• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia kini semakin banyak dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia kini semakin banyak dan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia kini semakin banyak dan semakin berat. Tantangan-tantangan itu antara lain, materi pelajaran dan kurikulum yang sering kali berganti, infrastruktur yang tidak memadai, pemerataan kesejahteraan sekolah, orientasi pada nilai, dan perilaku murid. Perilaku dan tindakan murid merupakan masalah pendidikan yang menarik untuk dibahas. Perilaku murid saat ini sulit untuk ditebak, mereka mengalami ‘pendewasaan’ dini sehingga tidak jarang kita menemukan siswa-siswi melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh anak-anak. Perilaku seperti menyontek, bolos, memeras, membuat geng, berkelahi, serta mencuri adalah beberapa contoh perilaku indispliner yang dilakukan oleh siswa. Indisipliner siswa, apabila dibiarkan dan tidak diperlakukan dengan tepat dapat mengarahkan siswa menuju perilaku yang lebih buruk lagi. Oleh karena itu salah satu masalah pendidikan di Indonesia adalah perilaku murid terutama perilaku kedisiplinan mereka.

Perilaku indisipliner apabila tidak ditindaklanjuti dengan segara dapat mengibatkan murid untuk terus mengulangi perbuatannya atau bahkan semakin parah. Perbuatan indispliner bisa berkembang menjadi perilaku-perilaku seperti, perkelahian, kekerasan, tindakan seksual, mencuri, tawuran, dan berbagai tindakan yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri tapi juga merugikan orang lain.

Perilaku indisipliner tidak hanya dilakukan oleh anak-anak di sekolah menengah atas, tapi murid sekolah menengah pertama dan sekolah dasar pun dapat terlibat dalam tindakan-tindakan ini. Seperti kasus berikut, puluhan anak SMP di Jakarta menolak membayar ongkos bis angkatan umum, bahkan salah satu dari mereka meminta uang kepada kondekturnya.

(2)

Setelah bercekcok, si kondektur dipukul oleh salah satu siswa, sementara yang lainnya memecahkan kaca bis (megapolitan.kompas.com, 14 Agustus 2015).

Kasus yang melibatkan siswa Sekolah dasar antara lain, mulai dari yang masih “ringan” seperti, tujuh siswa SD yang melakukan vandalisme di bangunan jembatan di Muntilan, Magelang (jogja.tribunnewas.com, 1 Mei 2015) hingga yang “berat” seperti, yang dilakukan oleh tiga orang anak di Kolaka Utara, Sulawesi, dua masih di sekolah dasar, ketangkap saat mau merampok batu akik dari suatu rumah dan diketahui bahwa aksi tersebut bukan pertama kalinya mereka melakukan tindakan tersebut (jogja.tribunnews.com, 20 Maret 2015). Tambah miris, perilaku tidak terpuji anak SD merambat hingga kekerasan, di Jakarta, Renggo seorang siswa SD meninggal karena dipukuli oleh seniornya, karena korban menyenggol bahu tersangka (republika.co.id, 6 Mei 2014).

Perilaku indisipliner berasal dari ketidakmampuan anak untuk mengendalikan, tindakan impulsnya. Dalam teori Freud anak dikatakan mematuhi dorongan Id-nya atau dorongan dasar hawa nafsunya. Disiplin siswa yang rendah menyebabkan anak berperilaku sekehendaknya tanpa menaruh perhatian kepada norma dan nilai yang ada di masyarakat. Bila tidak dilakukan tindakan preventif, maka generasi masa depan bangsa ini akan semakin terjerumus dalam perilaku-perilaku tidak terpuji.

Siswono Yudo Husodo, Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila, mengatakan bahwa saat ini Indonesia di tengah ancaman kemerosotan moral, etika dan integritas (Kompas, 31 Mei 2013) apabila tidak segera mengambil tindakan, Indonesia akan benar-benar terancam dari dalam.

Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog sosial Universitas Indonesia, mengatakan dalam acara bedah bukunya “Sociophrenia, Perjalanan dan Pemikiran Sarlito” (Kompas, 25 Mei 2015) menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk tidak mematuhi peraturan dan hal tersebut menciptakan kekacauan. Pernyataan dari guru besar

(3)

Psikologi UI ini tentu memprihantinkan. Indonesia merupakan bagian dari benua Asia, yang pada umumnya dianggap sebagai bangsa yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap norma kelompok, namun justru memiliki kecenderungan untuk tidak mematuhi peraturan. Kondisi ini dapat menjadi lebih parah, karena tidak sedikit generasi muda yang menunjukkan perilaku tidak disiplin. Apabila kita sebagai warga negara tidak melakukan pembenahan dini, terutama di bidang pendidikan, maka seperti yang disampaikan oleh Sarwono, Indonesia akan segera menuju kekacauan.

Kedisiplinan bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah diajarkan kepada siswa, guru perlu menyentuh sisi kognitif, afeksi, dan perilaku anak. Ditambah lagi tantangan yang dihadapi guru setiap harinya di dalam kelas. Mengatur 20-30 murid di kelas dalam sehari bisa menjadi tugas yang sangat sulit, bahkan untuk meminta murid untuk tenang bisa menjadi tantangan tersendiri. Lickona (1992) bahkan menyebutkan bahwa kedisiplinan adalah salah satu sumber yang menyebabkan guru mengalami tingkat stres dan emosi yang tinggi. Dengan tuntutan yang tinggi dan tantangan yang sulit yang dihadapi, guru memerlukan sebuah metode yang dapat membantu mereka untuk menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut. Oleh karena itu guru memerlukan pendekatan baru dalam mendidik disiplin kepada siswa selain dari metode yang sudah ada.

Masyarakat Amerika, sejak awal tahun 90an, melakukan sebuah gerakan untuk mempromosikan secara masif “pendidikan karakter” dalam rangka memperbaiki sistem pendidikannya. Gerakan ini muncul dalam beragam bentuk, mulai dari penulisan buku-buku mengenai karakter, membuat lembaga non-profit yang memiliki spesialisasi di bidang pendidikan karakter, pemberian pelatihan dan pembinaan, dan masih banyak lagi. Tokoh pendidikan karakter di Amerika seperti Lickona dan Berkowitz, sudah mendapat pengakuan internasional di bidang penelitian, kajian, serta tulisannya mengenai pendidikan karakter. Pendidikan karakter sendiri adalah sebuah usaha komprehensif dan terus menerus untuk

(4)

mengajarkan anak mengenai nilai, moral, dan norma. Dari beberapa hasil kajian dan penelitian, terbukti bahwa metode pendidikan karakter mampu membuat murid di Amerika menjadi individu yang lebih disiplin, bermoral, dan beretika.

Laporan penelitian dan kasus-kasus pendidikan karakter di negara Amerika menunjukan bahwa sekolah yang menerapkan pendidikan karakter, para siswa-siswinya menunjukkan perilaku yang tertib dan disiplin. Para siswa menunjukkan perilaku yang sesuai dengan apa yang diajarkan dalam pendidikan karakter yaitu, menjunjung tinggi nilai-nilai seperti tanggung jawab, rasa hormat terhadap figur otoritas, dan patuh terhadap norma kelompok. Sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan tersebut jarang mengalami kasus-kasus indispiliner oleh para siswanya. Bahkan sekolah yang sebelumnya banyak memiliki masalah dengan perilaku indisipliner siswa, merasakan berkurangnya jumlah kasus yang berkaitan dengan perilaku siswa yang bermasalah.

Pendidikan karakter bukanlah sebuah konsep yang baru di Indonesia, sudah lama istilah ini dikenal oleh bangsa Indonesia. Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara bahkan menyebutkan “Mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian dan karakter. Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis, murka, pemarah, kikir, keras dan lain-lain).

Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan, pada pasal 1 ayat 1 dituliskan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Sedangkan pasal 3 menyebutkan fungsi dari pendidikan yaitu, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

(5)

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dalam undang-undang tersebut sama sekali tidak ada kata pendidikan karakter, namun banyak menyebutkan nilai-nilai yang berkaitan erat dengan karakter seperti spiritual, pengendalian kepribadian, akhlak mulia, dan bertanggung jawab.

Melalui pembentukan undang-undang tersebut, Negara berjanji untuk memfasilitasi pendidikan nasional yang tidak hanya berfokus pada perkembangan intelektual tapi juga karakter. Mulai tahun 2010 Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) secara serius mencoba menegakkan pendidikan karakter di perencanaan program-programnya (Haryanto, 2011). Tahun 2011 Departemen Pendidikan Nasional membuat fondasi dalam menentukan arah pengembangan karakter dengan mengeluarkan 18 karakter yang ingin dikembangkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Karakter-karakter tersebut adalah: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Undang-undang dan pembuatan fondasi karakter belumlah cukup, dapat dilihat dari hasil pendidikan karakter yang secara umum belum dirasakan. Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada sekolah negeri yang sebelumnya mengalami permasalahan dengan perilaku indisipliner siswanya, melaporkan adanya perubahan pada sekolah dan lingkungannya setelah pendidikan karakter ditegakkan tahun 2010. Secara spesifik peneliti melihat sekolah negeri karena sekolah negeri berada langsung dibawah pemerintah, terutama Kemendikbud. Muzakki dalam orasi ilmiahnya sebagai Guru Besar Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya mengatakan permasalah

(6)

pendidikan karakter di Indonesia adalah, pendidikan karakter kehilangan instrumen sehingga nilai-nilai yang diajarkan tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata (Kompas, 12 Maret 2015). Muzaki melanjutkan, bahwa 18 nilai karakter yang sudah dibuat berhenti di definisi dan tidak dipraktikan. Salah satu alasannya karena 18 nilai karakter ini bersifat abstrak dan para guru tidak diberikan panduan yang praktis bagaimana mempratikannya dalam pembelajarannya dalam kelas. Sehingga, salah satu alasan mengapa pendidikan karakter belum terasa manfaatnya adalah karena pengajarannya hanya sampai taraf kognitif saja dan belum sampai internalisasi nilai.

Sekolah sudah memiliki mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Namun memberikan mata pelajaran dan buku teks tentu tidaklah cukup untuk membentuk perilaku anak, karena pendekatan ini baru menyentuh sisi kognitif anak. Mendidik anak untuk berperilaku baik juga perlu menyentuh sisi afektif dan perilaku. Anak bisa saja paham bahwa sesuatu itu salah dan mereka pun bisa paham bagaimana perilaku yang benar. Namun karena siswa tidak paham penting dan manfaat dari berperilaku baik dan tidak terbiasa melakukannya, siswa jadi tidak berperilaku sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku. Siswa perlu diberi pemahaman mengapa sesuatu norma harus dilakukan dan ditegakkan, setelah mereka sudah paham, tahap selanjutnya adalah membiasakan anak untuk bertindak sesuai dengan nilai yang ingin ditanamkan.

Pendekatan pendidikan karakter di Amerika, bisa dikatakan lebih menyeluruh, dan sudah banyak dilakukan praktek dan penelitian untuk meningkatkan efektifitasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Lickona mengenai pendidikan karakter, ia tidak hanya mengatakan bahwa pendidikan karakter adalah menyampaikan apa yang benar dan salah, tapi juga dengan beragam cara dan media. Lickona dalam bukunya menyebutkan beberapa unsur yang penting untuk dilakukan dalam menerapkan pendidikan karakter seperti, hubungan kooperatif antara sekolah dan orang tua, memberikan contoh yang baik pada anak, meminta anak untuk

(7)

bertanggung jawab terhadap perilakunya, menyertakan anak untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan penuh rasa hormat, memberikan anak kesempatan untuk mempraktikkan nilai-nilai yang diajarkan, menerapkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari, dan masih banyak lagi. Praktik-praktik pendidikan karakter seperti ini di Indonesia belum banyak ditemukan, sehingga menarik untuk diteliti apakah praktik yang sama dapat menunjukkan hasil yang identik di Indonesia.

Fenomena-fenomena tersebut memantik peneliti untuk mencoba melihat pengaruh pendidikan karakter terhadap kedisiplinan siswa. Pendidikan karakter mendapat banyak sekali dorongan dan dukungan karena diperkirakan mampu membentuk kepribadian baik pada diri anak. Gerakan pendidikan karakter ini tidak hanya terjadi di negeri barat saja, di Indonesia pun saat ini juga intensif dengan berbagai program mengusung pendidikan karakter, yang dilaksanakan baik oleh organisasi masyarakat maupun Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Namun jumlah penelitian mengenai pengaruh pendidikan karakter terhadap kedisiplinan siswa, di Indonesia belum banyak terdokumentasi. Harapannya penelitian ini akan menambah jumlah karya ilmiah yang membahas mengenai pengaruh pendidikan karakter terhadap kedisiplinan siswa.

B. Keaslian Penelitian

Peneliti belum banyak menemukan penelitian yang membahas mengenai pengaruh pendidikan karakter terhadap perilaku siswa. Ada beberapa penelitian yang memberikan pelatihan kepada guru mengenai pendidikan karakter, di antaranya “Pelatihan Penyusunan Program Pembelajaran Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Pada Guru TK” (Mazia Amalia, 2013).

Penelitian ini memiliki fokus penelitian yang berbeda, yang pertama berfokus pada pengaruh pelatihan My Plan My Success dalam meningkatkan penguasaan guru TK terhadap

(8)

penyusunan program pembelajaran pendidikan karakter anak usia dini. Penelitian ini tidak melibatkan peserta didik secara langsung, hanya melibatkan guru saja sebagai pelaksana program pembelajaran. Peserta dalam penelitian ini adalah guru Taman Kanak-kanak dan bukan guru Sekolah Dasar.

Penelitian lain yang melibatkan pendidikan karakter dalam temanya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wening (2008) yang berjudul “Pembelajaran Karakter pada Lulusan Sekolah Dasar Islam Terpadu”. Subjek dalam penelitian ini adalah siswi lulusan sebuah SDIT di Yogyakarta. Fokus penelitian adalah melakukan studi kasus pada subjek dan perkembangan pembelajaran karakter yang dilakukan oleh subjek selepas ia lulus dari SDIT. Dari pemaparan ini jelas bahwa dari tema, subjek, dan metode memiliki perbedaan yang mencolok dengan penelitian ini.

Penelitian terkait disiplin di sekolah seperti “Pengaruh Disiplin Sekolah Terhadap Perilaku Agresi di Sekolah pada Siswa Sekolah Menengah Atas” (Handayani, 1992), “Kecakapan Hidup (Life Skills) Peserta Didik Sekolah Menengah Kejuruan Ditinjau dari Kemampuan Mengajar Guru dan Disiplin Diri Peserta Didik” (Na’imah, 2005), “Kecenderungan Berperilaku Penyalahgunaan NAPZA Siswa SMA Ditinjau dari Kecerdasan Emosional dan Disiplin Sekolah” (Thahroni, 2005), dan masih banyak lagi. Penelitian-penelitian tersebut tidak ada yang fokus pada kedisiplinan siswa Sekolah Dasar, secara umum variabel yang di ukur dalam penelitian-penelitian tersebut adalah disiplin pada anak SMA atau mahasiswa.

C. Tujuan Penelitian

Ingin Mengetahui Pengaruh Aplikasi Pendidikan Karakter terhadap Kedisplinan Siswa di dalam Kelas.

(9)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis:

- Menambah literatur ilmiah yang membahas mengenai pendidikan karakter, dan disiplin. - Mengetahui lebih dalam mengenai dinamika hubungan sebab akibat antara pendidikan karakter dengan disiplin siswa.

2. Manfaat Praktis

- Hasil penelitian bisa menjadi acuan mengenai praktik yang mampu membantu murid menjadi lebih bertanggung jawab dan disiplin

- Memberikan guru tambahan ilmu mengenai metode untuk mengembangkan karakter disiplin murid.

- Modul pelatihan penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam membuat pelatihan untuk guru-guru SD.

Referensi

Dokumen terkait

Airin Graha Persada, berdasarkan data pada bulan Maret 2018 persentase produk cacat yang dihasilkan mencapai 1,4% yang melebihi batas toleransi sebesar 1%, dengan nilai

Hasil pengukuran sebanyak 18 seri aliran untuk distribusi kecepatan dan distribusi konsentrasi sedimen suspensi menunjukkan bahwa kecepatan terbesar terjadi pada

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka fokus penelitian ini lebih diarahkan kepada Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Perilaku Organisasi Guru-guru

Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk memutuskan keefektifan ventilasi atau

Sedangkan yang menjadi alasan para petani yang tidak mengkuti Pasar Lelang adalah kurangnya pengetahuan petani akan Pasar Lelang itu sendiri, mereka merasa bahwa

Namun kenyataannya siswa kurang menguasai merubah pola rompi sesuai dengan kriteria ketuntasan Minimum ( KKM ) yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah adalah 70. Hal

Data hasil pembacaan sensor ditetapkan sebagai variabel ADC, selanjutnya dilakukan konversi dengan rumus yang didapat melalui percobaan membandingkan nilai ADC

Ciri lain komputer generasi pertama adalah penggunaan tube vakum (yang membuat komputer pada masa tersebut berukuran sangat besar) dn silinder magnetik untuk penyimpanan