• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori medis 1. Balita

Masa balita merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak secara fisik. Pada usia tersebut, pertumbuhan seorang anak sangatlah pesat sehingga memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhannya. Kondisi kecukupan gizi tersebut berpengaruh dengan kondisi kesehatannya pada masa mendatang (Muaris, 2006).

Setiap kelainan atau penyimpangan sekecil apapun apabila tidak terdeteksi apalagi tidak ditangani dengan baik akan mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak kemudian hari karena pada masa ini merupakan pertumbuhan dasar yang mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Soetjiningsih, 2005). 2. Kejang Demam

a. Pengertian

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang tanpa demam tidak digolongkan sebagai penderita kejang demam (Lumbantobing, 2004). Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi yang ditandai kejang berulang tanpa demam (Widodo, 2005).

(2)

b. Klasifikasi Kejang Demam

1) Kejang Demam Sederhana (simple febrile seizure)

Kejang demam sederhana adalah kejang yang didahului oleh demam yang lebih dari 38,5°C, bersifat umum (tonik, klonik, tonik-klonik, atau atonik), berlangsung kurang dari 15 menit, hanya sekali dalam 24 jam, tanpa bukti adanya infeksi intrakranial atau gangguan metabolik berat. Terjadi pada anak dengan neurologi normal yang berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun (Mangunatmaja, 2011).

2) Kejang demam kompleks

Kejang demam dengan salah satu ciri antara lain: kejang lama > 15 menit, lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Mangunatmadja, 2011)

c. Penyebab Kejang Demam

Kejang demam timbul pada suhu yang tinggi. Demam sendiri diakibatkan oleh berbagai sebab, terutama infeksi. Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang demam (Lumbantobing, 2004). Kejang demam biasanya berhubungan dengan demam yang tiba-tiba tinggi dan kebanyakan terjadi pada hari pertama anak mengalami demam (Aden, 2010).

(3)

d. Gejala Kejang Demam

Menurut Aden (2010) gejala kejang demam antara lain : demam, kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung lama selama 30 detik – 5 menit, postur tonik, gerakan klonik, lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia, gangguan pernafasan, apneu dan kulitnya kebiruan. e. Faktor Risiko Kejang Demam

1) Faktor risiko kejang demam berulang

Faktor risiko kejang demam berulang antara lain: riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 18 bulan temperature tubuh saat kejang, makin rendah temperature saat kejang makin sering berulang dan lamanya demam (Mangunatmadja, 2011).

2) Faktor risiko menjadi epilepsi

Faktor risiko menjadi epilepsi antara lain: adanya gangguan perkermbangan neurologis, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga dan lamanya demam (Mangunatmadja, 2011).

f. Patofisiologi Kejang Demam

Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsillitis, otitis media akut, bronkitis penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan oleh

(4)

mikroorganisme dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen.

Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu dibagian tubuh yang lain seperti otot dan kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.

Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit dan jaringan tubuh yang lain akan disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang di duga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang.

Serangat cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan respon kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma sehingga anak berisiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan spasma bronkus (Riyadi, Sukarmin, 2009).

(5)

g. Manifestasi Klinis

Terjadinya kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh proses infeksi di luar susunan saraf pusat. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat ban

gkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf (Abdoerrachman, 2007).

h. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis, dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah (level II-2 dan level III) (Mangunatmadja, 2011).

2) Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko

(6)

terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% sampai dengan 6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan, bayi antara 12-18 bulan dianjurkan dan bayi >18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal (Mangunatmadja, 2011).

3) Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsy pada pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidak direkomendasikan (level II2,rekomendasi E). pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya kejang demam komplek pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal (Mangunatmadja, 2011)

i. Prognosis Kejang Demam

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian (Hassan, 2007). Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi kematian, terulangnya kejang, epilepsi, hemiparesis dan retardasi mental (Abdoerrachman, 2007).

(7)

j. Penatalaksanaan Kejang Demam

Dalam penanggulangan kejang demam ada empat faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :

1) Memberantas kejang secepat mungkin

a) Apabila penderita datang dalam keadaan kejang, segera diberikan Diazepam injeksi intravena secara perlahan-lahan dengan dosis tidak melebihi 50 mg per suntikan. Dosis rata-rata biasanya adalah 0,3 mg/kgBB per pemberian. Setelah suntikan pertama ditunggu 15 menit, bila masih terdapat kejang, diulangi suntikan intravena kedua dengan dosis yang sama. Apabila 15 menit setelah suntikan ketiga dengan dosis yang sama tetapi dengan cara intramuskular.

Apabila kejang tetap tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit, maka diberikan Fenobarbital atau Paraldehid secara intravena. Perlu diperhatikan efek samping dari Diazepam, yaitu : mengantuk, hipotensi dan menekan pusat pernafasan. Efek samping hipotensi dan penekanan saraf pusat pernafasan terutama terjadi, apabila anak sebelumnya sudah mendapat Fenobarbital (Abdoerrachman, 2007).

b) Pemberian Diazepam secara intravena pada anak yang kejang sering menyulitkan. Cara yang mudah dan sederhana yaitu melalui rectum dengan dosis : BB < 10 kg: 5 mg

(8)

Apabila kejang tidak berhenti dengan dosis pertama dapat diberikan lagi setelah ditunggu 15 menit dengan dosis yang sama. Dan bila kejang tetap tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit maka diberikan Diazepam intravena dengan dosis 0,3 mg/kgBB.

c) Apabila Diazepam tidak tersedia, dapat diberikan Fenobarbital secara intramuskular dengan dosis awal : Neonatus: 30 mg/kali, 1 s/d 12 bulan: 50 mg/kali dan >12 bulan: 75 mg/kali. Apabila kejang tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit, suntikan Fenobarbital dapat diulang dengan dosis : Neonatus: 15 mg/kali, 1 s/d 12 bulan: 30 mg/kali dan > 12 bulan: 50 mg/kali. Pemberian Fenobarbital akan memberikan hasil lebih baik bila diberikan dengan cara intravena dengan dosis 5 mg/kgBB, dan kecepatan 30 mg/menit.

d) Difenil hidantoin diberikan untuk menanggulangi status konvulsi tanpa mengganggu kesadaran dan menekan pusat pernafasan, tetapi mengganggu ferkuensi dan ritme jantung. Dosis yang dianjurkan adalah : 18 mg/kgBB dalam infus, dengan kecepatan 50 mg/menit.

e) Apabila kejang tidak bisa dihentikan dengan obat-obatan di atas maka sebaiknya penderita dirawat di ruang ICU untuk diberi anestesi umum.

(9)

2) Pengobatan penunjang

Penderita sebaiknya dibebaskan dari semua pakaian, posisi kepala miring yaitu untuk menghindari aspirasi. Jika diperlukan dapat dipasang intubasi bahkan trachektomi. Penghisapan lendir dilakukan secara teratur, juga diberikan oksigenasi yang memadai.

Cairan intravena diberikan dengan monitor kelainan metabolik dan elektrolit. Bila ada kenaikan tekanan intrakranial jangan diberikan natrium dengan kadar yang tinggi. Obat untuk hibernasi adalah Klorpromazin 2 – 4 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis atau Prometasin 4 – 6 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.

Untuk mencegah oedem otak diberikan kortikosteroid, misal : Kortison 20 – 30 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis, atau Dexamethason 1 ampul setiap jam (Abdoerrachman, 2007). 3) Memberikan obat maintenance

Setelah kejang dapat diatasi, tindakan selanjutnya adalah dengan pengobatan maintenance yaitu pemberian anti epileptik dengan daya kerja lama, seperti Fenobarbital atau Difenil

hidantoin. Dosis Fenobarbital ; Dosis awal (hari 1 dan 2) adalah 8

– 10 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis dan hari berikutnya adalah 4 – 5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis.

Selama keadaan belum memungkinkan, antikonvulsan dapat diberikan secara suntikan. dan bila telah membaik diteruskan

(10)

secara oral. Dosis maintenance untuk anak-anak yaitu 5-6 mg/kgBB/hari per oral, diberikan setiap 12 jam.

4) Mencari dan mengobati faktor penyebab / kausatif

Penyebab dari kejang demam biasanya adalah infeksi pada traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut.

Pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat akan sangat berguna untuk menurunkan demam, yang pada gilirannya akan menurunkan risiko terjadinya kejang. Secara akademis, anak yang datang dengan kejang demam pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal. Hal ini perlu untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi di otak maupun meningitis (Abdoerrachman, 2007).

2. Bronkitis a. Pengertian

Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan respiratorik dengan batuk merupakan gejala yang utama dan dominan. Ini berarti bahwa bronkitis bukan penyakit yang berdiri sendiri melainkan bagian dari penyakit lain tetapi bronkitis ikut memegang peran (Ngastiyah, 2006)

(11)

b. Klasifikasi Bronkitis

Bronkitis dapat diklasifikasikan sebagai :

1) Bronkitis kronis adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh berbagai penyebab dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurangnya selama dua minggu berturut-turut atau berulang paling sedikit tiga bulan atau tanpa disertai gejala respiratorik dan non respiratorik lainnya (Hassan, 2007).

2) Bronkitis akut merupakan inflamasi bronkus pada saluran nafas bawah penyakit ini disebabkan oleh bakteri dan virus. Bronkitis akut dapat sembuh sendiri dan berlangsung dalam waktu singkat. (Chang, 2010). c. Etiologi

Virus merupakan penyebab tersering. Sebagai contoh Rhinovirus,

Respiratory Sincytial Virus (RSV), virus influenza, virus para-influenza,

Adenovirus, dan Coxsackie virus. Bronkitis akut selalu terdapat pada anak yang menderita morbili, petusis dan infeksi Mycoplasma pneumonia. Belum ada bukti yang meyakinkan bahwa bakteri lain merupakan penyebab primer bronkitis akut pada anak. Di lingkungan sosial ekonomi yang baik jarang terdapat infeksi sekunder oleh bakteri (Hassan ,2007). d. Patofisiologi

Biasanya dimulai dengan tanda-tanda infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) yang disebabkan oleh virus. Batuk mula-mula kering, setelah dua atau tiga hari batuk mulai berdahak dan menimbulkan suara lendir. Dahak yang mukoid (kental) susah ditemukan karena sering ditelan.

(12)

Dahak mungkin berwarna kuning dan kental tetapi ini bukan tanda adanya infeksi bakteri sekunder. Anak mula-mula tidak dapat bernafas dan kadang-kadang pada yang sudah besar mengeluh adanya rasa sakit retrosternal dan pada anak kecil dapat terjadi sesak napas. Pada beberapa hari pertama tidak ada tanda kelainan pada pemeriksaan dada, tetapi kemudian dapat timbul ronchi basah kasar dan suara napas kasar (Hassan, 2007).

Batuk biasanya akan menghilang setelah satu atau dua minggu. Bila setelah dua minggu batuk tetap ada, mungkin terdapat kolaps paru segmental atau terjadi infeksi paru sekunder.

e. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang ada yaitu: batuk, biasanya tidak demam, walaupun ada tetapi rendah, keadaan umum baik, tidak tampak sakit, tidak sesak, mungkin disertai nasofaringitis atau konjungtivitis dan pada paru didapatkan suara napas yang kasar.

Menurut Ngastiyah (2006), yang perlu diperhatikan adalah akibat batuk yang lama, yaitu: batuk siang dan malam terutama pada dini hari yang menyebabkan klien kurang istirahat, daya tahan tubuh klien yang menurun, anoreksia sehingga berat badan klien sukar naik, kesenangan anak untuk bermain terganggu dan konsentrasi belajar anak menurun.

f. Pemeriksaan Penunjang

1) Foto Thorax : Tidak tampak adanya kelainan atau hanya hiperemia 2) Laboratorium : Leukosit > 17.500.

(13)

g. Prognosis

Bila tidak ada komplikasi. prognosis brokitis akut pada anak umumnya baik. Pada bronkitis akut yang berulang. dan bila anak merokok (aktif dan pasif) maka dapat terjadi kecenderungan untuk menjadi bronkitis kronik kelak pada usia dewasa (Ngastiyah, 2006)

h. Penatalaksanaan

Berhubungan penyebab utama virus maka belum ada obat yang kausal. Antibiotika tidak ada gunanya. Obat panas, banyak minum terutama air buah-buahan sudah sangat memadai. Obat penekan batuk tidak boleh diberikan pada batuk yang banyak lendir. Mukolitik tidak lebih baik daripada banyak minum.

Apabila batuk tetap ada dan tidak ada tanda-tanda perbaikan setelah dua minggu maka kemungkinan infeksi bakteri sekunder boleh dicurigai dan dapat diberikan antibiotika, asal sudah disingkirkan kemungkinan asma dan pertusis. Antibiotika yang dianjurkan adalah serasi untuk pneumonia dan influenza sebagai bakteri penyerang sekunder misalnya amoxicillin dan cotrimoxazole dan golongan makrolide. Berikan antibiotika tujuh sampai sepuluh hari dan bila tidak berhasil perlu dilakukan Rontgen foto toraks untuk menyingkirkan kemungkinan kolaps pare segmental dan lober, benda asing dalam saluran nafas dan tuberculosis.

(14)

Apabila bronkitis akut terjadi berulang kali perlu diselidiki kemungkinan adanya kelainan saluran nafas, benda asing, bronkiektasis,, defisiensi imunologis, hiperreaktivitas bronkus dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) yang kronis belum teratasi.

B. Teori Manajemen Kebidanan Pada Kejang Demam Sederhana dan Bronkitis Akut

1. Penerapan Tujuh Langkah Varney

a. Langkah I : Pengumpulan data dasar secara lengkap

Untuk memperoleh data dasar secara lengkap pada kasus kejang demam dan bronkitis akut dapat diperoleh melalui :

1) Data subjektif melalui anamnesa, meliputi : a) Biodata atau identitas.

Identitas yang perlu dikaji meliputi nama lengkap, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, penghasilan orang tua, alamat lengkap (Varney, 2007)

Nama untuk mengetahui identitas pasien dan penanggung jawab, umur untuk mengetahui risiko yang menyertai sehubungan dengan kejang demam yaitu umur 6 bulan sampai dengan 5 tahun, pekerjaan untuk mengetahui status sosial ekonomi pasien, alamat untuk mengetahui tenpat tinggal pasien (Salamah dkk, 2006).

(15)

b) Keluhan Utama

Merupakan data yang berasal dari klien atau orang tua klien, berupa keluhan yang dirasakan klien, hal-hal yang merupakan data utama yang mengarah pada gejala yang berhubungan dengan kejang demam dan bronkitis yaitu bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) (Ismael, 2006). Anak tampak tidak sesak nafas tetapi disertai nasofaringitis dan konjungtivitis

c) Riwayat Kesehatan

Data tentang riwayat penyakit yang lalu dan sedang diderita seperti diare, kejang demam, tonsillitis dan lain-lain, serta riwayat kesehatan keluarga adakah anggota keluarga yang menderita penyakit menular (TBC, Bronkitis, hepatitis B), menurun (DM, Asma) dan menahun (Jantung).

d) Riwayat Kelahiran

Berisi tentang keterangan kelahiran pasien, waktu, cara, penolong dan penyulit persalinan. Selain keterangan kelahiran juga dikaji tentang keadaan anak saat lahir, berat badan dan panjang badan.

e) Riwayat imunisasi

Berisi tentang jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan reaksi dari imunisasi.

(16)

f) Riwayat nutrisi a) Pemberian ASI

Pemberian ASI penuh sampai anak umur enam bulan sangat mengurangi risiko terjadinya infeksi. Bayi yang mendapat ASI eksklusif tumbuh dengan lebih sedikit infeksi dan jarang terkena penyakit daripada bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif (Nursalam, 2008).

b) Pemberian susu formula

Sejak usia berapa balita mulai diberi susu formula, bagaimanakah reaksi balita, apakah ada alergi atau tidak (Nursalam, 2008).

g) Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari

Berupa pola pemenuhan kebutuhan sebelum sakit dan saat sakit, serta keluhan yang ditemukan dan diungkapkan klien atau orang tua klien meliputi: pemenuhan kebutuhan nutrisi seperti nafsu makan berkurang, eliminasi, istirahat terganggu, sukar tidur, aktivitas dan personal hygiene (Ngastiyah, 2005).

h) Data psikososial

Dalam pengkajian ini didapatkan data tentang pola asuh terhadap anak. Hubungan dengan keluarga, pandangan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit, keadaan keluarga dan keadaan lingkungan.

(17)

2) Data objektif

a) Pemeriksaan secara umum, meliputi :

Keadaan umum, berat badan, kesadaran, dan vital sign (tekanan darah, nadi, suhu, dan respirasi) (Mangunatmaja, 2008). Pada kejang biasanya disertai kebutuhan oksigen dan aktifitas otot meningkat. Sedangkan pada keadaan demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20% (Abdoerrachman, 2007).

Pemeriksaan keadaan umum dilakukan untuk menilai kondisi pasien secara umum. Keadaan umum anak dengan kejang demam yaitu adanya kenaikan suhu badan (Schwartz, 2004) dan pada bronkitis biasanya didapatkan adanya peningkatan suhu tubuh lebih dari 40 derajat celcius, frekuensi napas meningkat dari frekuensi normal, nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan (Muttaqin, 2008).

b) Pemeriksaan fisik (1) Inspeksi

Pemeriksaan secara inspeksi pada anak dengan kejang demam dan bronkitis akut adalah dimulai dari kepala sampai ujung kaki (head to toe). Terlihat lidah menekuk ke dalam (Riyadi, Sukarmin, 2009).

(18)

(2) Palpasi

Pada anak dengan kejang demam dan bronkitis akut pemeriksaan palpasi yang dilakukan yaitu turgor kulit dan pembesaran hepar.

(3) Auskultasi

Pemeriksaan yang dilakukan untuk pasien kejang demam dan bronkitis akut yaitu memeriksa irama denyut jantung dan peristaltik usus. Biasanya frekuensi pernafasan meningkat dan irama nafas cepat dan dangkal (Riyadi, Sukarmin, 2009).

(4) Perkusi

Mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan batas-batas organ atau mengetahui batas-batas massa yang abnormal dalam rongga abdomen (Latief, 2003). Pada pemeriksaan perkusi dapat diketahui apakah anak kembung atau tidak.

c) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui sebab terjadinya kejang demam. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa kejang demam adalah EEG, pungsi lumbal, CT (Computed Temography) dan MRI (Magnetic

(19)

Pada bronchitis akut foto thoraks dapat memperlihatkan corak bronkovaskuler meningkat, disertai adanya penebalan dinding bronkus, tetapi seringkali tidak terlihat kelainan. Pemeriksaan rontgen hanya sebagai pelengkap, pada kasus bronkitis pemeriksaan ini tidak begitu perlu dilakukan. (Short, 2004).

b. Langkah II : Interpretasi data dasar 1) Diagnosa kebidanan

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini yaitu Anak F umur 2 tahun dengan kejang demam dan bronkitis akut.

Dasar diagnosa tersebut adalah dasar subjektif dan objektif. Dasar subjektif pada balita sakit dengan kejang demam antara lain mengenai pernyataan orang tua pasien tentang biodata yang berhubungan dengan umur pasien, demam, frekuensi dan lama waktu kejang, riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan neurologis baik maupun fokal, nyeri maupun cedera akibat kejang (Mangunatmaja, 2011).

Data objektif dapat berupa hasil pemeriksaan fisik dengan inspeksi untuk melihat mata cekung atau tidak, palpasi untuk memeriksa turgor kulit, perkusi untuk memeriksa abdomen kram atau tidak (Nursalam, 2008), pemeriksaan tanda-tanda vital (nadi,

(20)

respirasi, suhu), pemeriksaan kejang dengan EEG, pungsi lumbal, CT, dan MRI (Muscari, 2005).

2) Masalah

Masalah yang sering terjadi, antara lain: gangguan rasa nyaman, cedera selama kejang, kekambuhan kejang demam dan ketakutan yang sangat pada orang tua (Mangunatmaja, 2011). 3) Kebutuhan

Pada kasus balita sakit dengan kejang demam dan bronkitis akut kebutuhannya adalah pencegahan kenaikan suhu untuk menghindari kekambuhan kejang demam, pencegahan cedera selama kejang, edukasi dan dukungan emosi pada orang tua (Mangunatmaja, 2011).

c. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial atau diagnosa potensial dan antisipasi penanganannya

Diagnosa potensial yang mungkin muncul pada kasus balita sakit dengan kejang demam sederhana dan bronkitis akut adalah terjadi kejang ulangan ataupun terjadinya bronkitis kronik.

Berdasarkan diagnosa potensial yang mungkin terjadi pada kasus balita sakit dengan kejang demam maka antisipasi yang dapat dilakukan bidan adalah memantau pola nafas dan mempertahankan jalan nafas agar efektif, menurunkan gejala infeksi, mempertahankan tingkat energi yang adekuat (Hidayat,2008) dan mencegah kekambuhan kejang demam (Muscari, 2005).

(21)

d. Langkah IV : Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera

Dalam kasus balita sakit dengan kejang demam dan bronkitis akut, kolaborasi maupun konsultasi terhadap tim kesehatan lain dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Kolaborasi mungkin dapat dilakukan dengan dokter spesialis anak dalam pemberian terapi, kolaborasi dengan petugas laboratorium dan radiologi dalam pemeriksaan penunjang maupun kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet, persiapan tounge spattel atau sudip lidah dan O2 (boleh sampai 4 L/menit)(Ngastiyah, 2006).

e. Langkah V : Menyusun rencana asuhan yang menyeluruh

Dalam kasus balita sakit dengan kejang demam dan bronkitis akut, rencana asuhan yang diperlukan yaitu :

a. Lakukan observasi keadaan umum dan vital sign (Nursalam, 2008).

b. Kompres air hangat untuk menurunkan panas tubuh anak.

c. Posisikan kepala anak miring ke satu sisi jika anak terlihat muntah atau mengeluarkan lendir atau liur dari mulutnya agar anak tidak tersedak. Posisi miring memastikan lidah tidak menutupi jalan nafas.

d. Lepaskan atau longgarkan pakaian anak agar dapat bernafas dengan baik.

e. Siapkan tongue spattel atau sudip lidah dan O2 (Ngastiyah, 2006). f. Motivasi orang tua untuk tidak cemas (Sofwan, 2011).

(22)

g. Lakukan advice dokter spesialis anak untuk pemberian terapi dan penanganan terhadap kejang demam dan bronkitis akut, yaitu: 1) Paracetamol 10-15mg/kg BB/4-6jam per oral

2) Diazepam 0,3mg/8jam per oral atau Diazepam 0,5mg/8jam per rektal (saat demam)(Suraatmaja, 2007).

3) Antibiotik 250mg/8jam intravena

4) Mukolitik 5-10mg/8jam (Nursalam, 2005).

f. Kolaborasi dengan petugas fisioterapi untuk melakukan fisioterapi dada (Nursalam, 2005).

g. Beri penjelasan pada orang tua tentang penyakit anaknya dan mencegah kekambuhan kejang demam (Muscari, 2005).

h. Motivasi ibu untuk teratur meminumkan obat pada anaknya (Aden, 2010).

i. Langkah VI : Pelaksanaan langsung asuhan dengan efisien dan aman Pada langkah ke-6 ini, rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah ke-5 dilakukan secara efisien dan aman. Bidan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain untuk melaksanakan asuhan yang telah direncanakan.

j. Langkah VII : Evaluasi

Evaluasi yang diharapkan dari pelaksanaan asuhan kebidanan pada kasus balita sakit dengan kejang demam dan bronkitis akut adalah mencegah kejang demam berulang dan mengatasi bronkitis akut

(23)

2. Follow Up Data Perkembangan Kondisi Klien

Selanjutnya dari 7 langkah Varney dapat disarikan menjadi 4 langkah yaitu SOAP (Subektif, Objektif, Asessment, Plan). SOAP disarikan dari proses pemikiran penatalaksanaan kebidanan dipakai untuk mendokumentasikan asuhan pasien dalam rekam medis pasien sebagai catatan kemajuan atau perkembangan keadaan klien.

a. S= Subjective (data subjektif)

Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui anamnesa sebagai langkah 1 Varney.

b. O= Objective (data objektif)

Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil laboratorium, dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan sebagai langkah 1 Varney.

c. A= Assesment (pengkajian)

Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interpretasi data subjektif dan objektif dalam suatu identifikasi diagnosa/masalah kebidanan sebagai langkah 2 Varney.

d. P= Plan

Menggambarkan pendokumentasian dari seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan secara komprehensif, penyuluhan, dukungan, kolaborasi, evaluasi atau follow up dari rujukan, sebagai langkah 3, 4, 5, 6 dan 7 Varney.

(24)

Pada kasus ini, diharapkan dengan mengimplementasikan metode pengendalian suhu dapat mencegah kejang demam berulang dan mengatasi bronkitis akut (KepMenKes RI No : 938/Menkes/SKVII/2007).

Referensi

Dokumen terkait

Dengan terpasangnya SKIMMER pada mulut atm, setiap yang nasabah datang melakukan transaksi dengan memasukan kartunya ke atm, sebelum data tersebut dibaca oleh mesin

Data yang digunakan merupakan data rekam medis penderita penyakit tuberkulosis paru medis penderita penyakit tuberkulosis paru yang mengikuti program DOTS di RSUD Ibnu Sina Gresik

Laporan Akuntabilitas Kinerja Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan Jakarta tahun 2017 ini menjelaskan pencapaian kinerja Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan Jakarta

Tujuan penelitian adalah ingin menganalisis band L’Arc~en~Ciel untuk mengetahui mengapa mereka bisa populer hingga saat ini dan memberi pengaruh kepada pendengarnya, dengan

Jumlah Persembahan Ibadah Hari Minggu di Rumah Sektor Karmel : 6 Nama Keluarga Sektor..

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Rokhmah yang menunjukkan mayoritas ODHA memiliki sikap yang positif terhadap HIV/AIDS dan

Akan tetapi jika apa yang saya katakan berdasarkan perintah Allah dan Rasul-Nya () dan berdasarkan ijma para ulama dari setiap madzhab, maka tidak patut bagi seseorang yang

Ketersediaan dana yang dapat digunakan untuk membiayai usulan program dan kegiatan yang ada dalam RPIJM dapat dihitung melalui hasil analisis yang telah dilakukan dengan