BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam pemurnian anoda, unsur-unsur pengotor dihilangkan dengan cara memisahkan mereka ke dalam terak melalui proses pemurnian oksidasi. Untuk mengetahui seberapa baik proses pemisahan, digunakan parameter koefisien distribusi / berdasarkan persamaan 2.3 dapat dituliskan dengan persamaan:
⁄ %%
(4.1) Koefisien distribusi menggambarkan perbandingan komposisi suatu logam pada suatu fasa tertentu dalam kondisi kesetimbangan. Dalam hal ini kita membandingkan komposisi arsen dalam fasa terak dan dan fasa lelehan blister. 4.1. TERMODINAMIKA ARSEN DALAM LELEHAN TEMBAGA DAN
TERAK
Sebagaimana dikemukakan dalam BAB II (sub bab 2.3) Dalam tanur anoda, terjadi reaksi oksidasi arsen dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
3/2 5/4 (2.46) Untuk mengetahui perilaku arsen dalam proses pemurnian oksidasi, maka dalam penelitian di PT. Smelting Gresik dilakukan beberapa ekperimen mengenai pengaruh beberapa parameter operasi terhadap koefisien distribusi arsen. Parameter yang diamati antara lain:
1. Total masukanfluks antara lain silika dan CaO yang terdapat dalam Cl-slag
2. Tingkat oksidasi proses pemurnian 3. Oksigen terlarut dalam anoda tembaga 4. Kadar arsen awal dalam blister tembaga
Tabel berikut ini menampilkan kompilasi data yang diperoleh dari hasil-hasil percobaan.
Tabel 4.1: Parameter operasi dan hasil percobaan dalam tanur anoda
Lot Koef. dist. total sllika (kg) Total CaO (kg) O2 (Nm3) T oks.(°C)
6364 0.36 568 9.2 5529.9 1148 6390 2.20 461 16.7 5552.4 1131 6392 1.83 405 22.3 5429.7 1133 6386 1.24 763 11.0 5029.1 1141 6387 0.88 631 20.8 5017.3 1130 6388 2.42 537 28.5 5147.2 1130 6389 2.69 1131 16.7 4837.7 1102 6391 1.87 906 33.6 5303.4 1113
Tabel 4.2: Hasil pengamatan pada anoda dan blister
Lot Koef. dist. [O] di anode, ppm As di blister, ppm
6364 0.36 5257 964 6390 2.20 6396 654 6392 1.83 4768 431 6386 1.24 5820 282 6387 0.88 5950 261 6388 2.42 5482 418 6389 2.69 6300 584 6391 1.87 6253 828
4.1.1 Pengaruh komposisi terak pada koefisien distribusi arsen
Umumnya untuk mengikat unsur-unsur minor ke dalam terak, salah satu fluks yang biasa digunakan adalah senyawa-senyawa alkali seperti Na2CO3, CaO, CaCO3, K2CO3. Penambahan senyawa alkali akan
meningkatkan kebasaan terak yang berakibat terjadinya penurunan koefisien aktivitas arsen. Reaksi dengan senyawa oksida tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
3 2 3 . (4.2)
Tetapi di PT. Smelting Gresik fluks utama yang digunakan adalah silika. Sehingga akan didapatkan terak yang bersifat asam. Di dalam terak yang bersifat asam, menurut R.G. Reddy11) arsen akan masuk ke terak dalam bentuk arsenat ( menurut reaksi berikut:
3/2 5/4 (2.46) dan membentuk ikatan polimer dengan )
2 (4.3)
Untuk mengetahui pengaruh kebasaan dari terak yang digunakan di PT. Smelting Gresik, maka dilakukan penelitian sehingga didapatkan data sebagaimana terlihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3: Dampak perubahan indeks kebasaan terhadap koefisien distribusi arsen
lot % SiO2 % CaO indeks kebasaan Koef. dist.
6364 38.720 4.606 0.119 0.36 6390 31.410 4.396 0.140 2.20 6392 36.020 4.466 0.124 1.83 6386 35.870 4.382 0.122 1.24 6387 36.310 4.158 0.115 0.88 6388 35.920 4.256 0.118 2.42 6389 32.910 4.396 0.134 2.69 6391 30.970 4.480 0.145 1.87
Gambar 4.1. Grafik hubungan indeks kebasaan terak dan koefisien distribusi arsen
(±1100oC, 400-500kg blister, 4500-6500 Nm3 pO2)
Dalam BAB II subbab 2.2 ditunjukkan bahwa peningkatan kebasaan akan meningkatkan koefisien distribusi arsen. Kecenderungan yang sama diperoleh dalam penelitian yang dilakukan dalam tanur anoda di PT. Smelting. Penyimpangan terbesar dari kurva penelitian Acuna dijumpai pada lot 6364 yaitu nilai koefisien distribusi yang didapatkan sebesar 0,36 pada kebasaan 0,119. Pada penambahan fluks 750kg dan 1000kg terlihat kecenderungan nilai koefisien distribusi meningkat pada kondisi terak yang relatif kurang asam. Tetapi pada penambahan fluks 1500kg terjadi penurunan nilai koefisien distribusi. Nilai koefisien tertinggi didapatkan pada indeks kebasaan 0,134 yaitu sebesar 2,69. Sebagaimana telah dikemukakan hasil penelitian secara umum menunjukkan kecenderungan yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Acuna1). Namun secara kuantitatif ada beberapa hal yang dapat diamati,antara lain:
1. Nilai koefisien distribusi hasil penelitian hampir semuanya berada di bawah kurva hasil penelitian Acuna
3. Dengan peningkatan kebasaan kurva semakin mendekati kurva hasil penelitian Acuna.
Perbedaan tersebut mungkin diakibatkan oleh perbedaan parameter operasi antara penelitian Acuna dan tanur anoda PT. Smelting. Acuna menggunakan bahan imbuh berupa campuran silika dan kapur sedangkan PT. Smelting menggunakan bahan imbuh berupa silika dan Cl-slag. Perbedaan penambahan bahan imbuh ini akan menyebabkan perbedaan komposisi terak yang terbentuk. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peningkatan kebasaan cenderung meningkatkan koefisien distribusi arsen dalam sistem terak-tembaga.
4.1.2 Pengaruh tekanan parsial oksigen pada koefisien distribusi arsen
Selama proses pemurnian dalam tanur anoda ditiupkan udara diperkaya oksigen. Tekanan parsial oksigen mempengaruhi kesetimbangan arsen baik antara blister-terak maupun terak-udara atmosfir. Dari persamaan 2.8 terlihat bahwa dengan peningkatan tekanan parsial oksigen maka nilai koefisien distribusi juga akan mengalami peningkatan dengan asumsi parameter yang lain tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan.
(2.8)
Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan 2.8 dapat diubah dalam bentuk logaritmik sehingga akan diperoleh persamaan 4.4 yang kemudian digambarkan pada gambar 4.2.
(4.4)
Untuk mengetahui pengaruh tersebut di tanur anoda PT. Smelting maka dilakukan penelitian atas dampaknya terhadap nilai koefisien distribusi, dan didapatkan hasil sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.4 dan grafik pada Gambar 4.2, yang juga menunjukkan kurva hasil perhitungan teoritis berdasarkan persamaan 4.4.
Tabel 4.4: Dampak perubahan tekanan parsial oksigen terhadap koefisien distribusi arsen
lot Log pO2 Log koef. distribusi
6364 ‐2.2793 -0.4437 6390 ‐2.1941 0.342423 6392 ‐2.3217 0.262451 6386 ‐2.2351 0.093422 6387 ‐2.2255 -0.05552 6388 ‐2.2611 0.383815 6389 ‐2.2007 0.429752 6391 ‐2.2039 0.271842
Gambar 4.2 Grafik hubungan antara tekanan parsial oksigen dan koefisien distribusi (±11000C, 400-500kg blister [O] 5000-7000ppm ) Dari grafik di Gambar 4.2 terlihat pada penambahan 750kg dan 1500kg fluks nilai koefisien distribusi hasil penelitian cenderung mengikuti kurva teoritis. Namun pada penambahan 1000kg fluks terlihat bahwa kurva hasil penelitian tidak sesuai dengan hasil kurva teoritis. Ketidaksesuian ini mungkin disebabkan terjadinya overoxydation dan perbedaan komposisi bahan imbuh yang ditambahkan. Secara keseluruhan tampak bahwa
koefisien distribusi dipengaruhi oleh tekanan parsial oksigen dalam sistem. Kenaikan tekanan parsial oksigen akan menurunkan koefisien aktivitas arsen dalam terak. Penurunan tersebut menyebabkan arsen menjadi relatif stabil dan cenderung tinggal dalam terak. Hal ini juga dibuktikan oleh Cerna7) seperti ditunjukkan pada gambar 4.3 dengan berbagai macam komposisi terak yang berbeda.
Untuk mengurangi jumlah arsen yang masuk ke dalam terak maka tekanan parsial oksigen harus dijaga seminimum mungkin.
Gambar 4.3 Grafik hubungan logaritma tekanan parsial oksigen dan logaritma koefisien distribusi7)
4.1.3 Pengaruh konsentrasi oksigen terlarut pada koefisien distribusi arsen
Dalam proses pemurnian oksida terjadi proses pemisahan unsur minor dari tembaga blister melalui proses oksidasi. Proses oksidasi arsen dalam tanur anoda melibatkan oksigen terlarut dalam reaksinya seperti terlihat dalam persamaan 2.46. Sehingga dengan peningkatan konsentrasi oksigen terlarut dalam lelehan tembaga maka semakin banyak arsen yang teroksidasi dan masuk ke dalam terak.
(2.46)
Konsentrasi oksigen terlarut dalam lelehan tembaga berkaitan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam sistem. Lebih lanjut lagi kesetimbangan antara gas dan lelehan tembaga diperlihatkan dalam persamaan 4.515).
(4.5)
dimana O2 dan [O] melambangkan oksigen dalam bentuk gas dan oksigen
terlarut.
Acuna1) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara oksigen terlarut dan koefisien distribusi sebagaimana terlihat di Gambar 2.11. hasil penelitian Acuna menunjukkan terjadi peningkatan koefisien distribusi dengan meningkatnya konsentrasi oksigen terlarut dalam tembaga. Tetapi pada konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi (>6000ppm) terjadi anomali dimana nilai koefisien distribusi justru mengalami penurunan. Menurut Acuna pengaruh oksigen terlarut memiliki suatu nilai maksimum tertentu sehingga apabila kandungan oksigen melewati nilai tersebut maka nilai koefisien distribusi akan turun.
Untuk melihat pengaruh oksigen terlarut terhadap koefisien distribusi arsen dalam tanur anoda di PT. Smelting maka dilakukan penelitian dan didapatkan hasil seperti terlihat dalam tabel 4.5 dan dialurkan bersama dengan kurva hasil penelitian Acuna pada selang oksigen terlarut 5000-7000 ppm sehingga didapatkan kurva pada gambar 4.4.
Tabel 4.5: Dampak perubahan konsentrasi oksigen terlarut terhadap koefisien distribusi arsen
lot [O] di anode (ppm) Koef. dist.
6364 5257 0.36 6390 6396 2.2 6392 4768 1.83 6386 5820 1.24 6387 5950 0.88 6388 5482 2.42 6389 6300 2.69 6391 6253 1.87
Gambar 4.4 Hubungan antara oksigen terlarut dan koefisien distribusi arsen (±11000C, 400-500kg blister )
Dari grafik di Gambar 4.4 terlihat bahwa nilai koefisien distribusi cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi oksigen terlarut
dalam anoda. Hal tersebut menunjukkan semakin tinggi oksigen terlarut dalam anoda menyebabkan semakin banyak arsen yang bereaksi dengan oksigen membentuk oksida dan masuk ke dalam terak. Tetapi peningkatan lebih lanjut oksigen terlarut tidak berpengaruh banyak terhadap hilangnya arsen ke terak karena dengan tingginya oksigen terlarut, koefisien aktivitas arsen di dalam fasa logam turun1). Pada penambahan fluks 750kg dan 1500kg kenaikan koefisien distribusi arsen sesuai dengan kurva hasil penelitian Acuna. Tetapi pada penambahan 1000kg fluks justru terjadi penurunan. Hal ini mungkin disebabkan turunnya koefisien aktivitas arsen sehingga oksidasi arsen berkurang. Secara keseluruhan nilai koefisien distribusi arsen hasil penelitian berada di bawah kurva hasil penelitian Acuna. Perbedaan fluks yang digunakan, temperatur operasi serta prosedur operasi yang berbeda mungkin penyebab adanya perbedaan tersebut. Konsentrasi oksigen terlarut dalam lelehan tembaga harus diperhatikan karena selain untuk mengatur jumlah arsen yang masuk dalam terak juga untuk mencegah terlalu banyak tembaga yang teroksidasi dan masuk ke dalam terak sebagai Cu2O.
4.1.4 Pengaruh kandungan tembaga pada koefisien distribusi arsen
Secara termodinamik menurut Itagaki16), dengan semakin meningkatnya grade Cu di dalam matte maka koefisien aktivitas arsen turun dengan meningkatnya aktivitas Cu sebagaimana terlihat dalam gambar 4.5.
Gambar 4.5 Hubungan kandungan Cu di matte dan aktivitas unsur minor13)
Sejalan dengan penurunan koefisien aktivitas arsen maka dengan peningkatan grade Cu seharusnya nilai koefisien distribusi arsen juga akan terus meningkat. Tetapi harus diperhatikan bahwa data yang diberikan Itagaki hanya sampai dengan kandungan Cu 80% saja (matte), sementara kandungan tembaga pada blister sekitar 97-99%. Diasumsikan pada blister terjadi fenomena yang sama walau pada selang kandungan tembaga yang berbeda. Dari persamaan 2.8 terlihat bahwa koefisien distribusi arsen dalam lelehan tembaga berbanding lurus dengan koefisien aktivitas arsen. Sehingga dengan kenaikan grade Cu dalam lelehan tembaga maka koefisien distribusi akan semakin kecil.
(2.8) Hasil dari penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh kandungan tembaga terhadap koefisien distribusi arsen di tanur anoda PT. Smelting dapat dilihat di tabel 4.6 yang kemudian dialurkan dalam bentuk kurva di gambar 4.6.
Tabel 4.6: Dampak perubahan grade tembaga dalam anoda terhadap koefisien distribusi arsen
Lot Koef. dist. grade Cu
6364 0.36 99.03 6390 2.2 99.22 6392 1.83 99.36 6386 1.24 99.32 6387 0.88 99.2 6388 2.42 99.13 6389 2.69 99.38 6391 1.87 99.22
Gambar 4.6 Grafik hubungan kandungan tembaga anoda dan koefisien distribusi arsen
(±11000C, 400-500 kg blister, 4500-6500 Nm3 O2 )
Dari Gambar 4.6 terlihat bahwa pada penambahan fluks sebanyak 750 kg dan 1500 kg terdapat kecenderungan nilai koefisien distribusi meningkat dengan meningkatnya kandungan tembaga dalam lelehan tembaga. Menurut Zhong24) hal ini disebabkan karena kandungan Cu dalam lelehan tembaga menentukan aktivitas arsen. Arsen memiliki tekanan uap yang tinggi yaitu sekitar 1,5.10-5 atm sehingga mudah untuk terpisah dalam bentuk spesi gasnya. Dengan kandungan tembaga yang tinggi akan menurunkan tekanan uap dari arsen yang menyebabkan arsen cenderug untuk tetap tinggal dalam lelehan. Sementara pada penambahan fluks sebanyak 1000 kg koefisien distribusi cenderung turun seiring dengan kenaikan kandungan tembaga. Hal ini mungkin disebabkan melarutnya kembali arsen dari terak ke dalam lelehan tembaga. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa semakin baik proses pemurnian, dimana dalam hal ini tampak dengan tingginya kandungan tembaga, maka arsen yang masuk ke dalam terak juga semakin banyak.
Pada proses pemurnian oksidasi, yang terjadi bukan hanya oksidasi unsur-unsur minor tetapi juga tembaga dengan reaksi sebagai berikut:
(4.6)
Keberadaan Cu2O ini dapat dipergunakan untuk melihat tingkat oksidasi
dari proses oksidasi. Semakin tinggi tingkat oksidasi berarti semakin baik proses pemisahan unsur pengotor dari lelehan tembaga. Semakin tinggi kandungan Cu2O dalam terak berarti semakin tinggi juga tingkat oksidasi
dari proses. Untuk melihat pengaruh dari tingkat oksidasi terhadap koefisien distribusi arsen, dilakukan penelitian menghasilkan data sebagai berikut:
Tabel 4.7: Dampak perubahan kandungan tembaga dalam terak terhadap koefisien distribusi arsen.
Lot Koef. Dist. %Cu2O
6364 0.36 6.12 6390 2.2 10.27 6392 1.83 11.03 6386 0.88 6.63 6387 1.24 8.89 6388 2.42 9.90 6389 2.69 13.06 6391 1.87 12.12
Gambar 4.7 Hubungan antara prosentase tembaga di terak dan koefisien distribusi arsen
(±11000C, 400-500 kg blister, 4500-6500 Nm3 O2 )
Dari gambar 4.7 terlihat bahwa ada kecenderungan peningkatan nilai koefisien distribusi arsen seiring dengan meningkatnya kandungan tembaga dalam terak. Menurut Zhong25) keberadaan Cu2O dalam terak
akan menurunkan koefisien aktivitas arsen dalam terak, yang menyebabkan arsen lebih stabil dalam terak. Hal ini menyebabkan semakin banyak arsen yang masuk ke dalam terak. Keberadaan Cu2O di
terak dalam jumlah yang besar dalam terak juga merugikan secara ekonomis. Maka diperlukan suatu kondisi proses yang secara optimal dapat mengeliminasi unsur pengotor namun dapat menjaga kandungan oksida tembaga dalam terak serendah mungkin.
4.1.5 Pengaruh temperatur operasi pada koefisien distribusi arsen
Proses pemurnian oksidasi dilakukan pada temperatur tinggi agar secara kinetika proses dapat berlangsung dengan cepat. Sedangkan proses oksidasi pengotor pada umumnya adalah reaksi eksoterm. Tanur anoda PT. Smelting beroperasi pada kisaran temperatur 1100oC.
Perubahan koefisien distribusi arsen dapat dilihat juga dari perubahan koefisien aktivitas arsen. Dalam BAB II telah dikemukakan bahwa dengan koefisien distribusi berbanding lurus dengan koefisien aktivitas arsen dengan asumsi kondisi parameter yang lain tetap.
(2.8)
Penelitian yang dilakukan oleh Zhong25) menunjukkan bahwa hubungan antara temperatur dan koefisien aktivitas dapat direpresentasikan oleh persamaan 2.16.
(1473 K≤ T ≤1533 K) (2.16) Nilai koefisien aktivitas dapat diperoleh dari nilai kapasitas arsen. Kapasitas arsen didefinisikan dari persamaan 2.39 sehingga kemudian diperoleh kapasitas arsen seperti dalam tabel 4.8.
4 5 3 4 2 3 4 ) % ( O As AsO a P AsO wt C − = − (2.39)
Tabel 4.8 : Kapasitas arsen
lot AsO4 Kapasitas arsen 6364 0.035 0.0014 24.73 6390 0.144 0.0018 79.61 6392 0.079 0.0013 63.05 6386 0.035 0.0016 21.77 6387 0.023 0.0017 13.92 6388 0.101 0.0015 67.71 6389 0.157 0.0018 88.46 6391 0.155 0.0018 88.15
Data dari tabel 4.8 kemudian dimasukkan pada persamaan 2.45 untuk mendapatkan nilai koefisien aktivitas arsen dalam tabel 4.9
(2.45)
Tabel 4.9 : Dampak perubahan temperatur operasi terhadap koefisien aktivitas As
lot T oks.(°C) log γAs
6364 1148 9.981189 6390 1131 10.26588 6392 1133 10.07638 6386 1141 10.63642 6387 1130 10.7064 6388 1130 10.45428 6389 1102 10.31796 6391 1113 10.12858
Data hasil perhitungan tersebut kemudian diplot pada grafik pada gambar 4.8 dan dibandingkan dengan kurva teoritis yang dibuat berdasarkan penelitian oleh Zhong25).
{ }
4 3 4 2 5/ 4 As AsO T AsO As O L M n C P γ − =Gambar 4.8 Hubungan temperatur dan koefisien aktivitas arsen (400-500 kg blister, 4500 - 6500 Nm3 O2)
Dari grafik pengaluran hasil pengamatan terlihat bahwa ada kecenderungan nilai koefisien aktivitas turun dengan naiknya temperatur proses berbeda dengan kurva teoritis. Nilai koefisien aktivitas arsen hasil penelitian jauh lebih tinggi dibandingkan perhitungan secara teoritis. Hal ini menunjukkan ada faktor lain yang mempengaruhi koefisien aktivitas arsen selain temperatur. Tekanan parsial oksigen, kandungan tembaga dan parameter operasi lainnya mungkin adalah faktor yang menyebabkan fenomena tersebut. Selain itu, menurut Zhong25) temperatur hanya memiliki pengaruh kecil terhadap koefisien aktivitas arsen dalam blister. Tetapi temperatur harus tetap dijaga sekitar 11000C agar secara kinetika reaksi dapat berlangsung dengan cepat dan menjaga viskositas terak sehingga mudah dipisahkan.
4.1.6 Distribusi Arsen dalam gas
Di proses pemurnian oksidasi, arsen tidak hanya terdistribusi ke dalam
terak dan lelehan saja tapi juga ke dalam bentuk gas. Untuk mengetahui distribusi arsen dalam fasa gas dapat dilihat dalam tabel 4.10.
Tabel 4.10. Kehilangan As ke dalam fasa gas
tahap kadar arsen (ppm) 6364 6390 6392 6386 6387 6388 6389 6391 Akhir pra-oksidasi 826 644 506 307 302 414 682 504 Penambahan As 1114 867 1864 867 800 840 892 902 kadar As(l)teoritis 2040 1511 2370 1174 1102 1254 1574 1406 Awal oksidasi 947 758 392 318 312 453 718 780 Kehilangan As dalam gas 1093 753 1978 856 790 801 856 626 Persentase yang hilang (%) 54 50 83 73 72 64 54 45
Dari tabel 4.10 terlihat bahwa terjadi kehilangan arsen yang cukup besar yaitu berkisar 45% sampai 83%. Kehilangan dengan cukup besar ini mungkin disebabkan arsen memiliki nilai tekanan uap yang relatif tinggi yaitu pada 13000C sekitar 1,5.10-5 atm18) sehingga arsen lebih mudah untuk hilang dalam fasa gas dibandingkan berada dalam fasa terak maupun lelehan. Kehilangan arsen dalam fasa gas melalui reaksi membentuk As2
dan As4 seperti ditunjukkan dalam persamaan (4.7) dan (4.9) .
(4.7) (4.8)
(4.9) (4.10)
Dari persamaan nilai energi bebas masing-masing reaksi pembentukan gas As2 dan As4 dari hasil perhitungan terlihat pada temperatur operasi
pemurnian oksidasi (11500C), reaksi pembentukan As4 memliki nilai
energi bebas yang lebih negatif. Jadi secara termodinamika, arsenik lebih cenderung untuk membentuk As4 dibandingkan As2. Tetapi karena tidak
dilakukan analisis terhadap kandungan gas buang dari tanur anoda maka tidak diketahui komposisi gas buang yang menunjukkan perbandingan kadar As2 dan As4.
Hasil penelitian ini menunjukkan penambahan logam arsen pada awal proses oksidasi ternyata tidak efektif karena banyak arsen yang hilang setelah dilakukan proses oksidasi.
4.2. ASPEK KINETIKA OKSIDASI ARSEN
Dalam studi ini aspek kinetika oksidasi arsen pada proses deleading tidak sepenuhnya dapat ditunjukkan karena diperlukan pengamatan dari waktu ke waktu atas perubahan yang terjadi pada parameter operasi dan pengaruhnya terhadap kandungan arsen masing-masing di dalam logam
blister dan terak agar perubahan yang terjadi sebagai fungsi temperatur
dapat diamati. Hal ini tidak dapat dilakukan pada proses yang berjalan di pabrik, ditambah lagi lamanya waktu proses yang selama ini diterapkan dalam operasi deleading diperkirakan telah melebihi waktu yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan sehingga pembahasan yang dapat dilakukan berdasarkan pada aspek kesetimbangan termodinamika prosesnya.
Sebagai gambaran umum berikut ini ditunjukkan perubahan kandungan arsen pada berbagai tahap proses oksidasi.
Perubahan kadar arsen selama proses tersebut dapat dilihat dari hasil berikut:
Tabel 4.11 : Perubahan kadar As dalam fasa logam terhadap waktu
tahap waktu (menit)
kadar arsen (ppm) 6364 6390 6392 6386 6387 6388 6389 6391 1 Blister 0 964 654 431 282 261 418 584 828 2 Praoksidasi 1 60 886 713 479 333 335 451 666 857 3 Praoksidasi 2 120 845 805 461 332 367 489 682 802 4 Praoksidasi 3 180 826 644 506 307 302 414 682 504
Perubahan selama pra-oksidasi (%) 14.32 1.53 -17.4 -8.87 -15.71 0.96 -16.78 39.13
Penambahan As 1114 867 1864 867 800 840 892 902
kadar As teoritis 2040 1511 2370 1174 1102 1254 1574 1406
6 Awal oksidasi variatif 947 758 392 318 312 453 718 780
Kehilangan As dalam gas 1093 753 1978 856 790 801 856 626
Persentase yang hilang (%) 54 50 83 73 72 64 54 45
7 Akhir oksidasi variatif 949 1767 394 320 327 445 642 806
Perubahan selama oksidasi (%) -0.21 -133.11 -0.51 -0.629 -4.808 1.77 10.58 -3.33
Keterangan: tanda (-) berarti terjadi peningkatan kadar [As]Cu dari kadar
awal
Dari tabel 4.10 dan grafik di gambar 4.9 terlihat bahwa perubahan kandungan arsen sangat bervariasi, namun pada umumnya kehilangan arsen sebagian besar terjadi pada proses pra-oksidasi. Sebelum tahap oksidasi, yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan kandungan Pb (De-leading), dilakukan penambahan As terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk mengimbangi kehilangan arsen dalam bentuk gas As2 dan
As4. Selama proses oksidasi selanjutnya umumnya kandungan As dapat
dipertahankan dimana kenaikan atau penurunan kandungan As relatif kecil kecuali pada lot 6390 dimana terjadi peningkatan sebesar 133%. Sejauh ini penyebab fenomena tersebut belum diketahui.