• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. AKSES SUMBER DAYA DAN STRATEGI AKTOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. AKSES SUMBER DAYA DAN STRATEGI AKTOR"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

6.1. Pendahuluan

“Kalo ngomongnya soal surat-surat (dokumen resmi, perizinan), yah saya-saya ini ga punya hak buat usaha di sini. Tapi saya-saya ini keturunan asli orang sini, masa saya usaha di tanah leluhur saya sendiri mesti dilarang-larang. Nah, mereka cuma modal kertas (dokumen resmi perizinan) aja boleh bikin kolam (KJA di waduk). Padahal tuh orang banyak bukan orang dari sini. Dimana adilnya buat saya?” (J, pembudidaya skala kecil dan penduduk setempat, 2011)

Penggalan kutipan wawancara di atas memiliki banyak makna tentang permasalahan sumber daya di lokasi penelitian. Jika dipandang dari perspektif hak kepemilikan, maka beberapa orang seperti kutipan di atas akan dipandang sebagai ilegal users, atau lebih jauh disebut pencuri. Hal ini timbul karena hak kepemilikan biasanya diasosiasikan dengan dukungan peraturan dan hukum yang “melindungi” seperangkat hak-hak yang melekat bagi pemiliknya. Peraturan dan hukum tersebut bisa berbentuk legal formal ataupun konsensus sosial dalam masyarakat. Dalam konteks sumber daya di Waduk Djuanda, peraturan dan hukum yang dimaksud adalah dalam bentuk legal formal. Hak kepemilikan dengan demikian dapat bermakna penguasaan dan kekuasaan, serta “menyingkirkan” pihak lain yang tidak memiliki hak dari upaya memperoleh manfaat.

Pihak lain yang tersingkir ini secara tidak langsung tercabut hak-haknya untuk mengektraksi manfaat dari sumber daya yang “telah dimiliki” oleh pemegang hak. Jika pihak lain tersebut memaksakan diri mengekstraksi manfaat atas sumber daya tersebut, maka mereka tersebut dikatakan sebagai illegal users. Hal ini tidak menjadi masalah jika mekanisme distribusi hak-hak kepemilikan terjadi secara adil dengan memperhitungkan dan melibatkan berbagai kepentingan dan pengguna. Namun, dalam konteks lokasi penelitian, keadilan distribusi hak-hak kepemilikan bagi pengguna tidak terjadi secara merata. Permasalahan dikotomi penduduk asli dan penduduk pendatang mengemuka dalam berbagai wawancara yang dilakukan. Meskipun tidak menjadi sebuah konflik sosial yang terbuka, tetapi memberikan

(2)

permasalahan tersendiri dalam penerapan berbagai aturan pengelolaan sumber daya.

Hasil wawancara di lapang mengindikasikan bahwa rata-rata penduduk lokal yang lebih sering melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pengelola waduk. Bentuk pelanggaran ini berbagai macam, yaitu dari mulai pembuatan dan penempatan KJA pada lokasi di luar zonasi hingga penghindaran dari kewajiban membayar retribusi dan pajak. Semua hal ini biasanya dilakukan dengan dalih bahwa mereka hanya pembudidaya ikan skala kecil dan identitas penduduk lokal yang seharusnya mendapatkan keistimewaan perlakuan. Mereka ini biasanya mengungkit kembali perihal di masa lalu saat mereka menjadi “korban” relokasi keberadaan waduk. Mereka secara tidak langsung menuntut bahwa seharusnya merekalah pihak pertama yang mendapatkan kesempatan berusaha KJA dibanding penduduk pendatang.

Memang dalam kebijakan awal pengembangan sumber daya waduk telah diberikan kesempatan bagi penduduk setempat untuk berusaha. Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan dibukanya akses dan tidak difasilitasinya masalah permodalan pada saat itu dan juga sekarang. Hal ini mengingat besarnya modal usaha yang diperlukan untuk ikut dalam kegiatan usaha KJA. Sementara penduduk pendatang memiliki kemampuan permodalan dan secara otomatis dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama kegiatan usaha budidaya KJA didominasi oleh penduduk pendatang.

“Kami bukan ilegal apalagi pencuri. Masa kami berusaha di halaman rumah dan di tanah leluhur dibilang pencuri? Kami cuma nuntut keadilan. Apa yang boleh kaya cuma orang pendatang? Sekarang enak aja saya mau diusir-usir sama POJ (PJT II), enggak boleh usaha. Bapak saya dulu dapet ganti rugi, tapi gak adil. Ga seberapa. Dulu punya kebun yang bisa digarap biar juga sedikit. Abis dipindahin sama sekali gak punya apa-apa, cuma rumah doangan yang enggak juga lebih gede dari dulunya. Sampai wafatnya hidupnya gak berubah, padahal itu orang-orang dari Jakarta, Jawa, Bandung, Purwakarta pada sukses-sukses usaha KJA. Sekarang saya nuntut hak saya, hak orang tua saya. Biar juga modal kecil-kecilan boleh pinjem sana-sini, saya berani bikin KJA. Sengaja bikinnya di sini, kalo bikinnya di itu zonasi saya kudu ngurus surat ama bayar retribusi.”, (E, pembudidaya skala kecil dan penduduk setempat, 2011).

(3)

Ada beberapa hal yang menarik dari kutipan wawancara di atas. Penyebutan kata ilegal atau pencuri bersifat subjektif tergantung dari sudut pandang siapa yang berbicara. Bagi para pemegang hak kepemilikan, tentu saja mereka yang tidak memiliki hak adalah ilegal ataupun pencuri sumber daya. Namun bagi mereka yang disebut ilegal itu dan kebanyakan penduduk lokal, justru para pemegang hak tersebut yang tidak lain adalah pencuri hak berusaha mereka. Selain itu, ada indikasi bahwa meskipun mereka tidak memiliki hak berusaha yang diatur dalam peraturan formal, namun pada kenyataannya mereka tetap bisa menikmati manfaat langsung dari sumber daya waduk. Hal tersebut dilakukan secara terang-terangan dengan keberadaan fisik bangunan dan operasional usaha. Mereka tetap tidak dapat mengakses bantuan permodalan yang resmi seperti dari perbankan ataupun pemerintah karena tidak memiliki izin. Namun jumlah mereka semakin bertambah dari tahun ke tahun. Dengan demikian, ada hal lain selain dari hak kepemilikan yang memungkinkan seseorang dapat mengambil manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari sumber daya waduk.

Penulis beranggapan bahwa teori hak kepemilikan tidak serta merta dapat mendefinisikan secara jelas pihak-pihak yang dapat turut serta secara langsung memanfaatkan sumber daya. Dalam kenyataannya ada pihak-pihak yang secara teoritis tidak berhak mendapatkan manfaat secara langsung dari sumber daya tetapi mendapatkannya. Pihak yang memegang hak pun pada kenyataannya tidak dengan bebas menggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya yang telah diatur dalam peraturan. Dampaknya adalah keputusan pemegang hak pada tingkatan pengguna (pembudidaya) tidaklah murni keputusannya. Tidak jarang keputusannya tersebut merupakan keputusan pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam operasionalisasi usaha. Hal ini yang memicu dilanggarnya beberapa peraturan yang ada dan secara tidak langsung berdampak terhadap kualitas sumber daya. Pelanggaran ini sebagai akibat “kesepakatan-kesepakatan” yang terjadi antara pembudidaya dan pihak lain.

Teori akses memperluas cakupan teori hak kepemilikan. Teori akses lebih menekankan tentang tata cara setiap orang mendapatkan manfaat dari sumber daya dibandingkan dengan semata-mata kepemilikan hak yang mengatur tentang hak dan tanggung jawab. Teori akses juga menganggap bahwa teori kepemilikan hanyalah

(4)

salah satu cara atau mekanisme dalam mendapatkan akses terhadap sumber daya. Ribot and Peluso (2003) menjelaskan, “…property as one set of factors (nuanced

in many ways) in a larger array of institutions, social and political-economic relation, and discursive strategies that shape benefit flows. Some of these are not acknowledged or recognized as legitimate by all or any part of society; some are residues of earlier legitimating institutions and discourses”. Dalam pengertian lain,

hak kepemilikan sumber daya bisa disebut juga sebagai akses berdasarkan hak. Upaya mengidentifikasi jenis akses yang ada dapat dilakukan dengan memperhatikan tiga hal, yaitu tata cara mengontrol akses (access control), mempertahankan akses (access maintenance) dan juga memperoleh akses (gaining

access). Mengontrol akses adalah kemampuan memediasi akses pihak lain.

Pengelolaan untuk mempertahankan akses memerlukan pengeluaran sebagian atau seluruh sumber daya atau kekuasaan untuk menjaga tetap terbukanya akses sumber daya tertentu bagi dirinya (Berry, 1993 dalam Ribot and Peluso, 2003). Ribot and Peluso (2003) menegaskan bahwa, “maintenance and control are complementary.

They are social positions that temporarily crystalize around means of access”.

Perolehan akses adalah keseluruhan proses yang lebih umum terjadi dalam mendapatkan akses.

Hubungan antara mereka yang mengontrol akses pihak lain dengan pihak yang harus mempertahankan akses mereka paralel dengan hubungan antara pemilik modal dengan buruh dalam konsep Marx. Untuk mempertahankan akses, pihak subordinat seringkali harus membagi manfaat yang mereka peroleh kepada pihak yang memiliki kontrol terhadap akses. Pihak subordinat mengeluarkan sumber daya yang mereka miliki demi menjaga relasi dengan pihak yang memiliki kontrol. Hanya dengan cara membagi manfaat saja mereka dapat memperoleh manfaat bagi dirinya. Dalam konteks ini, kekuasaan memegang peranan penting. Kekuasaan memainkan peranan penting dalam setiap posisi aktor pada relasi akses. Seorang aktor bisa memiliki kekuasan yang lebih dibanding yang lain pada saat tertentu atau pada suatu relasi tertentu. Dalam konteks lain, dengan memperhatikan pendekatan kekuasaan di dalam akses sumber daya, juga dapat menjelaskan mengapa ada pihak yang dapat memiliki akses dan pihak yang tidak memiliki akses atas sumber daya. Kekuasaan yang dimaksud tidak hanya bersumber dari legitimasi peraturan formal

(5)

yang ada, tetapi juga kepada sumber-sumber kekuasaan yang ada di tengah masyarakat. Sumber-sumber kekuasaan ini pada gilirannya akan membentuk jejaring akses yang saling terkait satu dengan lainnya dan mempengaruhi relasi antara aktor. Dengan demikian fokus kajian dalam teori akses (jejaring dan perangkat kekuasaan) adalah alat atau media, proses dan relasi dimana aktor dapat memperoleh, mengontrol dan mempertahankan aksesnya ke sumber daya. Media, proses dan relasi dipahami sebagai mekanisme (Ribot and Peluso, 2003).

6.2. Jenis dan Alur Manfaat Sumber Daya Waduk Djuanda

Ribot and Peluso (2003) menyebutkan bahwa identifikasi jenis sumber daya dan manfaatnya serta alur manfaat sumber daya merupakan hal yang pertama kali harus dilakukan. Menurutnya, “the analysis of resource access first require

identifying the object of inquiry—a particular benefit coming from a particular resource”. Manfaat sumber daya ini tidak hanya yang bersifat ekstraksi langsung

saja, seperti perikanan tangkap ataupun budidaya, namun juga dapat meliputi seluruh rangkaian proses produksi, distribusi hingga konsumsi.

Sumber daya Waduk Djuanda menyediakan berbagai bentuk barang dan jasa lingkungan yang dapat diambil manfaatnya oleh beberapa pihak yang berbeda. Identifikasi manfaat sumber daya tidak dapat terlepas dari identifikasi jenis barang dan jasa yang ditawarkan oleh sumber daya tersebut. Sumber daya Waduk Djuanda memberikan beberapa manfaat yaitu bahan baku air bersih dan sumber pembangkit tenaga listrik yang diambil manfaatnya oleh pihak PJT II; perairan untuk usaha budidaya KJA, jalur transportasi air dan pariwisata; ikan untuk kegiatan penangkapan; sumber air irigasi untuk pertanian; juga jasa-jasa lingkungan seperti halnya pengendalian banjir, cadangan air bersih, sumber plasma nutfah bagi perikanan dan lainnya.

Manfaat yang diperoleh tersebut tidak hanya melibatkan satu pengguna saja, sering kali melibatkan berbagai pengguna dalam satu rantai dan jejaring yang panjang dan saling terkait. Dengan demikian manfaat tersebut mengalir dari satu pengguna ke pengguna lainnya, dan dapat meningkat besaran manfaatnya dari satu pengguna ke pengguna lainnya. Ribot and Peluso (2003) menyebutkan, “Benefits

(6)

from a resource can accrue in production, extraction, product transformation, exchange, transport, distribution, or consumption”.

1. Alur manfaat bahan baku air bersih

PJT II berperan sebagai regulator dan distributor bahan baku air bersih untuk wilayah Jakarta. Air dari Waduk Djuanda didistribusikan kepada PDAM Jakarta untuk kemudian diolah lebih lanjut hingga memenuhi standar kelayakan. PDAM Jakarta kemudian mendistribusikannya kepada konsumen dan konsumen menikmati air tersebut untuk kegiatan keseharian dengan kompensasi membayar harga tertentu. Hal yang perlu diperhatikan adalah alur manfaat ini tidak hanya berjalan satu arah saja, namun juga berlaku sebaliknya dalam bentuk penanggungan resiko. Sebagai contoh jika terjadi penurunan kualitas bahan baku air bersih, maka akan menyebabkan bertambahnya resiko bagi PDAM berupa bertambahnya biaya dalam proses produksi air bersih.

2. Alur manfaat sumber tenaga pembangkit listrik

Air Waduk Djuanda dimanfaatkan sebagai sumber tenaga pembangkit listrik yang dikelola oleh PJT II. PJT II mengolah air menjadi tenaga listrik menggunakan turbin dan mendistribusikannya kepada PJB (Perusahaan Jawa Bali). PJB kemudian mendistribusikan listrik tersebut kepada konsumen dan konsumen menikmati listrik dengan membayar harga tertentu.

3. Alur manfaat perikanan budidaya

Perikanan budidaya memiliki alur manfaat yang lebih kompleks dan melibatkan banyak aktor di dalamnya. Alur manfaat perikanan budidaya lebih mudah diidentifikasi dengan mengikuti proses produksi, distribusi dan konsumsi. Pada rangkaian proses produksi, kegiatan budidaya melibatkan berbagai pihak, diantaranya penyedia jasa konstruksi KJA (berupa penyedia bahan baku konstruksi dan juga penyedia jasa perakitan konstruksi), pembudidaya, penyedia benih, penyedia pakan, operator (penjaga KJA), penyedia modal, pemerintah dan pengelola waduk melalui retribusi dan perizinan, dan transportasi. Alur manfaat pada rangkaian proses distribusi

(7)

melibatkan bakul ikan (pedagang pengumpul), buruh panen, penyedia es, penyedia jasa transportasi air dan darat. Sementara alur manfaat pada proses konsumsi melibatkan pedagang pengecer, rumah makan, dan konsumen.

Alur manfaat perikanan budidaya bisa melibatkan berbagai kombinasi dari seluruh aktor yang ada di atas. Hal ini terjadi karena seringkali satu pihak menjalankan beberapa fungsi aktor secara bersamaan. Sebagai contoh, tidak jarang dijumpai penyedia modal yang juga penyedia benih, pakan dan sekaligus bakul ikan. Semakin pendek alur manfaat maka semakin besar porsi manfaat yang diterima oleh masing-masing aktor. Semakin terkumpulnya fungsi aktor pada satu pihak juga akan semakin besar terakumulasinya manfaat pada pihak tersebut.

4. Alur manfaat perikanan tangkap

Kegiatan pemanfaatan perikanan tangkap yang ada di Waduk Djuanda lebih sederhana dibandingkan dengan perikanan budidaya. Alur manfaat yang terjadi di perikanan tangkap meliputi penyedia perlengkapan, nelayan, penyedia modal, bakul ikan (pedagang pengumpul), penyedia jasa transportasi air dan darat, penyedia es, pedangang pengecer, rumah makan dan konsumen. Sederhananya alur manfaat di perikanan tangkap karena sifat perikanan tangkap yang berupa skala kecil dengan alat tangkap yang sederhana dan hanya beroperasi seorang diri saja. Namun demikian, sama halnya dengan perikanan budidaya, alur manfaat yang ada bisa melibatkan berbagai kombinasi dari aktor yang ada. Panjang dan pendeknya alur manfaat mempengaruhi besaran porsi manfaat yang diterima oleh masing-masing aktor pengguna. Umumnya, bakul ikan merangkap sebagai pedagang pengecer dan penyedia modal sehingga akumulasi manfaat lebih banyak berada di bakul ikan dibandingkan dengan nelayan.

5. Alur manfaat transportasi air

Masyarakat memanfaatkan perairan sebagai sarana melintas antar desa. Hal ini disebabkan karena lokasi desa-desa yang mengelilingi waduk dan akses jalan darat yang memutar. Selain itu kegiatan budidaya juga memerlukan kebutuhan perlengkapan usaha yang difasilitasi oleh transportasi air untuk mengantarnya.

(8)

Kegiatan wisata seperti pemancingan juga memanfaatkan transportasi air. Alur manfaat kegiatan transportasi air diidentifikasikan terdiri dari penyedia jasa peralatan dan perbaikan, operator perahu, penyedia modal dan konsumen. Gambar 4 memperlihatkan akses, aliran manfaat sumber daya dan pola relasi aktor yang terdapat di Waduk Djuanda, Jatiluhur.

Gambar 4. Akses, Aliran Manfaat Sumber Daya dan Pola Relasi Aktor

6.3. Mekanisme Akses Sumber Daya Waduk Djuanda: Kepentingan dan Strategi Aktor

Ribot and Peluso (2003) menjelaskan hal yang perlu dilakukan dalam mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme akses, yaitu “identifying the

mechanism by which different actors involved gain, control, and maintain the benefit flow and its distribution”. Mekanisme akses setidaknya dibagi menjadi dua,

yaitu mekanisme akses berdasarkan hak dan mekanisme akses berdasarkan struktur dan relasi. Mekanisme akses yang terjadi melibatkan berbagai aktor yang memiliki tingkat kepentingan dan kekuasaan yang berbeda dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Relasi yang terjadi antara aktor dapat dikelompokkan menjadi antara mereka yang memiliki kontrol terhadap akses sumber daya dengan mereka yang harus mendapatkan dan mempertahankan akses sumber daya. Dalam pola relasi inilah pembagian manfaat atas sumber daya dinegosiasikan diantara dua

KJA KJA skala kecil

(4-20 petak) KJA skala menengah

(20-50 petak) KJA skala besar

( > 50 petak) Disnakkan Kab. Purwakarta Sumber Daya Perairan Waduk Pedagang pakan Bandar ikan Bandar ikan Nelayan Transportasi Air PJT II PJB - PLN PDAM

Aliran manfaat langsung Aliran manfaat tidak langsung Relasi pemodal

(9)

kelompok aktor tersebut (Ribot and Peluso, 2003). Dalam proses negosiasi tersebut masing-masing aktor mengembangkan strategi yang berbeda demi satu tujuan yaitu mempertahankan akses sumber daya dan juga aliran manfaatnya.

Mekanisme Akses Berbasis Hak

MacPherson (1978) dalam Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan, “when the

ability to benefit from something derives from rights attributed by law, custom, or convention, contemporary theorists have usually called it ‘property’”. Terkait

konteks lokasi penelitian, maka kemampuan mengambil manfaat sumber daya diperoleh melalui hukum dan peraturan formal yang mendukung klaim atas sumber daya waduk. Dalam bab sebelumnya dijelaskan tentang kelompok aktor yang terbagi menjadi dua, yaitu kelompok aktor otorita dan kelompok aktor pengguna.

a. Kelompok aktor otorita

Kelompok aktor otorita memperoleh akses dengan berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan. Kelompok aktor otorita berperan sebagai perpanjangan tangan negara dalam penguasaan sumber daya. Namun demikian, terdapat perbedaan kepentingan antara negara dengan PJT II dan PJT II dengan Pemda Kabupaten Purwakarta cq Dinas Peternakan dan Perikanan dalam pelaksanaannya.

PJT II sebagai sebuah badan usaha memiliki kepentingan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dari core business nya, yaitu penyedia bahan baku air bersih dan juga penyedia listrik. Dinas Peternakan dan Perikanan di lain pihak memiliki kepentingan PAD dari sektor perikanan. Dua kepentingan ini bertolak belakang dalam pengembangan strateginya. PJT II menganggap kegiatan perikanan budidaya justru menjadi beban bagi usahanya. Kerusakan dan degradasi kualitas perairan salah satunya dituding sebagai dampak dari keberadaan kegiatan perikanan budidaya yang semakin tidak terkendali jumlahnya. Dengan terjadinya kerusakan dan degradasi kualitas perairan maka secara langsung mempengaruhi produksi bahan baku air bersih dan listrik. Kerusakan pada instalasi usaha seperti turbin dan bendungan dan meningkatnya biaya perawatan menjadi beban biaya produksi. Sementara harga jual dari produknya tidak bisa dengan mudah meningkat

(10)

begitu saja. Selanjutnya berakibat kepada berkurangnya keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan. PJT II mengambil strategi yang bertujuan tetap menjaga aliran manfaat bagi usahanya, yaitu dengan kecenderungan membatasi dan mengurangi kegiatan perikanan budidaya.

Hal yang berbeda terjadi dengan Dinas Peternakan dan Perikanan, mengingat manfaat yang diperoleh berasal dari alur kegiatan perikanan, baik budidaya maupun penangkapan, melalui retribusi dan perizinan sebagai sumber PAD. Strategi yang ditempuh oleh mereka dalam upaya mempertahankan aliran manfaat adalah dengan cenderung mempertahankan jumlah pembudidaya dan perbaikan teknik-teknik usaha yang lebih ramah lingkungan. Walaupun baik PJT II dan Dinas Peternakan dan Perikanan memiliki kesamaan sikap terkait harus terkendalinya jumlah KJA, namun berbeda sikap tentang penambahan atau pengurangan jumlah KJA.

b. Kelompok aktor pengguna

Kelompok aktor pengguna dalam hal ini adalah mereka yang memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya waduk secara langsung, seperti pembudidaya dan nelayan. Berdasarkan aturan yang ada, maka hanya kedua aktor ini yang memiliki hak memanfaatkan sumber daya. Hak dan kewajiban kedua aktor ini dijabarkan dalam bentuk peraturan daerah. Akses sumber daya diperoleh dengan cara membeli izin lokasi usaha dan atau izin melakukan kegiatan usaha yang bersifat kontraktual dalam jangka waktu tertentu, yaitu satu tahun. Dengan kepemilikan izin tersebut maka mereka mendapatkan hak yang dapat digunakan untuk penguasaan atas suatu lokasi tertentu dan atau dalam suatu waktu tertentu. Bagi pembudidaya mereka mendapatkan lokasi KJA dalam zonasi-zonasi yang telah ditetapkan serta kesempatan menjalankan kegiatan usaha KJA yang berlaku selama satu tahun. Sementara bagi nelayan mendapatkan hak untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan waduk yang juga berlaku selama satu tahun.

Dalam konteks berbasis hak, maka kelompok aktor pengguna adalah pihak yang harus mempertahankan akses terhadap sumber daya. Sementara kelompok aktor otorita adalah pihak yang memiliki kontrol terhadap akses sumber daya. Strategi yang dikembangkan oleh kelompok aktor pengguna untuk

(11)

mempertahankan aksesnya dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan identitas asal. Kelompok aktor pengguna yang merupakan penduduk lokal memanfaatkan identitasnya dan kelompok untuk memperjuangkan permasalahan yang ada. Biasanya pembudidaya setempat mengelompokkan diri kepada satu pembudidaya berskala besar yang juga penduduk lokal. Pembudidaya ini saling bekerja sama saat menghadapi permasalahan yang sama, namun tidak dalam kegiatan usaha.

Berbeda halnya dengan umumnya pembudidaya pendatang, strategi yang mereka gunakan untuk mempertahankan akses sumber dayanya adalah dengan cara sebisa mungkin mematuhi aturan yang ada dan mendekatkan diri kepada beberapa petugas yang berwenang. Bagi mereka, jaminan perlindungan hukum atas usaha mereka adalah hal penting saat menghadapi permasalahan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui terdapat perbedaan perlakuan yang diterima oleh petugas yang berwenang dari kedua kategori pembudidaya ini saat melakukan kunjungan lapang. Pembudidaya pendatang cenderung untuk menjamu dan memberikan pelayanan kepada petugas sebaik mungkin dibandingkan dengan pembudidaya setempat. Hal ini sebagai salah satu cara untuk mengamankan akses mereka terhadap sumber daya. Tabel 15 memperlihatkan mekanisme akses berbasis hak di Waduk Djuanda, Jatiluhur.

Tabel 15. Mekanisme Akses Berbasis Hak di Waduk Djuanda, Jatiluhur Aktor Sumber

Manfaat Sumber Masalah Strategi

Kedudukan Aktor PJT II Bahan baku

air bersih dan listrik Kegiatan KJA (limbah pakan, domestik dan operasional KJA) Mengurangi dan atau membatasi jumlah KJA Mengontrol akses manfaat sumber daya Disnakkan Kab. Purwakarta PAD (retribusi dan perizinan) Eutrofikasi perairan akibat bahan cemaran Mempertahan kan dan mengatur jumlah KJA Mengontrol akses manfaat sumber daya Pengguna Ekstraksi langsung sumber daya perairan waduk Degradasi sumber daya perairan dan keadilan usaha Menggunakan identitas sosial dan tuntutan jaminan usaha Mempertahankan akses manfaat sumber daya

(12)

Mekanisme Akses berbasis Struktur dan Relasi

Mekanisme akses berdasarkan struktur dan relasi sangat bergantung terhadap kondisi masyarakat setempat dan bersifat dinamis. Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan setidaknya ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi akses, diantaranya adalah teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan relasi sosial. Aktor dapat memiliki dan menguasai berbagai jenis akses sekaligus ataupun bergantung hanya kepada satu jenis akses saja.

Pembudidaya KJA

Pembudidaya KJA dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan besaran skala usahanya, yaitu kecil, menengah dan besar. Selain itu, pembudidaya KJA juga dikelompokkan menjadi dua berdasarkan identitas asalnya, yaitu lokal (setempat) dan pendatang. Pengelompokkan ini dilakukan berdasarkan hasil wawancara lapang dimana setiap informan selalu merujuk diri mereka sendiri ataupun merujuk pembudidaya lain dengan salah satu kombinasi kategori pengelompokkan tersebut. Kenyataannya memang mekanisme akses yang diperoleh oleh setiap kategori tersebut berbeda-beda.

Pembudidaya KJA skala kecil dan setempat mendapatkan akses sumber daya melalui berbagai cara, yaitu melalui akses kapital yang diperolehnya melalui para pemodal seperti pembudidaya KJA skala besar, bandar ikan, pedagang pakan ataupun pemodal. Cara lainnya adalah melalui akses atas identitas sosial yang erat dengan akses terhadap otoritas-otoritas lokal seperti bandar ikan yang tidak jarang digunakan oleh petugas pemerintah untuk membantu pelaksanaan kegiatan pihak otorita. Cara terakhir adalah akses atas relasi sosial yang sebenarnya bersifat komplementer dengan kedua cara sebelumnya. Akses atas relasi sosial ini justru menjadi pra syarat berhasilnya mendapatkan kedua jenis akses sebelumnya.

Akses terhadap kapital diperoleh dengan sebelumnya mengamankan terlebih dahulu mekanisme akses relasi sosial terhadap para pemodal. Akses relasi sosial diperoleh melalui kepercayaan (trust), relasi pertemanan, patronase dan lainnya. Bentuk patronase antara pembudidaya kecil dengan pemodal adalah yang umum terjadi. Bagi siapapun yang memiliki keinginan membuka usaha tidaklah

(13)

sulit untuk mencari pemodal. Hal ini terungkap dari hasil wawancara di lapang, seperti berikut.

“Saya dulunya buruh KJA punya Pak A, terus saya ditawarin sama dia buat bikin KJA sendiri. Modal semua dari dia. Banyak juga yang kaya saya, dapet modal dari orang lain terus bikin KJA kecil-kecilan, yah mulainya dari empat petak biasanya”, (CR, pembudidaya skala kecil dan penduduk setempat, 2011).

“Selama saya usaha di sini, yang susah itu bukan nyari yang mau modalin, tapi justru nyari orang yang bisa dipercaya buat usaha itu yang susah. Saya juga ga bisa asal ngasih modal begitu aja. Harus tau dulu orangnya kaya gimana, ada pengalaman enggak di kolam (KJA). Makanya saya lebih milih kasih modal ke bekas anak buah saya”, (A, pemodal; bandar ikan; dan pembudidaya KJA skala besar, 2011).

Saat awal patronase terjalin, maka terjadilah negosiasi pembagian manfaat antara pembudidaya kecil sebagai pihak yang membutuhkan akses dengan pemodal sebagai pihak yang memiliki kontrol terhadap akses, dalam hal ini akses sumber daya melalui kapital. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa manfaat sumber daya membentuk suatu alur atau aliran yang berpindah dari satu aktor ke aktor lainnya. Pemodal tentu saja mengambil bagian manfaat yang jauh lebih besar, sementara pembudidaya kecil harus mengorbankan sebagian manfaat sumber daya yang diperolehnya agar tetap dapat memiliki akses. Pengorbanan tersebut berupa kewajiban penjualan hasil panen kepada pemodal dengan harga yang telah ditentukan oleh pemodal sebelumnya. Harga tersebut tentu saja lebih rendah dari harga jual sebenarnya. Hal ini sebagai kompensasi dari diberikannya pinjaman atas benih dan pakan yang akan dibayarkan dari hasil panen tersebut.

Terlihat bahwa pemodal mendapatkan dua keuntungan, pertama harga beli ikan yang lebih rendah dan keuntungan dari pengembalian hutang benih ikan dan pakan ikan. Patronase bisa diakhiri dengan syarat tidak lagi terdapatnya hutang piutang diantara kedua belah pihak. Namun demikian, tidak selalu pihak pemodal mengambil keuntungan berlebih dari kliennya. Pada saat-saat tertentu, seperti saat melimpahnya panen ikan atau saat terjadinya kematian massal ikan, pemodal memiliki kewajiban untuk tetap membeli hasil ikan dari para kliennya meskipun terhitung rugi. Hal ini merupakan salah satu cara dari pemodal untuk tetap mempertahankan aliran manfaat yang diterima dari para kliennya.

(14)

Akses sumber daya melalui mekanisme identitas sosial dan otoritas terjadi pada kasus pembudidaya setempat yang tidak memiliki izin usaha. Identitas asli setempat menjadi senjata dan pembelaan untuk membenarkan dirinya membuka usaha KJA meskipun tidak memiliki izin. Para pembudidaya ini biasanya mendekatkan diri dan bergantung terhadap tokoh-tokoh setempat yang dianggap memiliki otoritas dan dapat melindungi mereka. Tokoh-tokoh setempat yang dimaksud sebenarnya tidak lain adalah bandar-bandar ikan yang juga seringkali diminta sebagai perpanjangan tangan oleh petugas yang berwenang untuk membantu tugas-tugasnya. Tugas-tugas tersebut seperti pendataan statistik, menarik retribusi, ataupun juga sebagai ketua dari salah satu kelompok nelayan atau pembudidaya, bahkan ada juga yang merangkap sebagai ketua POKWASMAS. Para tokoh ini memanfaatkan posisinya untuk bernegosiasi dengan petugas yang berwenang agar membiarkan mereka tetap berusaha KJA. Para tokoh ini juga biasanya berperan sebagai pemodal sekaligus patron dari para pembudidaya tersebut. Hubungan patronase berjalan sama seperti halnya dengan pembudidaya lainnya.

Pembudidaya KJA skala kecil selalu dalam posisi memerlukan jaminan akses dan selalu berupaya menjaga tetap terbukanya akses bagi dirinya. Meskipun dengan cara harus memberikan sebagian besar manfaat sumber daya yang diperolehnya kepada pihak yang mengontrol akses tersebut. Dengan sendirinya pembudidaya KJA skala kecil tercabut beberapa kekuasaan yang seharusnya dimiliki. Sebagai contoh adalah hilangnya kekuasaan untuk bebas menentukan kepada pihak mana hasil panen tersebut dapat dijual, hilangnya kekuasaan untuk bernegosiasi harga jual bahkan dalam kasus tertentu beberapa pembudidaya juga tidak dapat menentukan lokasi KJA sesuai keinginannya. Aliran manfaat mengalir dari pihak yang sedikit memiliki kuasa kepada pihak yang lebih banyak memiliki kuasa. Tabel 16 menunjukkan mekanisme akses berbasis struktur dan relasi pembudidaya KJA skala kecil.

(15)

Tabel 16. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan Relasi Pembudidaya KJA Skala Kecil

Strategi Memperoleh Akses

Strategi

Mempertahankan Akses Tipe Akses Melalui pemilik modal

(pengusaha KJA skala besar, bandar ikan, pedagang pakan)

Menjalin hubungan patronase dengan pemilik modal dan otoritas lokal

Kapital

Menggunakan wacana penduduk setempat dan menjalin kedekatan dengan otoritas lokal

Identitas sosial, Otoritas dan Relasi sosial

Pembudidaya KJA skala menengah dan skala besar, baik penduduk setempat maupun pendatang umumnya memiliki tingkat penguasaan kapital yang cukup. Akses kapital bukan merupakan masalah, bahkan banyak diantaranya justru merupakan pihak yang memegang kontrol atas kapital bagi pembudidaya KJA skala kecil. Salah satu cara bagi pembudidaya ini mempertahankan kontrol atas akses sumber daya adalah dengan menggabungkan beberapa fungsi aktor sekaligus menjadi satu. Bukan hal yang aneh jika dijumpai pembudidaya ikan skala menengah dan besar yang juga sebagai bandar ikan dan pedagang pakan. Hanya penyedia benih yang jarang dijumpai melebur menjadi satu dengan pembudidaya KJA skala besar.

Bagi pembudidaya KJA yang tidak memiliki usaha sebagai bandar ikan ataupun pedagang pakan, mereka menjalin hubungan kerja sama dan relasi dengan sesama pembudidaya KJA yang juga berperan sebagai bandar ikan dan pedagang pakan. Keduanya memiliki tingkat kekuasaan yang sama dan proses negosiasi pembagian manfaat terjadi dengan porsi yang sama kuat. Tidak ada dominasi diantara keduanya. Sebagai contoh, harga jual ikan sama dengan harga jual ikan sebenarnya, dan demikian juga dengan harga pakan. Salah satu strategi yang diambil oleh pembudidaya KJA ini adalah dengan membuat kerjasama dan relasi lebih dari satu bandar ikan dan pakan ikan. Hal ini bertujuan agar terhindar dari permasalahan ketika terjadi melimpahnya ikan dan sulit dijumpai bandar ikan yang bersedia membeli. Bandar-bandar ikan ini umumnya lebih mendahulukan membeli ikan dari para kliennya.

(16)

Salah satu cara lainnya adalah mengamankan akses sumber daya melalui cara menjalin relasi dengan pihak otoritas. Ciri khas dari pembudidaya ini, khususnya pembudidaya pendatang, adalah ketaatan pada hukum dan aturan yang ada. Hal ini ditunjukkan dari petikan wawancara berikut.

“Kalo buat kami, itu kami hitung investasi. Soalnya kenapa kita nurut sama aturan dan kasih sedikit service buat petugas biar usaha kita aman. Dan selama ini memang kami jarang sekali diganggu-ganggu oleh petugas”, (E, pembudidaya skala menengah dan pendatang, 2011).

Proses perizinan dan retribusi adalah hal pertama yang akan dilakukan dan menjadi prioritas. Tidak jarang dalam proses pengurusan perizinan dan pembayaran retribusi tersebut mereka sengaja mengeluarkan biaya yang sedikit lebih banyak dari yang seharusnya tanpa adanya paksaan ataupun permintaan dari petugas. Tabel 17 menunjukkan mekanisme akses berbasis struktur dan relasi pembudidaya KJA skala menengah dan besar.

Tabel 17. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan Relasi Pembudidaya KJA Skala Menengah dan Besar

Strategi Memperoleh Akses

Strategi mempertahankan dan

Mengontrol Akses Tipe Akses Kepemilikan kapital yang

cukup untuk berusaha

Mengakumulasi manfaat sumber daya dengan merangkap berbagai jenis usaha sekaligus

Kapital Pengurusan perizinan sebagai perlindungan usaha - Otoritas Menjalin hubungan patronase dengan

pengusaha KJA skala kecil

Memberikan bantuan pinjaman permodalan kepada pengusaha KJA skala kecil

Kapital dan relasi sosial

Nelayan

Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan adalah hampir seluruhnya penduduk setempat. Nelayan di lokasi penelitian berskala kecil dengan alat tangkap yang sederhanan berupa jaring insang dan jala. Sebagian besar nelayan memiliki hubungan patronase dengan bandar ikan. Bandar ikan bagi hasil tangkapan nelayan berbeda dengan bandar ikan hasil budidaya KJA. Setidaknya terdapat dua bandar ikan nelayan yang tergolong besar di Waduk Djuanda. Nelayan memperoleh akses

(17)

sumber daya utamanya melalui akses atas kapital. Akses atas kapital ini diperoleh dengan cara menjalin hubungan patronase dengan bandar ikan. Posisi nelayan sangatlah lemah, bisa dikatakan tidak memiliki kekuasaan dan selalu bergantung terhadap patron. Secara otomatis bagian manfaat yang diperoleh oleh nelayan adalah jauh sangat kecil dibandingkan dengan bandar ikan. Bandar ikan memiliki kekuasaan untuk menolak membeli hasil tangkapan nelayan yang dianggap melawan atau bermain curang seperti secara diam-diam menjual hasil tangkapannya kepada bandar ikan lainnya. Tabel 18 menunjukkan mekanisme akses berbasis struktur dan relasi nelayan.

Tabel 18. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan Relasi Nelayan Strategi Memperoleh Akses Strategi Mempertahankan

Akses Tipe Akses

Melalui pemilik modal (bandar ikan)

Menjalin hubungan patronase dengan pemilik modal

Kapital

Menjalin hubungan dengan pemilik modal

Relasi sosial

Bandar Ikan

Bandar ikan seperti telah dijelaskan sebelumnya terbagi menjadi dua, yaitu bandar ikan hasil budidaya dan bandar ikan hasil tangkapan. Bandar ikan memperoleh akses manfaat sumber daya dengan cara menguasai akses terhadap pasar. Bandar ikan inilah yang mengetahui informasi tentang pergerakan harga ikan di pasar serta akses kepada perdagangan dan menggunakannya sebagai alat negosiasi dalam mempertahankan kontrol aliran manfaat sumber dayanya. Harga jual ikan ditentukan oleh bandar ikan dengan mempertimbangkan harga ikan di pasar dan di tingkat konsumen serta tinggi rendahnya permintaan terhadap ikan. Mereka menguasai pembelian ikan, dan sebagian besar pembudidaya maupun nelayan selalu menjual ikannya kepada mereka.

Bandar ikan hasil budidaya biasanya juga berperan sebagai pedagang pakan, serta tidak jarang juga memiliki usaha KJA dalam skala besar dan menjadi pemodal. Strategi mereka adalah bagaimana caranya tetap memiliki kontrol yang kuat terhadap akses para kliennya. Bentuk-bentuk seperti keringanan pengembalian hutang atas benih dan pakan kepada kliennya adalah hal yang umumnya dilakukan. Pemberian jaminan untuk membeli hasil ikan kliennya di saat jumlah ikan

(18)

melimpah dan harga ikan merosot tajam juga salah satu bentuk strategi mereka. Hal ini terungkap dari hasil wawancara seperti berikut.

“Bagi saya mah, soal pakan sama benih bukan masalah utama. Soalnya itu pasti dipotong dari tiap kali panen. Waktu balikinnya juga bisa molor dan enggak ada batas waktu. Tapi kalo soal ngelempar (menjual) ikan pas lagi banjir ikan dan harganya juga rendah banget, itu baru jadi masalah. Pas kaya begitu, biasanya bandar-bandar ikan nolak buat beli. Mereka juga bingung mau ngelempar kemana lagi nantinya. Lha, di pasar aja udah penuh sama ikan. Kalo saya enggak punya hubungan sama bandar ikan sendiri, bakalan repot. Dan itu soal itu juga yang paling utama buat kita mutusin mau ngikut sama bandar ikan yang mana”, (C, pembudidaya skala kecil dan penduduk setempat, 2011).

“Soal beli ikan pas lagi banjir ikan memang betul jadi masalah yang paling penting. Kalo kita enggak beli itu ikan, bakalan kabur itu anak buah saya. Hitung-hitung ngebantu aja biar juga kita sebenarnya rugi. Bayangin aja, harga ikan di pasar bisa cuma seribu perak per kilo, padahal kita juga enggak bisa ambil itu ikan di bawah harga seribu sama mereka”, (A, pemodal; bandar ikan; dan pembudidaya KJA skala besar, 2011).

Masalah jaminan pembelian ikan di saat kondisi ikan melimpah dan harga ikan yang merosot adalah faktor utama bagi keberlangsungan hubungan ini. Tabel 19 memperlihatkan mekanisme akses berbasis struktur dan relasi bandar ikan.

Tabel 19. Mekanisme Akses Berbasis Strukturl dan Relasi Bandar Ikan Strategi Memperoleh Akses Strategi Mempertahankan dan

Mengontrol Akses Tipe Akses Kepemilikan kapital yang

cukup untuk berusaha

Mengakumulasi manfaat sumber daya dengan

merangkap berbagai jenis usaha sekaligus

Kapital

Penguasaan atas akses terhadap pasar hasil produksi

Jaminan pembelian ikan saat kondisi ikan melimpah

Pasar

Menjalin hubungan

patronase dengan pengusaha KJA skala kecil atau

nelayan

Memberikan bantuan pinjaman permodalan kepada pengusaha KJA skala kecil atau nelayan

Kapital dan relasi sosial

(19)

Pedagang Pakan

Pedagang pakan yang ada di Waduk Djuanda lebih bersifat seperti pedagang pengecer, bukan sebagai agen ataupun distributor pakan dari pabrik pakan tertentu. Tidak ada hubungan khusus antara pabrik pakan dengan pedagang pakan. Pedagang pakan mempertahankan aksesnya terhadap pakan dari pabrik adalah dengan cara memenuhi tanggung jawab pembayaran tepat waktu. Walaupun ada sebagian pedagang pakan bermodal besar yang membayar tunai pembelian pakan dari pabrik.

Pedagang pakan menikmati akses manfaat sumber daya dengan memanfaatkan diskursus tentang pakan yang berkembang di pembudidaya. Setidaknya ada dua diskursus tentang pakan yang berkembang, yaitu (1) diskursus bahwa hanya pakan berupa pelet dari pabrik pakan yang diakui dapat memberikan hasil produksi yang terbaik; (2) diskursus jumlah pakan yang diberikan berbanding lurus dengan jumlah total hasil panen yang akan diperoleh. Kedua diskursus ini adalah pemenang dari kontestasi diskursus lainnya dan telah ada semenjak awal berkembangnya kegiatan KJA di waduk.

Diskursus kedua tentang rasio pakan dan hasil panen membuat berkembangnya sistem pompa dalam pemberian pakan. Sistem pompa adalah cara pemberian pakan dengan frekuensi dan jumlah yang sangat intensif dan masif. Tujuannya adalah mengejar target panen. Pembudidaya biasa menghitung dan memprediksi hasil panen dengan menggunakan batasan jumlah pakan yang akan diberikan. Diskursus ini mengalahkan diskursus pengetahuan tentang kemampuan penyerapan ikan dan sisa pakan yang terbuang ke perairan yang menentang diskursus tersebut. Keberadaan kedua diskursus tersebut seperti terlihat dalam kutipan wawancara berikut.

“Saya taunya klo ikan mau cepet gede, yah dikasih pakan yang banyak. Kalo mau lebih cepet gede lagi, harus pake pakan yang paling mahal. Saya ngitung panen dari jumlah pakan yang udah dikasih. Saya punya target, dalam sekian bulan dari mulai nebar bibit jumlah pakan yang dikasih tuh sekian ton. Hitungan siap panen ikutin aja jumlah pakannya. Kalo target pakan udah dapat, berarti ikan udah siap dipanen”, (C, pembudidaya skala kecil dan penduduk setempat, 2011).

Pihak yang diuntungkan adalah pedagang pakan dan juga pabrik pakan. Sama halnya dengan petani yang sangat bergantung dengan pupuk, demikian juga halnya dengan pembudidaya yang sangat bergantung dengan pakan. Meningkatnya

(20)

jumlah pembudidaya secara otomatis meningkatkan permintaan akan pakan, dan harga pakan pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara keuntungan yang diterima pembudidaya dari tahun ke tahun sebenarnya semakin mengecil, karena meningkatnya persentase biaya pupuk dalam perhitungan biaya produksi.

Selain memanfaatkan diskursus tentang pakan, pedagang pakan juga memanfaatkan kontrol atas akses kapital. Pedagang pakan biasanya merangkap juga sebagai bandar ikan dan pemodal. Dengan begitu, manfaat sumber daya yang diperoleh oleh mereka bisa lebih terakumulasi. Tabel 20 memperlihatkan mekanisme akses berbasis struktur dan relasi pedagang pakan.

Tabel 20. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan Relasi Pedagang Pakan Strategi Memperoleh

Akses

Strategi Mempertahankan dan

Mengontrol Akses Tipe Akses Kepemilikan kapital yang

cukup untuk berusaha

Mengakumulasi manfaat sumber daya dengan merangkap

berbagai jenis usaha sekaligus

Kapital

Memanfaatkan diskursus tentang pakan

Menyebarkan diskursus tentang pakan

Pengetahuan

Menjalin hubungan patronase dengan

pengusaha KJA skala kecil

Memberikan bantuan pinjaman permodalan kepada pengusaha KJA skala kecil

Kapital dan relasi sosial

6.4. Ikhtisar

Akses sumber daya dipahami sebagai strategi aktor dalam upaya memperoleh, mempertahankan dan mengontrol akses manfaat sumber daya perairan waduk. Jenis dan aliran manfaat sumber daya perairan waduk yang diperoleh masing-masing aktor berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini yang kemudian menyebabkan perbedaan strategi yang digunakan oleh setiap aktor dalam upayanya mempertahankan atau mengontrol akses sumber daya. Aliran manfaat sumber daya biasanya melibatkan beberapa aktor. Besarnya manfaat sumber daya semakin bertambah dan terakumulasi dengan semakin kompleksnya jejaring aliran manfaat.

Mekanisme akses berbasis hak terkait erat dengan klaim dari aktor terhadap sumber daya dan umumnya terkait erat juga dengan permasalahan peraturan. Dalam

(21)

konteks lokasi penelitian, maka peraturan yang dimaksud adalah peraturan formal. Kelompok aktor otorita (PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta) adalah pihak yang mengontrol akses yang masing-masing memiliki kepentingan berbeda. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan perbedaan cara pandang dalam melihat sumber permasalahan yang ada. Perbedaan kepentingan juga pada akhirnya menyebabkan penggunaan strategi yang berbeda dalam upaya mengamankan kepentingan masing-masing. Sementara kelompok aktor pengguna (pengusaha KJA dan nelayan) merupakan pihak yang mempertahankan akses. Pihak ini pun memiliki kepentingan yang berbeda dengan kelompok aktor otorita dan mengembangkan strategi yang berbeda dalam upaya mempertahankan akses terhadap sumber daya.

Mekanisme akses berbasis mekanisme struktural dan relasional di lokasi penelitian dipengaruhi oleh unsur kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan relasi sosial. Mekanisme ini juga terbagi menjadi pihak yang mengontrol dan pihak yang mempertahankan akses. Pihak yang mengontrol akses memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan pihak yang mempertahankan akses. Hal terpenting dalam mekanisme akses ini di lokasi penelitian adalah permasalahan kepemilikan kapital. Hal ini terlihat dari pola relasi akses yang terbentuk adalah berupa pola patron-klien. Sementara strategi yang dikembangkan oleh aktor juga terpusat pada permasalahan kapital.

Mekanisme akses, terutama berbasis struktural dan relasional, lebih terlihat jelas dalam menjelaskan strategi-strategi aktor terkait upaya mempertahankan kepentingannya. Dalam hal ini peranan bundle of powers yang dimiliki oleh setiap aktor terlihat sangat berpengaruh dalam dinamika pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya waduk.

Gambar

Gambar 4 memperlihatkan akses, aliran manfaat sumber daya dan pola relasi aktor  yang terdapat di Waduk Djuanda, Jatiluhur
Tabel 16. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan Relasi Pembudidaya KJA Skala  Kecil
Tabel 18. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan Relasi Nelayan  Strategi Memperoleh Akses  Strategi Mempertahankan
Tabel 20. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan Relasi Pedagang Pakan  Strategi Memperoleh

Referensi

Dokumen terkait

Kepala Pelabuhan Perikanan Pantai mempunyai tugas melaksanakan perencanaan, pembangunan, pemeliharaan, pengembangan, dan pendayagunaan sarana dan prasarana, pelayanan jasa,

Rencana Strategis Dinas Komunikasi dan Informatika 2018-2023 45 1.4 Meningkatkan cakupan dan pengembangan pemberdayaan kelompok informasi masyarakat (KIM) 1.4 Meningkatkan

[Data Jenis Keluhan] [Data Peng guna] [Data Zona] CS PT RIMA KP (Kepala Perwakilan) atau Zona 1 Memelihara Data Master + 2 Membuat Tiket + 4 Melakukan Pelaporan + 1 Zona 2 Peng

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh dari sebuah program modul pendidikan yang fokus pada 4 aspek (1. Siswa membuat, melakukan, menerapkan cara

Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama”.

yang menyangkut hubungan antara kategori usia menopause dengan

pasangan meninggal Glenn dan Weaver (1981) dalam (Nofitri, 2009) .Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa baik

Aktivitas antioksidan tertinggi teh celup kecombrang pada perlakuan T1W2 (bahan teh dari bunga kecombrang pada suhu pengeringan 65 o C) yaitu sebesar 66, 43%