• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAYA DUKUNG DAN KELEMBAGAAN USAHA KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK JATILUHUR NURMALA FITRI S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DAYA DUKUNG DAN KELEMBAGAAN USAHA KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK JATILUHUR NURMALA FITRI S"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAYA DUKUNG DAN KELEMBAGAAN USAHA

KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK JATILUHUR

NURMALA FITRI S

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Daya Dukung dan Kelembagaan Usaha Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Jatiluhur” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016 Nurmala Fitri S H44120057

(4)
(5)

ABSTRAK

NURMALA FITRI S. Analisis Daya Dukung dan Kelembagaan Usaha Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Jatiluhur. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT.

Pembudidayaan ikan air tawar dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) di wilayah Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta mengalami peningkatan secara kuantitas. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran dan sedimentasi karena pengembangan usaha KJA yang melebihi daya dukung waduk. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis daya dukung Waduk Jatiluhur, (2) menganalisis kelembagaan, dan (3) menganalisis persepsi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA di Waduk Jatiluhur. Dalam pengumpulan data primer dan sekunder digunakan metode wawancara dan studi pustaka. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode Beveridge, analisis konten/isi, analisis biaya transaksi, dan analisis persepsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah petakan KJA yang sesuai dengan daya dukung Waduk Jatiluhur yaitu sebanyak 6 838 petak KJA. Dalam pengelolaan KJA di Waduk Jatiluhur, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta dan Perum Jasa Tirta II berperan penting dalam menyusun regulasi dan melakukan pembinaan terhadap para pelaku pembudidaya ikan. Biaya transaksi yang dikeluarkan untuk menyusun regulasi dan melakukan pembinaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta sebesar Rp 689 400 000,00 per tahun dan Perum Jasa Tirta II sebesar Rp 70 107 900,00 per tahun. Selanjutnya, terdapat persamaan persepsi di antara stakeholder pada aspek ekologi dan ekonomi, namun berbeda persepsi pada aspek pengelolaan KJA.

(6)

ABSTRACT

NURMALA FITRI S. Carrying Capacity and Institutional Analysis of Floating Net Cages (KJA) Business in Jatiluhur Reservoir. Supervised by ACENG HIDAYAT.

The cultivation of freshwater fish with Floating Cages Net (KJA) system in the area of Jatiluhur Reservoir, Purwakarta Regency has increased in quantity. It results in the pollution and sedimentation because of KJA business development of KJA which exceeds the carrying capacity of the reservoir. This research aimed to: (1) analyze the carrying capacity of Jatiluhur Reservoir, (2) analyze institutional, (3) analyze the perception of stakeholders involved in KJA management in Jatiluhur Reservoir. In the primary and secondary data collection methods, it was used interview method and literature study. The results showed that the number of KJA plots in accordance with the carrying capacity of Jatiluhur Reservoir was as many as 6 838 KJA plots. In the management of KJA in Jatiluhur Reservoir, The Department of Animal Husbandry and Fisheries of Purwakarta Regency and Perum Jasa Tirta II have important roles in formulating regulations and providing guidance to the fish farmers. The transaction costs spent on formulating regulations and providing guidance by The Regional Government of Purwakarta Regency was amounted to Rp 689 400 000,00 per year while Perum Jasa Tirta II spent amounted to Rp 70 107 900,00 per year. Furthermore, there is a common perception among stakeholders on ecological and economic aspects, but they have different perception on the management aspects of KJA.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS DAYA DUKUNG DAN KELEMBAGAAN USAHA

KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK JATILUHUR

NURMALA FITRI S

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2016 dengan judul “Analisis Daya Dukung dan Kelembagaan Usaha Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Jatiluhur”. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta yaitu Dr. Mulyadi dan Rumnasari Siregar, M.Si serta Kakak dan Adik tersayang Liliyana Sari, S.Psi dan Andika Aulia yang telah memberikan doa, dukungan, dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan, saran, dan masukan selama penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Ir. Ujang Sehabudin, M.Si dan Ibu Hastuti, SP, MP, M.Si selaku dosen

penguji yang telah memberikan kritikan serta masukan untuk skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku dosen Pembimbing Akademik

selama menjalani perkuliahan.

5. Keluarga besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB, staff pengajar dan pegawai, serta ESL 49 atas semangat dan dukungan selama perkuliahan sampai dengan penyusunan skripsi ini.

6. Bapak/Ibu staff Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, Perum Jasa Tirta II, dan pelaku budidaya KJA yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Serta keluarga Bapak Warisno yang telah membantu saya selama di lapang.

7. Rekan-rekan satu bimbingan dan kosan atas do’a, semangat, dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi tugas akhir ini bermanfaat.

Bogor, September 2016 Nurmala Fitri S

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Waduk ... 7

2.2 Keramba Jaring Apung (KJA) ... 7

2.3 Daya Dukung Waduk ... 9

2.4 Kelembagaan ... 10

2.5 Biaya Transaksi ... 11

2.6 Analisis Persepsi Stakeholder ... 12

2.7 Penelitian Terdahulu ... 12

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 15

IV. METODE PENELITIAN ... 19

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 19

4.3 Metode Pengambilan Sampel ... 19

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 20

4.4.1 Analisis Daya Dukung Waduk Jatiluhur dalam Upaya Pengembangan Usaha KJA ... 21

4.4.2 Analisis Kelembagaan Pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur ... 22

4.4.3 Analisis Biaya Transaksi ... 23

4.4.4 Analisis Persepsi Stakeholder dalam Pengelolaan Waduk Jatiluhur ... 24

(14)

V. GAMBARAN UMUM ... 27

5.1 Keadaan Geografis Kabupaten Purwakarta ... 27

5.2 Keadaan Geografis Bendungan Jatiluhur ... 28

5.3 Karakteristik Pembudidaya Ikan ... 32

VI. ANALISIS DAYA DUKUNG WADUK JATILUHUR ... 35

VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) WADUK JATILUHUR ... 39

7.1 Analisis Aturan Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Jatiluhur ... 39

7.1.1 Analisis Aturan Formal ... 39

7.1.2 Analisis Kesenjangan Aturan Formal ... 50

7.2 Identifikasi Stakeholder ... 52

7.3 Struktur Tata Kelola Waduk Jatiluhur dan Perikanan ... 61

7.3.1 Eksisting Struktur Tata Kelola Waduk Jatiluhur dan Perikanan .. 62

7.3.2 Rekomendasi Struktur Tata Kelola Waduk Jatiluhur dan Perikanan ... 70

7.3.3 Identifikasi dan Perkiraan Kebutuhan Biaya Transaksi ... 72

VIII. ANALISIS PERSEPSI STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) WADUK JATILUHUR ... 77

8.1 Persepsi terhadap Kondisi Lingkungan Waduk Jatiluhur dan Keberadaan KJA ... 77

8.2 Persepsi terhadap Peluang Bekerja dan Pendapatan dari Usaha KJA .. 79

8.3 Persepsi terhadap Pemahaman dan Pelaksanaan Aturan Usaha KJA ... 80

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

9.1 Kesimpulan ... 83

9.2 Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... 89

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Matriks metode analisis data ... 20

2. Parameter peraturan-peraturan pengelolaan Waduk Jatiluhur terkait KJA ... 23

3. Persepsi stakeholder terhadap pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur ... 25

4. Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Purwakarta tahun 2010 – 2014 ... 27

5. Perkembangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Purwakarta tahun 2009 – 2014 ... 30

6. Jumlah petani KJA per zona tahun 2014 ... 30

7. Perkembangan produksi perikanan budidaya berdasarkan potensi dan pemanfaatan areal budidaya di Kabupaten Purwakarta tahun 2010-2014 ... 31

8. Produksi ikan keramba jaring apung Kabupaten Purwakarta tahun 2009 – 2014 ... 32

9. Karakteristik responden (pembudidaya ikan) ... 33

10. Perbandingan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat dan Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta ... 51

11. Jumlah pembudidaya dan petakan KJA tahun 2011-2014 berdasarkan jumlah izin SIUP yang dikeluarkan oleh BPMPTSP ... 64

12. Biaya transaksi Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta dalam pengelolaan Waduk Jatiluhur dan perikanan ... 73

13. Biaya transaksi Perum Jasa Tirta II dalam pengelolaan Waduk Jatiluhur ... 75

14. Analisis persepsi stakeholder untuk aspek ekologi ... 78

15. Analisis persepsi stakeholder untuk aspek ekonomi ... 79

16. Analisis persepsi stakeholder untuk aspek pengelolaan ... 80

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kerangka pemikiran operasional penelitian ... 16

2. Citra satelit Waduk Jatiluhur ... 29

3. Eksisting struktur tata kelola waduk dan perikanan ... 63

(16)

5. Rekomendasi struktur tata kelola waduk dan perikanan ... 71

6. Biaya transaksi Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta dalam pengelolaan perikanan di Waduk Jatiluhur ... 73

7. Biaya transaksi Perum Jasa Tirta II dalam pengelolaan KJA di Waduk Jatiluhur ... 74

8. Persepsi stakeholder untuk aspek ekologi ... 78

9. Persepsi stakeholder untuk aspek ekonomi ... 79

10. Persepsi stakeholder untuk aspek pengelolaan ... 81

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Kuesioner penelitian ... 91

2. Bagan struktur organisasi Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta ... 107

3. Bagan struktur organisasi Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) ... 108

4. Formulir Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) KJA ... 109

5. Peraturan dalam pengelolaan Waduk Jatiluhur terkait keberadaan KJA ... 111

6. Komponen perhitungan daya dukung waduk ... 121

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Waduk Ir. H. Djuanda (Jatiluhur) dibangun di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta pada tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis. Waduk ini memiliki panorama danau seluas 8 300 ha dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 milyar m3 per tahun. Sejak pembangunan Waduk Jatiluhur selesai pada tahun 1967, waduk ini telah menjadi penyedia air baku yang didistribusikan ke PDAM Kabupaten, PAM Jaya, dan kawasan industri yang berada di wilayah kerja Perum Jasa Tirta II (PJTII). Selain sumber air untuk konsumsi rumah tangga dan industri, air dari Waduk Jatiluhur juga digunakan sebagai pengairan lahan pertanian (irigasi) seluas 242 000 ha oleh masyarakat sekitar waduk dan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas listrik 187,5 MW yang sebagian digunakan untuk pemakaian sendiri dan penugasan pemerintah, sedangkan selebihnya dipasok ke PT PLN (Persero) (PJTII, 2014).

Waduk Jatiluhur juga berfungsi sebagai pengendali banjir pada daerah bagian hilir waduk, tempat rekreasi dan wisata, dan budidaya perikanan khususnya budidaya ikan Keramba Jaring Apung (KJA). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan bahwa perairan umum seperti sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang berada dalam kedaulatan Republik Indonesia dapat diusahakan sebagai lahan pembudidayaan ikan dengan tetap memperhatikan daya dukung dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Perizinan usaha dan pembangunan KJA di Waduk Jatiluhur merupakan upaya pemerintah daerah untuk menyediakan mata pencaharian masyarakat yang hilang. Pembangunan waduk berakibat pada penggusuran lahan pertanian masyarakat sekitar. Kebijakan pengelolaan Waduk Jatiluhur dalam hubungannya dengan pengembangan budidaya ikan dengan sistem KJA berdasarkan hasil penelitian Nasution (2005) dimulai dari Konsep Tata Ruang Waduk Jatiluhur pada tahun 1993. Masyarakat yang ingin memiliki usaha KJA harus membuat Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) yang direkomendasikan oleh Dinas Peternakan dan

(18)

Perikanan Kabupaten Purwakarta dan PJTII. SIUP merupakan upaya untuk memelihara kelestarian waduk dan diharapkan mampu mendorong peningkatan perekonomian masyarakat dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun sejak tahun 2015 pembuatan dan perpanjangan SIUP diberhentikan seutuhnya sejalan dengan keinginan Pemerintah untuk mengurangi jumlah KJA di Waduk Jatiluhur. Budidaya ikan dengan sistem KJA di Waduk Jatiluhur mulai dikelola oleh PJTII sejak tahun 1988.

Menurut hasil penelitian Siagian (2010b), wilayah perairan waduk sesuai untuk pengembangan usaha KJA, namun pelaku usaha KJA diharapkan mampu untuk menyusun strategi pengembangan usaha KJA seperti penentuan lokasi, jumlah dan jenis ikan yang dibudidayakan, jumlah dan jenis pakan yang diberikan, dan periode usaha sehubungan dengan fluktuasi air waduk. Penyusunan strategi yang terkait dengan usaha KJA belum dilakukan oleh semua pelaku usaha KJA yang ada di Waduk Jatiluhur. Hal ini tampak dari terjadinya peningkatan jumlah (overload) KJA yang mengakibatkan penurunan kualitas air Waduk Jatiluhur.

Banyaknya jumlah KJA yang tidak memiliki izin ikut berkontribusi terhadap peningkatan jumlah KJA di Waduk Jatiluhur. Jumlah KJA yang seharusnya menurut Surat Keputusan Bupati Purwakarta Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pemanfaatan Waduk sebanyak 2 100 petak dan menurut hasil studi yang dilakukan pada tahun 2006 sebanyak 4 040 petak, tetapi angka tersebut meningkat menjadi 23 000 petak pada tahun 2014 (PJTII, 2014). Hal ini telah melebihi daya dukung waduk dan memicu terjadinya kerusakan waduk. Kerusakan waduk terjadi salah satunya karena dalam pembudidayaan ikan diterapkan sistem pemberian pakan dalam jumlah yang besar padahal tidak semua pakan itu dikonsumsi ikan. Akibatnya, terjadi pengendapan sisa pakan di dasar waduk yang akan memicu terjadinya proses dekomposisi dan menurunkan suplai oksigen di wilayah perairan waduk. Pengendapan sisa pakan dan metabolisme ikan juga akan menyebabkan terjadinya sedimentasi di waduk. Sedimentasi yang terjadi mengakibatkan penurunan kualitas air, korosi pada alat PLTA, menurunkan umur masa layanan waduk, dan bahkan menyebabkan kematian pada ikan budidaya KJA.

Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2005), “Pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan perairan waduk yang terkait dengan keberadaan KJA

(19)

harus memerhatikan aspek kelembagaan”. Pemodelan kelembagaan yang baik dapat dilakukan sebagai upaya untuk membatasi jumlah KJA dan mengurangi tingkat pencemaran dari aktivitas KJA, industri, dan domestik. Kelembagaan yang terdapat di Waduk Jatiluhur tidak hanya berkaitan dengan pengelolaan waduk, tetapi juga pengelolaan sektor perikanan seperti usaha KJA. Kelembagaan yang ada dapat bersifat formal dan informal, seperti konstitusi, hukum, pengalaman, dan nilai-nilai tradisional yang melekat di masyarakat. Kelembagaan berfungsi untuk mengawasi kinerja sektor-sektor ekonomi yang terdapat di sekitar waduk dan juga untuk membatasi tingkat pencemaran yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Menurut Ummah (2015), pengelolaan sumberdaya yang bersifat common pool resources seperti waduk memerlukan aturan yang berfungsi untuk mengalokasikan dan menjamin keberlangsungan sumberdayanya. Lebih lanjut Ummah (2015) menyatakan sebagai berikut:

“Aturan tersebut diperoleh dari sistem kelembagaan yang dibuat oleh para stakeholder yang mampu memahami dan melaksanakan tugasnya dengan baik, seperti kerjasama yang berkesinambungan antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan sumberdaya yang terdapat di dalam waduk tersebut”.

1.2 Masalah Penelitian

Waduk Jatiluhur memiliki beberapa fungsi dalam tujuan pembangunannya. Salah satu fungsinya adalah sebagai lokasi pengembangan KJA agar memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar waduk. Hal ini didukung dengan pernyataan Bramana (2015), “Budidaya perikanan merupakan salah satu bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai alternatif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat”. Manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat dari keberadaan KJA antara lain adalah peningkatan pendapatan dan taraf hidup, perluasan kesempatan kerja, dan terpenuhinya kebutuhan konsumsi sumber protein ikan.

Manfaat ekonomi yang dihasilkan KJA mendorong masyarakat untuk terus membangun KJA. Pernyataan ini didukung dengan hasil penelitian Widyastuti (2005) yang mengatakan bahwa kegiatan budidaya KJA merupakan sebuah usaha

(20)

perikanan air tawar yang dapat dikembangkan secara intensif, dengan luas perairan yang terbatas dan pemberian pakan buatan, maka budidaya KJA berpotensi untuk dikembangkan dalam skala industri. Faktor input yang mudah diakses menjadi salah satu alasan masyarakat terus mengembangkan usaha KJA, sehingga jumlah KJA yang ada telah melebihi daya dukung ekologi waduk. Padahal dalam pengembangan usaha KJA harus tetap memerhatikan kualitas dan kelestarian perairan waduk untuk keberlanjutan usaha KJA. Pengembangan usaha KJA ditentukan oleh unsur cemaran dari sisa pakan yang masuk ke perairan, seperti fosfor (P) dan nitrogen (N) karena dapat memicu terjadinya proses eutrofikasi. Apabila terjadi proses pembalikan massa air (upwelling) di wilayah perairan waduk maka akan menyebabkan kematian massal pada ikan budidaya KJA. Aktivitas KJA di Waduk Jatiluhur belum memerhatikan aspek daya dukung perairan sehingga terjadi penurunan kualitas air waduk.

Pelaksanaan budidaya perikanan perlu memerhatikan kaidah-kaidah ekologis agar dampak negatif dari aktivitas budidaya perikanan dapat dihindari. Teknologi akuakultur yang digagas oleh Effendi (2004) seperti konstruksi wadah produksi; pemilihan lokasi budidaya; penentuan pola tanam; penggunaan benih unggul dan padat penebaran (stocking density) yang tepat; pemberian pakan yang sesuai jumlah, mutu, waktu, dan cara; pengendalian hama dan penyakit; pengelolaan air; pemantauan secara teratur; serta pemanenan dan penanganan pasca panen dapat dilakukan sebagai langkah untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas budidaya perikanan karena berbasiskan daya dukung ekologi dari wilayah perairan. Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian Siagian (2010a), perhitungan daya dukung lingkungan waduk dapat dilakukan sebagai langkah awal untuk mengetahui kemampuan waduk tersebut dalam mendukung sejumlah biomassa ikan, sehingga dapat dilakukan estimasi mengenai jumlah unit KJA optimum yang sesuai dengan daya dukung waduk. Oleh karena itu, perhitungan daya dukung Waduk Jatiluhur perlu dilakukan sebagai langkah awal dalam pengestimasian jumlah KJA optimum agar dampak negatif dari aktivitas KJA dapat dihindari.

Kelembagaan yang ada di Waduk Jatiluhur tidak hanya terbatas pada pengelolaan waduk tetapi juga pengelolaan aktivitas budidaya KJA. Kelembagaan

(21)

yang baik dapat membatasi jumlah KJA dengan memberikan perizinan usaha KJA yang berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku dan melihat daya dukung (carrying capacity) ekologi waduk.

Pengelolaan Waduk Jatiluhur terkait KJA dilakukan oleh beberapa pihak yang masing-masing dari pihak tersebut memiliki persepsi yang berbeda. Persepsi yang berbeda dapat memengaruhi pengambilan keputusan atau pencapaian tujuan dari pengelolaan Waduk Jatiluhur terkait KJA. Maka, diperlukan identifikasi persepsi dari semua pihak agar dapat meningkatkan produktivitas KJA dan mempertahankan atau memperbaiki kualitas lingkungan waduk.

Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat sejumlah permasalahan yang menarik untuk diteliti, yaitu:

1. Bagaimana analisis daya dukung Waduk Jatiluhur terkait usaha KJA? 2. Bagaimana analisis kelembagaan pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur?

3. Bagaimana analisis persepsi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis daya dukung Waduk Jatiluhur terkait usaha KJA. 2. Menganalisis kelembagaan pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur.

3. Menganalisis persepsi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi pelaku usaha KJA, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan kegiatan KJA agar tidak melebihi daya dukung ekologi waduk dan meningkatkan partisipasi dalam pengembangan usaha KJA.

2. Bagi pengelola waduk dan instansi terkait, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait

(22)

pengelolaan KJA di Waduk Jatiluhur agar sesuai dengan daya dukung ekologi waduk.

3. Bagi kalangan mahasiswa dan akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat sehingga dapat menjadi rujukan dalam penelitian lanjutan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terbatas pada masyarakat yang berlaku sebagai pemilik dan pengelola usaha KJA, pengelola Waduk Jatiluhur, dan instansi terkait sebagai responden. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya dukung waduk terkait usaha KJA, menganalisis kelembagaan, dan menganalisis persepsi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA di Waduk Jatiluhur. Melalui perhitungan daya dukung waduk, maka dapat dilakukan estimasi jumlah produksi ikan optimum dan jumlah petak KJA optimum yang sesuai dengan daya dukung waduk. Analisis kelembagaan KJA Waduk Jatiluhur untuk melihat substansi kelembagaan yaitu peraturan formal yang berkaitan dengan KJA Waduk Jatiluhur, mengidentifikasi stakeholder dan perannya, struktur tata kelola, dan biaya transaksi. Analisis persepsi dilakukan terhadap masing-masing stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur. Identifikasi persepsi stakeholder dilakukan melalui aspek ekologi, ekonomi, dan pengelolaan. Parameter yang digunakan dalam kaitannya dengan aspek ekologi adalah kondisi lingkungan Waduk Jatiluhur dan keberadaan KJA. Parameter untuk aspek ekonomi adalah peluang bekerja dan pendapatan dari usaha KJA. Parameter yang digunakan untuk aspek pengelolaan adalah pemahaman dan pelaksanaan aturan usaha KJA.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Waduk

Danau buatan (waduk) adalah tempat pada permukaan tanah yang digunakan untuk menampung air saat musim penghujan sehingga air dapat dimanfaatkan saat musim kering dengan cara membendung sungai dengan bendungan. Air yang berada di waduk utamanya berasal dari aliran permukaan dan air hujan. Ghufran dan Baso (2007) mengatakan bahwa, “Waduk dibangun untuk beberapa kebutuhan diantaranya: (1) untuk irigasi; (2) penyedia energi listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA); (3) penyedia air minum; (4) pengendali banjir; (5) rekreasi; (6) perikanan; dan (7) transportasi”. Fungsi dari keberadaan waduk lainnya adalah untuk memperkecil kerusakan di daerah hilir waduk saat terjadi banjir. Berapapun ukuran suatu waduk atau apapun tujuan pemanfaatan airnya, fungsi utama dari suatu waduk adalah untuk menstabilkan aliran air dengan cara pengaturan persediaan air ataupun dengan pemenuhan kebutuhan yang berubah-ubah dari para konsumen (Linsley, 1985).

Perencanaan pembangunan waduk sebaiknya meliputi pertimbangan mengenai laju pengendapan sedimen untuk memperkirakan usia manfaat atau masa layanan waduk. Linsley (1985) mengemukakan mengenai beberapa aturan umum dalam penentuan lokasi pembangunan waduk, yaitu: (1) harus ada tempat yang cocok untuk lokasi kedudukan waduk; (2) waduk yang dasarnya dalam lebih baik daripada yang dangkal karena akan lebih sedikit terjadi penguapan dan lebih kecil kemungkinan untuk ditumbuhi rumput air; (3) aliran sungai yang produktif dalam menghasilkan sedimen sebaiknya dihindari; (4) mutu air yang ditampung harus memenuhi tujuan pemanfaatannya; dan (5) tebing waduk dan lereng bukit yang berdekatan harus stabil untuk menghindari aliran bahan tanah terhadap waduk.

2.2 Keramba Jaring Apung (KJA)

Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan sebuah sistem budidaya ikan yang biasanya berlokasi di wilayah perairan umum seperti danau atau waduk yang membudidayakan jenis-jenis ikan tertentu. Jenis-jenis ikan yang dapat dibudidayakan di KJA adalah ikan kerapu, ikan mas, ikan nila, ikan patin, ikan

(24)

mujair, ikan gurami, dan ikan hias air tawar. Effendi (2004) mendefinisikan jaring apung (cage culture) sebagai sebuah sistem budidaya berupa jaring yang mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung dan ditempatkan di perairan seperti danau dan waduk, memiliki dasar pasir, batu, atau karang. Usaha KJA di Waduk Jatiluhur menggunakan keramba berukuran 7 x 7 x 2 m3. Sistem budidaya dengan KJA terdiri dari beberapa komponen seperti rangka, kantong jaring, pelampung, jalan inspeksi, rumah jaga, dan jangkar. Rangka yang digunakan pembudidaya ikan di Waduk Jatiluhur terbuat dari kayu, bambu, pipa paralon, aluminium, atau gabungan dari beberapa bahan tersebut. Rangka ini berfungsi sebagai tempat bergantungnya kantong jaring dan landasan jalan inspeksi dan rumah jaga. Lebih lanjut, kantong jaring yang digunakan adalah bahan polyethelene (PE) atau polyprophelene (PP), sedangkan untuk pelampung terbuat dari drum plastik atau styrofoam.

Beberapa keunggulan ekonomis dari usaha budidaya ikan dengan sistem KJA yaitu: (a) meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya; (b) prinsip kerja usaha KJA dengan melakukan pengurungan pada suatu badan perairan dan pemberian pakan dapat meningkatkan produksi ikan; dan (c) memberikan pendapatan yang lebih teratur kepada nelayan dibandingkan usaha penangkapan (Wulandari, 2015).

Althaf (2015) menjelaskan bahwa dalam penentuan lokasi pengembangan usaha KJA harus memerhatikan beberapa aspek seperti aspek sosial, ekonomi, dan teknis. Aspek sosial dan ekonomi yang umumnya dipertimbangkan adalah lokasi dekat dengan penjual atau pembeli ikan dan merupakan lokasi yang dikhususkan sebagai pusat pengembangan budidaya KJA. Aspek teknis dalam pemilihan lokasi KJA, yaitu: a) arus air, sebaiknya arus air tidak terlalu kuat, namun tetap ada agar terjadi pergantian air, kandungan oksigen terlarut untuk kebutuhan ikan tercukupi, serta sisa pakan dan metabolisme ikan yang jatuh ke dasar perairan dapat terlarut; b) kedalaman perairan, sebaiknya kedalaman perairan lebih dari 3 meter dari dasar jaring saat terjadi surut air; c) tingkat kesuburan, lokasi terbaik untuk pengembangan budidaya KJA adalah lokasi dengan tingkat kesuburan rendah (oligotropik) hingga kesuburan sedang (mesotropik), karena jika dengan tingkat kesuburan yang tinggi (eutropik) maka dikhawatirkan akan berpengaruh buruk

(25)

terhadap pertumbuhan ikan akibat kadar oksigen terlarut yang rendah pada malam hari; d) bebas dari pencemaran, upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat pencemaran akibat KJA adalah memberikan pakan sesuai kebutuhan, menggunakan pakan dengan tingkat kecernaan yang tinggi, menggunakan probiotik untuk meningkatkan daya cerna, menggunakan komposisi nutrisi yang tepat untuk ikan yang dibudidaya, melakukan treatment terhadap limbah, dan melakukan analisa kesesuaian lahan sebelum melakukan kegiatan budidaya; e) kualitas air, meliputi sifat fisika, kimia, dan biologi; dan f) lokasi KJA bukan daerah up-welling, sebaiknya memilih lokasi yang terhindar dari proses up-welling (perputaran air dasar ke permukaan) untuk menghindari kematian ikan massal akibat rendahnya kadar oksigen terlarut dan munculnya gas-gas beracun.

2.3 Daya Dukung Waduk

Secara umum, daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Secara khusus, daya dukung perairan yaitu banyaknya produksi ikan yang dapat dihasilkan oleh suatu wilayah perairan waduk. Menurut Purnomo et al (2013), daya dukung perairan yaitu banyaknya biomassa ikan yang dapat dihasilkan oleh kegiatan budidaya ikan KJA dengan tanpa meningkatkan kesuburan perairan merupakan pengembangan budidaya ikan KJA berkelanjutan di suatu badan air. Aktivitas KJA menghasilkan buangan seperti sisa pakan dan metabolisme seperti feses dan urine yang jika dalam jumlah besar akan menurunkan kualitas air di waduk seperti mengurangi kandungan oksigen dan meningkatkan unsur-unsur racun seperti nitrogen (N) dan fosfor (P). Beveridge (1996) dalam Widyastuti et al (2009) menjelaskan bahwa daya dukung suatu wilayah perairan untuk suatu kegiatan budidaya ikan dengan sistem KJA adalah maksimum produksi ikan yang dapat didukung oleh suatu wilayah perairan pada tingkat perubahan konsentrasi total P yang masih dapat diterima perairan yang bersangkutan.

Menurut Meade (1989), “Estimasi daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya ikan dalam KJA merupakan pengukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan jumlah ikan budidaya yang boleh ditanam dalam luasan areal yang ditentukan tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya”.

(26)

Selanjutnya, dapat pula menentukan berapa unit KJA yang boleh ditanam dalam luasan areal yang ditentukan (Siagian, 2010a).

2.4 Kelembagaan

Kelembagaan adalah suatu gugus aturan formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar) dan suatu gugus aturan informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Kherallah dan Kirsten, 2001). Menurut North (1990), kelembagaan ialah aturan permainan masyarakat yang mengatur pola interaksi manusia yang terdiri dari aturan formal (undang-undang hukum, hukum adat, peraturan) dan informal (norma perilaku, kode etik) ataupun karakteristik keduanya. Pejovich (1999) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni:

1. Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum, dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem keamanan.

2. Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, sosial-budaya, agama, dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu.

3. Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan.

Hodgson (2006) menjelaskan kelembagaan adalah jenis struktur yang paling penting secara sosial dunia karena kelembagaan membentuk hal-hal dalam kehidupan sosial. Meningkatnya pengakuan terhadap peran kelembagaan melibatkan kesadaran bahwa interaksi dan aktivitas manusia terbentuk karena adanya aturan. Aturan yang dimaksud termasuk norma berperilaku dan ketentuan sosial. Tidak berbeda dengan yang lain, Suhana (2008) menjelaskan bahwa kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antar masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku ekonomi serta intensif untuk

(27)

bekerja sama dan mencapai tujuan. Lebih lanjut, Deliarnov (2006) menjelaskan mengenai minimal ada tiga lapisan pembatasan kelembagaan, yaitu:

1. Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi

Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi ini diartikan sebagai aransemen berdasarkan pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama dan umumnya bersifat informal.

2. Kelembagaan sebagai aturan main

Pada lapisan ini, kelembagaan berfungsi sebagai aturan main yang memberi naungan dan sanksi terhadap individu atau kelompok dalam mengambil keputusan.

3. Kelembagaan sebagai pengatur hubungan kepemilikan

Kelembagaan mengatur individu atau kelompok pemilik, objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan.

2.5. Biaya Transaksi

Berdasarkan penelitian Abdullah et al (1998), biaya transaksi dalam ko-manajemen dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis biaya, yaitu biaya informasi, biaya pengambilan keputusan bersama, dan biaya operasional bersama. Masing-masing jenis biaya memiliki beberapa turunan aktivitas yang memungkinkan terdapatnya biaya transaksi. Pertama, biaya informasi mencakup aktivitas upaya mencari dan memperoleh pengetahuan terkait sumberdaya, memperoleh dan menggunakan informasi, dan biaya penyusunan strategi dan free riding. Kedua, biaya pengambilan keputusan bersama mencakup aktivitas menghadapi permasalahan di bidang perikanan, keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, menyampaikan hasil keputusan, dan melakukan koordinasi dengan pihak yang berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga, biaya operasional bersama terbagi lagi menjadi tiga kelompok biaya, yaitu: (a) biaya pemantauan, penegakan, dan pengendalian; (b) biaya mempertahankan kondisi sumberdaya; dan (c) biaya distribusi sumberdaya.

(28)

2.6 Analisis Persepsi Stakeholder

Menurut Ismail (2007), persepsi adalah tanggapan daya seseorang dalam memahami sesuatu. Sarwono (1999) yang diacu oleh Ismail (2007) menjelaskan bahwa persepsi antar stakeholder dapat berbeda disebabkan oleh: 1) perhatian, yaitu rangsangan yang ada di sekitar kita dan tidak selalu kita rasakan secara bersamaan; 2) set, yaitu harapan seseorang akan suatu rangsangan; 3) kebutuhan, yaitu dapat bersifat sesaat dan tetap; 4) sistem nilai, yaitu menyangkut adat istiadat, kepercayaan, dan budaya; 5) ciri kepribadian, yaitu dalam bentuk watak, karakter, dan kebiasaan. Menurut Nasution (2005), dalam analisis persepsi stakeholder diharapkan adanya kesamaan persepsi antar stakeholder yang berhubungan karena dapat menghasilkan tujuan akhir yang berwawasan lingkungan. Lebih lanjut Nasution (2005) menyatakan sebagai berikut:

“Kesamaan persepsi antar lembaga terkait terhadap keberadaan budidaya ikan akan menunjang keberhasilan pengelolaan lingkungan perairan waduk dalam hubungannya dengan budidaya ikan sistem KJA yang dilaksanakan pembudidaya ikan”.

2.7 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai daya dukung dan kelembagaan waduk telah banyak dilakukan sebelumnya, namun setiap penelitian memiliki konsep dan metode yang berbeda-beda. Penelitian mengenai daya dukung waduk telah dilakukan oleh Purnomo et al (2013) dalam jurnal yang berjudul “Daya Dukung dan Potensi Produksi Ikan Waduk Sempor di Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah”. Penelitian tersebut membahas mengenai daya dukung dan potensi produksi ikan terhadap perikanan budidaya dan tangkap serta implikasi bagi optimasi pemanfaatan dan pelestariannya. Analisis daya dukung lingkungan dilakukan dengan metode Beveridge dan optimasi penebaran benih dengan persamaan Desilva dan Funge-Smith. Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa pengembangan budidaya ikan KJA berkisar antara 72-236 ton per tahun atau setara dengan 118 unit KJA dengan ukuran 6x6x3m3 dengan asumsi produksi ikan per unit KJA dalam satu tahun sebesar 2 ton ikan. Potensi perikanan tangkap dapat mencapai 307 ton per tahun dan optimasi pemanfaatan Waduk Sempor dapat dilakukan dengan penebaran

(29)

benih ikan planktivora dan pelagis sebanyak 103 518-242 388 ekor penebaran dua kali setahun.

Penelitian lain mengenai daya dukung lingkungan adalah penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2010a) dalam jurnal yang berjudul “Daya Dukung Waduk PLTA Koto Panjang Kampar Provinsi Riau”. Penelitian ini membahas mengenai analisis daya dukung perairan dalam pengembangan KJA untuk mengetahui jumlah bobot biomassa ikan yang dapat hidup optimal dan berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode Beveridge dan formula yang dikemukakan oleh Kartamihardja. Hasil penelitian ini adalah jumlah petak KJA yang dapat dioperasikan di waduk berkisar antara 19 559-33 515 petak dan luas areal waduk yang dapat dimanfaatkan untuk KJA berkisar antara 611-1 047 ha, sedangkan usaha KJA baru memanfaatkan waduk sebesar 2,75-4,6% dari pemanfaatan optimum sebesar 4,9-8,7% sehingga budidaya KJA masih dapat dikembangkan.

Penelitian mengenai analisis kelembagaan telah dilakukan oleh Suhana (2008) dengan judul Analisa Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi”. Penelitian ini membahas mengenai identifikasi kelembagaan, tatanan kelembagaan, ekonomi sistem kelembagaan, dan desain kelembagaan. Metode yang digunakan adalah analisis aktor, analisis tata kelola, analisis biaya transaksi, analisis keefektifan biaya, game theory, dan analisis konflik pengelolaan sumberdaya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Pelabuhanratu adalah DKP Jawa Barat, DKP Sukabumi, PN Pelabuhanratu, Perguruan Tinggi, HNSI Pengelola Rumpon, TPI, Bakul, Juragan Pokmaswas, dan Polair. Tipe tatanan kelembagaannya adalah ko-manajemen instruktif. Biaya transaksi pengelolaan sumberdaya ikan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih besar daripada nelayan, namun dalam jangka 5 tahun nilai Cost Effectiveness Analysis (CEA) pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan nelayan dan format kelembagaan yang direkomendasikan harus melibatkan masyarakat, pemerintah, pihak swasta, dan perguruan tinggi.

Penelitian lain mengenai analisis kelembagaan adalah Ummah (2015) yang berjudul “Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata”. Penelitian ini membahas mengenai identifikasi stakeholder,

(30)

keterkaitan antara stakeholder, persepsi stakeholder, identifikasi aturan, dan model kelembagaan. Metode yang digunakan adalah analisis stakeholder, analisis peraturan, dan analisis model kelembagaan. Hasil dari penelitian ini adalah stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata adalah pengolah hasil perikanan, pedagang ikan, kelompok nelayan, dan POKMASWAS sebagai subject; BPWC, DKP Provinsi Jawa Barat, DKP Kabupaten Cianjur, DKP Kabupaten Bandung Barat, DKP Kabupaten Purwakarta, kelompok penjual pakan, kelompok pembudidaya ikan, dan ASPINDAC sebagai players; dan aparat desa, BPPT, dan lembaga peneliti sebagai bystanders. Tipe pengelolaan KJA tergolong instruktif dan konsultatif. Analisis persepsi menunjukkan bahwa stakeholder sepakat mengatakan keberadaan waduk sangat penting, kualitas air waduk buruk, jumlah KJA sudah sangat banyak dan perlu dilakukan pembatasan jumlah KJA, dan adanya ketidaksamaan persepsi antara stakeholder mengenai aturan main yang ada sudah jelas atau belum. Aturan formal telah mengatur mengenai tujuan ekonomi dan konservasi, namun implementasi aturan belum berjalan karena kurangnya sosialisasi. Desain kelembagaan yang sesuai adalah kelembagaan yang mampu menjembatani kepentingan beberapa pihak yang memanfaatkan waduk. Hal ini dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi di antara para stakeholder.

(31)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Waduk Jatiluhur memiliki fungsi utama sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), sumber pengairan jaringan irigasi, dan penyedia air baku untuk domestik dan industri. Fungsi lain dari Waduk Jatiluhur adalah sebagai tempat wisata dan pengembangan usaha budidaya ikan dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Pembangunan KJA di Waduk Jatiluhur mengalami peningkatan setiap tahun sejak dirintis pada tahun 1974. Perizinan terhadap usaha KJA awalnya hanya diberikan kepada masyarakat yang lahan pertaniannya tergusur akibat pembangunan waduk, namun akibat dari besarnya manfaat ekonomi yang ditawarkan oleh usaha KJA membuat masyarakat luar daerah Purwakarta juga ikut membangun KJA di Waduk Jatiluhur.

Pertumbuhan KJA di Waduk Jatiluhur yang meningkat dapat mencemari waduk. Pencemaran waduk disebabkan oleh menumpuknya sisa pakan dan metabolisme ikan di dasar waduk. Pencemaran yang terjadi pada akhirnya dapat memengaruhi produksi dari budidaya KJA. Pertumbuhan KJA di Waduk Jatiluhur berkorelasi dengan fungsi kelembagaan yang ada. Kelembagaan adalah aturan atau hukum yang dapat membatasi pertumbuhan KJA dan mengurangi tingkat pencemaran dari aktivitas ekonomi yang ada di sekitar waduk. Kelembagaan yang ada bersifat formal. Analisis konten/isi digunakan untuk menganalisis substansi kelembagaan yang berfungsi sebagai pengatur pengelolaan waduk dan KJA. Selanjutnya dapat dilakukan identifikasi stakeholder, analisis struktur tata kelola, dan biaya transaksi.

Budidaya KJA di Waduk Jatiluhur dipercaya dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan meningkatkan kesejahteraan pelaku budidaya. Manfaat ekonomi KJA mendorong masyarakat untuk terus mengembangkan KJA, sehingga jumlah KJA yang ada melebihi daya dukung ekologi waduk. KJA yang melebihi daya dukung waduk dapat menyebabkan terjadinya pencemaran dan sedimentasi yang memengaruhi turunnya kualitas air, umur masa layanan waduk, korosi pada peralatan PLTA, dan produksi ikan KJA. Pencemaran dan sedimentasi yang terjadi berasal dari pakan ikan yang tidak termakan dan sisa metabolisme ikan. Menurut Althaf (2015), sisa pakan yang tidak terkonsumsi dan metabolik berupa senyawa nitrogen dan fosfor yang dihasilkan oleh kegiatan budidaya KJA akan

(32)

menjadi partikel tersuspensi dalam bentuk partikel koloid di dasar perairan. Partikel tersebut akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme seperti bakteri di perairan untuk pertumbuhannya, selain itu dapat pula menyebabkan kekeruhan perairan, sehingga cahaya matahari sulit untuk menembus kolom air. Hal ini dapat mengakibatkan kematian pada ikan budidaya. Secara rinci kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Penurunan kualitas air Waduk Jatiluhur

Ekonomi Ekologi

Laju pertumbuhan Daya dukung waduk Keramba Jaring Apung

Jumlah produksi ikan Pencemaran waduk sesuai daya dukung waduk

Analisis kelembagaan Analisis stakeholder

- Aturan dan kebijakan

- Identifikasi stakeholder Persepsi stakeholder - Analisis struktur tata

kelola

- Analisis biaya transaksi

Rekomendasi terhadap jumlah Keramba Jaring Apung dan model kelembagaan di Waduk Jatiluhur

Gambar 1 Kerangka pemikiran operasional penelitian Keterangan:

: Tidak dianalisis

Metode Beveridge dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai alat analisis daya dukung lingkungan dari Waduk Jatiluhur. Daya dukung lingkungan dapat dihitung berdasarkan kandungan fosfor dalam air, kemudian hasil perhitungan daya

(33)

dukung lingkungan dapat digunakan untuk menentukan jumlah produksi ikan yang sesuai dengan daya dukung Waduk Jatiluhur.

Penurunan kualitas lingkungan waduk juga dapat terjadi akibat adanya perbedaan persepsi antar stakeholder dalam mengelola Waduk Jatiluhur. Analisis statistik deskriptif dengan skala likert digunakan untuk mengidentifikasi persepsi dari para stakeholder berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, dan pengelolaan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan Waduk Jatiluhur dan keberadaan KJA, peluang bekerja dan pendapatan dari usaha KJA, dan kejelasan dan pelaksanaan aturan Waduk Jatiluhur berkaitan dengan usaha KJA. Hasil dari berbagai analisis tersebut pada akhirnya dapat dijadikan sebagai acuan dalam memberikan rekomendasi terkait jumlah optimal KJA yang sesuai dengan kondisi lingkungan Waduk Jatiluhur dan rekomendasi model kelembagaan yang baik terkait pengelolaan waduk dan usaha KJA.

(34)
(35)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Waduk Jatiluhur Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa jumlah KJA di Waduk Jatiluhur telah melebihi daya dukung ekologi waduk dan sebagai bendungan terbesar di Indonesia. Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-Juni 2016.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada pengelola Waduk Jatiluhur, pelaku usaha KJA, serta dinas dan instansi terkait. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui lembaga-lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan yang memiliki data mengenai usaha KJA dan Waduk Jatiluhur, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta, Perum Jasa Tirta II, dan instansi terkait.

4.3 Metode Pengambilan Data

Pengambilan data penelitian menggunakan beberapa cara, yaitu wawancara dan studi pustaka. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun terlebih dahulu. Studi pustaka dilakukan dengan menggunakan hasil penelitian terdahulu, laporan yang telah dipublikasikan maupun yang belum dipublikasikan, arsip dan dokumentasi dari instansi pemerintahan, dan berbagai sumber data yang relevan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengambilan sampel non-probability sampling yaitu teknik sampling yang tidak memberikan kesempatan (peluang) pada setiap anggota populasi untuk dijadikan anggota sampel (Riduwan, 2011). Teknik sampling yang diterapkan adalah snowball sampling. Kriteria pemilihan responden adalah seluruh pihak yang terlibat dalam pengelolaan KJA dan Waduk Jatiluhur serta pemilik sekaligus pengelola dari usaha KJA yang ada di Waduk Jatiluhur dengan jumlah responden sebanyak 57. Responden terbagi atas Kepala Bidang Perikanan Dinas Peternakan dan Perikanan

(36)

Kabupaten Purwakarta, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Tempat Pendaratan Ikan (UPTD TPI), Kepala Sub Divisi Bendungan Perum Jasa Tirta II, Penyuluh Perikanan Madya, Ketua POKMASWAS, dan 50 pembudidaya ikan dengan sistem KJA.

4.4 Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan waduk dan KJA, mengidentifikasi stakeholder, dan menganalisis struktur tata kelola antar-stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh terhadap waduk dan KJA. Data kuantitatif dianalisis untuk menghitung biaya transaksi yang dikeluarkan oleh para stakeholder dan menghitung daya dukung waduk dalam menentukan jumlah KJA ideal. Data kuantitatif dianalisis secara statistik deskriptif dengan skala likert untuk mengetahui persepsi stakeholder terhadap kondisi lingkungan Waduk Jatiluhur dan keberadaan KJA, peluang bekerja dan pendapatan dari usaha KJA, serta kejelasan dan pelaksanaan aturan terkait KJA. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer (software) yaitu Microsoft Office Excel. Tujuan tiap metode analisis dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Matriks metode analisis data

No Tujuan

penelitian

Jenis data yang

diperlukan Cara pengumpulan

data Analisis data 1 Menganalisis daya dukung Waduk Jatiluhur terkait usaha KJA. Data sekunder: - Luas waduk

- - Rataan kedalaman waduk - Kandungan pencemar

(fosfor) dalam air dan pakan

- Laju pembilasan air - Rasio konversi pakan - Persentase kebutuhan P

dari pakan ikan nila - Kapasitas waduk

menampung fosfor

Studi pustaka Metode

Beveridge 2 1. Menganalisis kelembagaan pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur.

Data primer dan data sekunder:

- Peraturan formal (peraturan pemerintah, keputusan dirjen

Wawancara dengan Perum Jasa Tirta II, Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Purwakarta, dan

Analisis konten/isi dan biaya transaksi

(37)

Tabel 1 Lanjutan

No Tujuan penelitian Jenis data yang

diperlukan Cara pengumpulan data Analisis data pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, peraturan daerah, keputusan bupati) - Identifikasi stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Jatiluhur dan KJA - Struktur tata kelola

antar-stakeholder yang berkaitan dengan waduk dan KJA - Biaya transaksi

pembudidaya ikan; dan studi pustaka diperoleh dari dinas dan instansi terkait 3 2. Mengidentifikasi persepsi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Waduk Jatiluhur. Data primer: - Persepsi stakeholder terhadap kondisi lingkungan Waduk Jatiluhur dan keberadaan KJA - Persepsi stakeholder terhadap peluang bekerja dan

pendapatan dari usaha KJA

- Persepsi stakeholder terhadap pemahaman dan pelaksanaan aturan usaha KJA

Wawancara dengan Perum Jasa Tirta II, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, Kelompok Masyarakat Pengawas, dan pembudidaya ikan Analisis statistik deskriptif dengan skala likert

4.4.1 Analisis Daya Dukung Waduk Jatiluhur dalam Upaya Pengembangan Usaha KJA

Perhitungan daya dukung waduk menghasilkan jumlah total ikan maksimum yang dapat dibudidayakan. Melalui total ikan maksimum tersebut dapat digunakan untuk menentukan jumlah KJA yang sesuai dengan daya dukung Waduk Jatiluhur. Soegianto (2004) menjelaskan mengenai estimasi tingkat pencemaran di suatu wilayah perairan sebagai berikut:

“Tingkat pencemaran suatu perairan dapat diketahui melalui berbagai cara, yaitu fisika, biologi, maupun kimia. Secara fisik kimiawi pendugaan tingkat pencemaran dapat dilakukan misalnya dengan mengukur kadar logam berat,

(38)

pH, kekeruhan, suhu, kadar pestisida, atau bahan kimia lainnya yang terdapat dalam air.”

Perhitungan daya dukung waduk berkaitan dengan budidaya KJA dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yang berbeda, salah satunya adalah dengan metode Beveridge. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Widyastuti et al (2009), maka daya dukung waduk dapat dihitung berdasarkan kandungan unsur fosfor dalam air. Kandungan unsur fosfor dalam penelitian ini mengabaikan input fosfor yang dihasilkan dari kegiatan hulu maupun domestik dan hanya berasal dari kegiatan KJA yang ada di perairan Waduk Jatiluhur. Langkah perhitungan daya dukung waduk dengan metode Beveridge:

Lfish = ΔP x z x ρ / 1 - Rfish...(1) Rfish = x + (1 – x) R...(2) R = 1 / (1 + 0,5ρ0,5) (Beveridge, 1996 dalam Widyastuti et al, 2009)..(3) Total beban P yang dibolehkan = Lfish x A...(4) P ton pelet untuk tumbuh = P pelet per tahun x konversi pelet...(5) Beban P KJA intensif = P ton pelet – P ton ikan nila...(6) Daya dukung KJA intensif : jumlah ton ikan yang boleh diproduksi per tahun = total beban P yang dibolehkan/beban P KJA intensif...(7) Produksi ikan total = produksi ikan nila rata-rata x jumlah KJA...(8) Keterangan:

Lfish = Daya tampung fosfor per satuan luas waduk untuk perikanan (g/m2/thn) ΔP = Kapasitas waduk untuk menampung fosfor dari KJA (g/m3)

Rfish = Total fosfor yang dihasilkan ikan dari aktivitas KJA

x = Proporsi bersih total P yang secara permanen masuk ke dasar (50%) R = Total P yang ditahan sedimen

ρ = Laju pembilasan air (tahun-1) z = Rataan kedalaman waduk (m) A = Luas waduk (ha)

4.4.2 Analisis Kelembagaan Pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur

Pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Jatiluhur terkait dengan aktivitas usaha KJA membutuhkan peraturan-peraturan yang jelas sehingga dalam pelaksanaannya

(39)

tidak akan memberikan dampak negatif terhadap wilayah perairan waduk. Peraturan-peraturan yang berlaku dapat bersifat formal maupun informal. Peraturan yang bersifat formal seperti Undang-Undang (UU), Peraturan menteri (Permen), Keputusan menteri (Kepmen), Peraturan daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat, Keputusan Gubernur Jawa Barat, dan Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Purwakarta. Peraturan yang bersifat informal seperti kesepakatan antar masyarakat yang berkaitan dengan KJA Waduk Jatiluhur. Peraturan tersebut dapat berasal dari lembaga pemerintahan maupun lembaga non-pemerintahan seperti kelompok masyarakat.

Ummah (2015) mengatakan dalam penelitian yang telah dilakukannya bahwa analisis ini penting dilakukan untuk melihat keefektifan pelaksanaan peran dan tugas dari para stakeholder yang berhubungan dengan KJA Waduk Jatiluhur dan implementasi peraturan-peraturan di lapangan. Parameter peraturan-peraturan yang ada di Waduk Jatiluhur dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Parameter peraturan-peraturan pengelolaan Waduk Jatiluhur terkait KJA

No Tujuan analisis Parameter analisis

1. Melihat konten peraturan yang mengatur

penggunaan kawasan Waduk Jatiluhur

Penggunaan Waduk Jatiluhur untuk berbagai kegiatan

2.

Melihat konten peraturan yang mengatur perizinan budidaya ikan dengan sistem KJA

Mekanisme yang mengatur

perizinan budidaya ikan dengan sistem KJA

3.

Melihat konten peraturan yang mengatur penggunaan luas wilayah waduk untuk kegiatan budidaya ikan dengan sistem KJA

Pembatasan luas wilayah dalam penggunaan waduk untuk kegiatan budidaya ikan dengan sistem KJA

4. Melihat konten peraturan yang membatasi

jumlah KJA

Pembatasan jumlah KJA

5.

Melihat konten peraturan untuk pengadaan

kegiatan konservasi, pelarangan

pencemaran waduk, dan pengawasan penggunaan bahan dalam membuat KJA

Kegiatan konservasi; pelarangan,

pengurangan, dan pembatasan

tingkat pencemaran, dan

pengawasan penggunaan bahan

pembuatan KJA 6.

Melihat konten peraturan yang mengawasi dan memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran

Sistem pengawasan dan pemberian sanksi

Sumber: Ummah (2015)

4.4.3 Analisis Biaya Transaksi

Biaya transaksi menurut Abdullah et al (1998) terdiri dari biaya informasi, biaya pengambilan keputusan bersama, dan biaya operasional bersama. Biaya transaksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biaya yang akan dikeluarkan untuk pihak lain karena adanya aturan main (rules of game) yang terjadi. Aturan

(40)

main tersebut dapat bersifat formal maupun informal. Persamaan dalam biaya transaksi adalah:

𝑇𝑟𝐶 = Σzi Keterangan:

TrC = Total biaya transaksi (Rp/tahun) Σzi = Komponen biaya transaksi

Komponen biaya transaksi dalam penelitian ini mencakup biaya membuat aturan terkait kegiatan perikanan khususnya KJA; biaya jamuan saat rapat koordinasi antar-stakeholder; biaya pembinaan dan biaya pelatihan usaha pelaku usaha perikanan; biaya pengawasan dan penertiban KJA; dan biaya pembangunan sarana dan prasarana.

4.4.4 Analisis Persepsi Stakeholder dalam Pengelolaan Waduk Jatiluhur

Menurut Ummah (2015), persepsi para stakeholder penting untuk dianalisis karena dapat berimplikasi pada kebijakan dalam pengelolaan waduk dan berdampak pada keberlanjutan fungsi waduk. Nasution (2005) mengatakan bahwa adanya kesamaan persepsi antar stakeholder akan mendukung keberhasilan pengelolaan waduk dalam hubungannya dengan KJA untuk mencapai kepada pembangunan yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, analisis persepsi stakeholder Waduk Jatiluhur akan dilakukan untuk melihat persepsi dari masing-masing pihak dalam pengelolaan Waduk Jatiluhur yang berhubungan dengan KJA.

Menurut Riduwan (2011), skala likert akan membentuk indikator-indikator terukur yang kemudian dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk membuat item instrumen berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab oleh responden. Parameter yang digunakan dalam analisis persepsi stakeholder adalah kondisi lingkungan Waduk Jatiluhur dan keberadaan KJA, peluang bekerja dan pendapatan dari usaha KJA, serta kejelasan dan pelaksanaan aturan Waduk Jatiluhur berkaitan dengan usaha KJA. Hasil dari analisis persepsi ini diukur dengan menggunakan skala likert. Skala likert dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu kejadian atau suatu gejala sosial. Pengukuran persepsi stakeholder dengan dengan skala likert dapat dilihat dalam Tabel 3.

(41)

Tabel 3 Persepsi stakeholder terhadap pengelolaan KJA Waduk Jatiluhur

No Aspek Parameter Uraian Skala likert

1. Ekologi Persepsi terhadap

kondisi lingkungan Waduk Jatiluhur dan keberadaan KJA - Persepsi terhadap kualitas lingkungan waduk - Persepsi terhadap tingkat pencemaran waduk - Persepsi terhadap daya dukung waduk terkait KJA - Persepsi terhadap pengelolaan KJA - Persepsi terhadap jumlah KJA - Persepsi terhadap pembatasan jumlah KJA 1: Sangat buruk 2: Buruk 3: Cukup baik 4: Baik 5: Sangat baik 1: Sangat rendah 2: Rendah 3: Sedang 4: Tinggi 5: Sangat tinggi 1: Sangat buruk 2: Buruk 3: Cukup baik 4: Baik 5: Sangat baik 1: Sangat buruk 2: Buruk 3: Cukup baik 4: Baik 5: Sangat baik 1: Sangat sedikit 2: Sedikit 3: Sedang 4: Banyak 5: Sangat banyak 1: Sangat tidak perlu 2: Tidak perlu 3: Cukup perlu 4: Perlu 5: Sangat perlu

2. Ekonomi Persepsi terhadap

sektor ekonomi dari KJA

- Persepsi terhadap peluang bekerja dan berusaha - Persepsi terhadap Pendapatan Asli daerah (PAD)/ proporsi pendapatan dari KJA 1: Sangat kecil 2: Kecil 3: Sedang 4: Besar 5: Sangat besar 1: Sangat kecil 2: Kecil 3: Sedang 4: Besar 5: Sangat besar

3. Pengelolaan Persepsi terhadap

pemahaman dan pelaksanaan aturan usaha KJA

- Persepsi terhadap pemahaman aturan usaha KJA

- Persepsi terhadap pelaksanaan proses perizinan usaha KJA

1: Sangat tidak jelas 2: Tidak jelas 3: Cukup jelas 4: Jelas 5: Sangat jelas 1: Sangat tidak jelas 2: Tidak jelas 3: Cukup jelas 4: Jelas 5: Sangat jelas

(42)
(43)

5.1 Keadaan Geografis Kabupaten Purwakarta

Kabupaten Purwakarta merupakan bagian dari Wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di antara 107º30’-107º40’ Bujur Timur dan 6º25’-6º45’ Lintang Selatan (Badan Pusat Statistik, 2015). Kabupaten Purwakarta memiliki luas wilayah sebesar 971,72 km2 atau sekitar 2,81% dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Purwakarta berbatasan wilayah dengan: sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang; sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung Barat; sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bogor; dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur

Secara geografis, Kabupaten Purwakarta dapat dibagi atas beberapa wilayah seperti Bagian Utara, Barat, Selatan, dan Timur. Khusus Wilayah Barat Kabupaten Purwakarta meliputi Kecamatan Jatiluhur dan Sukasari, yaitu bagian wilayah yang merupakan permukaan air Danau Ir. H. Djuanda dengan ketinggian 107 m dpl (di atas permukaan laut), dan daratan di sekitarnya berada pada ketinggian sekitar 400 m dpl. Lebih tepatnya, Kabupaten Purwakarta memiliki 17 kecamatan dengan 192 desa/kelurahan. Selanjutnya, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SSEN) pada tahun 2014, jumlah penduduk Kabupaten Purwakarta sebesar 910 007 orang yang terdiri atas 463 506 orang laki-laki dan 446 501 orang perempuan (BPS, 2015). Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Purwakarta dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4 Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Purwakarta tahun 2010 – 2014

No. Tahun Luas wilayah (km2) Penduduk (orang) Kepadatan per km2

1. 2014 971,72 910 007 936,49

2. 2013 971,72 898 001 924,14

3. 2012 971,72 882 799 908,49

4. 2011 971,72 867 828 893,08

5. 2010 971,72 854 269 879,13

(44)

5.2 Keadaan Geografis Bendungan Jatiluhur

Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan terbesar di Indonesia yang membendung aliran sungai Citarum di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Bendungan Jatiluhur membentuk waduk dengan genangan seluas lebih kurang (±) 83 km2 dan keliling waduk 150 km pada elevasi muka air normal ± 107 m diatas permukaan laut (dpl). Luas daerah tangkapan Bendungan Jatiluhur sebesar 4 500 km2, sedangkan luas daerah tangkapan yang langsung ke waduk setelah dibangun Bendungan Saguling dan Bendungan Cirata di hulunya menjadi tinggal 380 km2. Angka ini merupakan 8% dari keseluruhan daerah tangkapan bendungan. Daerah tangkapan (upper Citarum) meliputi wilayah Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Purwakarta.

Pada awalnya, Bendungan Jatiluhur dirancang untuk memiliki kapasitas tampungan sebesar 3 milyar m3, namun saat ini hanya tinggal 2,44 milyar m3 (hasil pengukuran batimetri tahun 2000) akibat adanya sedimentasi. Setelah dilakukan pembangungan Bendungan Saguling dan Bendungan Cirata di atasnya, laju sedimentasi semakin menurun. Lebih jauh, Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan multiguna, yaitu: (a) sebagai pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 187,5 MW; (b) sebagai pengendali banjir di Kabupaten Karawang dan Bekasi; (c) sebagai sumber pengairan irigasi untuk lahan seluas 242 000 ha; (d) sebagai pemasok air untuk kebutuhan rumah tangga dan industri; (e) sebagai pemasok air untuk kegiatan budidaya perikanan air payau sepanjang pantai utara Jawa Barat seluas 20 000 ha; dan (f) sebagai lokasi wisata.

Bendungan Jatiluhur berjarak 100 km arah tenggara Kota Jakarta, 60 km arah barat laut Kota Bandung, dan 7 km arah barat Kota Purwakarta. Berdasarkan koordinat geografisnya, posisi Bendungan Jatiluhur berada pada 60º31’ Lintang Selatan dan 107º23’ Bujur Timur. Proyek pembangunan Bendungan Jatiluhur pada awalnya bertujuan untuk keperluan irigasi dan listrik, namun fungsinya akhirnya berubah menjadi waduk serba guna. Bendungan Jatiluhur tingginya 105 m dengan panjang 1 220 m dan elevasi puncak sekitar 114,5 m dpl. Terdapat 14 buah jendela pelimpah dengan kapasitas maksimum mengalirkan debit air sebesar 3 000 m3/det

(45)

pada menara Morning Glory. Bendungan ini memiliki 6 buah turbin yang beroperasi untuk PLTA dengan kapasitas pembangkitan total sebesar 187,5 MW.

Gambar 2 Citra satelit Waduk Jatiluhur

Sumber: Perum Jasa Tirta II (2011)

Salah satu guna Waduk Jatiluhur adalah sebagai lokasi usaha perikanan air tawar. Usaha perikanan air tawar atau biasa disebut Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan salah satu sektor usaha di Kabupaten Purwakarta yang berkontribusi besar dalam meningkatkan kesejahteraan dan membuka peluang kerja untuk masyarakat. Salah satu peluang kerja yang ada adalah sebagai Rumah Tangga Perikanan (RTP) yang terdiri dari pembudidaya ikan, nelayan/penangkapan, pengolah/pedagang, dan buruh perikanan.

Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah pembudidaya ikan khususnya budidaya ikan dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) Kabupaten Purwakarta pada tahun 2014 paling besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebesar 3 405 orang, tetapi jumlah buruh perikanan KJA pada tahun 2014 paling sedikit daripada tahun-tahun sebelumnya, yakni sebesar 246 orang. Alasannya karena masyarakat lebih memilih untuk mengelola langsung keramba miliknya.

(46)

Tabel 5 Perkembangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Purwakarta tahun 2009 - 2014

No. Lapangan usaha/obyek Jumlah (orang)

2009 2010 2011 2012 2013 2014

I Pembudidaya ikan

1. Kolam Air Tenang 2. Kolam Air Deras

4 856 5 030 6 190 6 210 6 136 6 210

80 14 20 - - -

3. Kolam Jaring Apung 4. Sawah Perikanan 2 115 - 2 115 - 2 115 - 2 135 - 2 115 - 3 405 - Jumlah 7 051 7 159 8 325 8 345 8 251 9 615 II Nelayan/ Penangkapan 1. Waduk 2. Situ/Danau 3. Sungai 2 445 2 267 2 267 2 267 2 198 2 070 290 816 916 941 880 941 278 263 263 263 210 263 Jumlah 3 013 3 346 3 446 3 471 3 288 3 288 III Pengolah/Pedagang 1. Pengolah 2. Pedagang 835 44 44 44 * * 50 1 050 1 050 1 050 * * Jumlah 885 1 094 1 094 1 094 * * IV Buruh Perikanan 1. Pembenih 2. Kolam Air Deras 3. Sawah Perikanan 4. KJA

5. Kolam Air Tenang

400 455 * * * * 20 20 10 10 - - - - - - 1 521 1 521 1 521 1 521 1 597 246 * * 1 950 1 950 1 950 1 950 Jumlah 1 941 1 996 3 481 3 481 3 547 2 196 Jumlah I + II + III + IV 12 890 13 595 16 346 16 391 15 086 15 085

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta (2009-2014) Catatan: * data tidak ada

Lebih rinci, budidaya ikan dengan sistem KJA di Waduk Jatiluhur terbagi atas 5 zona yaitu Zona I, Zona II, Zona III, Zona IV, dan Zona V. Zona-zona ini tersebar di seluruh wilayah perairan Waduk Jatiluhur dengan jumlah maksimal keramba per pemilik usaha sebanyak 20 petak, tetapi masih ada beberapa pembudidaya yang jumlah keramba miliknya lebih dari 20 petak.

Tabel 6 Jumlah petani KJA per zona tahun 2014

No. Zona Petani KJA (orang)

1. I 2 013 2. II 1 620 3. III 1 346 4. IV 1 768 5. V 9 798 Jumlah 16 545

Sumber: POKMASWAS Matahari (2014)

Berdasarkan Tabel 6, jumlah pembudidaya terbanyak berada pada Zona V, yaitu sebesar 9 798 orang. Hal ini dikarenakan kualitas air di wilayah Zona V cukup baik dibandingkan zona lainnya. Sesuai dengan hasil pengamatan di lapang, Zona

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran operasional penelitian  Keterangan:
Gambar 2 Citra satelit Waduk Jatiluhur
Gambar 3 Eksisting struktur tata kelola waduk dan perikanan
Gambar 4 Mekanisme SIUP, SPPAP, dan SPPL di Waduk Jatiluhur Pembudidaya ikan   Surat permohonan   Foto copy KTP/NPWP   Surat pernyataan   Rencana usaha Rekomen dasi  teknis dari PJTII dan Dinas  BPMPTSP  Retribusi Rp 500 000/20  petak/3 tahun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian gambaran universal precaution oleh perawat dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Ambarawa dapat disimpulkan bahwa dalam

Salah satu teknologi yang dapat diaplikasikan di lahan pasang surut untuk budidaya tanaman padi atau jagung adalah pengelolaan air pada jaringan tata air mikro

Tim khusus telah dibentuk langsung oleh Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang terdiri dari 7 (tujuh) sub tim yaitu pejabat struktural, jabatan

Hasil Observasi di Hidayah Centre Peneliti di Penelitian pada Bulan Febuari Sehingga Oktober 2017.. Pandangan Masyarakat Terhadap Peran Hidayah Centre Dalam Pembinaan

Tahap pelaksanaan antara lain: (1) Memberikan pre-test kepada seluruh siswa kelas X SMA Negeri 9 Pontianak tahun ajaran 2014/2015 untuk melihat kemampuan awal siswa; (2)

Pengamatan pada mutu edible film yang dilakukan pada penelitian karakteristik fisik, mekanik dan barrier edible film kolang – kaling (Arenga pinnata) dengan penambahan CMC

Perlakuan terhadap suhu dilakukan untuk melihat perubahan yang terjadi baik dari segi warna maupun pergerseran panjang gelombang sampel karena senyawa antosianin dapat

Kedua, pola pembakaran padi ladang cara semak ditebas, hingga kering; kemudian ditumpuk di luar areal tanam (pepohonan) kemudian dibakar Persepsi petani karet dalam