Modul ke:
Fakultas
Program Studi
PERPAJAKAN INTERNASIONAL
Metode penhindaran pajak berganda berdasarkan
Perjanjian internasional dan ketentuan UU PPh
Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA
EKONOMI
AKUNTANSI
POKOK-POKOK BAHASAN
1. Metode Penghindaran Pajak Berganda
Unilateral, Bilateral, Multilateral.
2. Metode Penghindaran pajak berganda secara
UU PPh.
I. METODE PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
Pengantar:
Dalam
rangka
mengurangi
atau
menetralisir
dari
kemungkinan pengenaan pajak berganda sebagai akibat dari
timbulnya konflik, maka ada beberapa metode yang bisa
dilakukan menurut para ahli seperti
Soemitro yang kutip oleh
Prof.Dr. Safri Nurmantu, M.S
yaitu seperti metode Unilateral,
Bilateral dan Multilateral berupa pembebasan/ pengecualian,
Kredit Pajak dan metode lainnya.
Tujuan P3B:
P3B dimaksudkan terutama untuk menghilangkan pajak berganda (double
tax). Pajak berganda ini timbul karena dua negara mengenakan pajak atas
penghasilan yang sama.
Ketentuan-ketentuan dalam P3B yang dimaksudkan untuk mencegah
pengenaan pajak berganda ini misalnya:
•
Ketentuan untuk menyelesaikan kasus dual residence di mana
seseorang atau badan diakui sebagai subjek pajak dalam negeri (resident
tax person) oleh dua negara yang berbeda. Aturan ini dikenal dengan
istilah Tie Breaker Rule yang dicantumkan dalam Pasal 4 ayat (2) P3B.
Selain untuk mencegah pengenaan pajak berganda, P3B juga dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya:
•
Penghindaran pajak (tax avoidance).
•
Pengelakan pajak (tax evasion).
P3B dapat menghilangkan hambatan dalam lalu lintas perdagangan, modal
dan investasi antar negara dalam mendukung hubungan bisnis disetiap
pemamfaatan sumber daya yang ada.
Metode Penghindaran Pajak Berganda umum diterapkan melalui:
1. Metode pemajakan Perjanjian Unilateral.
2. Metode Pemajakan perjanjian Bilateral.
3. Metode Pemajakan Perjanjian Multilateral.
Metode untuk menghindari Pajak berganda
a.
Metode Pemajakan Unilateral / Metode Sepihak
Metode ini mengatur bahwa suatu negara misalnya negara Republik Indonesia
mempunyai kekuatan hukum didalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional dan ditetapkan sepihak oleh negara Indonesia sendiri, dengan kata
lain tidak ada yang bisa mengatur negara kita lain karena hal itu merupakan kewibawaan dan kedaulatan negara kita.
Ditetapkan sepihak berdasarkan prinsip kedaulatan. Terdapat pada Pasal 26 UU PPh (Jika tidak ada Tax Treaty, maka Indonesia berhak mengatur) dan Pasal 24 UU PPh (pajak yang telah dibayar di negara lain dapat jadi pengurang pajak nasional). Contoh :
• PPh Final atas sewa gedung (PPh Psl 4).
• PPh Psl 23 atas deviden yang semula 15% dapat dikurangkan menjadi 10%,
karena deviden tersebut akan dikenakan juga pajak di negara dimana mereka berdomisili.
P3B melalui Pemajakan Perjanjian Unilateral
Cara pelaksanaan pemajakan secara unilateral melalui UU pajak dan aturan
pelaksanaannya secara umum dilakukan melalui:
1. Mengecualikan seseorang/badan sebagai subjek pajak (Contoh Pejabat
pemerintahan asing, pejabat organisasi Internasional,dll).
2. Mengecualikan suatu penghasilan sebagai objek pajak.
3. Menerapkan metode penghilangan pajak berganda (deduksi,
pembebasan, kredit).
4. Membetulkan ketetapan pajak yang menimbulkan pajak berganda.
5. Mengembalikan pajak yang seharusnya tidak terutang.
Metoda / cara penghindaran pajak berganda secara unilateral terdiri dari:
1. Exemption method yang terdiri dari :
a. Exemption without progression atau full credit
b. Exemption with progression.
2. Credit Method yang terdiri dari :
a. Full credit (Kredit Penuh).
b. Direct tax credit (pengkreditan pajak secara langsung), ordinary tax
credit (Kredit pajak yang normal/biasa)-PPH 24,
c. Indirect tax credit (kredit pajak tak langsung), underlying tax credit.
d. Fictitious tax credit (...)
e. Reduced rate (Penghilangan/pengurangan).
f. Tax deduction (Pemotogan pajak).
I.
Exemption Method (Pembebasan/pengeculaian)
Metode unilateral dengan Metode Pembebasan/pengecualian
(exemption) terhadap “
Penghasilan
” seperti penghasilan
luar negeri. S
ubject exemption: WP Luar Negeri
, seperti
terdapat dalam Psl 3 UU PPh u/ Pejabat negara asing di
suatu negara.
Object: income exemption
.
Exhemtion Methode terdiri dari:
a)
Without Progression atau full exemption, pajak luar
negeri tidak perlu dikenakan pajak.
b)
Pembebasan pajak (tax exemption) atau exemption with
progression, namun sebelumnya penghasilan seluruh
Dunia (worldwide income) digabung.
Sistem Perpajakan di Indonesia kerugian dari luar negeri tidak
diperhitungkan untuk mengurangi pajak dalam negeri.
Contoh menghindari pemajakan berganda metode Unilateral
Exempation Method (pembebasan/Pengecualian):
Dengan Exemption Without proression = Penghasilan di LN
Rp. 150 juta dari Deviden, dan Penghasilan di DN RP. 100 juta.
Maka yang dihitung hanya yang dari DN RP. 100 juta.
Dengan “exemption with progression”.
A mendapatkan penghasilan dari LN Rp. 500 juta, dan di
Indonesia Rp. 300 juta.
Maka Worldwide income Rp. 800 juta, namun yang dikenakan
pajak sesuai tarif progressif di Indonesia, yang dikenakan pajak
hanya Rp. 300 juta dengan tarif yang sesuai dengan tingkatan
proporsional jumlah penghasilan.
II. Credit Method (Metode Kredit) u/ Penghindarn Pajak
berganda.
Secara umum tata cara pengkreditan Pajak secara metode
Unilateral dengan pengkreditan biasa dipakai yakni:
1. Kredit penuh yakni pembayaran pajak diluar negeri
dikreditkan seluruh jumlah yang dibayar diluar negeri.
2. Kredit terbatas yakni tata cara pengkreditan pajak yang
dibayar diluar negeri menurut jumlah yang paling rendah
antara yang dibayar diluar negeri dengan jumlah pajak
apabila dikenakan menurut tarif di Indonesia ini yang dianut
pasal 24 UU PPh.
II.a. Full Credit/Kredit Penuh
Contoh “Full Credit / Kredit Penuh”:
Si “B” penghasilan di luar negeri sebesar Rp. 600.000.000,– dipotong
income tax sebesar 20% atau Rp. 120.000.000, Penghasilan dalam
negeri Rp. 200.000.000,–
Worldwide income menjadi Rp. 800.000.000, Jika PPh terutang atas
worldwide income Rp. 800.000.000,– sebesar Rp.200.000.000,– (dengan
tarif PPh Badan di Indonesia berdasarkan UU 36/2008) maka jumlah
pajak yang telah dipotongkan di luar negeri sebesar Rp. 120.000.000,–
tersebut di atas dapat dikreditkan atau diperhitungkan sehingga
perhitungannya menjadi sebagai berikut :
PPh terutang atas world-wide income . . . Rp. 200.000.000,–
Kredit pajak luar negeri . . . Rp.120.000.000,–
Masih harus dibayar (Rp. 200 juta – Rp 120 juta) : Rp. 80.000.000,–
II.b. Direct Tax Credit / Ordinary Tax Credit
Contoh Ordinary Tax Credit (Kredit Pajak biasa menurut PPh 24):
Si “B” penghasilan di luar negeri sebesar Rp. 200.000.000,– dipotong
income tax sebesar 15% atau Rp. 30.000.000, Penghasilan dalam negeri
Rp. 400.000.000,– Worldwide income menjadi Rp. 600.000.000.
Misalkan PPh sesuai tarif Badan di Indonesia Rp. 150 juta.
Maka PPh, Rp. 200 juta/600 juta x Rp. 150 juta = Rp. 50 juta,
yang kredit pajak yang dipakai adalah RP. 30 juta.
PPh terutang atas world-wide income . . . Rp. 150.000.000,–
Kredit pajak luar negeri . . . Rp.30.000.000,–
Lanjutan
-
II.b. Direct Tax Credit / Ordinary Tax Credit
Dalam contoh Ordinary Tax Credit ini, dapat disimpulkan bila tarif di luar
negeri lebih rendah dari tarif di dalam negeri, maka kredit pajak faktual
(Pajak yang sudah dipotong/kenyataan yang sudah terjadi) yang berlaku.
Sebaliknya jika tarif pajak di luar negeri lebih tinggi daripada tarif di dalam
negeri, maka kredit pajak yang dapat diperhitungkan adalah kredit pajak
teoritis (Pajak yang dihitung secara teori menurut aturan yang berlaku),
karena jumlahnya lebih kecil.
Pajak penghasilan dari penghasilan berupa dividen yang diterima langsung
dari luar negeri dari laba, dimana laba tidak langsung diterima oleh wajib
pajak di Indonesia, sistem ini dapat dikatakan sebagai direct tax credit.
Menurut Soemitro direct tax credit terbatas pada pajak terhadap
penghasilan yang diterima oleh seseorang wajib pajak, dalam hal ini wajib
pajak orang pribadi
Lanjutan
- II.b. Direct Tax Credit / Ordinary Tax Credit
Istilah kredit langsung atau kredit tidak langsung dikutip dari penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU Pajak Penghasilan, dengan contoh antara lain sebagai berikut:
PT A di Indonesia merupkan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di negara Z yang dalam tahun 2005 memperoleh keuntungan sebesar US$100.000.00. Tarif Pajak Penghasilan atas laba perseroan yang berlaku di negara X adalah 48% dan tarif pajak dividen adalah 38%. Penghitungan pajak atas adalah sebagai berikut:
– Keuntungan Z Inc US$ 100.000.00
– Pajak Penghasilan (Corporate Income Tax) : 48% x US$ 100.000.- adalah US$ 48.000.00 (-)
– Laba Stelah Corporate Income tax (PPh Badan) US$ 52.000.00 – Pajak atas dividen : 38% x US 52.000 = US$ 19.760.00 (-)
– Dividen yang dikirim ke Indonesia US$32.400.00 ($ 52.000 – $19.760) Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) tersebut dinyatakan, bahwa :
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$19.760.00
Lanjutan
- II.b. Direct Tax Credit / Ordinary Tax Credit
•
Pajak Penghasilan (Corporate Income Tax) atas Z Inc. sebesar
US$48.000.00
tidak
dapat
dikreditkan
terhadap
Pajak
Penghasilann yang terutang atas PT A, karena pajak pajak sebesar
US$48.000.00
tersebut
tidak
dikenakan
langsung
atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri,
melainkan pajak yang dikenakan atas keuantungan Z Inc. di
negara X.
Mencermati pajak terhadap penghasilan dalam hal ini penghasilan
berupa dividen yang diterima langsung dari luar negeri dan pajak
terhadap laba, dimana laba tidak langsung diterima oleh wajib
pajak di Indonesia, sistem ini dapat dikatakan sebagai direct tax
credit.
Lanjutan
- II.b. Direct Tax Credit / Ordinary Tax Credit
Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya sistem pajak penghasilan di
Indonesia menyatakan, bahwa rugi yang diderita perseroan pada suatu
negara tidak ikut diperhitungkan atau dikompensasikan dalam
menghitung world-wide income. Perhitungan kredit di setiap negara
manca dihitung sendiri-sendiri. Sistem ini disebut ordinary tax credit,
per country limitations.
Contoh perhitungan Ordinary Tax Credit, sebagai berikut (tarif yang berlaku di negara hanya sekedar contoh):
PT. CitraSH pada tahun 2010 menerima/memperoleh PKP Dalam Negeri sebesar
Rp.740.000.000,– dan juga menerima Dividen dari perusahaan-perusahaan di luar negeri, dan setelah dikurskan masing-masing sebesar :
• Negara A . . . .Rp. 360.000.000,–, income tax rate: 25% • Negara B . . . .Rp. 250.000.000,– income tax rate: 35% • Negara C . . . Rp. 164.000.000,– income tax rate : 20% • Rugi di Negara D . . . Rp. 210.000.000,– income tax rate: 25% • PKP dalam negeri Rp. 740.000.000,–
Lanjutan
- II.b. Direct Tax Credit / Ordinary Tax Credit
Jawaban:
Negara
PKP Tarif
Pajak
a
360.000.000 25%
90.000.000
b
250.000.0a00 35%
87.500.000
c
164.000.000 20%
32.800.000
d rugi (210.000.000) 25%
Total Pajak LN
210.300.000
PKP DN
740.000.000
Total Worldwide Income
(a+b+c+PKP DN)
1.514.000.000
Pajak PPh Psl 17/UU PPH
1.514.000.000 25%
378.500.000
Catatan:
• Kerugian dari negara D tidak diperhitungkan sesuai sistem perpajakan di Indonesia. • Kredit pajak termasuk PPh 21, PPh 22, PPh 23 atau pajak yang sudah dibayar yang
Lanjutan
- II.b. Direct Tax Credit / Ordinary Tax Credit
Lanjutan Jawaban
:
Contoh Perhitungan Pjk Teoritis psl 24/UU PPh dari negara “a”:
•Pajak Pactual: Negara a penghasilan Rp. 360 juta x 25% = Rp.
•Pajak Teoritis: Negara a penghasilan Rp. 360juta/1.514.juta x 25% = Rp.
90.000.000.-Negara PKP Tarif Pajak Pactual Pajak teoritis Kesimpulan a 360.000.000 25% 90.000.000 90.000.000 Sama b 250.000.000 35% 87.500.000 62.500.000 Pakai Pjk Teoritis c 164.000.000 20% 32.800.000 41.000.000 Pakai Pjk Pactual d (210.000.000) 25% Total Pajak LN 210.300.000 PKP DN 740.000.000 Total Worldwide Income 1.514.000.000 Pajak PPh Psl 17/UU PPH 1.514.000.000 25% 378.500.000
193.500.000-Lanjutan Jawaban
:
Perhitungan Pjk Teoritis psl 24/UU PPh dari negara “b”:
•Pajak Pactual: Negara a penghasilan Rp. 250juta x 35% = Rp.
90.000.000.-•Pajak Teoritis: Negara a penghasilan Rp. 250juta/1.514.juta x 25% = Rp. 62.500.000.- (PPh dipakai)
Total Pajak PPh yang ditanggung adalah bandingkan antara Teoritis (Rp. 378.500.000 )> pajak Paktual (Rp.193.500.000.-)- Pilih yang terendah/terkecil.
Maka:
Jumlah Kredit pajak dari Pajak LN adalah Rp. 185.000.000 (Rp.378.500.000 – Rp. 193.500.000), dan Pajak PPh yang ditanggung adalah Rp.
193.500.000.-Negara PKP Tarif K.Pajak Pactual K.Pajak teoritis Kesimpulan a 360.000.000 25% 90.000.000 90.000.000 Sama b 250.000.000 35% 87.500.000 62.500.000 Pakai Pjk Teoritis c 164.000.000 20% 32.800.000 41.000.000 Pakai Pjk Pactual d (210.000.000) 25% Total Pajak LN 210.300.000 PKP DN 740.000.000
Total Worldwide Income 1.514.000.000
-Contoh Soal (
dikerjakan Mhsa/i)
•
PT.Subur tahun buku 2012 menerima PKP DN sebesar Rp.750.000.000,
Di samping jumlah ini diterima pula dari negara manca dividen para
penyertaan pada: XX.Ltd di Negara A sebesar Rp.120.000.000, yang
telah dipotong income tax sebesar 32%; dividen dari YY.Ltd di negara B
sebesar Rp.260.000.000,– yang telah dipotong income tax sebesar 28%;
dividen dari “ZZ” Coy di negara C sebesar Rp.320.000.000,– yang telah
dipotong income tax sebesar 30%. Harap anda hitung PPh Pasal 29 atau
pasal 28A jika terdapat data keuangan selama tahun 2012 tentang bukti
pemotongan PPh psl 22 sebesar Rp.5.600.000,– bukti pemotongan PPh
psl 23 sebesar Rp.60.000.000,– dan bukti setoran PPh psl 25 selama
tahun 2012 a Rp.10.000.000, sebulan.
II.c.Credit Method dengan Indirect Tax Method
•
Indirect tax credit atau disebut juga underlying tax credit atau credit for
underlying taxes yang menurut Surahmat “ Metode ini sama dengan
indirect tax credit, yaitu kredit pajak tidak saja diberikan atas pajak yang
dikenakan atas dividen, tetap juga kepada pajak atas laba usaha asal
dividen tersebut dibayarkan”
•
Indirect tax credit atau kredit pajak tidak langsung adalah kredit pajak
berupa pajak penghasilan yang dikenakan terhadap laba perseroan.
Disebut tidak langsung, karena sesungguhnya tidak ada penghasilan
berupa dividen yang langsung diterima oleh perseroan di dalam negeri.
Contoh Credit Method dengan Indirect Tax Method sebagai berikut:
X Coy di negara A mempunyai penyertaan sebesar 30% pada Y Coy di negara B. Pada tahun buku 2010 Y Coy tersebut mencapai taxable income sebesar US$500.000 dengan tarif income tax sebesar 25% dengan perhitungan sebagai berikut:
• Taxable Income . . . . US$500.000.00 Income tax 25% . . . . US$125.000.00 Profit after tax . . . US$ 375.000.00
• Beban pajak di negara B US$125.000 sebanding dengan penguasaan sahamnya yakni sebesar 30% x US$125.000 = US$37.500.00 dapat dikredikan oleh X Coy di negara A. • Perhatikan, X Coy di negara A sama sekali tidak menerima penghasilan secara langsung
dari US$500.000.00 yang pajaknya sebesar US$ 125.000.00 tersebut, namun pajaknya dapat dikreditkan.
• Jumlah pajak penghasilan atas perseroan sebesar US$125.000.00 yang disebut sebagai indirect tax credit.
• Sistem pajak penghasilan di Indonesia tidak menganut sistem ini. Penulis, pada saat dividen dibagikan yang berasal dari US$375.000.00, tentu akan dikenakan pajak penghasilan atas dividen. Jumlah pajak yang dikenakan atau dipotong ini terhadap
dividen yang dibagikan seperti telah diuraikan di atas, juga dapat dikreditkan di negara A yang kreditnya disebut direct tax credit.
II. d. Fictitious tax credit
Fictitious tax credit atau disebut tax sparing adalah kredit pajak yang
berasal dari source country dimana perseroan yang melakukan
usaha di source country dibebaskan dari pengenaan pajak perseroan
dan pajak dividen (tax holiday).
Walaupun menikmati tax holiday, akan tetapi jumlah laba dan pajak
penghasilan yang terutang tetap dihitung dan dicantumkan dalam
suatu SKP. Karena menikmati tax holiday, jumlah pajak
penghasilan terutang tidak perlu dibayar, akan tetapi SKPnya dapat
dibawa ke home country dan disana jumlah pajak penghasilan yang
terutang (akan tetapi tidak dibayar karena tax holiday) dikreditkan
terhadap pajak penghasilan atas penghasilan global. Harap
diperhatikan walaupun namanya fictitious atau fiktif yang secara
nyata nyata tidakada pemotongn pajak di source country, akan
tetapi penghitungan kredit pajak ini terhadap pajak terutang atas
WWI di negara domisili, bukanlah suatu tindak pidana
II. e. Credit Medhod dengan Reduced Rate
Untuk menghindarkan pajak berganda atau untuk mengurangi atau
meringankan beban pajak berganda, undang-undang pajak
domestik mengatur penurunan tarif pajak penghasilan atas
beberapa penghasilan tertentu. Misalnya pajak atas dividen
diturunkan dari 20% menjadi 10%. Penurunan tarif ini tentu saja
dilakukan secara sepihak oleh negara yang bersangkutan
II. f. Credit Method dengan Tax Deduction
Untuk menghindarkan pajak berganda, atau untuk pengurangi
beban pajak berganda, undang-undang pajak domestik
memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari luar negeri dan di sana sudah
dikenakan pajak, maka besarnya pajak yang dipotong di luar
negeri tersebut dikurangkan dari penghasilan (tax against
income). Sistem ini tidak dianut di Indonesia.
b. Metode Penghindaran Pemajakan Pajak berganda secara Perjanjian
Bilateral
Pencegahan pajak berganda dan penghindaran pajak secara bilateral adalah pencegahan pajak berganda dan penghindaran pajak yang disepakati bersama antara dua negara melalui suatu perjanjian khusus yang disebut sebagai Convention atau Agreement. Metode ini dalam penghitungan pengenaan pajaknya harus mempertimbangkan
perjanjian kedua negara (Tax Treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah mengadakan perjanjian. Peraturan perpajakan Indonesia tidak berlaku atau Hukum pajak nasional dikesampingkan bilamana terdapat Tax Treaty.
Kedudukan Tax Treaty terhadap National Tax Law
Berlakunya tax treaty maka dalam suatu negara terdapat dua sumber hukum dalam perpajakan terhadap wajib pajak, khususnya WP negara treaty partner.
• Pertama adalah ketentuan dalam tax treaty.
Negara-negara yang melakukan perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis.
1. Pertama adalah negara sumber (source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul.
2. Kedua adalah negara domisili (resident country) yaitu negara tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Penghindaran pajak berganda Bilateral adalah: 1. Tax treaty memberikan wewenang pemajakan.
2. P3B lebih diutamakan daripada UU Domestik. 3. P3B tidak menciptakan pajak baru.
Contoh sederhana menjelaskan pengertian negara sumber dan
negara domisili ini.
Misalkan Tuan “ Na Botul “yang bertempat tinggal di Malaysia
memiliki kepemilikan saham perusahaan PT. Aek Nabara yang
berkedudukan di Indonesia. Pada tahun 2009 PT. Aek Nabara
membagikan dividend kepada para pemegang sahamnya, termasuk
Tuan “Na Botul” yang mendapatkan dividen Rp.5.000.000.000,-.
Perusahaan melakukan pembayaran Dividen tersebut dibayarkan
oleh badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.
Dengan demikian negara sumber dalam hal ini adalah Indonesia,
Sementara itu, Tn “Na Botul” pemilik penghasilan dividend yang
bertempat tinggal di Malaysia.
Maka Pemajakan terhadap deviden itu akan dilakukan Indonesia
yang menganut asas Sumber dan Malaysia sebagai negara domisili.
1. Tax Treaty yang memberi kewewenangan Pemajakan
Tax treaty memberikan wewenang pemajakan. Jika wewenang pemajakan telah diberikan kepada salah satu negara, maka ketentuan dalam undang-undang perpajakan domestik yang seterusnya akan berlaku.
Misalnya, Seorang Akuntan dari Singapura mendapatkan job di Indonesia. Akuntan tersebut berada di Jakarta dalam rangka melakukan kegiatan profesionalnya selama 93 hari.
Jika berdasarkan Pasal 13 P3B Indonesia – Singapura, (dimana dinyatakan bahwa time test melebihi 90 hari dalam jangka waktu dua belas bulan) yang berwenang mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh akuntan tersebut di Indonesia adalah fiskus Indonesia.
Jadi hak pemajakannya ada pada fiskus Indonesia.
Selanjutnya apakah akuntan tersebut akan dianggap sebagai WP DN atau WP LN, maka penerapannya mengikuti ketentuan UU PPh yang berlaku di Indonesia.
Karena dalam UU PPh time test-nya untuk menentukan apakah WP DN atau WP LN lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, maka akuntan tersebut diklasifikasikan sebagai WP LN. Sehingga, Penghasilannya di Indonesia dikenakan PPh Pasal 26, yakni dengan tarif PPh sebesar 20% atas gross basis.
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Dalam menyusun perjanjian tersebut negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara yang menjadi anggota OECD menggunakan OECD Model, sedangkan bagi negara-negara berkembang menggunakan UN Model. Diatur melalui Tax Treaty. Hukum pajak nasional dikesampingkan jika tidak sesuai dg Tax treaty.
Dalam hal terjadi benturan antara P3B dan UU domestik, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam P3B.
Misalnya dalam Pasal 26 UU PPh disebutkan, bahwa atas pembayaran dividen ke luar negeri terutang PPh Pasal 26 sebesar 20% dari bruto. Sedangkan bila terdapat P3B antara negara dan dalam Pasal 10 P3B disebutkan tarifnya adalah 10%., maka yang berlaku adalah tarif dalam P3B yakni yang 10%.
3. P3B tidak menciptakan pajak baru
Jika dalam pasal-pasal dalam P3B tercantum jenis pajak lain di luar
yang telah mempunyai dasar hukum dalam bentuk undang-undang
di Indonesia, maka pajak tersebut tidak berlaku bagi Indonesia. Jenis
pajak itu hanya berlaku bagi negara mitra penjanji saja.
Contoh ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 UN Model tentang Tax
Covered, yang berisi tentang pajak-pajak yang diliputi oleh perjanjian
perpajakan yang disepakai oleh kedua belah pihak.
Pasal 2 ayat 2 UN Model menyebutkan, bahwa : “there sehall be
regarded as taxes on income and on capital all taxes imposes on total
income . . . as well as taxes on capital appreciation”.
Tax on capital appreciation adalah pajak penghasilan yang dikenakan
terhadap kenaikan nilai modal atau harta.
Misalnya jika pada awal tahun WP A membeli valas USS5000 dengan kurs @ Rp.8.000,– dan akhir tahun kurs menjadi @ Rp.9.500,– dengan begitu dapat diketahui bahwa nilai kurs telah naik @ Rp.1.500,– Jika dijual di pasar uang WP A akan menerima laba kurs 5.000 x
Rp.1.500,– = Rp.7.500.000,–
Apakah terhadap laba kurs tersebut akan menjadi Objek Pajak Penghasilan di Indonesia? Untuk menjawab hal ini perlu diketahui sistem pajak penghasilan yang di anut di Indonesia sehubungan dengan capital appreciation tersebut
Sistem pajak penghasilan di Indonesia menganut asas realization principle, artinya
penghasilan baru akan dikenakan pajak apabila penghasilan telah direalisasi, baik secara cash basis maupu secara accrual basis.
Dengan demikain jika valas sebesar US$5000 tersebut masih tetap ada dalam lemari besi WP A, artinya belum dijual ke pasar uang, maka laba kurs tersebut belum dapat dikenakan pajak. Tapi, jika misalnya valas tersebut dijual, maka laba kurs tersebut sudah dapat dikenakan
pajak.
Dengan demikian capital appreciation yang diatur dalam Pasal 2 UN Model tersebut tidak berlaku bagi penduduk Indonesia, dan hanya berlaku bagi penduduk pada Negara mitra penjanji. Jadi tax tax treaty tidak menciptakan pajak baru selain dari yang telah diatur undang-undang.
Beberapa Kemudahan Perpajakan atau fasilitas perpajakan P3B
R. Mansury menyampaikan secara sistematis fasilitas yang dapat dinikmati oleh WP DNdalam P3B, yaitu :
1. Fasilitas yang berhubungan dengan Subjek Pajak. 2. Fasilitas sebagai Bentuk Usaha Tetap.
3. Fasilitas berkenaan dengan Harta Tak Gerak. 4. Fasilitas Penghasilan dari Usaha.
5. Fasilitas dalam sektor Perkapalan dan Penerbangan. 6. Fasilitas Penurunan tarif.
7. Fasilitas berkenaan Penghasilan Pengalihan Harta. 8. Fasilitas berkenaan Penghasilan dari Pekerjaan Bebas.
9. Fasilitas di negara domisili untuk meniadakan pajak ganda.
Jenis fasilitas di atas dapat kita temukan dalam pada pasal-pasal yang bersangkutan dalam UN Model, misalnya akan dibahas pada Pasal 4 dan fasilitas terhadap bentuk usaha tetap akan dibahas pada Pasal 5, dll.
c. Metode Pemajakan Penghindaran Pajak berganda
dengan metode Multilateral.
Metode ini didasarkan pada konvensi internasional
yang ketentuan atau ketetapan atau keputusan
yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara
yang ditandatangani oleh berbagai negara,
misalnya Konvensi Wina.
Metode ini ada dalam Pasal 3 UU PPh, bahwa setiap
kedutaan asing dan organisasi Internasional di
bawah PBB dan pendudukk asing yang bekerja di
tempat tersebut, bukan subjek pajak Indonesia.
B. Penerapan Pajak berganda dalam UU PPh
Penerapan Pajak berganda dalam UU PPh dilakukan dengan metode
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atau P3B seperti
Metode Unilateral sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas.
Metode Penghindaran Pajak Berganda yang umum digunakan adalah
1.