• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerintah Indonesia dari awal tahun 2006 sedang giat-giatnya berbenah mewujudkan tatakelola Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang lebih baik [1]. Dimulai dengan pembentukan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DeTIKNas), sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam membangun masyrakat Indonesia yang berbasis informasi [2]. Dilanjutkan dengan langkah yang lebih serius yaitu penyusunan Panduan Umum Tata Kelola TIK Nasional, dokumen ini akhirnya diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Kominfo (Permenkominfo) Nomor 41 Tahun 2007. Salah satu point pentingnya adalah muncul gagasan tentang Chief Information Officer (CIO) dan Komite TIK, yang kemudian pembentukkannya menjadi perioritas bagi setiap institusi pemerintah.

CIO Pemerintah atau Government Chief Information Officer (GCIO) merupakan istilah baru hasil adopsi dari jabatan CIO kedalam pemerintahan. Awalnya CIO merupakan eksekutif yang menangani bidang TIK di institusi swasta sedangkan GCIO merupakan eksekutif pada institusi pemerintah [3], jabatan ini memiliki peran strategi mulai dari memimpin penyediaan informasi [4] bagi organisasi melalui pemanfaatan TI dan aspek manajemennya [5], memastikan terlaksananya prinsip-prinsip penyelenggaraan birokrasi dan tata kelola, mendefinisikan kembali tujuan penyelenggaran pemerintahan [6],koordinator dalam perencanaan dan realisasi TIK, melaksanakan tugas rutin operasional dan evaluasinya dalam institusi masing-masing, hingga sebagai penghubung ke satuan kerja lainya termasuk satuan kerja TIK. Puncak hierarkinya bermuara pada CIO Nasional [7]. GCIO diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penyelenggaran pemerintahan, memunculkan kemampuan-kemampuan baru melalui Tata kelola TIK, menciptakan informasi dari berbagai sumber data, sampai pada mendeliver service quality sesuai dengan ekspektasi masyarakat,

(2)

yaitu pelayanan yang akurat, cepat, dan user friendly, sehingga dapat meningkatkan kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah [8], singkatnya CIO bukan peran tunggal namun kombinasi dari berbagai peran pada level strategis sehingga harus melekat pada jabatan struktural yang memiliki kewenangan strategis dan menuntut kompetensi yang mencakup wilayah yang lebih luas dari pada kompetensi untuk posisi kepemimpinan lainnya [9].

TIK sendiri memiliki kemampuan mentransformasi instansi publik, dari birokrasi basis rutinitas yang berfokus pada administrasi menjadi organisasi yang dapat beradaptasi dan belajar, berbasis pengetahuan dan jaringan. Perubahan yang terjadi tidak saja hanya pada front-end, transaksi dan penyampaian pelayanan, namun juga pada back-end, integrasi dan reenginering proses, termasuk koordinasi lintas agensi pemerintah, ini akan berimbas pada berubahnya alur dan cara kerja birokrasi organisasi, sistem pembagian kewenangan pelimpahan kekuasaan atau terpusat, juga perlakuan terhadap informasi, terbuka atau dilindungi. Namun untuk mewujudkan itu TIK perlu didukung kepemimpinan yang kompeten, berkedudukan kuat dalam kelembagaan, memiliki kemampuan untuk membangun strategi dan integrasi TIK, mampu menghadapi penolakan perubahan, berkomitmen memprioritaskan investasi TIK, mengkoordinir koordinasi lintas agensi, dan mempunyai visi kedepan. Banyak negara yang gagal mendeliver program-program e-Government-nya, sebagian besar karna mereka tidak memiliki mekanisme kelembagaan yang kuat, memadai dan mendukung pelaksanaannya yang efektif, evaluasi yang kurang objektif, adaptasi TIK yang parsial, dan mengabaikan pembetukan kelembagaan yang menaungi koordinasi, kebijakan dan regulasi dalam pengembangan e-Government [10].

Pembangunan e-Government merupakan proses yang berkelanjutan, mulai dari penerapan kebijakan pengembangan, perancanaan investasi, inovasi, pembelajaran, sampai pada perubahan manajemen, di mana proses ini harus mendukung tujuan nasional, menciptakan reformasi birokrasi, hingga peningkatan pelayanan publik [10], untuk itu kepemimpinan yang kuat dalam kelembagaan

(3)

adalah syarat mutlak [11]. Best practice yang dapat dirujuk salat satunya adalah Amerika Serikat, GCIO mereka memiliki kedudukan yang kuat didalam agensi masing-masing dan bermuara pada CIO Council, peran dan tugasnya telah diatur regulasi setingkat undang-undang, yaitu didalam Clinger-Cohen Act dan

e-Govenrment Act [10], [12], [13]. Demikian pula dengan Singapore GCIO mereka

adalah badan tersendiri Infocomm Development Autorithy (IDA), memiliki kedudukan dan kewenangan yang kuat dibawah Ministry of Information,

Communication and the Arts (MICA) didukung dengan payung hukum regulasi

yang kuat setingkat undang-undang, yaitu IDA Act [10].

Tingkat Pengembangan e-Government Indonesia dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN masih tergolong rendah. Dari tahun 2003 hingga 2012 peringkat e-Readiness e-Government Indonesia terus meningkat dengan baik, seperti terlihat pada Tabel 1.1. namun Indonesia seperti terjebak dalam Fase Presence, fase kedua dari Roadmap e-Government Indonesia, yaitu fase di mana mematangkan kesiapan. Disaat Indonesia masih sibuk melakukan persiapan, negara-negara ASEAN lainya telah melakukan lompatan besar dalam waktu yang sama [1], hal ini terbukti dengan menurunnya rangking Indonesia menjadi ke-106 (seratus enam) dalam survey e-Government United Nations (UN) [12], [13], dan dalam survey International E-Government Rangking 2014 Universitas Waseda Indonesia hanya menempati peringkat ke-12 (dua belas) dari 19 (sembilan belas) negara regional Asia Pacific [14], seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1

Tabel 1.1 Ranking e-Government Readines ASEAN [1]

Negara 2003 2008 2010 2012 Singapura 7 23 11 10 Malaysia 43 34 32 40 Thailand 46 64 76 92 Filiina 41 66 78 88 Brunei Darusalam 73 87 68 54 Vietnam 105 91 90 83 Indonesia 96 106 109 97 Kamboja 128 139 140 155 Myanmar 129 141 141 160 Laos 147 156 151 153 Timor Leste 144 155 162 17

(4)

Survey Peringkat e-Government Indonesia (PeGI) yang dilakukan oleh Kementerian Informasi dan Informatika Indonesia mengambarkan lebih jelas tentang tingkat perkembangan e-Government Indonesia. PeGI memiliki lima dimensi assesment : Kebijakan; Kelembagaan; Infrastruktur; Aplikasi; dan Perencanaan [2]. Kelima dimensi ini merupakan keyword utama dari peran GCIO [15]–[17], sehingga kondisi ini juga mencerminkan kinerja dari GCIO Indonesia, seperti yang terlihat pada Gambar 1.1 Diagram Pie PeGI 2014, dari kelima dimensi tersebut untuk tingkat provinsi rata-rata presentase implementasinya kurang dari 50% (lima puluh persen) [2], di mana dimensi kelembagaan memiliki tingkat implemetasi terendah, diagram lengkap persentase PeGI tingkat Provinsi terlampir.

Gambar 1.1 Diagram Pie Dimensi Kelembagaan [2]

Dimensi ini di assesment dengan melihat evaluasi terhadap empat indikator, yaitu [2]:

1. Kelengkapan struktural organisasi untuk menjalankan fungsi dan tata kelola TIK.

2. Kelengkapan dokumen rumusan tugas dan fungsi.

3. Kelengkapan unit kerja dan aparatur yang mendukung pemanfaat dan pengembangan TIK.

4. Kewenangan menjalankan tugas dan fungsi, pengedalian, pengawasan, pengembangan dan implementasi TIK.

Hal ini menunjukan Indonesia harus membenahi kelembagaanya, menempatkan GCIO pada posisi tepat, sehingga memberikan kewenangan yang kuat untuk

(5)

menjalankan perannya sebagai ujung tombak pengerak e-Government.

Permasalahan yang timbul dalam usaha melaksanakan prioritas pembentukan GCIO di pemerintahan Indonesia adalah belum adanya rancangan yang baku mengenai kedudukan GCIO didalam struktur Pemerintahan Indonesia, salah satu permasalahan krusial yang muncul adalah tiap institusi pemerintah menyusun rancangan kedudukan GCIO-nya masing-masing, berdasar kondisi

existing dan kebutuhan yang dipandang perlu oleh tiap institusi itu sendiri,

sehingga peran strategis dan koordinasi lintas sektoral GCIO sulit terwujud, di mana koordinasi lintas sektor merupakan point penting dalam administrasi publik guna mewujudkan kualitas pelayaanan yang lebih baik. Kondisi ini akan menghasilkan rancangan kedudukan CIO yang beragam, berbeda-beda untuk setiap instansi, yang tentunya lebih menitik beratkan pada institusi masing-masing, seperti pada Kota Pekalongan, Walikota dan Wakil Walikotanya ditunjuk sebagai CIO-nya, kemudian ditunjuk pula Sekretaris Daerah sebagai CIO hariannya, berdasarkan Keputusan Walikota Nomor 020/035 Tahun 2011 tentang Pembetukan CIO dan Komite TIK Kota Pekalongan [18], [19].

Keseragaman kedudukan GCIO dapat memberikan pengaruh positif terhadap kemudahan koordinasi lintas instansi, baik koordinasi vertikal maupun koordinasi horizontal [20] yang diharapkan bermuara pada CIO Nasional. Untuk itu diperlukan rancangan kedudukan dari GCIO dalam struktur Pemerintahan Indonesia yang lebih menyeluruh, dan dapat mengakomodir semua kepetingan dari instansi masing-masing namun tetap merangkum kepentingan nasional sehingga dipastikan penggunaan TIK benar-benar mendukung tujuan penyelenggaraan pemerintahan demi terlaksananya Good Governance dan terwujudnya puncak dari hierarki struktur tata kelola TIK yang bermuara pada keberadaan CIO Nasional, seperti yang digagas pada Panduan Umum Tata Kelola TIK Nasional.

1.2. Perumusan masalah

Dari uraian latar belakang dapat ditarik sebuah rumusan masalah yaitu belum adanya rancangan baku mengenai kedudukan GCIO didalam struktur

(6)

pemerintahan Indonesia, yang dapat memberikan kewenangan kuat bagi GCIO untuk melaksanakan peran dengan baik, sehingga tiap institusi pemerintah menyusun rancangan kedudukan GCIO-nya masing-masing, berdasar kondisi

eksisting dan kebutuhan yang dipandang perlu oleh tiap institusi itu sendiri dan

mengakibatkan peran yang bersifat strategis dan lintas sektoral sulit terwujud.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rancangan usulan kedudukan GCIO dalam struktur pemerintahan Indonesia. Dengan cara mengidentifikasi peran umumnya, yang kemudian dituangkan kedalam struktur pemerintahan dengan kewenangan yang memungkin untuk melaksanakan peran-peran tersebut dengan baik.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pemerintah Indonesia secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan dalam menyusun standarisasi kedudukan GCIO dalam struktur pemerintahanya, sehingga GCIO mampu melaksanakan perannya dengan maksimal dalam mewujudkan dan meningkatkan pengembangan e-Government Indonesia.

2. Bagi instansi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sebagai panduan dalam realisasikan pembentukan GCIO pada instansinya masing-masing, yang kedudukannya memberikan kewenangan lebih menyeluruh, berperan lebih optimal baik dalam organisasi itu sendiri dan juga bersinergi dalam merealisasikan flagship nasional dan bermuara pada

Gambar

Tabel 1.1 Ranking e-Government Readines ASEAN [1]
Gambar 1.1 Diagram Pie Dimensi Kelembagaan [2]

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

“Kecuali mengenai Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya, hukum Syarak dan undang-undang diri dan keluarga bagi orang yang menganut agama Islam,

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Berdasarkan hasil seleksi Panitia Rekrutmen Tenaga Pendamping LKK Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Koperasi dan Usaha Mikro Kota Madiun Tahun

Hasil survei menunjukkan bahwa setelah dilakukan sosialisasi dan aplikasi pelepasan jantan mandul ke rumah-rumah masyarakat di lokasi penelitian, sebagian besar masyarakat

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sidoarjo mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi