• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. pertanian, kotoran hewan/ternak dan sebagainya (Scnitzer, 1991).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. pertanian, kotoran hewan/ternak dan sebagainya (Scnitzer, 1991)."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kompos

Pengompoan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Yang dimaksud mikroba disini adalah bakteri, fungi, dan jasad renik lainnya. Bahan organik disini merupakan bahan baku untuk kompos seperti jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran hewan/ternak dan sebagainya (Scnitzer, 1991).

Adanya komponen bahan organik memiliki peran pada tanah, antara lain meningkatkan kadar hara melalui dekomposisi bahan organik menghasilkan CO2,

NH4+, NO3-, PO43-, dan SO42- dalam tanah, mengkhelat beberapa unsur mikro

dengan membentuk kompleks stabil dengan Cu2+, Mn2+, Zn2+, dan kation polivalen lainnya, meningkatkan KTK tanah dimana total fraksi humus berkisar 300 hingga 1400 cmol/kg sehingga berubah dari 20% hingga 70% KTK tanah (Lahuddin, dkk, 1995).

Unsur penyusun utama dari bahan organik tanah adalah C (52 – 58%), O (34 – 39%), H (3,3 – 4,8%), dan N (3,7 – 4,1%). Dari kadar yang hanya 5% dari total volume tanah, komponen organik tersusun atas organisme hidup (< 5%), residu segar (< 10%), bahan aktif (33 – 50%), dan humus (33 – 50%) (Lahuddin dan Sukirman, 2005).

Masih banyak limbah pertanian yang belum menjadi perhatian untuk digunakan sebagai bahan pembuatan kompos, salah satu diantaranya adalah kulit durian (Husk-pulp of Durio zibethinus). Di Sumatera Utara khususnya, menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan tahun 1998, produksi buah durian sebesar

(2)

48,892 ton dan cenderung meningkat sepanjang tahun. Dari buah durian ini diperoleh kulit durian sebesar 62,4% dan inilah yang menjadi sampah kota (Lahuddin, dkk, 2010).

Pemberian kompos/bahan organik berupa kulit buah-buahan pada tanah masam dengan takaran 20 ton/ha, cukup efisien untuk menetralkan sebagian efek keracunan Al dalam larutan tanah dan juga meningkatkan KTK tanah, meningkatkan konsentrasi N-total, P-tersedia, Mg dan Ca tertukar dalam tanah dengan aras peningkatan yang bervariasi tergantung jenis bahan yang digunakan (Anas, 2000).

Tabel 1. Karakteristik kulit durian segar

No. Karakteristik Nilai

1 Kandungan kulit buah durian 62,4 %

2 Kandungan air 95,5 % 3 Kandungan abu 4,6 % 4 Kadar C 40,6 % (26,01 %*) 5 Kadar N 0,98 % (2,59 %*) 6 C/N 41,4 7 P 0,13 % 8 K 1,71 %

*:setelah menjadi kompos (Lahuddin, 1999) Mutu dari suatu kompos sangat ditentukan oleh besarnya perbandingan karbon dan nitrogen (C/N ratio). Jika C/N tinggi berarti bahan kompos belum terurai secara sempurna. Seperti diketahui bahwa nisbah C/N dari tanah-tanah pertanian adalah sekitar 10 – 12. Maka kualitas kompos dianggap baik dipergunakan sebagai pupuk jika memiliki nisbah C/N tanah yaitu 12 – 15 (Riyaldi, 2000).

(3)

Entisol

Entisol (recent-holosin berarti tanah mineral yang masih muda). Tanah baru diendapkan atau masih sedikit mengalami pelapukan, atau berasal dari tanah sisa erosi. Tanah ini dibentuk dari sedimen vulkanik, batuan kapur dan metamorfik (Subagyo, dkk, 2000).

Menurut Taksonomi Tanah, Entisol didefinisikan sebagai tanah yang memenuhi syarat bila regim suhu adalah mesi, isomesik atau lebih panas dan pada waktu kering ditemukan retakan-retakan sampai selebar 1 cm pada kedalaman 50 cm tapi pada kadar liat < 39%, di beberapa sub horizon pada kedalaman < 50 cm dan salah satu syarat dari kriteria berikut ini yaitu bahan sulfidik pada kedalaman < 50 cm dari permukaan tanah mineral atau mempunyai horizon penciri epipedon okhrik, albik, anthropik, histik, atau spodik pada kedalaman lebih dari 2 meter (Soil Survey Staff, 2003).

Entisol dicirikan oleh bahan mineral tanah yang belum membentuk horizon pedogenik yang nyata, karena pelapukan baru diawali, atau hasil bahan induk yang sukar lapuk seperti pasir kuarsa, atau terbentuk dari batuan keras yang larutnya lambat seperti batu gamping, atau topografi sangat miring sehingga kecepatan erosi melebihi pembentukan horizon pedogenik, atau pencampuran horizon oleh pengolahan tanah atau hewan. Profil tanahnya tidak memperlihatkan translokasi bahan (Buringh, 1983).

Entisol dapat juga dibagi berdasarkan great groupnya, beberapa diantaranya adalah Hydraquent, Tropaquent, dan Fluvaquents. Ketiga great group ini merupakan subordo Aquent yaitu Entisol yang mempunyai bahan sulfidik pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah mineral atau selalu jenuh air dan pada

(4)

semua horizon dibawah 25 cm terdapat hue dominan netral atau biru dari 10 Y dan warna-warna yang berubah karena teroksidasi oleh udara (Hutagaol, 2003).

Jenis tanah Entisol sebagian besar ditemukan di Irian Jaya (5,6 juta ha), Kalimantan Tengah (1,54 juta ha), Sumatera Selatan (1,27 juta ha), dan Nusa Tenggara Timur (0,91 juta ha). Total jumlah Entisol di Indonesia diperkirakan sekitar 18,0 juta ha atau sekitar 9,6% dari keseluruhan jenis tanah di Indonesia (Subagyo, dkk, 2000).

Entisol mempunyai kejenuhan basa yang bervariasi, pH dari asam, netral sampai alkalin, KTK juga bervariasi baik untuk horison A maupun C, mempunyai nisbah C/N < 20% dimana tanah yang mempunyai tekstur kasar berkadar bahan organik dan nitrogen lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang bertekstur lebih halus. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang lebih rendah dan kemungkinan oksidasi yang lebih baik dalam tanah yang bertekstur kasar juga penambahan alamiah dari sisa bahan organik kurang daripada tanah yang lebih halus. Meskipun tidak ada pencucian hara tanaman dan relatif subur, untuk mendapatkan

hasil tanaman yang tinggi biasanya membutuhkan pupuk N, P, dan K (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2005).

Entisol mempunyai kadar lempung dan bahan organik rendah, sehingga daya menahan airnya rendah, struktur remah sampai berbutir dan sangat sarang, hal ini menyebabkan tanah tersebut mudah melewati air dan air mudah hilang karena perkolasi (Riyaldi, 2000).

Entisol umumnya cukup mengandung unsur P dan K yang masih segar dan

belum siap untuk diserap tanaman tetapi kekurangan unsur N (Darmawijaya, 1980).

(5)

Inseptisol

Inseptisol (“ept” = inception atau awal), merupakan tanah di wilayah humida yang mempunyai horison teralterasi, tetapi tidak menunjukkan adanya iluviasi, eluviasi, dan pelapukan yang ekstrim. Kurang lebih tanah yang ekuivalen adalah brown-forest, gley-humik, dan gley-humik rendah (Lindsay, 1979).

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan Inseptisol adalah : - Bahan induk yang sangat resisten

- Posisi dalam landscape yang ekstrim yatu daerah curam atau lembah

- Permukaan geomorfologi yang muda, sehingga pembentukkan tanah belum lanjut.

(Hardjowigeno, 1993).

Inseptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibandingkan dengan tanah matang, dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Penggunaan Inseptisol untuk pertanian atau non pertanian adalah beraneka ragam. Daerah-daerah berlereng curam untuk hutan, rekreasi atau wildlife, yang berdrainase buruk hanya untuk tanaman pertanian setelah drainase diperbaiki. Inseptisol yang bermasalah adalah Sulfaquept, yang mengandung horison Sulfurik (cat clay) yang sangat masam (Poerwowidodo, 1991).

Karena Inseptisol merupakan tanah yang baru berkembang, biasanya mempunyai tekstur yang beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini tergantung pada tingkat pelapukan bahan induknya. Masalah yang dijumpai karena nilai pH yang sangat rendah (< 4), sehingga sulit untuk dibudidayakan. Kesuburan tanahnya rendah, jeluk efektifnya beragam dari dangkal hingga dalam.

(6)

Di dataran rendah pada umumnya tebal, sedangkan pada daerah-daerah lereng curam solumnya tipis. Pada tanah berlereng cocok untuk tanaman tahunan atau tanaman permanen untuk menjaga kelestarian tanah (Munir, 1996).

Inseptisol tersebar secara luas diseluruh kepulauan Indonesia, terutama pulau Jawa akibatnya intensitas pengelolaannya lebih intensif. Pada areal perkebunan kopi, teh, cokelat atau yang lain sangat membutuhkan teknik budidaya yang tepat antara lain pemupukan, pengelolaan tanah, pengendalian hama dan perbaikan drainase yang sangat penting bagi Inseptisol agar didapatkan produktivitas tanah yang maksimal (Munir, 1996).

Inseptisol yang banyak dijumpai pada tanah sawah memerlukan masukkan yang tinggi baik untuk masukkan anorganik (pemupukan berimbang N, P, dan K) maupun masukkan organik (percampuran sisa panen pada tanah saat pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang atau pupuk hijau) terutama bila tanah sawah dipersiapkan untuk tanaman palawija setelah padi. Kisaran kadar C-organik dan kapasitas tukar kation (KTK) pada inseptisol sangat lebar, demikian juga kejenuhan basa. Inseptisol dapat terbentuk hampir di semua tempat, kecuali daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika (Tan, 1995).

(7)

Ultisol

Ultisol berasal dari kata Ultimus yang berarti terakhir, Ultisol merupakan tanah berwarna merah kuning, yang sudah mengalami proses hancuran iklim (ultimate). Terbentuk pada daerah humid dengan intensitas curah hujan tinggi. Ciri morfologi yang penting pada ultisol adalah peningkatan liat sebagai horison argilik. Horison argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horison ini dan hanya berkembang di atas horison argilik (Darmawidjaja, 1980).

Faktor yang mempengaruhi pembentukkan Ultisol adalah :

- Bahan induk, Ultisol berkembang dari bahan induk tua (terutama bahan induk batuan liat)

- Iklim, berkembang dengan curah hujan rata-rata 2500-3500 mm per tahun dan terdapat tiga bulan kering

- Topografi pada daerah bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian 3 m dpl

- Vegetasi, berupa hutan tropika basah, padang alang-alang dan paku-pakuan. (Munir, 1996).

Ultisol di Indonesia memiliki sebaran yang luas. Luas Ultisol di Indonesia mencapai 24,3% atau sekitar 45,794 juta ha. Di Sumatera Utara luas Ultisol yaitu lebih kurang 1,549 juta ha, Ultisol termasuk tanah yang luas di Sumatera Utara selain Inseptisol dan Andisol (Subagyo, dkk, 2000).

Secara umum Ultisol memiliki sifat fisik yang buruk, yaitu memiliki permeabilitas yang lambat sampai sedang, kepekaan erosi besar karena stabilitas

(8)

agregat tanah buruk, mengalami proses pencucian liat (lessivage) yang tinggi, kandungan unsur hara relatif rendah, konsistensi teguh hingga gembur, agregat berselaput liat kadang-kadang berada diatas lapisan yang mengeras atau plinthite, sering ada konkresi besi dan sedikit kuarsa (Hardjowigeno, 1993).

Ultisol mempunyai kendala pada kemasaman tanah yakni memiliki pH 4,5 – 5,5, KTK yang rendah yaitu kurang dari 24 me/100 g tanah, kandungan bahan organik rendah, kandungan nitrogen rendah, fosfor dan kalium rendah serta tingginya kelarutan Al, Fe, dan Mn. Tingginya kelarutan Al, Fe, dan Mn menyebabkan P pada tanah terfiksasi, akibat terjadinya fiksasi P pada tanah menjadi tidak tersedia (Munir, 1996).

Di Indonesia, tanah-tanah merah seperti Ultisol banyak disusun oleh kaolinit. Pada mineral kaolinit (1:1) masing-masing unit melekat dengan unit lain dengan kuat (oleh ikatan H) sehingga mineral ini tidak mudah mengembang dan mengkerut bila basah dan kering bergantian. Substitusi isomorfik sedikit atau kapasitas tukar kationnya rendah. Muatan negatif hanya pada patahan-patahan kristal atau akibat disosiasi H bila pH naik. Karena itu muatan negatif mineral ini meningkat bila pH naik (muatan tergantung pH) (Darmawijaya, 1980).

(9)

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di rumah kaca dan dianalisis di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl. Waktu penelitian dimulai pada bulan Mei 2013 hingga selesai.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

- Berbagai jenis tanah yaitu Entisol, Inseptisol, dan Ultisol dari kampus USU Kwala Bekala sebagai media tanam

- Kulit durian sebagai bahan dasar kompos

- BOD sebagai bioaktivator fermentasi pupuk organik - Benih jagung Pioneer P-12 sebagai tanaman indikator

- Pupuk Urea (45% N), SP-36 (36% P2O5), dan KCl (60% K2O) sebagai pupuk

dasar

- Bahan-bahan kimia sebagai bahan untuk analisis tanah dan tanaman

- Air sebagai media penyiraman untuk memenuhi kebutuhan tanah dan tanaman

Alat

- Cangkul untuk mengambil contoh tanah - Polibag 10 kg untuk wadah media tanam - Neraca/timbangan untuk mengukur berat bahan

(10)

- Gembor untuk menyiram tanaman

- Ayakan 10 mesh berfungsi untuk mengayak tanah

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara yang menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor perlakuan yaitu kompos kulit durian dan jenis tanah. Masing-masing perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Faktor kompos kulit durian

D0 = Kompos kulit durian 0 g kompos kering udara/polibeg (0 ton/ha) D1 = Kompos kulit durian 109,5 g kompos kering udara/polibeg (7,5 ton/ha) D2 = Kompos kulit durian 219 g kompos kering udara/polibeg (15 ton/ha) D3 = Kompos kulit durian 328,5 g kompos kering udara/polibeg (22,5 ton/ha) D4 = Kompos kulit durian 438 g kompos kering udara/polibeg (30 ton/ha)

2. Faktor jenis tanah

T1 = Entisol T2 = Inseptisol T3 = Ultisol

(11)

Jumlah taraf faktor kompos kulit durian : 5 Jumlah jenis faktor berbagai jenis tanah : 3

Jumlah ulangan : 3

Jumlah unit percobaan :5x3x3 = 45

Model linier Rancangan Acak Kelompok Faktorial:

Yijk = µ + σi + αi + βk + (αβ)jk + ∑ijk

i : 1, 2, 3 j : 1, 2, 3, 4, 5 k : 1, 2, 3 Dimana :

Yijk : Nilai pengamatan blok ke-i dengan taraf kompos kulit durian ke-j dan jenis tanah ke- k

µ : Nilai rerata harapan

σi : Pengaruh blok ke-i

αi : Pengaruh taraf kompos kulit durian ke-j

βk : Pengaruh jenis tanah ke-k

(αβ)jk : Pengaruh interaksi taraf kompos kulit durian dan jenis tanah ke-k

∑ijk : faktor galat ke-i, taraf kompos kulit durian ke-j, dan jenis tanah ke-k Data dianalisis secara statistik berdasarkan analisis varian pada setiap peubah amatan yang diukur dan diuji lanjutan untuk perlakuan yang berbeda nyata dimana Uji BNT taraf 5% digunakan untuk interaksi nyata dan Uji Beda Rataan Duncan (DMRT) taraf 5 % digunakan untuk interaksi tidak nyata.

(12)

Pelaksanaan Penelitian Pengambilan dan Penanganan Contoh Tanah

Sampel tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Entisol, Inseptisol, dan Ultisol dari Kwala Bekala. Ketiga jenis tanah masing-masing diambil secara komposit pada kedalaman 0-20 cm dengan menggunakan cangkul. Selanjutnya tanah dikeringudarakan dan diayak 10 mesh untuk digunakan dalam analisis awal. Kemudian dilakukan pengukuran kadar air tanah dan kapasitas lapang untuk menetukan banyaknya tanah yang akan dimasukkan ke dalam polibeg dan jumlah air yang ditambahkan untuk mencapai kondisi kapasitas lapang.

Analisis Awal

Sampel tanah yang telah diayak 10 mesh dibutuhkan sebanyak 500 gram untuk analisis awal. Kemudian dilakukan analisis awal ketiga jenis tanah meliputi %KA, pH H2O, C-organik, N-total, P-ekstrak HCl 25% dan P-tersedia. Sedangkan

analisis awal kompos kulit durian meliputi %KA, pH H2O, C-organik, N-total,

dan P-ekstrak HCl 25%.

Pembuatan Kompos

Pembuatan kompos kulit durian dilakukan dalam kurun waktu 1 bulan mulai persiapan bahan dan alat hingga menghasikan kompos. Prosedur Pembuatan kompos kulit durian terlampir pada Lampiran 14.

Persiapan Media Tanam dan Lahan

Ketiga jenis tanah dikeringudarakan dan diayak. Tanah yang telah diayak dimasukkan ke dalam polibeg yang setara dengan ukuran 10 kg berat tanah kering

(13)

oven. Kemudian dilakukan pembenahan lahan rumah kaca sehingga unit percobaan dapat disusun sesuai bagan percobaan.

Aplikasi Kompos

Pemberian kompos kulit durian pada setiap jenis tanah dilakukan 15 hari sebelum penanaman. Jumlah kompos diberikan sesuai dengan taraf perlakuannya. Kompos diberikan kedalam polibeg yang telah berisi tanah dan dicampur merata (homogen) untuk masing-masing tanah.

Penanaman

Sebelum penanaman, dilakukan pemberian pupuk dasar yang meliputi Urea 450 kg/ha atau setara dengan 1,7g/polibeg, SP-36 100 kg/ha atau setara dengan 1,4 g/polibeg, dan KCl 100 kg.ha atau setara dengan 0,8 g/polibeg. Pada penanaman, benih ditanam sebanyak 5 biji/polibeg dengan kedalaman ± 5 cm. Kegiatan penanaman dilakukan pada sore hari.

Pemeliharaan

Penyiraman

Setelah tanaman ditanam, kegiatan penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor. Penyiraman dilakukan setiap harinya pada sore hari.

Penyulaman

Kegiatan penyulaman dilakukan apabila ditemukan tanaman yang pertumbuhannya abnormal atau mati. Hal ini dilakukan seminggu setelah penanaman agar diperoleh pertumbuhan yang seragam.

(14)

Penyiangan

Penyiangan dilakukan apabila ditemukan gulma di areal penelitian. Penyiangan dilakukan secara manual, yaitu dengan cara mencabutnya secara langsung.

Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan secara manual, dengan membuang dan membunuh hama yang ada pada tanaman dan dilakukan sesuai dengan kondisi di lapanagan yaitu apabila tejadi serangan hama dan penyakit pada tanaman.

Panen

Panen dilakukan pada akhir masa generatif, yaitu dengan memanen tongkol jagung untuk mengetahui bobot pipilan kering jagung.

Pengamatan Parameter Analisis Tanah

Untuk analisis tanah dilakukan setelah inkubasi selama 2 minggu sebelum tanam yang meliputi :

- pH (H2O) tanah melalui Metode Elektrometri

- C-organik (%) melalui Metode Walkley and Black - N-total melalui Metode Kjedhal

Tinggi Tanaman

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan mulai 1 MST dan diulangi setiap minggunya sampai akhir masa generatif tanaman.

(15)

Jumlah Daun

Pengukuran jumlah daun dilakukan pada saat tanaman telah berumur 1 MST dan diulangi setiap minggunya sampai akhir masa generatif tanaman.

Bobot Kering Pipilan

Bobot kering pipilan dihitung setelah tanaman dipanen dan pemanenan dilakukan pada saat akhir masa geneatif tanaman.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik kulit durian segar

Referensi

Dokumen terkait

Hasil menunjukan bahwa kelompok eksperimen telah memenuhi KKM yang diterapkan sekolah 85 dari nilai rata-rata post-test nya 87,19, sedangkan kelompok kontrol hanya 83,31 dengan

Pola LE kutaneus (LE) sering disamakan dengan kelainan kulit LE yang spesifik sebagai istilah dari tiga kategori mayor dari kelainan kulit LE yang spesifik yaitu LE kutaneus

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan Bahasa Jurnalistik pada Intro feature di Surat Kabar Harian Pagi Riau Pos Edisi Januari s/d April 2013

Berdasarkan hasil didapatkan data pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sunan Kudus tahun 2019, memiliki penyesuaian diri yang cukup

Hasil ini menyatakan variabel-variabel independen yang dicakup dalam persamaan dari penelitian ini (yaitu: Komite Audit, Dewan Komisaris, Kepemilikan Institusional dan

Dengan memberikan dukungan, dorongan, membantu pekerjaan ibu, mengurangi beban mentalnya, menghindari membahas masalah emosi, dan segera memberikan penanganan yang tepat

[4 markah] (iii) Jelaskan dua amalan yang perlu dilakukan sebagai menepati tuntutan

Untuk pembuatan cetakan alat ukur karapas rajungan 3 dimensi, dibuat dengan dua versi, yang pertama dengan satu bagian cetakan, versi yang kedua membagi dua yaitu bagian atas dan