• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PEMBENIHAN TERIPANG PASIR, HOLOTHURIA SCABRA JAEGER, DI INDONESIA 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN PEMBENIHAN TERIPANG PASIR, HOLOTHURIA SCABRA JAEGER, DI INDONESIA 1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XXIV, Nomor 3, 1999 : 35 - 45 ISSN 0216- 1877

PERKEMBANGAN PEMBENIHAN TERIPANG PASIR,

HOLOTHURIA SCABRA JAEGER, DI INDONESIA 1) oleh

Prapto Darsono 2)

ABSTRACT

Development on establishing hatchery of the sandfish holothurian, Holothuria scabra Jaeger, in Indonesia. Concern on sustainable resources and production of trepang has propelled us to produce trepang based on culture. The availability of holothurian's seed in adequate number is initial step in success of its culture. Effort on establishing holothurian's hatchery that has been developed during this decade showed some successes in producing holothurian's seed. Induced spawning of holothurian's broodstock applying "environmental manipulation technique" has established. Success of fertilization produced more than 70% of hatching rate. Broodstoock fecundity varies between tens-thousand to hundreds-thousand of eggs in one brood. Basic pattern of larval rearing has been studied which consist of larval stocking, larval feeding, and maintaining rearing water quality. Further study both on larval feeding and rearing environment are always needed. Holothuria larvae grow into juvenile through some metamorphosis development of Auricularia, Doliolaria, and Pentactula. The holothurian juveniles that are benthic and its average weight less than 0.1 gram need to be cultivated for being holothurian's seed. The holothurian's seed are young holothurian with average weight varies between 1 0 - 3 0 grams ready for growing out. To get this holothurian seed take about a year rearing. Some problems and constraints of holothurian seedling are discussed.

PENDAHULUAN

Teripang adalah komoditi perikanan yang sebagian besar produknya untuk ekspor, mempunyai prospek ekonomi yang baik. produk ini masih menggantungkan ketersediaan stok populasi alami yang makin menurun secara drastis. Keprihatinan akan

kelestarian sumberdayanya dan kelangsungan produksi tripang, mendesak upaya untuk menghasilkan produk teripang yang berbasis budidaya. Usaha budidaya teripang telah dilakukan di Cina, Jepang dan India (JAMES et al. 1988 ; ARAKAWA 1990; JAMES 1996; ITO & KITAMURA 1998). Budidaya teripang di negara-negara tersebut sudah

1) Makalah disampaikan pada KIPNAS VII, di Serpong, 9-11 September 1999 2) Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta.

(2)

mengandalkan benih hasil rekayasa di panti benih (hatchery). Usaha pembenihan teripang pasir, Holothuria scabra Jaeger, telah dirintis di Indonesia sejak awal dekade 90-an. Jenis teripang pasir tersebut di Indonesia merupakan target perburuan karena laku dipasaran dengan harga relatif mahal. Akibat perburuan yang berlangsung terus, saat ini sangat sulit ditemukannya di alam.

Upaya pembenihan teripang pasir dirintis oleh Balai Budidaya Laut (BBL) Lampung, Ditjen Perikanan (NOTO- WINARTO & PUTRO 1991, 1992, 1992a), kemudian dilanjutkan bekerja sama dengan Puslitbang Oseanologi - LIPI. Usaha pembenihan yang sama juga dilakukan oleh Stasiun Penelitian Perikanan Pantai- Puslitbangkan, di Gondol, Bali. Upaya tersebut telah berhasil memproduksi "benih" teripang pasir, namun masih perlu kajian lebih lanjut. Berbagai pengamatan dan percobaan dilakukan dalam peneliharaan larva teripang dalam kaitan meningkatkan kelulusan hidup larva menjadi anakan (juwana) teripang. Hasil pengamatan dan penelitian tersebut sebagian merupakan thesis sarjana (TAYIBU 1993, SUWARSITO 1994; EDWARD 1996; GUNAWAN 1996; SUHENDRI 1996; HAMIDAH 1999), dan sebagian yang lain berupa laporan dan makalah yang ditulis dalam berbagai kesempatan (NOTO- WINARTO & PUTRO 1991, 1992, 1992a; MAKATUTU et al. 1993 DARSONO et al 1995; DARSONO et al. 1995a; DARSONO et al. 1996, 1996a; MORIA et al. 1996, 1996a; DARSONO et al. 1999; DARSONO et al. 1999a).

Tulisan berikut merupakan rangkuman hasil-hasil yang telah dicapai dalam mengembangkan pembenihan teripang pasir tersebut, dan kajian kendala yang dihadapi, disamping identifikasi masalah teknis yang masih dihadapi, serta kemungkinan penelitan dan pengembangannya lebih lanjut.

RINGKASAN PROSES PRODUKSI BENIH

Pembenihan teripang dimulai dengan mengumpulkan teripang "dewasa" dari laut di habitat tempat hidupnya. Teripang-teripang tersebut dipelihara dalam hampang atau kolam penampungan untuk dipelihara sebagai stok induk (broodstock). Proses pematangan go- nad (gametogenesis) hewan di daerah iklim tropika seperti Indonesia, tidak berpola musiman sebagaimana hewan dari daerah ugahari. Individu teripang di daerah tropika dalam kelompok populasinya mempunyai tingkat perkembangan gonad yang bervariasi, namun selalu ada individu dalam kondisi matang gonad (mature). Induk dalam keadaan matang gonad tersebut siap untuk dpijahkan secara induksi (induced spawning). Sebelum pemijahan dilakukan, perlu disiapkan ketersediaan pakan hidup berupa algae sel tunggal (diatome planktonik) seperti Dunaliella sp., Chaetoceros sp., isochrysis sp., Phaeodactylum sp. untuk pakan larva teripang fase planktonik.

Pemijahan buatan (induced spawning) dengan tehnik manipulasi lingkungan dilakukan terhadap sekelompok (4 atau 6 individu) induk teripang. Telur-telur yang dihasilkan dan dibuahi akan berkembang menjadi larva teripang. Larva-larva ini akan mengalami metamorfosis dalam proses pertumbuhan melalui fase larva Auricularia, Doliolaria, Pentactula, yang kemudian menjadi anakan (juwana/juveniles) teripang. Perkembangan ini terjadi dalam satu sampai dua bulan. Pada fase Doliolaria, disiapkan "spat collector" sebagai substrat penempelan larva Pentactula yang tumbuh menjadi anakan teripang. Juwana teripang diberi pakan algae sel tunggal ditambah dengan pakan 'pelet" buatan. Anakan teripang tersebut berukuran berat inisial rata-rata kurang dari 0,1 gram, perlu dipelihara dalam proses pendederan (penggelondongan) untuk menjadi benih

(3)

teripang dengan ukuran berat antara 1 0 - 3 0 gram. Untuk mencapai ukuran ini diperlukan waktu tidak kurang dari setahun pemeliharaan. Benih teripang ukuran tersebut siap untuk dibesarkan (growing out) atau ditebar dihabitat alamnya (stock enhance-ment).

PENGELOLAAN INDUK (BROODSTOCK) TERIPANG

Individu teripang pasir "dewasa" berukuran berat sekitar 300-400 gram dikumpulkan dari perairan sekitar Lampung. Dari pengamatan terhadap pola siklus reproduksi teripang pasir di lokasi tersebut (DARSONO et al. 1995) diperoleh indikasi bahwa terjadi pemijahan sepanjang tahun. Puncak aktifitas gonad, dengan diperolehnya individu-individu dalam kondisi gonad fase awal matang (premature) dan matang (ma-ture) cukup banyak, terjadi dalam bulan- bulan April dan Nopember. Sampel gonad pada bulan September sebagian besar (>90%) dalam kondisi fase awal perkembangan. Hal ini memberi petunjuk bahwa siklus reproduksi terjadi tengah tahunan (semi anual) pada populasi alaminya. Puncak aktifitas gonad teripang tersebut mungkin berkaitan dengan pola musiman di daerah setempat.

Dengan rekayasa pemeliharaan, sekelompok induk teripang bisa diharapkan untuk dipijahkan kapan diperlukan. Hal ini telah ditunjukkan dalam uji pemijahan induk terpang yang dilakukan oleh NOTO- WINARTO & PUTRO (1992), ANONIM (1994), maupun oleh DARSONO et al. (1996). Pemeliharaan dilakukan dalam hampang (tambak) yang mendapat pergantian air laut dari siklus pasang surut secara alami. Pakan tambahan diberikan berupa "pelet ikan rucah" yang disiapkan. Dalam pemeliharaan harus dihindari terjadinya "pelumpuran" dalam hampang dan penurunan

salinitas yang mendadak akibat terjadi hujan lebat bersamaan air surut.

Teripang bersifat dioceos atau gonochoristic, ada individu jantan dan betina, namun tidak terlihat adanya dimorfisma kelamin. Perbedaan hanya terlihat dengan melakukan pengamatan terhadap gonadnya. Gonad jantan berisi spermatozoa dan gonad betina berisi ova (sel telur), terutama terlihat pada gonad dalam fase matang (mature) secara mikroskopis. Komposisi jenis kelamin teripang pada populasi alaminya cenderung seimbang (DARSONO et al. 1995). Keadaan ini memungkinkan untuk mendapatkan induk jantan dan betina dalam probabilitas yang sama. Spekulasi ini masih diterapkan dalam pemijahan, karena belum ditemukannya karakter morfologi untuk identifikasi kelamin individu teripang. Sementara dapat disebutkan adanya perbedaan "kerapatan" jumlah papilae pada bagian tubuh teripang yang memberikan kesan rabaan "kasar" pada jantan "halus" pada betina. Hal ini perlu konfirmas lebih lanjut, mengingat persepsi tiap orang bisa berbeda terhadap kesan rabaan tersebut.

Pemijahan induksi (induced spawn- ing) dilakukan terhadap sekelompok (4-6 individu) teripang. Teknik pemijahan ini dilakukan dengan "menjemur" teripang pada siang hari dan mengaliri air laut yang lebih dingin pada sore harinya. Perbedaan suhu air tempat penjemuran dan air di tempat perlakuan pemijahan mencapai antara 3° - 5°C. Teknik pemijahan ini dibakukan sebagai "teknik manipulasi lingkungan" (NOTOWINARTO & PUTRO 1992; DARSONO et al. 1996). Metode pemijahan tersebut selalu dipergunakan dalam melakukan pemijahan induksi sampai waktu ini. Telur yang dihasilkan oleh satu induk dalam sekali pijah berkisar antara puluhan ribu sampai ratusan ribu butir, rata-rata sekitar 179000 butir telur (ANONIM 1994), dengan laju tetas (hatching rate) mencapai lebih 70%.

(4)

PENYEDIAAN ALGAE SEL TUNGGAL (DIATOME PLANKTONIK)

Fase awal larva teripang bersifat planktonik, melayang-layang pada kolom air, sebelum "mengendap" (setling) mencari substrat penempelan pada fase akhir larva yang kemudian berkembang menjadi "anakan" teripang dan bersifat bentik. Larva teripang adalah planktotrophic, memerlukan pakan segera setelah "menetas" berupa fitoplankton bersel tunggal. Penyediaan pakan fitoplankton (diatome planktonik) sel tunggal perlu dilakukan sebelum atau bersamaan pemijahan teripang dilakukan. Beberapa jenis algae sel tunggal yang bisa digunakan pakan larva teripang yaitu Dunaliella sp., Chaetoceros sp., Phaedactylum sp., Isochrysis sp., Spirulina sp., Skeletonema sp. dan lain- lain.

Penyediaan pakan hidup yang cukup dan berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan harus didasari pengetahuan tentang laju pembiakan dan pertumbuhan masing- masing jenis algae dan karakteristiknya. Masalah ketersediaan dan kecukupan pakan hidup ini bisa menjadi kendala dalam pembenihan skala massal. Oleh karenanya perlu pengelolaan secara khusus dan intensif. Media nutrien Conway, NPFe, EDTA dan media agar dipakai untuk membiakkan jenis- jenis algae (diatome) planktonik tersebut (ANONIM 1994). Untuk mendapatkan kuantitas kebutuhan maka pembiakan algae dilakukan secara bertingkat dari volume kecil (ukuran cc) sampai diperoleh volume satu ton. Teknik kultur alga Dunaliella sp. diuraikan oleh KURNIASTUTI & WIDIASTUTI (1992) dan PUJO & KURNIASTUTI (1995).

Dalam hal penyediaan pakan hidup ini, nampaknya perlu diperhatikan fase bentik dari larva teripang. Sejak saat larva mengendap menjadi bentik, yaitu tahap larva Pentactula, maka demikianlah cara hidup

seterusnya sampai dewasa. Pada fase bentik pakan hidup planktonik mungkin tidak sesuai lagi, dan menurut ITO & KITAMURA (1998) pakan hidup yang sesuai adalah diatome perifittik.

PEMELIHARAAN LARVA DAN PEMASANGAN "SPAT COLLECTOR"

Fertilisasi terjadi secara eksternal pada kolom air. Setelah pembuahan, telur akan berkembang menjadi larva teripang. larva ini dengan proses metamorfosis tumbuh melalui tahap-tahap perkembangan (Gambar 1) larva Auricularia, larva Doliolaria, larva Pentactula, dan kemudian akan berkembang menjadi anakan (juvenile) teripang. Sampai dengan fase larva Doliolaria, larva bersifat planktonik, dan pemeliharaan dilakukan dengan pemberian pakan diatom planktonik (NOTOWINARTO & PUTRO 1992a; DAR- SONO et al. 1996; RAMOFAFIA et al. 1995; ITO & KITAMURA 1998). Berbagai pengamatan dalam pemeliharaan larva teripang telah dilakukan pada dekade 90-an ini. Pakan alami diatom planktonik yang bisa dan sering diberikan yaitu Tetraselmis sp., Phaeodactylum sp. (TAYIBU 1993), Dunaliella sp. (SUWARSITO 1994), Chaetoceros sp., Spirulina sp. (GUNAWAN 1996), Isochrysis sp. (EDWARD 1996) Skeletonema sp., dan Chlorella sp.

Pada fase larva Auricularia akan terlihat pertumbuhan (bertambah dalam ukuran) secara gradual dari hari kehari sampai sekitar hari kesembilan. Pada hari kesebelas larva Auricularia mencapai ukuran maksimum sekitar 900 mikron. Kemudian pada hari-hari berikutnya seperti terjadi pengkerutan, tubuh larva Auricularia mengecil sampai berukuran separonya (± 500 mikron) dan tumbuh menjadi larva Doliolaria pada sekitar hari 13 - 15. Saat ini merpakan saat kritis bagi perkembangan larva teripang. Pada saat fasse Doliolaria ini diperlukan penempatan spat collector, sebagai

(5)

Gambar 1. Pertumbuhan stadia larva teripang. 1. Umur sehari setelah fertilisasi, garis bar skala 200 mikron. 2. Larva Auricularia awal, umur 3 hari

3. Larva Auricularia, umur 7 hari

4. Larva Auricularia, umur 9 hari, berukuran sekitar 900 mikro 5. Larva Auricularia akhir, umur 11 hari

6. Larva Doliolaria (barrel-shaped larva), umur 14 hari

7. Larva Pentactula (bertentakel), umur 15 hari, menempel pada substrat 8. Juvenil teripang, umur sekitar 22 hari setelah fertilisasi

(6)

tempat pendendapan/penempelannya untuk selanjutnya berkembang menjadi larva Pentactula sebelum metamorfosis menjadi anakan (juvenile) teripang. Penempatan spat collector juga berfungsi untuk menginduksi metamorfosis larva Doliolaria. Perkembangan larva Doliolaria menjadi juvenile teripang akan dipacu oleh kelimpahan diatome perifitik yang ada pada spat collector tersebut (ITO & KITAMURA 1998). Namun hal ini belum mendapat perhatian dalam percobaan pengamatan yang dilakukan selama ini.

Tujuan dalam pemeliharaan larva adalah untuk menghasilkan stok benih teripang. Kegiatan ini menjadi efektif bila diperoleh kelulusan hidup (SR) yang tinggi. Berbagai faktor diduga berpengaruh dalam hal ini antara lain kepadatan penebaran (stock-ing density) larva, jenis pakan dan volumenya, dan kualitas lingkungan media air laut pemeliharaan. Secara alami mortalitas merupakan bagian dinamika populasinya. Dalam rekayasa pemeliharaan larva maka mortalitas diharapkan akan menurun sejalan dengan pertumbuhan larva.

Pemeliharaan larva dilakukan dengan kepadatan 300 - 600 individu/liter, atau rata- rata 400 indv./liter. Hal ini berkaitan juga dengan ketersediaan pakan alami bila melakukan pemeliharaan skala massal pada bak pemeliharaan volume ± lton. Perkembangan larva atau pertmbuhannya nampak dipengaruhi oleh jenis pakan, kualitas pakan, jumlah atau volume pakan, dan padat penebaran larva (CHEN & CHIEN 1990; NOTOWINARTO & PUTRO 1992a; DARSONO et al. 1996). Padat penebaran dalam pemeliharaan larva berpengaruh terhadap kelulusan hidup, tapi tidak terhadap perkembangan. Padat penebaran 100 - 200 ind./liter memberikan kelulusan yang lebih tinggi dan perkembangan lebih cepat (MORIA et al. 1996a). Frekuensi pemberian pakan tiga kali perhari dengan Chaetoceros sp. mempercepat perkembangan stadia larva

(MORIA et al. 1996).

Rata-rata kelulusan hidup (s/r) larva menjadi juwana (pasca larva) D40 - D60 pada pemeliharaan dalam wadah 10-20 liter sebesar 2,35 % (Tabel 1) (NOTOWINARTO, komunikasi pribadi). Jenis diatom Dunaliella sp. dan Isochrysis sp. merupakan jenis pakan yang cocok untuk larva teripang planktonik. Sedang pemeliharaan dengan skala massal (voluma satu ton) diperoleh kelulusan hidup pada D40 rata-rata < 0,06%.

Penggantian air laut dilakukan setiap hari sebanyak 1/3 sampai 1/2 volume bak pemeliharaan untuk menjaga kualitasnya. Kualitas air laut yang perlu diperhatikan terutama salinitas, suhu, oksigen terlarut, pH, dan kadar amonia. Salinitas berkisar antara 30 - 34 ppt., suhu air sekitar 26 - 28°C, pH 7,5 - 8,5, DO 4 - 6 ppm, dan kadar amonia kurang dari 2 ppm. Fluktuasi perubahan kualitas air ambient dengan air pemeliharaan relatif tidak jelas, namun perlu diperhatikan kadar amonia (DARSONO et al. 1996a). Dalam pada itu pengamatan HAMIDAH (1999) memperlihatkan bahwa suhu air 30°C memberi kondisi yang baik bagi perkembangan larva sampai stadia Pentactula.

PEMELIHARAAN JUWANA (JUVENILE) TERIPANG

Juwana (juvenile) teripang adalah anakan teripang pasca larva, berukuran sangat lembut dengan berat basah rata-rata kurang dari 0,1 gram, berumur hari ke 45 sampai 60. Juwana teripang perlu dibesarkan (digelondongkan) sampai ukuran tertentu yang bisa disebut sebagai "benih" teripang, dalam kegiatan pendederan (nursey). Benih dalam pengertian umum adalah "individu muda" teripang yang siap untuk dibesarkan (growing out) dalam usaha budidaya teripang ataupun dikembangkan ke habitat alaminya (restocking).

(7)

Tabel 1. Tingkat kelulusan hidup larva teripang pasir pada wadah uji 10 - 20 liter (Notowinarto, komunikasi pribadi)

Juwana teripang bersifat menempel/ melekat pada substrat. Dalam proses pemeliharaan sering perlu dilakukan pemindahan dalam rangka seleksi ukuran (grading) maupun untuk penjarangan kepadatan. Pelepasan juwana teripang dari penempelannya secara fisik akan memakan waktu dan kemungkinan melukai. Untuk keperluan ini maka penggunaan potassium chlorida (KC1) dengan konsentrasi 1% dalam air laut akan lebih efektif melepas penempelan tersebut (BATTAGLENE & SEYMOUR 1998).

DARSONO et al. (1999) melaporkan hasil uji pendederan juwana teripang pasir. Penggunaan substrat pasir dan kepadatan tertentu perlu diaplikasikan dalam pendederan ini. Pertumbuhan juwana teripang secara absolut sangat lambat, dalam waktu hampir tiga bulan juwana yang pada awalnya berukuran berat rata-rata kurang dari 0,1 gram tumbuh menjadi rata-rata sekitar satu gram. Lambatnya pertumbuhan ini diperkirakan oleh karena tidak cocoknya pakan yang diberikan. Pakan yang diberikan

dalam pendederan ini adalah diatom planktonik ditambah pelet buatan. Juwana teripang bersifat bentik, sehingga lebih memerlukan pakan yang "setling" tidak melayang dalam kolom air (WEIDEMEYER 1994). Pakan yang sesuai untuk anakan teripang ini adalah diatome perifitik (ITO & KITAMURA 1998).

Juwana teripang dengan berat rata- rata satu gram tersebut terus dipelihara untuk dilihat laju pertmbuhannya (DARSONO et al. 1999a). Dalam sembilan bulan pemeliharaan diperoleh individu anakan teripang dengan berat terbesar 25.491 gram, dengan rata-rata berat sekitar 20 gram. Kalau dihitung dari awal (pemeliharaan larva) sampai diperoleh anakan teripang dengan berat sekitar 20 gram diperlukan waktu tidak kurang dari setahun. Rata-rata laju pertumbuhan akan teripang diperoleh angka 2,175 gram/bulan. Pola pertumbuhan juwana teripang ini disajikan dalam Gambar 2. Menurut hemat kami ukuran anakan teripang sekitar 20 gram inilah yang bisa dianggap sebagai "benih" teripang.

(8)

Gambar 2. Pertumbuhan berat anakan teripang (Darsono dkk., 1999)

PERMASALAHAN DALAM PEMBENIHAN TERIPANG Tidak jelasnya dimorfisma kelamin pada teripang merupakan kendala untuk memperoleh kepastian individu jantan dan betina. Meskipun dalam populasinya dimungkinkan untuk mendapatkan dalam probabilitas yang sama, namun perlu ditemukan karakter-karakter morfologi untuk membedakannya. Kepastian jenis kelamin individu induk teripang akan lebih memudahkan dalam perlakuan pemijahan.

Pakan merupakan faktor utama dalam kelangsungan hidup organisma. Nutrisi yang baik dan cocok untuk induk (broodstock) maupun larva diperlukan untuk keberhasilan produksi benih teripang secara massal. Mortalitas pada fase awal larva dimungkinkan

oleh tidak baiknya kualitas telur yang dihasilkan oleh induk. Disamping itu ketidak cocokan pakan atau kekurangan pakan menyebabkan terjadinya malnutrition pada larva maupun juwana teripang. Ada dua fasc perkembangan larva teripang yaitu fase planktonik dan fase bentik. Pakan untuk larva fase planktonik, tidak diragukan adalah diatome planktonik. Permasalahannya terletak pada jenis yang cocok dan volume kebutuhannya. Sedangkan larva fase bentik, memerlukan pakan diatome bentik (perifitik). Pakan buatan (pelet) nampaknya tidak sesuai untuk larva bentik, disamping sisa pakan akan menurunkan kualitas air laut media pemeliharaan (lingkungan).

Sampai saat ini faktor penyakit masih dikesampingkan, kasus terkena penyakit pernah terjadi pada induk teripang,

(9)

nampaknya akibat infeksi jamur atau bakteri (KOESHARYANI et al. 1996), namun belum menjadi perhatian serius. Faktor penyakit pada larva selama pemeliharaan sangat mungkin terjadi dan perlu pengamatan lebih lanjut dalam penyelenggaraan pembenihan.

Dalam tehnik pemeliharaan larva, karena ukuran larva yang mikroskopik, dihadapi kesulitan dalam penanganannya. Diperlukan kehati-hatian (intensive care) dalam penanganan sejak pemijahan maupun dalam pemeliharaan larvanya. Dalam pemijahan harus dihindarkan terjadinya polispermi untuk mendapatkan telur yang dibuahi dengan kualitas baik. Untuk itu telur harus di "cuci", sekaligus mengganti dengan air laut "segar" sebagai media lingkungannya. Setelah telur "menetas" segera dipindahkan pada "wadah" atau bak pemeliharaan larva karena larva segera memerlukan pakan diatome planktonik. Dalam wadah pemeliharaan, kualitas air laut perlu dijaga dengan melakukan penggantian air segar (baru) secara periodik. Aerasi secara terus- menerus perlu diberikan dalam pemeliharaan tersebut. Perlu perhatian penempatan spat collector yang sudah diperkaya dengan diatome perifitk pada saat yang tepat, yaitu saat perubahan larva fase planktonik ke fase bentik pada fase larva Doliolaria.

Mortalitas yang tinggi selama ini nampaknya disebabkan oleh hal-hal seperti kualitas yang tidak baik dari fertilized eggs yang dihasilkan, kegagalan atau kesalahan pada pemberian pakan larva awal (initial larval feeding), penanganan yang tidak tepat terutama pada peralihan larva fase planktonik menjadi larva bentik, kualitas air laut media pemeliharaan yang kurang mendukung lingkungan untuk pertumbuhan larva, kekurangan pakan (nutritional deficiency), dan kemungkinan penyakit atau predatori. Dari hal-hal yang telah diuraikan tersebut, maka direkomendasikan pada kesempatan kedepan perlu dicobakan pemberian pakan

diatome perifitik pada fase larva bentik dalam usaha pembenihan teripang.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIM 1994. Penelitian budidaya teripang, Holothuria scabra Jaeger. Laporan penelitian, kerjasama antara Puslitbang Oseanologi - LIPI dengan BBL- Lampung-Ditjen Perikanan. 62 hal. (tidak diterbitkan).

ARAKAWA, K.Y. 1990. A Handbook on the Japanese Sea Cucumber - Its Biology, Propagation and Utilization; 118 pp. BATTAGLENE, S.C. and J.E. SEYMOUR

1998. Detachment and grading of the tropical sea cucumber sandfish, Holothuria scabra, juveniles from settlement substrates. Aquaculture 159 : 263 - 274.

CHANG-PO and CHING-SUNG CHIAN 1990. Larval development of sea

cu-cumber, Actinopyga echinites

(Echinodermata: Holothuroidea). Bull. Inst. Zool. Academia Sinica 29 (2) : 12 - 133.

DARSONO, P.; SOEKARNO dan NOTO- WINARTO 1995. Siklus reproduksi terpang pasir, Holothuria scabra Jae-ger, (Holothuridea : Aspidochirota), di perairan Teluk Lampung. Konggres Nasional Biologi XI, Depok 24 - 27 Juli 1995 : 15 hal.

DARSONO, P.; SOEKARNO; NOTO- WINARTO dan SUTOMO 1995a. Perkembangan larva teripang pasir (Holothuria scabra Jaeger), pada bak pemeliharaan. Dalam : Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Kelautan, Potensi Biota, Teknik Budidaya dan Kualitas Perairan. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta: 5 1 - 6 1 .

(10)

DARSONO, P.; NOTOWINARTO dan E. WIDIASTUTI 1996. Pembenihan teripang pasir, Holothuria scabra Jae-ger, di Indonesia. Prosid. KIPNAS IV, Jakarta, 11 - 15 September 1995. Buku II. Makalah sidang-sidang dimensi. LIPI, Jakarta : 990 - 1002. DARSONO, P.; NOTOWINARTO dan E.

WIDIASTUTI 1996a. Tinjauan tentang pengelolaan kualitas air laut pemeliharaan teripang pasir, Holothuria scabra Jaeger, di laboratorium. Dalam : Inventarisas dan Evaluasi Potensi Laut - Pesisir II, Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta : 7 8 - 8 5 . DARSONO, P.; E. WIDIASTUTI dan

ANINDIASTUTI 1999. Pendederan juwana (pasca larva) teripang pasir, Holothuria scabra Jaeger, di Indonesia. Prosid. Sem. Biotek. Kelautan Indonesia I '98, Jakarta, 1 4 - 1 5 Oktober 1998. LIPI, Jakarta : 217 - 223.

DARSONO, P.; E. WIDIASTUTI dan ANINDIASTUTI 1999a. Observasi pertumbuhan anakan teripang pasir, Holothuria scabra Jaeger, pada bak pemeliharaan. Dalam: Pesisir dan Pantai Indonesia I. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta, 77-83.

EDWARD 1996. Pengaruh pemberian Isochrysis galbana Parke, dengan kepadatan berbeda terhadap larva teripang pasir (Holothuria scabra Jae-ger). Skripsi Sarjana, Jur. Perik. Fak. Pertanian, Univ. Djuanda, Bogor : 44 hal.

GUNAWAN 1996. Pengaruh pemberian variatif-kombinatif pakan terhadap tingkat kelulusan hidup larva teripang pasir (Holothuria scabra Jaeger).

Skripsi Sarjana, Jur. Perik. Fak. Pertanian, Univ. Djuanda, Bogor : 49 hal.

HAMIDAH 1999. Pengaruh suhu terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan larva teripang pasir (Holothuria scabra Jaeger) pada fase doliolaria sampai pentactula. Skripsi Sarjana, Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fak. Perik. dan Ilm. Kelautan, IPB, Bogor; 70 hal. ITO, S. and H. KITAMURA 1998. Technical

development in seed production of the Japanese sea cucumber, Stichopus japonicus. Beche-de-mer, Inform. Bull 10 : 224 -28.

JAMES, D.B. 1996. Culture of sea cucum- bers. Bull. Central. Res. Inst. 48 : 120 - 126.

JAMES, D.B., M.R. RAJAPANDIAN; B.K BASKER and GOPINATHAN 1988. Successful induced spawning and rear-ing of the holothurian Holothuria (Metriatyla) scabra Jaeger at Tuticorin.. Mar. Fish. Infor. Ser. 87 : 30 - 33.

KOESHARYANI, I,; M.A. GIRSANG dan I. TAUFIK 1996. Isolasi dan identifikasi bakteri penyebab vibriosis pada teripang pasir, Holothuria scabra, dan upaya penanggulangannya dengan antibiotik. J. Penel. Perik. Ind. II (2) : 22 - 29.

KURNIASTUTI dan E. WIDIASTUTI 1992. Pertumbuhan Dunaliella sp. pada me-dia kultur dan dosis yang berbeda. Bull. Balai Budidaya Laut, Lampung 6 : 8 - 13.

MAKATUTU, D.; YUNUS dan I. RUSDI 1993. Penggunaan beberapa jenis pakan alami terhadap pertumbuhan

(11)

dan sintasan larva teripang pasir Holothuria scabra. J. Penel. Budidaya Pantai 9(3) : 97 - 102.

MORIA, S.B.S.; DARMANSYAH; R. ARFAH dan K. SUGAMA 1996. Pengaruh frekuensi pakan berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan hidup larva teripang pasir Holothuria scabra. J. Penel. Perik. Ind. II (2) : 42 - 47.

MORIA, S.B.S.; R. ARFAH dan K. SUGAMA 1996. Pengaruh padat penebaran terhadap perkembangan dan sintasan larva teripang pasir (Holothuria scabra). J. Penel. Perik. Ind. II (1) : 77 - 81.

NOTOWINARTO dan D.H. PUTRO 1991. Teknik pembenihan teripang. Bull. Balai Budidaya Laut, Lampung 2 : 33 - 36.

NOTOWINARTO dan D.H. PUTRO 1992. Pemijahan teripang putih (Holothuria scabra) dengan metode manipulasi lingkungan. Bull. Balai Budidaya Laut. Lampung 4 : 1 - 8 .

NOTOWINARTO dan D.H. PUTRO 1992a. Pengamatan pendahuluan perkem-bangan larva teripang putih (Holothuria scabra). Bull. Balai Budidaya Laut. Lampung 5 : 15-20. PUJO, Y. dan KURNIASTUTI 1995. Kultur

massal Dunaliella sp. Bull. Balai Budidaya Laut, Lampung 10 : 27 -33.

RAMOFAFIA, C; M. GERVIS and J. BELL 1995. Spawning and early larval rear-ing of Holothuria atra. Beche-de-mer, Inform. Bull. 7 : 2 - 6 .

RUPP, J.H. 1973. Effect of temperature on fertilization and early cleavage of some tropical echinoderms with emphasis on Echinometra mathaei. Mar. Biol. 23 : 183 - 189.

SUHENDRI, M. 1996. Kelangsungan hidup dan perkembangan larva teripang pasir (Holothuria scabra Jaeger) dari fase pentactula sampai juvenile pada kolektor yang berbeda. Skripsi Sarjana, Fak. Perikanan IPB, BOGOR : 74 hal. SUWARSITO 1994. Tingkat pemangsaan

Dunaliella spp. oleh larva teripang (Holothuria scabra Jaeger) stadia auricularia sampai stadia dolioria. Skripsi Sarjana, Jurusan Perik. , Fak. Pertanian, UGM, Yogyakarta; 81 hal.. TAYIBU, H. 1993. Pertumbuhan dan lamanya

waktu perkembangan larva teripang pasir, Holothuria scabra Jaeger, pada pemberian jenis pakan alami yang berbeda. Thesis Master, Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor : 97 hal.

WIEDEMEYER, W.L. 1994. Biology of small juveniles of the tropical ho-

lothurian Actinopyga echinites :

growth, mortality and habitat prefer-ences. Marine Biology 120 : 81 - 93.

Gambar

Gambar 1. Pertumbuhan stadia larva teripang.
Tabel 1.  Tingkat kelulusan hidup larva teripang pasir pada wadah uji 10 - 20 liter (Notowinarto,  komunikasi pribadi)
Gambar 2. Pertumbuhan berat anakan teripang (Darsono dkk., 1999)

Referensi

Dokumen terkait

Warga NU merasa keberatan dengan materi dan metode pendekatan yang dilakukan MTA dalam melaku- kan dakwah karena MTA tidak menghormati perbedaan fiqhiyah , cenderung melecehkan

Alasan penerapan konsep adalah (1) krisis energi yang melanda dunia termasuk Indonesia membutuhkan upaya penghematan energi di semua sektor khususnya sektor bangunan

NSDC adalah sebuah kompetisi debat Bahasa Inggris yang bukan hanya menilai kemampuan Bahasa Inggris itu sendiri, tapi juga ajang kompetisi ini adalah merupakan suatu wahana

Pengaruh kekasaran permukaan terhadap temperatur tuang yang ditunjukan pada gambar 8, dapat dilihat pada temperatur tuang 650 o C menghasilkan kekasaran permukaan

Jumlah Saham yang ditawarkan 525.962.624 Saham Biasa Atas Nama dengan Nilai Nominal Rp.. HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU (HMETD) PT EATERTAINMENT INTERNATIONAL

Gli incontri erano presieduti da Diana, l'antica Dea romana legata alla vegetazione e alla fertilità,. il cui culto era straordinariamente sopravvissuto nonostante

Jadi dapat dikatakan bahwa pelanggan adalah seseorang yang secara kontinu dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah daya keadaan yang ada dalam diri seseorang yang timbul karena adanya suatu kebutuhan yang ada dalam