• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 7

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Definisi Penerjemahan

Sesungguhnya penerjemahan sudah cukup lama dikenal dalam komunikasi antarmanusia. Ada berbagai definisi penerjemahan sebagaimana telah dikemukakan Nababan (2003) bahwa definisi-definisi yang diajukan para ahli berbeda-beda satu sama lain sesuai dengan sudut pandang dan latar belakangnya; bisa saling memperkuat dan saling mengisi. Newmark (1981:5) mengatakan:³Often, though not by anymeans always, it is rendering the meaning of a text into another language in the way the author intended the text´. Dari apa yang disampaikan itu dapat disimpulkan bahwa hal

yang sangat perlu diperhatikan dalam penerjemahan adalah makna dan dampaknya pada pembaca yang harus sama dengan apa yang dikehendaki oleh si penulis bahasa sumbernya. Hal yang senada disampaikan oleh Brislin (1976:1).Brislin memberikan definisi penerjemahan sebagai berikut: ³translation is the general term referring to the transfer of thoughts and ideas from one language (source) to another (target)´. Dari

apa yang dikemukakanya tersebut dapat dirumuskan bahwa menerjemahkan berarti mengalihkan makna.Catford (1969:20)menyatakan:³Translation is the replacement of textual material in one language by equivalent textual material in another language´.

Dari pernyataannya tersebut dapat disimpulkan bahwa penerjemahan adalah kegiatan mengganti, yaitu mengganti suatu teks dari suatu bahasa ke bahasa lain secara berpadanan. Nida dan Taber (1982:12) menyatakan³µTranslating consists in

reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in the term of meaning secondly in the term of style´. Dari

pernyataanya tersebut dapat diartikan bahwa proses penerjemahan harus mampu menghasilkan pesan yang paling dekat, sepadan dan wajar dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, baik dalam hal makna maupun gayanya. Pendapat senada disampaikan oleh Soemarno (1985: 9) yang mengemukakan bahwa menerjemahkan ialah

menyampaikan berita yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima supaya isi mendekati aslinya. Penambahan atau pengurangan tidak boleh

mengaburkan gagasan dan pikiran yang terdapat pada teks sumber. Dengan kata lain penerjemahan harus benar-benar memegang prinsip setia makna. Hal ini sesuai dengan pandangan Barnnwell (1983:15) yang menekankan bahwa dalam penerjemahan, hal yang penting yang harus diperhatian adalah terjemahan harus akurat, jelas dan alami.

(2)

commit to user 8

Pada dasarnya penerjemahan adalah pengalihan pesan dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Salah satu indikator dari hasil terjemahan yang baik dan tepat adalah bahwa hasil terjemahan bila dibaca oleh pembaca, ia tidak menyadari bahwa yang dibaca tersebut adalah hasil sebuah terjemahan. Penerjemahan adalah aktivitas menggantikan makna suatu teks dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan padananan makna yang sesuai dalam bahasa sasaran. Artinya tidak boleh ada distorsi makna dalam penerjemahan.

B. Proses Penerjemahan

Kegiatan penerjemahan berlangsung dalam sebuah proses secara bertahap. Untuk menghasilkan sebuah karya penerjemahan, ada fase-fase yang harus dilalui penerjemah. Setiap tahap dan fase memiliki kesulitan tersendiri dan menuntut ketrampilan yang memadai dari penerjemahnya. Terkait dengan hal ini Nababan (1997:7) mengatakan: ³3URVHV DGDODK VHUDQJNDLDQ NHJLDWDQ \DQJ GLODNXNDQ GHQJDQ VHQJDMD 3URVHV penerjemahan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada saat dia mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam EDKDVDVDVDUDQ´

Setiap langkah atau tahapan yang dilalui oleh seorang penerjemah akan sangat menentukan kualitas hasil sebuah terjemahan. Maka dari itu seorang penerjemah diharapkan benar-benar memahami langkah-langkah yang harus ditempuh dalam proses penerjemahan untuk mendapatkan hasil terjemahan yang akurat, berterima, dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Dengan demikian, seorang penerjemah harus memahami setiap fase atau tahapan dalam menyelesaikan tugasnya.

Ada beberapa model proses penerjemahan. Model yang ditawarkan oleh Nida (1975:80) adalah salah satunya. Nida menggambarkan kegiatan penerjemahan yang terdiri dari tiga tahapan proses, yaitu (1) analisis, (2) transfer, dan (3) restrukturisasi. Ketiga tahapan tersebut tergambar dalam diagram berikut:

Teks dalam Bahasa Sumber (Bsu) Teks dalam Bahasa Sasaran (Bsa)

Analisis Restrukturisasi Transfer

(3)

commit to user 9

Nababan (2003: 24) menjelaskan ketiga tahapan atau rangkaian kegiatan tersebut harus dilalui oleh penerjemah pada saat ia menerjemahkan sebuah teks dari bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Secara singkat ketiga tahapan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Analisis, yaitu tahapan di mana penerjemah membaca teks bahasa sumber dengan seteliti mungkin, untuk mengenali dan menganalisis teks secara menyeluruh baik dari segi stuktur kalimat, kata-kata yang digunakan, pesan, gaya bahasa maupun jenis teks.

2. Transfer, yaitu kegitan pengalihan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan memilih padanan yang sesuai. Proses ini merupakan kegiatan yang masih berlangsung dalam pikiran penerjemah untuk mengalihkan makna dalam bentuk konsep awal.

3. Restrukturisasi adalah kegiatan menyusun kembali teks dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, yang sebelumnya telah dialihbahasakan dalam pikiran penerjemah sehingga menjadi teks yang lengkap dan utuh. Pada tahap ini penerjemah melakukan penyesuaian agar makna yang akan dialihkan menjadi tepat.

Pada tahapan analisis seorang penerjemah sangat perlu menerima bantuan dari seseorang yang ahli dalam materi teks dari bahasa sumber yang akan diterjemahkan. Ahli tersebut selanjutnya diminta untuk menganalisisnya. Analisis tersebut mencakup pemahaman tata bahasa, ungkapan-ungkapan, idiom, gaya bahasa, dan gagasan atau pikiran penulis yang akan disampaikan kepada pembaca dalam bahasa sasaran.

Pada tahapan transfer atau pengalihan, penerjemah berusaha memperoleh pesan, gagasan atau pikiran penulis bahasa sumber yang akan disampaikan kepada pembaca bahasa sasaran. Dalam memulai proses ini, penerjemah berusaha mencari padanan kata yang sesuai ke dalam bahasa sasaran. Dalam hal ini Catford (1975:5) mengungkapkan bahwa masalah pokok dalam penerjemahan adalah pencarian padanan makna dalam bahasa sumber.

Pada saat restrukturisasi atau penyusunan kembali, penerjemah harus sanggup meneliti kembali kata-kata yang telah dirangkainya dalam teks terjemahan sebelum diterbitkan. Pada tahapan ini perlu dikaji mengenai prinsip tata bahasa yang baku dalam bahasa sasaran, akan tetapi perlu diperhatikan pula adanya unsur alami dari terjemahan tersebut agar tidak terkesan kaku. Sedapat mungkin perlu dihindari pula pemakaian

(4)

commit to user 10

kata-kata asing yang terdapat dalam bahasa sumber. Untuk itu alangkah baiknya penerjemah berkonsultasi dengan ahli-ahli dalam bahasa sasaran sesuai dengan materi teks, sehingga tidak menyulitkan pembaca dalam memahami hasil terjemahannya. Tetapi jika memang termasuk dalam kategori ketakterjemahan atau tidak ada padanannya dalam bahasa sasaran, penerjemah seperti disampaikan oleh Soemarno (1998:2) dapat mengambil jalan keluar dengan tetap mempertahankan bentuk apa adanya dalam bahasa sumber dengan cara memberikan anotasi atau keterangan mengenai hal tersebut. Berdasarkan beberapa tahapan dalam menerjemahkan di atas, dapat disimpulkan bahwa terjemahan adalah penggantian sebuah representasi teks yang sama dalam bahasa kedua.

C. Kompetensi Penerjemah

Kualitas sebuah terjemahan tergantung dari banyak faktor. Salah satu faktor yang penting adalah kompetensi penerjemah. Seorang penerjemah memiliki tugas tidak hanya mengubah teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Agar terjemahan memiliki kualitas akurat, berterima dan terbaca, dibutuhkan kapasitas yang cukup handal dari seorang penterjemah. Neubert (dalam Nababan: 2004: 69) menyatakan bahwa kemampuan yang dituntut dari seorang penterjemah meliputi lima hal, sebagai berikut:

1. Linguistic Competence. Kemampuan kebahasaan seorang penerjemah sangat

mutlak dibutuhkan dalam proses penerjemahan. Seorang penerjemah harus dapat menguasai morfem, unsur gramatikal baik pada tataran kata, frase, dan kalimat. Juga harus menguasai struktur bahasa baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran.

2. Textual Competence.Untuk memahami teks yang akan diterjemahkan, seorang

penerjemah akan berhadapan dengan kalimat-kalimat yang terangkai dalam sebuah paragraf, dan paragraf-paragraf yang tersusun dalam sebuah teks. Kemampuan dalam memahami sebuah teks tidaklah sama ketika menerjemahkan satu dua kalimat saja.

3. Subject Competence.Sebuah kata sangat memungkinkan memiliki makna yang

berbeda. Hal ini sangat tergantung pada di mana kata itu berada dalam sebuah materi tertentu. Untuk memahami makna kata dalam bidang materi terjemahan tertentu, seorang penerjemah harus memilih pengetahuan yang luas. Selain itu ia harus rendah hati mengakuai keterbatasannya, sehingga tidak perlu segan

(5)

commit to user 11

berkonsultasi untuk meminta bantuan ahli di bidang materi yang akan diterjemahkan.

4. Cultural Competence.Budaya merupakan hal yang tidak terpisahkan dari

sebuah bahasa. Seringkali disebut juga bahwa budaya merupakan faktor ekstralinguistik dalam sebuah penerjemahan. Budaya yang dimiliki penulis dalam bahasa sumber secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi hasil terjemahan dalam teks bahasa sasaran. Demikian pula budaya penerjemah pada bahasa sasaran akan mempengaruhi hasil karya terjemahannya. Sangat diharapkan seorang penerjemah memahami latar belakang budaya pada teks bahasa sumber maupun pada teks bahasa sasaran.

5. Transfer Competence.Kemampuan mengalihkan di sini mencakup dua hal yaitu

taktik dan strategi penerjemah dalam mengalihkan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Dari sudut pandang yang berbeda, pendapat Benny Hoed (2004:11) menguatkan bahwa penerjemah dalam mengalihan pesan dari bahasa sumber tidak terlepas dari jaringan intelektual tersebut. Penerjemah juga terpengaruh oleh ideologi dan melakukan mediasi sesuai pertimbangannya. Ideologi yang dianut oleh seorang penerjemah sangat berpengaruh pada hasil karya terjemahannya. Seorang penerjemah bukanlah seorang pengubah bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi lebih dari itu seorang penerjemah hendaknya memiliki kemampuan yang lebih guna menghasilkan sebuah karya yang berterima dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi.

Terkait dengan kompetensi tersebut perlu pula dipahami pandangan Bell (1991:41).Bell mengatakan bahwa selain lima kompetensi tersebut, seorang penerjemah harus memiliki kompetensi komunikasi yang mencakup grammatical competence yaitu pengetahuan tentang tata bahasa, termasuk kosa kata dan susunan kata

(word-formation),socio linguistics yang merupakan pengetahuan dan kemampuan untuk

menghasilkan dan memahami ujaran dalam suatu konteks,discourse competence yaitu kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan makna untuk menghasilkan teks lisan maupun tulisan yang utuh,strategic competence yaitu penguasaan strategi komunikasi yang dapat digunakan untuk memperlancar komunikasi.

D. Kualitas Sebuah Hasil Terjemahan

Kualitas atau mutu terjemahan yang baik pasti akan mampu menyampaikan pesan atau ide penulis bahasa sumber kepada pembaca dalam bahasa sasaran dengan baik tanpa adanya penambahan atau pengurangan makna yang dilakukan oleh seorang

(6)

commit to user 12

penerjemah. Untuk mengukur kualitas sebuah karya terjemahan, terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan oleh penerjemah, yakni: keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan.

Istilah keakuratan (accuracy) dalam evaluasi penerjemahan sering digunakan untuk menyatakan sejauh mana terjemahan sesuai dengan teks aslinya (Shuttleworth & Cowie, 1997:3). Keakuratan ini dapat dianggap sebagai kesesuaian atau ketepatan pesan yang disampaikan antara Bsu dan Bsa.

Aspek keberterimaan (acceptability) merupakan salah satu aspek penting dalam penentu kualitas terjemahan. Aspek keberterimaan juga bergantung pada sikap pembaca terhadap karya terjemahan. Selain itu aspek tata bahasa dan budaya juga merupakan faktor yang penting aspek keberterimaan sebuah teks. Budaya sumber yang dihadirkan ke dalam teks bahasa sasaran, tentunya akan tidak begitu saja berterima bagi pembaca bahasa sasaran. Dengan demikian aspek keberterimaan ini merupakan hal yang relatif, tergantung bagaimana pembaca bahasa sasaran dapat menerima budaya bahasa sumber dalam karya terjemahan.

Keberterimaan lebih terkait dengan kewajaran. Istilah keberterimaan (acceptability) digunakan oleh Gedeon Toury (1980, 1995) untuk menyatakan ketaatan terjemahan pada aturan linguistik dan norma tekstual bahasa sasaran (Shuttleworth & Cowie, 1997:2). Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa keberterimaan merupakan kewajaran terjemahan berdasarkan norma budaya dan bahasa sasaran.Lebih lanjut Toury (dalam Munday, 2001) menyatakan bahwa jika norma yang diikuti merupakan budaya dan bahasa Tsu maka terjemahannya akan menjadi adequate, sementara jika terjemahannya mengikuti norma budaya dan Bsa maka terjemahannya akan berterima (acceptable). Jadi norma ini menjadi batasan eksternal (external constraint) oleh masyarakat yang diberikan pada penerjemah dalam menghasilkan karya terjemahan 7RXU\ GDODP 'XNƗWH  1DPXQ QRUPD \DQJ PHQHQWXNDQ NHEHUWHULPDDQ terjemahan yang diusulkan oleh Toury ini masih menimbulkan pertanyaan. Norma di sini merujuk pada aturan yang berlaku pada budaya dan bahasa sasaran tentunya diperlukan aturan baku atau seseorang yang menentukan tingkat keberterimaan. Terkait dengan hal tersebut, tentunya keberterimaan di sini hanya dapat ditentukan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan mengenai teks dan bidang ilmu tersebut sehingga ia mengetahui norma yang berlaku dalam bidang ilmu tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Chomsky (dalam Bussman, 1998) keberterimaan (acceptability) suatu ekspresi dalam suatu bahasa merupakan tercermin pandangan partisipan dalam komunikasi,

(7)

commit to user 13

sehingga tingkat keberterimaan terjemahan itu hanya dapat ditentukan oleh pembaca yang ahli dalam bidang tersebut.

Tingkat keterbacaan (readability) merupakan salah satu hal penting dalam sebuah proses penerjemahan. Hal ini seringkali tidak diperhatikan oleh penerjemah karena ketika semua kalimat dalam teks bahasa sumber telah dialihkan ke dalam bahasa sasaran, maka pekerjaan menerjemahkan dianggap selesai. Tingkat keterbacaan merupakan salah satu aspek yang menentukan apakah hasil terjemahan tersebut cukup mudah dibaca dan dimengerti oleh pembacanya, dan juga hasil terjemahan tersebut nampak alami atau tidak. Newmark (1988:38) menyatakan: ³7UDQVODWLRQVKRXOGSRVVHV

the style of translatLRQ´. Hal ini dimaksudkan bahwa sebuah hasil terjemahan dapat

dinikmati pembacanya sebagai suatu hasil teks terjemahan dengan memiliki gaya bahasa yang sesuai dengan budaya sasaran. Selain itu, Nababan (1997: 44-59) menjabarkan: ³)DNWRU-faktor yang mempengaruhi tingkat keterbacaan sebuah teks terjemahan antara lain penggunaan kata-kata baru dan asing, penggunaan kata dan NDOLPDWWDNVDSHQJJXQDDQNDOLPDWWDNOHQJNDSGDQNDOLPDWSDQMDQJVHUWDNRPSOHNV´.

Hal senada juga disampaikan Sadtono (1985:3): ³3HQHUMHmah yang pandai tidak akan memaksa atau memasukkan suatu unsur asing ke dalam bahasa yang diterjemahkannya, sebaliknya ia akan berusaha sekuat-sekuatnya untuk membuat perubahan-perubahan yang perlu sehingga berita dapat dilahirkan dalam bentuk asli

bahasa SHQHULPD´ Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat keterbacaan

yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu akan sebuah hasil terjemahan yang baik.

Sebuah karya terjemahan yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi adalah merupakan karya yang mudah dipahami oleh pembacanya. Hal tersebut dapat dilakukan degan tidak menggunakan banyak kata-kata asing yang menyulitkan pembaca dalam memahami hasil terjemahan. Akan tetapi seorang penerjemah akan berusaha memberikan padanan yang sesuai baik berupa kata, parafrase atau kalimat.

E. Bahasa dan Budaya

Bahasa merupakan bagian dari budaya dan juga merupakan bagian dari komponen budaya, maka menerjemahkan bukan hanya mengalihkan pesan dari bahasa sumber, tetapi juga mengalihkan budayanya. Sebagaimana dinyatakan oleh House (dalam 5LFFDUGL    EHULNXW ³One doesnot translate language but culture. And in

translation we transfer cultures not languages´-HOaslah bahwa dalam menerjemahkan

(8)

commit to user 14

Antara budaya dan sendiri saling terkait karena pada hakikatnya bahasa merupakan KDVLOGDULEXGD\D*ODGVWRQH  PHQ\DWDNDQEDKZDµLanguage and culture are

interwined. Language is the outcome or result of the culture as a whole and also as YHKLFOHE\ZKLFKWKHRWKHUDVSHFWVRIWKHRWKHUFXOWXUHDUHVKDSHGDQGFRPPXQLFDWHG¶.

Dari pernyataan Gladstone tersebut dapat diketahui bahwa bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan karena bahasa tidak berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai nilai budaya yang diungkapkan, serta cerminan pandangan hidup masyarakat pengguna bahasa tersebut.

Budaya berasal dari bahasa Sansakerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Newmark (1981:94) memberi definisi tentang budaya sebagai cara hidup dan manifestasinya yang khas dari masyarakat tertentu yang diekspresikan dengan menggunakan bahasa tertentu. Sementara Goodenough (dalam Nababan, 2008), menyatakan:

$V , VHH LW D VRFLHW\¶V FXOWXUH FRQVLVWV RI ZKatever it is one has to know or believe in other to operate in a manner acceptable to its members, and o so in many role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning: knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it doesnot consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them. As such, the things people say and do, their social arrangements and events, are products or by products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances. To one who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which they are material presentations.

Dari beberapa definisi dan pandangan di atas, dapat ditarik garis besar bahwasanya budaya merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi yang mempunyai hubungan erat dengan norma, perilaku (tindakan), peristiwa dan kegiatan di masyarakat yang kemudian diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa dan budaya, serta bahasa dan perilaku mempunyai hubungan yang sangat vital karena bahasa merupakan ungkapan tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa.

(9)

commit to user 15 F. Budaya dan Penerjemahan

Salah satu faktor penting yang menjadi bahan pertimbangan dalam penerjemahan adalah faktor budaya dalam sebuah teks. Aspek budaya juga perlu diperhatikan dalam penerjemahan, hal ini disebabkan bahasa merupakan bagian dari budaya. Jika teks yang sedang diterjemahkan adalah teks mengenai budaya, seorang penerjemah harus menguasai tentang budaya dari kedua bahasa yaitu BSu dan BSa, sehingga dia dapat membuat terjemahan yang sesuai. Dengan kata lain seorang penerjemah harus menguasai pemahaman lintas budaya (cross-culture understanding). Kosa kata dalam sebuah bahasa mencerminkan kekhasan budaya pemakai bahasa tersebut, yang mungkin saja tidak dimiliki oleh bahasa-bahasa lain.

Menurut Larson (1984:3), penerjemahan mencakup pemahaman kosa kata, struktur gramatika, situasi komunikasi, dan konteks budaya bahasa sumber untuk menentukan maknanya dan selanjutnya makna tersebut direkonstruksi dengan menggunakan kosa kata dan struktur gramatika yang sesuai dalam bahasa dan konteks budaya BSa. Menurut Larson (1984:23) sebuah terjemahan yang berhasil adalah bila pembaca terjemahan (BSa) tidak merasakan bahwa teks yang sedang dibacanya adalah sebuah terjemahan.

Selain masalah konotasi, terdapat pula berbagai ungkapan budaya yang ternyata mengandung nilai dan informasi budaya yang sangat penting. Oleh karena itu, apabila seorang penerjemah tidak memahami kultur budaya bahasa sumber, makna yang disampaikan dalam bahasa sasaran akan jauh berbeda hingga bukan tidak mungkin mengaburkan makna yang sebenarnya. Adapun menurut Soemarno (2001: 2-91) menyatakan bahwa masalah sosial budaya dalam penerjemahan seringkali menimbulkan permasalahan, antara lain:

1. Perangkat mental (mental set)

Duff (1981: 10) menyatakan perangkat mental sebagai berikut:

/DQJXDJH WRR KDV LWV PHQWDO VHWV ,W LV WKURXJK WKHP WKDW ZH µSLFWXUH¶ reality in words. This mental sets may overlap between one language to DQRWKHUEXWWKH\UDUHO\ PDWFKH[DFWO\DQGLW¶VWUDQVODWRU¶VGLIILFXOWWDVN to bring them as close as possible together.

Dari pernyataan Duff tersebut, dapat kita ketahui bahwa perangkat mental bahwasanya adalah bahasa yang sarat dengan butir budaya yang merupakan gambaran dari realita

(10)

commit to user 16

yang ada. Setiap bahasa memiliki perangkat mental masing-masing yang berbeda antara satu bahasa dengan satu bahasa yang lain. Dan merupakan tanggung jawab penerjemah untuk menerjemahkan perangkat mental tersebut hingga mempunyai padanan yang sedekat mungkin. Di zaman ketika Yesus disalibkan, lambang salib berkonotasi penghinaan. Sekarang salib diartikan sebagai lambang pengorbanan dan kemenangan. Hal ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya masalah budaya memegang peranan penting dan dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang masyarakat pemilik budaya tersebut.

G.Teknik Penerjemahan

Istilah teknik penerjemahan merupakan istilah dengan banyak nama. Para pakar penerjemahan menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menyebut konsep yang sama tentang teknik penerjemahan, sehingga cenderung tumpang tindih antara teknik dari seorang pakar satu dengan yang lainnya. Secara umum dapat dirumusan bahwa teknik penerjemahan ialah cara yang digunakan untuk mengalihkan pesan dari BSu ke BSa, diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa, maupun kalimat. Teknik penerjemahan menurut Molina dan Albir (2002)adalah µSURFHGXUHV WR DQDO\]H DQG FODVVLI\ KRZ WUDQVODWLRQ HTXLYDOHQFH ZRUNV¶. Menurut Molina dan Albir, teknik penerjemahan

memiliki lima karakteristik, yaitu: 1) mempengaruhi hasil terjemahan, 2) digolongkan dengan memperbandingkan teks sumber dengan teks sasaran, 3) mempengaruhi unit mikro pada teks, 4) bersifat kuratif dan kontekstual, dan 5) bersifat fungsional.

Molina dan Albir memberikan 18 klassifikasi teknik yang bisa digunakan oleh seorang penerjemah. Berikut ini 18 teknik terjemahan tersebut:

1. Adaptasi (Adaptation)

Adaptasi merupakan salah satu teknik penerjemahan dimana satu kata atau frasa yang mengandung unsure budaya, dapat dipadankan dengan kata atau frasa yang mengandung unsure budaya yang sama dalam bahasa sasaran, dengan catatan bahwa unsure budaya tersebut dikenal baik oleh pemakai bahasa sasaran, misalnya frasa as white as snow dapat dipadankan dengan seputih kapas, karena kapas dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, tidak demikian halnya dengan salju, yang hanya ada di beberapa tempat di Indonesia.

(11)

commit to user 17

2. Amplifikasi (Amplification)

Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara memberikan keterangan yang eksplisit atau dengan memparafrase sesuatu yang implicit dalam bahasa sumber. Kata Lebaran dapat diparafrase menjadi Hari Raya Umat Islam.

3. Peminjaman (Borrowing)

Penerjemah meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber. Teknik peminjaman terdiri atas dua jenis, yaitu peminjaman murni (pure borrowing), misalnya kata handphone diterjemahkan handphone, radio tape diterjemahkan dengan radio tape juga. Jenis peminjaman yang lain adalah peminajaman yang sudah dinaturalisasi (naturalized borrowing), misalnya kata documentation diterjemahkan menjadi dokumentasi.

4. Kalke (Calque)

merupakan suatu teknik yang menerjemahkan kata asing atau frasa ke dalam bahasa sasaran dengan menyesuaikan struktur bahasa sasaran, misalnya

waterfall, diterjemahkan menjadi air terjun.

5. Kompensasi (Compensation)

Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menyampaikan pesan pada bagian lain dari teks terjemahan. Hal ini dilakukan karena pengaruh stilistik (gaya) pada BSu tidak bisa diterapkan pada BSa. Teknik ini sama dengan teknik konsepsi. Contoh : a pair of scissors diterjemahkan menjadi sebuah gunting.

6. Deskripsi (Description).

Deskripsi merupakan salah satu teknik penerjemahakn dengan menggantikan suatu istilah atau ungkapan dengan memberikan penjelasan, dapat berupa bentuk dan fungsinya. Misalnya Samurai (the sword of Japanese aristocracy).

7. Kreasi diskursif (discursive creation)

Teknik penerjemahan dengan penggunaan padanan yang keluar konteks. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian calon pembaca. Teknik ini serupa dengan teknik proposal. Contoh : µ7KH *RGIDWKHU¶ diterjemahkan menjadi Sang Godfather.

8. Padanan Lazim (Established Equivalent)

merupakan teknik penerjemahan yang menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim, baik berdasarkan kamus atau karena penggunaan sehari-hari. Misalnya snack lebih dikenal dari pada kudapan, handphone lebih dikenal dari pada telepon genggam.

(12)

commit to user 18

9. Generalisasi (Generalization). Teknik penerjemahan jenis ini diterapkan dengan

cara menggunakan istilah atau ungkapan yang lebih umum. Misalnya limousine diterjemahkan dengan mobil.

10. Amplifikasi Linguistik (linguistic amplification)

Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menambahkan unsur-unsur linguistik dalam BSa. Teknik ini lazim diterapkan pada pengalihbahasaan konsekutif dan sulih suara. Misalnya, µQR ZD\¶ diterjemahkan menjadi de ninguna de las maneras (Spain).

11. Kompresi Linguistik (linguistic compression)

Teknik yang dilakukan dengan mensintesa unsur-unsur linguitik pada BSa. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi linguistik. Teknik ini lazim digunakan pada pengalihbahasaan simultan dan penerjemahan teks film. Contoh : yes so what? Menjadi Y?(Spain)

12. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation).

Teknik penerjemahan ini diterapkan dengan cara penerjemahan kata demi kata. Misalnya I will never forget him, diterjemahkan Saya tidak akan pernah

melupakannya.

13. Modulasi (Modulation)

Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSu. Perubahan sudut pandang tersebut dapat bersifat leksikal atau struktural. Contoh : QRERG\ GRHVQ¶W OLNH LW

diterjemahkan menjadi semua orang menyukainya.

14. Partikularisasi (Particularization)

Teknik penerjemahan jenis ini diterapkan dengan menggunakan padanan yang lebih kongkret. Misalnya sea transportation, diterjemahkan menajdi boat.

15. Reduksi (Reduction)

Dalam teknik penerjemahan ini informasi yang eksplisit dalam bahasa sumber menjadi implicit dalam bahasa sasaran. Misalnya the sword of Japanese

Aristocrac, diterjehkan menjadi samurai.

16. Substitusi (Substituion)

Teknik ini dilakukan dengan mengubah unsur-unsur linguistik dan paralinguistik (intonasi dan isyarat). Contoh: bahasa isyarat dalam bahasa Arab, yaitu dengan menaruh tangan di dada diterjemahkan menjadi terima kasih.

(13)

commit to user 19

17. Transposisi (Transposition)

Teknik penerjemahan dimana penerjemah melakukan perubahan kategori gramatikal. Teknik ini sama dengan teknik pergeseran kategori, struktur dan unik. Seperti kata menjadi frasa. Contoh : adept diterjemahkan menjadi sangat

terampil.

18. Variasi (Variation)

Cara yang digunakan oleh penerjemah dalam teknik ini adalah dengan mengubah unsur-unsur linguistik dan paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik, perubahan secara tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dan juga dialek geografis. Teknik ini biasa ditemukan dalam penerjemahan teks drama.

H. Kerangka Pikir

Kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2: Bagan Kerangka Pikir

Ungkapan Budaya

Bahasa Sumber (Bsu) Good News Bible

Bahasa Sasaran (Bsa) Alkitab Kabar Baik

Teknik Penerjemahan

Kualitas

Keakuratan Keberterimaan Keterbacaan

Pembaca Rater

Gambar

Gambar 2: Bagan Kerangka Pikir  Ungkapan Budaya             Bahasa Sumber (Bsu)

Referensi

Dokumen terkait

Kelebihan dari Thermotic yang dibuat dengan menggunakan tahapan analisa kebutuhan, desain, perakitan komponen, pengkodean dan pengujian adalah; alat ukur suhu tubuh

Use case diagram yang ditunjukkan pada gambar 1 menunjukkan interaksi yang dapat dilakukan oleh User terhadap sistem pada aplikasi katalog augmented reality... Pada

Berdasarkan teori bahan baku yang digunakan oleh UD Barokah Abadi Beton adalah bahan baku yang akan diolah menjadi.. produk selesai, dapat ditelusur, dan menjadi bagian

SADIA ARIATI KUSUMA

Makna konotatif merupakan hasil perkembangan suatu kosakata. Turun atau naiknya suatu kosakata amat tergantung pada masyarakat pemakai bahasa itu. Konotasi yang dulu bernilai

Selanjutnya, penulis menganalisis generic structures dari setiap teks monolog dalam buku “English In Focus” untuk Kelas VIII SMP/MTs Penerbit Pusat Perbukuan

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kematangan emosi ibu dengan kekerasan verbal pada anak usia sekolah di SD Negeri 11

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk : 1) menunjukan tahapan pengembangan media pembelajaran interaktif Geokolase berbasis ICT pada mata pelajaran