• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEDIA MASSA DAN GAYA HIDUP MAHASISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEDIA MASSA DAN GAYA HIDUP MAHASISWA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIA MASSA DAN

GAYA HIDUP MAHASISWA

Ahmad Sihabudin

Abstrak

Setiap kelompok dalam stratum sosial tertentu akan memiliki gaya hidup yang khas. Dapat dikatakan gaya hidup inilah yang menjadi simbol prestise dalam sistem stratifikasi sosial. Dengan kata lain, gaya hidup dapat dipandang sebagai “KTP” bagi keangotaan suatu stratum sosial. Manakala kita membicarakan gaya hidup remaja, untuk seterusnya mahasiswa, dengan mengandaikan adanya kekhasan dalam kehidupan mereka, yang dapat dilihat perbedaannya dari gaya hidup kelompok lainnya. Dari sini bisa kita bayangkan bahwa gaya hidup mahasiswa hanya dapat dibicarakan jika kita mau melihat kehadiran kelompok mahasiswa ini dalam “kelas”-nya masing-masing. Fenomena kawula muda memang lebih menarik untuk ditonton dan dipertontonkan, seperti kisah-kasih atau percintaan dan sukses mereka yang sering menjadi latar dan setting cerita. Pada bagian ini penulis akan menjelaskan hasil temuan pengamatan mengenai gaya hidup mahasiswa. Dalam penelitian ini, gaya hidup bisa juga berarti; cara berbicara, cara berpakaian, makanan yang kita makan dan cara kita menyiapkan dan mengkonsumsinya, „dewa-dewa‟ yang kita ciptakan dan cara kita memujanya, cara kita membagi waktu dan ruang, dan semua detail lain yang membentuk kehidupan mahasiswa sehari-hari. Mengacu pada masalah pokok, temuan penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup yang berkembang dalam hal berpakaian (fashion), budaya konsumsi, dan berbahasa, dapat ditarik kesimpulan peran media menurut informan cukup besar.

Kata Kunci: Gaya Hidup, Media Massa

PENDAHULUAN

Gaya hidup sebagai pembeda kelompok akan muncul dalam masyarakat yang terbentuk atas dasar stratifikasi sosial. Setiap kelompok dalam stratum sosial tertentu akan memiliki gaya hidup yang khas. Dapat dikatakan gaya hidup inilah yang menjadi simbol prestise dalam sistem stratifikasi sosial. Dengan kata lain, gaya hidup dapat dipandang sebagai “KTP” bagi keangotaan suatu stratum sosial.

Untuk menangkap gaya hidup ini dapat kita lihat dari barang-barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya bersifat modis, cara berprilaku (etiket), sampai bahasa yang digunakan tidak untuk tujuan berkomunikasi semata-mata tetapi untuk simbol identitas.

Manakala kita membicarakan gaya hidup remaja, untuk seterusnya mahasiswa, dengan mengandaikan adanya kekhasan dalam kehidupan mereka, yang dapat dilihat perbedaannya dari gaya hidup kelompok lainnya. Namun pada saat kita mau menempatkan mahasiswa sebagai suatu kelompok sosial, mulai timbul masalah: mahasiswa mana yang dimaksud? Belum lagi ditambah tanda tanya: adakah suatu gaya hidup yang dapat menyebabkan kelompok mahasiswa menjadi terbedakan dari kelompok lainnya yang non mahasiswa, misalnya?

Begitu pula, mengidentifikasi kelompok ini hanya atas dasar usia, yakni mereka yang berusia belasan tahun, tentulah tidak akan punya makna apapun, kecuali dikaitkan dengan situasi sosial yang melingkupinya. Karena bukan hanya faktor usia ini yang paling

(2)

pokok sebagai atribut kelompok sosial, tetapi latar sosial-budaya di mana mahasiswa itu berada kiranya akan berperan untuk melihat sosok kelompok mahasiswa dengan gaya hidupnya ini.

Dari sini bisa kita bayangkan bahwa gaya hidup mahasiswa hanya dapat dibicarakan jika kita mau melihat kehadiran kelompok mahasiswa ini dalam “kelas”-nya masing-masing. Dan karena gaya hidup merupakan simbol prestise suatu kelas tertentu, ia dapat bersifat modis, yang penyebarannya melalui komunikasi massa menembus batas-batas stratifikasi sosial. Pada saat itulah kita akan menempatkan gaya hidup sebagai suatu kebudayaan massa, yang kehilangan eksklusivitas kelas sosial tertentu.

Budaya Massa

Suatu gaya hidup yang meluber lewat komunikasi massa ini melahirkan pola kehidupan yang demokratis, dalam arti, suatu gaya hidup tidak menjadi privelese suatu kelompok dalam stratifikasi sosial.

Dalam konteks kebudayaan massa, atau biasa juga disebut kebudayaan populer, masyarakat menjadi homogen. Siapa saja dapat mengambil alihnya, dari strata manapun ia berasal, pada saat ia bermaksud mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut.

Sentuhan budaya tidak langsung tetapi sangat kuat pengaruhnya, adalah persebaran informasi dan jaringan komunikasi yang semakin luas jangkauannya. dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pengaruh media massa kini tidak terbatas di arena-arena sosial yang terbuka dan bersifat umum, Sihabudin (1998:57).

Lebih jauh Sihabudin (1998:57) berpendapat, melalui siaran radio dan

televisi, televisi global, antene parabola, dan internet pengaruh kebudayaan asing bisa menyusup ke kamar tidur, menembus dinding-dinding tembok rumah. Tidaklah mengherankan kalau siaran televisi dan radio maupun media cetak, serta internet yang tidak mengenal batas-batas lingkungan sosial politik, kebudayaan maupun geografis itu mengundang reaksi kuat dikalangan masyarakat umum. Meningkatnya intensitas arus informasi komunikasi itu menimbulkan pertanyaan sampai berapa jauh pengaruhnya terhadap kehidupan sosial kebudayaan masyarakat.

Kampus tempat berkumpulnya kaum muda dari berbagai kalangan adalah sebuah miniatur bagi society yang terus berkembang. Perkembangan yang ada di dalamnya layak dicermati guna mendapatkan potret yang lebih jelas tentang pengaruh media pada gaya hidup. Kita tidak pernah mengalami kesulitan manakala hendak melihat mahasiswa/i yang memberi “warna rambutnya”. ”rambut gimbal”, ”rambut acak-acakan tidak disisir rapi” Tidak jarang kita menjumpai mereka dengan celana “jeans yang robek-robek” dipangkal paha. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang datang kuliah dengan pakaian ala “ibu-ibu atau tante-tante“, dan “dandanan ala pesta”. Hal lain adalah penggunaan bahasa, kosa kata banci ”bergaya lemas dan manja” merebak dalam percakapan harian mereka, itulah gaya kaula muda.

Sosiolog humanis, Peter L. Berger dalam Ibrahim (1997:226) menyebut gejala demikian sebagai munculnya “urbanisasi kesadaran”. Fenomena kesadaran yang telah terurbanisasikan tersebut disebabkan kemajuan pesat teknologi komunikasi / informasi yang pada gilirannya telah menciptakan wajah baru industrilisasi dan terus merembes ke alam bawah sadar masyarakat sebagai „industri kesadaran‟ yang

(3)

menurut Dennis McQuaill telah mengendalikan publik massa baru. Orang desa bisa terkotakan gaya hidupnya meskipun mereka tidak pernah ke kota. Orang bisa menjadi Barat atau terbaratkan sekalipun mereka belum pernah ke Barat.

Sebuah kelas yang mewariskan suatu ‟genre‟ generasi muda yang memandang bahwa keremajaan atau ke(pe)mudaan merupakan sesuatu yang menarik. Namun mereka menarik bukan karena potensialitas keremajaannya, tapi lebih karena pasar. Mengingat jumlah mereka yang tidak kecil maka semua pemasaran produk budaya massa yang ada akan mereka habiskan bersamaan dengan gaya hidup nikmat dan bertambahnya waktu luang (leisure time) mereka.

Fenomena kawula muda memang lebih menarik untuk ditonton dan dipertontonkan, seperti kisah-kasih atau percintaan dan sukses mereka yang sering menjadi latar dan setting cerita. Latar kehidupan yang dibayangkan sering tanpa kedalaman. Sukses dan prestasi dianggap sebagai sesuatu yang instant; seketika. Tak pernah mereka mempermasalahkan kesulitan ekonomi. Keluar masuk rumah dan mobil mewah adalah ciri mereka. Kalau pria, mereka dicitrakan “Inilah pria idaman”; tampan gesit; Kalau wanitanya, dilukiskan “wanita yang lembut”; cantik manja. Kita bangga kalau melihat kawula muda masa kini yang selalu ceria dan tertawa riang. Baru saja mereka saling memikat di pusat perbelanjaan, lalu mereka kencan di pantai, tiba-tiba mereka sudah berdasi di kantor dengan setumpuk map. Sambil tertawa-tawa mendapat tender besar mereka pecahkan semua problem. Sekan-akan dunia ini tanpa masalah.

Gaya hidup enak dan kemudahan-kemudahan selalu terlukis kalau melihat „genre‟ budaya anak muda ini. Sebagai kawula muda yang kebetulan tengah

“menganggur” dan kebetulan juga punya banyak waktu dan duit, mereka punya banyak teman. Dunia hiburan identik dengan gaya hidup kawula muda.

Kosmopolitanisme dan globalisasi gaya hidup yang sering dinisbatkan sebagai imprialisme budaya atau imprialisme media, telah sering dicap sebagai ciri Amerikanisasi kelompok kelas menengah ini. Gaya hidup seperti tampak pada sejumlah kawula muda sebagai suatu „genre‟ pendukung budaya massa terus merembes bahkan sampai ke kampus-kampus universitas/institut/ akademi yang semula dianggap memiliki pertahanan budaya dan intelektualitas yang prima. Sebab, bagaimana mungkin mahasiswa sekarang sampai merasa perlu menyelenggarakan acara-acara semisal “Gebyar Kampus”, “Rally kampus”, Konser Rock”, “Pekan Promo” (mungkin ini pengaruh Posmodernisme yang diplesetkan menjadi Promo) atau pemilihan semacam “Putra/Putri kampus”, yang dengan diam-diam menanamkan kesadaran bahwa kriteria kecerdasan itu berhubungan erat dengan kecantikan/ketampanan. Padahal di balik itu, semua orang tahu - kita tidak usah terlalu cerdas hanya untuk memahaminya - bahwa yang beroperasi adalah propaganda pasar kapitalis-industrial yang menjadikan tubuh sebagai pusat kesadaran. Melihat majalah Popular dan radio yang mengumbar konsultasi seks, yang menganggap hubungan suami isteri sebagai instrumen alat-alat mekanis yang harus dipreteli dan dibuka sebebas-bebasnya.

Fokus Masalah

Di atas telah disinggung sedikit tentang peran media massa yang memperlihatkan sifat permisif (serba boleh) yang luar biasa dalam mengemukakan persoalan gaya hidup.

(4)

Sebagai contoh media dengan ringan menjelaskan kalau dahulu kala fungsi utama dari hubungan seks adalah prorekreasi, yakni untuk kehamilan istri dan kelahiran anak, maka kini amat ditonjolkan fungsi rekreasi dari hubungan seks dan mari kita hindarkan kehamilan dengan kontrasepsi, begitu inti pesan program Keluarga berencana, yang diulas secara bebas dan persuasif dalam sebuah media massa. Pesan tersebut mempunyai dampak yang luas dan tidak terbatas pada mereka yang berstatus kawin. Sejalan dengan itu mobilitas penduduk meningkat, kontrol sosial melemah dan individualisme bertambah kuat. Masyarakat mengahadapi dilema serius.

Dari uraian di atas, dapat kami identifikasi beberapa bahasan dalam artikel ini, berkaitan dengan media massa dan gaya hidup dikalangan mahasiswa. antara lain: Munculnya gaya hidup dalam hal berpakaian; ganti-ganti pasangan sebagai simbol sukses kaum selebiriti sebagai idola; realitas semu berkaitan dengan gaya hidup yang di cover media menumbuhkan budaya permisif; kontribusi media dalam menumbuhkan subkultur “icon pop” kultur cukup kuat. Bebepara gejala tersebut dapat kami jadikan pijakan untuk membahas masalah tersebut.

Pokok tulisan mencermati yang saat ini menjadi sesuatu yang permisif ditengah-tengah masyarakat sebagai akibat dari pengulasan pemberitaan dan penyajian media baik cetak maupun elektronik, atas dasar itu saya fkuskan tulisan ini untuk membahas kontribusi media massa terhadap gaya hidup dikalangan mahasiswa. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana media massa berperan dalam membentuk pola dan gaya hidup mahasiswa dalam hal pergaulan, cara berpakaian, dan dalam mengikuti proses belajar di kampus. Selain itu kegunaan

tulisan ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagaimana khalayak harus menyikapi isi atau pesan yang coba ditawarkan media massa. Mengapa mahasiswa di atas telah saya sebutkan mahasiswa sebagai kelompok sosial yang kerap kali inten bersinggungan dengan dengan media massa bukan juga berarti masyarakat umum tidak bersinggungan dengan media mungkin yang mungkin jumlahnya lebih banyak dari mahasiswa. Tetapi pertimbangannya semata hanya untuk memfokuskan tulisan artikel ini.

Teori Norma Budaya

The Cultural Norms Theory. Menurut teori ini, media tidak berpengaruh langsung terhadap individu-individu melainkan juga mempengaruhi kebudayaan, pengetahuan, norma-norma, dan nilai-nilai suatu masyarakat. Semuanya ini membentuk citra, ide-ide, evaluasi dimana audiens menentukan tingkah lakunya sendiri. McQuail dan Windahl (1984:68).

Manurut teori ini, pertama, pesan-pesan komunikasi massa dapat memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku, kedua media dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentagan dengan pola budaya yang ada, ketiga mass media dapat merubah norma-norma budaya yang berlaku dimana perilaku individu-individu dalam masyarakat dirubah sama sekali. Demikian Melvin De Fleur dalam Depari dan MacAndrews (1991:8).

Menurut teori ini misalnya, dalam hal tingkah laku sexual seseorang, media massa menyajikan sejumlah pandangan, dan sering kali secara tidak sengaja, tentang mana yang normal, mana yang disetujui atau yang tidak disetujui. Pandangan ini kemudian dapat dimasukkan oleh individu-individu ke dalam konsepsi mereka sendiri, Hartman

(5)

dan Husband (1974) dalam McQuail dan Windahl (1984:68).

Efek Media, sebagian besar merupakan efek yang dikehendaki komunikator: efek-efek bersifat jangka pendek (segera dan temporer); efek-efek itu ada kaitannya dengan perubahan -perubahan sikap, pengetahuan maupun tingkah laku dalam inividu; efek-efek itu secara relatif tidak diperantarai. Secara keseluruhan, efek-efek tersebut ada hubungannya dengan pemikiran tentang suatu “propaganda” (usaha-usaha sadar atau terencana dalam menggunakan media massa untuk tujuan-tujuan motivasional atau informasional). Efek Komunikasi Massa Terhadap Kebudayaan dan Masyarakat

Bila dikaitkan dengan tema tulisan ini media massa mempunyai kontribusi dalam menumbuhkan gaya hidup baru, McQuail dan Windahl (1984:68).

Menurut Malik dalam Sihabudin (1999:3), media telah menjadi semacam tirani kognitif yang terus memiskinkan elemen-elemen budaya tradisionil, terutama yang berlandaskan agama. Fenomena kolonialisme budaya lewat media massa semakin membuktikan kenyataan itu. Sebagai contoh, acara “Buah Bibir” yang dipandu Debra Yatim menarik untuk disimak. Program ini secara sistematis menayangkan kasus-kasus kehidupan keluarga, yaitu kasus isteri dipukul suami, suami gemar serong, hidup melajang, perilaku seks menyimpang (gay dan Lesbian), dan sebagainya.

Menurut Jones dalam Singarimbun (1997:210) Film, musik, radio, bacaan, dan TV mengajarkan kepada mereka bahwa seks itu romantis, merangsang, dan menggairahkan. Demikian salah satu gaya hidup yang ditawarkan media. Lull (1998:84) berpendapat, media massa komersial amat mempercepat dan mendiversifikasikan pengaruh

kekuasaan budaya. Kekuasaan budaya, yang saya maksudkan disini kemampuan untuk mendefinisikan suatu situasi secara budaya. Kekuasaan budaya adalah kemampuan individu dan kelompok untuk memproduksi makna dan membangun cara hidup yang menarik bagi indra, emosi, dan pemikiran mengenai diri sendiri dan orang lain.

Hal ini menyerupai apa yang Anthony Giddens namakan “ politik kehidupan ... suatu politik pemilihan ... gaya hidup ... keputusan dalam hidup”. Kekuasaan budaya dijalankan ketika orang-orang menggunakan tampilan-tampilan simbolik, termasuk asosiasi-asosiasi ideologis dan budaya yang sistematik, struktur otoritas, dan peraturan yang mendasarinya, dalam startegi aksi budaya. Memang benar bahwa citra-citra simbolik melalui media mula-mula dikuatkan secara budaya dengan cara lembaga sponsor mengorganisir dan menyajikan citra-citra itu. Tak heran kalau produksi makna dan nilai-nilai juga dikuasai dan dikondisikan oleh agen-agen tersebut, yang legitimasi kekuasaannya dimotori oleh sistem komunikasi massa. Lull (1998:84).

Dalam mendukung gaya hidup baru itu orang butuh figur. Karena itu, para bintang yang disebut Akbar S Ahmed dalam Ibrahim (1997:26) sebagai “filosofof pop budaya pascamodern” seperti Michael Jackson atau Madonna “disembah” dimana-mana. Madonna adalah contoh ketika komodifikasi tubuh menemukan ruang pemadatannya. Ia menjadi figur fantasi yang memutar balikan relasi tanda-tanda mengenai seksualitas, kekuasaan, dan ambiguitas gender.

David Tetzlaff dalam Ibrahim (1997:30) mengatakan, As Massive as mass culture gets, Madonna’s fame proliferated her signs throughuot

(6)

society. Ia membius dan menggoda pengagumnya tidak hanya dengan suara dan wajahnya. Tapi Madonna dengan kepiawaian menggunakan media telah berhasil menjadikan dirinya sebagai “icon pop”, “”icon of glamour” yang menurut Tetzlaff, “As superstar, as icon of adulation, as repository of power - she is commodity.

Jika dikaitkan dengan pokok tulisan ini, tidak menutup kemungkinan ekspose yang dilakukan media mengenai gaya hidup para idola, dan kaum selibiritis. Ketika melihat fenomena “berkuasa”-nya “icon pop” seperti Madonna, yang daya tarik “tubuh”-nya telah menggairahkan orang yang melihatnya. Langsung tidak langsung dapat menempatkan perilaku yang dianggap menyimpang bisa dapat dipermisifkan oleh gencarnya ekspose media massa.

Hasil penelitian yang dihimpun oleh Singarimbun (1997:211), menunjukkan bahwa perihal berciuman, responden (remaja) yang mengatakan “boleh” sebesar 58,5% untuk Kupang, 43,2 % untuk Medan, 33,8% untuk Surabaya, dan 27, 6% untuk Yogja. Selanjutnya perihal berhubungan seks dengan pacar, mengatakan “boleh” 9,6% untuk Yogja, 9,5% untuk Kupang, 3,2% untuk Medan, dan 2,6% untuk Surabaya. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran pada pelajar dan remaja, hasilnya juga mengerutkan dahi. Cukup besar proporsi hubugan seks pranikah: Sebanyak 21,7% di Bandung, 26,5% di Sukabumi, 30,9% di Bogor, dan 31,6 % di Cirebon. Angka-angka yang dikemukakan dari hasil penelitian UNIKA Atmajaya Jakarta bulan Oktober 1994. Sebanyak 9,9 persen dari 558 siswa SMP, SMU, dan Sekolah Kejuruan telah melakukan hubungan seks dengan teman sebaya, setelah menonton film porno.

Gaya Hidup di Setting Media

Kemampuan media untuk menyorot dan menyebarluaskan fragmen-fragmen ideologis dan budaya pertama-tama menjawab pertanyaan yang sering diajukan, “Apakah media massa sekadar mencerminkan realitas sosial atau menciptakannya?” Tanpa ragu , jawabannya adalah “kedua-duanya”. Pertanyaan yang lebih menarik adalah, “ Bagaimana media itu memainkan dan menciptakan realitas sosial, siapa yang memperoleh keuntungan, dan dengan cara apa?” Secara teknis, tentu saja media massa tak dapat mencerminkan dan juga tak dapat membentuk realitas sosial karena bagaimanapun tak ada hal-hal yang murni atau permanen seperti itu.

Menurut Lull (1998:87) program-program televisi komersial untuk jam utama (prime-time), para produsen, operator jaringan televisi, para eksekutif stasiun, dan para pemasang iklan semuanya mencoba meneliti dan pada akhirnya menerka apa yang akan ditonton oleh khalayaknya.

Isi yang terpilih dipaket dan ditayangkan . Tema-tema, aliran-aliran, gaya, dan bintang-bintang tertentu menimbulkan reaksi yang diharapkan, dengan menggemakan identitas, emosi, opini, selera, dan ambisi-ambisi khalayak.

Dalam The History of Sexuality, Michel Foucault memperlihatkan bahwa perluasan wacana tentang seks sebenarnya menjadi sebuah strategi untuk menjalankan kuasa dalam masyarakat. Karena dalam pergelaran wacana di seputar praktik-praktik seksualitas yang terselubung ataupun yang terang-terangan, perlahan definisi tentang eksistensi dibangun, yang mengarahkan pada kontrol terhadap berbagai aktivitas manusia oleh pemegang pengetahuan dan kekuasaan.

(7)

Gerakan dan perkembangan zaman cukup menambah kadar keberanian para kaum muda meperlihatkan eksistensi mereka dalam bentuk icon kultur pop. Pendobrakan itu muncul ke permukaan dalam bentuk komunikasi pergaulan menengah atas, seni desain dan pertunjukkan. Perhatikan saja kosa kata banci yang merebak di kalangan anak muda Jakarta atau Bali, dan gaya “lemas” para performer di panggung-panggung kafe atau restoran.

Menurut Jatman (1997: 127), media telah menciptakan estetikanya sendiri. Ia tidak hanya dianggap sebagai agen kebudayaan , tetapi ia adalah kebudayaan. Artinya ketika kebiasaan kaum elit dalam hal ini adalah para publik figur masuk dalam media ia disebut sebagai pop cultur. Lebih jauh Armando (1998:162) berpendapat bahwa media turut menset agenda kehidupan konsumen termasuk mempengaruhi apa yang dianggap penting dan tidak penting, apa yang halal, dan haram, apa yang bisa dinikmati dan tidak, melalui pembiasan.

Apa sih gaya hidup itu, mengacu pada uraian di atas bahwa suatu gaya hidup dapat terbentuk sebagai akibat dari pesan media massa. Gaya hidup dalam tulisan ini bisa juga berarti; cara berbicara, cara berpakaian, makanan yang kita makan dan cara kita menyiapkan dan mengkonsumsinya, „dewa-dewa‟ yang kita ciptakan dan cara kita memujanya, cara kita membagi waktu dan ruang, dan semua detail lain yang membentuk kehidupan mahasiswa sehari-hari.

Suatu gaya hidup yang meluber lewat komunikasi massa ini melahirkan pola kehidupan yang demokratis, dalam arti, suatu gaya hidup tidak menjadi privelese suatu kelompok dalam stratifikasi sosial.

Dalam konteks kebudayaan massa, atau biasa juga disebut kebudayaan

populer, masyarakat menjadi homogen. Siapa saja dapat mengambil alihnya, dari strata manapun ia berasal, pada saat ia bermaksud mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut.

Sentuhan budaya tidak langsung tetapi sangat kuat pengaruhnya, adalah persebaran informasi dan jaringan komunikasi yang semakin luas jangkauannya. dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pengaruh media massa kini tidak terbatas di arena-arena sosial yang terbuka dan bersifat umum,

Hasil Pengamatan pada Gaya Hidup Mahasiswa

Pada bagian ini penulis akan menjelaskan hasil temuan pengamatan mengenai gaya hidup mahasiswa. Dalam penelitian ini, gaya hidup bisa juga berarti; cara berbicara, cara berpakaian, makanan yang kita makan dan cara kita menyiapkan dan mengkonsumsinya, „dewa-dewa‟ yang kita ciptakan dan cara kita memujanya, cara kita membagi waktu dan ruang, dan semua detail lain yang membentuk kehidupan mahasiswa sehari-hari.

a. Gaya Berpakaian

Dalam hal berpakaian mahasiswa pada umumnya mengugnakan atau memakai pakaian yang sifatnya casual dan sportif, artinya jenis bahan dan model yang dipakainya umumnya baik pria maupun wanita celana atau blus bagaian bawah(rok) memakai bahan jenis drill dan jean. Jean belel sebagai favorit hampir setiap mahasiswa bahkan ada sampai yang sudah bolong atau robek, tapi ada juga yang berpakaian (bercelana) dengan bahan linen / formil. Sedangkan untuk pakaian atas umumnya memakai T-Shirt, baju berlengan pendek (Ham) dan cenderung agak ketat.

(8)

Perkara baju ketat, rok minim (mini), bagian perut terlihat (pusar), sepatu bertumit dan bertali, Celana bolong, rambut di semir (berwarna), menurut mereka (infroman penulis) hal yang memang wajar-wajar saja, ada uang berarti ada model atau dapat gaya yang baru. Soal pakaian yang bermerk tidak terlalu menjadi suatu hal keharusan, artinya merk nomor 2 atau 3 yang penting model atau gayanya mutakhir. Menurut mereka pergi kekampus berarti juga bergaya, artinya berdandan sesuai dengan pakaian, celana, alas kaki, potongan rambut yang lagi trend sekarang. Memang tidak semua mempunyai pola atau gaya seperti itu ada juga yang tidak terlalu mementingkan model atau gaya dalam hal berpakaian.

Menurut mereka peran media massa dalam membentuk gaya dalam hal berpakaian sangat berperan, karena saat mereka menyaksikan sebutnya saja Film, sinetron, atau infotainment, tidak hanya jalan ceritanya yang menjadi pusat perhatian tetapi juga model rambut, pakaian, atau asesoris yang dipakai oleh para bintang dalam film atau telenovela itu juga menjadi perhatian dan menjadi bahan perbincangan.

Untuk mendukung gaya hidup ini tidak jarang media mengangkatnya menjadi berita yang menarik, di sam[ping menyediakan kolom khusus sebagai tempat mereka bertukar pikiran. Dalam bentuk lain misalnya setiap minggu pers kita harus menyiapkan satu halaman penuh untuk urusan mode atau “fashion”. Ditambah lagi teknologi kecantikan yang semakin maju dan luas pengertiannya terus memicu meningkatnya kebutuhan wanita.

Sementara media terus mengijeksikan citra pentingnya penampilan tampak muda, sehingga orang-orang kota mulai memandang

amat penting aspek-aspek badaniah, seperti lewat kegandrungan akan aerobik, kebugaran, „fitness‟, „body building‟, operasi plastik, facial cream, menjadi basis material kultur baru.

Menurut Ibrahim (1997:174) Dalam hal gaya berpakaian (fashion), iklan berperan untuk memanipulasi kekaburan simbol dalam aktivitas yang tak hentin-hentinya mencipta dan mencipta kembali makna yang dapat dikenakan pada barang komoditas. Misalnya, kalau saja seorang memakai minyak wangi, ia tidak hanya mengkonsomsi “bau” (nilai pakai), tapi juga seperangkat kesan gaya hidup mewah tertentu (erzatz values).

Erzatz values, ini menjadi ideologi media yang dominan. Media mengisyaratkan bahwa seksisme menjadi simbol aktivitas terpenting manusia- tabloid-tabloid atau majalah-majalah khusus yang diperuntukan bagi pembaca dewasa / remaja. Artinya apa yang terjadi pada mahasiwa dalam berpakaian sedikitnya juga ditentukan oleh atau kontribusi media dalam hal berpakaian cukup berperan. Menurut mereka dari media kami banyak memperoleh sesuatu .

b. Budaya Konsumsi / Dalam Hal Pola Makanan

Dalam hal apa yang dikonsumsi oleh mahasiswa atau budaya konsumsi yang terjadi di kalangan mahasiswa dapat dikatakan telah mengalir sungai yang namanya budaya konsumsi. Kesukaan manusia modern untuk mengkonsumsi barang komoditas telah menjadi hal yang berlaku umum dikalangan mahasiswa, yang tentunya dalam ukuran / standar bagi mahasiswa. Umpanya dalam hal mengkonsumsi model pakaian yang lagi trend; jean belel/bolong, baju ketat, model rambut, parfum, sepatu (alas kaki), makanan;

(9)

fast food, baik yang berasal dari Eropa, Amerika Serikat, maupun Asia.

Berkaitan dengan gaya mengkonsumsi yang terjadi dikalangan mahasiswa pada umumnya hampir sama, seperti yang dilakukan oleh masyarakat modern pada umumnya, cuma yang membedakannya pada jumlah atau nilai nominal yang dikeluarkan sebagai ongkos gaya konsumsi. Rosalynd William, Dalam Bukunya Dreams Worlds of Consumption (1991), dalam Ibrahim (1997:156), Menurut Rosalyn, kesukaan manusia modern untuk mengkonsumsi barang komoditas telah mencapai titik jenuh. Ketika ambang batas kebutuhan dan logika kepuasan telah diterjang oleh kegilaan untuk terus mengonsumsi maka manusia modern telah sampai pada “immaterial consumption”; sebuah konsumsi terhadap kesan, citra, atau simbol yang mereduksi realitas ke dalam mimpi-mimpi.

Konsumsi barang komoditas yang secara fungsional bukan lagi berakar pada kebutuhan fisik dan psikis - yang mungkin sudah terpuaskan - merupakan akar dari gaya hidup hedonisme. Pemujaan terhadap gaya hidup sebagai anak haram dari sikap hedonis ini telah menyebabkan individualisme bergeser menjadi egoisme. Sebab bagaimana mungkin orang-orang rela menghabiskan uang hanya untuk beberapa saat menikmati model rambut, pakaian, atau makanan yang lagi trend saat itu.

Rupanya keasyikan yang menggiring orang-orang untuk terus mengkonsumsi berbagai kemasan gaya hidup yang secara simbolik meningkatkan status sosial, sebagian besar didorong pula oleh keperkasaan media yang menyebarkan sayap bisnis dunia hiburan internasional. Melalui media, gaya hidup populer tidak hanya disebarkan dan disatukan, tapi

bagaimana cita rasa dan gaya hidup memperoleh pembenaran. Maka, ketika kepentingan „ideologi‟ pasar berhasil disatukan dengan dukungan media yang mengemas sebuah cutra terhadap gaya hidup tertentu. Saat yang sama sebuah kolonialisme inilah yang oleh beberapa teoritisi sosial disebut sebagai „kolonialisasi kesadaran” (consciusness colonialism).

c. Gaya Dalam Berbahasa

Bahasa adalah sebuah institusi sosial yang dirancang, dimodifikas, dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kultur atau subkultur yang terus berubah. Karenanya, bahasa dari suatu subkultur berbeda dengan bahasa dari subkultur yang lain, (Montgomery, 1986) dalam Devito (1998:157). Mahasiswa sebagai salah satu subkultur yang ada di dalam masyarakat, tentunya dalam hal berbahasa ada kekhasan.

Dalam tulisan ini yang dimaksud subkultur, adalah kelompok-kelompok dalam sebuah kultur yang lebih besar. Menurut Sihabudin (1999:136) ini dapat didasarkan atas agama, wilayah, georafi, pekerjaan, suku bangsa, kebangsaan,orientasi afeksi, kondisi hidup, minat dan sebagainya. Orang Jakarta, Bandung; guru, tukang becak, seniman, mahasiswa; penduduk desa penduduk kota; pecinta burung, pengumpul perangko, kesemuanya dapat dipandang sebagai subkultur, tergantung, tentu saja pada konteksnya. Di Serang misalnya orang-orang Serang jelas bukan subkultur, tetapi diseluruh Indonesia mereka adalah salah satu subkultur. Masyarakat Jakarta bukanlah subkultur, tetapi mahasiswa di jakarta (UMB) adalah subkultur. Seperti ditunjukkan oleh contoh-contoh di atas, kaum mayoritas umumnya merupakan kultur, sedangkan berbagai minoritas

(10)

umumnya merupakan subkultur, tetapi tidak selalu demikian.

Mahasiswa adalah subkultur artinya ada bahasa khas yang biasanya digunakan mahasiswa. Dari segi usia mahasiswa umum berusia muda, komunikasi dikalangan mahasiswa umumnya menggunakan kosa kata yang kadang formil atau lazimnya bahasa Indonesia, tapi tidak sedikit mahasiswa menggunakan kosa kata atau tuturan dialek melayu - betawi - slang, kata luh (kamu), gue (saya), duit (uang), nyokap / bokap (ibu / bapak), bt (jenuh), mm (memang), btw (omong-omong/ungkapan)dan tidak sedikit bergaya dalam bertutur meniru gaya bahasa dalam iklan, film, dan sinetron.

Menurut Hedbig (1979) dalam Lull (1998:93) orang-orang muda dipinggir arus besar merupakan pemulung perakit kebudayaan yang paling aktif menyisisr lingkungan mereka, khususnya arena-arena simbolik -- untuk mencari bahan-bahan guna merakit identitas mereka dan mengekspresikan keyakinan dan nilai mereka sebagai gaya budaya.

Mahasiswa dalam berkomunikasi diantara mereka umumnya mengangkat realitas media, artinya cara berbahasa, pilihan kata dan tentunya tergantung pada konteks apa yang sedang mereka bicarakan. Sedangkan saat berkomunikasi dengan dosen umumnya mereka berbahasa dengan formil, artinya mahasiswa masih bisa menempatkan atau memahami konteks sosial dalam berkomunikasi, dengan siapa mereka berkomunikasi. Dapat dikatakan dalam hal berbahasa masiswa juga masih memperhatikan norma atau nilai yang berlaku dilingkungannya. Pada saat mereka ada pada komunitasnya, gaya dan kosa kata disesuaikan dengan norma atau nilai yang berlaku diantara mereka, berkata BT, MM, atau dialog-dilaog iklan, seperti kalimat “hallo dona” atau “pagi dona”, kerap meluncur dari mulut

mereka saat menyapa kawan mahasiswinya.

Menurut Lull (1998:92), hubungan bahasa / budaya tidak terbatas pada kosa kata, tata bahasa, dan ucapan. Lembaga-lembaga juga mencoba mengatur kapan orang-orang dapat berbicara, kepada siapa, mengenai apa, dan pada tingkat volume berapa. Manajemen budaya yang dilembagakan juga muncul, misalnya dalam peraturan berpakaian di sekolah yang memberitahukan para murid pakaian dan gaya rambut apakah dapat diterima menurut budaya.

Peraturan-peraturan ini dimaksudkan tidak hanya untuk menstandarkan penampilan dan perilaku, tetapi juga memungkinkan otoritas-otoritas untuk menarik batas perbedaan kekuatan sosial antara diri mereka dan anggota masyarakat lain yang secara budaya tak dapat diatur.

Media massa tidak dapat diabaikan dalam hal berbahasa dikalangan mahasiswa, menurut mereka senang kok menyerap kosa kata yang tampil lewat media massa khusus televisi, artinya media cukup kuat dalam membantuk realitas yang terjadi di kalangan mahasiswa.

Realitas berlangsung dalam bahasa, tak ada realitas di luar bahasa. Tak ada cara lain untuk berpikir baik tentang dunia maupun tujuan-tujuan kita selain mengenai bahasa. Pada gilirannya, bahasa tentunya yang ditampilkan melalui pemilihan kata-kata dan penjalinannya akan membentuk realitas tertentu pula. Menurut Leksono (1998:199) Bahasa yang kita pergunakan mempengaruhi apa yang kita lihat sebagai real, tetapi bahasa sendiri tidak mempunyai tempat di dalam yang real. Itu sebabnya bahasa lebih daripada sekedar alat komunikasi. Bahasa adalah suatu kegiatan sosial yang terkonstruksikan dan terikat pada kondisi sosial tertentu.

(11)

Kehadiran kelompok dan penciptaan bahasanya setiap individu menjadi anggota dari beberapa kelompok. Tingkat kepentingan afiliasi dengan kelompok tetentu berbeda-beda pada setiap orang, konteks, dan waktu. Sebagai contoh mahasiswa sebagai kelompok, mahasiswa Teknik, Komunikasi, Ekonomi dan Pertanian adalah hal yang berbeda, kosa kata, dan apa yang dibicarakannya. Untuk mahasiswa yang aktif di suatu UKM misalnya Pecinta Alam, Badan Eksekutif Mahasiswa. Yang dibicarakan oleh mahasiswa juga jadi bervariasi tentang alam, tentang politik dalam negeri yang tidak pernah ada ujungnya, yang tergabung dalam kelompok rohani islam yang lagi trend dibicrakan masalah issu teroris yang dilontarkan Amerika. Tetapi ada juga mahasiswa yang hanya membicarakan seputar mode atau cerita suatu film atau sinetron, untuk kelompok ini bicara politik atau masalah sosial yang sedang terjadi di negeri ini hanya kalau ada tugas dari dosen atau tugas matakuliah.

Karena minat yang sama merupakan subkultur (munculnya kelompok-kelompok, subbahasa muncul. Istilah subbahasa digunakan disini untuk menunjukkan pada bahasa khas yang digunakan oleh kelompok subkultur yang ada dalam kultur yang lebih dominan. Subbahasa digunakan oleh mahasiswa setidaknya untuk memudahkan komunikasi diantara anggota subkultur (mahasiswa). Selain itu sebagai sarana identifikasi, dengan menggunakan subbahasa tertentu pembicara menunjukkan dirinya sebagai anggota subkultur tertentu. Subbahasa juga berfungsi menjaga kerahasiaan (privacy) komunikasi, dan untuk membuat orang terkesan dan bingung.

Demikian hasil analisis terhadap gaya hidup mahasiwa dalam hal berpakaian budaya konsumsi dan dalam

berbahasa serta kenapa subbahasa itu muncul dikalangan mahasiswa.

KESIMPULAN

Mengacu pada masalah pokok penelitian bagaimana kontribusi media terhadap gaya hidup dikalangan mahasiswa Universitas Mercu Buana. Temuan penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup yang berkembang dalam hal berpakaian (fashion), budaya konsumsi, dan berbahasa, dapat ditarik kesimpulan peran media menurut informan cukup besar. Media telah berperan penting untuk menempatkan objek baru pujaan publik bukan lagi individu-individu dengan sifat pribadi yang luar biasa. Melainkan “pahlawan”, “idola” dalam media yang memperkenalkan profilnya melalui “kepahlawanan semu” dalam iklan-iklan karakter drama film atau TV. Media massa telah turut memberi andil dalam memoles kenyataan sosial. Bahkan mengutip McLuhan, media telah ikut mempengaruhi perubahan untuk masyarakat. Media massa tidak hanya memenuhi kebutuhan manusia akan informasi atau hiburan tapi juga ilusi dan fantasi yang mungkin belum pernah terpenuhi lewat saluran saluran komunikasi tradisional lainnya. Apapun motif penggunaannya, media massa sungguh merupakan keniscayaan masyarakat modern.

Melalui media, gaya hidup populer tidak hanya disebarkan dan disatukan, tapi bagaimana cita rasa dan gaya hidup memperoleh pembenaran. Maka, ketika kepentingan „ideologi‟ pasar berhasil disatukan dengan dukungan media yang mengemas sebuah cutra terhadap gaya hidup tertentu. Saat yang sama sebuah kolonialisme inilah yang oleh beberapa teoritisi sosial disebut sebagai „kolonialisasi kesadaran” (consciusness colonialism).

(12)

Media khususnya televisi telah menjadi suatu keharusan untuk menontonnya atau memujanya, telah „dikultuskan‟ sebagai tempat penyembahan budaya masyarakat industri. sebuah budaya dengan cita rasa yang dikemas sedemikian rupa, sehingga dengan tidak sadar khalayak menjadi amat tergantung. Mereka menkonsumsi semua „produksi kesan‟ kemasan media dalam bentuk drama atau film yang seakan membuat mereka merupakan bagian darinya. Meskipun hanya impian atau ilusi.

DAFTAR PUSTAKA

Armando, Ade. 1998. Wanita Sebagai Objek Seksual dalam Media: komponen Penting dalam Pembentukan “Kulutur Single”. Dalam buku. Media dan Wanita. Kontruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru.Editor: Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto. Penerbit. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Depari, Eduard dan MacAndrews, Colin. 1991. Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan. Gajah Mada Univerisity Press. Yogjakarta.

Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam “Masyarakat Komoditas” Indonesia. Penerbit. Mizan. Bandung.

Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Hegemoni Budaya. Penerbit Yayasan Bentang Budaya. Yogjakarta.

Jatman, Darmanto. 1997. Pluralisme Media dalam Era Imagology: Interaksi Budaya Media dengan Budaya Etnik. Dalam buku Ecstasy

gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam “Masyarakat Komoditas” Indonesia. Penerbit. Mizan. Bandung.

Leksono, Karlina. 1998. Bahasa Untuk Perempuan: Dunia Tersempitkan. Dalam buku. Media dan Wanita. Kontruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru.Editor: Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto. Penerbit. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Lull, James. 1998. Media Komunikasi Kebudayaan Suatu Pendekatan Global. Alih bahasa: A. Stiawan Abadi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Oetomo, Dede. 1991. Homoseksual di Indonesia. Prisma. No. 7 Tahun XX, Juli 1991. LP3ES. Jakarta. ihabudin, Ahmad. 1999. Gaya Hidup

Masyarakat Dan Penciptaan Bahasa Kelompok. Majalah Ilmiah “Sociae Polites”. No. 10. Agustus 1999. FISIP. Universitas Kristen Indonesia Jakarta.

Sihabudin, Ahmad. 1998. Implikasi Era Informasi Terhadap Gaya Hidup dan Budaya Massa. Majalah Ilmiah “Sociae Polites”. No. 6. Agustus 1998. FISIP. Universitas Kristen Indonesia Jakarta.

Sihabudin, Ahmad, 1999. Respon Umat Islam Terhadap Tantangan dan Himpitan dalam Era Informasi. Mimbar Ilmiah. No. 33 Tahun. VIII. Universitas Islam Jakarta. Singarimbun, Masri. 1997. Menjadi

Modern, Semakin Serba Boleh. Dalam buku Ecstasy gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam “Masyarakat Komoditas” Indonesia. Penerbit. Mizan. Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sekaligus tugas

Bu buk Teh”, h.. Tumbuhan berpembuluh khususnya terdapat dalam jaringan kayu yaitu dalam kelompok angiospermae. Namun, hewan dengan pemakan tumbuhan tidak menyukai

The promise of increasing access to a huge variety of learning experiences for lots of people and having many of those experiences adapt to learners’ needs has great potential

Semakin tinggi beta maka permintaan terhadap saham perusahaan itu semakin menurun, sehingga permintaan yang rendah mengimplikasikan peningkatan yang rendah dalam harga

Dari hasil pengamatan sel dari batang singkong hanya memiliki inti sel dan sitoplasma, sedangkan kan yang lain nya memiliki dinding. sel, inti sel dan juga ruang

Langkah-langkah yang harus kita lakukan untuk menyajikan informasi yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dapat disebut sebagai

Orang tua harus mampu mengarahkan anaknya di jalan yang benar, sebagai umat Islam dengan mengarahkan sesuai tuntunan agama dan memberi teladan yang bisa menjadi contoh bagi