Oleh :
Jumbuh Karo K (13148134)
Tommy Gustiansyah P (14148114)
SUKU NIAS
Suku Nias adalah suku bangsa atau kelompok masyarakat yang mendiami pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara. Gugusan pulau-pulau yang membujur di lepas pantai barat Sumatra yang
berbatas Samudra Hindia. Kurang lebih hanya lima pulau besar yang dihuni; Pulau Nias, Tanah Bala, Tanah Masa, Pulau Tello, dan
Pulau Pini. Dari kelima pulau besar itu, Pulau Nias lah yang memiliki penduduk yang cukup padat dan menjadi pusat dari kegiatan ekonomi serta pemerintahan.
Dalam bahasa setempat, orang Nias menyebut dirinya ono niha,
ono berarti anak atau keturunan,
sedangkan niha artinya manusia. Sedangkan pulau Nias disebut sebagai tano niha, Tano berarti Tanah danniha artinya manusia.
ASAL USUL ORANG NIAS
Hoho (tradisi lisan yang berbentuk syair
dan dinyanyikan) yang ada dan berkembang di Pulau Nias
menceritakan bahwa manusia pertama yang tinggal di Pulau Nias
adalah sowanua atau juga disebut ono
mbela.Ono mbela adalah keturunan dari
penguasa langit yang turun ke bumi dengan menggunakan liana lagara, jenis tumbuhan yang merambat di pohon. Konon, sebagian dari mereka ada yang bisa mencapai tanah dan sebagian lagi tersangkut di atas pohon. Yang memilih tinggal di pohon disebut sebagai sowanua/ono mbela(manusia pohon). Para Ono mbela ini dikenal memiliki rambut dan kulit yang
berwarna putih, memiliki paras cantik, dan bermata biru. Mereka yang jatuh ke tanah, menurut hoho, mereka
menyelamatkan diri tinggal di gua-gua. Mereka kemudian tidak lagi disebut dengan ono mbela, tetapi
dipanggil nadaoya yang berarti manusia yang tinggal di gua. Secara fisik pun mereka berbeda, nadaoya dikenal memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dan memiliki kulit yang sedikit gelap.
Sigaru Tora’a(pohon hayat/kehidupan) yang
terletak di Teteholi ana’a. Sama halnya seperti versi pertama, mitologi orang Nias ini terdapat pula dalam hoho yang mencertiakan bahwa alam
semesta dan segala isinya berasal dari beberapa warna udara yang di aduk Lowalangi.
Lowalangi pada awalnya menciptakan Sigaru Tora’a yang buahnya dierami seekor laba-laba
emas. Dari buah itu kemudian lahir sepasang dewa; Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a (laki-laki) dan BurutiroangiBurutiraoana’a (perempuan). Dari semua putranya, justru yang paling
bungsu, Luo Mewona, yang dapat mencabutnya. Saudara-saudaranya yang kalah dalam sayembara kemudian diasingkan dari Teteholi ana’a ke bumi, tepatnya di pulau Nias. Dari sembilan
putra Sirao yang diasingkan ke Bumi (Pulau Nias) hanya lima orang yang sampai di pulau Nias dan akhirnya menjadi leluhur orang Nias. Lainnya mengalami “sedikit masalah” ketika sampai ke bumi. Ada yang jatuh menembus bumi dan menjelma menjadi naga penopang bumi
bernama Da’oZanaya Tano Sisagoro. Ada yang jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai yang disebut hadroli. Ada yang tersangkut pohon dan menjelma menjadi hantu hutan yang sering disebut Bela. Dari tradisi lisan tersebut kemudian diselimuti menjadi kearifan-kearifan lokal yang berupa larangan dan anjuran yang berlaku di kalangan orang Nias.
KEPERCAYAAN ORANG NIAS
Pertama ialah
berhubungan dengan
konsep kematian suku
Nias yang percaya bahwa
tak ada kehidupan lain
setelah kematian. Tetapi
versi ini bertentangan
dengan
banyaknya adu (patung)
yang dipercaya sebagai
tempat singgahnya leluhur
orang Nias yang telah
meninggal. Orang Nias
dalam versi ini hanya
mengenang menghormati
leluhur terutama atas
jasa-jasa mereka.
Kedua suku Nias
menyembah dan
memuja dewa
Lowalangi,
Laturadanö, Zihi,
Nadoya, Luluö dan
sebagainya.
Dewa-dewa tersebut tidak
berwujud dan memiliki
sifat dan fungsi yang
berbeda-beda. Selain
itu, masyarakat suku
Nias juga menyembah
arwah leluhur yang
berdiam di dalam
berbagai benda
berwujud seperti
patung, batu, atau
pepohonan.
KEBUDAYAAN
Fahombo, Hombo Batu atau dalam
bahasa Indonesia
"Lompat Batu" adalah olah raga tradisional Suku Nias. Olah raga yang sebelumnya merupakan ritual pendewasaan Suku Nias ini banyak
dilakukan di Pulau Nias dan menjadi objek
wisata tradisional unik yang teraneh hingga ke seluruh dunia.Mereka harus melompati
susunan bangunan batu setinggi 2 meter dengan ketebalan 40 cm.
Tari Perang atau
Foluaya
merupakan
lambang kesatria
para pemuda di
desa – desa di
Nias, untuk
melindungi desa
dari ancaman
musuh, yang
diawali dengan
Fana’a atau
dalam bahasa
Indonesia disebut
dengan ronda
atau siskamling.
TARI BURUNG(TARI MOYO) Tari Moyo atau disebut juga
dengan tari Elang yang terus mengepakkan sayapnya dengan
lembut tanpa mengenal lelah, menaklukkan sesuatu yang
bermakna bagis esamanya dan dirinya sendiri. Tarian ini
melambangkan keuletan dan semangat secara bersama dalam
mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan. Tari Moyo ini kadang
dilaksanakan setelah atau sebelum acara atau perayaan –
perayaan atas hari tertentu, bahkan untuk menyambut tamu di
Nias sendiri
PERSEBARAN
Manusia di Pulau Nias sudah ada sejak 12.000 tahun
silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik,
bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau
menurut Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu
hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut
DNA
Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias,
Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa
Austronesia. Nenek moyang orang Nias
diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur
Filipina 4.000-5.000 tahun lalu. Penelitian yang juga menemukan, masyarakat Nias tidak memiliki kaitan genetik dengan masyarakat di Kepulauan Andaman-Nikobar di Samudra Hindia yang secara geografis bertetangga.