• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

11 2.1.1 Fungsi Produksi

Fungsi produksi menunjukkan sifat hubungan di antara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan jumlah produksi selalu juga disebut sebagai output. Fungsi produksi dinyatakan dalam rumus seperti berikut (Sukirno, 1997:194):

Q= f(K,L,R,T)

dimana :

Q = jumlah produksi yang dihasilkan K = jumlah stok modal

L = jumlah tenaga kerja R = kekayaan alam

T = tingkat teknologi yang digunakan.

Persamaan tersebut merupakan suatu pernyataan matematik yang pada dasarnya berarti bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang digunakan.

(2)

2.1.2 Definisi Produktivitas, Pemasaran, dan Ekonomi Rumah Tangga Petani a. Konsep Produktivitas

Pengertian produktivitas sangat berbeda dengan produksi. Tetapi produksi merupakan salah satu komponen dari usaha produktivitas, selain kualitas dan hasil keluarannya. Produksi adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan hasil keluaran dan umumnya dinyatakan dengan volume produksi, sedangkan produktivitas berhubungan dengan efisiensi penggunaan sumber daya. Menurut Tylor et.al (1986). Produktivitas didefinisikan sebagai kemampuan petani untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan input.

Menurut Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Data Komoditas Perkebunan (PDKP) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian di tahun 2013, untuk 1 ha lahan karet dapat ditanami sebanyak 556 batang pohon. Kemudian untuk 556 batang pohon menghasilkan 1.670 kg getah karet. Sehingga untuk perhitungan standar produktivitas dapat dilakukan dengan cara membagi standar produktivitas ideal yaitu 1.670 kg dengan rasio antara luas areal tanam ideal 1 ha dengan luas kepemilikan lahan riil (ha). b. Konsep Pemasaran

Pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial dari sejumlah aktivitas yang berkesinambungan yang dimulai dari perencanaan dan pelaksanaan rancangan produk, harga, promosi dan distribusi dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen melalui

(3)

penciptaan, penawaran dan pertukaran sesuatu yang bernilai pada kelompok sasaran. Dalam konteks pertanian, Pemasaran hasil pertanian berarti kegiatan bisnis dimana produk yang dipasarkan adalah berupa komoditi pertanian sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen, dengan harapan konsumen akan puas dengan mengkonsumsi komoditas tersebut ( Julian, 2015).

c. Ekonomi Rumah Tangga Petani

Ekonomi rumah tangga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga, antara lain dalam sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud berkaitan dengan penghasilan atau pendapatan (Husin, 2011).

2.1.3 Usaha Perkebunan Karet Indonesia

Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman perkebunan yang penting baik dalam konteks ekonomi masyarakat maupun sumber penghasil devisa non migas bagi Negara (Damanik 2012). Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet mulai dicoba dibudidayakan pada tahun 1876. Sebagai komoditas perkebunan di Indonesia, karet merupakan komoditas unggulan kedua setelah komoditas kelapa sawit. Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian, pada tahun 2013 luas lahan perkebunan karet di Indonesia mencapai 3.492.042 ha. Dengan presentase diantaranya 85%

(4)

merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta.

Hasil utama dari pohon karet adalah lateks ( getah karet ) yang dapat dijual atau diperdagangkan di masyarakat. Lateks ini dapat berupa berupa lateks segar ataupun slab/koagulasi, sit asap1/sit angin2. Selanjutnya produk-produk tersebut akan digunakan sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber (Karet Remah), yang menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang dan lainnya.

2.1.3 Permasalahan Produktivitas Karet

Dalam penelitiannya, Dudi Iskandar (2011), menemukan bahwa permasalahan produktivitas perkebunan karet yang rendah di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh keterbatasan dalam teknologi seperti pengadaan bibit yang berkualitas, pemanfaatan lahan perkebunan yang tidak optimal, dan pemeliharaan tanaman yang buruk. Selain itu walaupun dari segi luas lahan, perkebunan karet rakyat adalah yang terbesar, namun produktivitasnya masih rendah yakni 926 kg/ha. Produktivitas perkebunan besar swasta mencapai 1.565 kg/ha dan produktivitas perkebunan besar Negara 1.327 kg/ha (Dirjenbun, 2010). Menurut Mubyarto (1991), Rendahnya produktivitas karet rakyat sering dikatakan karena klon ( jenis bibit karet ) yang dipakai belum jenis unggul (belum ada peremajaan) dan tidak ada upaya-upaya tertentu untuk menaikkan hasil. Letak

1 Lembaran karet yang sudah dikeringkan dengan proses penjemuran

(5)

perkebunan karet rakyat yang terpencar tanpa ada jalan yang bisa mencapainya juga turut menghambat transfer teknologi dari balai-balai penelitian.

Selain itu menurut Erni (2013), rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat juga disebabkan oleh pemeliharaan kebun kurang baik dan sebagian tanaman menggunakan bahan tanam biji sapuan (seedling), bukan dari klon unggul. Erni juga mengatakan bahwa rendahnya produktivitas karet rakyat di Indonesia juga berkaitan dengan kelemahan struktural sektor industri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu maupun industri hilir, keterbatasan kemampuan produksi dan teknologi untuk transformasi barang setengah jadi menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

Menurut Candra et.al (2008), permasalahan produksi lebih rentan terjadi pada perkebunan karet milik rakyat. Hal ini disebabkan karena kebun yang sebagian besar dimiliki oleh rakyat menghadapi keterbatasan teknologi yaitu tidak menggunakan klon unggul dan kurang dalam perawatan serta banyaknya areal kebun karet yang telah tua/rusak sehingga kurang produktif dan perlu segera diremajakan. Selain itu, menurut Rani (2011), permasalahan produksi di perkebunan karet milik rakyat adalah tidak adanya tempat penyimpanan khusus untuk proses pembekuan maupun penyimpanan dan juga ketersediaan teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan getah karet yang masih kurang sehingga pengolahan getah tersebut kurang maksimal. Penggunaan teknologi yang tepat dapat meningkatkan produktivitas perkebunan karet rakyat. Menurut Penelitian dari Riset Perkebunan Nusantara, teknologi seperti penggunaan bibit unggul dan pengendalian hama penyakit menjadi salah faktor penting dalam mencapai

(6)

produktivitas yang tinggi. Penemuan terakhir di bidang karet telah menghasilkan klon baru yang memiliki pertumbuhan cepat, sehingga masa tanaman belum menghasilkan dapat dipersingkat dari 5 tahun menjadi 3 tahun 6 bulan. Klon-klon baru tersebut diberi nama IRR (Indonesian Rubber Research) dan yang terbaik terdapat 5 klon yaitu IRR 100, IRR 111, IRR 112, IRR 117, dan IRR 118.

2.1.4 Pemasaran Perkebunan Karet Rakyat

Sistem pemasaran karet di Indonesia masih menunjukkan kondisi yang belum efisien. Selama ini petani harus melalui mata rantai yang panjang untuk menjual produksi karetnya (Lastinawati 2014). Di dalam memasarkan produk karet, banyak pihak yang terlibat di dalamnya, mulai dari koperasi, tengkulak, dan juga pabrik pengolahan karet. Petani karet rakyat menghadapi jalur distribusi yang sangat rumit dan dengan proses yang panjang, sehingga memunculkan tidak adanya standar mutu, sistem harga tidak transparan, dan petani tidak memperoleh informasi mengenai harga dan situasi pasar (Vadilla 2012). Panjangnya rantai tataniaga perdagangan karet rakyat mengakibatkan harga jual semakin rendah.

Pada sentra-sentra karet rakyat, sering ditemui sejumlah petani karet yang hanya berhadapan dengan satu orang pedagang karet (tengkulak). Dalam situasi ini, harga getah karet dari pedagang pengumpul ke petani sangat rendah. Saat harga getah karet turun, petani ditekan dengan harga jual yang rendah. Namun ketika harga getah karet naik, pergerakan harga cenderung lamban sampai kepada petani. Dalam hal ini, petani sebenarnya tahu informasi yang ada, akan tetapi kemampuan petani terbatas (Tety et.al 2014).

(7)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Endang dan Prihati (2010), bahwa harga karet yang diberikan tengkulak kepada para petani umumnya memang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar, namun karena petani yang kerepotan memasarkan sendiri, akhirnya tidak keberatan tengkulak yang memborong karet mereka. Mereka cenderung memilih tengkulak karena mudah ditemukan dan biasanya para tengkulak datang langsung kepada para petani karet. Tidak sedikit petani karet yang harus menunggu datangnya para pengepul untuk menjual hasil karet mereka, sehingga tidak ada tempat khusus bagi para pengepul atau petani karet yang dapat membantu kelancaran pendistribusian hasil perkebunan karet. Penetapan harga karet biasanya dilakukan dengan memeriksa kualitas dan kadar air karet. Pedagang pengumpul kemudian menjual kembali karet dalam jumlah yang lebih besar (2 - 4 ton) kepada pedagang besar. Pedagang besar selanjutnya menjual ke pabrik pengolahan karet.

2.2 Kondisi Ekonomi Rumah Tangga Petani Karet Rakyat

Usaha tani karet pada dasarnya adalah usaha tani keluarga. Bagi para petani karet, hasil karet yang mereka dapatkan merupakan sumber pendapatan bagi ekonomi rumah tangga mereka. Keadaan ekonomi petani karet mempunyai hubungan dengan hasil produksi karet rakyat. Ini berarti bahwa usaha peningkatan mutu karet rakyat menjadi kurang efektif bila keadaan ekonomi petani karet tidak ditingkatkan pula. Menurut Mubyarto (1991), Keadaan sosial ekonomi rumah tangga petani karet masih kurang memadai. Kesulitan ekonomi yang dihadapi petani karet berimbas pada rendahnya produktivitas perkebunan karet mereka. Hal

(8)

tersebut membuat para petani cenderung melakukan hal-hal yang merugikan seperti mencampur karet dengan benda-benda lain untuk menambah berat karet. Sebagai akibatnya tengkulak tidak akan memberikan harga tinggi pada karet sadapan petani karena para pedagang mengetahui bahwa karet telah dicampur. Hal ini dilakukan para petani karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi mereka. Relatif sedikitnya petani karet yang memandang usaha perkebunan karet sebagai usaha yang menguntungkan, berkaitan langsung dengan rendahnya pengetahuan pasar yang dimiliki petani karet. Petani karet umumnya menerima harga yang telah ditetapkan sehingga dorongan untuk mengusahakan mutu yang lebih baik tidak ada. Keadaan ekonomi rumah tangga dan tingkat pendidikan formal petani karet juga masih relatif rendah.

Oleh karena itu, produktivitas karet yang rendah berpengaruh terhadap pendapatan petani karet. Dalam hal ini, pendapatan para petani karet adalah hasil penjualan karet dari perkebunan mereka. Pendapatan mereka seringkali tidak stabil karena dipengaruhi oleh besarnya produksi karet yang dihasilkan, harga jual beli karet dengan pedangang dan pengepul, waktu kerja, jumlah tenaga kerja, dan kualitas karet yang dihasilkan (Kurniawan 2012). Pendapatan yang tidak stabil juga akan mempengaruhi kondisi ekonomi rumah tangga petani karet. Menurut Ketua Gapkindo Sumsel Alex K Eddy, saat ini petani demikian terpuruk, bisa dikatakan mereka sudah masuk kategori miskin ( Kontan online: 2015)

Menurut penelitian Husinsyah (2012), kesejahteraan petani karet masih rendah. Kondisi ini membuat penggunaan biaya produksi perlu diperhatikan oleh petani agar biaya tersebut dapat dialokasikan secara tepat, karena hal ini dapat

(9)

mempengaruhi jumlah pendapatan yang akan diterima petani. Sama halnya dengan penelitian Sunarti (2009) yang mengatakan bahwa tingkat pendapatan yang diperoleh petani tergantung praktek budidaya (agroteknologi) yang diterapkan, meliputi cara pembukaan lahan, pengolahan tanah, sistem tanam, input yang digunakan. Faktor-faktor tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat biaya dan produksi usahatani.

Dari beberapa penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dalam usaha perkebunan pada komoditas karet, petani karet menghadapi berbagai macam permasalahan yang menyebabkan produktivitas karet yang dihasilkan menjadi rendah, kemudian akan mempengaruhi harga karet dan pendapatan yang akan diterima para petani yang pada akhirnya berdampak kondisi perekonomian petani karet.

(10)

2.3 Kerangka Berpikir

Gambaran alur pikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Harga yang ditawarkan Rendah Karet Indonesia

Pendapatan petani karet Rendah

Produktivitas Rendah Teknologi terbatas

Rakyat

Pemerintah (BUMN) Swasta

Tingkat kesejahteraan dan kondisi ekonomi rumah tangga petani karet rendah Hasil produksi rendah

Struktur pemasaran panjang & rumit

Referensi

Dokumen terkait

LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) adalah sebuah unit kegiatan yang berfungsi mengelola semua kegiatan penelitian dan pengabdian kepada

4.3.2Pengaruh Kompetensi Profesional Guru terhadap efektivitas implementasi Kurikulum 2013 dalam Mata Pelajaran Ekonomi SMA di Bandung Raya

Terimakasih atas partisipasi anda telah meluangkan waktu untuk mengisi daftar pertanyaan pra survey ini, dengan tujuan sebagai data untuk penelitian saya mengenai “Pengaruh

Justeru itu, kajian yang akan dijalankan ini adalah bagi mengenalpasti tahap kesediaan guru-guru PKPG Kemahiran Hidup dari aspek minat, sikap serta penguasaan dalam

diibaratkan seperti teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit yang digunakan untuk mendeteksi potensi sumber daya alam di suatu titik lokasi,

Merupakan perbaikan dari prosedur quenching dan digunakan untuk mengurangi distorsi dan chocking selama pendinginan. Caranya benda kerja dipanaskan sampai ke

Kedua, Imam Malik menganggap bahwa perbuatan liwath adalah perbuatan jarimah (tindak pidana) karena ia sama seperti dengan perbuatan zina yang dikategorikan

Manakala untuk menyelesaikan masalah kita perlu berfikir sejenak dan men(ari jalan serta memeikirkan langkah#langkah tertentu yang mungkin tidak pernah di(uba sebelum itu,