DINAMIKA KELESTARIAN POPULASI (HERD SURVIVAL)
KERBAU: KASUS DI KABUPATEN LEBAK, BANTEN
(Population Dynamics (Herd Survival) of Buffalo: A Case in Lebak
District of Banten)
LISA PRAHARANI danASHARI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT
Nationally depleting buffalo population has been lasting for years. In fact buffalo production of Lebak district contributes to fulfill the demand of local and the surrounding districts (Serang,Pandeglang) and other regions (out of Java). Therefore there is a need to understand and to promote and establish strategic programmes on population growth accelleratin. An explorative study was carried out in 4 villages of 4 subdistricts: Malimping, Maja, East Rangkasbitung and Siraja of Lebak District of Banten Province. Interview method was used to gather the primary data on production, reproduction and post harvest parameters from respondents of 4 buffalo farmer’s groups, 1 official of slaughtering house, 1 wholesale and 1 meatball restorant owner to calculate the status of herd survival of buffalo of that Lebak District. Results showed Lebak District as one of the 15 Buffalo Breeding Center Districts, from this study showed that this district had a slow growth of 1,90 % buffalo finisher suplly to the total buffalo district population, due to low productivity and land ecological disturbance as land use changes. Recommended that to accelerate population growth have to improve productivity and spatial land allocation planning and also supporting regulation (law) particularly for palm oil-buffalo integrated systems, with the care of animal health, by establishing strategic disease free zones as part of national prioritized programme.
Key Words: Herd Survival, Buffalo, Productivity, Imlementative Policy
ABSTRAK
Secara nasional pengurasan populasi kerbau telah berlangsung lama. Proses tersebut perlu dipahami dengan mempelajari status kelestarian (herd survival) komoditas unggulan dan memantapkan program-program strategis dengan sasaran peningkatan populasi. Untuk itu dilakukan survei eksploratif, yang dilakukan di empat desa, masing-masing di Kecamatan Malimping, Kecamatan (Maja, Rangkasbitung Timur dan Siraja melalui wawancara dengan empat kelompok ternak kerbau,1 petugas RPH 1 bandar daging, dan 1 pedagang bakso untuk memperoleh parameter reproduksi dan produksi dan parameter penunjang. Parameter-parameter tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa di Kabupaten Lebak terdapat pertumbuhan kelebihan penyediaan kerbau untuk potong, pengiriman keluar daerah dan lainnya sebesar 1,90% terhadap total populasi. Lambatnya pertumbuhan tersebut karena rendahnya produktivitas dan semakin terdesaknya basis-basis ekologis lahan penggembalaan dan belum berkembangnya sistem integrasi. Untuk percepatan peningkatan populasi perlu perbaikan produktivitas, termasuk pengembangan zonasi bebas penyakit strategis disertai dengan penataan ruang kawasan basis-basis ekologis dalam tata ruang daerah dan pembentukan kawasan klaster kerbau dengan kebijakan implementatif mendukung program-program pengembangan kawasan terintegrasi khususnya sawit-kerbau yang dilengkapi payung hukum maupun kawasan khusus.
Kata kunci: Kelestarian (Herd Survival) Kerbau, Produktivitas, Kebijakan Implementatif
PENDAHULUAN
Pengurasan populasi kerbau secara nasional terus berlangsung sejak awal abad awal 20. Populasi kerbau tertinggi di Indonesia, ketika
populasi kerbau di Jawa berada pada jumlah 2,5 juta ekor, yaitu sekitar tahun 1925 (LIPI, 1982) Sejak itu, populasi terus menurun. Saat ini, menurut hasil sensus sementara (DITJENNAK, 2010) populasi kerbau nasional
hanya sekitar 0,5 juta saja, Permasalahannya pengurasan populasi pada kasus kerbau agak berbeda dengan yang terjadi pada ternak ruminansia lain (sapi, kambing dan domba). Pada ternak selain kerbau inilah yang menjadi sasaran pelarangan pemotongan ternak betina produktif yang diberlakukan sejak masa pemerintahan penjajahan Belanda sampai sekarang (UU 18 tahun 2009). Konsumen kerbau terbatas pada komunitas tertentu. Sementara itu, sapi, kambing dan domba menjadi favorit bagian acara ritual Idul Adha. Hewan kurban adalah hewan jantan pilihan prima (bagus), sehingga menguras pejantan, sedangkan untuk kebutuhan Idul Fitri, pasokan ternak berupa ternak jantan maupun betina, tidak ada persyaratan khusus kualitas ternak maupun daging. Bahkan daging yang tidak layak konsumsi masuk pasaran Hari Raya Idul Fitri.
Saat swasembada beras 1984, konsumsi daging penduduk Indonesia didominasi oleh daging ternak besar (daging sapi dan kerbau atau “beef”. Bimas ayam ras sudah mulai berkembang. Pada saat swasembada beras 1984, produksi daging ayam dan daging ternak besar sama, artinya konsumsi daging ayam (kampung dan ras) dengan daging ternak besar (sapi dan kerbau) juga sama. Selanjutnya produksi daging ayam (kampung dan ras) terus meningkat cepat sementara produksi daging sapi dan kerbau berjalan lambat, lebih-lebih dengan proses traktorisasi di basis-basis lahan usaha tani terutama di lahan sawah ternak kerja sebagai komponen usaha tani semakin terdesak yang pada akhirnya mmepercepat proses pengurangan populasi disamping faktor-faktor lainnya.
Dampak “terusirnya” ternak kerja di lahan usaha tani baik sebagai tenaga kerja, sebagai input usahatani, perbaikan lingkungan (kualitas lahan) dan penyediaan daging nasional secara sosial dan ekonomi nasional memberi makna rapuhnya ketahanan pangan nasional. Kondisi seperti ini diperparah oleh terus berkembangnya alih fungsi lahan khususnya lahan-lahan penggembalaan baik untuk pengembangan kelapa sawit, tanpa ada kawasan pengganti.
Antisipasi pengurasan populasi kerbau masih terus belum terkendali, walaupun berbagai usaha telah dilakukan. Keadaan ini bertambah semakin parah ketika dicanangkan
program swasembada daging (beef) ternak kerbau tidak diperhitungkan dan baru masuk program swasembada 2014 kerbau masuk dalam Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau. Walaupun demiikian, peluang antisipasi pengurasan dapat dilihat dengan memahami dinamika status kelestariannya (herd survival),yang kurang menjadi perhatian para perencana.
Beberapa studi Dinamika Kelestarian Ternak Kerbau yang dilakukan oleh PETHERAM et al. (1982) di Serang, ASHARI et al. (2007) di Kabupaten Aceh Barat memberikan indikasi tentang proses pengurasan pada dua lokasi wilayah produsen kerbau, dengan catatan-catatan berikut: dalam budidaya kerbau yang pada umumnya digembalakan, lahan untuk penggembalaan menjadi masalah. Masalah reproduksi umumnya terjadi “inbreeding”, tidak cukup tersedianya pejantan secara kualitas maupun kuantitas. Pemotongan betina produktif pada kerbau terjadi pada umur produktif, namun lebih rendah dari pada fenomena ternak. Secara khusus untuk Kabupaten Lebak dipelajari dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang status kelestariannya dan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan populasi dengan menyusun program-program strategis maupun rekomendasi program aksinya.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, dengan pemilihan lokasi yang ditetapkan secara khusus (purposive) yang merupakan pusat kegiatan usaha peternakan kerbaun di empat desa dari masing-masing kecamatan dengan basis ekosistem penggembalaan yang berbeda yaitu Kecamatan Maja (basis kelapa sawit dan lahan tidur), Kecamatan Sajira dan Rangkasbitung Timur (kelapa sawit) dan Kecamatan Malimping (basis penggembalaan lahan tidur kawasan pantai).
Survei eksploratif dilakukan melalui wawancara dengan empat kelompok ternak, satu bandar daging, satu petugas RPH dan satu pedagang bakso untuk memperoleh parameter teknis produksi, reproduksi yang dilengkapi data sekunder baik dari BPS KABUPATEN LEBAK (2010) maupun dari DISNAK
KABUPATEN LEBAK (2010) untuk menyusun perhitungan dinamika populasi (herd survival). Perhitungan-perhitungan tersebut meliputi Produktivitas induk dihitung dengan rumus:
(AL – AK) JA
(AH) = PIA × S × × × JAIL
AL 12
AH : Produktivitas induk per tahun
PIA : Populasi induk awal tahun saat kawin S : Kesuburan yaitu jumlah induk
melahirkan dari yang dikawinkan AL : Jumlah anak yang lahir
AK : Tingkat kematian anak (%) JA : Jarak beranak
JAIL : Jumlah anak per induk per kelahiran Jantan : Betina = 1 : 1
ANALISIS
Satuan waktu produksi/produktivitas/tahun dengan menyusun standar parameter teknis produksi, reproduksi melalui wawancara dan atau pengamatan serta pengembangan asumsi untuk perhitngan herd survival. Analisis dan bahasan meliputi nilai dan status dinamika kelestarian dan usaha-usaha untuk mempertahankan serta meningkatkan populasi dengan memahami faktor-faktor penyebab pengurasan populasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter teknis dinamika kelestarian
Parameter-parameter teknis dibangun sebagai ukuran yang mencerminkan kondisi saat ini yang menunjukkan capaian status dinamika kelestariannya untuk dipahami dan dimaknai dalam rangka optimalisasi perbaikannya. Nilai-nilai parameter teknis yang diperoleh dari survei sebagai berikut (Tabel 1): Tingkat kematian prenatal sangat umum terjadi pada umur kebuntingan empat sampai 5 bulan umum terjadi di keempat lokasi, yaitu 8% dan kematian anak setelah melahirkan mencapai 5%. Rata-rata kematian anak dari dua periode tersebut mencapai 10%. Tingginya tingkat kematian ini menjadi salah satu sebab rendahnya produktivitas.
Tingginya tingkat kesuburan (fertilitas) diasumsikan paling rendah 80%. Nilai paling tinggi diperlihatkan pada kawanan kerbau di Malimping. Dari 10 induk kerbau dalam kawanan yang digembalakan dan diamati, semuanya mempunyai anak yang “seumur” dalam satu generasi kawanan kerbau. Artinya dalam kasus ini kesuburan mencapai 100%.
Kurangnya pejantan baik secara kualitas maupun kuantitas pada kerbau maupun sapi yang digembalakan atau yang dikawinkan secara alami (KA).
Tabel 1. Parameter teknis produksi dan reproduksi untuk perhitungan herd survival
Parameter teknis Satuan Nilai Keterangan
Umur pertama kali beranak Tahun 4
Jarak beranak Tahun 1,2 Ada musim kawin/beranak
Umur afkir pejantan/induk Tahun 8
Masa produksi ( × beranak) Tahun 8 Kisaran 5 – 12
13
Kesuburan persen 80
Kematian anak persen 10 Pre + post natal
Kematian muda 2
Kematian dewasa 1
Betina produktif (populasi) persen 45
Persen pejantan × betina persen 2
DINAMIKA KELESTARIAN POPULASI KERBAU DI LEBAK
Gambar 2. Alur produksi dan reproduksi kerbau dalam dinamika populasi di Kabupaten Lebak
Disamping terjadinya proses inbreeding juga terjadinya kualitas pejantan. Dari pengamatan di lapangan, tingginya inbreeding terlihat dari banyaknya kerbau bule yang tercatat tertinggi dari kasus pengamatan di Malimping, mencapai 40% populasi kawanan kerbau. Disamping itu, terlihat inferiotas fenotipe, seperti bentuk tanduk yang tidak normal maupun ukuran tubuh yang semakin mengecil. Sementara itu pejantan yang tersedia di peternak adalah pejantan yang disiapkan untuk dijual. Penjualan kerbau jantan mulai pada umur dua tahun. Sisa kerbau jantan yang umumnya dipakai sebagai pejantan dan dijual pada umur sebagai jantan pejantan yang masih produktif yang belum mencapai masa puncak penggunaan sebagai pejantan. Rendahnya
jumlah pejantan terlihat paling rendah di lokasi Kecamatan Rangkasbitung Timur yang tercatat hanya 0,28%. Ini merupakan kondisi yang sangat kritis, walaupun memang dalam sistem penggembalaan ada peluang tersedianya pejantan lain dari kelompok kawanan kerbau yang lain. Kondisi ini secara umum menempatkan intensifikasi INKA menjadi prioritas, sebagaimana tercantum dari salah satu kegiatan PSDSK.
Diagram di atas menunjukkan tingkat tingkat produktivitas induk 58%,artinya dari 100 induk menghasilkan 58 anak lepas sapih biologis per tahun.
Tingkat perkembangan anak sampai umur 3 – 4 tahun yang masak kelamin betina (betina sebagai calon induk untuk peremajaan atau
55,27
2 pejantan 100 kerbau betina
1% mati
99 induk yang hidup
Kesuburan 80%
58 gudel lahir hidup sampai umur 1 tahun 7,92 (8%) kematianprenatal Tahun I, 5% post natal 7% Tahun II: 56,94% Kematian 2%
Tahun III, dewasa muda 56,32 %
27,88% dara 27,88% calon potong/pejantan 11,4% + 0,5% peremajaan induk dan pejantan 0,4% peremajaan replacers 54,74% disposal 5,75%/tahun total populasi 27,47 “disposal” (potong/jual) 16,47 “disposal”
Tahun IV, masak kelamin 55,75 % Kematian 1%
10,4% + 0,4% afkiran induk dan
pejantan
RPH, kirim keluar Penggunaan lain: BIBIT
6,92 54,74
calon bibit untuk dijual dan jantan sebagai calon pejantan untuk peremajaan).
Anak kerbau (gudel) menjadi jantan muda yang disiapkan untuk dipotong atau digemukkan, penjualan secara umum sejak umur 2 tahun walaupun sebelum umur tersebut, juga sudah dilakukan penjualan. Sementara itu, total disposal dijual dari kerbau muda (jantan betina), termasuk yang dijual sebagai bibit sebanyak dan ditambah dengan jumlah ternak kerbau afkiran sebanyak 54,74% dari populasi induk atau sebesar 5,75%/tahun terhadap total populasi.
Khusus perkembangan anak betina dari lahir jadi calon induk disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan anak betina dan
pemanfaatan untuk peremajaan dan jual bibit
Tingkat kematian tahun ke- Tahun ke- Jumlah
hidup
% Ekor
Akhir tahun I Akhir tahun II Akhir tahun III Akhir tahun IV 29,00 28,44 28,16 27,88 2 1 1 0,56 0,28 0,27
Mutasi populasi dari besarnya tingkat pemotongan dan pemanfaatan lain untuk penggemukan dan penjualan untuk calon bibit sebesar 2,59% + 1,06% = 3,65 % terhadap total populasi dari data yang tersedia (BPS dan DINAS PERTANIAN dan DINAS PETERNAKAN PROVINSI BANTEN, 2010).
Sementara angka perhitungan dinamika kelestarian dalam kelompok disposal yang mencakup pemotongan di RPH, pengiriman keluar daerah dan pemanfaatan lain hanya tesedia 5,75% terhadap total populasi. Selisih antara kedua angka adalah 1,90% total populasi.
Dengan kata lain pola ketersediaan populasi di atas perttambahan populasi terjadi secara perlahan sebesar 1,90% per tahun.
KESIMPULAN
Rendahnya laju pertumbuhan populasi di Kabupaten Lebak disebabkan tingkat kematian anak, pemotongan kerbau jantan.
Status Herd Survival dapat digunakan sebagai indikator teknis untuk menyusun strategi peningkatan populasi ternak kerbau khususnya dan peternakan pada umumnya. Saran, perlu dibangun (standarisasi) parameter-parameter teknis yang sifatnya spesifik menurut agroekosistemnya dan jelas dengan tingkat keakurasian tertentu, di samping perlunya pemahaman proses produksi secara khusus. Dalam hubungan itu, maka setiap kegiatan lapang disarankan merupakan peluang untuk proses validasi paramater-parameter yang spesifik.
Saran, percepatan peningkatan populasi perlu dilakukan dengan memantapkan pengembangan kawasan klaster kerbau baik untuk pembibitan, penggemukan maupun kombinasinya dalam pola sistem integrasi, pola khusus maupun kombinasinya.
Intensifikasi pengembangan kawasan klaster kerbau berpola integrasi khususnya antara tanaman sawit–kerbau (dan atau sapi) memerlukan payung hukum yang ditunjang dengan studi kelayakan pengembangannya melalui berbagai aspek kajian.
Saran, pengembangan kawasan kerbau khususnya untuk pola klaster perlu ditunjang pemahaman dan ketersediaan informasi spasial status ketata ruangan daerah yang berbasis pada pemetaan rekomendasi kawasan kesesuaian ekologis diertai inventarisasi potensi dan permasalahan di lapangan untuk menunjang tersusunnya penataan secara konseptual yang diserta dengan program zonasi bebas penyakit menular strategis mendukung program nasional percepatan peningkatan populasi ternak kerbau.
DAFTAR PUSTAKA
ASHARI, E. JUARINI, SUMANTO and B. WIBOWO. 1998. Spatial land allocaton for livestock development. Bull. Trop. Anim. Prod. Special Edition.
ASHARI, E. JUARINI, SUMANTO and B. WIBOWO. 2007. Herd Survival of Buffalo in West Aceh. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 319 – 323. BPS KABUPATEN LEBAK. 2010. Kabupaten Lebak
dalam Angka. 2009. BPS Kabupaten Lebak, Rangkasbitung.
DITJENNAK. 2004. Peta Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
DITJENNAK. 2010. Statistik Peternakan Indonesia 2009. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta. JUARINI, E. 2011. Kelayakan pengembangan
kawasan produktif kerbau. Sebuah konsep mendukung peningkatan populasi. Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional: Integrasi Sawit – Sapi, Juli 2011 di Samarinda, Kaltim.
PETHERAM, R.J., C. LIEM, Y. PRIATMAN and MATHURIDI. 1982. Village Buffalo Fertility Study, Serang District. Serang. Report No 2. Research Institute for Animal Production. Bogor, Indonesia.
DISKUSI Tanya:
1. Terjadinya kematian keguguran karena apa? 2. Berapa perbandingan betina jantan?
3. Di petani pernah kerbau betina yang dipelihara dipertahankan sampai dengan 15 tahun? Tetapi ketika sampai 15 tahun penggantinya yang muda belum siap?
Jawab:
1. Terjadinya harus diteliti lebih lanjut, apakah karena brucellosis atau yang lain.
2. Ideal jika unggul 5% jantan, 95% betina. Secara alamiah perbandingan jantan dan betina 50% : 50%, tetapi program pembibitan hasil seleksi 5% pejantan yang dipertahankan. 3. BIB harus siap pengadaan pejantan.