• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH 1 (kemitraan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH 1 (kemitraan)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

KELEMBAGAAN DAN KEMITRAAN

³Kajian Kemitraan Usaha Penggemukan Sapi Potong di PT Great Giant Livestock (GGL) Kabupaten Lampung Tengah´

Disusun oleh :

AMBAR SISWATI 200120120505

MAGISTER MANAJEMEN PEMBANGUNAN PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN SUMEDANG

(2)

Pola kemitraan merupakan hubungan antara perusahaan inti dengan plasma mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup tinggi, karena disamping pola kemitraan ini dapat mengatasi kendala pendanaan maupun kualits produk di tingkat petani/peternak, kemitraan juga dapat menjamin pemasaran maupun tingkat harga hasil produksi petani/peternak. Perusahaan inti juga memperoleh manfaat yang besar, antara lain mereka dapat memasarkan produknya kepada plasma mitra mereka, selain itu mereka juga akan mendapat jaminan pasokan bahan baku dari mitranya.

Tujuan akhir melakukan kemitraan adalah memperoleh pendapatan dan manfaat, baik materiil maupun non-materiil bagi masing-masing pihak. Yakni meningkatkan pendapatan dan taraf hidup peternak serta menyediakan lapangan kerja yang berkesinambungan di sektor peternakan. Dari sisi perusahaannya sebagai inti kemitraan pun memperoleh pendapatan finansial bagi perusahaan. Kemitraan yang baik adalah yang mampu memberi pendapatan atau nilai lebih bagi masing-masing pihak yang bermitra, dengan kata lain yang bisa memberi win-win solution. Salah satu perusahaan yang telah melakukan kemitraan dengan peternak adalah PT Great Giant Livestock (GGL) di Kabupaten Lampung Tengah.

Dasar hukum penyelenggaraan kemitraan usaha adalah Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 mengenai Usaha Kecil yang merupakan upaya untuk menumbuhkan iklim usaha yang dapat mendorong usaha menengah dan besar melakukan kemitraan, sebagai stimulan dan tanpa adanya unsur paksaan sehingga alih teknologi, manajemen dan kesempatan berusaha bagi usaha kecil dapat terlaksana secara wajar. Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar yang disertai pembinaan dan pengembangan berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan, berikut model-model kemitraan usaha penggemukan sapi potong.

(3)

Untuk pemula menguntungkan, harga dipatok

Pasar dijamin inti, harga kontrak Jaminan

Pasar

Lahan, tenaga kerja, peternak sebagai buruh

Risiko ditanggung inti Sewa

Kandang

Lahan, tenaga kerja, tidak memiliki keterampilan usaha

Investasi untuk jangka waktu tertentu (setelah PBP), usaha diserahkan kepada plasma BOT (Built

Operate Transfer)

Lahan, tenaga kerja, menanggung risiko usaha

Investasi KSO

(Kerjasama Operasi)

Lahan, tenaga kerja, bonus PBB, punishment (Tenaga kerja yang dibayarkan)

Modal (sendiri/bank); penetapan standar PBB; harga jual; kandang, peralatan, pakan, obat-obatan, teknik, pasar Custom Feeding Plasma Inti Pola Kemitraan

Tabel 1. Model Kemitraan Usaha Penggemukan Sapi Potong

Sumber : Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan

Kemitraan Usaha Peternakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, adalah suatu usaha pembibitan dan atau budidaya peternakan dalam bentuk perusahaan peternakan atau peternakan rakyat, yang diselenggarakan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial atau sebagai usaha sampingan untuk menghasilkan ternak bibit/ternak potong, telur, susu serta menggemukkan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkan. Pengertian kemitraan secara konseptual merupakan adanya kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai oleh pembinaan dan pengembangan berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan (Soemardjo, 2004). Maksud dan tujuan kemitraan adalah untuk meningkatkan pemberdayaan usaha kecil di bidang manajemen, produk, pemasaran dan teknis, dengan adanya kemitraan petani diharapkan dapat mandiri demi kelangsungan usahanya sehingga melepaskan diri dari sifat ketergantungan, dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.

Pada perjanjian kemitraan terdapat suatu bentuk sistem perjanjian tertulis dan tidak tertulis, diantaranya kesepakatan harga produk. Dalam bentuk perjanjian kerjasama tersebut perusahaan atau inti menyediakan ternak atau obat-obatan dan jaminan pemasaran. Kewajiban plasma yaitu menyediakan sarana penggemukan sapi potong, peralatan, tenaga

(4)

kerja dan pakan atau dapat ditukar sesuai dengan kesepakatan bersama.

Selanjutnya pendapatan yang diperoleh untuk perusahaan dan peternak sebagai bentuk perjanjian dua pihak tersebut telah disepakati. Menurut Hoddi, dkk. (2011), pendapatan merupakan salah satu indikator keberhasilan pengelolaan suatu usaha peternakan. Pendapatan tersebut dapat dilakukan melalui analisis pendapatan. Dimana laba atau pendapatan merupakan penerimaan yang didapat dari hasil penjualan produk dikurangi semua biaya produksi yang dikeluarkan. Dari hasil ini dapat diketahui bagaimana pendapatan yang diperoleh bagi peternak dan perusahaan dalam melakukan kemitraan usaha penggemukan sapi potong tersebut berdasarkan masing-masing mekanisme yang dilakukan.

Kemitraan usaha pertanian berdasarkan azas persamaan kedudukan, keselarasan peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan kemitraan yaitu hubungan yang :

a) Saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan;

b) Saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra sama-sama memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis, sehingga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya;

c) Saling menguntungkan, yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra memperoleh peningkatan pendapatan, dan kesinambungan usaha.

Peran pemerintah dalam mengatur dan menjembatani pola kemitraaan antara pengusaha besar, menengah dan kecil diatur dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 yang menyebutkan tentang:

³Kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.´

Dari definisi kemitraan di atas, mengandung makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha menengah/besar untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk menarik keuntungan dan kesejahteraan bersama. Selanjutnya dari definisi tersebut dapat diketahui unsur-unsur penting dari kemitraan, yaitu:

1. Kerjasama usaha, yang didasari oleh kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama bagi kedua pihak yang bermitra, tidak ada pihak yang dirugikan dalam kemitraan dengan tujuan bersama untuk meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usaha tanpa saling mengeksploitasi satu sama lain serta saling berkembangnya rasa saling percaya diantara mereka.

2. Antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil, diharapkan usaha besar atau menengah dapat bekerjasama saling menguntungkan dengan pelaku ekonomi lain (usaha kecil) untuk mencapai kesejahteraan bersama.

3. Pembinaan dan pengembangan, yang dilakukan oleh usaha besar atau usaha menengah terhadap usaha kecil, yang dapat berupa pembinaan mutu produksi, peningkatan kemampuan SDM, pembinaan manajemen produksi, dan lain-lain.

4. Prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan, yang akan terjalin karena para mitra akan dan saling mengenal posisi keunggulan dan kelemahan

(5)

masing-masing yang akan berdampak pada efisiensi dan turunnya biaya produksi. Karena kemitraan didasarkan pada prinsip win-win solution partnership, maka para mitra akan mempunyai posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Ciri dari kemitraan adalah kesejajaran kedudukan, tidak ada pihak yang dirugikan dan bertujuan untuk meningkatkan keuntungan bersama melalui kerjasama tanpa saling mengeksploitasi satu dan yang lain dan tumbuhnya rasa saling percaya diantara mereka. Selanjutnya disebutkan bahwa kemitraan sebagai sebuah cara melakukan bisnis dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama (Ian Linton, 1997). Berdasarkan motivasi ekonomi tersebut maka prinsip kemitraan dapat didasarkan atas saling memperkuat. Dalam situasi dan kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih jelas adalah sebagai berikut (Mohammad Jafar Hafsa, 1999) :

1. Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan menengah 2. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan

3. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil 4. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional 5. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.

Dalam pedoman pola hubungan kemitraan, mitra dapat bertindak sebagai perusahaan inti atau perusahaan pembina atau perusahaan pengelola atau perusahaan penghela, sedangkan plasma disini adalah petani/peternak. Konsep kemitraan tersebut secara lebih rinci diuraikan dalam Pasal 27 Peraturan pemerintah RI Nomor 44 tahun 1997 tentang kemitraan, disebutkan bahwa kemitraan dapat dilaksanakan antara lain dengan pola:

1. Inti-plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasma dalam penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha, produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Program inti-plasma ini, diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pihak usaha kecil sebagai pihak yang mendapat bantuan untuk dapat mengembangkan usahanya, maupun pihak uasaha besar yang mempunyai tanggung jawab sosial untuk mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha dalam jangka panjang.

2. Sub konktraktor adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil/menengah, di mana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firm) meminta kepada usaha kecil/menengah (selaku subkontraktor) untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk.

3. Dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan atau usaha menengah yang bersangkutan.

4. Waralaba (franchise) adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara Usaha Besar (franchisor) dengan Usaha Kecil (franchisee), di mana franchisee diberikan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan ciri khas usaha, dengan suatu imbalan

(6)

berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak franchisor dalam rangka penyediaan atau penjualan barang dan atau jasa.

5. Keagenan merupakan hubungan kemitraaan, di mana pihak principal memproduksi/memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga.

6. Bentuk-bentuk lain di luar pola sebagaimana yang tertulis di atas, yang sat ini sudah berkembang tetapi belum dibakukan atau pola-pola baru yang timbul dimasa yang akan datang.

Berdasarkan pelaksanaan di lapangan, harus diakui banyak kendala yang dihadapi, yaitu:

1. Kelompok atau koperasi yang menaungi masyarakat apabila belum mandiri, maka tidak dapat mewakili aspirasi anggotanya

2. Pemahaman atas hak dan kewajiban umumnya belum baik

3. Perusahaan inti belum sepenuhnya memenuhi fungsi dan kewajiban sebagaimana diharapkan

4. Belum ada kontrak yang benar-benar bisa menjamin terpenuhinya persyaratan komoditas yang diharapkan

5. Belum adanya lembaga arbitrase yang mampu menjadi penengah kala terjadi perselisihan.

Dalam pelaksanaan hubungan kemitraan ini perlu lebih dicermati hubungan kelembagaan antara mitra, mengingat kedudukan inti cenderung lebih kuat dan dominan dibanding plasma, khususnya dalam pemasaran hasil meskipun di sisi yang lain hal ini akan memacu plasma untuk berusaha secara lebih profesional dalam menangani jenis usahanya guna menghadapai mitranya yang lebih kuat.

Untuk mendukung dan membantu perkembangan pola kemitraan ini dibutuhkan peran pemerintah sebagai pembina dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan usaha. Adapun wujud dari peran pemerintah tersebut dapat berupa pemberian fasilitas dan kemudahan berinvestasi serta perangkat perundang-undangan yang mendukung kemitraan usaha, penyediaan informasi bisnis, bertindak sebagai arbitrase dalam pembinaan dan pengawasan dan lain sebagainya.

Dengan kebijakan dan peran pemerintah tersebut maka kepentingan pengusaha kecil dapat terlindungi, dengan cara menumbuhkan pola kemitraan yang dibangun atas azas kelembagaan kemitraan usaha tidak hanya dibangun atas dasar perhitungan keuangan dan manajemen saja tetapi memberi tempat pada komunikasi antar pihak secara setara menjamin kesepakatan-kesepakatan informal dengan dasar komitmen. Lebih jauh hubungan kemitraan antara perusahaan inti dan plasma dituangkan dalam suatau perjanjian tertulis. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha kecil yang menyebutkan:

³Hubungan kemitraan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan lingkup kegiatan usaha kemitraan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pembinaan dan pengembangan serta jangka waktu dan penyelesaian perselisihan.´

(7)

Dalam PP 44 tahun 1997 tentang kemitraan, pada Pasal 18 diuraikan lebih jauh mengenai perjanjian kemitraan tersebut. Disebutkan bahwa perjanjian tersebut berbentuk tertulis, dalam bahasa Indonesia, atau bahasa lain, dapat di bawah tangan atau dengan akta notaris, dan sekurang-kurangnya memuat:

1. Nama

2. Tempat kedudukan masing-masing pihak 3. Bentuk dan lingkup usaha yang dimitrakan 4. Pola kemitraaan yang digunakan

5. Hak dan kewajiban masing-masing pihak 6. Jangka waktu berlakunya kemitraan 7. Cara pembayaran

8. Bentuk pembinaan yang diberikan oleh usaha besar dan usaha menengah 9. Cara penyelesaian perselisihan.

Pada pasal 27 bahwa pelaksanaan kemitraan dengan pola inti-plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, Usaha Besar sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang menjadi plasmanya dalam :

a. Penyediaan dan penyiapan lahan; b. Penyediaan sarana produksi;

c. Pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha; d. Perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan; e. Pembiayaan;

f. Pemasaran; g. Penjaminan;

h. Pemberian informasi; dan

i. Pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan j. Efisiensi dan produktivitas dan wawasan usaha.

Sedangkan untuk kemitraan usaha sapi potong itu sendiri terdapat beberapa pola menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 tentang Kemitraan yaitu :

a. Pola Usaha dengan Custom feeding

Merupakan usaha penggemukan sapi potong eks impor, peternak rakyat berfungsi sebagai plasma menyiapkan permodalan yang dibantu oleh perusahaan inti melalui perbankan, atau diperoleh dana sendiri. Perusahaan inti, menetapkan standar minimum PBB, ada reward (bonus) dari kenaikan berat badan dan punishment (biaya tenaga kerja). Penetapan harga jual, didasarkan kepada harga pasar yang berlaku, sarana fasilitas usaha seperti kandang, peralatan, pakan, obat-obatan, teknologi dan pasar dijamin sepenuhnya oleh perusahaan inti.

Pola ini sangat baik bagi peternak pemula yang belum memiliki pengalaman melakukan penggemukan sapi impor. Atau bagi peternak sapi potong yang tidak memiliki jaminan pemasaran.

b. Pola Bagi Hasil

Aset yang dimiliki plasma dan inti diperhitungkan sebagai dasar dari penghitungan pola bagi hasil/bagi rugi usaha. Pola ini biasa juga disebut sebagai ³Kerjasama Operasi (KSO)´. Pola ini sangat mendidik bagi peternak/UKM dalam

(8)

mengembangkan usahanya dikemudian hari. Pola ini sangat baik bagi peternak plasma yang telah memiliki kemandirian usaha (dicirikan keberanian menanggung resiko usaha), hanya terkendala oleh permodalan, perlu bantuan investasi, khususnya diperoleh dari perusahaan inti.

c. Pola Usaha Sistem Built Operate Transfer (BOT)

Peternak hanya memiliki lahan dan tenaga kerja. Pola ini, mengundang investor menanamkan investasinya pada lahan yang dimilikinya. Dalam jangka waktu tertentu (tergantung kesepakatan) seluruh usaha tersebut, diserahkan kepada plasma.

Dasar perhitungan usaha dilihat setelah ³pay back period´ dilampaui, dengan tingkat keuntungan tertentu. Pola ini banyak dilakukan bagi peternak pemula yang memiliki asset cukup tapi tidak memiliki keterampilan berusaha. Terutama dari aspek pasar dan teknologi.

d. Pola Usaha Sistem Sewa kandang

Peternak hanya menyediakan kandang, tenaga kerja dan fasilitas lain (listrik, tenaga kerja dan air guna menunjang kegiatan budidaya). Keseluruhannya dikompensasi dalam bentuk harga sewa kandang. Peternak tidak dididik dalam melakukan usaha yang sesungguhnya tetapi diciptakan sebagai buruh dari suatu sistem usaha ternak yang tidak memiliki resiko yang tinggi dalam usaha ternaknya.

e. Pola Usaha dengan Jaminan pasar

Merupakan perpaduan pola custom feeeding dan bagi hasil, hanya dalam penentuan penjualan produksinya dilakukan dengan sistem kontrak. Pada saat awal kerjasama kemitraan dilakukan kontrak penjualan produksi atau pasar dijamin oleh Inti dengan harga pasar yang berlaku (jaminan pasar).

Pola ini baik bagi peternak pemula yang belum memiliki pasar dapat dijamin oleh perusahaan Inti. Khususnya bagi peternak yang telah mengetahui atau memiliki peluang pasar, pola ini kurang disukainya, mengingat keuntungannya seolah telah dipatok.

f. Pola Usaha Aspiratif

Menurut Tawaf (2008) kemitraan aspiratif yaitu dalam perancangannya mengakomodasikan keinginan masyarakat yang berlaku saat ini serta mengantisipasi bagi kegiatan usaha di masa datang. Rasionalitas desain aspiratif kemitraan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Model ini ditujukan untuk pengembangan usaha peternakan sapi rakyat, bukan bagi peternak pemula dengan kehadiran SMD (sarjana membangun desa) di kawasan ini b. Ternak yang dimitrakan kepada peternak adalah sapi produktif (sapi induk) atau dara

bunting

c. Produk usaha rearing : Sapi Dara bunting, dengan umur kebuntingan sekitar 7 bulan d. Produk usaha plasma dapat berupa produksi susu (sapi perah) dan pedet jantan/betina

(9)

e. Peternak plasma menerima ternak dalam bentuk natura, yang akan dikembalikan kepada UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) sebagai Perusahaan inti

f. Seluruh biaya produksi usaha ternak yang dilakukan plasma dibebankan kepada peternak penggaduh

g. Beban risiko kematian ditinjau berdasarkan penyebabnya, jika karena kelalaian peternak menjadi tanggung jawab plasma.

PT GGL juga melakukan kemitraan inti-plasma dengan pola custom feeding sejak tahun 1990 sebagai wujud kepedulian sosial PT GGL terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar atau biasa disebut dengan CSR (Corporate Social Responsibility) yaitu suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh PT GGL (sesuai kemampuan PT GGL tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar lokasi perusahaan. Pola kemitraan yang dilakukan oleh PT GGL yaitu program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dan program murni atau Swadana.

Program KKP merupakan kerjasama antara PT GGL inti dan peternak (plasma), inti berperan sebagai pemberi kredit berupa bakalan (jenis BX), menyediakan paket pakan, paket obat-obatan, dan supervisi. Sedangkan plasma berperan dalam penyediaan kandang, silo, tenaga kerja, pemeliharaan dan menjual sapi kembali ke inti jika penggemukan telah selesai sesuai dengan perjanjian. Kredit yang disediakan bekerjasama dengan pihak BANK melalui pengajuan proposal secara mandiri dari petani. BANK yang melakukan kerjasama salah satunya adalah BRI. Kelompok tani peternak yang tergabung dalam program KKP ini ada 20 desa di beberapa kecamatan di kabupaten Lampung Tengah dengan jarak radius 60 km dari PT GGL.

Namun, sejak tahun 2010 lalu, kemitraan program KKP ini tidak lagi dijalankan. Hal ini dikarenakan imbas dari kebijakan pemerintah tentang pengurangan impor bakalan sapi BX ke Indonesia. Sehingga dalam program KKP ini, pihak inti (PT GGL) tidak dapat menyediakan bakalan sapi yaitu jenis BX kepada pihak plasma (peternak), karena untuk menyediakan sapi bakalan di dalam PT GGL saja masih sangat kurang terpenuhi. Akan tetapi, peternak yang sudah tidak mengikuti kemitraan program KKP masih tetap menjalin kemitraan dengan PT GGL yakni beralih mengikuti kemitraan program Swadana.

Kemitraan Swadana merupakan kerjasama antara PT GGL inti dan peternak (plasma), inti berperan sebagai pemberi kredit berupa menyediakan paket pakan, paket obat-obatan, dan supervisi. Sedangkan plasma dalam program ini lebih mandiri atau murni yaitu berperan dalam penyediaan bakalan sapi (jenis PO atau Simental), kandang, silo, tenaga kerja, pemeliharaan dan menjual sapi kembali ke inti jika penggemukan telah selesai sesuai dengan perjanjian. Dalam kemitraan program ini tidak melibatkan BANK didalamnya. Menurut penjelasan lisan dari bagian administrasi, terhitung pada tanggal 29 Oktober 2012 jumlah peternak yang bermitra sampai 2012 ini adalah 307 orang dengan jumlah ternak 1776 ekor.

Proses mekanisme yang dilakukan dari masing-masing program kemitraan yang berjalan pada dasarnya hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada keterlibatan BANK sebagai pemberi dana kredit pada kemitraan program KKP sedangkan pada program Swadana modal berasal murni dari peternak. Berikut hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak inti maupun plasma :

(10)

24,5 28 32,5 40,5 50,5 64,5 A B C D E F > 20 21-30 31-40 41-50 >50 “60

Ongkos angkut (Rp/kg/ekor/hari) Kode Wilayah

Jarak Angkut (km)

a. Menyediakan pakan ternak dengan ongkos angkut disesuaikan dengan jarak angkut ke tujuan desa.

Tabel 3. Kode Wilayah dan Ongkos Angkut

Sumber : PT GGL Kabupaten Lampung Tengah (2012)

b. Menyediakan paket obat-obatan berupa vitamin dan antibiotik. c. Melakukan pembinaan kepada plasma (supervisi).

d. Membantu penjualan sapi hasil penggemukan oleh plasma kepada pembeli yang direkomendasikan oleh Inti serta mengijinkan menggunakan fasilitas timbangan di Inti untuk keperluan penjualan sapi plasma.

e. Inti berkewajiban untuk menyelesaikan masalah teknis dan darurat yang dihadapi oleh plasma.

2. Hak Inti

a. Menerima pembayaran atas biaya pakan, obat-obatan dan kegiatan supervisi yang diberikan Inti kepada plasma dengan harga yang telah disepakati di atas. Pembayaran dilakukan saat sapi telah dipanen.

b. Mengambil tindakan pemutusan hubungan kerjasama dengan plasma apabila dinilai plasma tidak mengindahkan kesepakatan yang telah ditandatangani bersama.

c. Memberikan advice untuk melakukan panen dini saat sapi yang dipelihara dinyatakan tidak layak untuk dilanjutkan program penggemukan.

3. Kewajiban Plasma

a. Menyediakan sapi bakalan yang akan digemukan (untuk program KKP dapat membeli bakalan sapi jenis BX dari PT GGL sedangkan untuk program Swadana membeli bakalan sapi di pasar secara mandiri).

b. Memiliki fasilitas kandang yang layak untuk penggemukan sapi potong. b. Membayar seluruh biaya operasional berdasarkan tagihan dari Pihak Pertama. c. Menanggung biaya pengangkutan sapi pada saat panen dari lokasi plasma ke lokasi

penjualan.

d. Tidak diperkenankan memberikan pakan ternak yang diterima dari Inti untuk kepentingan ternak diluar yang diperjanjikan / terdaftar sebagai sapi yang dimitrakan.

e. Merawat dan memberikan pakan sapi sesuai kebutuhan yang wajar, sehingga sapi hasil penggemukan siap dijual.

(11)

4. Hak Plasma

a. Menjual sapi hasil penggemukan kepada pembeli dengan persetujuan dari Inti. Pada kenyataannya sapi harus dijual kembali ke PT GGL.

b. Menerima pembayaran atas hasil penjualan sapi dengan harga yang sudah disepakati setelah dikurangi kewajiban Plasma kepada Inti.

c. Menerima paket pakan, obat-obatan dan supervisi dari Inti sesuai kebutuhan sapi yang digemukkan oleh plasma.

d. Menerima rincian biaya pakan, obat-obatan dan supervisi secara rinci dan jelas dari Inti setelah selesai penggemukan.

Ilustrasi 2. Bagan Alur Mekanisme Kemitraan Program KKP PERSIAPAN A BFE A C D OK G KJ RPH H I L J PELAKSANAAN MONITORING O M N

(12)

Keterangan : PERSIAPAN

A. Peternak : plasma yang menyiapkan proposal pengajuan usaha penggemukan sapi potong ke BANK dan menerima pinjaman.

B. Proses di BANK

C. BANK bekerjasama dengan PT GGL

D. PT GGL menyiapkan administrasi dan Surat Pemberitahuan Calon Plasma (SPCP). (lampiran 3)

E. PT GGL menyiapkan Surat Perjanjian Kontrak, materai (lampiran 2). F. BANK menyetujui dan meminjamkan modal

PELAKSANAAN

G. Terjalin kerjasama (bermitra) antara BANK-PT GGL-Peternak. H. PT GGL melakukan monitoring ke peternak dengan melakukan :

- Pemasangan eartag pada ternak yang dimitrakan - Pemberian antibiotik dan vitamin

- Pengiriman paket pakan 1 - Recording

I. Proses pemeliharaan selama waktu yang telah disepakati di surat perjanjian (untuk program KKP sudah pasti fattening period selama “ 90 hari untuk sapi jenis Brahman Cross (BX).

- Stok pakan yang selanjutnya (sampai jumlah yang sesuai pada surat perjanjian) secara berkala dengan catatan yang ada di surat jalan (lampiran 7).

- Pemberian pakan dan minum secara adlibitum - Pemeliharaan dengan pola intensif (dry lot fattening) - Melakukan sanitasi ternak, kandang, peralatan secara rutin J. Panen

- Sapi : pengangkutan ke PT GGL, penimbangan, terjadi transaksi penjualan (harga ditentukan PT GGL), pengumpulan administrasi terkait biaya termasuk rekap panen (lampiran 6), PT GGL mengeluarkan cek sejumlah hak peternak yang harus diterima sesuai pada surat perjanjian

- Kotoran : penjualan produk sampingan berupa kotoran ternak mentah dijual ke petani sawit sekitar setiap 2 minggu sekali dengan harga Rp. 100 / Kg (hasil jual langsung ke peternak tidak ada dalam perjanjian)

K. PT GGL menjual ternak ke RPH.

L. BANK menerima cek dari peternak yang harus dibayarkan yakni berupa keuntungan bersih untuk peternak diluar pembayaran yang harus dikeluarkan pada perjanjian.

MONITORING

(13)

- Penjelasan Surat Perjanjian Kerjasama

- Pembinaan awal tentang cara pemeliharaan dan komunikasi selanjutnya dengan PT GGL.

N. Kunjungan saat proses pemeliharaan : - Evaluasi kegiatan pemeliharaan - Pengecekan distribusi stok pakan

- Pengecekan kesehatan ternak dan pemberian obat (bila perlu) O. Evaluasi administrasi setelah panen

Ilustrasi 3. Bagan Alur Mekanisme Kemitraan Program Swadana PERSIAPAN a d b OK c eih RPH f g PELAKSANAAN MONITORING l j k Keterangan : PERSIAPAN

a. PT GGL mencari peternak yang ingin bermitra

b. Persiapan dari peternak mengenai syarat yang harus dimiliki seperti kandang, silo, peralatan, dan bakalan.

c. PT GGL menyiapkan administrasi dan Surat Pemberitahuan Calon Plasma (SPCP) ( lampiran 3).

(14)

PELAKSANAAN

e. Terjalin kerjasama (bermitra) antara PT GGL-Peternak.

f. PT GGL melakukan monitoring ke peternak dengan melakukan : - Pemasangan eartag pada ternak yang dimitrakan

- Pemberian antibiotik dan vitamin - Pengiriman paket pakan 1

- Recording

g. Proses pemeliharaan selama waktu yang telah disepakati di surat perjanjian (untuk Swadana rentang fattening period selama “ 120 hari untuk jenis sapi Peranakan Ongole (PO) dan Simental).

- Stok pakan yang selanjutnya (sampai jumlah yang sesuai pada surat perjanjian) secara berkala dengan catatan yang ada di surat jalan (lampiran 7)

- Pemberian pakan dan minum secara adlibitum - Pemeliharaan dengan pola intensif (dry lot fattening) - Melakukan sanitasi ternak, kandang, peralatan secara rutin h. Panen

- Sapi : pengangkutan ke PT GGL, penimbangan, terjadi transaksi penjualan (harga ditentukan PT GGL), pengumpulan administrasi terkait biaya termasuk rekap panen (lampiran 6), PT GGL mengeluarkan kuitansi sejumlah hak peternak yang harus diterima sesuai pada surat perjanjian

- Kotoran : penjualan produk sampingan berupa kotoran ternak mentah dijual ke petani sawit sekitar domisili peternak setiap 2 minggu sekali dengan harga Rp. 100 / Kg (hasil jual langsung ke peternak tidak ada dalam perjanjian)

i. PT GGL menjual ternak ke RPH. MONITORING

j. Pada awal sebelum terjalin kerjasama dilakukan : - Penjelasan Surat Perjanjian Kerjasama

- Pembinaan awal tentang cara pemeliharaan dan komunikasi selanjutnya dengan PT GGL.

k. Kunjungan saat proses pemeliharaan : - Evaluasi kegiatan pemeliharaan - Pengecekan distribusi stok pakan

- Pengecekan kesehatan ternak dan pemberian obat (bila perlu) l. Evaluasi administrasi setelah panen

Kesepakatan lainnya adalah plasma tidak diperbolehkan menukar sapi yang sudah terdaftar sebagai yang dimitrakan dengan sapi lain, tidak diperbolehkan memberikan jenis pakan diluar yang telah ditentukan tanpa sepengetahuan oleh Inti, tidak boleh mempekerjakan sapi dengan alasan apapun yang telah dikerjasamakan dengan Inti, dan tidak diperbolehkan memiliki sapi titipan diluar sapi-sapi yang dimitrakan. Apabila terjadi potong paksa di petani, karena kondisi sapi yang tidak mungkin digemukan (sakit) maka harus ada

(15)

berita acara yang diketahui oleh PPL.

Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian, biasanya akan diatur lebih lanjut antara kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat. Apabila ada perubahan biaya operasional, maka Inti akan memberitahukan kepada Plasma. Dalam penjelasan Pasal 19 PP 44 tahun 1997 disebutkan bahwa bimbingan dan bantuan tersebut meliputi antara lain penyusunan perjanjian dan persyaratannya, tetapi dalam kenyataannya tidak ada bimbingan dalam penyusunan perjanjian dan persyaratannya, karena perjanjian tersebut telah dibuat atau dicetak dan langsung diantarkan ke peternak plasma oleh pihak inti (PT GGL). Padahal pihak mitra usaha kecil/plasma mempunyai hak dalam ikut menentukan isi perjanjian dan langsung melakukan tandatangan di atas materai.

PT GGL sebagai inti yang biasanya mempunyai latar belakang lebih kuat dalam berbagai hal dibandingkan plasma harus mempunyai komitmen yang kuat terhadap pelaksanaan kemitraan itu sendiri, karena tidak tertutup kemungkinan terjadinya pembelokan arah program kemitraan tersebut demi keuntungan PT GGL inti semata. Bukannya tidak mungkin terjadi dalam praktek, bahwa tujuan semula dari program kemitraan adalah untuk membangun hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara inti yang menjadi induk, dengan plasma yang menjadi mitra usahanya, dalam kenyataannya justru plasma sering menjadi sasaran pemerasan oleh PT GGL induknya. Sebagai contoh pada kasus penentuan harga jual panen yang dibeli oleh perusahaan, dalam hal ini produk dibeli dengan harga yang telah ditawarkan oleh PT GGL di perjanjian awal, sedangkan petani/peternak hanya bisa menerima harga yang ditawarkan padahal peternak sendiri mengetahui harga jual panen di pasaran lebih tinggi. Dalam hal ini perlu ditekankan komitmen kedua belah pihak untuk membangun pola kemitraan inti dan plasma yang bertujuan saling menguntungkan.

Jika dilihat dari mekanisme dan perjanjian yang telah dibuat serta disepakati maka kedudukan atau posisi tawar antara kedua belah pihak masih belum sejajar. Hal ini dikarenakan kondisi di lapangan masih ditemukan kecurangan, baik dari pihak inti maupun plasma secara teknisnya. Dari pihak inti, ditemui bahwa jadwal pengiriman pakan sering telat, kurang meratanya supervisi dilakukan di daerah yang jauh, dan penetapan harga beli dari peternak yang relatif lebih rendah daripada pasar. Sedangkan dari pihak plasma terdapat kecurangan atau penyimpangan kontrak perjanjian tentang pakan yang diakui sendiri oleh peternak tersebut, yaitu :

1. Untuk sapi-sapi titipan, diluar sapi yang dimitrakan diberikan juga pakan yang berasal dari inti (PT GGL)

2. Penambahan pemberian pakan diluar yang telah ditentukan yaitu berupa rumput, onggok, dan atau kulit singkong.

Kecurangan di pihak plasma tersebut diketahui oleh pihak inti namun tidak ada tindak lanjut berarti dengan alasan bahwa peternak melakukannya karena ADG sapi kurang baik jika hanya diberikan paket pakan dari inti saja yaitu kulit nanas dan konsentrat.

Sharing pendapatan dilihat dengan persentase pendapatan masing-masing pihak yaitu 32.03% untuk peternak dan 67.97% untuk PT GGL pada program KKP, sedangkan pada program Swadana yaitu 30.58% untuk peternak dan 69.42 % untuk PT GGL.

Ditinjau dari segi manfaat lainnya selain dalam bentuk nilai rupiah, bagi peternak adalah memperoleh kemampuan baru untuk melakukan usaha penggemukan sapi potong, mengembangkan usaha tersebut yakni dapat membeli ternak secara pribadi walau hanya

(16)

dengan skala rumah tangga (subsisten) hingga semi komersil, dan dapat sharing kebutuhan faktor produksi yang diperlukan untuk ternak milik pribadi dan yang dimitrakan. Hal ini juga termasuk bentuk kecurangan dalam perjanjian kemitraan yang dilakukan. Seperti contoh yang ditemukan di lapangan, peternak juga memberikan pakan yang berasal dari PT GGL untuk ternak pribadinya dan diketahui oleh pihak PT GGL itu sendiri. Hal ini sebenarnya perlu dicermati lagi berkaitan dengan posisi tawar masing-masing pihak dalam perjanjian yang telah disepakati bersama atau dengan kata lain dalam pelaksanaan di lapangannya masih kurang sesuai dengan surat perjanjian kontrak yang telah disepakati dari awal.

Namun, hal jika dilihat dari tambahan pengeluaran bagi peternak untuk biaya pakan tambahan lainnya yaitu berupa rumput, onggok ataupun kulit singkong, sehingga ada bentuk sisa pakan dari yang dimitrakan. Peternak melakukan hal ini dengan alasan bahwa jika hanya diberi konsentrat dan kulit nanas saja, sapi yang siap dipanen menghasilkan ADG yang cenderung lebih rendah dibandingkan jika diberi tambahan pakan lainnya. Melalui alasan tersebutlah pihak PT GGL dapat menerima yang dilakukan peternak karena akan terkait dengan harga nilai jual sapi akhir.

Hal lain yang diakui oleh peternak adalah bahwa dalam pemeliharaannya sapi BX jauh lebih efisien daripada sapi PO dan Simental. Hal ini dikarenakan sifat dan tingkah laku sapi BX tersebut yang biasa digembalakan atau dipelihara secara ekstensifikasi serta waktu pemeliharaan yang sangat lebih singkat daripada kemitraan program Swadana. Hal ini berpengaruh juga dengan pengeluaran, penerimaan, dan pendapatan yang diperoleh dalam kurun waktu satu tahun. Untuk penggemukan sapi BX dapat dilakukan sampai empat kali periode, namun untuk sapi PO hanya dapat dilakukan sampai tiga kali periode dalam satu tahun.

Setiap program kemitraan juga terdapat perbedaan fattening period pada masing-masing peternak. Hal ini dikarenakan jarak yang berbeda-beda dan keputusan dari peternak itu sendiri untuk melakukan kapan mulai bermitra dan kapan panen. Kenyataan saat ini dengan minimnya bakalan sapi potong di Indonesia, menjadi sebuah kendala besar dalam melanjutkan kemitraan usaha penggemukan sapi potong ini. Masing-masing pihak yakni peternak dan PT GGL sama-sama mengetahui kebijakan pemerintah tentang pembatasan/pengurangan impor sapi bakalan dari Australia. Kebijakan tersebut diakui peternak kurang melihat ketersediaan bakalan sapi lokal sendiri yang masih sangat kurang dan tidak seimbang dengan terus meningkatnya konsumen. Di Sumatera sendiri khususnya Lampung Tengah masih sangat minim peternakan pengembangan sapi potong. Penyediaan bakalan biasanya diperoleh dari pulau Jawa sebagian besar, namun kendala lain adalah adanya pembatasan oleh peternak di Jawa untuk pengiriman sapi lokal dari Jawa ke Sumatera dikarenakan kebutuhan bakalan di Jawa juga melonjak. Dampak yang dirasakan adalah melonjaknya harga sapi bakalan lokal karena permintaan yang tinggi dan langkanya sapi bakalan tersebut, serta mekanisme pembeliannya yang tidak lagi dilakukan penimbangan bobot awal. Saat ini proses pembelian sapi bakalan kebanyakan hanya melakukan tafsiran yang mengakibatkan harganya pun tidak pasti bagi peternak, hingga melonjaknya harga daging di pasaran.

Selain pendapatan, kelebihan lain dari kemitraan yang dilakukan bagi PT GGL antara lain keberlangsungan usahanya dalam penggemukan sapi potong setidaknya dapat terus berjalan dengan adanya program kemitraan ini. Sedangkan kelebihan bagi peternak plasma adalah terciptanya lapangan kerja, penyediaan modal yang tidak terlalu besar, pemasaran terjamin, resiko kerugian kecil, harga jual stabil, stock dan panen terjadwal dan

(17)

berkelanjutan, serta dapat menunjang usaha penggemukan sapi potong secara pribadi. Kelemahan bagi PT GGL adalah ketidakjujuran peternak dalam menjalankan perjanjian yang telah disepakati dan bagi peternak antara lain harga jual dari peternak (farm gate price) yang cenderung lebih rendah dibandingkan harga jual pasar (market price) dan ditentukan oleh inti, serta kesulitan penyediaan bakalan dalam program Swadana.

Usaha-usaha yang bisa dilakukan untuk mengatasi kelemahan dari kemitraan yang dilakukan antara lain : a) Mengingat bahwa kemitraan program Swadana lebih menguntungkan dibandingkan program KKP dan juga kondisi sapi impor sekarang yang sangat terbatas maka sebaiknya pemerintah memberikan dorongan dan dukungan terhadap pola kemitraan program Swadana; b) pelaksanaan supervisi sebagai bentuk monitoring dari perusahaan dalam memberikan bimbingan teknis dan pengawasan sebaiknya lebih intensif agar dapat mengeliminasi penyimpangan kontrak perjanjian seperti kecurigaan dalam penyalahgunaan pemberian pakan; c) mengadakan kemitraan baru dengan program ³pembibitan sapi potong´ guna mencukupi ketersediaan bakalan sapi potong baik untuk kemitraan usaha penggemukan sapi potong maupun untuk produksi perusahaan.

Gambar

Tabel 1. Model Kemitraan Usaha Penggemukan Sapi Potong
Tabel 3. Kode Wilayah dan Ongkos Angkut

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan batang bawah dengan batang atas, namun secara terpisah tinggi tanaman sampai dengan umur

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa keduanya pernah hidup semasa ( mu‘ashsharah )... Lambang periwayatan yang digunakan oleh Al-A‘mash adalah نع. Riwayat dengan

Dan untuk penelitian selanjutnya disarankan jumlah responden dan variabel untuk prediksi model dapat diperbanyak agar variasi model yang terjadi lebih mencerminkan bangkitan

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa

1) Fungsi biologis. Yaitu menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan biologis keluarga. Fungsi ini terkait dengan penyaluran hasrat biologis manusia yang berbuah dengan kelahiran anak

Data dilapangan menunjukkan bahwa terpaan iklan Extra Joss Blend di televisi dalam penggunaan endorser suskses diterima oleh konsumen dengan hasil pengolahan data

Dan menggunakan alat ukur berupa validitas dan reliabilitas untuk melihat kevalidan hasil penelitian dan reliabel dalam Croanbach alpha , selanjutnya menggunakan analisis

Tujuan pemberian kuesioner ini sekadar untuk tujuan ilmiah dimana pendapat dan biodata Saudara/i dijamin kerahasiaannya dan akan saya pergunakan dalam rangka penyusunan