• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PENAMAAN DALAM BUDAYA SABU Olivia de Haviland Basoeki, Politeknik Negeri Kupang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM PENAMAAN DALAM BUDAYA SABU Olivia de Haviland Basoeki, Politeknik Negeri Kupang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PENAMAAN DALAM BUDAYA SABU

Olivia de Haviland Basoeki, Politeknik Negeri Kupang

Oliviabs@yahoo.com

Abstrak

Budaya masyarakat Sabu hingga kini tetap terpelihara sebagai identitas dan kepribadian warisan nenek moyang yang memiliki kekhasan tersendiri, termasuk dalam hal budaya pemberian nama. Nama dalam masyarakat Sabu tidak hanya dipandang sebagai penanda identitas diri seseorang, tetapi nama juga menunjukkan suatu peristiwa budaya sebagai bentuk penghormatan, tata krama, kesantunan, serta pewarisan dan historisitas. Dalam masyarakat Sabu, terdapat tiga nama yang

memiliki saling keterkaitan satu dengan lainnya. Ketiga nama tersebut adalah ngara hawu, ngara bani dan ngara waje. Ngara hawu adalah nama Sabu yang diberikan orangtua, ngara bani merupakan nama keramat karena menyebutkan silsilah keturunan, dan ngara waje yaitu nama keseharian yang digunakan dalam keluarga, dan pergaulan.

Kata kunci: Budaya, Sabu, Ngara hawu, Ngara bani, Ngara waje

Abstract

Savu’s culture until now is maintained as an identity and personality of heritage that has its own special characteristic, including in terms of cultural naming. Name in Savu society is not only as a marker of a person's identity, but the name also suggests a cultural event as a form of respect, good manners, politeness, as well as inheritance and historicity. In Savu’s society, there are three names as a union name which cannot separate to one another, namely: ngara hawu is the parent’s given name, ngara bani is the sacred name, and ngara waje is used in the family, and social intercourse.

Key words: Culture, Savu, Ngara hawu, Ngara bani, Ngara waje

I. PENDAHULUAN

Nama adalah pertanda (nomen est omen) yang akan melekat pada setiap individu dan digunakan sebagai sapaan diri. Nama diri merupakan tanda pertama yang menjadi milik seseorang, dimana berfungsi sebagai penanda identitas individu. Zoest (dalam Marnita, 2000) memandang nama diri sebagai teks yang dibentuk oleh tanda-tanda lain, di antaranya tanda konvensional yang disebut simbol. Hudson (1980:122), mendeskripsikan bahwa nama diri merupakan pemarkah linguistik paling jelas dalam relasi sosial. Setiap orang memiliki sejumlah nama yang berbeda, termasuk nama depan (first names), dan nama keluarga (family names). Oleh karena itu, nama diri sebagai penanda identitas dapat disebut sebagai simbol yang memegang peranan penting dalam komunikasi. Contoh konkrit nama sebagai identitas diri pada Ijazah, KTP, Sertifikat, SIM, Paspor dan

semua bukti identitas diri lainnya yang akan terus dikenakan sepanjang anak manusia tersebut hidup, termasuk yang akan diukir di batu nisan kelak.

Sistem penamaan dalam berbagai budaya dan masyarakat Indonesia berbeda, tatacara penamaanpun bervariasi tergantung dari asal pulau, suku, kebudayaan, bahasa, dan pendidikan yang diperoleh. Terdapat berbagai elemen nama pribadi yang berbeda pada cara penamaan yang spesifik dari masing-masing suku di Indonesia. Misalnya, nama seperti Soekarno, Suwito, Susilo, Sukirah, menunjukkan penyandang nama berasal dari keluarga Jawa (nama Jawa). Namun apabila nama seperti Haposan, Pardomuan, Manaor, pasti penyandang nama berasal dari keluarga Batak. Pemberian nama dalam berbagai budaya diwarnai oleh kondisi sosial budaya yang dianut oleh masyarakatnya. Demikian pula dalam adat budaya Sabu, pemberian nama

▸ Baca selengkapnya: sudah makan dalam bahasa sabu

(2)

memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Nama dalam budaya masyarakat Sabu tidak hanya sebagai tanda pengenal, pemarkah maupun pembeda, tetapi diberikan dengan berbagai alasan tertentu.

Kekhasan nama dalam budaya Sabu tentu tidak ditemukan di daerah lain, sebab nama dalam masyarakat Sabu mengungkapkan makna, konsep, proses, keadaan ataupun sifat yang unik. Keistimewaan pemberian nama tersebut terlihat pada nama Sabu (ngara hawu), nama keramat (ngara bani), dan nama julukan (ngara pewaje). Sistem penamaan ketiga nama ini berbeda dari etnik lainnya, menjadi ciri dan keunikan tersendiri dalam budaya masyarakat Sabu.

II. NAMA DIRI DALAM BUDAYA SABU Sabu merupakan suatu kelompok masyarakat yang mendiami pulau Sabu di Kabupaten Sabu Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sabu memiliki budaya yang khas disbanding kelompok masyarakat lainnya di Provinsi NTT. Kekhasan itu meliputi budaya, bahasa, adat-istiadat, keadaan alam, karakter atau watak, dan juga cara memberikan nama sebagai identitas diri seseorang. Sistem penamaan dalam budaya masyarakat Sabu memiliki keunikan tersendiri, dimana satu orang Sabu memiliki tiga buah nama yang merupakan satu kesatuan identitas dirinya. Nama orang Sabu tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan, yang membedakan adalah nama diawali dengan kata ama disingkat ma untuk laki-laki dan ina yang disingkat na untuk perempuan. Adapun ke-tiga nama tersebut adalah:

1. Nama Sabu (ngara hawu)

Ngara hawu merupakan nama dasar yang diberikan pada saat sang anak lahir. Pemberian nama ini dilakukan melalui serangkaian upacara yang disebut pewie ngara. Upacara dilaksanakan sehari setelah anak lahir dan dilakukan khusus oleh sang ayah. Bila anak yang lahir laki-laki maka harus diberikan nama mengikuti garis keturunan ayah (patrifocal), sebaliknya bila anak perempuan maka menggantikan nama

dari pihak ibu (matrifocal) (Riwu Kaho 2005: 58). Pada pelaksanaan upacara pewie ngara, ayah harus menghindari beberapa pantangan sebelum mengantungkan tali pusar anak, diantaranya adalah: saat sang ayah membawa tali pusar yang dimasukkan dalam kebiha (wadah yang di anyam dari daun kelapa) untuk digantungkan di pohon, sang ayah tidak diperbolehkan berbicara dengan siapapun; dalam perjalanan menuju pohon tempat tali pusar akan digantung, sang ayah tidak boleh menoleh ke belakang dan pandangan harus lurus ke depan; saat tali pusar di gantung, sang ayah memanjatkan doa disertai harapan kepada leluhur tentang nama yang telah ditentukan, agar nama yang telah dipilih nantinya terimplikasi dalam kehidupan sang anak kelak.

Sistem pemilihan dan penentuan nama Sabu (ngara hawu) didasarkan pada hal-hal berikut yaitu, ada nama yang diberikan karena keinginan untuk menggantikan nama leluhur mereka (peho ngara). Penggantian nama leluhur (peho ngara) dalam budaya Sabu memiliki aturan tersendiri yakni harus ada tiga generasi terdahulu baru diperbolehkan untuk menggantikan nama leluhur. Di samping itu, dalam pandangan masyarakat Sabu ketika sang anak menggantikan nama leluhur (peho ngara) dianggap bahwa leluhur telah lahir kembali, bukan dalam pengertian reinkarnasi melainkan semata-mata menyatakan kedekatan hubungan antara yang sudah mati dengan yang masih hidup, harapan khusus lainnya yaitu kelak sang anak memiliki sifat serta karakter yang sama dengan leluhurnya, dan sekaligus sebagai suatu bentuk penghormatan. Nama juga diberikan berdasarkan situasi maupun peristiwa yang terjadi saat anak lahir. Disamping itu, ada nama yang diberikan sesuai dengan keadaan fisik anak ketika lahir, dan juga terdapat nama yang diberikan kepada anak sebagai suatu harapan dan doa orangtua.

contoh penamaan ngara hawu dan kaitannya dengan peho ngara:

(3)

NAMA LELUHUR

URAIAN

Lena Dima Dima adalah ngara hawu, dan Dima Bunga merupakan nama leluhur dari Lena Dima

Tenga Doko

Doko adalah ngara hawu, dan Ama Tenga Doko merupakan nama leluhur dari Tenga Doko Lena Dju Dju adalah ngara hawu, dan

Dju Hengi merupakan nama leluhur dari Lena Dju

Lobo Elo Elo adalah ngara hawu, Lobo Elo merupakan nama leluhur dari Lobo Elo

Duru Bida Bida adalah ngara hawu, Duru Bida merupakan nama leluhur dari Duru Bida

contoh penamaan ngara hawu NAMA

SABU

URAIAN

Jara nama ini diberikan dikarenakan sang anak lahir saat ibu sedang melakukan sebuah perjalanan sehingga untuk mengingatnya anak diberi nama Jara yang artinya jalan

Bunga anak perempuan, cantik rupawan ditengah-tengah

keluarga sehingga untuk menandai fisiknya anak diberi nama Bunga artinya kembang nan harum

Rihi diberikan nama Rihi yang artinya lebih, dengan harapan anak memiliki kelebihan dalam dirinya. Kelebihan yang dimaksudkan yaitu kelak anak dewasa mampu melakukan lebih dari satu pekerjaan. Jika anak seorang tukang kayu, dia juga memiliki kemampuan sebagai seorang tukang jahit pula. Nawa nama ini diberikan karena saat

sang anak lahir ombak besar terjadi dipantai dan untuk mengingat peristiwa tersebut anak diberi nama Nawa yang artinya ombak

Hege sang anak lahir ketika musim cengkeh berbunga sehingga anak tersebut diberi nama Hege yang artinya cengkeh

2. Nama Keramat (ngara bani)

Ngara bani merupakan nama keramat yang melindungi empunya nama dari berbagai kejadian. Nama ini dipercaya sebagai nama yang tidak boleh diucapkan sembarangan karena memiliki kekuatan tersendiri. Hal ini berkaitan dengan adat istiadat masyarakat Sabu bahwa semua benda memiliki nama dan pelindungnya, tanpa terkecuali manusia. Kepercayaan masyarakat Sabu adalah setiap orang memiliki pelindung yang selalu menjaganya, dimanapun orang tersebut berada, sehingga ngara bani dipercaya memiliki fungsi magis untuk menghalau segala bala yang menggangu sang pemilik nama. Keistimewaan ngara bani adalah merupakan kepanjangan dari nama Sabu (ngara hawu) yang didalamnya terkandung silsilah leluhur sehingga akan terlihat garis keturunan dari si

pemilik nama. Oleh karenanya ngara bani juga disebut nama wasiat sebab nama tersebut hanya diketahui oleh orangtua ataupun tetua adat yang mengetahui silsilah nenek moyang. Alasan inilah mengapa ngara bani tidak disebutkan setiap harinya, hanya disebutkan saat tertentu, misalnya pertemuan yang terjadi karena sekian lama tidak bersua, tanpa disadari ngara bani disebutkan karena terdapat rasa sayang dan kerinduan mendalam terhadap orang tersebut.

Peristiwa lain, ngara bani dituturkan adalah pada saat peristiwa kematian. Penuturnya adalah orang tertentu yaitu beberapa perempuan yang dalam kesedihan mendalam karena kehilangan, menceritakan silsilah leluhur dalam bentuk syair. Syair ini dikenal dengan „li tangi pali waji’. Li „bahasa‟, tangi „tangis‟, pali „bertutur‟ dan

(4)

waji „sapaan yang indah‟. Ratapan ini dituturkan dengan menyebutkan ngara bani dari almarhum disertai silsilah keluarganya dalam bahasa yang indah.

Kekhususan ngara bani adalah nama ini tidak pernah dituliskan atau dibukukan. Hasil pengamatan terhadap adat-istiadat masyarakat Sabu (Jakobson dalam Becker, 1979:146) menegaskan bahwa, „keseluruhan kehidupan sosial masyarakat, kuantitas, dan sistem tanda yang berhubungan dengan kehidupan sosial manusia didasarkan pada

sesuatu yang tampak dan sesuatu yang didengar‟. Hal ini membuktikan bahwa dalam kebudayaan suku Sabu, sejak dahulu masyarakat Sabu percaya bahwa sangat tabu untuk menuliskan sesuatu yang ada kaitannya dengan adat-istiadat. Mereka cukup melihat, mendengar dan menyimpannya, sehingga jarang ditemukan berbagai bentuk budaya Sabu dalam tulisan, kecenderungan yang tampak hanyalah bentuk budaya berupa syair atau cerita. Table berikut merupakan contoh sistem

penamaan ngara bani yang berhasil diperoleh. NAMA KERAMAT URAIAN Mane Mina Radja Ratu Dima

Mane adalah ngara hawu, Mane Mina Radja Ratu Dima merupakan ngara bani dari Mane

Ludji Ae Rihi Bani Ama Radja Rehe Ratu Dima

Ludji (ngara hawu), Ludji Ae Rihi Bani Ama Radja Rehe Ratu Dima adalah ngara bani dari Ludji Heke Mangngi

Mone Napu Titu Hawu Lobo

Heke (ngara hawu), Heke Mangngi Mone Napu Titu Hawu Lobo adalah ngara bani dari Heke

Dima Lulu Weo Hawu Lobo Ama Lena Oli Dai

Dima (ngara hawu), Dima Lulu Weo Hawu Lobo Ama Lena Oli Dai adalah ngara bani dari Dima

Amu Mone Goa Banni

Amu (ngara hawu), Amu Mone Goa Banni adalah ngara bani dari Amu Pau Pa Tola

Hina

Pau (ngara hawu), Pau Pa Tola Hina adalah ngara bani dari Pau

Doko Mone Weo Napu Titu Ama Tengah Dui Riwu

Doko (ngara hawu), Doko Mone Weo Napu Titu Ama Tengah Dui Riwu adalah ngara bani dari Doko Radja Ratu

Lere Hawu Pa Tola Hina

Radja (ngara hawu), Radja Ratu Lere Hawu Pa Tola Hina adalah ngara bani dari Radja

Haba Radja Ratu Bale Wila Lulu

Haba (ngara hawu), Haba Radja Ratu Bale Wila Lulu adalah ngara bani dari

Haba Mamo Pa Tola

Ina Dila Nawa Kana

Mamo (ngara hawu), Mamo Pa Tola Ina Dila Nawa Kana adalah ngara bani dari Mamo

3. Nama Julukan (ngara pewaje)

Ngara pewaje merupakan nama julukan dalam pergaulan yang harus dimiliki oleh setiap orang Sabu. Dalam pandangan masyarakat Sabu, bila seseorang disapa dengan ngara pewaje-nya, orang tersebut benar-benar sangat dihormati, disenangi, disayangi oleh sang penyapa. Sebaliknya, orang yang menyapa akan merasa bahwa orang yang disapa sudah dianggap sebagai keluarga. Walau kenyataannya, sang penyapa dengan yang disapa tidak memiliki hubungan kekeluargaan. Alasan utama setiap orang Sabu memiliki nama ngara pewaje adalah dalam budaya Sabu sangat tidak sopan dan tidak akrab ataupun sombong ketika menyapa seseorang dengan ngara hawu-nya. Disamping itu sebagai penghalus panggilan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, tempat tinggal dan pergaulan. Alasan lainnya adalah sebagai penanda dan penggingat bagi setiap orang Sabu untuk tidak melupakan asal usulnya, bahwa darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah darah sebagai orang Sabu.

Hal ini memiliki keterkaitannya dengan filosofi kehidupan masyarakat Sabu yaitu „bolle ballo rai hawu rai ahu ngate wuni‟ yang artinya kemanapun orang Sabu pergi, jangan pernah melupakan asal usulnya, sehingga dengan menyandang nama tersebut, dimanapun orang Sabu berada akan

(5)

selalu ingat asal-usulnya. Kelak saat meninggal, dia akan dibawa kembali ke Sabu, ke tempat leluhurnya. Hal ini ditandai dengan istilah aggu pebale rukettu yaitu membawa kembali rambutnya. Bila orang Sabu meninggal di luar pulau Sabu maka harus dikuburkan di pulau Sabu, bilamana tidak memungkinkan maka hendaknya dibawa pakaian milikinya sebagai pengganti. Itulah sebabnya semua orang Sabu harus memiliki nama ngara pewaje.

Sistem pemberian nama ngara pewaje didasarkan ataupun berpatokan pada ngara hawu, sehingga ngara pewaje tidak dapat dipisahkan dari pemberian nama Sabu (ngara hawu). Hal ini sesuai konsep semiotik Saussure (1988:147) tanda merupakan kombinasi dari konsep (petanda) dan bentuk (penanda), maka ngara pewaje sebagai petanda yang berasal dari ngara hawu sebagai penanda. Karakteristik dari ngara pewaje adalah ngara pewaje tidak dapat dibentuk jika tidak dihubungkan atau dikaitkan dengan ngara hawu. Bentuk ngara pewaje selalu melekat pada ngara hawu, jika tidak ada ngara hawu maka otomatis ngara pewaje tidak ada. Penegasannya adalah bahwa pemberian ngara pewaje tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri tanpa dikaitkan dengan nama diri. Berikut merupakan beberapa contoh ngara pewaje:

NAMA SABU

NAMA JULUKAN Pau

Pau artinya mangga, kemudian dikaitkan dengan keadaan buah mangga, maka Pau dilekatkan dengan Pago. Pago artinya tangkai. Dalam pandangan masyarakat Sabu, buah mangga itu ditopang oleh tangkai yang sekalipun kecil tetapi memiliki fungsi utama bagi mangga, sebab tak ada mangga yang tak

bertangkai. Sehingga ngara pewaje Pau adalah Ma/Na Pago

Huru Huru artinya sendok. Karena sendok merupakan salah satu peralatan makan, sudah pasti memiliki hubungan erat dengan makan. Sehingga Kaba yang artinya makan selaras dengan Huru. Oleh karena itu ngara pewaje Huru adalah Ma/Na Kaba

Dahi Dahi artinya laut, dikaitkan dengan keadaan dari laut, maka selaras dengan Dara yang berarti dalam, sebab pada dasarnya laut memang sangat dalam. Sehingga ngara pewaje-nya adalah Ma/Na Dara Aju Aju artinya kayu,selanjutnya Aju

dikaitkan dengan benda yang memiliki hubungan harmonis dengan arti nama, maka Tuka yang artinya tukang sangat serasi, maka ngara pewaje-nya adalah Ma/Na Tuka

Jara Jara artinya jalan dikaitkan dengan situasi yang ada hubungannya dengan keadaan jalan, yaitu Kako. Kako berarti pergi, maka ngara pewaje-nya adalah Ma/Na Kako diibaratkan sebagai orang yang suka melakukan perjalanan jauh Nara Nara artinya dapat, karena hal yang

sangat diinginkan sudah didapatkan sehingga Nara dihubungankan dengan Dota yang berarti sudah, maka ngara pewaje-nya adalah Ma/Na Dota. Umumnya, nama ini diberikan pada anak yang memang kehadirannya sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga

III. KESIMPULAN

1. Sistem penamaan masyarakat Sabu memiliki kekhasan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya yang dianut, sehingga seseorang dapat memiliki tiga jenis nama yaitu nama sabu (ngara hawu), nama keramat (ngara bani) dan nama julukan (ngara pewaje)

2. Ngara hawu merupakan nama dasar yang diberikan pada saat sang anak lahir.

Ngara hawu atau nama Sabu merupakan nama diri seseorang yang menjadi patokan atau dasar pemberian ngara pewaje. Penegasannya adalah jika tidak ada ngara hawu maka otomatis ngara pewaje tidak ada sebab ngara pewaje tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri tanpa dikaitkan dengan nama diri. Ngara bani merupakan nama keramat yang melindungi empunya nama dari berbagai

(6)

kejadian. Nama ini dipercaya sebagai nama yang tidak diucapkan sembarangan karena memiliki kekuatan tersendiri. Kepercayaan masyarakat Sabu adalah setiap orang memiliki pelindung yang selalu menjaganya, dimanapun orang tersebut berada, sehingga ngara bani dipercaya memiliki fungsi magis untuk menghalau segala bala yang menggangu sang pemilik nama. Ngara pewaje merupakan nama julukan dalam pergaulan yang harus dimiliki oleh setiap orang Sabu. Alasan utama setiap orang Sabu memiliki nama ngara pewaje adalah dalam budaya Sabu sangat tidak sopan dan tidak akrab ataupun sombong ketika menyapa seseorang dengan ngara hawu-nya. Alasan lainnya adalah sebagai penanda dan penggingat bagi setiap orang Sabu untuk tidak melupakan asal usulnya.

3. Ngara pewaje merupakan nama yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, sebagai pengenal, julukan, penghormatan, penyanyang, pergaulan

sebagai ekspresi penyandang nama maupun sebagai apresiasi orang lain terhadap penyandang nama tersebut. DAFTAR PUSTAKA

Becker, A. L & Yengoyan, A. Aram. 1979. The Imagination of Reality. Essays in Southeast Asian Coherence Systems. ABLEX Publishing Corporation Norwood, New Jersey 07648

Marnita, Rina. 2000. “Perubahan Sosial Budaya dan Dampaknya terhadap Bahasa Minangkabau”. Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Linguistik Bahasa dan Perubahan Sosial yang Diselenggarakan oleh MLI Cabang Unand. Padang, Mei 11.

Riwu Kaho, Robert. 2005. Orang Sabu dan Budayanya. Yogyakarta: Jogja Global Media.

Saussure, F. de., 1988. Pengantar Linguistik Umum (Seri ILDEP). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Referensi

Dokumen terkait

Graf disini digunakan bukan untuk mencari alur tercepat dalam penyusunan dan eksekusi materi dan metode dalam kaderisasi, tetapi digunakan agar hasil akhir yang diharapkan

Ada lebih dari 100 jenis virus HPV, tetapi hanya beberapa yang dapat menyebabkan kutil kelamin.Kutil kelamin ini perlu anda waspadai, karena penyakit kutil kelamin merupakan penyakit

Pendapatan Operasional (BOPO) tidak memliki pengaruh yang signifikan terhadap Pertumbuhan Laba dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) Sebagai Variabel Intervening,

It can be concluded that there are differences in learning outcomes of mathematics with material fractional arithmetic operations using the model of STAD (Student Team Achievement

Berdasarkan data afiksasi yang ditemukan pada kosakata bahasa prokem dalam media sosial Facebook pages, yaitu kata ngacay, napak, dan nemuk yang sesuai dengan beberapa

Praktik pegalaman lapangan adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan unutuk menerapkan teori yang diperoleh

Setelah membaca, siswa mampu menyajikan gagasan utama dan gagasan pendukung setiap paragraf dari teks tulis dalam bentuk peta pikiran dengan tepat.. Setelah percobaan, siswa

Dengan terpasangnya add-ons tambahan ini, firefox bisa dimanfaatkan untuk banyak keperluan seperti melakukan analisis halaman web yang sedang dibuka, mempermudah