari segi konsep, definisi rehabilitasi hutan dan lahan dalam peraturan ini memiliki persamaan dengan konsep regenerasi hutan yang dikemukakan oleh Nyland (1996). Dalam hal ini, Nyland (1996) menjelaskan bahwa regenerasi hutan merupakan suatu upaya untuk mempertahankan dan memulihkan kondisi hutan sehingga fungsi hutan dalam mendukung kelestarian lingkungan dapat dipertahankan.

Implementasi pelaksanaan rehabilitasi lahan di berbagai belahan dunia telah diupayakan oleh banyak negara baik yang berasal dari daerah tropis maupun dari kawasan sub-tropis. Cristescu et al. (2012) menjelaskan sebagai salah satu negara di belahan bumi selatan, Australia senantiasa berupaya untuk melakukan

(9)

kegiatan rehabilitasi lahan. Pembangunan kawasan peindustrian di negara ini telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap perkembangan ekonomi nasional khususnya dari bidang pertambangan. Namun, hal ini tidak sejalan dengan perkembangan kondisi lingkungan. Upaya rehabilitasi lahan pun menjadi program utama dalam rangka konservasi sumberdaya hayati. Disamping itu, juga dilakukan monitoring keberhasilan program rehabilitasi melalui pengamatan flora dan fauna pasca kegiatan rehabilitasi diterapkan.

Hasil penelitian lain terkait aplikasi rehabilitasi lahan di dunia juga dikemukakan oleh Awangnyo et al. (2011) yang mengkaji tentang pengaruh penggunaan lahan, naungan, dan regenerasi spesies invasive terhadap keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan pada kawasan ekosistem savana di Ghana. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sejak abad 19 telah terjadi pengurangan tutupan hutan di Ghana mencapai 90 % akibat adanya alih fungsi lahan. Dampak dari hal tersebut adalah menurunnya biodiversitas secara signifikan di dalam kawasan hutan. Pemulihan ekosistem padang savana di Ghana merupakan suatu bentuk mekanisme alam yang didukung oleh hadirnya beberapa jenis invasive dari golongan tumbuhan herba. Jenis - jenis tersebut kemudian tumbuh cepat dan berperan penting dalam penutupan lahan. Sejalan dengan waktu, kawasan padang savana ini kemudian mulai ditumbuhi beberapa pohon.

Hasil penelitian lain terkait skema rehabilitasi lahan juga dikemukakan oleh Song (2014) yang mengkaji efektivitas program CLB (Cultivated Land

Balance) terhadap keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan dalam upaya

(10)

dilaksanakan sejak tahun 1990 yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas lahan agar dapat mensuplai bahan makanan dalam kuantitas yang memadai tanpa mengurangi kualitasnya. Hasil dari penerapan program ini menunjukkan dampak yang positif terhadap pemulihan produktivitas lahan sekaligus dapat meminimalisir arus urbanisasi yang terjadi dari daerah pedesaan di China.

Berbeda dengan negara lain di dunia, inisiatif penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di Indonesia telah dimulai sejak lama, sebelum tahun 1970-an. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya pembangunan Hutan Pendidikan Wanagama I yang mulai dirintis sejak tahun 1964 (Simon, 2010). Bukti lain yang mendukung penyelenggaran kegiatan ini adalah adanya upaya penduduk Desa Nglipar, Kabupaten Gunungkidul yang menanam tanaman jati sejak masa kolonial Belanda. Penanaman jati oleh penduduk ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi hutan yang rusak pada masa tersebut, meskipun pemerintah kolonial Belanda melarang penanaman tanaman berkayu (Awang, 2000). Namun demikian, upaya rehabilitasi hutan dan lahan mulai serius dilakukan sejak akhir tahun 1970-an setelah terjadinya bencana banjir di Solo, Jawa Tengah. Pasca kejadian ini, pemerintah mulai berupaya untuk melaksanakan kegiatan RHL secara intensif melalui implementasi teknik konservasi tanah dan air yang dikombinasikan dengan teknik vegetatif. Menurut Nawir et al (2008), sejarah panjang mengenai kegiatan rehabilitasi ini dapat dibagi menjadi 6 periode utama yaitu:

1. periode I : masa pra-kolonial sampai dengan masa kolonial 2. periode II : masa kolonial sampai dengan tahun 1960-an

(11)

3. periode III : tahun 1960-an sampai dengan tahun 1970-an 4. periode IV : tahun 1970-an sampai dengan tahun 1980-an 5. periode V : tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an 6. periode VI : tahun 1990-an sampai dengan sekarang.

Implementasi pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan di Indonesia telah berjalan lebih dari 50 tahun. Selama kurun waktu tersebut, terdapat 150 proyek rehabilitasi lahan yang tersebar pada 400 lokasi di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, keberhasilan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi tersebut masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan belum adanya konsep yang jelas terkait skema pelaksanaan rehabilitasi lahan yang sesuai untuk diterapkan dalam rangka pemulihan kondisi ekosistem. Meskipun banyak mengalami kegagalan, terdapat beberapa lokasi yang dinilai telah berhasil dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi lahan, salah satu diantaranya adalah Kabupaten Gunungkidul (Nawir

et al., 2008).

Khan (1963) menjelaskan bahwa Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah bagian selatan pulau Jawa yang didominasi oleh bentang lahan karst dengan konfigurasi lahan cukup bervariasi. Dahulu, wilayah ini merupakan kawasan hutan tropis yang lebat namun kemudian berubah menjadi daerah yang tandus akibat adanya deforestasi hutan secara berlebihan (Faida et al, 2011). Hal ini juga dibuktikan oleh hasil penelitian Nawir et al (2008) yang menyatakan bahwa pada periode sebelum tahun 1970-an, kawasan Gunungkidul merupakan daerah yang kering dan tandus dengan dominasi lahan berupa tanah berbatu. Hasil

(12)

penelitian ini juga dibuktikan dengan gambaran kondisi Gunungkidul sebelum dibangunnya Hutan Pendidikan Wanagama I (Gambar 1.1.)

Gambar 1.1. Kondisi Gunungkidul Tahun 1953 (Sumber: Timmer, 2004; Wanagama, 2010)

Memasuki tahun 1970-an, berbagai program pemulihan kondisi lingkungan mulai dilakukan di Kabupaten Gunungkidul. Seiring berkembangnya waktu, upaya pemulihan kondisi lahan ini secara perlahan mulai menunjukkan tingkat keberhasilan. Indikasi nyata dari proses keberhasilan program tersebut dapat diukur melalui variabel ekologi sebagaimana dijelaskan oleh Nawir et al. (2008) bahwa kegiatan pemulihan kondisi lahan di Kabupaten Gunungkidul telah mendorong adanya pembentukan solum tanah, terciptanya sumber air, dan perubahan iklim mikro. Bukti lain yang menunjukkan adanya keberhasilan pemulihan kondisi lahan di Kabupaten Gunungkidul adalah munculnya sumber mata air di dalam kawasan Hutan Pendidikan Wanagama. Menurut Simon (2010),

(13)

munculnya sumber mata air di Wanagama terjadi setelah 19 tahun dibangunnya Hutan Pendidikan Wanagama. Sumber mata air ini terbentuk diantara celah batuan yang terpecah akibat adanya pertumbuhan akar tanaman Gambar 1.2.

Gambar 1.2. Pertumbuhan Akar yang Memecah Batuan (Sumber: Observasi)

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Gunungkidul juga dibuktikan dengan terbentuknya kawasan hutan rakyat yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. Keberadaan kawasan hutan rakyat ini juga menjadi salah satu ikon yang khas dari Kabupaten Gunungkidul dengan pola kombinasi tanaman yang bervariasi. Menurut Awang (2000), hutan rakyat merupakan kawasan hutan yang berada pada lahan milik masyarakat dan ditanam dengan pola agroforestri yang mengkombinasikan antara tanaman keras (pohon) dengan tanaman semusim (tanaman pangan). Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul dilakukan secara kolektif melalui kelompok tani meskipun status kepemilikan lahan adalah secara individu petani.

(14)

Perubahan kondisi lahan di wilayah Gunungkidul dari kawasan tandus menjadi kawasan yang hijau merupakan suatu objek yang menarik untuk dipelajari. Berbagai upaya perbaikan kondisi lingkungan telah dilakukan sejak tahun 1970-an baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Keberhasilan rehabilitasi lahan di Kabupaten Gunungkidul telah memberikan catatan historis tersendiri terkait implementasi pogram rehabilitasi lahan pada suatu kawasan (Faida, 2011). Namun, dari proses tersebut terdapat berbagai hal yang masih belum dapat dijelaskan khususnya terkait dinamika proses transisi lahan yang terjadi dari kawasan yang kritis-tandus-gersang menjadi kawasan bervegetasi. Selain itu, dibutuhkan suatu kajian terkait pola hubungan antara proses transisi lahan dengan perubahan dinamika sosial yang terjadi selama kegiatan rehabilitasi lahan dilaksanakan. Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa pertanyaan yang diharapkan dapat dijawab dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah gambaran kondisi Kabupaten Gunungkidul saat ini merupakan resultan dari upaya pemulihan kondisi lingkungan di masa lalu ? Apakah benar resultan tersebut dari kegiatan rehabilitasi ? Jika benar, lalu seperti apa tahapan transisinya?

2. Seperti apa bentuk hasil proses transisi lahan yang terjadi dikatikan dengan konteks sistem sosial-ekologis (kompleks sistem) di Kabupaten Gunungkidul?

3. Apa pembelajaran yang dapat dipetik dari proses transisi lahan yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul untuk perbaikan konsep rehabilitasi ke depan?

(15)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitan ini adalah sebagai berikut :

1. Membuktikan bahwa gambaran kondisi Kabupaten Gunungkidul saat ini merupakan resultan dari upaya pemulihan kondisi lingkungan di masa lalu khususnya dari rehabilitasi.

2. Menjelaskan proses transisi lahan yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul.

3. Mengkaji keterkaitan antara proses biotik – abiotik dan kultural yang menyebabkan terjadinya proses transisi lahan di Kabupaten Gunungkidul.

4. Merangkum berbagai pembelajaran yang dapat diambil dari terjadinya proses transisi lahan di Kabupaten Gunungkidul dilihat dari pendekatan kompleks sistem yaitu kerangka resiliensi dan kerangka transisi.

5. Memformulasikan konsep rehabilitasi lahan berbasis studi kasus pemulihan kondisi lingkungan di Kabupaten Gunungkidul.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup :

1. analisis dan pembuktian terjadinya transisi lahan di Kabupaten Gunung Kidul selama kurun waktu tahun 1970-2013 berdasarkan data empirik dan kajian historis.

(16)

2. analisis model pola transisi lahan dan keterkaitannya pergeseran rejim sistem di Kabupaten Gunungkidul.

3. studi interaksi dan interelasi terkait proses rehabilitasi lahan yang didasarkan pada kasus perubahan kondisi lahan di Kabupaten Gunungkidul dengan sudut pandang kerangka transisi dan resiliensi. 4. merancang usulan perbaikan konsep rehabilitasi lahan berdasarkan

proses transisi-resiliensi yang berlangsung di Kabupaten Gunungkidul.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain adalah :

1. memberikan gambaran terkait bagaimana memformulasikan konsep rehabilitasi lahan melalui studi kasus yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul.

2. memberikan contoh pembelajaran terkait bagaimana upaya rehabilitasi lahan pada area terdegradasi dengan tetap mengikuti kaidah resiliensi ekosistem.

3. memberikan arahan dalam penerapan metode rehabilitasi lahan yang mampu mengintegrasikan antara aspek biofisik dan aspek sosial secara sistematis yang berbasis pendekatan kompleks sistem.

(17)

1.6. Keaslian Penelitian

Perubahan kondisi lahan di Kabupaten Gunungkidul dari kawasan tandus menjadi kawasan bervegetasi merupakan suatu proses yang berlangsung dinamis dan dipengaruhi oleh beragam faktor. Perubahan ini juga memiliki hubungan erat dengan dinamika sosial masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Penelitian terkait perubahan kondisi lahan di Kabupaten Gunungkidul telah banyak dilakukan. Hasil dari penelitian tersebut juga sudah banyak dikembangkan baik melalui studi tahap lanjut maupun implementasinya secara operasional.

Penelitian yang dilakukan oleh Faida et al. (2011) menunjukkan bahwa perubahan kondisi lahan di Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu bentuk perubahan kondisi ekosistem yang telah terjadi selama ribuan tahun dan dimulai sebelum abad masehi. Pada kondisi masa lalu, kawasan Gunungkidul merupakan kumpulan dari hutan tropis yang lebat dengan berbagai jenis vegetasi. Namun, sejak tahun 1500-1950 telah terjadi eksploitasi hutan tropis secara berlebihan sehingga kawasan ini berubah menjadi daerah yang kering dan tandus. Hal inilah yang menyebabkan kawasan Gunungkidul dikenal dengan daerah lahan kritis sampai periode tahun 1970-an.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faida et al. (2011), penelitian yang dilakukan oleh Nawir et al. (2008) menunjukkan bahwa kawasan Gunungkidul merupakan suatu daerah lahan kritis yang kering dan tandus pada era tahun 1970-an. Seiring berkembangnya waktu, kawasan ini kemudian mengalami perubahan akibat adanya upaya rehabilitasi lahan yang dilakukan

(18)

melalui intervensi manusia dengan tujuan untuk memperbaiki produktivitas lahan. Upaya ini kemudian memberikan dampak positif terhadap perbaikan kondisi lahan di wilayah Gunungkidul yang diindikasikan dengan adanya pembentukan solum tanah, munculnya sumber mata air, dan perbaikan iklim mikro selama kurun waktu tahun 1970-an sampai dengan tahun 2000-an.

Berubahnya kondisi lahan di Kabupaten Gunungkidul akibat adanya upaya rehabilitasi lahan juga telah memberikan perubahan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Adanya perbaikan kondisi lingkungan dari kawasan yang tandus menjadi area bervegetasi telah membentuk entitas ekologis yang kompleks dalam bentuk ekosistem hutan rakyat. Awang (2000) menjelaskan bahwa terbentuknya hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul merupakan suatu proses adaptasi masyarakat terhadap kondisi lingkungan. Dalam hal ini, masyarakat mengambil pembelajaran dari keberhasilan pembangunan Hutan Pendidikan Wanagama I yang kemudian diadopsi pada lahan milik mereka. Perpaduan antara hasil pembelajaran dari pembangunan tersebut juga dipadukan dengan pengetahuan lokal masyarakat tentang kombinasi berbagai jenis tanaman sehingga menghasilkan pola kombinasi hutan rakyat seperti saat ini.

Hasil penelitian Ritohardoyo (2009) menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul telah memberikan dampak positif terhadap perbaikan ekonomi penduduk. Produk kayu yang diperoleh dari hutan rakyat memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi di pasaran. Hal ini juga didukung dengan tingginya permintaan bahan baku kayu sebagai dampak penurunan potensi kawasan hutan negara. Selain itu, pemanfaatan lahan hutan

(19)

rakyat ini juga memberikan keuntungan secara ekologis sehingga dapat mendukung terwujudnya azas kelestarian dalam pemanfaatan sumberdaya lahan.

Utari (2010) menjelaskan, keberhasilan pembangunan hutan rakyat di kawasan Gunungkidul memang merupakan hasil dari program rehabilitasi lahan yang dicanangkan. Namun, keberhasilan ini tidak akan pernah terwujud tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat dalam bentuk kelompok Tani. Secara kelembagaan, kelompok Tani tersebut memiliki pranata sosial berbasis pengetahuan lokal yang khas dalam bercocok tanam. Berbagai upaya untuk mendukung program rehabilitasi selain penanaman, juga dilakukan oleh petani secara kolektif melalui pembangunan teras, pemecahan batuan kapur, pembuatan saluran air, dan pemeliharaan tanaman keras. Hal inilah yang menjadi landasan dasar berhasilnya kegiatan rehabilitasi lahan di Kabupaten Gunungkidul

Berbagai uraian hasil penelitian di atas merupakan landasan dasar yang digunakan oleh peneliti untuk merumuskan studi lebih lanjut terkait perubahan kondisi lahan di Kabupaten Gunungkidul. Namun demikian, rumusan penelitian kali ini berbeda dengan kajian penelitian lain yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian kali ini, peneliti berusaha untuk mengkaji proses rehabilitasi lahan di Kabupaten Gunungkidul berdasarkan sudut pandang proses perubahan yang dianalisis melalui kerangka transisi dan resiliensi. Penggunaan sudut pandang transisi dan resiliensi dalam studi kali ini diharapkan dapat memberikan informasi baru terkait proses berlangsungnya rehabilitasi lahan di Kabupaten Gunungkidul. Informasi yang dimaksud antara laian meliputi pola perubahan, fase perubahan, bentuk perubahan, dan keterkaitan dinamika sosial terhadap proses

(20)

perubahan yang berlangsung. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran untuk memperbaiki rangcangan konsep rehabilitasi lahan pada masa mendatang.

Gambar

Gambar  1.1.  Kondisi  Gunungkidul  Tahun  1953  (Sumber:  Timmer,  2004;
Gambar 1.2. Pertumbuhan Akar yang Memecah Batuan (Sumber: Observasi)

Referensi

Dokumen terkait

sistem/teknologi informasi. Adanya teknologi akan memunculkan dan menambah inovasi dalam organisasi. Inovasi ini tidak hanya meningkatkan keunggulan kompetitif, tetapi

Bahwa untuk kelancaran penyelesaian perkara gugatan dan permohonan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Dompu, danpenyelesaian perkara yang diajukan banding, kasasi,

Melalui penelitian ini dilakukan penelitian analisis sistetn pelabuhan perikanan untuk mengetahui sistem pelabuhan perikanan di Kabupaten Lolnbok Timur khusus

Fenomena inilah yang menjadi menarik bagi penulis untuk meneliti lebih lanjut terkait dengan bagaimana penerapan karakteristik Marketing Syariah sebagai strategi

Melihat perkembangan yang begitu pesat, pemerintah melakukan perluasan perlembagaan dengan maksud untuk lebih meningkatkan dengan cepat perkembangan dari industri-industri

 Contoh kalimat tanya tersamar dalam kehidupan sehari- hari  Santun dalam bertanya sesuai dengan situasi komunikasi  Santun dan lugas dalam bertanya sesuai dengan situasi

yang sama di seluruh titik yang diukur titik yang diukur dengan menggunakan amperem dengan menggunakan amperemeter. Hal ini eter. Perbedaan ini disebabkan oleh resistor yang

(d) Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama