• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESEPIAN DENGAN CYBERLOAFING SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESEPIAN DENGAN CYBERLOAFING SKRIPSI"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

KESEPIAN DENGAN CYBERLOAFING

SKRIPSI

Oleh:

Fahmi Sam Zariulhaq

20161023031005

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021

(2)

i

KESEPIAN DENGAN CYBERLOFING

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

Fahmi Sam Zariulhaq

20161023031005

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021

(3)
(4)
(5)

iv

Kata Pengantar

Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Penelitian ini berjudul “Kesepian dengan Cyberloafing” Penelitian skripsi ini diajukan untuk mendapat gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan dan arahan serta dukungan yang sangat bermanfaat dari berbagai pihak. Keterlibatan berbagai pihak dalam proses penyelesaian penelitian ini sangatlah berarti, oleh karena itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat antara lain:

1. Bapak M. Salis Yuniardi, M.Psi., Ph.D., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Yudi Suharsono, S.Psi., M.Si., selaku pembimbing I dan Ibu Susanti Prasetyaningrum, S.Psi., M.Psi., selaku pembimbing II yang selalu meluangkan waktu, membimbing serta memberi arahan yang sangat bermanfaat sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Ibu Prof. Dr. Iswinarti, M.Si., selaku dosen wali yang sangat membantu dalam proses perkuliahan dari awal masuk kelas hingga akhir masa studi.

4. Ayah (Samsul Waton) dan Ibu (Indah Mastutik), Adik (Lisa Yiha Rodliyah) yang senantiasa memberikan doa untuk menulis, limpahan kasih sayang, serta dukungan yang luar biasa baik dalam bentuk moril dan materiil sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan lancar.

5. Teman-teman dan sahabat seperkopian Ichal, Ika, Fahmi beh, Bimsu, Kacong, Fasa, Puan, Hana, Vira, Blek, Manda, Aris, Ainun, Pia, Sarah dan Riska Utami Pratiwi yang selalu menghibur dan memberi masukan dalam mengerjakan skripsi. Semoga kalian selalu diberikan kesehatan.

6. Semua rekan-rekan Psikologi A 2016 yang telah menemani dalam proses studi selamaini. Semoga pertemanan kita tetap terjaga. 7. Para pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas

Pekerjaan Umum Kabupaten Jombang yang telah meluangkan sedikit waktunya untuk mengisi skala yang diberikan oleh peneliti. Semoga para bapak dan ibu selalu diberikan kesehatan.

(6)

v

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan penelitian skripsi ini, dengan harapan semoga skripsi yang telah ditulis oleh peneliti in dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca.

Jombang, 27 November 2020 Penulis

(7)

vi DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

LANDASAN TEORI ... 6

Kesepian ... 6

Faktor yang mempengaruhi kesepian ... 7

Dampak dari Kesepian ... 8

Cyberloafing ... 9

Faktor yang mempengaruhi Cyberloafiing ... 10

Dampak Cyberloafing ... 13

Kesepian dan Cyberloafing ... 13

Kerangka Berpikir ... 15

Hipotesis ... 15

METODE PENELITIAN ... 16

Rancangan Penelitian ... 16

Subjek Penelitian ... 16

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 16

Prosedur dan Analisa Data ... 17

HASIL PENELITIAN ... 18

DISKUSI ... 20

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 22

(8)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indeks Validitas dan Reabilitas alat ukur Kesepian dan Cyberloafing...17

Tabel 2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 18

Tabel 3. Kategori Variabel Penelitian...19

(9)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Kesepian dan Cyberloafing...27

Lampiran 2. Blueprint Skala ... 30

Lampiran 3. Hasil Tryout Validitas dan Reabilitas ... 30

Lampiran 4. Uji Normalitas ... 34

Lampiran 5. Uji Korelasional ... 35

(10)

KESEPIAN DENGAN CYBERLOAFING

Fahmi Sam Zariulhaq

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

[email protected]

Cyberloafing merupakan perilaku menyimpang individu yang menggunakan fasilitas internet milik instansi untuk kepentingan pribadi. Sebagian masyarakat menganggap cyberloafing adalah suatu hal yang biasa untuk dilakukan. Akan tetapi pada faktanya cyberloafing dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap kinerja pegawai dan menyebabkan kerugian bagi instansi/organisasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan cyberloafing diduga akibat adanya kesepian pada diri individu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kesepian dengan cyberloafing. Subjek penelitian ini adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berusia 25-38 tahun dan telah bekerja minimal 1 tahun bekerja. Total subjek sebanyak 150 orang dengan pengambilan sampel menggunakan Teknik purposive sampling. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala adaptasi Loneliness Scale dan skala cyberloafing. Hasil uji analisis korelasi non parametric Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kesepian dengan cyberloafing. Nilai signifikansi yang didapat yaitu sebesar 0.000 dengan nilai rxy = 0.869.

Kata kunci : Kesepian, Cyberloafing, Pegawai ASN

Cyberloafing is a deviant behaviour where individual use the company’s internet facilities for personal need. Cyberloafing is widely regarded as a common thing to do. However, cyberloafing has negative impact on work-performance and causing company losses. One of many factors that causing cyberloafing is kesepian. The aim of this study was to determine the correlation between kesepian and cyberloafing. The subjects of this study was civil servants aged 25-38 years old and minimum 1 year working. Total subjects were 150 using purposive sampling technique. This study used adaptation scale of UCLA Loneliness Scale and Cyberloafing Scale. The result of the analysis test using correlational non-parametric Spearman, indicated that there was correlation between kesepian and cyberloafing with significant scor 0.869

(11)

Kemajuan teknologi telah membawa banyak perubahan yang signifikan bagi kehidupan banyak orang, terutama dalam bidang teknologi informasi dan internet yang membuka jalan untuk era informasi (Ozler & Polat, 2012). Internet merupakan suatu hal yang penting dalam dunia kerja karena kemampuannya yang luar biasa dalam membantu memudahkan dan menyelesaikan sebuah pekerjaan dengan lebih cepat, efektif dan efisien, serta mampu meningkatkan kreativitas pegawai dalam menemukan ide-ide baru, ditambah lagi internet saat ini menjadi pendukung utama untuk melayani masyarakat dan pelanggan yang berbasis IT sehingga dapat menghemat waktu dan biaya anggaran (Nisaurrahmadani, 2012). Bagi pegawai, mengakses internet telah menjadi hal yang biasa dilakukan dalam pekerjaan, namun Blanchard & Henle (2008) mengemukakan bahwa pegawai juga memiliki kecenderungan menggunakan internet untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan ketika berada di tempat kerja. Astri (2014) mengungkapkan bahwa pegawai dapat menunda kewajiban dalam melaksanakan tugas perusahaan akibat penggunaan internet.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 didapatkan kesimpulan bahwa terdapat 132.7 juta orang Indonesia atau sekitar 51.5 % dari total jumlah penduduk Indonesia menggunakan internet untuk mengunjungi online shop, facebook dan smartphone. Selain itu hasil survey APJII pada tahun 2018 berdasarkan pekerjaan diketahui bahwa pengguna internet pada ASN sebesar 89,9 % dan untuk ASN honorer sebesar 76,9 %. Pegawai yang melakukan aktifitas berkirim surat tidak untuk kepentingan pekerjaan sebesar 84% dan pegawai yang menggunakan internet untuk berekreasi serta kepentingan pribadi sebesar 90% hal tersebut didapatkan dari hasil survei yang dilakukan oleh Surf Watch di Amerika Serikat. Selain itu menurut Lim (2002) dan Greenfield & Davis (2002) mengatakan bahwa cyberloafing dapat mengurangi produktifitas, membuang waktu ditempat kerja dan melakukan kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan sekitar 2,5 jam -3 jam perhari. ASN di Indonesia terdiri dari beberapa lapis generasi yaitu generasi yang lahir pada tahun 1950 sampai generasi yang lahir tahun 2000. Generasi muda lebih gampang untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan zaman, sedangkan generasi tua banyak mengalami kesulitan untuk diri dengan segala bentuk perubahan yang terjadi, terutama dalam bidang teknologi. Kompetensi yang kurang memadai dapat menyulitkan generasi tua dalam menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi.

Hadirnya internet di era globalisasi ini tidak serta merta memberikan dampak positif, tetapi juga memberikan dampak negatif pula. Aparatur

(12)

Sipil Negara menggunakan internet untuk mempermudah mereka dalam mendapatkan informasi yang diinginkan serta mempercepat pekerjaan. Adanya internet di dunia kerja memang memberikan keuntungan bagi instansi atau organisai, akan tetapi di sisi lain internet juga memberikan dampak yang negatif bagi pegawai seperti produktifitas kerja yang menurun, serta waktu dan biaya yang terbuang sia-sia. Johnson & Ugray (2007) mengatakan bahwa instansi atau organisasi yang menyediakan internet pada suatu saat akan menghadapi pegawai atau karyawan yang melakukan penyalahgunaan internet atau kecanduan terhadap internet. Hal tersebut bisa menimbulkan kelalaian bagi pegawai atau karyawan dalam menjalankan kewajibannya, seperti mengakses internet pada saat jam kerja dengan tujuan untuk kepentingan dirinya sendiri bukan untuk instansi atau perusahaan. Perilaku tersebut dapat disebut dengan cyberloafing. cyberloafing dapat merugikan apabila membuat seorang karyawan terhambat dalam menyelesaikan pekerjaannya (Ozler & Polat, 2012). Selain itu beberapa kerugian yang dapat terjadi jika seorang pegawai atau karyawan melakukan cyberloafing antara lain organisasi akan merugi dikarenakan akses internet tetap terpakai namun organisasi tidak mendapatkan keuntungan dikarenakan pekerjaan yang tertunda atau tidak selesai, berkurangnya produktivitas karyawan serta mengurangi kemampuan kognitif karyawan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya (Ardilasari & Firmanto, 2017).

Berdasarkan hasil dari survey yang dilakukan oleh APJII diketahui bahwa para pekerja yang menggunakan fasilitas internet didominasi oleh ASN. Aparatur Sipil Negara yang di singkat menjadi ASN adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada instansi pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa ASN sebagai pengguna internet yang mendominasi akan cenderung mengarah kepada kegiatan cyberloafing.

Lim (2002) mengatakan bahwa Cyberloafing sebagai suatu perilaku kerja yang counterproductive oleh beberapa penelitian, maka dari itu bukan hal yang mengejutkan apabila penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan serta penundaan pekerjaan akan mengarah pada menurunnya produktifitas kinerja terhadap organisasi. Sebagai contoh, pegawai lebih memilih menghabiskan waktu kerja mereka dengan menjelajah situs hiburan dibandingkan menyelesaikan tugas yang diberikan instansi sesuai dengan standar dan jobdesk yang telah ditentukan. Namun,

(13)

3

meskipun cyberloafing dianggap sebagai suatu perilaku counterproductive dalam beberapa hal cyberloafing juga dapat disebut sebagai suatu perilaku yang konstruktif. Beberapa penelitian terdahulu juga membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing seperti penelitian yang dilakukan oleh Budiana Ayu (2019) yang mengaitkan antara loneliness dan cyberloafing kepada 74 karyawan rumah sakit memiliki hasil bahwa terdapat pengaruh antara loneliness dengan cyberloafing. Selanjutnya penelitian dari Sabrina. N (2019) yang mengaitkan antara kesepian dan cyberloafing kepada 113 pegawai perpustakaan juga mendapatkan hasil bahwa adanya hubungan positif antara kesepian dengan cyberloafing pada tenaga perpustakaan di universitas.

Berdasarkan faktor – faktor yang telah dijelaskan dan diperkuat dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Budiana Ayu (2018) diketahui bahwa pegawai yang melakukan cyberloafing disebabkan mengalami kesepian. Baron & Bryne (2005) mengatakan bahwa kesepian adalah keadaan emosi dan kognitif tidak bahagia yang disebabkan oleh keinginan akan hubungan yang akrab namun tidak dapat mencapainya. Sedangkan Parlman dan Peplau (1998) mengatakan bahwa kesepian adalah suatu keadaan tidak menyenangkan yang terjadi ketika seseorang mengalami kekurangan baik secara kuantitas atau kualitas dalam hubungan sosialnya. Orang yang mengalami kesepian cenderung menghabiskan waktu luang mereka dengan melakukan hal-hal yang membuat mereka senang. Baron & Bryne (2005) juga mengatakan bahwa individu yang kesepian

menganggap dirinya disingkirkan dan percaya bahwa orang-orang yang mereka temui hanya memiliki sedikit kesamaan dengan dirinya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya diatas, didapatkan hasil bahwa kesepian sebagai salah satu prediktor dalam munculnya cyberloafing. Perilaku tersebut didasari oleh adanya rasa kesepian dan bagaimana individu mengontrol dirinya agar dapat meminimalisir kecenderungan terlibat dalam cyberloafing. Disini peneliti akan menggunakan kesepian untuk meninjau atau mengetahui cyberloafing berdasarkan lama pekerjaan pada ASN. Alasan peneliti menggunakan cyberloafing sebagai variabel Y karena peneliti ingin meninjau lebih jauh cyberloafing dengan tingkat kesepian individu berdasarkan masa kerja pada ASN. Beberapa penelitian hanya fokus pada kesepian sebagai prediktor munculnya cyberloafing. Selain itu beberapa penelitian terdahulu juga hanya menggunakan faktor usia dan tingkat pendidikan sebagai tolak ukur munculnya cyberloafing. Namun penelitian ini menambahkan faktor demografis yaitu lama bekerja sebagai acuan untuk melihat tingkat kesepian yang akan menjadi penentu munculnya cyberloafing. Pada penelitian sebelumya juga belum terdapat hasil empiris yang berkaitan dengan cyberloafing dan kesepian berdasarkan

(14)

lama bekerja pada ASN. Variabel itu diambil dikarenakan kesepian sebagai salah satu faktor individual yang sangat berpengaruh terhadap munculnya cyberloafing.

Faktor individual pada cyberloafing lainnya yaitu kepribadian, percaya diri dan harga diri hal tersebut dibuktikan dengan individu yang memiliki kepribadian pemalu cenderung melakukan cyberloafing sedangkan individu dengan orientasi eksternal tidak mampu mengontrol dalam menggunaka internet (Ozler & Polat, 2012). Harga diri adalah cara seseorang menilai dirinya snediri dan berhubungan dengan konsep diri yang mencakup ide, prestasi, dan sikap terhadap diri sendiri.. Selanjutnya yaitu individu yang tidak memiliki rasa percaya diri cenderung merasa tidak dilibatkan oleh lingkungan sekitar sehingga menyebabkan kesepian. Hal ini dikarenakan individu kurang mampu mengungkapkan perasaannya dan hanya mampu berhubungan sosial dengan formal. Faktor-faktor itu lah yang membuat seseorang merasa kesepian sehingga mereka mencari pelarian dengan melakukan cyberloafing.

Pada penelitian sebelumnya, subjek yang digunakan adalah karyawan, disini peneliti akan menggunakan ASN sebagai subjek berdasarkan masa kerja. penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kesepian dengan cyberloafing di kalangan ASN (aparatur sipil negara) berdasarkan masa kerja. Kelebihan dari penelitian ini adalah menggunakan perbedaan teori dari penelitian sebelumnya, selanjutnya terdapat perbedaan metode penelitian ini dengan sebelumnya yaitu lebih menekankan pada hubungan kesepian terhadap cyberloafing dilihat dari masa kerja. Dengan adanya penelitian ini, penulis berharap agar hasil penelitian yang didapat mampu memberikan manfaat, baik itu dari sudut pandang teoritis maupun praktis bagi perkembangan ilmu pengetahuan atau bahkan bagi peneliti selanjutnya. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memberikan gambaran kepada ASN dan juga perusahaan terakit dengan cyberloafing yang terjadi di lingkungan kerja. adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah ASN dapat mengaplikasikan pengetahuan yang didapat terkait kesepian dan cyberloafing sehingga mampu untuk meminimalisir faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya cyberloafing.

Selanjutnya terdapat perbedaan mendasar penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu, pada penelitian yang dilakukan oleh Budiana. A (2018) mengatakan bahwa cyberloafing terjadi karena seseorang mengalami emotion focused coping, yang merupakan sebuah usaha dalam mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. atau dengan kata lain cyberloafing dapat terjadi meskipun seseorang tidak

(15)

dalam keadaan kesepian melainkan dalam keadaan tertekan. Lain hal nya dengan penelitian yang dilakukan oleh Sabrina. N (2019) yang mengatakan bahwa kesepian memiliki efek penularan dan dapat terjadi melalui kondisi sosial yang negatif dan interaksi antar pribadi yang ditimbulkannya. penularan kesepian dalam jaringan sosial organisasi adalah proses dimana seseorang dapat mempengaruhi rasa kesepian pada orang lain melalui induksi emosi dan perilaku secara sadar atau tidak sadar. misalnya, jika seorang karyawan mengalami kesepian di tempat kerja, emosi dan perilaku tertentu dapat berubah dan dalam prosesnya dapat mempengaruhi emosi karyawan lain, kognisi, sikap, dan perilaku. Selain itu adanya perbedaan kriteria dan jumlah subjek yang akan digunakan, pada penelitian sebelumnya peneliti hanya menggunakan 74 dan 113 subjek sedangkan pada penelitian kali ini peneliti akan menggunakan 150 subjek agar hasil yang didapatkan juga lebih maksimal.

Adapun penelitian sejenis sebelumnya menggunakan dua teori yang berbeda, pada penelelitian yang dilakukan oleh Budiana. A (2018) menggunakan teori dari Russel (1978) yang kemudian diadaptasi oleh Putrisyani (2014). Sedangkan penelitian yang dialakukan oleh Sabrina. N (2019) menggunakan teori dari Wright (2006). Pada kedua teori tersebut memiliki persamaan namun diteori yang kedua memiliki kelebihan yaitu terdapat faktor budaya yang tidak ada pada teori sebelumnya. Nilai-nilai budaya yang terdapat pada setiap daerah pasti memiliki perbedaan masing- masing salah satunya yaitu budaya yang menekankan pada persaingan dan kesuksesan pribadi akan mempengaruhi munculnya rasa kesepian. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi perilaku individu yang tercermin dalam institusi sosial. Selain perbedaan teori peneliti juga mempertimbangkan tentang penggunaan ASN sebagai subjek dengan alasan adanya kontrak kerja, gaji tetap dan jam kerja. oleh karena itu adanya kecenderungan ASN untuk melakukan cyberloafing lebih banyak terjadi dibandingkan pekerjaan lainnya.

Kesepian

Seseorang yang mengalami keadaan tidak menyenangkan atau tidak dapat diterima dan dirasakan ketika kekurangan (kualitas) hubungan sosial tertentu disebut Kesepian (De Jong Gierveld 1987). Perlman dan Peplau (1981) juga mengatakan bahwa kesepian merupakan suatu pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika jaringan seseorang dalam hubungan sosialnya mengalami kekurangan baik secara kualitas maupun kuantitas. Myers (1996) mengartikan kesepian sebagai suatu bentuk perasaan sakit saat hubungan sosial kurang berarti dari apa yang diharapkan. Ada saatnya seseorang merasakan kesepian meskipun sedang berada di tengah keramaian, atau tidak merasa kesepian meskipun sedang

(16)

menyendiri. Wright (2005) mendefinisikan kesepian ditempat kerja sebagai suatu kesulitan yang disebabkan oleh kurangnya hubungan interpersonal antar pegawai di lingkungan kerja.

Menurut Russsell (1996) kesepian didasari oleh tiga aspek yakni (a) Personality/kepribadian, seseorang yang merasa kesepian karena kepribadian mereka seperti kurang merasa percaya dengan orang asing; (b) Social Desirability/Keinginan untuk bersosial, individu mengalami kesepian karena tidak mendapatkan kehidupan sosial seperti yang diharapkan; (c) Depression/Depresi, individu mengalami kesepian karena adanya gangguan pada perasaan mereka seperti murung, sedih, merasa tidak berharga serta bersemangat, serta lebih berpusat pada kegagalan yang dialami dimasa lalu.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesedihan yang diakibatkan oleh kegagalan atau kekurangan dalam menjalin hubungan sosial, baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut Wright, Burt dan Strongman (2006) terdapat dua faktor yang mempengaruhi kesepian ditempat kerja, yaitu:

a) Penolakan secara emosional di tempat kerja, yang diartikan sebagai persepsi mengenai kualitas emosional dari hubungan seseorang di tempat kerja.

b) Relasi sosial di tempat kerja, yang diartikan sebagai persepsi mengenai aspek sosial yang diukur dari hubungan sosial ditempat kerja.

Faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Menurut Sears et al. (2009) yang mengatakan bahwa kesepian terjadi pada seseorang yang cenderung pemalu dan lebih tertutup, lebih sadar diri dan kurang asertif. Orang yang mengalami kesepian sering memiliki keterampilan sosial yang kurang baik. Kesepian juga berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Terdapat dua faktor yang mendorong kesepian (Cheryl & Parello, 2008) yaitu:

a) Faktor Situasional

Faktor ini berkenaan dengan kehidupan yang dialami ketika perasaan seseorang akan menjadi kesepian. Situasi kehidupan, seperti perceraian, perpisahan, sosial situasi individu dirawat di rumah sakit atau sakit yang parah, serta mereka yang baru saja pindah ke lingkungan yang baru atau sistem sekolah.

b) Faktor Characterological

Characterological adalah faktor yang mendorong kesepian melalui ciri-ciri kepribadian seperti introvert, rasa malu, dan rendah diri.

(17)

Individu dengan ciri-ciri kepribadian tersebut dapat dilihat dari lingkungannya.

Perlman dan Peplau (1982) juga membagi kesepian menjadi dua tipe yaitu: a) Kesepian emosional, adalah suatu jenis kesepian yang terjadi ketika seseorang tidak memiliki figure attachment yang intim, seperti yang mungkin diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya atau orang dewasa dengan pasangannya atau teman dekat. b) Kesepian sosial adalah suatu jenis kesepian yang terjadi ketika

seseorang tidak mempunyai rasa integrasi sosial atau keterlibatan dalam bermasyarakat yang mungkin disediakan oleh jaringan kerabat, tetangga, atau rekan kerja.

Selain itu terdapat dua keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya kesepian, yang pertamayaitu ketika individu mengalami peristiwa yang memicu munculnya perasaan tersebut, dan yang kedua

adalah faktor-faktor yang membuat rasa kesepian tetap ada. Kesepian terjadi tidak hanya disebabkan oleh tidak ada yang peduli, namun karena tidak ada orang yang dapat membatu dengan tepat untuk memenuhi

kebutuhan tertentu, seperti komunikasi untuk mengungkapkan keluhkesah Menurut Nugroho dan Muchji (1996) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang dapat mengalami kesepian yaitu:

a) Frustasi

Dalam hal ini seseorang yang tidak ingin diganggu, mereka lebih senang dalam keadaan sepi, tidak suka bergaul dan lebih suka hidup sendiri.

b) Keterasingan

Keterasingan adalah akibat dari sikap sombong, angkuh, dan keras kepala sehingga dijauhi oleh rekan-rekannya. Karena mereka menjauh, akibatnya adalah merasa terasingkan, terkucilkan, dan terpencil dari keramaian hidup, sehingga dapat memicu terjadinya kesepian.

c) Sikap rendah diri, pemalu, minder, merasa dirinya kurang berharga dibandingkan dengan orang lain dan akhirnya lebih suka menyendiri, yang akhirnya dapat memicu kesepian.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor psikologis dan faktor sosiologis dapat menjadi pemicu kesepian dan menyebabkan frustrasi, sikap rendah diri, dan keterasingan.

Dampak dari Kesepian

Kesepian dapat berdampak pada peningkatan motivasi bersosialisasi, interaksi, atau hubungan interpersonal yang dapat memperbaiki atau menurunkan kualitas hubungan dengan orang lain. Kesepian menurunkan motivasi karena dapat menyebabkan rasa putus asa kehilangan makna

(18)

hidup, apatis, lemah, dan kecemasan.

Cyberloafing

Cyberloafing adalah perilaku kerja yang counterproductive ditandai dengan kegiatan yang disengaja atau tidak disengaja yang dilakukan oleh individu yang berdampak pada kinerja orang lain atau organisasi. Maka dari itu, bukan hal yang asing jika penggunaan internet yang tidak berkesinambungan dengan pekerjaan menyebabkan penurunan produktivitas dalam organisasi. Salah satu contoh, pegawai lebih memilih untuk menghabiskan waktu kerja dengan memanfaatkan fasilitas internet seperti browsing situs hiburan, belanja online, mengunduh file, serta memposting ke news groups (Blanchard & Henle, 2008). Menurut Doorn (2011) cyberloafing merupakan penggunaan internet yang dilakukan untuk keperluan pribadi selama bekerja yang mengarah pada Non-Work Related atau Computing. Penggunaan Istilah cyberloafing pertama kali dikemukakan oleh Tony Cummins pada tahun 1995. Seorang pegawai disebut melakukan cyberloafing ketika mereka mengakses internet diluar keperluan kerja selama 51 menit sampai 1 jam dalam 1 hari (Lim dan Chen, 2009). Dan jika di akumulasikan dalam 1 (satu) bulan ada 20 jam waktu terbuang untuk mengakses internet yang tidak memiliki hubungan dengan pekejaan (Antariksa, 2012)

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa cyberloafing adalah suatu perilaku menyimpang yang dilakukan pegawai dengan memanfaatkan akses internet yang diberikan oleh organisasi untuk tujuan di luar pekerjaan selama jam kerja seperti mengakses hiburan, belanja online, mengirim pesan, dan mengunduh file.

Blanchard dan Henle (2008) membagi cyberloafing berdasarkan intensitas perilakunya menjadi dua bagian yaitu :

1. Minor Cyberloafing

Yaitu tipe pegawai yang terlibat dalam berbagai bentuk perilaku penggunaan internet umum yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Seperti mengirim pesan pribadi, belanja online, memperbarui status di jejaring sosial (facebook, twitter, Instagram) mengunjungi situs olahraga. Meskipun demikian, minor cyberloafing tidak dapat dikatakan menimbulkan dampak yang serius bagi instansi.

2. Serious Cyberloafing

yaitu tipe pegawai yang terlibat dalam segala jenis perilaku penggunaan internet yang membahayakan karena melanggar norma seperti berjudi secara online, mengelola akun pribadi, dan mengakses situs pornografi. Jenis cyberloafing ini memiliki dampak yang sangat serius bagi instansi karena dapat

(19)

menimbulkan kerugian yang cukup serius bagi instansi tersebut seperti pelanggaran Undang-Undang ITE.

Lim dan Chen (2009) membagi cyberloafing menjadi dua aktivitas, yaitu : 1. Browsing Activities

Merupakan aktivitas cyberloafing yang dimana para pegawai menggunakan fasilitas internet untuk browsing selama jam kerja dengan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan seperti menerima atau mengirim pesan, mengunjungi situs jual beli online. Mengunjungi situs berita, mengunduh file pribadi hingga bermain game online.

2. Emailing Activities

Merupakan aktivitas cyberloafing dimana para pegawai menggunakan email ditempat kerja untuk melakukan kegiatan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Seperti menerima, memeriksa dan mengirim email.

Menurut Ozler & Polat (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya cyberloafing,

antara lain faktor individual, faktor organisasi, dan faktor situasional. 1. Faktor Individual

Terdapat beberapa atribut yang dimiliki setiap orang, yaitu persepsi dan sikap, sifat pribadi yang mencakup rasa malu, kesepian, isolasi, kontrol diri, locus of control dan harga diri, kebiasaan dan adiksi internet, faktor demografis, keinginan untuk terlibat, norma sosial dan kode etik personal. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi cybrloafing di tempat kerja serta penggunaan internet yang berlebihan pada karyawan. Beberapa faktor yang mempengaruhi cyberloafing adalah :

a) Persepsi dan Sikap

Individu yang memiliki persepsi dan sikap positif terhadap computer akan cenderung menggunakan computer untuk urusan pribadi (Liberman, Seidman, McKenna & Buffardi, 2011). Persepsi bahwa internet berdampak baik untuk pekerjaan menjadikan pegawai lebih cenderung melakukan cyberloafing (Vitak, Course & LaRose, 2011). Selain itu, pandangan pegawai tentang cyberloafing di dalam organisasi menyebabkan pegawai yang terlibat cyberloafing minor menganggap bahwa hal tersebut bukanlah

perilaku yang mneyimpang (Blanchard & Henle, 2008) b) Kepribadian

Perilaku menggunakan internet telah mencerminkan berbagai macam macam motif psikolog (Johnson & Culpa, 2007).

(20)

Kepribadian seperti shyness, loneliness, isolation, self control, self esteem, dn locus of control dapat berpengaruh terhadap pola penggunaan internet. Individu yang pemalu cenderung melakukan cyberloafing, sedangnkan individu yang memiliki kepercayaan rendah dan berorientasi eksternal kurang mampu mengontrol penggunaan internet (Ozler & Polat, 2012).

c) Kebiasaan dan Kecanduan Internet

Pegawai yang terbiasa menggunaka internet atau kecanduan internet memilikipeluang yang lebih besar untuk melakukan cyberloafing atau penggunaan internet (Vitak, Crouse & LaRose, 2011).

d) Demografis

Tingkat penghasilan, Pendidikan, dan gender merupakan prediktor cyberloafing. Individu yang berpendidikan tinggi cenderung menggunakan internet ntuk mengakses informasi yang berhubungan dengan pekerjaan. Sedangkan individu berpendidikan rendah cenderung menggunakan internet untuk bermain atau berbelanja. Selain itu, usia dan gender juga dapat berpengaruh terhadap frekuensi dan tipe cyberloafing. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Garret dan Danziger (2008) yang mengatakan bahwa jenis kelamin pria dan di usia yang lebih muda cenderung melakukan cyberloafing. pria lebih sering menggunakan internet untuk bermain game online sedangkan wanita lebih sering menggunakan internet untuk komunikasi online (Lim & Chen, 2012).

e) Intensi, Norma Sosial dan Etika Pribadi

Intensi dianggap sebagai prediktor perilaku yang baik. Namun, penyalahgunaan internet adalah perilaku yang dikontrol norma-norma perusahaan sehingga tindakan tersebut cenderung dilakukan karena adanya dorongan dari luar (Woon & Pee, 2004). Beberapa penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara norma sosial dan intensi di mana kepercayaan normative yang dimiliki oleh seseorang dapat mengurangi intensi cyberloafing (Vitak et al., 2011). Selain itu, Ugrin et al. (2007) menemukan fakta bahwa pegawai yang memiliki jabatan yang tinggi lebih berpeluang melakukan cyberloafing untuk menghilangkan stress akibat pekerjaan. Sama halnya dengan Garret dan Danziger (2008) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki jabatan yang tinggi seperti manajer memiliki tingkat Pendidikan yang lebih tinggi dan individu dengan otonomi kerja yang lebih besar

(21)

lebih cenderung melakukan cyberloafing. 2. Faktor Organisasi

Faktor organisasi merupakan faktor yang datang dari dalam perusahaan dimana pegawai tersebut bekerja, faktor ini meliputi ada atau tidaknya sebuah peraturan mengenai penggunaan internet pada saat jam kerja sedang berlangsung, kemudian ada atau tidaknya konsekuensi dari kantor atau instansi jika terjadi cyberloafing ditempat kerja, norma sosial

dalam instansi, memberikan informasi kepada pegawai tentang pengunaan internet di tempat kerja dan berbagai karakteristik pekerjaan yang dimiliki oleh para pegawai itu sendiri. Beberapa faktor organisasional yang menyebabkan cyberloafing adalah : a) Larangan Penggunaan Internet

Peraturan yang diterapkan oleh sebuah organisasi menegnai penggunaan internet dan mekanisme monitoring yang bertujuan untuk meminimalisir penggunaan internetpada pegawai di saat jam kerja dapat memengaruhi cyberloafing (Garret & Danziger, 2008; Ugrin et al., 2007). Hukuman yang diberikan pada karyawan yang melakukan perilaku menyimpang dapat mengurangi kecenderungan perilaku cyberloafing (Vitak et al., 2007)

b) Dukungan Manajerial

Faktor ini berkaitan dengan belief atau rasa percaya pegawai terhadap penggunaan teknologi yang dipengaruhi oleh dukungan manajer, sehingga, pegawai menganggap hal tersebut dapat digunakan untuk keperluan bisnis ataupun pribadi yang termasuk dalam cyberloafing (Garret & Danziger, 2008; Vitak et al., 2011; Liberman et al., 2011).

c) Sikap Kerja

Sikap kerja seseorang terhadap pekerjaannya berhubungan dengan kepuasan di tempat kerja. Liberman et al. (2011) mengatakan bahwa sikap kerja berkemungkinan memengaruhi cyberloafing sebagai respon emosional terhadap pekerjaan. Pegawai yang memiliki sikap kerja yang kurang baik cenderung melakukan perilaku menyimpang atau cyberloafing(Garret & Danziger, 2008).

3. Faktor Situasional

Perilaku menyimpang dalam penggunaan internet biasanya terjadi saat pegawai memiliki akses internet di tempat kerja yang dipengaruhi oleh faktor situasional serta memediasi perilaku ini. (Weatherbee, 2010). Jarak fisik antara atasan dengan pegawai

(22)

dapat berpengaruh terhadap cyberloafing melalui persepsi tentang kontrol organisasi. Selaiin itu, ada 8 faktor situasional yang berkontribusi dalam penggunaan internet di luar pekerjaan (Kay et al. 2009) yaitu kesempatan dan akses, anonimitas, kemampuan, pelarian, kenyamanan, rasa malu, penerimaan sosial dan durasi kerja.

Berdasarkan teori diatas hal yang akan menjadi dasar dari penelitian ini adalah menggunakan jenis minor cyberloafing dikarenakan adanya kesesuaian kegiatan yang akan dilakukan oleh subjek. Selain itu menurut faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, kesepian termasuk dalam faktor individual yang dapat memicu terjadinya cyberloafing.

Dampak Cyberloafing

Dampak dari cyberloafing jika dilihat dari sisi positifnya dapat meningkatkan kreatifitas pegawai akan tetapi sebaliknya jika dilihat dari sisi negatifnya maka dapat menurunkan produktivitas seperti melalaikan tugasnya dan tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Degradasi kinerja sistem computer dan jaringan internet dalam organisasi yang berlebihan berakibat pada kelebihan sumber daya komputasi dan berefek pada kecepatan internet. Selain itu munculnya

masalah criminal dan hokum lain seperti pelecehan, pelanggarana hak cipta, dan lalai dalam pekerjaan (Blanchard & Henle, 2008).

Kesepian dan Cyberloafing

Kesepian merupakan suatu keadaan menyedihkan yang dialami seseorang ketika hubungan sosialnya secara signifikan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, baik secara kualitas ataupun kuantitas Perlman dan Peplau (1984). Kuantitas hubungan sosial yang kurang terjalin apabila individu memiliki ruang lingkup yang kecil, dan tidak mampu untuk berkomunikasi dengan baik cenderung akan mempengaruhi munculnya kesepian (Sears, et al., 1985). Terdapat dua keadaan yang memicu terjadinya kesepian, yang pertama yaitu saat individu mengalami kejadian yang memicu munculnya perasaan tersebut seperti kurang kasih saying orang tua. Keadaan kedua yaitu faktor yang mendahului dan mempertahankan rasa kesepian dalam jangka waktu yang cukup lama seperti tidak adanya pasangan atau teman dekat. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan pasti membutuhkan bantuan dari orang lain seperti halnya pegawai dan atasan yang saling membantu satu sama lain dalam menyelesaikan pekerjaannya.

(23)

Dayakisni & Hudaniyah (2003) mengungkapkan bahwa kesepian pada umumnya berkorelasi dengan kecemasan sosial dan depresi. Jika dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian lebih memiliki pendapat yang negatif terhadap orang lain, kurang memiliki keterampilan sosial dalam berinteraksi dengan orang lain, kurang responsif secara sosial dan dalam beberapa kondisi orang yang mengalami kesepian menimbulkan reaksi- reaksi yang negatif terhadap orang lain. Kesepian tidak hanya berpengaruh pada bagaimana seseorang memandang orang lain, tetapi juga berpengaruh terhadap bagaimana ia memandang dirinya sendiri atau konsep diri.

Blanchard & Henle (2008) mendefinisikan cyberloafing sebagai penggunaan internet dan email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai secara sengaja pada saatjam kerja. Ozler dan Polat (2012) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya cyberloafing yaitu faktor individual, yang meliputi kesepian, isolation, shyness, self control, locus of control dan harga diri. Kemudian faktor yang kedua yaitu faktor organisasi yang mencakup pembatasan penggunaan internet, hasil yang diharapkan, dukungan manajerial, persepsi rekan kerja terhadap cyberloafing, sikap kerja pegawai dan karakteristik pekerjaan. Adapun faktor ketiga ialah faktor situasional yang mencakup jarak fisik antara pegawai dengan atasan Berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan cyberloafing yaitu kesepian. Fokus dalam penelitian ini yaitu kesepian yang termasuk ke dalam salah satu komponen dalam faktor individual. Deaux et, al (1993) menyebutkan bahwa kesepian merupakan suatu pengalaman subjektif, yang tergantung pada intrpretasi individu terhadap berbagai situasi dan keadaan. Ada saatnya seseorang mengalami kesepian meskipun berada dalam keramaian, sementara yang lain tidak mengalami kesepian meskipun orang tersebut dalam keadaan sendiri. Oleh karena itu kesepian akan muncul dengan sendirinya sesuai persepsi individu masing-masing mengenai keadaan diri dan lingkungannya. Menurut Park (2005) yang telah melakukan penelitian pada 157 subjek di Seoul mendapatkan hasil bahwa terdapat beberapa penyebab kecanduan telepon genggam diantaranya kesepian, mencari hiburan, kebiasaan, mencari kenyamanan, mengalihkan masalah, dan menjaga hubungan dengan orang lain. Seseorang akan cenderung mencari pengalihan dari rasa sepi atau tidak nyaman yang dialaminya. Beberpa jenis kegiatan yang dapat dilakukan seseorang untuk mengalihkan diri dari rasa sepi yang dialaminya, salah satunya adalah menggunakan telepon genggam. Apabila hal tersebut dilakukan pegawai pada saat jam kerja maka disebut dengan cyberloafing.

(24)

Cyberloafing

Kesepian

Kerangka Berfikir

Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kesepian dengan

cyberloafing pada pegawai ASN

- Menutup diri dari lingkungan - Menjaga jarak

- Kurang percaya diri

- Bermain gadget - Belanja online

- Aktivitas emailing (messaging, browsing situs huburan dan memperbarui status di jejaring sosial)

keadaan tidak menyenangkan, yang dialami seseorang seperti kesedihan yang diakibatkan oleh kegagalan atau kekurangan dalam menjalin hubungan sosial, baik secara kualitas maupun kuantitas.

(25)

Metode Penelitian Rancangan Penelitian

Penelitian kali ini menggunakan metode penelitian kuantitatif korelasional, yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variable yang diteliti (Arifin, 2009). Alasan peneliti menggunakan jenis penelitian korelasional karena sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui adanya hubungan antara kesepian dan cyberloafing.

Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian kali ini adalah Aparatur Sipil Negara. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 150 pegawai, yang telah disesuaikan berdasarkan pertimbangan waktu dan kesedian sampel dalam penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, dimana subjek akan diambil sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya agar data yang diperoleh lebih representatif (Sugiyono, 2011). Adapun karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Berusia 25-38 tahun

2. Bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara 3. Sudah bekerja minimal 1 tahun

Variable dan Instrumen Penelitian :

Terdapat dua variable yang diuji, yaitu variable terikat (Y) atau dependent variable yang berupa cyberloafing dan variabel bebas (X) atau independent variable yang berupa kesepian. cyberloafing merupakan perilaku menyimpang pegawai yang dilakukan pada saat jam kerja dengan memanfaatkan fasilitas internet yang digunakan untuk keperluan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Kesepian adalah keadaan tidak menyenangkan, yang dialami seseorang seperti kesedihan yang diakibatkan oleh kegagalan atau kekurangan dalam menjalin hubungan sosial, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Terdapat dua instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala untuk mengukur cyberloafing dan skala untuk mengukur kesepian. Skala yang digunakan untuk mengukur cyberloafing berdasarkan teori dari Blanchard dan Henle (2008) yang terdiri dari 22 item. Disusun berdasarkan dua tipe yaitu minor cyberloafing dan serious cyberloafing yang kemudian dimodifikasi oleh Ardilasari (2017), yang dimana skala tersebut terdiri dari 17 item pertanyaan dengan nilai crobach alpha sebesar 0.835.

(26)

marwah berdasarkan teori dari Russel (1996) yaitu skala UCLA Loneliness Scale, yang dimana skala tersebut terdiri dari 20 item pertanyaan dengan nilai crobach alpha sebesar 0,89-0.94. Skala yang digunakan pada kedua instrumen diatas adalah skala likert. Skala likert merupakan skala yang terdiri dari item yang mendukung konsep (favorable) dan item yang tidak mendukung konsep (unfavorable). Dimana untuk item favorable jawaban sangat sering (SS) diberi nilai 4, sering (S) diberi nilai (3), pernah (P) diberi nilai 2, tidak pernah (TP) diberi nilai 1, begitupun sebaliknya pada item unfavorable.

Kemudia berdasarkan hasil try out didapatkan nilai reabilitas Cronbach alpha variabel kesepian sebesar 0.960 dengan rentang validitas item 0.328-0.912. pada variabel kesepian terdapat 19 item yang valid dari total 20 item. Adapun nilai reabilitas Cronbach alpha pada variabel cyberloafing yaitu sebesar 0.903 dengan rentang validitas item 0.318-0.819. pada variabel cyberloafing terdapat 14 item yang valid dari total 17 item.

Tabel 1. Indeks validitas dan reliabilitas alat ukur Kesepian dan

Cyberloafing

Kesepian Item valid Item tidak valid

Kepribadian 9, 16, 17 Keinginan sosial 1, 2, 3, 5, 6, 10, 15, 18, 19, 20 8 Depresi 4, 7, 11, 12, 13, 14 Cyberloafing Minor cyberloafing 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 14 10 Serious cyberloafing 13,16 15, 17

Prosedur dan Analisis Data

Prosedur penelitian ini terdiri dari tigia tahapan yaitu, tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap analisa data. Tahap persiapan yaitu tahap dimana peneliti mencari fenomena yang akan diteliti, menelaah lebih dalam permasalahan yang ada, menentukan topik serta variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Pada tahap ini peneliti juga menentukan subjek dan jumlah subjek yang akan digunakan dalam uji coba skala dengan kriteria yang sudah ditentukan.

Tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Tahap ini peneliti mulai untuk melakukan penyebaran skala untuk kedua variabel yaitu, cyberloafing dan skala kesepian pada 150 subjek Aparatur Sipil Negara dengan menggunakan google form lalu melakukan kontrol terhadap responden secara langsung dan berkala untuk menyesuaikan kriteria responden dan kontrol melalui google form.

(27)

Prosedur penelitian pada tahap ketiga yaitu analisis data dan pembahasan. Setelah dilakukan penyebaran skala, didapatkan data yang telah dikumpulkan dan kemudian dilakukan pemberian skor/skoring pada kedua skala tersebut. Kemudin, skor dari setiap item diinput kedalam Microsoft Excel 2010. Lalu, data yang diperoleh di excel diproses menggunakan program SPSS (Statistical

Program for Social Science) 21 for windows. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi. Uji korelasi merupakan analisa data yang menyatakan hubungan linear antara dua variabel dimana salah satu variabel dianggap dapat mempengaruhi variabel lain (Suyono, 2018).

HASIL PENELITIAN Tabel 2. Deskripsi Subjek Penelitian

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa pegawai ASN sebagai partisipan penelitian ini berusia 25-38 tahun. Pegawai ASN yang berusia 25-31 tahun memiliki frekuensi sebesar 64 dengan nilai presentase (49%), sedangkan pegawai yang berumur 32-38 memliki frekuensi sebesar 86 dengan nilai presentase (51%). Sebanyak 150 orang (100%) bekerja sebagai ASN dan sudah bekerja lebih dari 1 tahun.

Kategori Frekuensi Presentase

Usia 25-31 64 49% 32-38 86 51% Total 150 100% Pekerjaan ASN 150 100% Swasta 0 0% Lama bekerja

Lebih dari 1 tahun 150 100%

(28)

Tabel 3. Kategori Variabel Penelitian

Frekuensi Presentase Kategori Interval Mean SD

Kesepian 33 22.0% Rendah <35.73 45.72 9.983 95 63.3% Sedang 35.73-55.70 22 14.7% Tinggi >55.70 Cyberloafing 40 26.7% Rendah <31.05 38.09 7.033 87 58.0% Sedang 31.05-45.12 23 15.3% Tinggi >45.12

Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa dari keseluruhan jumlah subjek, sebanyak 33 orang memiliki kesepian yang rendah dengan presentase 22.0%, 95 orang dengan kategori sedang 63.3%, dan 22 orang memiliki kesepian pada kategori tinggi dengan presentase 14.7%. Nilai mean untuk variabel kesepian adalah 45.72 dan standar deviasi sebesar 9.983.

Selanjutnya, dari data tabel 2 didapatkan hasil bahwa subjek yang memiliki cyberloafing rendah sebanyak 40 orang dengan presentase 26.7%, 87 orang dengan kategori sedang sebesar 58.0%, dan 23 orang memiliki cyberloafing pada kategori tinggi dengan presentase 15.3%. Nilai mean dan standar deviasi pada variabel cyberloafing masing-masing sebesar 38.09 dan 7.033.

Tabel 4. Uji Normalitas

Kolmogrov-Smirnov

Sig

Kesepian (x) <0.01

Cyberloafing (y) <0.01

Tabel diatas merupakan hasil uji normalitas dengan menggunakan kolmogrov smirnov untuk meilhat apakah data berdistribusi normal atau tidak. Nilai signifikansi yang didapat yaitu <0.01 yang membuktikan bahwa data berdistribusi tidak normal karena (p <0.05).

Uji hipotesis dilakukan dengan uji korelasi non parametric spearman untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel x (kesepian) dengan variabel y (cyberloafing) yang dibuktikan memalui nilai signifikansi (p). Berdasarkan hasil uji korelasi diketahui bahwa nilai signifikansi (p) antara kesepian dengan cyberloafing yaitu 0.000 (p <0,01) yang berarti terdapat hubungan antara kesepian dengan cyberloqfing dengan nilai korelasi (r) sebesar 0.869. nilai r2 yaitu 0.833 yang berarti

(29)

variabel kesepian memiliki kontribusi sebesar 83.3% terhadap cyberloafing dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain seperti shyness, isolation, self control, locus of control dan harga diri.

DISKUSI

Lim dan Chen (2009) mengungkapkan bahwa cyberloafing adalah kegiatan yang dilakukan para pekerja di dunia maya untuk aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan seperti browsing dan emailing yang dilakukan ditempat kerja selama jam kerja sedang berlangsung dimana aktivitas tersebut dapat mengurangi produktivitas pegawai yang akan mempengaruhi pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya. Faktor individual yang melatarbelakangi terjadinya cyberloafing yaitu shyness, loneliness, isolation, self conttrol dan locus of control (Ozler dan Polat, 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa salah satu fakor individual yang mempengaruhi terjadinya cyberloafing adalah loneliness.

Penelitiana ini bertujuan untuk membuktikan apakah ada hubungan antara kesepian dengan cyberloafing di dunia kerja yang dimana subjek dari penelitian ini yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN). Setelah dilakukannya penelitian dengan 150 subjek, hasil yang didapatkan setelah di uji menggunakan uji korelasi product momen koreleasional spearman didapatkan hasil bahwa hipotesis dari penelitian ini yaitu diterima. Hal ini membuktikan bahwa adanya korelasi positif

antara kesepian dengan cyberloafing. Adanya korelasi ini berarti semakin tinggi kesepian maka semakin tinggi pula cyberloafing. hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Sabrina. N (2019) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara kesepian dengan cyberloafing, serta menunjukkan arah hubungan yang positif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bentuk aktifitas cyberloafing yang dilakukan oleh ASN adalah minor cyberloafing, yaitu penggunaan internet

secara umum pada saat jam kerja. Minor cyberloafing dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi organisasi, seperti penurunan produktifitas kerja serta pekerjaan yang tidak terselesaikan tepat pada waktunya (Blanchard & Henle, 2008).

Berdasarkan hasil dari tabulasi silang antara kesepian dengan usia diketahui bahwa rata-rata responden berada dikategorisasi kesepian yang sedang. Sedangkan padaa variabel cyberloafing juga didapatkan hasil bahwa rata-rata responden berada pada kategorisasi cyberloafing yang sedang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kesepian dan cyberloafing antara ASN yang berusia 25-31 dan 32-38. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Victor dan Yang (2012) yang melakukan penelitian dengan menggunakan rentang

(30)

usia 15-97 tahun dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kesepian dapat terjadi pada setiap rentang usia. Di usia paru baya atau dewasa madya dengan banyak pemicu stress membuat era dewasa madya lebih genting dimana mereka merasa terputus dengan lingkungan dan meningkatkan perasaan kesepian, sedangkan pada dewasa awal dianggap sebagai periode transisi yang menyebabkan prevalensi kesepian juga meningkat (Asghar & Iqbal, 2019). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sabrina, N (2019) juga mendapatkan hasil yang sama yaitu tidak ada perbedaan antara kesepian pada usia 20-40 dan 40-60 tahun.

Selanjutnya penelitian ini juga didukung oleh Ardilasari (2016) yang mengatakan bahwa salah satu cara melepas penat saat merasa bosan dengan pekerjaan yaitu dengan melakukan cyberloafing. akses internet yang diberikan oleh instansi atau organisasi kepada pegawainya serta adanya fasilitas laptop dan komputer membuat pegawai dapat melakukan cyberloafing dengan leluasa tanpa ketahuan oleh atasan. Liberman (2011) juga mengatakan bahwa berbagai perilaku menyimpang di tempat kerja seperti cyberloafing dianggap sebagai respon emosional terhadap pekerjaan yang membuat frustasi, sehingga sikap kerja dapat berpengaruh terhadap seseorang untuk melakukan cyberloafing. Selain faktor individual terdapat juga faktor organisasi dan faktor situasional. Faktor organisasi yang meliputi kepuasan kerja dan karakteristik pekerjaan juga ikut mempengaruhi kemungkinan munculnya cyberloafing (Ozler & Polat, 2012). Sedangkan faktor lainnya yaitu faktor situasional seperti tersedianya fasilitas dari organisasi yang memungkinkan terjadinya cyberloafing pada pegawai. Jarak fisik antara pegawai dengan atasan juga dapat mempengaruhi terjadinya cyberloafing pada pegawai.

Kim, Larose dan Peng (2009) juga mengatakan bahwa individu yang mengalami kesepian cenderung lebih memili untuk berinteraksi secara online, karena individu tersebut merasa bahwa komunikasi online mungkin relatif kurang beresiko dan lebih mudah dibandingkan dengan komunikasi tatap muka, karena ketika berkomunikasi secara online individu dapat berinteraksi secara anonim. Individu yang kesepian merasa bahwa dirinya dapat berinteraksi dengan orang lain serta mampu untuk mengekspresikan dirinya lebih baik secara online dibandingkan dengan interaksi yang dilakukan secara langsung. Wakhidah & Adiyanti (2017) juga mengatakan bahwa seseorang yang sedang mengalami kesepian akan cenderung bermin gadget dan menggunakan internet lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami kesepian.

(31)

Menarik diri dari lingkungan merupakan salah satu cara seseorang untuk focus terhadap satu hal saja, namun jika hal itu terjadi secara terus menerus atau secara konsisten akan berdampak buruk pada hubungan sosial yang dimilikinya. Hal tersebut menyebabkan seseorang mulai bertindak acuh tak acuh, egois dan cenderung memiliki empati yang kurang. Selain itu jika seseorang secara terus menerus menarik diri dari lingkungan sosialnya dapat berakibat pada munculnya perasaan tidak ingin berkumpul bersama rekan kerjanya serta cenderung menghindari kontak sosial dengan orang lain disekitarnya. Begitu pula dengan berkurangnya produktifitas kerja, dimana seseorang akan merasa malas dan cenderung menunda-nunda pekerjaan atau dengan kata lain prokrastinasi dikarenakan terlalu asyik menggunakan gadget atau komputernya untuk mengakses internet dan berkirim pesan. Perasaan nyaman dan senang yang muncul pada saat seseorang melakukan browsing dan emailing membuat pegawai terjebak dalam durasi waktu yang tidak sebentar sehingga kebanyakan dari mereka melupakan serta mengabaikan tugas-tugas yang herus mereka selesaikan. Ketika penurunan produktifitas kerja terjadi pada pegawai maka dapat mengakibatkan kerugian pada organisasi.

Kelebihan dari penelitian ini yaitu meneliti tentang ASN yang belum pernah diteliti sebelumnya dengan menggunakan dua variabel yaitu kesepian dan cyberloafing dengan demikian hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan baru dalam keilmuan psikologi terutama dalam bidang industri dan organisasi. Selanjutnya kekurangan dari penelitian ini adalah menggunakan instrumen penelitian self report yang memungkinkan terjadinya bias dalam pengisian instrumen penelitian. Selain itu terdapat fakta baru yang di dapatkan dari hasil penelitian ini yaitu pegawai ASN di Indonesia cenderung tidak malu untuk menggunakan akun pribadi dalam bersosial media. Hal tersebut dibuktikan melalui jawaban responden pada item nomor 15 skala cyberloafing “saya menggunakan akun milik orang lain tanpa izin”, dimana seluruh responden memilih jawaban tidak pernah.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa hipotesis pada penelitian ini diterima yaitu terdapat hubungan secara positif antara kesepian dengan cyberloafing. Semakin tinggi kesepian maka semakin tinggi pula cyberloafing pada ASN. Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan rentang usia pada individu untuk melakukan cyberloafing, dengan kata lain ASN yang berusia dewasa awal dan ASN yang berusia dewasa madya masing-masing memiliki nilai cyberloafing yang rendah. Minor cyberloafing menjadi aktifitas cyberloafing yang dilakukan oleh ASN pada penelitian

(32)

ini.

Implikasi dari penelitian yang telah dilakukan adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran bagi instansi maupun pegawai. Pegawai perlu memahami dengan benar tentang dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh cyberloafing dan dapat menggunakan internet sesuai dengan

kebutuhan serta hendaknya pegawai juga dapat berkomunikasi dengan baik bersama rekan kerjanya. Selain itu instansi/organisasi juga sebaiknya melakukan seminar ataupun pelatihan yang bertujuan untuk memperkenalkan budaya kerja, nilai-nilai organisasi serta sanksi yang diberikan oleh instansi/organisasi kepada pegawai yang melakukan cyberloafing. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah mengkaji faktor lain yang dapat mempengaruhi cyberloafing seperti gender atau perbedaan budaya. Selain itu waktu pengambilan data juga harus dipertimbangkan oleh peneliti selanjutnya agar tidak mengganggu pekerjaan yang sedang dilakukan oleh subjek.

Daftar Pustaka

A, Cheryl dan K. Parello. 2008. Loneliness in the School Setting. The Journal of School Nursing 2008. Vol.24

Ardilasari, N., & Firmanto, A. (2017). Hubungan self control dan perilaku cyberloafing pada pegawai negeri sipil. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 5(1), 19-39

Asghar, A., & Iqbal, N. (2019). Loneliness matters: a theoretical review of prevalence in adulthood. Journal of Psychology and Behavioral Science, 7(1), 41-47

Askew, K. L. (2012). The relationship between cyberloafing and task performance and an examination of the theory of planned behaviour as a model if cyberloafing. Dissertation. University of South Florida. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2015). Profil

pengguna internet Indonesia 2014. Jakarta: Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia

Baron, R. A. & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial (Social Psychology). Edisi Kesepuluh.

Jakarta: Penerbit Erlangga

Blanchard, A. & Henle, C. (2008). Correlates of different forms of cyberloafing: The role of norms and external locus of control. Computers in human behavior, 24, 1067-1084.

Budiana, F. A. (2018). Hubungan antara kesepian dengan perilaku cyberloafing pada karyawan.

(33)

Skripsi. Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Deaux, K., Dane, F. C., Wrightsman.L.S., & Sigelman, C.K. (1993). Social psychology in the 90’s.

Pacific grove, California: Brooke/Cole Publishing Co.

De Jong-Gierveld, J. (1987). Developing and testing a model of Loneliness. Journal of Personality and Social Psychology, 53(1), 119–128. https://doi.org/10.1037/0022-3514.53.1.119

Doorn, V. O. N. (2011). Cyberloafing: A multi-dimensional construct placed in a theoretical framework. Department industrial engineering and innovation sciences eindhoven University of Technology, Unpublished Master Thesis, Eindhoven: Netherlands. Garrett, R. Kelly and James N., Danziger (2008), “Disaffection or

Expected Outcomes: Understanding Personal Internet use During Work”, Journal of Computer-Mediated Communication, Vol.13, pp. 937–958.

Henle, C. A.,& Kedharnath, U. (2012). Cyberloafing in the Workplace Encyclopedia of Research on Cyber Behaviour, 1, 560-573

Hidayati, D. (2015). Self compassion and loneliness Jurnal ilmiah psikologi terapan, 3, (1), 154- 164.

Jauhar, J. A. (2019). Hubungan self esteem dengan loneliness pada santri baru madrasah Aliyah pondok pesantren mambaus sholihin gresik. Skripsi. Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Johnson G. M. and A., Culpa, (2007), “Dimensions of Online Behavior: Toward a User Typology”, Cyberpsychology and Behavior, Vol. 10, No. 6, pp. 773-779.

Kay, Bart, Johnson,Y., Chern,A., & Kangas,A.H. (2009), “Cyberloafing: a

modern workplace phenomenon”,

http://www.alanchern.com/documents/Loafing

Kim, J., Larose, R., & Peng, W. (2009). Loneliness as the Cause and the Effect of Problematic Internet Use: The Relationship between Internet Use and Psychological Well-Being. Cyberpsychology & Behavior, Vol.12, No.4.

Lim, V.K.G. (2002). The IT way of loafing on the job: Cyberloafing, neutralizing, and organizational justice. Journal of Organizational Behavior, 23, 675-694.

(34)

Workplace: Gain or Drain on work?”, Behaviour and Information Technology, Vol.31, No.4, pp.343-353

Liberman, Benjamín and Gwendolyn Seidman, Katelyn Y.A. McKenna, Laura E. Buffardi (2011), “Employee Job Attitudes and Organizational Characteristics as Predictors of Cyberloafing”, Computers in Human Behavior, Vol.27, pp. 2192–2199.

Martin, Janet M. & Schumacher, Phyllis. 2003. Loneliness and social uses of the Internet.

Department of Psychology, Bryant College

Miftah Thoha, 1999, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Jakarta, Kencana Press, hlm.52

Myers,. G. (1996). Social Psychologycal (5th ed).Michigan: The McGraw-Hill Companies Inc Nugroho, W., & Muchji, A. (1996). Ilmu budaya dasar. Jakarta: Universitas Gunadarma

Ozler, D. E., & Polat, G. (2012). Cyberloafing phenomenon in

organizations: Determinants and impacts. International Journal of e-Bussiness and eGovernment Studies, 4(2), 1-15.

Peplau, L. A. Dan Perlman D. (1982). Loneliness : A sourcebook of current theory research and therapy. New York ; John Wiley dan Sons

Perlman, D. & Peplau, L. A. (1981) Toward a Social Psychology of Loneliness. Personal Relationships Disorder. London : Academic Press. Hlm. 31-56

Russel, D. W. (1996). UCLA Loneliness Scale (Version 3): Reliability, Validity, and Factor Structure. Journal of Person Assessment, 66, 20-44.

Sabrina, N. (2019). Hubungan antara kesepian dengan cyberloafing pada tenaga perpustakaan di universitas. Skripsi. Banda Aceh:

Universitas Syah Kuala

Sastra Djatmika dan Marsono, 1995, Hukum Kepegawaian di indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm 95

Sears, D. O., Jonathan, L. F, dan L. Anne, P. 2006. Psikologi Sosial Jilid 1 Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif dan r & d. Bandung: Alfabeta. Suyono.(2018). Analisa regresi untuk

(35)

penelitian. Yogyakarta : Deepublish.

Ugrin, Joseph C., J. Michael Pearson and Marcus D., Odom (2008), “Cyber Slacking: Self-Control, Prior Behavior and The Impact Of Deterrence Measures” Review of Business Information Systems, Vol.12, No.1, pp.75-87.

Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

Victor, C. R., & Yang, K. (2012). The prevalence of loneliness among adult: a case study of the united kingdom. The Journal of Psychology, 146(1-2), 85-104

Vitak, Jessica, Julia Crouse and Robert LaRose, (2011), “Personal Internet use at work: Understanding Cyberslacking”, Computers in Human Behavior, Vol.27, pp.1751–1759.

Weatherbee, Terrance G. (2010), “Counterproductive Use of Technology at Work:Information and Communications Technologies and Cyberdeviancy”, Human Resource Management Review, Vol.20, pp. 35-44.

Wright, Sarah & Burt, Christopher & Strongman, Kenneth. (2006). Loneliness in the Workplace: Construct definition and scale development. New Zealand Journal of Psychology. 35.

(36)

LAMPIRAN Lampiran 1. Skala Kesepian dan Cyberloafing

SKALA KESEPIAN IDENTITAS DIRI Nama : Usia : Pekerjaan : Lama Bekerja : PETUNJUK UMUM

Pernyataan berikut sesuai dengan kehidupan sehari-hari yang Anda lakukan di instansi. Terdapat 2 skala yang terdiri dari berapa butir pernyataan. Bagian I terdiri dari 20 item pernyataan dan bagian II terdiri dari 17 item pernyataan. Pada skala bagian I Anda diminta memilih salah satu pernyataan yang telah disediakan dengan memberi tanda silang (X) pada kolom jawaban yang sesuai dengan kondisi Anda saat ini.

Ket : 1 = Tidak pernah 2 = Pernah 3 = Sering 4 = Sangat sering No Pernyataan Tidak

Pernah Pernah Sering

Sangat sering 1 Saya merasa cocok dengan teman sekantor

yang duduk di sebelah saya

2 Saya tidak memiliki teman dekat di kantor 3 Saya jarang bercerita dengan teman sejawat 4 Saya merasa kesepian

5 Saya masuk menjadi bagian dari group pertemanan

6 Saya punya banyak kesamaan dengan orang disekitar

7 Saya merasa tidak dekat dengan satu orangpun, bahkan teman satu kantor 8 Ide yang saya sampaikan tidak ditanggapi

(37)

9 Saya adalah orang yang ramah dan mudah bergaul

10 Saya merasa dekat dengan teman sekantor 11 Saya merasa ditinggalkan

12 Saya merasa hubungan saya dengan teman sekantor tidak berarti

13 Saya merasa tidak ada satupun teman sekantor yang mengerti saya dengan baik 14 Saya merasa terasingkan ketika berada di

kantor

15 Saya mendapatkan bantuan saat saya butuh 16 Saya merasa ada teman sekantor yang benar-

benar mengerti saya 17 Saya merasa malu

18 Saya merasa kesepian saat banyak orang di kantor

19 Saya merasa miliki teman sekantor yang dapat saya ajak bicara saat saya punya masalah

20 Saya merasa memiliki teman sekantor yang dapat dijadikan tempat untuk mengadu

(38)

SKALA CYBERLOAFING IDENTITAS DIRI Nama : Usia : Pekerjaan : Lama Bekerja : PETUNJUK UMUM

Pernyataan berikut sesuai dengan kehidupan sehari-hari yang Anda lakukan di instansi. Terdapat 2 skala yang terdiri dari berapa butir pernyataan. Bagian I terdiri dari 20 item pernyataan dan bagian II terdiri dari 17 item pernyataan. Pada skala bagian I Anda diminta memilih salah satu pernyataan yang telah disediakan dengan memberi tanda silang (X) pada kolom jawaban yang sesuai dengan kondisi Anda saat ini

Ket : 1=Tidak pernah 2 = Jarang 3 = Terkadang 4 = Sering

No PERNYATAAN PILIHAN JAWABAN

Tidak pernah Jarang Terkadang Sering 1 Membuka situs media sosial

baik dari komputer maupun dari gadget.

2 Memeriksa akun email milik pribadi.

3 Menerima email pribadi dan membalasnya.

4 Mengirim email pribadi. 5 Berbelanja online kebutuhan pribadi. untuk 6 Menonton video di social media 7 Membuka situs olahraga

(sepak bola, basket dan lain- lain).

8 Bermain game online. 9 Chatting secara online. 10 Membuka situs investasi atau

(39)

11 Mencari informasi lowongan pekerjaan lain.

12 Mengunduh berbagai file yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.

13 Membuka situs hiburan seperti situs infotainment. 14 Saya menggunakan internet

kantor untuk mendapatkan pemasukan tambahan.

15 Saya menggunakan milik orang lain sepengetahuannya.

akun tanpa 16 Saya mengelola situs atau akun milik pribadi (seperti blog atau website pribadi). 17 Saya bergabung dalam suatu

forum diskusi online di situs tertentu (misalnya, forum bagi pecinta sepeda gowes).

Lampiran 2. Blueprint skala BLUEPRINT KESEPIAN

No Indikator No Item Jumlah

Favorable Unfavorable 1 Kepribadian 17 9, 16 3 2 Keinginan social 2, 3, 8, 18 1, 5, 6, 10, 15, 19, 20 11 3 Depresi 4, 7, 11, 12, 13, 14 - 6 Total 11 9 20

Variabel indikator Item jumlah presentase

favorable unfavorable cyberloafing Minor cyberloafing 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,14 13 76,47% Serious cyberloafing 13,15,16,17 4 23,52% jumlah 17 17 100%

Gambar

Tabel  1.  Indeks  validitas  dan  reliabilitas  alat  ukur  Kesepian  dan  Cyberloafing
Tabel 3. Kategori Variabel Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Motivasi merupakan keinginan kuat yang berasal dari dalam diri sendiri untuk melakukan suatu aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan seperti adanya gaji yang