• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 1 PENDAHULUAN Burgerlijk Wetboek (atau yang selanjutnya dapat disingkat dengan BW)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 1 PENDAHULUAN Burgerlijk Wetboek (atau yang selanjutnya dapat disingkat dengan BW)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupannya sehari-hari manusia mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh Undang-undang. Namun terkadang dalam menjalankan hak dan kewajiban tersebut ditemui adanya benturan yang berakibat dilanggar atau dirugikannya hak-hak manusia yang lain, dalam keadaan seperti inilah dibutuhkan peran hukum dalam menyelesaikan sengketa tersebut sehingga diharapkan seseorang yang dirugikan haknya dapat menuntut ganti rugi ke pengadilan agar tercapai keadilan.

Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum, maka oleh karena itu ia mengajukan tuntutan hak ke pengadilan.1

Secara doktrinal menurut hukum yang hidup dan berkembang di Indonesia, gugatan perdata dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melanggar hukum. Adapun landasan hukum masing-masing kedua gugatan tersebut didasarkan pada ketentuan buku III Pasal 1243 Burgerlijk Wetboek (atau yang selanjutnya dapat disingkat dengan BW)

1Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006,

(2)

untuk wanprestasi dan Pasal 1365 BW untuk gugatan perbuatan melanggar hukum.

Amat penting untuk mempertimbangkan apakah seseorang akan mengajukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi atau karena perbuatan melanggar hukum, karena akan ada perbedaan dalam pembebanan pembuktian, perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Oleh karena itu, pada praktek yang sering terjadi pengajuan gugatan antara wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum selalu terpisah, tetapi untuk keadaan tertentu yang menurut pertimbangan hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut apabila menganggap bahwa antara gugatan wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum tersebut mempunyai hubungan saling terkait antara satu dengan yang lainnya, maka penggabungan tersebut masih dibolehkan.

Agar tidak terjadi kebingungan antara gugatan wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum maka perlu dibedakan dengan seksama apakah perbuatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap isi kontrak atau merupakan suatu perbuatan yang timbul diluar keharusan yang terdapat dalam hubungan kontraktual sehingga menimbulkan kerugian sebagai akibat dilanggarnya suatu hak yang dimiliki orang lain.2 Hal ini diperlukan agar saat akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis tidak tercampur aduk yang akan menimbulkan kekeliruan posita dan akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri.

(3)

Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung tidak membenarkan adanya penggabungan gugatan wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Beberapa Yurisprudensi tersebut antara lain yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 1875 K/Pdt/1984 tertanggal 24 April 1986 dan Putusan Mahkamah Agung No. 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001.3

Seringkali walaupun pengajuan gugatan antara wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum dipisah, namun masih banyak pula masyarakat yang mendalilkan gugatannya dalam satu perkara sekaligus atau dengan kata lain dilakukan penggabungan gugatan antara wanprestasi sekaligus perbuatan melanggar hukum. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung mengenai dibolehkannya penggabungan antara wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum.

Dalam Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (atau yang selanjutnya dapat disingkat dengan RV), yang dahulu berlaku di Indonesia juga tidak diatur hal penggabungan gugatan-gugatan tersebut, namun karena hal ini dianggap tidak dilarang, maka dalam praktek acara perdata penggabungan-penggabungan juga dilaksanakan.4 Penggabungan tersebut dapat dilihat dari yurisprudensi Mahkamah Agung dalam putusan MA No.2686

3Ilman Hadi, masalah penggabungan PMH dan wanprestasi dalam satu gugatan,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt506b9b8dcec10/masalah-penggabungan-pmh-dan-w anprestasi-dalam-satu-gugatan, diakses pada tanggal 22 Agustus 2013

4R. Soeparmono,Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Mandar Maju, Bandung,

(4)

K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987, hal yang serupa juga dapat ditemui dalam putusan MA No.886 K/Pdt/2007 tanggal 24 Oktober 2007.5

BW tidak menjelaskan pengertian wanprestasi maupun perbuatan melanggar hukum, tetapi terdapat pengaturan terhadap akibat-akibat yuridis yang timbul dalam hal terjadi wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum yang dituangkan secara limitatif dalam beberapa pasal. Pemahaman pengertian tentang wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum dikembangkan melalui teori dan ajaran para ahli hukum.

Pengertian wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum perlu dipahami seacara mendalam agar tidak terjadi terlalu luasnya pengertian antara wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Pemahaman tersebut diperlukan sehingga saat akan mengajukan gugatan tidak berakibat hakim menolak atau tidak menerima suatu gugatan tersebut karena dianggap kabur (obscuur) ataupun mengandung kekeliruan.

Gugatan ganti kerugian dalam hukum perdata dapat terjadi karena adanya ingkar janji atau wanprestasi dan karena perbuatan melanggar hukum yang lazimnya disebut onrechtmatige daad, yang bentuk ganti kerugiannya berupa penggantian biaya, rugi dan bunga. Gugatan ganti kerugian atas dasar ingkar janji atau wanprestasi terjadi karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang ditimbulkan karena adanya suatu perjanjian, sedangkan gugatan ganti kerugian

5Ilman Hadi, masalah penggabungan PMH dan wanprestasi dalam satu gugatan,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt506b9b8dcec10/masalah-penggabungan-pmh-dan -wanprestasi-dalam-satu-gugatan, diakses pada tanggal 22 Agustus 2013

(5)

atas dasar perbuatan melanggar hukum karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang didasarkan atas norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan.

Kerangka hukum gugatan ganti kerugian atas dasar wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum berbeda, namun kenyataannya gugatan ganti kerugian atas dasar wanprestasi diajukan bersamaan dengan perbuatan melanggar hukum. Dibahasnya mengenai penyelesaian ganti kerugian atas dasar wanprestasi sekaligus perbuatan melanggar hukum adalah untuk mengetahui lebih lanjut kasus sebagaimana di bawah ini:

PT. FIP pengembang perumahan yang dikenal Perumahan Taman Pertama Surya. Pada tanggal 4 April 2005, SS membeli bidang tanah serta bangunan dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh PT. FIP sebagaimana dalam surat pengikatan jual beli No. 051/SPJB/FIB/ PTPS/IV/05 adapun luas tanah adalah 160 m2 (seratus enam puluh meter persegi). Harga disepakati sebesar Rp. 210.000.000,- (dua ratus sepuluh juta rupiah) yang cara pembayarannya ditentukan sebagai berikut :

Booking fee Rp. 5.000.000,- ; Angsuran DP I Rp. 15.750.000,- ; Angsuran DP II Rp. 15.750.000,- ; Angusran DP III Rp. 15.750.000,- ; Angsuran DP IV Rp. 15.750.000,- ; Total DP Rp. 68.000.000,- ;

Sisa pembayaran sebesar Rp. 142.000.000,- (seratus empat puluh dua juta rupiah) akan dibayar melalui fasilitas KPR oleh Bank Pemberi KPR yang ditunjuk/disetujui SS . Ternyata dalam pembayaran angsuran DP I, II, III dan IV

(6)

SS terhambat, adapun rincian atas denda keterlambatan adalah total sebesar Rp. 16.029.250,-.

Pada tanggal 27 Oktober 2005 SS memohon kepada PT. FIP untuk dapat menempati rumah yang telah selesai dibangun sambil menunggu proses KPR pada Bank Niaga disetujui. PT. FIP menginjinkan SS menempati rumah sebagaimana tertuang dalam surat tertanggal 29 Oktober 2005.

Ternyata permohonan SS untuk mendapatkan KPR ditolak oleh Bank Niaga. Pada tanggal 1 Juni 2006 PT. FIP mengundang SS untuk menyelesaikan pelunasan pembayaran tanah dan bangunan di atasnya. SS hadir sebagaimana yang dimaksud dalam undangan tersebut dan meminta kelonggaran waktu untuk melunasi pembayaran. SS mengajukan permohonan KPR pada Bank Mandiri, berdasarkan surat tertanggal 1 September 2006 permohonan KPR SS ditolak oleh Bank Mandiri. PT. FIP merasa SS yang selama ini telah mendiami tanah dan bangunan dengan seizin PT. FIP ternyata tidak diiringi dengan keseriusan SS untuk melunasi pembayaran atas tanah dan rumah terperkara, maka menurut hukum SS dinyatakan telah melakukan perbuatan wanprestasi. PT. FIP menyampaikan Surat No. 043/FIP/PTPS/IX/96 tentang Pemutusan Pengikatan Jual Beli pada tanggal 23 September 2006 sebagaimana dalam surat pengikatan jual beli No. 051/SPJB/PTPS/ IV/05 tertanggal 4 April 2005 Pasal 8 poin c pada alinea terakhir dengan tegas menyatakan apabila Pihak Kedua membatalkan pembelian, lalai atau tidak dapat memenuhi kewajibannya..., hal mana cukup dibuktikan dengan lewat waktu, maka Pihak Pertama berhak secara sepihak membatalkan Surat Perjanjian Jual Beli….

(7)

PT. FIP memberikan tenggang waktu pengosongan selama 14 (empat belas) hari terhitung sejak terimanya surat tersebut oleh SS, meskipun telah diberikan batasan waktu SS tidak juga mengosongkan rumah, maka sudah selayaknya menurut hukum apabila SS dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum. PT. FIP tetap memberikan kelonggaran waktu kepada SS untuk segera melunasi sisa pembayaran atas tanah dan rumah dalam perkara aquo ini. PT. FIP mengajukan gugatan ke Pengadilan atas wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum.

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan No. 87/PDT.G/2006/PN.LP tanggal 27 Agustus 2007 yang amarnya sebagai berikut :

Mengabulkan gugatan Penggugat (Konpensi) untuk sebagian ;

Menyatakan Surat No. 043/FIP/PTPS/IX/06 tentang pemutusan Pengikatan Jual Beli tertanggal 23 September 2006 adalah sah, dan harus dipatuhi dengan segala akibat hukumnya.

Menyatakan tindakan Tergugat (dalam Konpensi) yang tidak melunasi pembayaran atas sebidang tanah dan bangunan yang ada di atasnya yang dikenal dengan Perumahan Taman Permata Surya sebagaimana tertuang dalam Surat Pengikatan Jual Beli No. 051/SPJB/FIB/PTPS/IV/05 tanggal 4 April 2005 dan surat Perjanjian Tambahan (Addendum) No. 001/Add/FIP/PTPS/05 tanggal 4 April 2005 adalah perbuatan Wanprestasi. Menyatakan tindakan Tergugat (dalam Konpensi) yang tidak segera mengosongkan/meninggalkan rumah dan tanah terperkara sebagai perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad).

Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa pada tingkat banding atas permohonan SS dalam putusan No. 25/Pdt/2008/PT-Mdn tanggal 24 April 2008 yang amarnya sebagai berikut:

(8)

Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tanggal 27 Agustus 2007 Nomor: 87/Pdt.G/2006/PN.LP sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Mengabulkan gugatan Penggugat Konpensi sebagian ;

Menyatakan Surat No. 043/FIP/PTPS/IX/06 tentang pemutusan Pengikatan Jual Beli tertanggal 23 September 2006 adalah sah dan harus dipatuhi dengan segala akibat hukumnya.

Mahkamah Agung yang memeriksa pada tingkat kasasi dalam putusannya No. 2105 K/Pdt/2009, amar putusannya menyatakan sebagai berikut:

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : SS tersebut ;

Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 25/Pdt/2008/PT-Mdn tanggal 24 April 2008 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 87/PDT.G/ 2006/PN.LP tanggal 27 Agustus 2007.

Putusan Mahkamah Agung tersebut disertai pertimbangan hukum sebagai berikut:

Ditinjau dari segi aspek hukum antara Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum mempunyai perbedaan yang prinsip dari sumber, bentuk dan wujudnya karena untuk wanprestasi diatur dalam pasal 1239 BW sedang Perbuatan Melanggar Hukum diatur dalam pasal 1365 BW sehingga terdapat perbedaan teori dan dasar hukumnya. Dengan demikian maka gugatan Penggugat kabur dan cukup alasan untuk menyatakan eksepsi Tergugat dapat dikabulkan dan gugatan Penggugat tidak dapat diterima ;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: SS dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 25/ Pdt/ 2008/PT-Mdn tanggal 24 April 2008 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 87/PDT.G/ 2006/PN.LP tanggal 27 Agustus 2007 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana tersebut di atas.

Di dalam praktek pengadilan sering ditemui perbedaan pendapat yang diberikan oleh hakim dalam memutuskan perkara penggabungan gugatan atas dasar wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Perbedaan tersebut adalah

(9)

hakim dapat menolak atau menerima pengajuan penggabungan gugatan atas dasar wanprestasi sekaligus perbuatan melanggar hukum

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas, maka yang dibahas, yaitu:

a. Karakteristik wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum

b. Ratio decidendi terhadap beberapa putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan penggabungan gugatan atas dasar wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum

3. Tujuan Penelitian

a. Menganalisis karakteristik wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum b. Menganalisis ratio decidendi terhadap beberapa putusan Mahkamah

Agung yang terkait dengan penggabungan gugatan atas dasar wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum. Putusan-putusan tersebut antara lain : No. 2105/K/Pdt/2009, No. 2172/K/Pdt/2012, No. 890/K/Pdt/2007, No. 767 PK/Pdt/2010.

4. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua manfaat yang dapat diperoleh, yaitu: 4.1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya

(10)

b. Sebagai bahan informasi bagi akademisi maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut.

4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan pemikiran berkaitan penggabungan gugatan ganti rugi atas dasar Wanprestasi sekaligus Perbuatan Melanggar sehingga diharapkan:

a. Perusahaan pengembang perumahan atau developer lebih berhati-hati dalam memberikan izin kepada pembeli untuk dapat menempati rumah sementara Kredit Kepemilikan Rumah belum sepenuhnya terealisasi.

b. Masyarakat yang dirugikan haknya dalam mengajukan gugatan ganti rugi melalui pengadilan dapat mempertimbangkan beban pembuktian yang dianggap menguntungkan bagi penggugat untuk memudahkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.

5. Kajian Pustaka

5.1. Konsep Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum

Perikatan dapat dilahirkan karena perjanjian dan karena undang-undang. Perikatan yang lahir karena perjanjian apabila dalam pelaksanaannya salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian, maka konsekuensi yang terjadi adalah adanya ingkar janji atau wanprestasi. Namun jika perikatan yang lahir karena undang-undang, di mana prestasi yang timbul karena undang-undang maka yang terjadi adalah adanya perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad.

(11)

Apabila didasarkan atas perikatan ini, maka prestasi yang harus dipenuhi akibat adanya perjanjian dengan prestasi yang harus dipenuhi akibat ditimbulkan oleh undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan adalah berbeda.

Apabila memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa dasar gugatan ganti kerugian atas dasar ingkar janji atau wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad adalah berbeda, yaitu gugatan wanprestasi terjadi karena tidak dipenuhinya perjanjian, sedangkan gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum terjadi apabila tidak dipenuhinya kewajiban didasarkan atas undang-undang.

Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 BW. Perjanjian jual beli jika dibuat telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 1320 BW, maka perjanjian itu mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang, sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 BW yang menentukan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.

Menurut Subekti, seseorang dikatakan telah wanprestasi apabila: 6 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

(12)

Wujud dari tidak memenuhi perikatan itu, ada 3 (tiga) macam, yaitu : 7 1. debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan;

2. debitur terlambat memenuhi perikatan;

3. debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.

Perbuatan melanggar hukum secara luas diartikan sebagai berikut: “Berbuat atau tidak berbuat melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan

kewajiban hukum orang yang berbuat itu sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas masyarakat, terhadap diri atau barang-barang orang lain”.8 Sedangkan menurut Soetojo Prawirohamidjojo adalah: “Suatu perbuatan atau kelalaian yang apakah mengurangi hak orang lain atau melanggar kewajiban hukum orang yang berbuat, apakah bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan sikap hati-hati, yang pantas di dalam lalu lintas masyarakat terhadap orang lain atau barangnya”.9

Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, di mana debitur

7Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan , Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2001.h.16. 8 Ibid., h. 278.

9Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Onrechtmatige Daad, Djulami, Surabaya, 1979, h. 7.

(13)

dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi).10

Hal ini dapat dibaca dalam Pasal 1243 BW, yang menentukan : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya”. Jadi, maksud “berada dalam keadaan lalai” ialah peringatan atau

pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Apabila saat ini dilampauinya maka debitur ingkar janji (wanprestasi). Pasal 1238 BW, mengatur cara pemberitahuan itu dilakukan. Dalam hal “pernyataan lalai” diperlukan dalam hal seseorang meminta ganti rugi

atau meminta pemutusan perikatan dengan membuktikan adanya ingkar janji. Menurut Ilmu Hukum Perdata kalau kreditur menuntut adanya pemenuhan, maka lembaga pernyataan lalai tidak diperlukan, sebab hak untuk mendapatkan pemenuhan itu sudah ada dalam perikatan itu sendiri sedangkan hak untuk meminta ganti rugi atau pemutusan, dasarnya ialah : sudah dilakukannya wanprestasi oleh debitur, karena itu, di sini lembaga pernyataan lalai diperlukan sekali, namun demikian kenyataannya di dalam praktek Pengadilan (Yurisprudensi) apabila kreditur menuntut pemenuhan, lembaga pernyataan lalai diperlukan juga.

Dalam perbuatan melanggar hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi, jadi kapanpun seseorang dirugikan haknya sebagai akibat

(14)

adanya perbuatan melanggar hukum maka orang tersebut dapat langsung menuntut haknya melalui mekanisme ganti rugi. Mengenai siapa yang diwajibkan untuk membuktikan adanya perbuatan melanggar hukum, menurut Pasal 1865 BW, menentukan: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atas peristiwa tersebut”. Hal ini berarti bahwa dalam perbuatan melanggar hukum,

yang diwajibkan untuk membutikan adanya perbuatan melanggar hukum adalah pihak yang haknya dilanggar yang harus membuktikan bahwa haknya telah dilanggar oleh orang lain. Oleh karenanya jika pihak yang merasa haknya dirugikan, namun tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran hak karena salah satu unsur tidak terpenuhi, maka gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum tidak akan berhasil.

Ganti rugi dalam wanprestasi diatur dalam Pasal 1246 BW, yang menyatakan:” biaya, ganti rugi, dan bunga yang boleh dituntut kreditur, terdiri

atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”.

Subekti menjelaskan tentang biaya, ganti rugi, dan bunga adalah sebagai berikut:11

1. Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak 2. Yang dimaksud dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan

barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur

(15)

3. Yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

Dalam perbuatan melanggar hukum tidak terdapat pengaturan ganti rugi yang pasti, namun ketentuan ganti rugi dalam perbuatan melanggar hukum dianalogikan kedalam ketentuan ganti rugi yang timbul karena wanprestasi, yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 1246 BW. Jadi bentuk ganti rugi dalam perbuatan melanggar hukum terdiri dari penggantian biaya, rugi, dan bunga.

5.2. Gugatan Ganti Rugi Atas Dasar Wanprestasi Sekaligus Perbuatan Melanggar Hukum

Sebagaimana dijelaskan diatas, meskipun berbeda namun dimungkinkan gugatan ganti kerugian atas dasar ingkar janji diajukan sekaligus gugatan perbuatan melanggar hukum sebagaimana dikemukakan oleh Soetojo Prawirohamidjojo sebagai berikut: “Suatu wanprestasi dapat sekaligus menimbulkan perbuatan yang onrechtmatige daad, asalkan faktanya itu merupakan wanprestasi dan faktanya itu sendiri terjadi di luar kewajiban yang diharuskan oleh kontrak”.12

Memperhatikan pendapat Soetojo Prawirohamidjojo di atas dapat dijelaskan bahwa ingkar janji atau wanprestasi dapat sekaligus perbuatan melanggar hukum dengan pertimbangan bahwa selama yang dilanggar adalah hal-hal di luar kontrak atau perjanjian. Mengenai diperkenankannya digabung antara perbuatan melanggar hukum dengan ingkar janji tersebut, Mahkamah

(16)

Agung dalam putusannya Nomor : 3201 K/Pdt/1991 perihal tidak dipenuhinya suatu perjanjian berakibat timbulnya ingkar janji atau wanprestasi sekaligus perbuatan melanggar hukum, dalam kasus antara Fransiskus Xaverius Soeharno bertindak sebagai penggugat melanggar Ibrahim, memperkenankan antara wanprestasi sekaligus perbuatan melanggar hukum digabung dalam satu gugatan.

Kumulasi (Cumulatie van Rechtsvorderingen) atau “Samenvoeging” adalah merupakan penggabungan lebih dari satu gugatan, yaitu kumulasi subyektif dan kumulasi obyektif. Dikatakan sebagai kumulasi subyektif kalau dalam satu surat gugatan terdapat beberapa penggugat atau beberapa tergugat, sedangkan dapat dikatakan kumulasi obyektif apabila satu orang penggugat mengajukan beberapa gugatan kepada satu orang tergugat.13 Dalam pembahasan tentang penggabungan gugatan wanprestasi sekaligus perbuatan melanggar hukum ini maka penggabungan yang dimaksud termasuk dalam kumulasi obyektif.

Dalam peraturan-peraturan yang pernah berlaku di Indonesia juga tidak pernah mengatur tentang adanya penggabungan gugatan antara wanprestasi sekaligus perbuatan melanggar hukum. Pada praktek acara perdata hal tersebut tidak dilarang sehingga dianggap dibolehkan.

Akan tetapi, pada pihak lainnya, sesuatu penggabungan gugatan-gugatan adalah soal ketertiban umum/ketertiban beracara karena mengenai processuele

doelmatigheid.

Mengingat hal penggabungan gugatan-gugatan merupakan juga sesuatu masalah yang berkaitan dengan ketertiban umum, in casu ketertiban

(17)

beracara, maka hakim kasasi juga berwenang menilai hal penggabungan gugatan-gugatan kalau nampak jelas adanya pelanggaran terhadap ketertiban umum/ketertiban beracara tersebut. Pada azasnya penggabungan gugatan-gugatan telah dianggap sebagai penilaian mengenai fakta akan tetapi apabila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum/ketertiban beracara dengan adanya penggabungan gugatan-gugatan, maka hal ini dapat dipandang sebagai salah menerapkan hukum yang ditentukan secara kasus demi kasus.14

Pelanggaran terhadap ketertiban umum/ketertiban beracara diatas maksudnya adalah merumuskan gugatan harus terang dan jelas atau tegas, jadi dalam posita gugatan didasarkan atas perjanjian, namun dalam petitum dituntut agar tergugat dinyatakan melakukan perbuatan melanggar hukum, kontruksi gugatan semacam itu mengandung kontradiksi, karena posita berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Hal semacam itulah yang dianggap melanggar ketertiban umum/ketertiban beracara yang akhirnya dianggap obscuur libel.

Sering dijumpai dalam praktek orang yang dirugikan haknya dalam menuntut ke pengadilan mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Hal tersebut dapat diartikan telah terjadi penggabungan tuntutan yang disebut dengan kumulasi obyektif. Penggabungan tersebut dibolehkan walaupun pada umumnya tidak memiliki hubungan yang erat antara tuntutan yang satu dengan yang lain. Terdapat pengecualian dalam hal-hal tertentu kumulasi obyektif tersebut dilarang, antara lain:15

14Ibid., h.107

(18)

1. Kalau untuk suatu tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan suatu acara khusus (misalnya gugat cerai) sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (misalnya gugatan untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak boleh digabung dalam satu gugatan;

2. Demikian pula apabila hakim tidak wenang (secara relatif) untuk memeriksa salah satu tuntutan yang diajukan bersama-sama dalam satu gugatan dengan tuntutan lain, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan

3. Tuntuan tentang “bezit” tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang “eigendom” dalam satu gugatan (Pasal 103 RV).

Lebih khusus dalam penggabungan gugatan wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum, terdapat teori yang menentang penggabungan tersebut karena menganggap pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum ditinjau dari sumber, bentuk, maupun wujudnya sebagaimana telah dijelaskan perbedaannya pada sub bab sebelumnya. Teori tersebut dikemukakan oleh Yahya Harahap, yang kemudian menyampaikan bahwa dalam merumuskan posita atau dalil gugatan:16

1. Tidak dibenarkan mencampuradukkan wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum dalam gugatan;

2. Dianggap keliru merumuskan dalil perbuatan melanggar hukum dalam gugatan jika yang terjadi, in konkreto secara realistis adalah wanprestasi;

3. Atau tidak tepat jika gugatan mendalilkan wanprestasi, sedang peristiwa hukum yang terjadi secara objektif adalah perbuatan melanggar hukum.

Namun apabila terdapat pemisahan secara tegas antara fakta wanprestasi dan fakta perbuatan melanggar hukum, maka penggabungan atau kumulasi tersebut masih dimungkinkan.

16 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,Persidangan,Penyitaan,

(19)

Kumulasi gugatan tidak diatur dalam het Herziene Indonesisch Reglement (atau yang selanjutnya dapat disingkat HIR) , namun gugatan diajukan oleh seseorang karena ia merasa haknya dilanggar, jadi dalam hal ini ada kepentingan dari yang bersangkutan sehubungan dengan pengajuan gugat tersebut, yaitu adanya suatu fakta hukum yang menjadi dasar gugat.17

Dalam praktek peradilan yang sering terjadi adalah banyak yang masih menggabungkan wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum, hal ini didasarkan pada pedoman doktrin dan beberapa yurisprudensi yang membolehkan. Hal tentang penggabungan ini dibolehkan karena memang HIR/RBG tidak mengatur tentang penggabungan gugatan, hal ini diserahkan dalam praktek, namun ada unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam penggabungan gugatan:18

a) Adanya hubungan yang erat (hubungan batin) dari perkara yang satu dengan lainnya atau koneksitas;

b) Subyek hukum para pihak sama (penggugat dan tergugat); c) Memudahkan proses dan menghindarkan kemungkinan

putusan yang berlainan atau saling bertentangan; d) Prinsip beracara yang cepat dan murah;

e) Bermanfaat ditinjau dari segi acara (processueel doelmatig).

Ada hubungan erat maksudnya adalah dalam gugatan perkara biasa yang sifatnya umum dan memiliki korelasi yang mendasar yang satu dengan yang lainnya atau koneksitas maka penggabungan tersebut dapat dibenarkan. Tetapi apabila suatu gugatan yang karena sifat perkaranya merupakan gugatan yang

17

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam

teori dan praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997, h.54.

18

(20)

spesifik diatur dengan perundang-undangan atau peraturan-peraturan khusus seperti: perkara tentang hak cipta, paten, merek, perburuhan, kepailitan, dan lain-lain, merupakan gugatan yang berdiri sendiri dan tidak mungkin digabung dengan gugatan perkara yang bersifat umum karena gugatan perkara yang satu dengan yang lainnya tersebut tidak ada hubungan erat.19

Subyek hukum para pihak sama (penggugat dan tergugat) artinya apabila dalam satu pengadilan terdapat dua perkara yang terkait erat satu dengan lainnya dan para pihak penggugat dan tergugat juga adalah orang yang sama , maka kedua perkara tersebut dapat digabungkan.

Memudahkan proses dan menghindarkan kemungkinan putusan yang berlainan atau saling bertentangan artinya apabila terdapat dua perkara yang saling berkaitan maka dengan adanya penggabungan akan menghindarkan adanya putusan yang saling bertentangan dalam kasus yang sama. Hal ini disebabkan apabila gugatan digabung dalam satu gugatan, dapat dipastikan hanya ada putusan tunggal yang benar-benar konsisten.20

Sebagai contoh, gugatan penggarapan atau penguasaan tanah yang dilakukan 20 (duapuluh) orang. Apabila gugatan digabung dalam satu gugatan, dapat dipastikan hanya ada putusan tunggal yang benar-benar konsisten. Lain halnya, jika dipecah sebanyak 20 (duapuluh) perkara. Kemungkinan besar terjadi saling pertentangan. Kemungkinan saling bertentangan semakin besar terjadi, apabila masing-masing perkara ditangani oleh majelis hakim yang berbeda. Bisa terjadi, putusan majelis yang satu menyatakan tanah terperkara milik penggarap A, majelis yang lain menyatakan tanah terperkara milik penggugat atau penggarap C.21

19Ibid., h. 102

20Yahya Harahap-I, Op.Cit., h.104

(21)

Prinsip beracara yang cepat dan murah artinya dengan penggabungan tersebut akan tercipta peradilan yang sederhana karena penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal dan dalam satu putusan sehingga hal ini akan mempercepat proses persidangan dan tentunya tidak menghabiskan banyak biaya. Sebaliknya, jika masing-masing digugat secara terpisah dan berdiri sendiri, terpaksa ditempuh proses penyelesaian terhadap masing-masing perkara, hal ini tentu akan memerlukan waktu persidangan yang lama dan biaya yang mahal.22

Sebagaimana contoh diatas, melalui sistem penggabungan, tercipta pelaksanaan penyelesaian yang bersifat sederhana, cepat, dan biaya murah dengan jalan menggabungkan gugatan dan tuntutan kepada masing-masing tergugat dalam satu gugatan, dan diperiksa secara keseluruhan dalam satu proses yang sama. Sekiranya hukum acara tidak membolehkan penggabungan, penggugat sebagai pemilik tanah harus mengajukan sebanyak 20 (duapuluh) gugatan yang masing-masing berdiri sendiri. Dalam keadaan yang seperti itu proses pemeriksaan memakan waktu dan biaya yang mahal.23

Apabila antara masing-masing gugatan memiliki hubungan erat maka akan memudahkan proses dan menghindarkan terjadinya kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan. Hal penggabungan inilah yang dimaksud dengan bermanfaat ditinjau dari segi acara, karena akan mempermudah proses persidangan itu sendiri.

22Ibid.

(22)

6. Metode Penelitian

6.1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Pendekatan yang digunakan adalah menggunakan statute approach, conseptual approach, dan case

approach24:

Statute Approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas.

Conceptual Approach yaitu suatu pendekatan dimana membahas pendapat

para sarjana melalui studi literature sebagai pendukung

Case Approach yaitu dengan membahas kasus berkaitan dengan

penggabungan gugatan ganti rugi atas dasar Wanprestasi sekaligus Perbuatan Melanggar Hukum yang telah diputus pengadilan.

6.2. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan dan penulisan tesis ini adalah:

24 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,Jakarta,

(23)

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dalam hal ini peraturan perundang-undangan (BW dan HIR), Undang-undang Mahkamah Agung, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dan putusan pengadilan (Mahkamah Agung RI) antara lain: No. 2105/K/Pdt/2009, No. 2172/K/Pdt/2012, No. 890/K/Pdt/2007, No. 767 PK/Pdt/2010.

2. Bahan Hukum Sekunder, meliputi buku, jurnal, artikel,makalah, penelusuran internet dan hasil penelitian

6.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara menginventarisir peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan pustaka, serta tulisan-tulisan lainnya untuk memperoleh bahan hukum yang sesuai dengan objek penelitian yang dikaji dan untuk selanjutnya disusun secara sistematis berdasarkan pokok bahasan dalam penelitian.

6.4. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif deskriptif, dengan menggambarkan dan mengkaji data kepustakaan dan data lapangan dalam bentuk pernyataan dengan teliti dan sistematis, dengan menggunakan metode deduktif, yaitu membahas masalah-masalah yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.

(24)

7. Pertanggungjawaban Sistematika

Sistematika dari penilitian tesis ini akan terdiri dari 4 bab, dan diantara keempat bab tersebut semuanya mempunyai relevansi yang erat karena kedudukanya saling melengkapi antara bab yang satu dengan bab yang lain.

Bab I Pendahuluan yang didalamnya berisi gambaran mengenai hal-hal yang memberikan penjelasan mengenai latar belakang, kasus posisi, permasalahan, dan juga rumusannya secara singkat sebelum memulai pembahasan yang selanjutnya. Bab ini pada dasarnya merupakan suatu pengantar yang bersifat umum sebelum pada pokok permasalahan yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

Selanjutnya dalam Bab II merupakan penjelasan dari permasalahan yang pertama yaitu karakteristik wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Bab ini disajikan dalam bentuk uraian secara teoritis yang akan menguraikan mengenai ingkar janji dan perbuatan melanggar hukum serta konsekuensi hukumnya. Sub babnya terdiri atas pengertian ingkar janji dan akibat hukumnya dan pengertian perbuatan melanggar hukum serta akibat hukumnya.

Dalam Bab III dibahas mengenai ratio decidendi terhadap beberapa putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan penggabungan gugatan atas dasar wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Pada bab ini akan diuraikan mengenai alasan atau pertimbangan hukum yang dipakai hakim dalam memutus perkara antara lain: No. 2105/K/Pdt/2009, No. 2172/K/Pdt/2012, No. 890/K/Pdt/2007, No. 767 PK/Pdt/2010 sehingga dapat diketahui pertimbangan

(25)

hakim yang menolak maupun yang membolehkan penggabungan gugatan antara wanprestasi sekaligus perbuatan melanggar hukum.

Sedangkan Bab IV penutup, di dalam bab ini berisi kesimpulan dari seluruh permasalahan yang telah dibahas dari bab-bab sebelumnya yaitu bab kedua dan bab ketiga, yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu ringkasan yang singkat, runtut dan utuh. Dalam Bab IV ini juga akan disampaikan beberapa saran yang bertujuan sebagai alternatif, solusi dan masukan yang diberikan terhadap kesimpulan dari semua yang telah diuraikan, yang diharapkan disini adalah masukan yang berguna dalam rangka penegakan hukum yang berkaitan dengan penggabungan gugatan ganti rugi atas dasar Wanprestasi sekaligus Perbuatan Melanggar Hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyuntikan estro-plan (PGF-2α sintetis) sebanyak dua kali selang 11 hari dari penyuntikan pertama efektif menyerentakkan berahi

yang telah diuraikan, maka penelitian yang akan dilakukan yaitu meneliti pengaruh karakteristik dewan komisaris dengan variabel ukuran dewan komisaris (board size), jumlah

Bahwa Negara melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2B ayat (2), menjamin Hak setiap anak atas kelangsungan

Pada penelitian ini memiliki tujuan antara lain untuk mengukur perbedaan kualitas layanan perpustakaan bagi anak berkebutuhan khusus di SMPN 29 Surabaya dengan

Studi tentang penilaian risiko kecurangan pelaporan keuangan terutama telah berfokus pada memeriksa beberapa faktor risiko potensial dari kecurangan atau red flags yang

Hal ini disebabkan walaupun sampel penelitian yang diambil berbeda, namun tema yang diambil sama, yakni mengenai efektivitas program.Melihat dari hasil penelitian yang

(2) dua unsur lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif). Unsur subjektif mencakup adanya kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang Social Support terhadap pertumbuhan dan