• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PENALAKSANAAN

TETANUS

PADA ANAK

HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

(2)

PANEL AHLI

dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A (K)

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RSCM Jakarta

Prof. Dr. Alex Chairulfatah, Sp.A (K)

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA, FK UNPAD/ RSHS Bandung

dr. Djatnika Setiabudi, Sp.A(K)

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA, FK UNPAD/ RS HS Bandung

dr. Amar Widhiani, Sp.A(K)

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RSAB Harapan Kita Jakarta

dr. Sri Kusumo Amdani, Sp.A(K)

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RSAB Harapan Kita Jakarta

dr. Debby Latupeirissa, Sp.A

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RS Fatmawati Jakarta

dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RSCM Jakarta

dr. Pratiwi Andayani, Sp.A

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, IKA,FKUI/RS Fatmawati Jakarta

UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN

Prof.DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ketua

dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS Anggota

Dr. Mulya A. Hasjmy, Sp. B. M. Kes Anggota

dr. Suginarti, M.Kes Anggota

dr. Diar Wahyu Indriati, MARS Anggota

dr. Ririn Fristika Sari, MKM Anggota

dr. Titiek Resmisari Anggota

dr. Sad Widyanti Soekadi Anggota

(3)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN 4

1.1. Latar Belakang 4

1.2. Permasalahan 5

1.3. Tujuan 5 BAB II : METODOLOGI PENILAIAN 6

2.1. Strategi Penelusuran Kepustakaan 6 2.2. Level of Evidence dan Tingkat Rekomendasi 6

BAB III : TETANUS 7

3.1. Definisi 7 3.2. Etiologi 7 3.3. Epidemiologi 8 3.4. Patogenesis 9 3.5. Gejala Klinis 11 3.6. Penegakan Diagnosis 12 3.6.1. Anamnesis 12 3.6.2. Pemeriksaan Fisik 13 3.6.3. Pemeriksaan Penunjang 14 3.7. Diagnosis Banding 14 3.8. Komplikasi 15 3.9. Penatalaksanaan 16 3.9.1. Tatalaksana Umum 17 3.9.2. Tatalaksana Khusus 18 4.0. Asuhan Keperawatan 24 4.1. Prognosis 28 4.2. Pencegahan 29 BAB IV : DISKUSI 32

BAB V : ANALISIS BIAYA 34

BAB VI: REKOMENDASI 39

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.1

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus.3 Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO.4 Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan.5 Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.6

Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak—misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring berjalannya waktu.3,7 Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan.1,8

(5)

Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab kematian pada anak.9

Meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.

1.2 Permasalahan

Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian imunisasi.

Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus meliputi pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih optimal sehingga angka kematian dapat diturunkan.

Aspek lain yang juga sangat penting adalah pencegahan. Pencegahan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemberian imunisasi dan perawatan luka. Saat ini imunisasi yang aman dan murah sudah tersedia di berbagai belahan dunia, sehingga diharapkan cakupan imunisasi akan semakin luas, dan pada akhirnya akan semakin menurunkan angka kejadian tetanus.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Menurunkan insidens dan angka mortalitas pada penderita tetanus dengan cara pencegahan serta penatalaksanaan yang lebih efisien dan efektif.

1.3.2 Tujuan Khusus

Terwujudnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan program yang berkenaan dengan kesehatan anak khususnya tentang diagnosis, tatalaksana dan pencegahan infeksi tetanus.

(6)

BAB II

METODOLOGI PENILAIAN

2.1. Strategi Penelusuran Kepustakaan

Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik: Communicable Diseases Centre (CDC), World Health Organization (WHO), e- medicine, Journal of the American Academy of Pediatrics, Indian Journal of Pediatrics, Textbook of Pediatric Infections, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, serta Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, dalam dua puluh tahun terakhir (1988-2008). Kata kunci yang digunakan adalah tetanus, tetanus in pediatric dan tetanus pada anak.

2.2. Level of evidence dan Tingkat Rekomendasi

Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal) berdasarkan kaidah evidence-based medicine, kemudian ditentukan levelnya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat rekomendasinya. Level of evidence dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research.

Level of evidence

Ia. Meta-analisis randomized controlled trials Ib. Minimal satu randomized controlled trials IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol IIIa. Studi cross-sectional

IIIb. Seri kasus dan laporan kasus IV. Konsensus dan pendapat ahli

Tingkat rekomendasi

A. Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib B. Evidence yang termasuk dalam level IIa atau IIb C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb, atau IV

(7)

BAB III TETANUS

3.1. Definisi

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.8,10

3.2. Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang dengan sifat :

 Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul genderang

 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela

 Menghasilkan eksotoksin yang kuat

 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan.

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. 1 ,11

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah,

(8)

pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.1

3.3. Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.10,12

Tabel 3.1. Data insidens tetanus menurut WHO13

Tabel 3.2. Jumlah Kasus Tetanus dan Kematian di Beberapa Rumah Sakit Provinsi di Indonesia (asupan finalisasi: insidens tetanus 5 tahun terakhir 2003-2007 di RSCM, RSAB Har-Kit, RS Fatmawati, RSHS) 10

RSCM RSAB RSF RSHS

Tahun kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%)

2003 10 20 3 0 6 0 7 14,3

2004 12 8,3 1 0 2 0 4 25,0

2005 11 27,3 1 0 11 0 1 0

2006 8 0 1 100 4 0 6 16,7

(9)

Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)

Tabel 3.3. Distribusi Kelompok Umur Kasus Tetanus Tahun 2003-2007 10

Kelompo k Umur (Tahun) RSCM RSAB RSF RSHS kasus *m (%) kasu s *m (%) kasu s *m (%) kasu s *m (%) <1 2 0 3 33,3 10 0 9 22,2 1-4 26 15,4 4 0 13 0 7 14,3 5-9 31 6,5 4 0 12 0 8 12,5 >10 0 0 - 0 2 0 2 0 Jumlah 59 21,9 11 9,1 37 0 26 15,4

Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)

Tabel 3.4. Insidensi Tetanus Neonatorum Menurut WHO12

3.4. Patogenesis

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d’entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :10

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas.

(10)

3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg. 11,14

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar. 10

Dampak toksin antara lain : 10

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

(11)

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus. 3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan

menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.

3.5 Gejala Klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.10,12

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :1,10 1. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)

Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat

(12)

mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 5).

Tabel 5. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus

Derajat Manifestasi Klinis

I : Ringan Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang

dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan

III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat

IV : Sangat berat

(derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap

(13)

3.6 Penegakan Diagnosis

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).15,16

3.6.1. Anamnesis

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: 10

 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang?

 Apakah pernah keluar nanah dari telinga?  Apakah pernah menderita gigi berlubang?

 Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir?

 Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

3.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :10,17

 Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.  Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak

dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.

 Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

 Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.

 Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun ―masa istirahat‖ spasme makin pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

(14)

 Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.

 Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang belakang.

 Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).18

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1,10,10

 Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.

 Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

 Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.  Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai

imunisasi dan bukan tetanus.

(15)

 EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah potensial aksi.

 Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

3.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.19 Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut : 10

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.

2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal.

3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).

4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.

5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

3.8. Komplikasi Tetanus

Tabel 6 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus. Tabel 7 menggambarkan komplikasi tetanus di beberapa RS di Indonesia.

Tabel 6. Komplikasi tetanus 1,8,10

Sistem tubuh Komplikasi Jalan napas Aspirasi*

Laringospasme/obstruksi*

Sedasi dihubungkan dengan obstruksi*

Respirasi Apnea*

Hipoksia

Tipe I* (ateletaksis, aspirasi, pneumonia) dan tipe II* gagal napas (spasme laring, pemanjangan spasme batang tubuh, sedasi berlebihan)

ARDS*

(16)

pneumonia)

Komplikasi trakeostomi (contoh : stenosis trakea) Emboli paru

Emfisema mediastinum Penumotoraks

Spasme diafragma

Kardiovaskular Takikardia*, hipertensi*, iskemia* Hipotensi*, bradikardia*

Takiaritmia, bradiaritmia* Asistol*

Gagal jantung*

Ginjal Gagal ginjal : fase oligouria dan poliuria Stasis urin dan infeksi

Gastrointestinal Stasis lambung Ileus

Diare

Perdarahan* Lain-lain Status konvulsivus

Dehidrasi

Penurunan berat badan* Tromboemboli*

Sepsis dan gagal organ multipel* Fraktur vertebra selama spasme Avulsi tendon selama spasme * Komplikasi jangka panjang

(17)

Tabel 7. Komplikasi tetanus tahun 2003-2007 10

Komplikasi RSCM RSAB RSF RSHS

kas us

*m (%) kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%)

Status konvulsivus 0 0 2 1,5 0 0 5 40,0 Bronkopneumo nia 1 0 2 0 0 0 2 0 Sepsis 2 0 1 0 0 0 4 50,0

Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)

3.9. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut : 11,12 1. Penanganan spasme.

2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.

3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.

4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk memusnahkan ―pabrik‖ penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.

5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.

6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.9

(18)

3.9.1. Tatalaksana Umum 9

1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi. 2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi. 3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).

4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.

(19)

5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT.

3.9.2 Tatalaksana Khusus

1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) 10,11,21

Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM.

Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :  HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari

4-30%).

 Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.

 Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.

 Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.  Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi

yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.

Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik

(20)

harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. 8,11,14 Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus.

2. Antibiotika 10,14

a. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA). Tabel 8 menggambarkan perbandingan antara penisilin dan metronidazol.

Tabel 8. Perbedaan Penisilin dan Metronidazol

Penisilin Metronidazol

Spektrum Spektrum luas, bakteri Gram (+), anaerob

Spektrum sempit, obligat anaerob (tidak dapat menginduksi superinfeksi)

Mekanisme kerja

Menghambat sintesis dinding sel

Menghambat sisntesis DNA

(21)

Reaksi alergi Sering Jarang

Resistensi Sering Jarang

Struktur Strukturnya menyerupai GABA : menginduksi spasme

Penetrasi ke abses

Rendah Baik

Akses IM Oral, rektal, IV

b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang sesuai.

Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di tempat luka yang dapat memproduksi toksin. Tabel 9 memaparkan beberapa pilihan antibiotika yang dapat digunakan pada penatalaksanaan tetanus.

(22)

Tabel 9. Perbandingan Antibiotika1,20

Nama Obat Deskripsi Dosis Kontraindikasi/ Perhatian

Metronidazole Efek antibakteri terhadap klostridium. Obat ini tergolong aman, memiliki penetrasi yang efisien ke dalam luka dan abses serta eksitasi terhadap SSP dapat abaikan.

 Neonatus

- Neonatus < 1200 gram: 7,5 mg/kgBB IV tiap 48 jam

- Neonatus ≤ 7 hari dan ≥ 1200 gram: 7,5-15 mg/kgBB/hari IV dibagi tiap 12-24 jam - Neonatus > 7 hari dan ≥ 1200 gram: 15-30

mg/kgBB/hari IV dibagi tiap 12 jam

 Bayi dan Anak: 15-30 mg/kg/hari IV dibagi tiap 8-12 jam; tidak melebihi 2 g/hari

KI : Hipersensitivitas

P: Hati-hati pada penggunaan dengan diskrasia darah atau gangguan fungsi hati; lakukan pemantauan terhadap spasme dan perkembangan neuropati perifer.

Penisilin G Antibiotik bakterisid. Berikatan dan menghambat ikatan penisilin dengan protein, dengan transpeptida yang mengadakan ikatan silang dengan peptidoglikan yang merupakan tahap akhir pada sintesis dinding bakteri. Menghambat sintesis dinding sel dan mengaktivasi enzim autolitik yang berperan pada kerja bakteri pada pembelahan bakteri.

 Anak :

100 000 U/kgBB/hari IV/IM dibagi tiap 4 jam, tidak melebihi 24 juta U/hari

KI: Riwayat hipersensitivitas

Eritromisin Agen bakteriostatik yang menghambat sintesis protein dengan berikatan dengan subunit 50S ribosom bakteri. Bukan merupakan pilihan pada tetanus tetapi dapat digunakan pada tetanus karena beberapa alasan.

 Anak

15-50 mg/kg/hari IV dibagi tiap 6 jam; tidak melebihi 4g/hari

(23)

Klindamisin Agen bakteriostatik yang berikatan dengan subunit 50S ribosom bakteri dan bekerja sebagai agen bakteriostatik. Tidak digunakan untuk agen tetanus. Dapat digunakan jika pengobatan lain tidak tersedia.

 Neonatus

- Neonatus ≤ 7 hari : 10-15 mg/kgBB/hari IV dibagi tiap 8-12 jam

- Neonatus > 7 hari : 10-20 mg/kgBB/hari IV dibagi tiap 6-12 jam

 Bayi & anak

- 25-40 mg/kgBB/hari IV dibagi tiap 6-8 jam; tidak melebihi 4800 mg/hari

KI : Riwayat hipersensitivitas; enteritis regional; kolitis ulseratif; gangguan hepatik; kolitis yang berkaitan dengan antibiotik

Tetrasiklin Agen bakteriostatik yang menghambat sintesis protein. Tidak digunakan untuk agen tetanus. Dapat digunakan jika pengobatan lain tidak tersedia.

 Dosis

≥ 8 tahun : 25-50 mg/kgBB/hari per oral dibagi tiap 6 jam. Tidak melebihi 3g/hari

KI : Riwayat hipersensitivitas; disfungsi hepatik berat; usia <8 tahun

Vankomisin Agen bakterisid yang menghambat sintesis RNA dan dinding sel. Tidak digunakan untuk agen tetanus. Dapat digunakan jika pengobatan lain tidak tersedia.

 Neonatus

- Neonatus ≤ 7 hari dan <1200 g: 15 mg/kgBB IV dibagi dalam 24 jam

- Neonatus ≤ 7 hari dan 1200-2000 g: 10-15 mg/kgBB IV dibagi tiap 12-18 jam

- Neonatus ≤ 7 hari dan >2000 g: 10-15 mg/kgBB IV dibagi tiap 8-12 jam

- Neonatus > 7 hari dan <1200 g : 15 mg/kgBB IV dibagi tiap 24 jam

- Neonatus > 7 hari dan 1200-2000 g : 10-15 mg/kgBB IV dibagi tiap 8-12 jam

- Neonatus > 7 hari dan >2000 g : 15-20 mg/kgBB IV dibagi tiap 8 jam

 Bayi & Anak

10 mg/kgBB IV dibagi tiap 6 jam; lakukan penyesuaian dosis terhadap fungsi ginjal dan parameter farmakokinetik.

(24)

Dari penjelasan sebelumnya, penatalaksanaan tetanus dapat digambarkan secara lebih ringkas dan sistematis seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 10. Pengelolaan Tetanus. Eradikasi

bakteri penyebab

Pembersihan luka

Antibiotik Metronidazol 15-30 mg/kgBB/hari dibagi tiap 8-12 jam; tidak melebihi 2 g/hari

Antitoksin netralisasi terhadap luka

Antitoksin kuda atau manusia

Human tetanus immune globulin (3.000-6.000 IU /kg i.m)

Antitetanus serum (ATS) 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. (terlebih dahulu dilakukan tes kulit) (untuk tetanus neonatorum 10.000 IU i.v.)

Terapi suportif selama fase akut

Kontrol spasme otot Diazepam (iv bolus)

0,1-0,3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2-4 jam, tetanus neonatorum dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari

Dalam keadaan berat diazepam drip 20 mg/kgBB/hari dirawat di PICU/NICU. Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 6-8 dosis

Midazolam (iv infus/bolus) Vekuronium

Bila spasme sangat hebat pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB iv diikuti 0,05 mg/kgBB/dosis diberikan setiap 2-3 jam

Sedasi Diazepam (iv bolus)

Midazolam (iv infus/bolus) Morfin (im/iv)

Klorpromazin Pemeliharaan jalan

napas/ventilasi

Trakeostomi

Tekanan positif intermiten Ventilasi

Pemeliharaan hemodinamik

Penggantian volum yang cukup

Sedasi (seperti di atas) Inotropik

(25)

Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan diberikan beta bloker seperti propanolol atau alfa dan beta bloker (labetolol)

Rehabilitasi Nutrisi Fisioterapi

Imunisasi Terapi primer penuh dari

(26)

4.0 Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan pada pasien tetanus dibagi dalam dua kelompok yaitu: 1. Asuhan Keperawatan Umum, antara lain dengan intervensi sebagai berikut :

 Bersihkan jalan napas yang tidak efektif diantaranya dapat menyebabkan pneumonia aspirasi yang terjadi akibat terkumpulnya air liur (lendir) didalam mulut karena anak sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering dihisap, dapat menyebabkan aspirasi. Untuk menghindari pneumonia aspirasi, kepala anak harus dimiringkan jika anak dalam keadaan telentang (untuk drainase). Anak dengan kesulitan bernapas seharusnya dirawat di ruang intensif anak (ICU). Status pernapasan dievaluasi dengan hati-hati terhadap adanya tanda-tanda gawat napas dan peralatan emergensi harus selalu dalam keadaan siap sedia dan mudah dijangkau.23,24,21

 Jika trismus sudah berkurang lebih lebar dari 3 cm, maka makanan dapat diberikan per oral dalam bentuk makanan cair dan diberikan memakai sedotan. Bila trismus makin berkurang, makanan diberikan lunak dengan lauk cincang. Secara bertahap, bisa diberikan makanan lunak biasa. Susu diberikan paling tidak dua kali sehari.23

2. Asuhan Keperawatan Luka

Perawatan luka merupakan aspek penting dalam pencegahan tetanus selain pemberian imunisasi. Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya luka pada penderita luka sangat tergantung pada penilaian terhadap luka. Apakah lukanya bersih atau kotor, luka bernanah, luka dengan slough/slaf, luka eskar, luka nekrotik atau luka berukuran kecil atau besar, luka permukaan atau dalam, dan sebagainya. Perawatan luka pada tetanus yang biasanya dilakukan selama ini adalah dengan :

- Merawat dan membersihkan luka memakai teknik aseptik. - Irigasi luka.

- Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang operasi. Tindakan debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat dibutuhkan untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menghalangi proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri. Saat ini, selain dengan melakukan tindakan debridement luka secara pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada luka tetanus dapat digunakan bahan terapi topikal modern yang lebih hemat biaya (seperti

(27)

hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus dalam keadaan lembab. Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan nekrotik. Pada keadaan melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini, diharapkan dapat mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya spasme/kejang pada anak. Perawatan luka pada tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah sebagai berikut:

 Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan menggunakan cairan fisiologis (normal saline/NaCl 0,9%). Dengan memperhatikan sifat luka tetanus, dimana anak mudah terangsang mengalami spasme, teknik pencucian luka tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi lembut. Bila menggunakan metode semprot, gunakan jarum no. 18 dan jangan terlalu kencang menyemprotnya untuk mencegah spasme dan mencegah resiko perdarahan pada jaringan yang rapuh.

 Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka pasien harus mudah dicapai sehingga hidrogel dapat diolesi langsung kedalam luka.

 Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit plester, tetapi tidak terlalu rapat (karena hidrogel memerlukan balutan sekunder).

- Membuang benda asing dalam luka. - Kompres dengan H2O2.

- Luka dibiarkan terbuka.

(28)

Tabel 11. Kategori Cairan Pencuci Luka dan Terapi Topikal Luka

Nama Cairan H2O2 (Hidrogen peroksida) NaCl 0,9% Hidrogel

Deskripsi Cairan antiseptik yang dapat berubah menjadi oksigen dan air jika berkontak dengan katalase, suatu enzim yang ditemukan dalam darah dan sebagian besar jaringan.

Cairan yang dapat dipergunakan untuk membersihkan luka karena isotonik terhadap jaringan tubuh, tidak toksik terhadap jaringan, tidak menghambat proses penyembuhan luka dan tidak menyebabkan reaksi alergi atau merubah flora bakteri pada kulit, dapat digunakan untuk

mengirigasi rongga tubuh dan ekonomis. 7,8

Jenis terapi topikal berupa gel, terdiri dari polyurethane carrier film dan lapisan hydrogel. Kandungan cairannya

menciptakan lingkungan yang lembab pada luka.

Kelebihan - Oksigen bebas yang menimbulkan efek berbusa dapat membantu

debridement mekanik terhadap debris dari luka.

-Mempunyai efek germicidal yang melawan bakteri anaerob karena adanya pelepasan oksigen.

- Meningkatkan autolitik debride-ment secara alami.

- Melunakkan dan

menghancurkan jaringan

nekrotik tanpa merusak jaringan sehat, yang akan terserap ke dalam struktur gel dan terbuang bersama pembalut sekunder. - Sebagai analgesik yang

mengurangi rasa sakit, karena mempunyai efek pendingin. - Menciptakan lingkungan yang

tetap lembab.

- Lembut dan fleksibel untuk segala jenis luka.

- Transparan.

- Tidak menimbulkan trauma dan rasa sakit saat penggantian balutan.

(29)

mengangkat epitel yang baru terbentuk.

- Memiliki efek sitotoksik pada fibroblast. - Dilaporkan adanya kasus emboli O2

dan emfisema pembedahan setelah irigasi dibawah tekanan atau irigasi dalam rongga tertutup dengan H2O2.

-Dapat melarutkan bekuan dan menyebabkan perdarahan.

memerlukan balutan sekunder, maka luka tidak boleh terbuka.

Catatan - Disebabkan karena resiko terjadinya emboli oksigen atau emfisema pembedahan, penggunaan H2O2

dengan tekanan atau pada rongga tertutup/dangkal tidak

direkomendasikan.

- Batasi penggunaannya untuk pengangkatan debris dari luka. - Pertimbangkan alternatif yang lebih

aman untuk mengangkat debris misalnya kompres cairan normal salin atau autolityc debriding dressings (balutan yang dapat mengangkat debris secara autolitik)8

- Untuk luka nekrotik permukaan dan dalam

- Untuk luka permukaan dan dalam dengan cairan sedikit - Untuk luka berlubang, mengisi

luka dan mengurangi area jaringan mati.

(30)

4.1 Prognosis

Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.10,14

Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck: 22

Tabel 12. Sistem Skoring Bleck

Sistem skoring 1 0

Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari

Awitan penyakit < 48 jam ≥ 48 jam

Tempat masuk luka bakar, luka operasi, bagian dari fraktur, aborsi septik, tali pusat, atau penyuntikan intramuskular Selain tempat tersebut Spasme (+) (-) Suhu  Aksilar  Rektal > 38,4°C > 40°C ≤ 38,4°C ≤ 40°C Takikardia dengan

frekuensi lebih dari 120x/menit (pada neonatus >150x/menit)

(+) (-)

Tetanus umum (+) (-)

(31)

 Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut ini:

4.2 Pencegahan

Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:

1. Imunisasi aktif 10,11,14,23

Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.

Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5

Total Skor Derajat Keparahan Tingkat Mortalitas

0-1 Ringan <10%

2-3 Sedang 10-20%

4 Berat 20-40%

5-6 Sangat berat >50%

Tetanus sefalik selalu merupakan derajat berat atau sangat berat Tetanus neonatorum selalu merupakan derajat sangat berat

(32)

dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.24

Tabel 13. Jadwal imunisasi

Vaksin Usia/Waktu 2 bula n 4 bula n 6 bula n 18 bulan 5 tahu n 12 tahun Vaksin dasar DPT DPT DPT Vaksin booster DPT DPT dT Vaksin untuk wanita hamil/ WUS TT 1 TT 2 TT 3

Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup atau pada sebagian besar orang memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10 tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan setiap 10 tahun.11 Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang tua menolak memberikan vaksinasi.25 Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya.

2. Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung

(33)

pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu.10,11,26 Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini :27

- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat

- Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab

3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal. 10 Berikut ini adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus.

Tabel. 14 Pedoman Profilaksis terhadap Tetanus

Riwayat Pemberian

(dosis)

Luka Bersih dan Kecil Jenis Luka Lainnya1

Td atau TdaP2

TIG Td atau

TdaP2

TIG3

<3 atau lupa ya tidak ya Ya

>34 Tidak5 tidak Tidak6 Tidak

Keterangan : Td: difteri adult-type dan vaksin tetanus toksoid: TIG: tetanus immune globulin; TdaP: booster tetanus toksoid, toksoid difteri dengan dosis lebih kecil dan pertusis aselular

1

Antara lain (tidak terbatas hanya): luka yang terkontaminasi oleh kotoran/feses, tanah, dan air liur; tusukan; avulsi; dan luka akibat tembakan, tabrakan, luka bakar, dan frostbite

2TdaP lebih baik dibandingkan Td untuk remaja yang belum pernah mendapat imunisasi

TdaP. Td lebih baik dibandingkan TT untuk remaja yang telah diimunisasi TdaP atau TdaP memang tidak tersedia di Indonesia.

3Imun globulin i.v. Diberikan bilamana TIG tidak tersedia. TIG: 250 U i.m. di sisi

ekstremitas lain dari pemberian tetanus toksoid

4Bilamana telah diberikan 3 dosis toxoid fluid, dosis keempat tetap diberikan dan

sebaiknya berupa adsorbed toxoid

5Ya, jika >10 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus

6Ya, jika >5 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus dan tidak diperlukan

(34)

BAB IV DISKUSI

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Penatalaksanaan pasien tetanus secara garis besar terdiri atas tatalaksana umum dan khusus. Pada penatalaksanaan umum, hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi. 2. Menjaga saluran napas agar tetap bebas.

3. Penanganan spasme. Pada penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan pertama.

4. Mencari port d’entreeI.

Penatalaksanaan khusus tetanus terdiri dari pemberian serum anti tetanus/HTIG dan antibiotika. Tujuan pemberian ATS dan HTIG adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar di dalam darah dan dapat juga diberikan sebagai profilaksis. Berikut ini adalah tabel perbandingan antara ATS dan HTIG.

Tabel 13. Perbandingan ATS dan HTIG

Indikasi Dosis Kontraindikasi Kekurangan

ATS ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv Berhati-hati akan reaksi anafilaksis  Ketersediaan di pelayanan kesehatan saat ini sulit di dapat  Masa kadaluarsa pendek

HTIG HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf 3.000-6.000 IU secara IM dalam dosis tunggal Riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya  Ketersediaan di pelayanan kesehatan cukup  Masa kadaluarsa lebih lama

Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah

(35)

kuman C. tetani bentuk vegetatif. Tabel perbandingan setiap antibiotika dapat dilihat di dalam tabel 9.

Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka dan pemberian ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam memberikan proteksi pada infeksi tetanus.

(36)

BAB V ANALISIS BIAYA

Dalam menyusun suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct cost, indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam penatalaksanaan tetanus di rumah sakit, meliputi:

1. Komponen Diagnostik : Karena diagnosis sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, pemeriksaan penunjang relatif tidak perlukan.

2. Komponen Terapi

 Pemberian Antibiotika  Pemberian ATS/HTIG  Perawatan umum lainnya

3. Jasa Tindakan Medik

Saat ini sedang disusun Sistem Case-mix dalam INA DRG (Indonesian Diagnosis Regiment Group) oleh Departemen Kesehatan RI untuk Rumah Sakit Pemerintah sehingga diharapkan di masa depan akan ada kesamaan biaya untuk suatu penyakit tertentu dengan kategori atau kriteria yang sama.

Perhitungan biaya untuk pasien tetanus didasarkan pada berat ringannya penyakit yang diderita. Untuk biaya perawatan dan jasa tindakan medik, tergantung dari kebijaksanaan pemerintah daerah masing-masing. Perkiraan biaya yang akan dikeluarkan oleh penderita tetanus yaitu :

 Tetanus derajat ringan  Tetanus derajat sedang  Tetanus derajat berat

(37)

BIAYA PENATALAKSANAAN TETANUS DERAJAT RINGAN-SEDANG

No Jenis tindakan Banyaknya Harga satuan

(RSCM) Total (RSCM) Harga satuan (RSHS) Total (RSHS) 1. Rawat inap

Ruang rawat kelas III 14 hari 85.000/hari 1.190.000 135.000/hari 1.890.000

2. Obat Metronidazol Diazepam Diazepam 5 mg oral ATS (20.000 unit) / HTIG (250 unit) 1 flacon x 14 hr 1 ampul x 7 hr 3 x 5 mg x 7 hr 5 vial / 12 vial 25.000 11.000 500 588.300 213.000 350.000 77.000 10.500 2.941.500 2.556.000 25.300 12.400 300 507.812 217.800 354.200 86.800 6.300 2.539.060 2.613.600 3. Suportif Oksigen Kaen 3B Infus set Spuit 3 ml NaCl 0,9% 500 ml Abbocath 24 NGT Feeding drip 1 tabung besar x 7 hr 2 kolf x 7 hr 1 buah/3 hr x 4 48 buah 10 kolf 5 buah 2 buah 1 buah 100.000 14.000 12.500 2.500 7.500 15.000 12.000 98.000 700.000 196.000 50.000 120.000 75.000 75.000 24.000 98.000 100.000 17.200 13.800 2.400 10.700 24.000 24.300 98.000 700.000 240.800 55.200 115.200 107.000 120.000

(38)

48.600

98.000

4. Pemeriksaan Penunjang

- Darah Perifer Lengkap - Biakan darah & uji resistensi

- Biakan fokus infeksi& uji resistensi - Rontgen thoraks - Urin lengkap 3 x 1 x 1 x 2 x 1 x 45.000 179.500 179.500 75.000 20.000 135.000 179.500 179.500 150.000 20.000 58.000 175.000 192.000 47.500 18.750 174.000 175.000 192.000 95.000 18.750 5. Konsultasi

- Unit Rehabilitasi Medik - Bagian Gigi & Mulut - Bagian THT - Bagian Bedah 3 x 1 x 1 x 3 x 50.000 50.000 50.000 100.000 150.000 300.000 80.000 80.000 80.000 80.000 240.000 80.000 80.000 240.000 7. Perawatan luka H2O2 NaCl Hidrogel 50.000 50.000 50.000 70.000 70.000 70.000 70.000 70.000 70.000 8. Imunisasi Tetanus 1 x 78.000 - -

(39)

BIAYA PENATALAKSANAAN TETANUS DERAJAT BERAT-SANGAT BERAT

N o

Jenis tindakan Banyaknya Harga satuan

(RSCM) Total (RSCM) Harga satuan (RSHS) Total (RSHS) 1. Rawat inap

Ruang rawat ICU Ruang rawat kelas III 7 hari 7 hari 1.400.000/hr 85.000/hr 9.800.000 1.190.000 2.000.000/hari 135.000/hari 14.000.000 1.890.000 2. Obat Metronidazol Cefalosporin gen 3 Diazepam Vecuronium ATS (20.000 unit) / HTIG (250 unit) 1 flacon x 14 hr 1 vial x 10 hr 8 vial x 7 hr 1 ampul x 7 hr 5 vial 12 vial 25.000 15.000 11.000 219.300 588.300 213.000 350.000 150.000 616.000 1.535.100 2.941.500 2.556.000 25.300 15.000 12.400 190.200 507.812 217.800 354.200 150.000 694.400 1.331.400 2.539.060 2.613.600 3. Suportif Oksigen Kaen 3B Infus set Spuit 3 ml NaCl o,9% 500 ml Abbocath 24 NGT Feeding drip Suction catheter Urin catheter 1 tabung besar x 7 hr 2 kolf x 7 hr 1 buah/3 hr x 4 48 buah 10 kolf 5 buah 2 buah 1 buah 6 buah x 7 hr 1 buah/3 hr x 2 100.000 14.000 12.500 2.500 7.500 15.000 12.000 98.000 700.000 196.000 50.000 120.000 75.000 75.000 24.000 98.000 100.000 17.200 13.800 2.400 10.700 24.000 24.300 98.000 9.300 67.200 700.000 240.800 55.200 115.200 107.000 120.000 48.600 98.000 390.600 134.400 4. Pemeriksaan Penunjang 3 x 45.000 135.000 58.000 174.000

(40)

- Darah Perifer Lengkap

- Biakan darah & uji resistensi

- Biakan fokus infeksi& uji resistensi

- Analisis Gas Darah - Rontgen thoraks - Urin lengkap 1 x 1 x 2 x 3 hr 2 x 1 x 179.500 179.500 115.000 75.000 20.000 179.500 179.500 690.000 150.000 20.000 175.000 192.000 58.000 47.500 18.750 175.000 192.000 285.000 95.000 18.750 5. Konsultasi - Unit Rehabilitasi Medik

- Bagian Gigi & Mulut - Bagian THT - Bagian Bedah 3 x 1 x 1 x 3 x 50.000 50.000 50.000 100.000 150.000 300.000 80.000 80.000 80.000 80.000 240.000 80.000 80.000 240.000 6. Perawatan luka H2O2 NaCl Hidrogel 50.000 50.000 50.000 70.000 70.000 70.000 70.000 70.000 70.000 8. Imunisasi Tetanus 1 x 78.000 - -

(41)

BAB VI REKOMENDASI

I. Bahwa tetanus masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena data RISKESDAS 2007 menunjukkan tetanus masih merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian pada anak. [Rekomendasi C]

II. HTA (Health Technology Assessment) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI dengan melibatkan berbagai mitra bestari (Stake holder) berusaha untuk melakukan penilaian dan kajian dari berbagai aspek terutama aspek teknologi kedokteran sesuai dengan kondisi negara Republik Indonesia yang diharapkan dapat memberi manfaat dalam penanggulangan masalah tetanus, meliputi : [Rekomendasi C]

1. Penegakan diagnosis 2. Penatalaksanaan 3. Pencegahan

III. Penegakan diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis karena tidak mudah dilakukan pemeriksaan penunjang yang spesifik. [Rekomendasi C] IV. Penatalaksanaan tetanus dibagi menjadi penatalaksanaan umum dan khusus.

[Rekomendasi C]

Penatalaksanaan umum terdiri dari :

 Menjaga saluran napas agar tetap bebas  Penanganan spasme.

 Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi.  Mencari port d’entrée

Penatalaksanaan khusus terdiri dari :  Pemberian serum anti tetanus/HTIG

Pemberian HTIG dibandingkan dengan serum anti tetanus adalah sbb : - HTIG memilki efektivitas yang sama dengan ATS

- Kejadian efek samping HTIG lebih jarang dibandingkan ATS yang berasal dari kuda

- HTIG dari segi cost effectiveness lebih baik daripada ATS

 Antibiotika. Metronidazol merupakan pilihan pertama dalam pemberian antibiotika.

(42)

V. Pencegahan melalui imunisasi sangatlah penting mengingat perawatan tetanus sangat mahal dan sulit. Imunisasi dapat memberikan proteksi pada infeksi tetanus hingga 100%. [Rekomendasi C]

VI. HTIG dapat diberikan juga untuk profilaksis tetanus pada luka kotor. [Rekomendasi C]

Gambar

Tabel  3.2.  Jumlah  Kasus  Tetanus  dan  Kematian  di  Beberapa  Rumah  Sakit  Provinsi  di  Indonesia  (asupan  finalisasi:  insidens  tetanus  5  tahun  terakhir 2003-2007 di RSCM, RSAB Har-Kit, RS Fatmawati, RSHS)  10
Tabel 3.4. Insidensi Tetanus Neonatorum Menurut WHO 12
Tabel  6  menggambarkan  beberapa  komplikasi  akibat  tetanus.  Tabel  7  menggambarkan komplikasi tetanus di beberapa RS di Indonesia
Tabel 7. Komplikasi tetanus tahun 2003-2007  10
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan : Karya Tulis Ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui apakah Infra Red dan Chest Physiotherapy dapat menurunkan spasme otot bantu pernapasan, menurunkan

Impairment : Nyeri pada punggung bawah yang menjalar ke kaki kiri yang menimbulkan penurunan LGS,penurunan kekuatan otot dan menimbulkan spasme otot-otot

Impairment yang dijumpai pada pasien dengan kondisi bronkitis kronis ini adalah: a) adanya sesak napas, b) adanya sputum, c) adanya spasme otot-otot pernapasan, d)

7 Kematian yang disebabkan oleh spasme laring yang mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi yang tidak adekuat sering terjadi di sebagian negara yang

Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas,

Diagnosis pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang mana ditemukan tanda-tanda klinis tetanus yaitu trismus 2 cm, risus sardonikus, defans muscular, dan epistotonus,

Mengingat adanya keterbatasan gerak sendi, kelemahan otot, dan gangguan dalam beraktivitas akibat kekakuan sendi, dapat dilakukan dengan terapi latihan yang berupa sthrecing

Prognosis keparahan dapat ditentukan dengan menggunakan kriteria Pattel Joag sebagai berikut: - Kriteria 1 K1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagi dan kekakuan otot tulang belakang