• Tidak ada hasil yang ditemukan

P2M Puskesmas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "P2M Puskesmas"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR (P2M)

DISUSUN SEBAGAI PERSYARATAN TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN

MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Disusun Oleh:

M E L I A I N D A S A R I

030.09.149

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...1

BAB II. PEMBAHASAN A. Pengertian...2

B. Penanggulangan KLB Penyakit Menular dan Program Pencegahannya....3

C. Macam Penyakit-Penyakit Menular...3

D. Cara Penularan Penyakit Menular...4

E. Program Pemberantasan Penyakit Menular...4

F. Penyakit Menular Potensial Mewabah...6

1. Diare...6

G. Penyakit Menular Endemik Tinggi...9

1. Tuberkulosis Paru...9

H. Penyakit Menular Penting Lain...24

1. ISPA...24

BAB III. PENUTUP A. Kesimpulan...33

B. Saran...33 DAFTAR PUSTAKA

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam pembangunan kesehatan, Indonesia memiliki masalah kesehatan yang cukup kompleks, dibuktikan dengan meningkatnya kasus penyakit menular, banyaknya jumlah kematian yang terjadi, serta meningkatnya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, didukung dengan perolehan Indonesia dengan peringkat 4 sedunia untuk kasus tuberculosis, selain itu Indonesia juga memperoleh peringkat 1 untuk penularan HIV tercepat. Hal ini merupakan masalah kesehatan yang sangat membutuhkan perhatian dan pembenahan. Namun dalam pembenahaan pembangunan kesehatan tidaklah mudah karena dipersulit dengan adanya keterbatasan sumber daya manusia baik dalam aspek kualitas maupun kuantitas. Dengan adanya Puskesmas sebagai upaya keperawatan kesehatan masyarakat yang terdiri dari upaya wajib dan upaya pengembangan, diharapkan pemberian pelayanan kesehatannya dapat mencegah dan memberantas penyakit menular melalui upaya wajibnya yaitu P2M. Pengertian Penyakit Menular, Kejadian Luar Biasa (KLB), dan Wabah Penyakit Menular.

Di berbagai negara masalah penyakit menular dan kualitas lingkungan yang berdampak terhadap kesehatan masih menjadi isu sentral yang ditangani oleh pemerintah bersama masyarakat sebagai bagian dari misi Peningkatan Kesejahteraan Rakyatnya. Faktor lingkungan dan perilaku masih menjadi risiko utama dalam penularan dan penyebaran penyakit menular, baik karena kualitas lingkungan, masalah sarana sanitasi dasar maupun akibat pencemaran lingkungan. Sehingga insidens dan prevalensi penyakit menular yang berbasis lingkungan di Indonesia relatif masih sangat tinggi.

Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari pembangunan nasional. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat berperan penting dalam meningkatkan mutu dan daya saing Sumber Daya Manusia Indonesia.

(4)

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Penyakit menular ialah penyakit yang disebabkan oleh agent infeksi atau toksinnya, yang berasal dari sumber penularan atau reservoir, yang ditularkan/ ditansmisikan kepada pejamu (host) yang rentan. Penyakit menular (Communicable Desease) adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya agen penyebab yang mengakibatkan perpindahan atau penularan penyakit dari orang atau hewan yang terinfeksi, kepada orang atau hewan yang rentan (potential host), baik secara langsung maupun tidak langsung melalui perantara (vector) atau lingkungan hidup.

Kejadian Luar Biasa (KLB) ialah kejadian kesakitan atau kematian yang menarik perhatian umum dan mungkin menimbulkan kehebohan/ ketakutan di kalangan masyarakat, atau menurut pengamatan epidemiologik dianggap adanya peningkatan yang berarti (bermakna) dari kejadian kesakitan/ kematian tersebut kepada kelompok penduduk dalam kurun tertentu. Selain itu, KLB adalah kejadian yang melebihi keadaan biasa, pada satu/ sekelompok masyarakat tertentu atau terjadinya peningkatan frekuensi penderita penyakit, pada populasi tertentu, pada tempat dan musim atau tahun yang sama. Termasuk dalam KLB ialah kejadian kesakitan/ kematian yang disebabkan oleh penyakit-penyakit baik yang menular maupun yang tidak menular dan kejadian bencana alam yang disertai wabah penyakit.

Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (U.U. No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit yang menular).Suatu wabah dapat terbatas pada lingkup kecil tertentu (disebut outbreak, yaitu serangan penyakit) lingkup yang lebih luas (epidemi) atau bahkan lingkup global (pandemi).Kejadian atau peristiwa dalam masyarakat atau wilayah dari suatu kasus penyakit tertentu yang secara nyata melebihi dari jumlah yang diperkirakan.

B. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Program Pencegahannya

(5)

1. Pengobatan, dengan memberikan pertolongan penderita, membangun pos-pos kesehatan di tempat kejadian dengan dukungan tenaga dan sarana obat yang memadai termasuk rujukan.

2. Pemutusan rantai penularan atau upaya pencegahan misalnya, abatisasi pada KLB, DBD, kaporisasi pada sumur-sumur yang tercemar pada KLB diare, dsb.

3. Melakukan kegiatan pendukung yaitu penyuluhan, pengamatan/ pemantauan (surveinlans ketat) dan logistik.

Sedangkan untuk program pencegahan ialah mencegah agar penyakit menular tidak menyebar di dalam masyarakat, yang dilakukan antara lain dengan memberikan kekebalan kepada host melalui kegiatan penyuluhan kesehatan dan imunisasi.

C. Macam Penyakit-Penyakit Menular

Penyakit-penyakit menular dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu:

1. Penyakit menular potensial mewabah

Ke dalam kelompok ini dimasukkan sejumlah penyakit menular berikut:

a. Diare

b. Demam berdarah dengue

c. Malaria (di daerah endemik tinggi)

d. Filaria (di daerah endemik tinggi)

2. Penyakit menular endemik tinggi

Ke dalam kelompok ini dimasukkan sejumlah penyakit berikut:

a. Tuberkulosis paru b. Lepra (Morbus Hansen)

c. Patek (Framboesia)

d. Anjing gila (Rabies)

e. Antraks

3. Penyakit menular penting lain:

Ke dalam kelompok ini dimasukkan sejumlah penyakit berikut:

a. Penyakit menular seksual 1) Sifilis (Raja Singa)

2) Gonorhoe (kencing nanah) 3) HIV/ AIDS

b. Penyakit menular lain 1) Hepatitis-B

2) Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) D. Cara Penularan Penyakit Menular

Dikenal beberapa cara penularan penyakit menular yaitu:

1. Penularan secara kontak, baik kontak langsung maupun kontak tidak langsung (benda-benda bekas dipakai pasien).

2. Penularan melalui vehicle seperti melalui makanan dan minuman yang tercemar. 3. Penularan melalui vector.

4. Penularan melalui suntikan, transfusi, tindik, dan tato.

(6)

1. Tujuan

Program ini bertujuan menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kecacatan akibat penyakit menular dan tidak menular.

Penyakit menular yang diprioritaskan dalam program ini adalah: malaria, demam berdarah dengue, tuberkulosis paru, HIV/ AIDS, diare, polio, filaria, kusta, pneumonia, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), termasuk penyakit karantina dan risiko masalah kesehatan masyarakat yang memperoleh perhatian dunia internasional (public health risk of international concern).

2. Sasaran

a. Persentase desa yang mencapai Universal Child Immunization (UCI) sebesar

98%.

b. Angka Case Detection Rate penyakit TB sebesar 70% dan angka keberhasilan

pengobatan TB di atas 85%.

c. Angka Acute Flaccid Paralysis (AFP) diharapkan ≥ 2/100.000 anak usia kurang

dari 15 tahun.

d. Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang ditangani sebesar 80%. e. Penderita malaria yang diobati sebesar 100%.

f. CFR diare pada saat KLB adalah < 1,2%.

g. ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) mendapat pengobatan ART sebanyak 100%. h. Tersedianya dan tersosialisasikannyakebijakan dan pedoman, serta hukum

kesehatan penunjang program yang terdistribusi hingga ke desa.

i. Terselenggaranya sistem surveilans dan kewaspadaan dini serta penanggulangan

Kejadian Luar Biasa (KLB)/ wabah secara berjenjang hingga ke desa.

3. Kebijakan Pelaksanaan:

a. Pencegahan dan pemberantasan penyakit diarahkan untuk mendorong peran,

membangun komitmen, dan menjadi bagian integral pembangunan kesehatan dalam mewujudkan manusia Indonesia yang sehat dan produktif terutama bagi masyarakat rentan dan miskin hingga ke desa.

b. Pencegahan dan pemberantasan penyakit diselenggarakan melalui

penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, imunisasi, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta pengendalian faktor risiko baik di perkotaan dan di perdesaan.

(7)

c. Pencegahan dan pemberantasan penyakit diarahkan untuk mengembangkan dan

memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokus pemantauan wilayah setempat dan kewaspadaan dini, guna mengantisipasi ancaman penyebaran penyakit antar daerah maupun antar negara yang melibatkan masyarakat hingga ke desa.

d. Pencegahan dan pemberantasan penyakit diarahkan untuk mengembangkan sentra

rujukan penyakit, sentra pelatihan penanggulangan penyakit, sentra regional untuk kesiapsiagaan penanggulangan KLB/ wabah dan bencana maupun kesehatan matra, serta kemampuan untuk melakukan rapid assessement dan rapid respons.

e. Pencegahan dan pemberantasan penyakit diarahkan untuk memantapkan jejaring

lintas program, lintas sektor, serta kemitraan dengan masyarakat termasuk swasta untuk percepatan program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular melalui pertukaran informasi, pelatihan, pemanfaatan teknologi tepat guna, dan pemanfaatan sumberdaya lainnya.

f. Pencegahan dan pemberantasan penyakit diarahkan untuk dilakukan melalui

penyusunan, review, sosialisasi, dan advokasi produk hukum penyelenggaraan program pencegahan dan pemberantasan penyakit di tingkat pusat hingga desa.

g. Pencegahan dan pemberantasan penyakit diarahkan untuk meningkatkan

profesionalisme sumberdaya manusia di bidang pencegahan dan pemberantasan penyakit sehingga mampu menggerakkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat secara berjenjang hingga ke desa.

h. Pencegahan dan pemberantasan penyakit diarahkan untuk menyiapkan,

mengadakan, dan mendistribusikan bahan-bahan yang esensial untuk mendukung penyelenggaraan program pencegahan dan pemberantasan penyakit hingga ke desa.

i. Pencegahan dan pemberantasan penyakit diarahkan untuk meningkatkan cakupan,

jangkauan, dan pemerataan pelayanan penatalaksanaan kasus penyakit secara berkualitas hingga ke desa.

F. PENYAKIT MENULAR POTENSI MEWABAH 1.

D IARE a) Definisi

(8)

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja (melembek sampai mencair) dan bertambahnya frekuensi lebih dari biasanya (lazimnya tiga kali atau lebih dalam sehari).

b) Agen Penyebab

Terdapat 6 kelompok penyebab penyakit diare, yaitu sebagai berikut : 1) Akibat peradangan usus yang disebabkan oleh :

 Bakteri (Vibrio cholera, Shigella, Salmonella, E.coli, Bacilus cereus, Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus, dan Camphylobacter jejuni).

 Virus (Rotavirus, Adenovirus, Norwalk + Norwalk like agent).

 Parasit :

 Protozoa :Entamoeba histolytica, Giardia lambia, Balantidium coli

 Cacing perut : Ascaris, Trichuris, Strongyloides

 Jamur : Candida

2) Akibat keracunan makanan atau minuman, baik oleh bakteri maupun bahan kimia

3) Akibat kekurangan gizi, yaitu kekurangan energi protein

4) Akibat tidak tahan terhadap makanan tertentu, misalnya intoleransi terhadap makanan (susu).

5) Akibat imunodefisiensi 6) Oleh sebab – sebab lain

Di antara agen penyebab tersebut di atas, yang potensial mewabah ialah Kolera

c) Penyebaran

Diare banyak terdapat di negara – negara Asia, Afrika dan Amerika Latin

d) Sumber penularan (Reservoir)

Sumber penularan ialah pasien diare dan carrier diare.

e) Cara penularan

Cara penularan diare ialah melalui makanan dan minuman yang tercemar dengan tinja atau cairan muntahan pasien. Vektor (lalat) dapat pula menularkan penyakit diare. Kuman yang terdapat pada kotoran dapat langsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan dan kemudian dimasukkan ke mulut atau dipakai untuk memegang makanan. Diare pada bayi dapat disebabkan puting susu ibu yang kotor.

f) Masa Inkubasi

Masa inkubasi ialah waktu antara masuknya agen ke dalam badan host sampai timbulnya gejala awal penyakit yang bersangkutan. Untuk penyakit Kolera ditetapkan menurut U.U.Karantina: 5 hari. Masa tunas penyakit diare dapat singkat (beberapa jam) sampai beberapa hari, tergantung pada etiologinya.

(9)

Masa penularan diare tergantung pada etiologinya. Masa penularan Kolera akan terus berlangsung selama dalam tinja dan cairan muntahan pasien terdapat agen penyebabnya. Masa penularan pada carrier Kolera dapat berlangsung selama 2 minggu.

h) Kekebalan dan Kerentanan

Faktor determinan untuk kekebalan dan kerentanan seseorang adalah faktor ekonomi, keadaan gizi, umur (balita lebih rentan), budaya (perilaku), kepadatan penduduk, ketersediaannya air jamban, dan sarana air bersih. Pasien yang baru sembuh dari penyakit diare mempunyai kekebalan yang hanya berlangsung singkat saja, sehingga reinfeksi mudah terjadi.

i) Tatalaksana pencegahan peristiwa diare

Pencegahan peristiwa diare dapat dilakukan dengan cara : 1) Penyuluhan kesehatan

2) Meningkatkan penggunaan air susu ibu (ASI)

3) Memperbaiki praktek pemberian makanan pendamping ASI 4) Penggunaan air bersih

5) Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan 6) Penggunaan jamban yang benar

7) Pembuangan tinja bayi dan anak – anak yang benar 8) Imunisasi campak

j) Tatalaksana penderita, kontak, dan lingkungan pada peristiwa diare

Tatalaksana penderita diare di rumah :

1) Meningkatkan pemberian cairan rumah tangga seperti kuah sayur, air tajin, dan larutan gula garam,bila ada berikan oralit.

2) Meneruskan pemberian makanan lunak yang tidak merangsang selama diare serta makanan ekstra sesudah diare.

3) Membawa pasien diare ke sarana kesehatan, bila tidak membaik dalam 3 hari atau ada salah satu tanda sebagai berikut :

 Buang air besar encer semakin sering dalam jumlah banyak.

 Ada muntah yang berulang.

 Rasa haus yang nyata.

 Tidak makan / minum.

 Demam yang tinggi.

 Ada darah dalam tinjanya.

Tatalaksana penderita diare di sarana kesehatan : 1) Rehidrasi oral dengan oralit

2) Memberikan cairan intravena dengan Ringer laktat untuk pasien dengan dehidrasi berat atau tidak bisa minum

3) Penggunaan obat secara rasional

4) Nasihat tentang meneruskan pemberian makanan, rujukan dan pencegahan Pada orang – orang yang kontak (close contact) saat waktu terjadi KLB yang disebabkan Kolera, dapat diberikan prophilaksis dengan dosis sama dengan dosis terapi. Pada masyarakat di lingkungan pasien perlu diberikan penyuluhan tentang

(10)

diare, terutama yang menyangkut cara – cara penularan penyakit dan cara – cara pencegahannya.

k) Tatalaksana peristiwa KLB diare

Masa pra–KLB :

1) Meningkatkan kewaspadaan dengan surat edaran atau instruksi di setiap tingkatan

2) Intensifikasi surveilens 3) Membentuk Tim Gerak Cepat

4) Mengintensifkan penyuluhan kesehatan masyarakat 5) Meningkatkan kegiatan laboratorium

6) Perbaikan dan evaluasi sanitasi 7) Menyiapkan logistic

8) Meningkatkan kegiatan lintas program dan sektoral Masa KLB :

1) Pembentukan Pusat Rehidrasi misalnya dibalai desa, sekolahan dan sebagainya asal bangunan tersebut tidak menjadi satu dengan bangunan keluarga. Pusat Rehidrasi ini memberikan tatalaksana kepada pasien yang perlu dirawat serta memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien, mengatur logistic, mencatat kunjungan pasien dan jumlah yang dirawat di Pusat ini.

2) Meningkatkan peran Tim Gerak Cepat, setiap saat siap bergerak ke tempat – tempat yang terjangkit sesuai dengan data pasien dari Puskesmas atau Pusat Rehidrasi dan data penyelidikan epidemiologi.

Masa Pasca KLB :

Setelah KLB mereda, pengamat intensif masih dilakukan selama 2 minggu berturut–turut untuk menjaga kemungkinan timbulnya KLB susulan.

G. PENYAKIT MENULAR ENDEMIK TINGGI 1.

TUBERKULOSIS PARU a) Definisi

TBC adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Kuman TB terutama menyerang paru-paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (misalnya: tulang, kelenjar, kulit dll).

TB dapat menyerang siapa saja, terutama usia produktif/masih aktif bekerja (15 – 50 tahun) dan anak-anak. TB dapat menyebabkan kematian apabila tidak diobati, 50 % pasien TB akan menular setelah 5 tahun.

(11)

b) Tanda dan Gejala

Gejala utama TB yaitu batuk terus menerus dan berdahak selama 2 minggu atau lebih. Disamping gejala utama terdapat gejala lainnya seperti demam/meriang berkepanjangan, batuk bercampur dahak, sesak nafas dan nyeri dada, berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan kegiatan, berat badan turun, nafsu makan kurang dan rasa kurang enak badan.

c) Cara Penularan

TB menular melalui udara, sewaktu pasien batuk, bersih, meludah atau berbicara kuman keluar melalui percikan dahaknya. Kuman tersebut terhirup oleh orang sekitarnya. TB tidak menular lewat transfusi darah, air susu ibu dan alat makan dan minum yang telah dicuci.

d) Cara Mencegah Penularan

Beberapa cara dibawah ini agar tidak menularkan TB.

1. Tutup mulut dan hidung pada saat batuk/bersin dengan sapu tangan atau tisu. 2. Tidak meludah sembarangan (ditampung dan dibuang ke lubang WC lalu disiram

sampai bersih).

3. Sementara hindarilah kontak langsung dengan anak-anak balita. 4. Segera mencuci alat makan setelah digunakan.

5. Mencuci tangan dengan sabun dengan air mengalir/cairan pencuci tangan berbasis alkohol setelah menutup mulut pada saat batu/bersin.

6. Memakai masker jika bersama dengan orang lain.

e) Pencegahan

Beberapa langkah berikut agar untuk mencegah agar kita terhindar dari sakit TB : a. Membuka jendela setiap pagi, usahakan sinar mataharimasuk ke dalam rumah. b. Menutup mulut dan hidung jika ada orang batuk/bersin

c. Jemur dengan teratur alat-alat tidur (bantal, kasur, tikar, selimut dll) d. Makan makanan bergizi dan seimbang.

e. Tidak merokok

f. Bila mengalami gejala TB segera periksakan dri ke Puskesmas terdekat g. Olahraga dengan teratur.

(12)

f) Pemeriksaan Penunjang

Tes tuberkulin kulit (Mantoux)

Tes tuberculin atau tes Mantoux ini hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.tuberculosae, M.bovis, vaksinasi BCG, atau Mycobacterium pathogen lainnya. Dasar tes tuberculin ini adalah hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).

Tes tuberculin ini dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberculin P.P.D. (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U. (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U. dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U. (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U. masih memberikan hasil negative dapat diulangi dengan 250 T.U. (second strength). Bila dengan 250 T.U. masih memberikan hasil

negative, berarti tuberculosis dapat disingkirkan. Umumnya tes tuberculin dengan 5 T.U. saja sudah cukup berarti.

Setelah 48-72 jam tuberculin disuntikkan, akan timbul berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrate limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibody selular dan antigen tuberculin.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux dibagi menjadi : (1) Indurasi 0-5 mm (diameter) : Mantoux negative = No sensitivity

(2) Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = Low grade sensitivity (3) Indurasi 10-15 mm : Mantoux positive = Normal sensitivity

(4) Indurasi lebih dari 15 mm : Mantoux positive kuat = Hypersensitivity

Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi oleh Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positif palsu.

(13)

Hal-hal yang memberikan reaksi tuberculin berkurang (negative palsu) yakni :

 Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberculosis

 Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE)

 Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air, poliomyelitis

 Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin)

 Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosupresif lainnya

 Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan

Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux ± 5mm sudah dinilai positif.

Tes tuberkulin kulit akan menunjukkan hasil positif jika seorang anak terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Namun hasil positif tidak mengindikasikan adanya penyakit. Untuk mendiagnosis TB, tes ini digunakan bersama dengan pemeriksaan klinis dan roentgen dada. Tes tuberkulin kulit yang negatif tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis TB.

Tes ini dikategorikan sebagai positif jika ditemukan:

- Indurasi (tonjolan keras) ≥ 5 mm pada anak berisiko tinggi. Definisi risiko tinggi beberapa di antaranya adalah infeksi HIV dan kurang gizi yang berat. Kadang pada anak dengan HIV, kurang gizi yang berat, atau masalah lain yang menurunkan kekebalan tubuh, tes ini akan menunjukkan hasil negatif palsu karena kekebalan tubuh yang cukup dibutuhkan untuk memberikan reaksi terhadap tes

- Indurasi ≥ 10 mm pada anak lainnya, baik yang pernah menerima BCG atau tidak

- Roentgen dada yang mana akan menunjukkan perubahan yang tipikal untuk TB. Gambaran roentgen paling umum adalah memutihnya ( hiperopaque ) suatu area di paru paru dalam jangka waktu yang lama (persistent opacification) dengan pembesaran kelenjar getah bening di pangkal paru-paru (hilar) atau di sekitar pangkal saluran udara (subcarinal). Gambaran perubahan di bagian atas atau tengah paru-paru lebih umum ditemukan dibanding di bagian bawah. Anak dengan gambaran seperti ini yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik harus menjalani pemeriksaan TB lebih lanjut. Gambaran

(14)

roentgen dengan titik-titik putih yang tersebar di seluruh paru-paru (miliary) sangat sugestif untuk TB.

Pasien remaja umumnya memiliki gambaran roentgen dada serupa dengan pasien dewasa dengan adanya cairan di rongga pleura (pleural effusion) dan memutihnya bagian puncak paru-paru dengan pembentukan lubang (cavity). Pemeriksaan roentgen dada berguna dalam diagnosis TB pada anak. Karena itu roentgen dada harus diinterpretasikan oleh radiolog atau tenaga kesehatan yang terlatih dalam interpretasi roentgen.

Tes bakteriologis

Tujuan pemeriksaan mikroskopis adalah:

 Menegakkan diagnosis TB

 Menentukan potensi penularan

 Memantau hasil pengobatan pasien

Pengambilan spesimen :

Sputum adalah hasil sekresi mekanisme pembersihan dari trakea dan bronki serta dikeluarkan melalui mekanisme batuk. Sputum yang kemungkinan besar mengandung kuman BTA adalah yang berasal dari lesi paru terbuka. Sputum tersebut dapat berupa mukopurulen, purulen atau serosa.

Dibutuhkan tiga spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis TB secara mikroskopis. Spesimen dahak paling baik diambil pada pagi hari selama 3 hari berturut-turut (pagi-pagi-pagi), tetapi untuk kenyamanan penderita pengumpulan dahak dilakukan : Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS) dalam jangka waktu 2 hari.

1. Sewaktu hari -1 (dahak sewaktu pertama = A)

 Kumpulkan dahak spesimen pertama pada saat pasien berkunjung ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan)

 Beri pot dahak pada saat pasien pulang untuk keperluan pengumpulan dahak pada hari berikutnya.

2. Pagi hari -2 (dahak pagi = B)

 Pasien mengeluarkan dahak spesimen kedua pada pagi hari kedua setelah bangun tidur dan membawa spesimen ke laboratorium.

(15)

3. Sewaktu hari -2 (dahak sewaktu kedua = C)

 Kumpulkan dahak spesimen ketiga di laboratorium pada saat pasien kembali ke laboratorium pada hari kedua saat membawa dahak pagi (B).

Cara pengambilan bahan harus pada ruangan terbuka dengan sinar matahari langsung serta ventilasi yang baik. Cara pengumpulan sputum :

1. Dalam melakukan pengambilan, hindari pemeriksa berdiri di depan pasien . 2. Pastika pasien mengkumur atau membersihkan terlebih dahulu dengan

menggunakan air sebelum dahak dikeluarkan.

3. Apabila sputum sulit dikeluarkan pasien bisa diedukasi untuk minum air pada malam harinya sebelum, atau memberikan obat ekspektoran berupa 1 tablet gliseril guayakolat.

4. Kemudian arahkan pasien untuk menarik nafas 2-3 kali sebelum mengeluarkan sputum dengan cara membatukkan.

5. Setelah itu batukan secara keras agar dahak dapat keluar

6. Kemudian masukan dahak ke dalam pot kemudian tutup rapat. Sputum dimasukan ke dalam pot bermulut lebar , dimana pada umunya dengan diameter ≥6cm, bertutup rapat dan tidak mudah pecah.

Bila perlu hal di atas dapat diulang sampai mendapatkan dahak yang berkualitas baik dan volume yang cukup (3-5 ml)

Bila spesimen jelek, pemeriksaan tetap dilakukan dengan :

1. Mengambil bagian yang paling mukopurulen / kental kuning kehijauan 2. Diberi catatan bahwa ”spesimen tidak memenuhi syarat / air liur”

Bila tidak ada spesimen dahak yang dapat dikeluarkan, pot dahak harus dibuang, tidak dapat digunakan untuk pasien lain.

Sputum yang terbaik adalah sputum pada pagi hari untuk batuk kronik, sedangkan batuk akut dapat dilakukan pemeriksaan sputum pagi hari.

(16)

 Pembuatan sediaaan apus sputum

Spesimen dapat berupa sediaan langsung dan konsentrasi. Untuk sediaan langsung, dengan menggunakan ose steril langsung diambil sedikit sputum pada bagian yang purulen dan diratakan setipis mungkin dari 2/3 bagian permukaan kaca obyek. Sediaan konsentrasi dibuat dengan cara menghilangkan kontaminasi (dekontaminasi) terlebih dahulu baru kemudian dibuat sediaan apus. Sediaan konsentrasi selain untuk pemeriksaan mikroskopis dapat juga untuk kultur.

Sediaan apus yang baik ialah :

• Berasal dari dahak mukopurulen, bukan air liur.

• Berbentuk spiral-spiral kecil berulang (coil type), yang tersebar merata, ukuran 2 x 3 cm.

• Tidak terlalu tebal atau tipis.

• Setelah dikeringkan sebelum diwarnai, tulisan pada surat kabar 4 - 5 cm di bawah sediaan apus masih terbaca.

 Pewarnaan Tahan Asam

1.

Pewarnaan Ziehl-Neelsen

Merupakan pewarnaan diferensial untuk bakteri tahan asam. Bakteri tahan asam memiliki dinding sel yang tebal, terdiri dari lapisan lilin dan asam lemak mikolat.Sehingga walaupun dicuci dengan larutan asam belerang 5%, tetap mengikat zat warna fuksin karbol. Sedangkan bakteri yang tidak tahan asam akan melepaskan fuksin karbol bila dicuci dengan larutan asam belerang dan akan mengikat zat warna kedua yaitu biru metilen.

Bahan reagensia yang dipergunakan a. Fuksin karbol

Zat warna ini dilarutkan dengan 5% fenol sehingga mudah larut dalam bahan yang mengandung lipoid seperti dinding sel bakteri Mycobaterium.

b. H2SO4 / Asam Alkohol (HCL 3% + ALKOHOL 95%) yang berfungsi sebagai

dekolorisasi.

c. Biru Metilen (Methylene Blue) merupakan zat warna terakhir yang dipergunakan dalam pewarnaan Ziehl-Neelsen.

(17)

Cara kerja

1. Sedian sputum yang telah direkat, dituang larutan fuksin karbol selama 5 menit sambil dipanasi dengan api kecil sampai keluar uap (tidak boleh mendidih). 2. Cuci dengan air

3. Tuangi larutan H2SO4 5% selama 2 detik (untuk M.leprae : H2SO4 1% )

4. Cuci dengan alkohol 60% sampai tidak ada lagi warna merah yang mengalir dari sediaan.

5. Cuci dengan air, kemudian tuangi larutan air metilen biru selama 2 menit.

6. Cuci dengan air lalu keringkan.

2.

Pewarnaan Kinyoun-Gabbett (Tan) Cara kerja :

1. Pada sediaan sputum yang telah direkat, tuangkan larutan Kinyoun (fuksin karbol 4%) dan biarkan selama 3 menit.

2. Cuci dengan air.

3. Tuangkan larutan Gabbett.

4. Cuci dengan air lalu keringkan dengan kertas saring.

Cara menggunakan mikroskop untuk pemeriksaan dahak

1. Letakkan mikroskop di meja yang permukaannya datar, tidak licin, dan dekat sumber cahaya.

2. Bila mengggunakan sumber cahaya lampu: a. Atur tegangan lampu ke minimum

b. Nyalakan mikroskop memakai tombol ON

c. Sesuaikan dengan elan-pelan sampai intensitas cahaya yang diinginkan tercapai.

(18)

4. Letakkan sediaan yang telah diwarnai ke atas meja sediaan

5. Putar lempeng objektif ke objektif 10x.

6. Atur dengan tombol pengatur focus kasar dan pengatur focus halus sampai sediaan terlihat jelas.

7. Sesuaikan jarak antar pupil sampai gambar kiri dan gambar kanan menyatu dengan cara menggeser-geser

kedua lensa okuler karena setiap orang mempunyai jarak antar pupil yang berbeda-beda.

8. Fokuskan gambar dengan mata kanan dengan cara melihat ke dalam okuler kanan dan sesuaikan dengan tombol pengatur focus halus.

9. Fokuskan gambar dengan mata kiri dengan cara melihat ke dalam okuler kiri dan putar. cincin penyesuai diopter sampai didapatkan gambar yang paling jelas, baik untuk mata kiri maupun mata kanan.

10. Buka iris/diafragma sampai 70 – 80%, hingga lapangan pandang terang dengan merata.

11. Teteskan minyak imersi di atas sediaan (aplikator jangan menyentuh sediaan) dan putar lensa objektif 100x ke tempatnya sampai berbunyi ‘klik’

12. Fokuskan dengan menggunakan tombol pengatur focus halus (jangan menggunakan tombol pengatur focus kasar sebab dapat menyebabkan pecahnya lensa objektif maupun kaca sediaan) sampai didapatkan gambar yang paling jelas. 13. Gunakan pengatur tegangan lampu untuk mendapatkan cahaya yang tepat.

14. Begitu sediaan selesai dibaca, putar objektif 100x menjauhi kaca sediaan, tempatkan objektif 10x di atas sediaan, lalu sediaan diambil.

15. Bila telah selesai, atur kembali pengatur tegangan lammpu ke minimum dan matikan mikroskop dengan menekan tombol OFF.

16. Setiap selesai menggunakan mikroskop, bersihkan dengan hati-hati minyak emersi dari lensa objektif 10x dengan mengunakan kertas lensa/kain halus, masukkan dalam kotak mikroskop yang telah dikontrol kelembabkannya dengan menempatkan lampu 5 watt yang menyala5

Interpretasi hasil pemeriksaan

 Bakteri tahan asam berwarna merah

 Bakteri tidak tahan asam berwarna biru

Pemeriksaan bakteri basil tahan asam sedikitnya memerlukan 100 lapang pandang (dalam waktu 10 menit) dengan cara menggeser sediaan menurut arah dari

(19)

kiri ke kanan, ke bawah, ke kiri dan seterusnya. Skema pelaporan ini mengacu pada skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD).

Hasil pemeriksaan Interpretasi pemeriksaan Tidak ditemukan BTA minimal dalam 100 lapang pandang BTA negatif

1-9 BTA dalam 100 lapang pandang Tuliskan jumlah BTA yang ditemukan/100 lapang pandang

10-99 BTA dalam 1 lapang pandang +1

1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, periksa minimal 50 lapang pandang

+2

Lebih dari 10 BTA dalam 1 lapang pandang, periksa minimal 20 lapang pandang

+3

BTA yang ditemukan menegakkan diagnosis TB dan jumlah BTA yang ditemukan menunjukkan beratnya penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk mencatat dengan benar apa yang terlihat5,9

Pada anak, bahan untuk tes bakteriologis dapat diperoleh dari dahak, pengambilan cairan (aspirasi) dari lambung, atau cara lainnya seperti biopsi kelenjar getah bening. Pemeriksaan bakteriologis berperan penting terutama pada anak dengan:

• Kecurigaan resistensi terhadap obat • Infeksi HIV

• Kasus yang kompleks atau parah • Diagnosis yang tidak pasti

Dahak untuk diperiksa dengan mikroskop umumnya dapat diperoleh pada anak ≥ 10 tahun. Pada anak di bawah 5 tahun, dahak sangat sulit diperoleh dan sebagian besar akan menunjukkan hasil negatif. Seperti pada pasien dewasa, pemeriksaan dahak membutuhkan 3 sediaan: yang diperoleh pada awal evaluasi, pada pagi berikutnya, dan pada kunjungan berikutnya. Aspirasi cairan lambung dengan selang khusus lambung yang dimasukkan dari hidung (nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat atau tidak mau mengeluarkan dahak. Cara lain yang dapat dilakukan adalah induksi dahak.

(20)

Tes lain

Pengambilan contoh jaringan (aspirasi) dengan jarum halus atau fine needle aspiration dapat digunakan untuk membantu diagnosis TB luar paru-paru, terutama TB kelenjar getah bening.

Tes lainnya adalah PCR, suatu teknik untuk mendeteksi adanya materi genetik M. tuberculosis. Tes ini tidak direkomendasikan untuk anak karena belum cukupnya penelitian yang dilakukan terhadap tes ini. Selain itu dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan, metode ini menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.Pemeriksaan rumit lain seperti CT scan dan evaluasi saluran udara dengan selang khusus yang dilengkapi kamera (bronchoscopy) juga tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis TB anak.

Mencoba pemberian obat TB sebagai metode untuk mendiagnosis TB pada anak juga tidak direkomendasikan. Keputusan untuk memulai pengobatan TB pada anak harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, dan jika diputuskan untuk dilakukan, maka anak harus menjalani pengobatan dengan jangka waktu penuh.

g) Pengobatan

Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.

1. Pencegahan (profilaksis) primer

Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+). INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-). Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.

2. Pencegahan (profilaksis) sekunder

Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC. Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.

(21)

 Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :

o Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.

o Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

 Dosis obat antituberkulosis (OAT)

Obat Dosis harian (mg/kgbb/hari)

Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari)

Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg) Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg) Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g) Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g) Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yanng di rekomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia WHO joint Evaluation dan National Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TBC di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase awal pengobatan.

 Pengobatan TBC pada orang dewasa

 Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:

(22)

o Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

 Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada:

o Penderita kambuh.

o Penderita gagal terapi.

o Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

 Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3 Diberikan kepada:

o Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

 Pengobatan TBC pada anak

Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan, yaitu: 1. 2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian

INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).

2. 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH). Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb. Dosis anak INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus:

 TB tidak berat

INH : 5 mg/kgbb/hari

Rifampisin : 10 mg/kgbb/hari

 TB berat (milier dan meningitis TBC) INH : 10 mg/kgbb/hari Rifampisin : 15 mg/kgbb/hari

Dosis prednison : 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg)

(23)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional 2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik

3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy)

4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan

5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

Tujuan :

 Mencapai angka kesembuhan yang tinggi

 Mencegah putus berobat

 Mengatasi efek samping obat jika timbul

 Mencegah resistensi

Pengawasan

Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh Pasien berobat jalan.

Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini. Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO:

1. Petugas kesehatan

2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll) 3. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

(24)

Pasien dirawat

Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

Langkah Pelaksanaan DOT

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT

Persyaratan PMO

 PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.

 PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien.

Tugas PMO

 Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik.

 Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat.

 Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan.

 Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai.

 Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat.

 Merujuk pasien bila efek samping semakin berat.

 Melakukan kunjungan rumah.

 Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB.

(25)

Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :

 Perorangan/Individu

Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dll

 Kelompok

Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung RS dll

Cara memberikan penyuluhan

 Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada

 Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya

 Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas

 Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dll)

DOTS PLUS

o Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS

o Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2

o DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan strategi DOTS

o Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDR-TB

H. PENYAKIT MENULAR PENTING LAIN 1.

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) a) Definisi

ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah infeksi akut saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah beserta adenaksanya (Depkes RI, 1993).

ISPA adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang berlangsung sampai 14 hari lamanya. Saluran pernafasan adalah organ yang bermula dari hidung hingga alveoli beserta segenap adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

(26)

Sedangkan yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma ke dalam tubuh dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit (Depkes, 2000).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut.

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan (Depkes RI, 2008).

ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah suatu penyakit yang terbanyak di diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju dan sudah mampu dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. (Suprajitno, 2004)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), atau aspirasi substansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong, 2003).

Infeksi saluran pernapasan akut adalah infeksi yang terutama mengenai struktur saluran pernapasan diatas laring, tetapi kebanyakan, penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau berurutan. Gambaran patofisioliginya meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongesti vaskuler, bertambahnya sekresi mukus, dan perubahan dan struktur fungsi siliare (Behrman, 1999).

b) Etiologi

Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya lebih kecil. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral, sedangkan ISPA bagian bawah hampir

(27)

50% diakibatkan oleh bakteri. Saat ini telah diketahui bahwa penyakit ISPA melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1986).WHO (1986), juga mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab ISPA disebabkan oleh virus dan mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut dan pneumonia dengan distribusi lobular. Adapun virus-virus (agen non bakterial) yang banyak ditemukan pada ISPA bagian bawah pada bayi dan anak-anak adalah Respiratory Syncytial Virus(RSV), adenovirus, parainfluenza, dan virus influenza A & B.

c) Masa Inkubasi dan Penularan ISPA 1. Masa inkubasi

ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan saluran pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan berlangsungnya proses akut.

2. Penularan

Pada umumnya ISPA termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita ISPA yang menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab ISPA kedalam saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, disamping itu terdapat juga cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita, trasmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang/menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Azwar, 1985).

d) Gejala dan Tanda Penyakit ISPA

Penyakit ISPA meliputi hidung, telinga, tenggorokan (pharinx), trachea, bronchioli dan paru. Tanda dan gejala penyakit ISPA pada anak bermacam-macam seperti batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit telinga (Depkes RI, 1993).

Sebagian besar dari gejala saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk dan pilek tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun sebagian

(28)

anak akan menderita radang paru (pneumonia) bila infeksi paru ini tidak diobati dengan anti biotik akan menyebabkan kematian (Depkes RI, 1993).

o Tanda dan gejala ISPA dibagi menjadi dua yaitu golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun dan golongan umur kurang dari 2 bulan (Depkes RI, 1993) 1) Tanda dan gejala ISPA untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun

a) Pneumonia berat, bila disertai napas sesak yaitu ada tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis/meronta).

b) Pneumonia, bila disertai napas cepat, batas napas cepat adalah untuk umur 2 bulan sampai < 12 bulan sama dengan 50 kali permenit atau lebih, untuk umur 1-5 tahun sama dengan 40 kali permenit atau lebih.

c) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa), bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.

2) Tanda dan gejala ISPA untuk golongan umur kurang dari 2 bulan

a) Pneumonia berat, bila disertai tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. Atas napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu 60 kali permenit atau lebih.

b) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa), bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagia bawah atau napas cepat.

o Tanda dan gejala ISPA berdasarkan tingkat keparahan (WHO, 2002): 1) Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :

a) Batuk

b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis).

c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung. d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37⁰C.

2) Gejala dari ISPA Sedang

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :

(29)

a) Pernafasan cepat (fast breating) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok umur 2 bulan - <5 tahun : frekuensi nafas 50 kali atau lebih untuk umur 2 – <12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan – <5 tahun.

b) Suhu lebih dari 39⁰C (diukur dengan termometer).

c) Tenggorokan berwarna merah.

d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.

e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

f) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).

3) Gejala dari ISPA Berat

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejal-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejal-gejala-gejal-gejala sebagai berikut:

a) Bibir atau kulit membiru.

b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.

c) Pernafasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah. d) Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas.

e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.

f) Tenggorokan berwarna merah.

e) Cara Diagnosis

Diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim, 2000). Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia.

Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO),

(30)

bahwa Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju pnemonia pada balita disebabkan oleh virus.

Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur. Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah :

a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih.

b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih.

c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per menit atau lebih.

Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya.

f) Transmisi Penyakit ISPA

Transmisi penyakit ISPA dapat melalui udara. Kuman yang berada di udara akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan menimbulkan infeksi, penyakit ISPA dapat pula berasal dari penderita yang kebetulan mengandung bibit penyakit, baik yang sedang jatuh sakit maupun karier. Mikroorganisme berasal dari tubuh manusia maka umumnya dikeluarkan melalui sekresi saluran pernafasan dapat berupa saliva dan sputum. Transmisi penyakit ISPA juga dapat terjadi melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah dicemari jasad renik (hand to hand transmission).

g) Riwayat Alamiah Penyakit ISPA

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke atas mendorong virus ke arah

(31)

faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Colman, 1992).

Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran pernafasan, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk. (Colman, 1992).

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran pernafasan sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran pernafasan dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak. Virus yang menyerang saluran pernafasan atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga menyebar ke saluran pernafasan bawah. Dampak infeksi sekunder bakteri pun menyerang saluran pernafasan bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Colman, 1992).

Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran pernafasan terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran pernafasan yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran pernafasan yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas sistem imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa imunoglobulin A (IgA) memegang peranan pada saluran pernafasan atas sedangkan imunoglobulin G (IgG) pada saluran pernafasan bawah.

(32)

Diketahui pula bahwa sekretori IgA sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran pernafasan (Colman, 1992).

Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:

1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.

2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.

3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.

4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.

h) Pengobatan ISPA

ISPA mempunyai variasi klinis yang bermacam-macam, maka timbul persoalan pada diagnostik dan pengobatannya. Sampai saat ini belum ada obat yang khusus antivirus. Idealnya pengobatan bagi ISPA bakterial adalah pengobatan secara rasional dengan mendapatkan antimikroba yang tepat sesuai dengan kuman penyebab. Untuk itu, kuman penyebab ISPA dideteksi terlebih dahulu dengan mengambil material pemeriksaan yang tepat, kemudian dilakukan pemeriksaan mikrobiologik, baru setelah itu diberikan antimikroba yang sesuai (Halim, 2000).

Kesulitan menentukan pengobatan secara rasional karena kesulitan memperoleh material pemeriksaan yang tepat, sering kali mikroorganisme itu baru diketahui dalam waktu yang lama, kuman yang ditemukan adalah kuman komensal, tidak ditemukan kuman penyebab. Maka sebaiknya pendekatan yang digunakan adalah pengobatan secara empirik lebih dahulu, setelah diketahui kuman penyebab beserta anti mikroba yang sesuai, terapi selanjutnya disesuaikan.

Di dalam referensi yang lain berikut ini disebutkan macm-macam pengobatan untuk para penderita Pneumonia.

1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigendan sebagainya.

2. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan

(33)

penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.

3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.

(34)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Penyakit menular ialah penyakit yang disebabkan oleh agent infeksi atau toksinnya, yang berasal dari sumber penularan atau reservoir, yang ditularkan/ ditansmisikan kepada pejamu (host) yang rentan. Pencegahan penyakit menular adalah upaya yang ditujukan untuk mencegah, menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit menular yang tidak atau menyebabkan kecacatan dengan menerapkan sebuah atau sejumlah intervensi yg telah dibuktikan efektif.

B. Saran

Diharapkan kepada pembaca agar lebih banyak lagi mempelajari tentang bagaimana pemberantasan penyakit menular dari sumber-sunber media lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Noor N. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: 2006; Rineka Cipta. 2. Santoso L. Ikhtisar Penyakit Tropik. Semarang: 2010; FKM UNDIP.

3. Safaat M. Kapita Selekta epidemiologi penyakit menular. Available on:

http://www.asterpix.com. Accessed on December 14th, 2014.

4. Unknown. Program pencegahan, pemberantasan dan pengawasan terhadap penyakit menular. Available on: http://www.who.int/. Accessed on December 14th, 2014.

(35)

5. Noer HMS, Waspdji S, Rachman AM, dkk. Buku aja Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996.

6. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea). Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press, 2002. p.34 – 40.

7. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M, Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap Gastroenterologi-Hepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroentero-hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003. p.67-7.

8. Kee JL. Hemoglobin (Hb)(darah). Dalam: Kurnianingsih S, Widyastuti P, Cahyaningrum R, Rahayu S (editor). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Jakarta: EGC; 2007. p.234-6

9. Donowitz M, Fordtran JS. What I Need To Know About Diarrhea. Available at:

http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/diarrhea_ez/#treated. Last update April 2011. Accessed December 13th, 2014.

10. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis. Dalam: Wahab, A. Samik (editor). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000 .p. 891-2.

11. Subagyo B, Santoso NB.Diare akut. Dalam : Juffrie M, Soenarto S.S, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani N. S (Editor). Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011.p.103.

12. Guandalini S. Diarrhea. Updated April 8 2010. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/928598-overview#showall. Accessed December 14th, 2014.

13. Suharyono. 1986. Diare Akut. Dalam: Hassan R, Alatas H (editor). Ilmu Kesehatan Anak. Lembaga Penerbit Fakultas Kedokteran UI: Jakarta; 2007 .p. 283-4

14. Dwipoerwantoro P. Kembung. Dalam : Juffrie M, Soenarto S.S, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani N. S (Editor). Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2011.p. 168-71

15. Lechtzin, Noah. Cough in Adults. In: Porter RS (editors). The Mercks Manual of Patient Symptoms. Philadelphia: Mercks Reaserch Laboratory; 2008.p.343-52

(36)

16. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2230-9.

17. Hasan, Helmia. Tuberkulosis Paru. In: Wibisono MJ, Winarni, Hariadi S (editors). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press; 2010.p.9-24

18. Manaf A, Pranoto A, Sutiyoso AP, Hudoyo A, Sjarurrahman A, Yuwono A, et al. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2nd ed. Dalam: Aditama TY, Kamso S,

Basri C, Surya A, editors. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2006. Available at: http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_NASIONAL.pdf. Accessed December 14th, 2014.

19. Rasad, Sjahriar. Tuberkulosis Paru. Dalam: Ekayuda, Iwan (editors). Radiologi Diagnostik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.p.131-7.

20. Kumala, Widyasari. Diagnostik Laboratorium Mikrobiologi Klinik. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2009.p.15-7.

21. Price SA, Standridge MP. Tuberkulosis Paru. Dalam: Hartanto H, Wulansari P, Susi N, Mahanani DA (editor). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006 .p.853-4.

22. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Available at:

Referensi

Dokumen terkait

Selain bahaya banjir, Provinsi Sulawesi Barat juga berpotensi bahaya tsunami khusunya di Kabupaten Mamuju, Majene dan Polewali Mandar dengan kategori run-up 2-5

Bahwa Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri semarang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan atau UU, sehingga permohonan kasasi yang diajukan

Menurut Muzzani (1999: 86) jika dilihat dari sudut pandang kekuasaan yang berakibat pada penindasan, maka pengaruh hegemoni dapat dibedakan menjadi dua bagian

Dalam penelitian ini masalah yang akan diteliti oleh penulis adalah mengeanai pembentukan karakter disiplin siswa melalui keteladanan guru aqidah akhlak kelas VIII

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan augerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan dan menuangkan apa yang dirancang didalam laporan

karakter termasuk upaya yang dilakukan oleh guru sejarah di SMA Negeri 1 Tibawa.. SMA Negeri 1 Tibawa dipilih oleh peneliti sebagai objek penelitian karena

dan hutan menjadi mata pencaharian bagi yang berhak. Tanah dalam pengertian status yang ada didalam sertipikat sesuai dengan kelasnya. masing-masing yaitu ada beberapa klasifikasi

Dari dapat kita simpulkan bahwa suatu ideologi terbuka, karena bersifat demokratis, memiliki apa yang mungkin dapat kita sebut sebagai dinamika internal yang