• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELITIAN TENTANG KESIAPAN SEKTOR FORMAL DAN INFORMAL TERHADAP PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN DAERAH MANDIRI DI JAWA TIMUR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENELITIAN TENTANG KESIAPAN SEKTOR FORMAL DAN INFORMAL TERHADAP PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN DAERAH MANDIRI DI JAWA TIMUR."

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENELITIAN TENTANG KESIAPAN SEKTOR FORMAL DAN

INFORMAL TERHADAP PENYELENGGARAAN PROGRAM

JAMINAN KESEHATAN DAERAH MANDIRI DI JAWA TIMUR

O l e h

I N D A S A H

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

STIKES SURYA MITRA HUSADA KEDIRI

(2)

2

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H1 menyatakan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan kesehatannya dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya. Meski demikian, bagaimana sebuah negara memenuhi ”hak” rakyatnya bergantung pada sistem politik dan ekonomi yang dianut.

Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Indonesia menerapkan prinsip-prinsip social-state model (Bismarck Model) dengan mengakomodasi prinsip-prinsip welfare-state model (Beveridge Model)2, khususnya bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, sesuai Pasal 34 UUD1945.

Merujuk pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tersebut, diperkenalkan istilah peserta penerima bantuan iuran, di mana iuran jaminan sosialnya dibayar oleh pemerintah, dengan kata lain, jaminan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu diintegrasikan penyelenggaraannya dengan masyarakat yang mampu, agar terjadi subsidi tidak langsung, sehingga program jaminan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu dapat berkelanjutan.

1

Republik Indonesia, Pasal 28 H Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2

Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagio, Mimpi Negara Kesejahteraan, Jakarta: LP3ES, penerbit Prakarsa, 2006. Hal. 15.

(3)

3

Jaminan kesehatan dalam SJSN diselenggarakan secara nasional dengan menerapkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Penyelenggaraan jaminan kesehatan secara nasional adalah untuk dapat memenuhi prinsip portabilitas bahwa jaminan kesehatan bisa dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak mengurangi peran pemerintah daerah, khususnya daerah yang penerimaan daerahnya kecil dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu. Dengan pendekatan seperti itu, pemerataan penyelenggaraan jaminan kesehatan dapat terwujud dan berkelanjutan. Penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tanggung jawab pemerintah sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen Tahun 2002, yang dituangkan dalam pasal 34 ayat 1, 2, dan 3.

Sebagai upaya mewujudkan jaminan sosial bagi mayoritas pekerja di Indonesia merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi bangsa kita. Hal ini karena tidak adanya perlindungan, baik berupa jaminan sosial ketenagakerjaan (employment security), termasuk tunjangan atas berbagai risiko, misalnya penyakit. Bahkan bagi sebagian besar pekerja, perlindungan yang paling mendasar yaitu upah minimum juga tidak diberikan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja di sektor perekonomian informal.

Secara konstitusional bahwa setiap warga negara berhak atas jaminan sosial dan menekankan pentingnya peran negara untuk menyediakan cakupan jaminan sosial yang bersifat universal. Hal ini yang terkandung dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diberlakukan sejak Oktober 2004. Perangkat hukum ini menjadi tonggak sejarah

(4)

4

perkembangan sistem jaminan sosial dalam mendorong terciptanya cakupan universal secara bertahap.

Salah satu tantangan terberat dalam mencapai tujuan universal adalah besarnya skala perekonomian informal yang saat ini memperkerjakan sekitar dua pertiga dari jumlah keseluruhan tenaga kerja di Indonesia. Walaupun dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja mencakup semua pekerja, baik yang setengah pengangguran (under employment) ataupun tidak, cakupan wajib sebenarnya hanya dibatasi pada perusahaan yang mempunyai 10 orang pekerja atau lebih, dengan upah bulanan lebih dari Rp 1 juta. Artinya, undang-undang hanya mencakup sektor perekonomian yang bersifat formal, sehingga pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 memang tidak menjangkau pekerja di sektor perekonomian informal.

Sesuai tujuan pemerintah untuk memperluas cakupan jaminan sosial secara universal bagi semua orang, maka perlu dipetakan inisiatif-inisiatif apa saja yang telah dilaksanakan pemerintah dan pemangku kepentingan lain, terutama bagi pekerja di sektor perekonomian informal. Tantangan dan upaya ke depan apa saja yang perlu dilaksanakan untuk memperluas dan melaksanakan cakupan jaminan sosial bagi pekerja di sektor perekonomian informal, terutama jaminan kesehatan.

Pelaksanaan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 yang sudah resmi diundangkan sejak tahun 2004 harus bisa dirasakan keberadaannya bagi sektor informal dan formal di Indonesia. Oleh karena itu, dimasa yang akan datang perlu adanya pembagian berbagai kelompok yang ada di masyarakat yang nantinya dapat diikutsertakan dalam

(5)

5

sistem jaminan sosial, terutama jaminan kesehatan tersebut. Sejauh ini jaminan sosial yang tersedia di Indonesia masih sangat terbatas jangkauannya, diberikan kepada hanya sebagian kecil penduduk Indonesia. Mereka yang mewakili kurang dari 20 persen penduduk yang pada saat ini terjangkau program-program jaminan sosial, terutama bagi pegawai negeri, ABRI/TNI, maupun pegawai perusahaan besar lainnya. Sedangkan penduduk yang lain, terutama mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil, wiraswasta di sektor perekonomian informal dan yang menganggur atau telah lanjut usia, akan bergantung pada asuransi pribadi atau bantuan dari keluarga dekat dan jauh serta masyarakat setempat.

Agar cakupan Sistem Jaminan Sosial dapat diperluas dan menjamin tercakupnya seluruh penduduk tanpa terkecuali, maka kelompok-kelompok penduduk yang ada di masyarakat harus dapat dikenali keberadaannya dan sekaligus dapat dibedakan karakteristiknya. Untuk keperluan ini diperlukan pendefinisian berbagai segmen penduduk yang ada dalam masyarakat dan sekaligus dengan cara bagaimana untuk dapat membedakannya. Lebih khusus lagi misalnya, bagaimana penduduk yang bergerak di sektor informal dapat diikutsertakan dalam program ini, dimana kelompok penduduk ini sangat beragam dan perlu pendefinisian lebih lanjut.

Dalam usulan penelitian ini akan dikaji lebih khusus mengenai kelompok sektor informal dan formal, serta bagaimana cara mereka dapat masuk kedalam cakupan program jaminan sosial, terutama program jaminan kesehatan. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang SJSN, manfaat jaminan sosial harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebetulnya kelompok penduduk ini bukannya tidak memperoleh program-program perlindungan sosial.

(6)

6

Berbagai program bantuan sosial, bantuan tunai dan asuransi sosial telah diberikan untuk masyarakat miskin, namun seringkali tidak dapat menjangkau sasaran karena berbagai masalah seperti adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon penerima bantuan.

Dalam UU SJSN dinyatakan bahwa bagi para peserta yang tidak mampu maka premi akan dibayar oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa jika seorang pekerja informal, pekerja mandiri atau seorang karyawan dapat dinyatakan sebagai tidak mampu maka tampaknya pemerintah berkewajiban untuk membayar preminya. Disisi lain, seorang pekerja informal yang tidak mampu tampaknya harus menunggu untuk dimasukkan ke dalam skema. Memang pelaksanaan UU SJSN dilakukan secara bertahap dimana cakupannya diharapkan akan semakin meluas hingga seluruh warga dapat memperoleh jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan. Hal ini berarti bahwa seluruh pekerja di semua sektor di perkotaan dan perdesaan, termasuk sektor informal (dan pekerja asing), harus dapat dicakup oleh sistem jaminan sosial nasional tersebut nantinya. Tidak terdapat penjelasan mengenai bagaimana dan kapan para pekerja di perekonomian informal akan tercakup, dan bagaimana kontribusi-kontribusi mereka harus dibayarkan kepada penyelenggara.

Sebagai upaya perluasan cakupan kepesertaan ini, pekerja sektor formal akan diwajibkan untuk membayar premi sesuai dengan penghasilannya. Bagi mereka yang bekerja, premi dapat dibayar secara kolektif oleh para karyawan serta majikan. Akan tetapi undang-undang tidak mengindikasikan kontribusi relatif dari masing-masing pihak. Apalagi yang menyangkut pekerja di perekonomian informal yang definisinyapun masih perlu ditetapkan lebih lanjut. Semua ini memerlukan perangkat hukum dan peraturan-peraturan pelaksana

(7)

7

sebagai penjabaran dari UU SJSN, yang dapat digunakan sebagai landasan bagi berbagai pihak untuk mulai mengimplementasikan UU tersebut (Kementerian Kesra, 2007).

Sejalan dengan diundangknanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, maka untuk menjamin akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan, mulai Tahun 2008, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mensahkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah Di Jawa Timur3. Melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengalokasikan sejumlah dana yang ditujukan untuk memberikan jaminan kesehatan bagi penduduk Provinsi Jawa Timur guna mempercepat pencapaian cakupan kepesertaan program Jamkesda4

Penyelenggaraan program jaminan kesehatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tersebut, penyelenggaraanya didasarkan pada pendekatan asuransi kesehatan dan prinsip ekuitas, dengan tujuan untuk menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Oleh karenanya sasaran kepesertaan program Jamkesda BPJKD di Jawa Timur adalah seluruh warga masyarakat yang ada pada masa periode masa kepesertaan tertentu, dengan cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap sesuai dengan tahapan yang ditentukan dalam Rencana Tahapan Kepesertaan dan Prioritas Program (RTK-PP).

3 Baca kembali Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun

2008 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah Di Jawa Timur 4 Ibid.,

(8)

8

Bagi masyarakat miskin yang menjadi peserta program Jamkesda, maka pembayaran premi bagi mereka ditanggung oleh pemerintah Daerah, serta mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan. Selain itu, peserta program jaminan kesehatan adalah setiap orang warga masyarakat dan anggota keluarganya yang telah memenuhi ketentuan keikutsertaan menurut Peraturan Daerah, di mana setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain diluar jumlah maksimal anggota keluarga yang dapat diikutsertakan menurut SJKD dengan penambahan iuran. Jumlah maksimal anggota keluarga yang dapat diikutsertakan dan besarannya iuran sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Gubernur.

Selanjutnya berdasarkan amanah Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 bahwa pengelolaan kepesertaan program Jamkesda di Jawa Timur dilakukan secara bertahap dengan prioritas pada tahap pertama adalah masyarakat miskin penerima bantuan iuran (PBI) yang dibiayai dari anggaran APBD Provinsi dalam bentuk alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan melalui Dinas Kesehatan Provinsi, sedangkan tahapan berikutnya adalah sasaran kepesertaan di luar peserta miskin untuk ikut dalam program jaminan kesehatan daerah mandiri.

Kepesertaan program Jamkesda di Jawa Timur saat ini adalah masyarakat miskin di luar kuota Jamkesmas Kementerian Kesehatan yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota se-Jawa Timur, termasuk seniman yang ditetapkan Dewan Kesenian Jawa Timur, serta penderita / mantan penderita kusta yang berobat di RS Kusta milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan sifat kepesertaanya yang ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit milik Pemerintah

(9)

9

Provinsi Jawa Timur. Jumlah peserta program Jamkesda di Jawa Timur sebesar 1.411.742 jiwa masyarakat miskin non kuota Jamkesmas.

Sebagai upaya pengembangan kepesertaan program jaminan kesehatan daerah di Jawa Timur dapat dilakukan melalui kepesertaan program Jamkesda mandiri yang diprioritaskan bagi para pekerja di sektor formal dan informal yang bekerja di Jawa Timur, termasuk warga negara asing yang telah menetap dan bekerja di Jawa Timur minimal 6 (enam) bulan. Perlu diketahui bahwa berdasarkan sektor ini, terdapat perkiraan 70 % bekerja di sektor informal dan 30% di sektor formal (BPS, 2007). Angka ini pasti akan bergeser kearah pekerja informal semakin besar yang dikarenakan oleh banyaknya perusahaan formal yang menutup atau merelokasi usahanya keluar Indonesia dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga pekerja sektor formal akan beralih menuju ke sektor informal sehingga jumlah pekerja informal semakin bertambah.

Menurut pandangan ILO, Sektor informal didefinisikan sebagai cara melakukan pekerjaan apapun dengan karakteristik mudah dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, beroperasi dalam skala kecil, pada karya dan teknologi yang adaptif, memiliki keahlian di luar system pendidikan formal, tidak terkena langsung regulasi, dan pasarnya kompetitif. Sedangkan BPS sektor informal ini diartikan sebagai suatu perusahaan non direktori (PND) dan Rumah Tangga (URT) dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang. Pekerja di sektor informal maupun sektor formal merupakan suatu kelompok potensial, karena jumlahnya besar, ikut berperan dalam tumbuh kembangnya pembangunan perekonomian negara, dan merupakan tulang punggung ekonomi keluarga, tetapi dalam upaya mempertahankan serta meningkatkan produktifitas pekerja belum memperoleh pelayanan kesehatan yang sesuai dengan yang

(10)

10

diharapkan, terutama bagi pekerja yang bekerja di sektor informal, padahal mereka selalu berhadapan dengan faktor resio yang cukup besar dalam melaksanakan pekerjaaannya.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui rencana pengembangan program jaminan kesehatan daerah dalam bentuk jaminan kesehatan daerah mandiri berupaya memberikan perlindungan pelayanan kesehatan kepada kelompok sektor informal maupun formal ini. Untuk itu, diperlukan penelitian mendalam untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam kesiapan penkerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal terhadap rencana penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah mandiri di Jawa Timur.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan pokok-pokok pemikiran dan uraian pada latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat disusun sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pemahaman pekerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah mandiri di Jawa Timur?

2. Bagaimanakah respon pekerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah mandiri di Jawa Timur ?

3. Bagaimanakah kesiapan pekerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah mandiri di Jawa Timur ?

(11)

11

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk memberikan jaminan kesehatan yang menyeluruh, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengembangkan Sistem Jaminan Kesehatan Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah di Jawa Timur, dan Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Daerah sebagaimana disempurnakan dengan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor : 55 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Jawa Timur nomor 4 tahun 2009, serta terakhir dirubah menjadi Peraturan Gubernur Nomor 62 Tahun 2012.

Untuk mendorong keberhasilan pelaksanaan program jaminan kesehatan daerah mandiri, salah satu tugas dan wewenang Dewan Wali Amanah BPJKD Provinsi Jawa Timur adalah melakukan penelitian terhadap pelaksanaan program Jamkesda dan melaporkan hasilnya kepada Gubernur dan DPRD Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini untuk mengetahui kesiapan sektor formal dan informal terhadap rencana penyelenggaraan program Jaminan kesehatan daerah mandiri di Jawa Timur. Berkaitan dengan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.1 Mengkaji dan menganalisis tingkat pemahaman pekerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah mandiri di Jawa Timur.

2.2 Mengkaji dan menganalisis respon pekerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah mandiri di Jawa Timur

(12)

12

2.3 Mengkaji dan menganalisis kesiapan pekerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah mandiri di Jawa Timur

1.4 Manfaat dan output

1.4.1 Manfaat Operasional Bagi Pembuat Kebijakan

Program Jaminan Kesehatan Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2008 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah yang diterapkan.Peraturan Daerah ini telah dilengkapi dengan peraturan-peraturan pendukungnya, yaitu Peraturan Gurbenur Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Daerah Di Jawa Timur, kemudian disempurnakan menjadi Peraturan Gusbenur Jawa Timur Nomor : 55 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Gubenur Jawa Timur nomor 4 tahun 2009, serta perubahan terakhir menjadi Peraturan Gurbenur Nomor 62 Tahun 2012 saat ini bukanlah tujuan akhir, tetapi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam meningkatkan kesejahteraan kesehatan bagi masyarakat di Jawa Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada Pemerintah agar pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Daerah mandiri tetap searah dengan tujuan tersebut, serta dapat memberikan pelayanan yang memuaskan peserta. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dipergunakan bagi para pengambil kebijakan agar tujuan program Jaminan Kesehatan Daerah mandiri dapat mensejahterakan masyarakat, serta memberikan pelayanan yang sebaik baiknya.

(13)

13

1.4.2 Manfaat bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Dengan rencana diimplementasikannya kebijakan program Jaminan Kesehatan Daerah mandiri di Provinsi Jawa Timur, maka pada penelitian ini dikumpulkan rumusan konsep dan teori, sehingga terjadi proses baik metodologis, analitis serta penarikan kesimpulan berkaitan dengan masalah kesiapan sektor formal dan informal terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah mandiri di Jawa Timur, terutama pekerja dan pemberi kerja pada sektor formal dan informal; pemahaman respon/tanggapan maupun kesiapan bagi pekerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal di Jawa Timur terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan daerah mandiri. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kebijakan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu meningkatkan keberhasilan pelaksanaan program jaminan kesehatan mandiri di Jawa Timur dalam upaya mencapai universal coverage jaminan kesehatan.

1.4.3 Output yang dihasilkan

Output yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa sebagai berikut :

1.4.3.1 Laporan Pendahuluan/proposal penelitian tentang Kesiapan Sektor Formal Dan Informal Terhadap Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Daerah Mandiri Di Jawa Timur.

1.4.3.2 Data hasil penelitian tentang Kesiapan Sektor Formal Dan Informal Terhadap Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Daerah Mandiri Di Jawa Timur.

(14)

14

1.4.3.3 Dokumen laporan penelitian tentang Kesiapan Sektor Formal Dan Informal Terhadap Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Daerah Mandiri Di Jawa Timur.

1.4.3.4 Rekomendasi kebijakan hasil penelitian tentang Kesiapan Sektor Formal Dan Informal Terhadap Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Daerah Mandiri Di Jawa Timur.

(15)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam meningkatkan pelayanan publik, khususnya pelayanan bidang kesehatan bagi masyarakat kecil saat ini cukup besar, tidak hanya kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) saja, namun Pemerintah provinsi juga berupaya mengejawantahkan dalam grand design kesehatan Jawa Timur. Untuk maksud tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menyusun Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah. Peraturan ini mengamanatkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah untuk mengelola Jaminan Kesehatan Daerah bagi masyarakat di Jawa Timur.

Dalam rangka mewujudkan tujuan dimaksud, Gubernur Provinsi Jawa Timur Dr H Soekarwo menyatakan bahwa pelayanan kesehatan yang murah dan memadai bagi masyarakat perlu terus ditingkatkan. Sebab, adanya pelayanan yang memadai, produktivitas masyarakat dipastikan dapat meningkat, sehingga dengan jumlah penduduk yang terbesar kedua se Indonesia, pelayanan kesehatan perlu ditingkatkan, terutama bagi masyarakat yang tidak mampu. Hal ini disampaikan saat Gubernur memberikan sambutan pembukaan Rapat Koordinasi (Rakor) kebijakan pembangunan kesehatan dengan mengambil tema “Penguatan Jejaring Kesehatan dalam Mendukung Good Governance di Jawa Timur di Garden Palace Hotel (Senin, 6 Juni 2011).

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan jumlah penduduk yang mencapai 37.476.011 jiwa, serta laju pertumbuhan penduduk (LPP) pada 2010 berada pada angka 0,49 persen, sehingga pada tahun 2015 nanti sangat

(16)

16

membutuhkan pelayanan kesehatan yang memadai. Oleh karenanya, dengan adanya grand design kesehatan, pelayanan bagi masyarakat diharapkan dapat tepat sasaran, terutama untuk kalangan masyarakat tidak mampu yang menjadi prioritas atau perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Sampai saat ini perhatian Pemerintah Jawa Timur masih memprioritaskan jaminan kesehatan daerah bagi peserta penerima bantuan iuran, terutama masyarakat miskin dan tidak mampu, sedangkan bagi pekerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal belum masuk dalam skema jaminan kesehatan daerah mandiri dengan membayar iuran sendiri, padahal pekerja di sektor informal ini sangat besar jumlahnya dan pada umumnya mereka belum mempunyai perlindungan kesehatan, sehingga perlu mendapatkan perhatian bagi penyelenggara Jamkesda di Jawa Timur.

2.1 Definisi sektor formal dan informal

Perkembangan sektor informal atau ekonomi informal telah mengalami berbagai perubahan konsep / pengertian sesuai dengan kondisi pada saat itu. Untuk setiap negara / wilayah, institusi/lembaga yang berbeda, pengertian mengenai sektor informal dapat berbeda pula.

Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1991) dalam Ihsan (2013) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga yang terorganisasi. Apa yang digambarkan oleh Hart memang dirasakan belum cukup dalam memahami pengertian sektor informal tersebut sering dilengkapi dengan suatu daftar kegiatan agak arbiter yang terlihat apabila seseorang menyusuri jalan-jalan suatu kota dunia ketiga; pedagang kaki lima, penjual koran, pengamen, pengemis,

(17)

17

pedagang asongan, pelacur, pengojek, dan lain-lain. Mereka adalah pekerja yang tidak terikat dan tidak tetap (Hart, 1991).

Konsep informal merupakan suatu jenis teori dualisme baru yang telah populer. Breman (1991) menjelaskan bahwa fenomena dualisme di satu pihak menunjuk pada perekonomian pasar yang biasa kapitalis, dan di pihak lain perekonomian subsistensi di pedesaan dengan ciri utamanya sistem produksi pertanian yang statis.

Dualisme sosio-ekonomi yang berasal dari dalam tahap-tahap pembangunan baik pada sektor formal maupun informal. Sektor informal dimaksudkan agar pekerja bisa dialihkan dari sektor sub-sistem di desa agar dapat membantu meningkatkan produksi non-pertanian. Para ekonom dan birokrat memandang bahwa kota dengan industri modern sebagai pusat dinamika yang secara lambat laun mengubah sifat statis dari tatanan pedesaan dengan ciri pertanian yang lamban berikut produktivitas pekerja yang sangat rendah. Tetapi anggapan bahwa kelebihan pekerja yang ada akan terserap dalam sektor modern belum terbukti. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja di kota, ternyata beberapa dasa warsa ini mengenai kesempatan kerja pada sektor formal terutama industri masih ketinggalan. Sektor informal terdiri dari unit-unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri, dan dalam usahanya itu sangat dihadapkan pada berbagai kendala seperti faktor modal fisik, pengetahuan dan faktor keterampilan (Sethraman 1981 dalam T.O. Ihromi; 1993).

(18)

18

Adapun beberapa definisi tentang sektor informal yang digunakan oleh berbagai institusi tersebut, antara lain dikutip dalam Kemenko Kesra, Depkes, dan GTZ (2007) sebagai berikut :

1). ILO (International Labour Organization)

ILO lebih sering menggunakan istilah „ekonomi informal‟ ketimbang „sektor informal‟ karena „ekonomi informal‟ lebih cocok untuk menggambarkan pendekatan yang terintegrasi dalam menggambarkan ketidak-formalan (House, 2003). Selanjutnya pandangan ILO (2002) tersebut sebagai berikut :

“Ekonomi informal terdiri dari unit-unit ekonomi yang termarjinalisasi dan pekerja-pekerja yang memiliki karakteristik: mengalami defisit yang parah dalam hal pekerjaan yang layak, defisit dalam hal standar perburuhan, defisit dalam hal produktivitas dan kualitas pekerjaan, defisit dalam hal perlindungan sosial dan defisit dalam hal organisasi dan hak suara. Dengan mengurangi defisit yang dimiliki oleh ekonomi informal, diharapkan akan dapat meningkatkan gerakan kearah kegiatan-kegiatan yang diakui, terlindungi dan formal didalam kerangka perekonomian utama dan yang memenuhi peraturan”.

Meskipun tidak ada konsensus khusus mengenai definisi sektor informal, pengertian sektor informal ini sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. ILO (1972) mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut yaitu:

a. kemudahan untuk masuk

b. kemudahan untuk mendapatkan bahan baku c. sifat kepemilikan

d. skala kegiatan

e. penggunaan tenaga kerja dan teknologi f. tuntutan keahlian

(19)

19

2). Institusi lain

Mengutip laporan dari Kerjasama Kemenko Kesra, Depkes, dan GTZ (2007), memberikan pengertian-pengertian tentang sektor informal sangatlah beragam, serta dapat dikelompokkan menjadi beberapa definisi dengan mengacu pada karakteristik khusus dari sektor informal yang digunakan masing-masing institusi, antara lain :

a. Menurut PT Jamsostek

Definisi dari sektor informal adalah „tidak adanya hubungan industrial dan tidak berdasarkan kontrak kerja‟. Yang termasuk dalam kelompok pekerja sektor informal misalnya, pekerja keluarga, pekerja mandiri (self-employed, kecuali akuntan, dokter, notaris yang berbadan hukum), pekerja lepas/serabutan (casual workers) seperti buruh tani dan nelayan. Dengan berpijak pada UU No.3/1992 (tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja), PT Jamsostek bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) mulai menjangkau sektor informal dalam hal jaminan sosial. Karena pekerja informal tidak memiliki pendapatan tetap, maka untuk penghitungan premi digunakan besarnya upah minimum. Selain dengan Depnakertrans dan Disnakertrans, Jamsostek juga berkoordinasi dengan Pemda dan Biro Pusat Statistik (BPS).

b. Badan Pusat Statistik

Definisi kelompok pekerja informal dengan menggunakan kriteria yang merupakan kombinasi dari Status Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan Utama. Berbeda dengan definisi pekerja informal yang pernah digunakan oleh BPS

(20)

20

sebelumnya, penggunaan kombinasi dari „status pekerjaan‟ dan „jenis pekerjaan utama lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Sebelumnya, BPS hanya berpatokan pada „status pekerjaan‟ untuk menentukan pekerja informal, yaitu mereka yang berstatus sebagai berusaha sendiri, berusaha dengan buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non-pertanian, dan pekerja tidak dibayar. Tentu saja perubahan definisi pekerja sektor informal ini akan membawa dampak pada perubahan dalam penghitungan jumlahnya. BPS juga telah berkoordinasi dengan beberapa instansi seperti Depsos, Depkes, Depnaker, BKKBN dalam pembuatan kriteria-kriteria penduduk yang patut menerima bantuan dari pemerintah (contohnya untuk penerima Bantuan Langsung Tunai atau BLT).

Tabel 2.1. Penetapan Kelompok Pekerja Informal Berdasarkan Status Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan Utama

Status Pekerjaan

Jenis Pekerjaan Utama

Te na ga Pro fesi -on al Ten aga Kep emi m-pina n Pejab at Pelak sana & Tata Usah a Ten aga Penj uala n Tenag a Usah a jasa Ten aga Usa ha Pert ania n Ten aga Prod uksi Ten aga Oper asi-onal Pek erja Kas ar Lain nya Berusaha Sendiri

F F F INF INF INF INF INF INF INF

Berusaha dengan Bantuan Buruh Tidak Tetap F F F F F INF F F F INF Berusaha dengan Bantuan Buruh Tetap F F F F F F F F F F Buruh/Karyawan /Pekerja Dibayar F F F F F F F F F F Pekerja Bebas di Pertanian

(21)

21

Pekerja Bebas

di Non

Pertanian

F F F INF INF INF INF INF INF INF

Pekerja Tak Dibayar

IN F

INF INF INF INF INF INF INF INF INF

Sumber : Laporan Teknis untuk menyusun Peraturan pelaksanaan UU Tentang SJSN (2007)

Catatan : F = FORMAL; INF = INFORMAL

c. PT Askes,

Untuk jaminan kesehatan bagi kelompok masyarakat seperti sektor informal, di Askes dikenal sebagai pelayanan Jaminan Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (divisi JKPBI). Penerima Bantuan Iuran atau PBI adalah kelompok penduduk tidak mampu yang untuk menjadi peserta jaminan kesehatan preminya dibayari sepenuhnya oleh pemerintah. Untuk mengetahui siapa Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat yang tergolong miskin, dasarnya adalah ketetapan dari masing-masing bupati/walikota, dimana kriteria yang digunakan berbeda untuk daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dalam penentuan kriterianya masing-masing daerah berkoordinasi dengan Dinas Sosial, BKKBN, BPS, Dinas Kesehatan setempat.

Menurut Surat Edaran dari Menko Kesra, mulai tahun 2007 acuan pokok untuk program-program kemiskinan harus menggunakan data BPS. Namun ketetapan tersebut dirasakan oleh berbagai pihak bahwa landasan hukumnya kurang kuat. Data BPS harus disertai verifikasi dengan melakukan uji publik, misalnya dengan mengadakan rembug desa terbuka untuk menegaskan siapa-siapa yang memang pantas menerima bantuan dari pemerintah. Apabila jaminan kesehatan diberikan khusus kepada sektor informal, maka beberapa

(22)

22

aspek dari sektor informal yang perlu diperhatikan adalah : a. definisinya apa; b. bagaimana menentukan premi dengan tepat; serta c. bagaimana mengumpulkan premi dengan tepat (misalnya untuk petani yang panen 3 bulan sekali).

d. Depnakertrans.

Definisi sektor informal sebagai „mereka yang bekerja diluar hubungan kerja‟, terutama di tingkat pusat dan di tingkat propinsi (Dinas Nakertrans Propinsi). Contoh yang diberikan untuk mereka yang berada diluar hubungan kerja adalah pekerja mandiri, pekerja keluarga dan pekerja bebas, yang tidak mempunyai ketrampilan dan memiliki penghasilan dibawah rata-rata serta tidak tetap. Umumnya kelompok penduduk seperti ini termasuk dalam penduduk miskin.

e. Departemen sosial (Depsos)

Sektor informal adalah „mereka yang mempunyai penghasilan tidak tetap‟. Contohnya : tukang ojeg, tukang becak, penjual jamu gendong. Pada umumnya mereka masuk dalam kelompok keluarga miskin (Gakin) yang berpenghasilan dibawah Rp. 200.000,-. Pengertian mengenai sektor informal ini digunakan baik di Depsos pusat maupun di daerah dan menjadi acuan untuk pelaksanaan program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Program Askesos ini ditujukan untuk membantu mereka yang berpenghasilan sangat rendah ketika terjadi gangguan terhadap kelancaran penghasilan, misalnya karena sakit atau meninggal. Dasar hukum untuk sektor informal ini tidak ada persis, namun program ini mengacu pada UUD 1945, UU No. 6/1974 ( tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial), dan UU No. 39/1999 (tentang Hak Asasi Manusia).

(23)

23

Koordinasi dengan Depnakertrans dilakukan oleh Depsos khusus untuk menangani pekerja-pekerja informal.

f. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag)

Definisi yang agak berbeda mengenai sektor informal adalah yang digunakan oleh Deperindag dan jajarannya di tingkat propinsi dan kabupaten/kota melihat sektor informal sebagai „usaha kecil yang tidak terdaftar secara resmi‟. Karena Deperindag berurusan dengan perusahaan-perusahaan yang harus didaftar (yang berarti formal), maka jika ada perusahaan yang tidak didaftar, itu berarti dia informal. Biasanya jenis usaha seperti ini dikelola oleh seorang wiraswasta, tanpa menggunakan tenaga kerja dari luar lingkungan keluarganya. Contohnya adalah pedagang keliling, warung/pedagang pinggir jalan. Untuk ketentuan mengenai usaha kecil informal, jajaran Deperindag mengacu pada UU 9/1995 (tentang pendaftaran perusahaan). Dalam melaksanakan tugasnya Deperindag berkoordinasi dengan Menteri Negeri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Departemen Pekerjaan Umum, Depnakertrans, Depsos, Depkes.

g. Departemen Kesehatan

Sebetulnya departemen ini tidak memiliki definisi khusus untuk sektor informal. Namun demikian pengertian mengenai sektor informal yang diajukan oleh Dinas Kesehatan propinsi Jawa Tengah, adalah pekerja a) yang jam kerjanya tidak tetap dan tidak terjangkau peraturan-peraturan tertulis; b) yang modalnya kecil; dan c) yang sifatnya kekeluargaan. Dasar hukum khusus untuk definisi sektor informal belum ada di Depkes, namun untuk pembinaan kesehatan masyarakat (termasuk pekerja) dapat dilihat sejak keluarnya UU Kesehatan No. 23/1992.

(24)

24

2.2 Pemberi kerja dan pekerja sektor formal dan informal

Pemberi kerja, terutama sektor formal yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. Sesuai dengan UU Ketenagakerjaan, bahwa pelaksana penempatan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja. Selanjutnya pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

2.2.1 Sektor formal

Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengusaha adalah : orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; serta orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan. Sedangkan perusahaan adalah : Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; serta usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

(25)

25

Sektor ekonomi formal biasanya ditangani dalam bentuk organisasi atau lembaga formal. Bentuk badan hukum formal tersebut adalah Firma, CV, Perseroan Terbatas, BUMN, Koperasi. Sektor Formal dapat meliputi berbagai bidang kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, pertanian, industri, jasa dan pertambangan. Organisasi ini tentu dikelola dengan orang- orang profesional.

Keunggulan dari sektor ekonomi formal antara lain: Sektor ekonomi ini lebih mudah diawasi dan dibina oleh pemerintah; Sektor ekonomi ini lebih mudah mendapatkan kepercayaan dari investor; serta Sektor ekonomi ini dituntut untuk menciptakan orang yang profesional, sedangkan kelemahan dari sektor ekonomi formal adalah keterbatasan dalam menampung jumlah wirausaha karena setiap wirausaha dituntut profesionalismenya. Pekerja manajerial (white collar) yang merepresentasikan pekerja sektor formal terdiri dari tenaga professional, teknisi dan sejenisnya, tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan, tenaga tata usaha dan sejenisnya, tenaga usaha penjualan, tenaga usaha jasa. Pada beberapa tahun terakhir tercermin adanya kecenderungan penurunan peran pekerja blue collar dan sedikit peningkatan pekerja white collar. Ini merupakan sinyal kemajuan perekonomian dan juga kemajuan pendidikan karena pekerja white collar secara umum membutuhkan tingkat pendidikan yang memadai.

2.2.2 Sektor Informal

Sektor Informal adalah kelompok usaha (ekonomi) skala kecil, baik organisasi maupun pemodalan. Kelompok usaha sektor informal biasanya dicirikan sebagai berikut : Tempat kerja bervariatif, antara permanen hingga berpindah tempat; Self employed atau family scale; Tidak ada organisasi pembagian kewenangan; Tidak berbatas jelas secara kewilayahan (dengan

(26)

26

pemukiman atau per untukan lainnya); Tidak berbatas jelas dari segi kelompok umur; Pola kegiatan tidak teratur (waktu, permodalan, penerimaan); Pada umumnya tidak tersentuh peraturan dan ketentuan pemerintah; Modal, peralatan, perlengkapan maupun omset biasanya kecil; Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggal; Tidak mempunyai keterkaitan dengan usaha lain yang besar; Pada umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah; Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus (menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan); Umumnya tenaga dari lingkungan keluarga atau berasal dari daerah yang sama.

Pengelompokkan definisi formal dan informal menurut Hendri Saparini dan M. Chatib Basri dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa tenaga Kerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak. Definisi lainnya adalah segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tempat pekerjaan yang tidak terdapat keamanan kerja (job security), tempat bekerja yang tidak ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum. Sedangkan ciri-ciri kegiatan-kegiatan informal adalah mudah masuk, artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini, bersandar pada sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga, operasi skala kecil, padat karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem formal sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. Contoh dari jenis kegiatan sektor informal antara lain pedagang kaki lima (PKL), becak, penata parkir, pengamen dan anak jalanan, pedagang pasar, buruh tani dan lainnya.

(27)

27

2.3 Sistem jaminan sosial Nasional

Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor X/2001 telah menugaskan presiden untuk mengembangkan sistem jaminan sosial nasional Selanjutnya sesuai dengan perubahan Konstitusi RI telah menentukan pula Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 bahwa "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat." Tentunya program jaminan sosial tersebut, diantaranya termasuk jaminan pemeliharaan kesehatan prabayar yang bersifat sosial, agar hak warganegara atas jaminan kesehatan sosial tersebut dapat terpenuhi.\

Menurut Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Oleh karenanya, dukungan politik (political will) sebagai syarat penyelenggaraan sistem jaminan social telah terwujud dalam konstitusi sebagai hukum dasar negara. Sistem jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 Ayat (2) UUD 1945, tidak terlepas dari prinsip-prinsip universal yang telah lama dikenal, dengan berbagai modifikasi, selain tetap memperhatikan tradisi, budaya, dan kondisi lokal sistem jaminan sosial merupakan bagian sistem nasional, baik sistem ekonomi maupun politik bangsa.

Dengan prinsip-prinsip jaminan sosial yang telah ditetapkan dalam UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, kepesertaan sistem jaminan sosial dikembangkan bertahap, dimulai dari kelompok formal dan/atau yang telah mampu membayar iuran. Bagi masyarakat yang tidak mampu, yang menerima subsidi bantuan iuran, terbuka peluang diselenggarakan

(28)

28

sesuai dengan prinsip-prinsip sistem jaminan sosial, bila program bantuan sosial itu telah memenuhi syarat program sistem jaminan sosial.

Ruang lingkup jaminan sosial adalah sangat luas antara lain meliputi adanya jaminan pendidikan, kesehatan, kematian, PHK, kecelakaan kerja, kecelakaan diri dan masih banyak lagi macam ragamnya, yang menjamin kesinambungan ekonomi/penghasilan seseorang meskipun terjadi suatu risiko pada dirinya. Program Jaminan Sosial adalah jaminan yang menjadi bagian dari program jaminan ekonomi suatu bangsa.

Sejak keluarnya Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 didefinisikan bahwa “jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial adalah seluruh sistim perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial.” Adapun pemenuhan jaminan sosial dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974, bertujuan agar taraf kesejahteraan sosial pada warga masyarakat tidak menurun sampai dibawah suatu taraf yang dipandang layak, tanpa melupakan usaha-usaha untuk secara terus menerus meningkatkan taraf kesejahteraan sosial segenap Warganegara Indonesia. Kemudian dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, mendefinisikan ”jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.”5

Berkaitan dengan program jaminan sosial ini, maka penelitian ini hanya memfokuskan pada pendekatan pelaksanaan program jaminan kesehatan

5

Anton Hardianto, 2007, Naskah Akademis Paket Raperda tentang Jaminan Sosial Daerah Provinsi Jawa Timur

(29)

29

daerah di Jawa Timur, terutama rencana pengembangan program Jamkesda di luar Penerima Bantuan Iuran (PBI) di Jawa Timur.

2.4 Prinsip-prinsip dalam Jaminan Sosial Nasional

Berdasarkan pasal 28H UUD 45 hasil amendemen tahun 2000 dinyatakan “bahwa…setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”. Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan tersebut bertujuan untuk menjamin hak-hak kesehatan yang fundamental sesuai dengan deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB di tahun 1947.

Selanjutnya menurut Thabrany (2008), bahwa sampai saat ini sistem kesehatan di Indonesia masih jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Rakyat kecil sangat terbebani dengan sistem kesehatan yang diperdagangkan. Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya. Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity, ketidakadilan/ ketidak-setaraan) hanya dapat diperkecil dengan memperbesar porsi pendanaan publik, baik melalui APBN (tax funded) maupun melalui sistem asuransi kesehatan sosial.

Pelaksanaan sistem jaminan sosial berlaku prinsip utama dan Pendukung (tambahan), yaitu ;

a. Prinsip Utama yang terdiri dari:

(1) Prinsip Solidaritas, yaitu suatu prinsip adanya saling membantu diantara dua segmen yang berbeda sehingga terjadi subsidi silang seperti yang kaya membantu yang miskin, yang muda membantu yang tua, serta yang sehat membantu yang sakit. Dengan prinsip tersebut memungkinkan perluasan cakupan terhadap seluruh penduduk.

(30)

30

(2) Prinsip Efisiensi , prinsip ini memungkinkan pelayanan menjadi terkendali karena pelayanan yang diberikan hanya pelayanan yang dibutuhkan saja. Selain itu terjadi juga urun biaya, sehingga tidak dirasakan terlalu berat bagi yang tidak mampu.

(3) Prinsip Ekuitas yang berarti bahwa, setiap penduduk harus memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan dan kemampuannya.

(4) Prinsip Portabilitas yang menunjukkan bahwa, seseorang tidak boleh kehilangan jaminan / perlindungan.

(5) Prinsip nirlaba, tidak mengambil keuntungan namun bukan berarti harus merugi tetapi azas manfaat bagi seluruh pelaku asuransi kesehatan (Bapel, Peserta, Pemberi pelayanan kesehatan serta Pemerintah karena mempunyai penduduk yang sehat dan produktif).

b. Prinsip Tambahan yang terdiri dari:

(1) Prinsip Responsif yaitu responsif terhadap tuntutan peserta sesuai standar kebutuhan hidup sehingga sifatnya lebih dinamis.

(2) Prinsip koordinasi manfaat, dengan adanya prinsip ini diharapkan tidak akan terjadi duplikasi cakupan dan pelayanan, sehingga lebih efisien (Widodo, 2012)

Agar upaya pemeliharaan kesehatan dapat membawa hasil yang diharapkan, bila diberikan penekanan yang sama kepada keseluruhan prinsip dan aspek tersebut di atas secara serentak dan sekaligus. Dengan demikian, harus dikembangkan suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang merangkum keseluruhan prinsip dan aspek tersebut dan diarahkan pada:

1. Manajemen Kepesertaan: Pengelolaan kepesertaan, agar tidak terjadi subsidi yang salah sasaran dan duplikasi pembiayaan. Kejelasan dan

(31)

31

legalitas kepesertaan merupakan kunci utama efisiensi penerapan sistem asuransi kesehatan sosial. Dalam Manajemen Kepesertaan harus ada kebijakan yang jelas tentang bantuan sosial dan premi yang harus dibayarkan. Bantuan sosial harus diformat sedemikian rupa sehingga prinsip keadilan itu akan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat;

2. Manajemen Keuangan: Pengendalian biaya, agar pelayanan kesehatan dapat lebih terjangkau oleh setiap orang. Pembayaran PPK oleh Bapel dilakukan dengan pembayaran pra-upaya (prepaid), dalam hal ini dengan kapitasi atau sistim anggaran. Cara pembayaran di muka ini akan memacu para PPK untuk merencanakan pelayanan kesehatan yang paling efektif clan efisien serta berorientasi lebih banyak kepada tindakan promotif clan preventif. Kapitasi dihitung berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar pada masing-masing PPK (tidak atas dasar jumlah kunjungan) dan dibayar di muka, langsung kepada PPK.

3. Manajemen Pelayanan Kesehatan: Peningkatan mutu pelayanan kesehatan agar dapat secara efektif dan efisien dan efisien meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peningkatan mutu juga harus disertai pemeratan upaya kesehatan dengan peranserta masyarakat yang dilaksanakan secara selaras, terpadu dan saling memperkuat, agar setiap orang dapat menikmati hidup sehat;

4. Manajemen Informasi: Adanya penanganan keluhan peserta maupun PPK. Ketidakpuasan dan keluhan para peserta ataupun PPK harus dapat disalurkan lewat suatu mekanisme "Penanganan Keluhan" yang tetap, hingga dapat menjamin stabilitas dalam menerapkan sistem asuransi kesehatan sosial. Manajemen informasi juga akan menjamin tingkat

(32)

32

portabilitas yang tinggi. Selain itu adanya pemantauan pemanfaatan pelayanan kesehatan untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan medis peserta clan mengendalikan penggunaan pelayanan yang berlebihan dan pemborosan yang tidak diperlukan.6

Selanjutnya sesuai amanah Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Sistem jaminan kesehatan daerah di Jawa Timur, Sistem Jaminan Sosial Daerah diselenggarakan berdasarkan pada prinsip:

a. Prinsip kegotong-royongan dalam ketentuan ini adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; sehingga peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini, jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Prinsip nirlaba dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta. Sehingga penyelenggaraan jaminan sosial tidak diutamakan untuk mencari keuntungan atau tidak dengan sendirinya menjadikan surplus dana jaminan sosial yang dikelola selama periode tertentu sebagai nilai penambah kekayaan dari suatu Badan Penyelenggara Jaminan

6

Widodo J Pujirahardjo, 2012, Materi dipersiapkan untuk Rakor RS se Jawa Timur, tahun 2012. Pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dasar pada era universal coverage.

(33)

33

Sosial Daerah Provinsi Jawa Timur. Pengelolaan dana amanat jaminan sosial tidak dimaksudkan untuk mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Oleh karena itu, diperlukan bentuk badan hukum yang sejalan dan cocok dengan pelaksanaan prinsip ini.

c. Prinsip keterbukaan dalam ketentuan ini adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi setiap peserta.

d. Prinsip kehati-hatian dalam ketentuan ini adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.

e. Prinsip akuntablitas dalam ketentuan ini adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

f. Prinsip portabilitas dalam ketentuan ini adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal atau bahkan berpindah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah Provinsi Jawa Timur dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

g. Prinsip kepesertaan wajib dalam ketentuan ini adalah prinsip yang mengharuskan seluruh warga masyarakat Daerah Provinsi Jawa Timur menjadi peserta program jaminan sosial sehingga dapat

(34)

34

terlindungi. Tetapi, meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh warga masyarakat Daerah Provinsi Jawa Timur, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi warga masyarakat Daerah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dapat dimulai dari pekerja di sektor formal dan peduduk Daerah Provinsi Jawa Timur yang tergolong miskin dan tidak mampu sebagai penerima bantuan iuran, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara sukarela, sehingga dapat mencakup petani, nelayan dan mereka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Daerah Provinsi Jawa Timur dapat mencakup seluruh warga masyarakat Daerah Provinsi Jawa Timur, yang dilaksanakan secara bertahap. Penentuan tahapan luas cakupan kepesertaan wajib ditetapkan oleh Gubernur Daerah Provinsi Jawa Timur berdasarkan usulan dan pertimbangan wali amanah. h. Prinsip dana amanat dalam ketentuan ini adalah dana yang terkumpul

dari iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Daerah Provinsi Jawa Timur untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta dan digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial.7

7

Prinsip-prinsip penyelenggaraan jaminan kesehatan daerah dapat dibaca secara lengkap dalam Naskah Akademis Paket Raperda tentang Jaminan Sosial Daerah Provinsi Jawa Timur dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah di Jawa Timur beserta penjelasannya

(35)

35

2.5 Sistem Jaminan Kesehatan Daerah di Jawa Timur

Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum dengan jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial8.

Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan

8

Baca kembali pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.

(36)

36

rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke dalam dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sejak tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan kedalam GBHN 1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan9. Selanjutnya pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan arah pembangunan kesehatan dan dilaksanakan melalui upaya kesehatan sebagai berikut :

(1) asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa.

(2) asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara material dan sipiritual.

(3) asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.

(4) asas pelindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.

(5) asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.

9

Saat ini GBHN mengalami penyesuaian sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan nasional.

(37)

37

(6) asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.

(7) asas gender dan nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.

(8) asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat.10

Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan kesehatan termasuk pembiayaannya perlu digerakkan dan diarahkan sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna, dengan memperhatkan fungsi sosial dan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu. Fungsi sosial sarana kesehatan dalam arti bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan setiap sarana kesehatan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat harus memperhatikan kebutuhan pelayanan kesehatan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan.

Pengelolaan kesehatan sebagaimana tersebut dilakukan dalam bentuk asuransi kesehatan, sehingga asuransi kesehatan merupakan suatu alat sosial untuk menggalang kegotongroyongan. atau solidaritas masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan. Meskipun secara kultural, asuransi kesehatan bukanlah budaya bangsa Indonesia dan bukan juga budaya bangsa-bangsa lain, akan tetapi akar atau elemen asuransi kesehatan sebagai alat gotong royong sudah merupakan peradaban manusia di dunia. Dalam bentuk tradisional, seluruh masyarakat bahu-mambahu memberikan pertolongan semampunya untuk

10

Pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas untuk memberikan arah pembangunan kesehatan yang saat ini sedang berjalan.

(38)

38

membantu anggota masyarakat yang sakit. Perkembangan pelayanan kesehatan modern dalam bentuk rumah sakit tidak lepas dari semangat kegotong royongan ini11.

Perjalanan sistem jaminan kesehatan daerah di Jawa Timur dimulai sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2008 tentang SJKD di Jawa Timur. Peraturan Daerah ini telah dilengkapi dengan beberapa peraturan pendukung lainnya untuk pelaksanaan jaminan kesehatan daerah di Jawa Timur, pelaksanaan ini mencakup penyelenggaraan, pengelolaan kepesertaan, mekanisme klaim dan pelayanan kesehatan, pendanaan, serta sistem monitoring hingga evaluasinya.

2.6 Kepesertaan dan hambatan program jaminan kesehatan daerah

Sejak Rancangan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dibahas di DPR banyak wacana mengenai penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Beragam pendapat dan pandangan dilontarkan. Ada yang konstruktif dan ada pula yang lepas dari konteks UU SJSN yang seharusnya menjadi titik tolak pembahasan. Salah satu wacana yang cukup menarik ialah mengenai prinsip kepesertaan yang bersifat wajib.

Prinsip kepesertaan bersifat wajib ini merupakan salah satu unsur yang membedakan SJSN dengan sistem jaminan atau asuransi komersial. Dalam SJSN kepesertaan diwajibkan berdasarkan UU SJSN, artinya seseorang tidak bebas untuk menentukan apakah ia akan menjadi peserta atau tidak program

11

Baca kembali Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2008 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah di Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2008 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah di Jawa Timur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2008 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Daerah di Jawa Timur.

(39)

39

jaminan sosial yang ditentukan dalam Undang-undang. Demikian pula BPJS tidak dapat memilih siapa yang diterima atau tidak diterima menjadi peserta yang akan ditanggungnya. Sebaliknya dalam sistem asuransi komersial prinsip kepesertaan yang dianut adalah kesukarelaan, berdasarkan kesepakatan tertanggung dan penanggung. Seseorang bebas menentukan pilihannya apakah akan menjadi peserta asuransi komersial atau tidak. Demikian pula penanggung bebas menentukan apakah ia akan menanggung seseorang yang ingin menjadi peserta program asuransi yang ditawarkan.

Kepesertaan bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta, sehingga dapat terlindungi untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, apabila mereka mengalami risiko yang dapat mengakibatkan berkurang atau hilangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun. Peserta jaminan sosial menurut UU SJSN adalah setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Setiap orang yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam UU SJSN secara imperatif wajib menjadi peserta. Undang-undang yang mewajibkan mereka. Mau tidak mau mereka harus menjadi peserta program jaminan sosial. Atau dengan kata lain perikatan antara tertangggung (peserta) dengan penanggung (BPJS) dalam jaminan sosial timbul karena Undang-undang.

Meskipun dalam UU SJSN menentukan kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan Pemerintah, serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara suka rela, sehingga dapat mencakup

(40)

40

petani, nelayan, dan meraka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada akhirnya SJSN dapat mencakup seluruh rakyat. Cakupan kepesertaan bagi seluruh rakyat ini biasa disebut dengan universal coverage. UU SJSN juga menentukan bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS, sesuai dengan program yang diikuti. Pentahapan tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Mengenai iuran jaminan kesehatan bagi peserta penerima upah, UU SJSN menentukan bahwa secara bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja. Selain itu UU SJSN juga menentukan bahwa Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada BPJS. Selanjutnya ditentukan bahwa pada tahap pertama iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang dibayar oleh pemerintah adalah untuk program jaminan kesehatan. Ketentuan mengenai pembayaran iuran bagi penerima bantuan iuran program jaminan sosial ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2008 disebutkan pula bahwa peserta Jamkesda Jawa Timur adalah semua warga masyarakat Daerah Provinsi Jawa Timur yang telah mendaftarkan diri atau didaftarkan dan telah membayar iuran sesuai dengan ketentuan masing-masing program jaminan sosial yang diikutinya. Yang dimaksud Warga masyarakat Daerah Provinsi Jawa Timur adalah setiap orang, baik Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang masuk secara sah serta bertempat tinggal di wilayah Daerah Provinsi Jawa Timur dan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan Gubernur.

(41)

41

Pada prinsipnya setiap warga masyarakat Daerah Provinsi Jawa Timur wajib menjadi peserta, akan tetapi upaya penegakan hukum atas sifat kepesertaan yang wajib tersebut diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan kesiapan teknis, diantaranya dalam hal kesiapan sistem informasi kependudukan, pengumpulan iuran dan kelayakan program. Pengkajian dan perumusan tahapan kepesertaan dan jenis program jaminan kesehatan tersebut wajib diikuti warga masyarakat Daerah Provinsi Jawa Timur yang dilakukan oleh BPJKD12.

Kepesertaan program Jamkesda di Jawa Timur tersebut mencakup seluruh warga masyarakat Daerah Provinsi Jawa Timur dan dilakukan secara bertahap sesuai kesiapan penyelenggaraan dan kelayakan program Jamkesda. Oleh karena itu, Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Timur, Pemberi Kerja, Pekerja, Pemerintah dan Masyarakat perlu bersama-sama mengupayakan perluasan kepesertaan dimaksud dalam bentuk kepesertaan yang bersifat mandiri dengan membayar iuran (premi). Sasaran kepesertaan tersebut harus di „manage‟ secara baik agar betul-betul tepat sasaran.13.

Pada bagian proposal ini kami sajikan pula mengenai beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan hambatan dalam perluasan cakupan kepesertaan program jaminan sosial, terutama dalam jaminan kesehatan bagi pekerja sektor informal. Penelitian yang dilakukan Angelini dan Kenichi (2004) menunjukkan ada beberapa persoalan yang perlu dipertimbangkan dalam memperluas skema jaminan sosial bagi pekerja di sektor perekonomian informal,

12

Kepesertaan Jamkesda di Jawa Timur diselenggarakan secara bertahap, dimana pada tahap pertama diprioritaskan untuk peserta Maskin penerima bantuan iuran (PBI), dan tahap kepesertaan kedua adalah peserta Jamkesda mandiri (Jamkesman) yang bersifat non PBI.

13 Widodo J Pujirahardjo, 2012, Materi dipersiapkan untuk Rakor RS se

Jawa Timur, tahun 2012. Pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dasar pada era universal coverage.

(42)

42

yaitu, hambatan peraturan, ketidakmampuan membayar iuran, keengganan membayar iuran, desain tunjangan dan prioritas jaminan sosial, administrasi dan pelaksanaan, serta subsidi.

(43)

43

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain Penelitian adalah keseluruhan penelitian dari perencanaan untuk menjawab riset question (pertanyaan penelitian) dan untuk mengantisipasi beberapa kesulitan yang mungkin timbul selama proses riset (Nursalam dan Pariani, 2001). Penelitian ini merupakan penelitian observasi dengan desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Cross Sectional, Survei Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor pengaruh dengan faktor-faktor terpengaruh, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach ), artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2010 ).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini direncanakan dilakukan pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Sasaran penelitian ini adalah pekerja dan pemberi kerja sektor formal dan informal pada 13 Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang menjadi lokasi penelitian. Pelaksanaan penelitian ini direncanakan selama 4 (empat) bulan, mulai Bulan Juni s/d September 2013. Adapun jadwal pelaksanaan penelitian dapat dilihat sebagaimana Tabel 3.1

Gambar

Tabel 2.1. Penetapan Kelompok Pekerja Informal Berdasarkan  Status Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan Utama
Gambar 4.1  Distribusi frekuensi jenis kelamin responden Jamkesman di Jawa  Timur
Gambar 4.2 Distribusi frekuensi umur responden Jamkesman di Jawa Timur
Gambar  4.3    Distribusi  frekuensi  status  perkawinan  responden  Jamkesman  di  Jawa Timur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini responden yang diambil adalah Bidan Praktek Swasta yang telah memiliki tempat praktek, dimana latar belakang pendidikannya adalah Program

Berdasarkan hasil dari pengujian black box yang telah dilakukan bahwa sistem dan fitur-fitur pada sistem berjalan sesuai dengan fungsinya atau valid sedangkan

Hasil analisis menjelaskan bahwa motivasi penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebelum dan sesudah pembentukan bapelluh di Sumatera Utara berpengaruh secara positif

Melalui pembelajaran Project Based learning berbasis pemanfaatan teknologi media digital dengan pendekatan computational thinking , diharapkan Murid dapat

Data yang ada hingga kini menunjukkan bahwa wilayah Aceh Tamiang memiliki masa hunian yang paling tua dibandingkan situs lainnya di pesisir, sehingga diduga DAS Tamiang

a. Pengumpulan data yaitu mengumpulkan sumber pustaka yang berkaitan dengan objek material dan objek formal yang akan dikaji. Objek material penelitian ini adalah

Pemisahan dengan kromatografi kolom dilakukan dengan cara gradien elusi supaya didapatkan pemisahan senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak kental metanol

Bakteri aerob akan berada dipermukaan atas karena bakteri akan mengambil oksigen bebas dari udara, bakteri anaerob akan berada didasar jauh dari permukaan, bakteri yang anaerob