• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesta Muda Mudi: Bagai Pisau Bermata Dua. Etnik Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pesta Muda Mudi: Bagai Pisau Bermata Dua. Etnik Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pesta Muda Mudi:

Bagai Pisau Bermata Dua

Etnik Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan

Mila Machmudah D Hadi P. Setia Pranata

Penerbit

(3)

Mila Machmudah D, dkk

Pesta Muda Mudi:

Bagai Pisau Bermata Dua

Etnik Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan

Diterbitkan Oleh

UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97

Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang

Gedung C-15Surabaya

Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598

Email: unipress@unesa.ac.id unipressunesa@yahoo.com Bekerja sama dengan:

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749 xii, 147 hal., Illus, 15.5 x 23 ISBN: 978-979-028-947-5

copyright © 2016, Unesa University Press

All right reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

(4)

SUSUNAN TIM

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan

Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc

Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes

drg. Made Asri Budisuari, M.Kes

dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH

drs. Kasno Dihardjo

dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK Sekretariat : Mardiyah, SE. MM

(5)

Koordinator Wilayah:

1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala

2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan

3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan

4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru

5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan

6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat

7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng

9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke

10.dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11.Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu

Raijua, Kab. Tolikara

12.drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna

(6)

KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.

Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

(7)

Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

(8)

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Lokasi dan tujuan penelitian ... 4

1.3.Metode pengumpulan data... 6

1.4.Kelemahan penelitian ... 7

1.5.Gambaran singkat sistematika buku ... 7

BAB 2 BUDAYA ... 9

2.1. Sejarah ... ... 9

2.2. Geografi dan Kependudukan ... 14

2.3. Sistem Religi ... 23

2.4. Organisasi Sosial Kemasyarakatan ... 38

2.5. Pengetahuan Tentang Kesehatan ... 44

2.6. Bahasa ... 45

2.7. Kesenian ... 45

2.8. Mata Pencaharian ... 46

BAB 3 DINAMIKA PELAYANAN KESEHATAN... 48

3.1.Tenaga Kesehatan ... 49

3.2. Sarana Kesehatan ... 52

3.3. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat... 54

3.4. Kejadian Sakit di Masyarakat Desa Nunk ... 58

3.5. Upaya Mencari Pengobatan ... 61

3.6. Kesehatan Ibu dan Anak dalam Balutan ... 63

(9)

BAB 4 PESTA MUDA MUDI, BAGAI PISAU BERMATA DUA ... 115

4.1. Pesta Muda Mudi, upah baku tolong ... 115

4.2. Potret remaja. ... 121

4.3. Mengapa remaja perlu diperhatikan ... 124

4.4. Cerita tentang perkawinan dini ... 131

4.5. Pesta muda-mudi sebuah dilema ... 133

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 136

5.1. Kesimpulan ... 136

5.2. Rekomendasi ... 137

DAFTAR PUSTAKA ... 141

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Persebaran Tenaga Bidan di Desa Tahun 2013 51 Tabel 3.2 10 Penyakit Pada Pelayanan Kesehatan ... 61 Tabel 3.3 Data Ibu Hamil dan ibu hamil risti

di Kecamatan Pinolosian ... 72 Tabel 3.4 Jumlah ibu yang mendapatkan tablet Fe 1 dan Fe 3 ... 73 Tabel 3.5 Jumlah pemberian ASI Eksklusif

di Puskesmas Pinolosian Tahun 2014 ... 89 Tabel 3.6 Data kepemilikan jamban ... 112 Tabel 3.7 Jumlah bangunan atau rumah bebas jentik nyamuk . 114 Tabel 4.4 Data Pernikahan di Bawah Usia 20 tahun

(11)
(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bus Penghubung Bolsel ... 12

Gambar 2.2 Pengangkut Hasil Bumi ... 13

Gambar 2.3 Desa Nunuk dilihat dari Satelit ... 14

Gambar 2.4 Desa Nunuk dan Sungai Pinolosian ... 16

Gambar 2.5 Sungai Pinolosian ... 17

Gambar 2.6 Sungai sebagai sumber air minum ... 18

Gambar 2.7 Penambangan batu dan pasir di sungai Pinolosian ... 19

Gambar 2.8 Pemukiman Desa Nunuk ... 21

Gambar 2.9 Pemanfaatan air sungai ... 22

Gambar 2.10 Patung Bogani di Kota Kotamobago ... 24

Gambar 2.11 Pengajian kaum ibu ... 29

Gambar 2.12 Imam membacakan adzan ... 32

Gambar 2.13 Pernikahan di Desa Nunuk ... 33

Gambar 2.14 Undangan Pernikahan ... 34

Gambar 2.15 Perlengkapan upacara momolapag ... 42

Gambar 2.16 Menjemur Biji Coklat ... 47

Gambar 3.1 Tenaga kesehatan berdasarkan keahlian ... 50

Gambar 3.2 Poskesdes desa nunuk dan Puskesmas Pinolosian ... 54

Gambar 3.3 Kegiatan di posbindu ... 56

Gambar 3.4 Pelayanan posyandu lansia ... 57

Gambar 3.5 Pola penyakit rawat jalan ... 59

Gambar 3.6 Pemeriksaan Kehamilan ... 70

Gambar 3.7 Lemon Suwanggi ... 73

Gambar 3.8 Biang sedang merawat Induwa ... 85

Gambar 3.9 Ayah menyiapkan susu formula ... 90

Gambar 3.10 Nenek menyuapi cucunya yang berusia 1 bulan ... 91

Gambar 3.11 Jimat atau lingkit untuk bayi ... 94

Gambar 3.12 Bayi di dalam ayunan atau gogundanan ... 95

Gambar 3.13 Kader menimbang balita ... 97

(13)

Gambar 3.15 Daun Gedi atau Yondog ... 105

Gambar 3.16 Merokok sambil menggendong anaknya ... 107

Gambar 3.17 Sumur suntik ... 110

Gambar 3.18 WC umum di Desa Linawan ... 113

Gambar. 4.1 Pesta muda mudi ... 119

Gambar. 4.2 Salah satu acara remaja di bolsel ... 123

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Negara indonesia merupakan negara yang besar dengan sumberdaya alam yang melimpah. Hal tersebut merupakan potensi untuk bisa memberikan penghidupan bagi rakyatnya untuk menjadi sejahtera. Masalahnya, potensi yang sedemikian besar tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan optimal. Kemiskinan masih menjadi permasalahan yang mendapatkan perhatian serius. Berdasarkan data BPS, prosentasi kemiskinan di Indonesia pada bulan maret 2014 adalah 11,25 % atau sekitar 28,28 Juta jiwa (BPS,2014).

Berbicara tentang kesejahteraan masyarakat, UNDP menggunakan Human Development Index sebagai tolok ukur untuk melihat kesejahteraan masyarakat. Tiga dimensi yang digunakan untuk melihat kesejahteraan adalah kesehatan, pendidikan, serta sosial ekonomi. Sementara ini, Indonesia masih berada di peringkat 111 dunia.(https://id.wikipedia.org/wiki) Hal tersebut menjadi poin penting untuk diperhatikan oleh pemerintah dan semua lapisan masyarakat di Indonesia.

Memperhatikan kondisi kesejahteraan masyarakat sebagaimana tergambar pada peringkat HDI, Pemerintah Indonesia sudah berusaha untuk mengadakan perbaikan pada semua bidang. Dibidang kesehatan, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya kesehatan. Pencanangan indonesia sehat 2010, sampai pada komitmen mensukseskan Millenium Development Goals. Namun demikian, beberapa indokator penting masih belum bisa dikatakan baik. Angka kematian ibu dan bayi masih saja menjadi permasalahan, Tuberkulosis paru (TB), Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Kusta, serta berbagai macam penyakit menular maupun penyakit tidak menular masih perlu mendapatkan penanganan serius. Survei Demografi Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan bahwa Angka

(15)

Kematian Ibu (AKI) 359/100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi (AKB) 32/1.000 kelahiran hidup. SDKI mencatat lebih dari tiga perempat kematian balita terjadi dalam tahunpertama kehidupannya dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus.1

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa 95,4% kelahiran mendapat pemeriksaan kehamilan. Namun data tersebut melihat adanya kesenjangan antara indikator K1 dan K4. Ada selisih sebesar 12% yang merupakan jumlah ibu hamil yang tidak melanjutkan pemeriksaan minimal 4 kali selama kehamilannya. Prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita didapati angka yang fluktuatif dan meningkat pada tahun 2013 yang sebelumnya sempat turun pada tahun 2010. Data mengenai diare mengalami penurunan angka period prevalence dari 9,0% di tahun 2007 menjadi 3,5% ditahun 2013. Namun untuk pneumonia mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke 2013 yaitu 2,1% naik menjadi 2,7%. TB paru masih di angka yang sama yaitu 0,4%. Hepatitis mengalami kenaikan dari 0,9% ditahun 2007 menjadi 1,2% ditahun 2013. Data Riskesdas juga memperlihatkan bagaimana kejadian hipertensi mengalami peningkatan dari 7,6% pada tahun menjadi 9,5% di tahun 2013. Penyakit stroke juga mengalami peningkatan dari 8,3/1000 pada tahun 2007 menjadi 12,1/1000 pada tahun 2013. Demikian juga untuk penyakit Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1% tahun 2007 menjadi 2,4% di tahun 2013.2

Gambaran permasalahan kesehatan diatas, sudah sepatutnya untuk bisa dilihat dari sudut yang berbeda. Bukan hanya melihat bagaimana kejadian penyakit itu terjadi, tetapi lebih jauh lagi. Akar dari sebuah permasalahan timbulnya penyakit, serta bagaimana suatu penyakit bisa tetap eksis di suatu wilayah tertentu perlu untuk

1 Badan Pusat Statistik.Survey Demografi Kesehatan Indonesia.2012. Jakarta:Badan

Pusat Statistik, macro International, Bappenas.2012

(16)

diungkap. Dimensi yang perlu mendapat perhatian serius dan perlu digali lebih dalam adalah budaya. Budaya menjadi salah satu penentu terhadap kejadian kesakitan di suatu daerah, lebih khusus lagi di suatu suku atau etnis tertentu. Melihat begitu banyaknya jumlah suku bangsa dengan berbagai pola kehidupan yang beragam menjadi penting untuk di perhatikan. Kegagalan intervensi masalah kesehatan antara lain karena kita tidak bisa memahami sepenuhnya keberadaan manusia secara humanis, termasuk sisi budaya yang dianut.

Penelitian ini akan menjadi sesuatu yang sangat menentukan dan penting. Mengapa? Hal tersebut tidak lain karena kesehatan bukan semata-mata masalah penyakit, tetapi lebih terkait dengan masalah perilaku dan budaya. Jika telah tiba masa, dimana kondisi kesehatan masyarakat, kejadian penyakit dan permasalahan kesehatan tidak bisa lagi digeneralisir, ini mengindikasikan untuk bisa dimahami secara lebih dalam. Bagaimana budaya dengan tradisi dan kepercayaannya mampu mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Dari sanalah penanganan permasalahan menjadi spesifik di wilayah tertentu.

Melalui riset etnografi kesehatan ini, dasar dari sebuah kejadian penyakit bisa diketahui secara holistik. Kondisi terkini pun, peran budaya sebenarnya sudah harus diperhatikan. Misalnya, beberapa masyarakat masih mempercayai adanya gangguan roh halus terhadap kesehatan dan keselamatan janin, penggunaan ramuan tradisional yang dianggap mampu memberikan kesembuhan pada ibu pasca melahirkan, bahkan pada salah satu etnis di papua menganggap bahwa melahirkan adalah hal yang kotor, sehingga proses persalinan harus dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain. Selain itu, Pola pemberian makanan tambahan bahkan pada bayi yang masih berusia beberapa hari masih acap kali dijumpai. Hal ini sangat membahayakan bagi kesehatan serta keselamatan bayi tersebut. Hasil riset etnografi tahun 2012 pada etnik nias bahkan mengharuskan seorang ibu hamil untuk tetap bekerja sampai menjelang masa persalinan. Hal ini jelas

(17)

akan membahayakan kesehatan baik sang ibu maupun janin yang dikandungnya.

Maka, dari realita yang ada di bangsa ini dengan segala kompleksitasnya. Pemerintah tidak lagi akan hanya “menggelontorkan” program kesehatan secara seragam di semua wilayah Kabupaten / Kota. Tetapi diharapkan mampu mengangkat potensi lokal yang ada dan mengemas sedemikian rupa sehingga proses yang terjadi di masyarakat adalah berangkat dari kesadaran mengenai pentingnya kesehatan di masyarakat.

1.2.Lokasi dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari Riset Etnografi Kesehatan (REK) Badan Litbang Kesehatan. Pada tahun 2015, REK ini dilakukan di 30 etnis yang tersebar di seluruh indonesia. Pemilihan lokasi penelitian sebenarnya di dasarkan pada hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dengan nilai yang rendah. Kondisi tersebut perlu di lihat lebih jauh lagi, faktor utama apa yang menyebabkan permasalahan kesehatan yang terjadi di suatu kabupaten tertentu.

Seperti yang dijelaskan di awal bahwa penelitian ini didasarkan pada nilai IPKM yang rendah, atau ada penurunan nilai IPKM tahun 2013 ke tahun 2007. Salah satu daerah yang terpilih sebagai lokasi penelitian adalah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. Berdasarkan IPKM tahun 2013,kabupaten yang lebih dikenal dengan nama Bolsel menduduki peringkat 433 secara nasional. Ditingkat Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Bolsel menduduki peringkat terbawah yaitu 15 dari 15 Kabupaten/ Kota di Sulawesi Utara dengan nilai 0,5910.

Maka, untuk mengetahui permasalahan kesehatan tersebut, diperlukan penelitian yang mendalamditinjaui dari aspek budayanya.Khususnya budaya dari etnis mongondow yang merupakan komunitas yang banyak menghuni Kabupaten Bolsel. Untuk permasalahan kesehatan, pada penelitian ini akan dilihat

(18)

permasalahan kesehatan seperti Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Penyakit Menular (PM) serta Penyakit Tidak Menular (PTM)

Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu mengangkat satu tema utama yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan hasil diskusi dengan Dinas Kesehatan setempat, di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, pelaksanaan studi dilakukan di Desa Nunuk Kecamatan Pinolosian. Menjadi perhatian peneliti adalah permasalahan kesehatan reproduksi remaja. Data awal yang diperoleh dari Dinas Kesehatan adalah masih dilakukannya perkawinan usia dini. Kasus-kasus pernikahan dini pada usia sekolah banyak dijumpai, bahkan diawali dengan kehamilan.

Ini menjadi penting untuk diperhatikan. Mengapa? Karena dalam konsep continuum of care, kita tidak bisa melakukan intervensi secara sepotong – sepotong. Kesehatan Ibu dan Anak menjadi satu kesatuan yang utuh mulai dari Pasangan Usia Subur (PUS) sampai kepada Masa remaja. Kita akan mendapatkan generasi yang sehat ketika remaja kita juga sehat, seorang balita akan mendapatkan pengasuhan yang baik bila ibunya memiliki kesiapan mental. Itulah beberapa hal yang melatar belakangi pentingnya untuk memperhatikan permasalahan remaja.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan budaya masyarakat etnis mongondow di Kabupaten Bolaang Mangondow Selatan

2. Menggambarkan kondisi dan masalah kesehatan di Kabupaten Bolaang Mangondow Selatan secara umum dan di Kecamatan Pinolosian secara khusus sebagai daerah studi.

3. Menganalisa kebudayaan dalam rangka memahami masalah kesehatan reproduksi remaja pada etnik Mongondow Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan

4. Menyusun rekomendasi berdasarkan kearifan lokal untuk penyelesaian masalah kesehatan reproduksi remaja.

(19)

1.3. Metode pengumpulan data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana peneliti terjun langsung ke masyarakat untuk mendapatkan gambaran secara komperhensif mengenai permasalahan kesehatan ditinjau dari aspek budaya. Dalam upaya mendapatkan data-data yang sahih di dalam masyarakat, peneliti berupaya semaksimal mungkin membaur dan menyatu dengan masyarakat. sehingga hasil wawancara, foto, video, serta pengamatan peneliti terjadi secara alamiah dan se-natural mungkin untuk menjaga vaiditas data. Menjadi cacatan penting bahwa dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri.

Sebagai instrumen penelitian, peneliti merasakan tidak mudah dalam mendapatkan data di lokasi yang baru. Merupakan kewajaran bila masyarakat masih tertutup dengan kehadiran peneliti di wilayahnya. Namun melalui pendekatan kepada aparat kampung serta tetua adat yang ada di lokasi penelitian, peneliti mampu meyakinkan masyarakat bahwa kepentingan penelitian ini jauh lebih besar untuk bisa di lakukan.

Dalam penelitian ini, peneliti di bantu oleh 2 asisten peneliti yang merupakan salah satu cara untuk menjembatani peneliti dengan masyarakat, apabila ada kendala dalam bahasa yang tidak peneliti pahami. Data yang peneliti dapatkan adalah utamanya melalui proses wawancara secara mendalam kepada informan penelitian. Istilah informan dalam penelitian kualitatif menjadi umum digunakan. Informan adalah orang yang memberitahu atau menjawab pertanyaan atau memberikan informasi tentang kebudayaannya (Nunik K, dkk. 2015).

Dalam menguatkan fakta yang ada, peneliti melengkapi dengan hasil observasi lapangan, penelusuran dokumen dan data sekunder. Data tersebut peneliti dapatkan dari Desa, Puskesmas, maupun Dinas Kesehatan. Selain itu, studi literatur juga peneliti

(20)

anggap penting, Dalam rangka untuk memperkuat analisa tentang permasalahan kesehatan yang terjadi. selain itu, dalam upaya menjaga validitas informasi yang diterima, trianggulasi data menjadi perlu untuk dilakukan.

Dalam melakukan analisa data, bukanlah menjadi bagian yang sederhana untuk dilakukan. Peneliti perlu memilah data melalui matriks, mengkomparasikan data-data dilapangan dengan data sekunder yang ada, serta bagaimana memahami konsep etik yang ada dimasyarakat kemudian dianalisa secara emik berdasarkan pemahaman dari sisi kesehatan menjadi sebuah tahapan yang tidak mudah. Namun demikian, bukan menjadi hambatan peneliti, namun lebih kepada tantangan yang harus diselesaikan guna mendapatkan gabaran yang jelas dan padat mengenai permasalahan yang terjadi. 1.4. Kelemahan penelitian

Disadari atau tidak, memang penelitian ini bukanlah menjadi penelitian yang sempurna. waktu penelitian yang singkat menjadi poin utama terhadap permasalahan riset etnografi ini. mengapa? Idealnya memang untuk melihat secara utuh kebudayaan yang ada dimasyarakat atau etnis tertentu dibutuhkan waktu 1 tahun penelitian. Sehingga peneliti bisa mengetahui secara utuh kebudayaan yang terjadi di masyarakat baik dilihat dari sisi musim, ritual tertentu pada waktu tertentu atau hal lain yang terjadi.

Selain itu bahwa penentuan lokasi pada etnik tertentu yang hanya dilakukan pada satu desa jelas tidak mencakup seluruh wilayah yang didiami oleh etnik mongondow. Sehingga menjadi poin penting bahwa hasil dalam penelitian ini adalah lokal spesifik dan tidak bisa digeneralisir.

1.5 Gambaran singkat sistematika buku

Dalam memberikan sebuah ulasan penelitian ini, peneliti mencoba menjabarkan hasil temuan selama periode penelitian tersebut menjadi lima bab.

(21)

Pada bagian pertama peneliti menggambarkan tentang apa sebenarnya yang mendasari penelitian ini dilakukan. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai tujuan penelitian, kelemahan penelitian, maupun bagaimana peneliti mendapatkan data secara lengkap.

Pada bagian kedua, dijelaskan mengenai beberapa unsur budaya yang ada pada etnik mongondow mulai dari perkawinan, kematian, bahasa, serta mitologi yang berpengaruh pada kondisi kesehatan di masyarakat.

Bagian ketiga, dijelaskan mengenai gambaran pelayanan kesehatan di bolaang mongondow selatan. Selain itu beberapa penyakit yang banyak dijumpai juga dijelaskan. Bab ini juga menjelaskan tentan kondisi Kesehatan Ibu Dan Anak serta bagaimana Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada etnik Mongondow.

Bagian keempat menjelaskan mengenai tematik yang merupakan fokus studi ini yaitu mengenai kesehatan reproduksi remaja yang dalam hal ini adalah melalui pintu masuk Budaya Pesta Muda Mudi yang mulai menjamur d masyarakat.

Pada bagian terakhir ini, peneliti berupaya menyimpulkan permasalahan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah rekomendasi apa yang bisa di lakukan oleh semua pihak yang merasa dirinya peduli terhadap kesehatan pada etnik Mongondow khususnya kesehatan reproduksi. Poin ini menjadi penting dalam upaya perbaikan kesehatan di Masyarakat. peneliti akan mencoba menawarkan beberapa rekomendasi teknis yang bisa diterapkan. Namun, rekmendasi tersebut akan terfokus pada permasalahan utama pada buku ini yaitu permasalahan remaja.

(22)

BAB 2

BUDAYA ETNIK MONGONDOW 2.1. SEJARAH

2.1.1. Asal Usul Desa

Perkembangan Desa Nunuk ini diawali dengan kedatangan orang-orang dari daerah Kotobangon, yang sekarang dikenal sebagai Kotamobago, daerah Loloyan, dan Dumoga. Kedatangan mereka ini terjadi pada tahun 1917. Orang yang pertama kali datang dari Kotobango, yang sekarang dikenal sebagai Kotamobago adalah keluarga Paputungan dan Gonibala. Sedangkan yang datang dari Lolayan adalah keluarga Paputungan juga. Awalnya Desa Nunuk disebut dengan nama Idugi, yang artinya duri karena banyak ditemukan batu berduri.

Mereka datang pertama kali ke Idugi yang terletak di daerah pesisir selatan dengan maksud untuk membuat garam dari air laut modapug.Selain itu mereka juga mencari lahanuntuk pertanian. Dalam pencariannya mereka menemukan lahan, yang dianggap bagus untuk pertanian dan perkebunan. Temuan tersebut merupakan kabarkan kepada sanak keluarga.

Beberapa bulan kemudian anak-anak mereka datang dengan membawa lengkap alat pertanian bersama dua bersaudara pandai besi Makalentang dari Kininolotagan Dumoga.Hampir bersamaan dengan mereka datang juga dari Desa Doloduo Dumuga yaitu Bapak A.D. Kobandaha dengan tujuan membuat garam.

Periode tahun 1917-1923 jumlah penduduk yang datang di Idugi semakin berkembang hingga mencapai 47 Kepala Keluarga dan terdaftar sebagai penduduk sementara di Desa Tolotoyon, yang kemudian menjadi Desa Pinolosian. Semakin lama penduduk yang bermukim di perkebunan Idugi bertambah, tahun 1932 tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh adat mengadakan pertemuan untuk membahas dan sepakat membentuk pedukuhan untuk diajukan ke

(23)

Pemerintahan Desa Tolotoyon, yang diberi nama Pedukuhan Idugi. Pada tahun 1932 juga dibangun lapangan dan sekolah dasar di Idugi (Profil Desa Nunuk).

Idugi disahkan sebagai Pedukuhan di tahun 1932 oleh Sangadi Tolotoyon. Sejak itu, jumlah penduduk semakin bertambah, baik karena pendatang dan atau kelahiran. Sejak tahun 1945 penduduk Pedukuhan Idugi menuntut untuk memisahkan diri dari Desa Tolotoyon dan membentuk Desa sendiri, karena merasa jumlah penduduknya sudah bertambah banyak dan cukup untuk menjadi satu desa sendiri. Tahun 1951 tuntutan pembentukan Desa sendiri lepas dari Desa Tolotoyon semakin menguat. Tahun 1952 penduduk Pedukuhan Idugi mulai melakukan pemogokan terhadap perintah Sangadi Desa Tolotoyon.Puncak pemogokan penduduk Idugi adalah tidak melaksanakan perintah yang diturunkan Sangadi Desa Tolotoyon untuk menghias pagar rumah dalam rangka peringatan Kemerdekaan RI. Kejadianini membuat Aparat Desa Tolotoyon marah dan melakukan perusakan pagar-pagar rumah penduduk.

Akhirnya penduduk Pedukuhan Idugi berkumpul untuk membahas pemisahan dari Desa Tolotoyon. Penduduk Pedukuhan Idugi sepakat mengutus lima tokoh masyarakat untuk menghadap Kadato, suatu lembaga yang memimpin beberapa Desa di Dumoga. Mereka diterima langsung oleh Mayor Kadota yang dijabat oleh Bapak D. Dilapanga. Kelima tokoh tersebut adalah;T.B. Paputungann, H.B. Sugeha, H. Gonibala, H.M. Paputungan, dan A. Bonde. Berdasarkan petunjuk Mayor Kadota Bapak D. Dilapanga maka H.M. Paputungan dan A. Bonde diperintahkan kembali ke Pedukuhan Idugi untuk menenangkan penduduk. Sedangkan ketiga tokoh masyarakat yang lain bersama-sama dengan Mayor Kadato menyampaikan aspirasi penduduk Pedukuhan Idugi kepada Bupati Kabupaten Bolaang Mongondow di Kotamobago. Pengajuan aspirasi penduduk ini disetujui langsung oleh Bupati, dengan memerintahkan kepada Mayor

(24)

Kadota dan tiga tokoh masyarakat Idugi untuk melengkapi persyaratan yang dibutuhkan.

Tanggal 10 Oktober 1953 di Pasanggrahan Desa Tolotoyon dilaksanakan peresmian Pedukuhan Idugi menjadi Desa Idugi. Sebagai pemimpin selanjutnya dilantik dan diambil sumpah Sangadi Desa Idugi yang pertama, yaitu Bapak T.B. Paputungan.

Tahun 1957 nama Desa Idugi diganti dengan nama Desa Nunuk. Arti nama Nunuk adalah pohon beringin. Desa Idugi merupakan pemukiman yang dekat dengan aliran sungai Pinolosian, pada masa tersebut sungai merupakan sarana transportasi dan kegiatan ekonomi. Di pinggir sungai ada pohon beringin besar tempat perdagangan antara masyarakat Idugi dengan masyarakat dari Gorontalo. Hasil perkebunan masyarakat Idugi dibeli oleh para pedagang dari Gorontalo dengan menggunakan fasilitas sungai sebagai alat transportasinya. Sebagai tempat yang dianggap penting untuk perkembangan Desa Idugi maka masyarakat sepakat mengganti nama Idugi yang berarti duri (karena banyak tanaman berduri saat itu) menjadi Desa Nunuk.Tanggal 10 Oktober 1953 Desa Idugi resmi berdiri sendiri lepas dari Desa Tolotoyon dan tahun 1957 berganti dengan nama Desa Nunuk (Profil Desa Nunuk).

2.1.2. Perkembangan Desa

Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan sebagai bagian dari pemekaran kabupaten maka pembangunan infrastruktur fasilitas pemerintah dan akses transportasi menjadi prioritas percepatan. Desa Nunuk pun menjadi bagian dari percepatan karena wilayahnya adalah bagian dari Trans Selatan Sulawesi. Kondisi jalan utama 10 tahun lalu masih dalam bentuk berbatu macadam saat ini sudah aspal dan lebar. Jalan desa yang ada pemukiman padat penduduk sudah diaspal juga, beberapa masih batu makadam sudah mulai direncanakan untuk diaspal. Jalan-jalan menuju perkebunan masih berupa jalan tanah.

(25)

Gambar 2.1. Bus Penghubung Bolsel Sumber : Dokumentasi Peneliti

Transportasi dari dan ke desa Nunuk menghubungkan dengan daera-daerah di sekitar Kabupaten Bolaang Mongondow mengandalkan kendaraan pribadi atau bentor (becak motor). Transportasi ke Kota Kotamobago dapat diakses dengan angkutan umum Bus Damri atau Oto. Kendaraan ini hanya ada satu kali jalan sekitar jam 8 pagi dari Desa Nunuk dan jam 2 siang dari Kotamobago. Bus Damri sendiri setelah lewat Kotamobago langsung ke Manado. Dari Manado pun Bus Damri hanya sekali keberangkatan ke Bolsel terakhir di Desa Kombot Kecamatan Pinolosian, berankat jam 8 pagi juga. Begitu juga transportasi Bolsel Gorontalo dan Gorontalo Bolsel hanya sekali pemberangkatan pada jam 8 pagi. Untuk anak-anak sekolah disediakan bis gratis oleh Pemerintah Kabupaten Bolsel.

Dengan kondisi jalan utama relatif bagus dan alat transportasi umum ke Kota Kotamobago dan Kota Manado tersedia maka mobilitas penduduk keluar masuk Desa Nunuk lebih mudah diakses meski terbatas. Kondisi ini memudahkan bagi anak-anak yang melanjutkan sekolah ke Kotamobago atau Manado.

(26)

Gambar 2.2. Pengangkut Hasil Bumi Sumber : Dokumentasi Peneliti

Perkembangan desa dari sisi pertanian dan perkebunan tidak ada perubahan besar. Perkebunan diolah apa adanya, tidak ada perawatan khusus, semua tumbuh dengan mengandalkan potensi alam. Hasil pertanian atau perkebunan kebanyakan untuk memenuhi kebutuhan kota dan daerah disekitarnya. Mobil sejenis pick up, truk, dan roda-roda suatu angkutan tradisional gerobak yang ditarik oleh sapi, merupakan alat transporasi untuk mengangkut hasil bumi Desa Nunuk ke daerah tujuan.

Sehubungan dengan perkembangan di dunia komunikasi, sebagian besar penduduk sudah menggunakan ponsel untuk alat komunikasi. Telkomsel dan Indosat, merupakan provider jaringan komunikasi yang dapat diakses. Masyarakat di Desa Nunuk, khususnya mereka yang berada di daerah pemukiman dapat mengakses jaringan komunikasi. Selain dari lokasi pemukiman, apalagi masuk perkebunan, jaringan komunikasi sulit didapat. Tidak ada yang menggunakan telpon rumah karena di Desa Nunuk tidak ada jaringan. Bahkan dipusat pemerintahan Bolaang Uki pun jaringan Telkom tidak bisa terlalu diandalkan karena seringkali ada gangguan jaringan.

(27)

2.2. GEOGRAFI DAN KEPENDUDUKAN 2.2.1. Geografi

Desa Nunuk merupakan salah satu Desa dari 10 Desa di Kecamatan Pinolosian, yang terletak 1 Km arah Barat dari Ibukota Kecamatan Pinolosian. Luas wilayahnya sekitar 32.000 Ha. Sebagai daerah yang berbatasan langsung dangan laut, desa ini terletak pada ketinggian 2 meter dari permukaan air laut. Secara administratif Desa Nunuk memiliki batas dengan wilayah Kecamatan Dumoga di sebelah Utara, Laut Maluku di sebelah Selatan, Desa Pinolosian dan Desa Ilomata di sebelah Timur dan di bagian barat berbatasan dengan Desa Linawan.

Gambar2.3. Desa Nunuk dilihat dari satelit Sumber : Google Map

(28)

Pemukiman penduduk di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan berdasarkan pengamatan secara langsung terletak kurang lebih 1 Km dari Jalan Trans Sulawesi Utara, begitu juga pemukiman di Desa Nunuk. Pusat-pusat pemerintahan pun relatif berada di dekat Jalan Trans Sulawesi Utara. Jarak Desa Nunuk dengan Kecamatan Pinolosian sekitar 1 Km, dengan Kabupaten sekitar 280 Km, dan dengan Provinsi sekitar 280 Km.

Berdasarkan data Profil Desa pola penggunaan tanah di Desa Nunuk terbesar adalah tanah pertanian 207 Ha, kemudian hutan produksi 107 Ha, tanah perkebunan 95 Ha, tanah persawahan 60 Ha, dan tanah pekarangan 8 Ha. Tanaman produksi pertanian terbanyak di Desa Nunuk antara lain kelapa, durian, duku, coklat, cengkih, dan pala. Selain itu juga ada pohon aren untuk diolah menjadi gula dan sayur-sayuran untuk konsumsi sendiri.

Pengamatan peneliti menunjukkan bahwa hasil produksi pertanian di Desa Nunuk tidak dikembangkan dengan optimal. Peneliti tidak melihat adanya diversifikasi usaha yang memberikan nilai tambah ekonomi. Kelapa hanya sekedar diambil buahnya saja menjadi kopra dan dijual ke luar daerah. Pohonnya bila sudah tua dipotong dan dijadikan papan untuk bahan bangunan rumah. Buah durian dan duku hanya ada saat musim panen saja, selain dijual ke luar daerah juga dijual di pinggir-pinggir jalan. Sumber daya alam Desa Nunuk selain hutan dan tanah lahan juga ada sungai dan pantai Laut Malaka. Sungai memberikan nilai ekonomi pada pengambilan batu dan pasir untuk material infrastruktur pengembangan Kabupaten Bolsel sebagai daerah pemekaran.

Desa Nunuk seperti desa-desa lain di Pinolosian adalah desa dengan ketinggian antara 1 – 2 meter di atas permukaan air laut. Di sisi lain di atas Desa Nunuk terbentang pegunungan daerah Dumoga yang masih cukup deras mengalirkan air melalui sungai-sungai besarnya.Salah satunya adalah Sungai Pinolosian yang menjadi pembatas antara Desa Nunuk dan Desa Pinolosian.Sebagai

(29)

pemukiman yang terletak 2 meter diatas ketinggian laut, ketika terjadi air laut pasang bersamaan dengan hujan lebat, maka seringkali terjadi banjir. Kondisi alam ini menjadikan Desa Nunuk sebagai desa di Kabupaten Bolaang Mongondow yang rawan bencana banjir.

Gambar 2.4. Desa Nunuk dan Sungai Pinolosian Sumber : Goggle Map

Sebagaimana tampak pada gambar, aliran sungai di sebelah Timur terlihat lebih lebar dari pemukiman penduduknya. Dalam berbagai pemberitaan media online dapat diketahui bahwa sejak tahun 2008 tercatat 4 kali terjadi banjir bandang di Desa Nunuk.

(30)

dan tahun 2014 pada bulan Agustus. Ketinggian banjir yang merendam pemukiman penduduk antara 1-2 meter. Untuk mengatasi bahaya banjir, saat ini sedang dilanjutkan pembangunan tanggul pembatas sungai.

Gambar 2.5. Sungai Pinolosian Sumber : Dokumentasi Peneliti

Sungai Pinolosian merupakan sumber air yang sangat diandalkan oleh penduduk Desa Nunuk untuk pengairan sawah. Debit air yang cukup tinggi dan kondisi air yang jernih, merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air masyarakat. Saluran irigasi yang melewati daerah pemukiman dimanfaatkan untuk sarana mandi cuci kakus (MCK). Untuk memenuhi kebutuhan air minum, ada yang masih memanfaatkan air sungai dan ada yang sudah mengandalkan air sumur yang dimiliki oleh sedikit penduduk.

(31)

Gambar 2.6. Sungai sebagai sumber air minum Sumber : Dokumentasi Peneliti

Saat ini kondisi Sungai Pinolosian terancam kelestariannya, material batu dan pasir diambil dan dikeruk besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Suatu proses yang harus dilakukan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan sebagai tindak lanjut dari kabupaten pemekaran yang dimanatkan oleh UU No 30 tahun 2008. Sebuah dilema bagi penduduk, di satu sisi membawa dampak kerusakan alam, tetapi di sisi lain membuka lapangan kerja dan memberikan penghasilan bagi mereka.

Kontraktor pengembangan infrastruktur di Bolsel salah satunya ada yang menyewa tempat di Desa Nunuk untuk pengolahan material pembangunan mulai dari pasir, batu koral, hingga aspal. Pasir dan batu koral diambil dari Sungai Pinolosian. Penggalian pasir dan batu ini juga melibatkan masyarakat desa, pemuda-pemuda yang putus sekolah pun menjadi pengumpul batu dan kuli di perusahaan tersebut. Selain masyarakat di Desa Nunuk dan sekitarnya, perusahaan tersebut juga merekrut dari luar Bolsel, banyak dari Menado dan Makasar. Seperti yang disampaikan oleh Mamak Rijan yang bekerja sebagai tukang masak.

“...yang bekerja di pabrik lebih torang lihat seratus, banyak dorang sini, banyak juga dorang dari Menado dan Makasar”

(32)

Gambar 2.7. Penambangan batu dan pasir di sungai Pinolosian Sumber : Dokumentasi Peneliti

Pembangunan infrastruktur di Kabupaten Bolsel ini memang menjadi prioritas sebuah kabupaten pemekaran, tetapi eksploitasi sumber bahan material di sungai akan mengancam ekosistem sungai. Sumber-sumber mata air di sekitar bebatuan sungai yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat mulai banyak yang hilang. Ikan-ikan yang banyak terdapat di sungai juga akan berkurang bila habitatnya sudah rusak.

Di sisi lain melihat geografis keberadaan Desa Nunuk berdasarkan data BPS terletak di ketinggian 2 meter dari permukaan air laut dan di atasnya berjajar gunung-gunung yang cukup deras mencurahkan air ke Sungai Pinolosian. Berdasarkan berbagai rujukan media online hampir tiap tahun terjadi banjir bandang, yang membawa material gunung berupa batu dan pasir. Dampak dari banjir bandang ini secara alami membentuk kembali sungai-sungai dengan batu dan pasir.

(33)

2.2.2. Kependudukan

Data penduduk Desa Nunuk berdasarkan jenis kelamin terdiri 727 Jiwa laki-laki dan 628 jiwa perempuan, total adalah 1.355 orang. Tercakup dalam 377 Kepala Keluarga dengan perincian 368 Kepala Keluarga laki-laki dan 9 Kepala Keluarga perempuan. Dari 377 KK tersebut ada 67 Keluarga prasejahtera.Seluruh penduduk Desa Nunuk berjumlah 1.355 orang tersebut beragama Islam (Profil Desa Nunuk 2013).

Berdasarkan diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat, dikemukakan bahwa kebanyakan penduduk di Desa Nunuk bermarga Paputungan.Bisa jadi demikian sebab kekerabatan ini bersumber dari keluarga besar Paputungan di Kotamobago. Dari perjalanan sejarah, orang yang pertama kali datang ke Desa Nunuk adalah keluarga Paputungan dari Kotobango sekarang Kota Kotamobago. Selain etnis Mongondow, penduduk Desa Nunuk ada yang berasal dari etnis Gorontalo, Makasar, Bali, dan Jawa.

Data penduduk berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagai berikut; 156 orang saat ini sedang duduk di bangku SD, tamat SD ada 412 orang, tamat SMP ada 50 orang, tamat SMA ada 80 orang, sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi ada 10 orang, tamat S1 ada 16 orang, dan tamat S2 ada 1 orang. Di Desa Nunuk hanya ada 1 TK dan 1 SD, sedangkan untuk SMP dan SMA harus ke Kecamatan Pinolosian. Untuk masuk perguruan tinggi kebanyakan memilih di Kotamobago, Menado, Gorontalo, dan Makasar. Kabupaten Bolsel belum memiliki fasilitas perguruan tinggi.

Data penduduk berdasarkan mata pencaharian atau pekerjaan masyarakat Desa Nunuk terbesar adalah sebagai petani ada 303 orang. Pekerjaan lainnya adalah PNS ada 30 orang, karyawan swasta ada 10 orang, pedagang ada 8 orang, tukang ada 7 orang, buruh tani ada 7 orang, perawat/bidan ada 3 orang, tukang jahit ada 2 orang, dan tukang listrik ada 1 orang.

(34)

2.2.3. Pola Tempat Tinggal

Pola tempat tinggal berada di radius 1,5 km dari jalan utama Bolsel, sepanjang pantai Teluk Tomini. Perkampungan utama Desa Nunuk berada dekat jalan utama Trans Selatan Sulawesi. Kantor Desa, Lapangan Desa, dan Masjid Desa sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan Desa tepat berada di depan jalan Trans Selatan Sulawesi. Pemukiman penduduk Desa Nunuk terpusat di sekitar Lapangan Desa dan pinggir jalan Trans Selatan Sulawesi.

Perkembangan jumlah penduduk yang memerlukan rumah-rumah baru bagi anak keturunannya, mulai dibangun rumah-rumah-rumah-rumah di daerah perkebunan, yang awalnya untuk menjaga perkebunan dan ternak. Mulailah muncul pemukiman baru dalam bentuk kelompok rumah, yang seringkali masih ada ikatan kekerabatan.

Bangunan rumah yang terdapat di sepanjang jalan trans selatan Sulawesi mulai banyak bangunan permanen dengan dinding tembok, atap genting dan lantai keramik atau semen/plester. Sebagian lagi adalah bangunan rumah yang terbuat dari dinding papan kayu dengan atap seng dan lantai plester atau papan kayu.

Gambar 2.8. Pemukiman Desa Nunuk Sumber : Dokumentasi Peneliti

(35)

Berbeda dengan bangunan rumah yang terletak di pemukiman atas.Mayoritas rumah terbuat dari papan. Rata-rata bentuk bangunan rumah sangat sederhana, terdiri dari ruang tamu, 1 atau 2 kamar tidur, dan dapur. Jarang sekali ditemukan kamar mandi sebagai bagian dari rumah. Demikian juga dengan sumur, hanya dimiliki beberapa orang saja. Hal itu terjadi karena masih banyak orang yang menggunakan sungai dan saluran irigasi sebagai sarana MCK.

Di saluran irigasi atau biasa disebut koala, mereka melakukan aktifitas MCK, termasuk mencuci bahan makanan. Tidak jarang terlihat kotoran manusia terbawa aliran air melintasi ibu yang sedang mencuci baju dan piring. Di tempat seperti ini pula menjadi tempat bagi kaum ibu bertemu dan membicarakan banyak hal, mulai dari apa yang terjadi di desa sampai pada masalah politik, ekonomi dan sosial yang terjadi di level nasional.

Gambar 2.9. Pemanfaatan air sungai Sumber : Dokumentasi Peneliti

(36)

Fasilitas umum di lingkungan Desa Nunuk antara lain ada dua bangunan Masjid, satu di samping Kantor Desa masuk Dusun 1 dan satu lagi di dekat Pantai Modisi masuk Dusun 4. Selain masjid di tiap-tiap Dusun ada satu Posko ramadhan. Posko ini difungsikan saat masuk bulan Ramadhan dengan kegiatan tadarus atau membaca alquran. Dusun 4 ini cukup jauh terpisah dari Dusun 1, 2, dan 3, sekitar 5-10 Km dari Kantor Desa. Fasilitas yang sudah ada sejak desa ini dikembangkan tahun 1932 adalah satu lapangan besar dan satu buah SD/MI dulunya SR. Untuk pelayanan pemerintahan ada satu Kantor Desa, satu Puskesmas Pembantu, dan satu lagi sedang dibangun adalah Balai Desa.

2.3. SISTEM RELIGI 2.3.1. Kosmologi

Masyarakat etnis Mongondow di Desa Nunuk sangat mempercayai keberadaan arwah leluhur yang mereka sebut dengan BOGANI. Bogani sendiri dalam sejarahnya adalah pemimpin negeri/ kampung pada masa awal terbentuknya etnis Mongondow. Bogani ini adalah seseorang yang dianggap memiliki kekuatan luar biasa untuk memimpin dan melindungi masyarakatnya. Bogani sebagai pemimpin juga menjadi panglima perang pada jaman pembentukan dan pengembangan Kerajaan Bolaang Mongondow.

Kerajaan Bolaang Mongondow terakhir dipimpin oleh Henny Joesoef Cornelis Manoppo, yang berkuasa hingga tahun 1947-1950. Setelah melewati proses-proses politik yang berkembang saat itu maka Kerajaan Bolaang Mongondow secara resmi menjadi Kabupaten pada tanggal 23 Maret 1954 masuk menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan (Damopolii, A.P. Buku Perkembangan sejarah Kabupaten Bolaang Mongondow, 1984) dengan luas wilayah 50,3% dari luas wilayah Sulawesi Utara (http://budaya-indonesia.org/asal-mula-bolaang-mongondow/). Dari situ kita bisa melihat betapa

(37)

besarnya Kerajaan Bolaang Mongondow dan betapa kuatnya para panglima perangnya melebarkan kekuasaan kerajaan.

Gambar 2.10. Patung Bogani di Kota Kotamobago Sumber : Dokumentasi Peneliti

Etnis Mongondow sendiri di jaman dahulu sangat mempercayai arwah-arwah leluhur. Dalam perbincangan dengan penduduk Desa Nunuk, arwah leluhur yang mereka kenal adalah Bogani, yang dianggap masih hidup hingga saat ini. Bogani ini masih dianggap melindungi masyarakat dan kampung Desa Nunuk. Bogani pada masa kini adalah sesuatu yang diyakini melindungi perkebunan dan peternakan mereka. Bogani juga dianggap sebagai perlindungan untuk kesehatan, mengobati segala penyakit yang menimpa masyarakat. Bogani yang terkenal di Desa Nunuk ini adalah Bogani RONDONG. Nama Rondong ini diabadikan oleh masyarakat Desa Nunuk untuknama kesebelasan sepak bola Desa Nunuk dengan Rondong FC.

(38)

Penduduk Desa Nunuk seluruhnya beragama Islam. Agama Islam dan kuatnya kepercayaan terhadap keberadaan Bogani, membuat masyarakat berada diantara meyakini dan takut dianggap menyekutukan Tuhan bila mereka percaya bahwa Bogani mampu memberikan kesembuhan kepada manusia, tanaman, dan hewan. Namun demikian, musibah dan penyakit yang terjadi pada penduduk atau Desa seringkali dianggap sebagai teguran dari Bogani. Untuk mengatasi musibah dan menyembuhkan penyakit yang dianggap berasal dari Bogani, maka akan dilakukan upacara-upacara khusus.

Upacara untuk mengatasi kondisi sakit yang bersifat perorangan atau keluarga dan untuk mengatasi hama yang menyerang perkebunan maka mereka menyelenggarakan upacara momolapag. Ketika sakit dan sudah berobat ke fasilitas kesehatan modern, namun belum sembuh, maka mereka percaya bahwa kondisi itu disebabkan ada gangguan makhluk gaib yang ada di rumah atau di kebun. Begitu juga bila ada hama penyakit yang menyerang tanaman di perkebunan mereka atau ternak mereka, mereka menganggap sebagai peringatan dari makhluak ghaib dalam hal ini Bogani. Upacara momolapag ini dimaksudkan untuk meminta perlindungan kepada leluhur, untuk dapat menyembuhkan penyakit yang diderita, juga untuk memberantas hama-hama penyakit tanaman dan ternak.

Terkait keberadaan hal-hal ghaib, selain keghaiban sosok leluhur Bogani, masyarakat Desa Nunuk pun meyakini keberadaan arwah orang meninggal. Bila ada kematian yang dianggap tidak wajar, seperti bunuh diri, dibunuh, atau kecelakaan maka ada upacara khusus pengambilan arwah di tempat kejadian, yang disebut mogama kondimukud. Tujuannya, agar tersebut tidak memberikan pengaruh buruk kepada keluarga dan masyarakat sekitar.

Setelah dikubur pun kuburannya saat malam dijaga sampai 10 atau 14 malam. Hal ini dikarenakan jenasah orang yang meninggal tidak wajar ini dianggap memiliki kekuatan ghaib dan bisa dimanfaatkan untuk hal yang tidak baik. Perlu ada orang yang

(39)

menjaga kuburan tersebut. Kuburan dipagari bamboo, dikasih nyala api unggun, dan dijaga saat malam oleh keluarga yang meninggal. Meskipun begitu menurut salah satu tokoh masyarakat bahwa sesungguhnya tidak perlu dilakukan.

“...menjaga kuburan sampai 10 malam atau 14 malam dilakukan agar tidak ada orang bertapa mencari kekuatan pada arwah orang mati..itu tidak boleh dilakukan karena itu adalah syirik dalam agama islam..”

Dalam perspektif logika seperti yang disampaikan tokoh masyarakat tersebut bahwa pemberian pagar mengelilingi makam dan api unggun saat malam adalah agar kuburan tidak digali anjing atau babi yang memang masih banyak ada di perkebunan dan atau hutan di sekitar pemukiman penduduk Desa Nunuk.

Budaya etnis Mongondow adalah patuh dan sangat setia terhadap semua titah dan perintah raja, mereka sangat mempercayai bila siapa-siapa yang melawan perintah raja akan mendapatkan kutukan, yang disebut butungon (Damopolii, A.P.). Kepatuhan ini bisa dilihat bagaimana mereka kemudian memeluk agama Islam saat Raja mereka memeluk agama Islam. Menjalankan perintah tanpa bertanya menjadi kecenderungan budaya etnis Mongondow hingga saat ini. Banyak kegiatan-kegiatan ritual yang diselenggarakan tanpa mereka pahami maksud dan tujuannya, hanya sekedar melaksanakan saja. Sulit bagi peneliti untuk menggali lebih dalam nilai-nilai yang menjadi keyakinan mereka terhadap keberadaan leluhur dengan segala ritualnya, termasuk mengapa kuburan harus dijaga sampai malam kegenapan 10 atau 14.

2.3.2. Tradisi dan Praktek Keagaamaan

Masyarakat Desa Nunuk berdasarkan data profil Desa tahun 2014 berjumlah 1.355 orang dan keseluruhan beragama Islam. Berdasarkan dialog dengan masyarakat 90% dari jumlah penduduk

(40)

Mongondow Raja Yacobus Manuel Manoppo (1833-1858) menikah dengan putri dari seorang Hakim Agama Islam dari Gorontalo dengan syarat memeluk agama Islam. Raja Yacobus Manuel Manoppo meminta ijin Karisiden Menado untuk menyiarkan agama Islam kepada rakyatnya, sejak saat itu rakyat mulai memeluk agama Islam (Damopolii, A.P. 1986).

Sejarah agama di etnis Mongondow ini awalnya adalah keyakinan animisme dinamisme. dimana kisah asal usul etnis Mongondow ini pun penuh dengan misteri alam gaib, seperti hikayat lahirnya Raja yang pertama kali diangkat oleh para Bogani adalah lahir dari telur besar yang ditemukan pasangan suami istri Bogani, yang ditandai dengan gemuruh angin dan suara petir. Mereka memiliki kepercayaan pada roh-roh, dewa-dewa, dan ompu duata (Yang Maha Kuasa).

Raja Bolaang Mongondow yang pertama memeluk agama Islam adalah Loloda Mokoagow pada tahun 1653 karena memiliki hubungan baik dengan Sultan Ternate. Pada masa Loloda ini Islam belum berkembang karena Raja masih juga dengan keyakinan animism dan dinamisme (Damopolii, A.P., 1986). Belanda dengan salah satu misi zendingsempat bekerjasama dengan Raja Bolaang Mongondow. Namun agama Katolik ini tidak terlalu berkembang di masyarakat entnis Mongondow (Dunnebier, W., 1983).

Kedatangan ulama Gorontalo dan kemudian menikah dengan putri Raja Eugenius Manoppo (1767-1770) merupakan awal penyebaran agama Islam di Kerajaan Bolaang Mongondow. Meskipun Raja Eugenius Manoppo tidak masuk Islam tetapi mengijinkan ulama tersebut mensyiarkan Islam di lingkungan istana dan masyarakat. Perkembangan agama Islam di Bolaang Mongondow mulai marak ketika Raja Yacobus Manuela Manoppo masuk Islam (1689-1730) Perpindahan agama sang Raja dan keluarga akhirnya diikuti oleh seluruh rakyatnya.

(41)

Untuk etnis Mongondow yang telah tersebar di Minahasa dan menikah dengan masyarakat Minahasa yang beragama Kristen Katolik maka ada perbedaan penulisan marga, seperti Manoppo dan Manopo. Manoppo dengan huruf “P” dua adalah etnis Mongondow yang beragama Islam. Sedangkan Manopo dengan P satu adalah etnis Mongondow yang beragama Kristen. Gonibala Islam dan Onibala Kristen, Mamonto Islam dan Mamoto Kristen, Damopolii Islam dan Polii Kristen, dan hampir seluruh marga etnis Mongondow ada dua.

Sejak masa Kerajaan sudah ada pembagian urusan antara pegawai Adat dan pegawai Syariah/Agama. Di Bolaang Mongondow Raya hingga saat ini masih diberlakukan keberadaan pegawai Syariah dan Lembaga Adat. Pegawai Syariah inilah yang mengatur dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penduduk yang terkait kegiatan agama.Sedangkan Lembaga Adat atau Pemangku Adat adalahpegawai yang mengatur dan menyelenggarakan kegiatan adat ini disebut. Pegawai Syariah dan Pemangku Adat dipilih secara musyawarah oleh masyarakat desa melalui rapat desa yang dihadiri Aparat Desa, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Agama. Semua kegiatan agama dan adat penanggungjawabnya adalah Sangadi Desa.

Terkait dengan kegiatan keagamaan yang secara kelembagaan menjadi tanggung jawab pegawai syariah, berikut ini beberapa kegiatan yang dilakukan asyarakat.

a. Majlis Taklim, kegiatan pengajianibu-ibu dan pemudi yang dilakukansecara bergiliran di rumah warga.Pengajian rutin mingguan ini hanya khusus untuk kaum perempuan, tidak untuk kaum laki-laki. Kegiatan majlis ini adalah membaca Al-Quran secara bergilir. Semua yang hadir diberi kesempatan untuk membaca. Setelah selesai, tuan rumah biasanya menyiapkan makanan untuk dinikmati bersama.

(42)

Gambar 2.11. Pengajian kaum ibu Sumber : Dokumentasi Peneliti

b. Sholat Jumat, di Desa Nunuk dan desa lain di Bolaang Mongondow Selatan, kegiatan ibadah yang diwajibkan untuk kaum laki-laki,ternyata juga diikuti oleh jamaah perempuan. Saat ini Sangadi mewajibkan penduduk laki-laki yang sudah baligh untuk sholat Jumat berjamaah di Masjid. Bila tidak aktif sholat Jumat maka saat meninggalnya pegawai Syariah dan pemangku adat dilarang untuk merawat jenasah. Sejak saat itu saat sholat Jumat masjid penuh. Seperti yang disampaikan Sangadi berulang-ulang di setiap kesempatan hingga warga cukup jelas mengingatnya.

“...kalau ada yang tidak sholat Jumat maka kalau meninggal akan saya larang pegawai syar’i dan adat untuk mengurus jenasahnya, biar saja dibuang ke sungai atau ke laut”.

c. Peringatan Hari Besar Agama Islam, kegiatan ini selalu dilakukan dengan membaca doa bersama di Masjid Desa, seperti peringatan Isro’ Mi’roj. Biasanya kegiatan ini dipimpin Imam atau pegawaisyariah. Kaum perempuan menyiapkan makanan yang masing-masing dibawa dari rumah dan dimakan bersama.

(43)

d. Nifsu Syaban, melakukan doa secara bersama di Masjid pada tanggal 15 Syaban. Sebagian besar keluarga juga melakukan kegiatan ini dengan didampingi imam dan atau pegawai syariah.

e. Mandi bersama di Sungai Pinolosian sehari menjelang Bulan Ramadhan. Tujuan awalnya adalah untuk mensosialisasikan membaca niat bersuci masuk bulan Ramadhan.Saat itu masyarakat dikumpulkan dan secara bersama-sama mandi mensucikan diri. Tradisi ini dipimpin Imam dan pegawai syariat lainnya. Setelah sholat ashar mereka semua tua muda anak-anak baik laki-laki maupun perempuan turun bersama-sama ke sungai. Imam membaca niat untuk berpuasa selanjutnya secara simbolis mengguyur beberapa warga, dilanjutkan warga mengguyur badannya sendiri dan mandi di sungai. Setelah itu dilanjutkan sholat maghrib berjamaah di masjid..

Tradisi ini dulunya diikuti oleh seluruh warga, menjadi acara yang sangat dinanti-nantikan. Saat ini tradisi mandi di sungai menjelang bulan Ramadhan ini hanya diikuti remaja dan anak-anak, orang tua hanya mendampingi saja. Acara ini tetap dipimpin oleh Imam dan anggota pegawai syariah. Sayang sekali kegiatan penelitian justru selesai dua minggu sebelum masuk bulan Ramadhan sehingga peneliti tidak bisa mendokumentasikan kegiatan tersebut.

Mengapa orang-orang dewasa sudah tidak mengikuti kegiatan tersebut di atas. Salah satu informan menyampaikan bahwa sebagian besar orang-orang yang sudah dewasa sudah hafal bacaan niat berpuasa, selain juga sudah malu mandi di sungai. Pengamatan peneliti memang yang masih mandi di sungai adalah mereka yang tinggal di daerah atas dan tidak memiliki sumur, sedangkan yang tinggal di bawah sudah banyak yang memiliki sumur dan kamar mandi di rumah.

(44)

f. Posko Ramadhan, mengadakan kegiatan ramadhan seperti bazaar jajanan buka puasa, taraweh, tadarus, dan membangunkan sahur. Setiap Dusun memiliki satu posko seperti langgar, sehingga masyarakat menyelenggarakan kegiatan ramadahan berpusat di posko masing-masing. Menjelang buka puasa banyak masyarakat membuka stand menjual makanan minuman persiapan untuk buka, sehingga posko menjadi seperti pasar atau bazar. Selanjutnya dilakukan taraweh dan tadarus. Untuk tadarus sehari wajib selesai satu juz, dibaca dengan menggunakan pengeras suara sehingga semua masyarakat dusun pun bisa mendengar.

Selain melakukan kegiatan keagamaan sebagaimana tersebut diatas, masyarakat masih banyak melakukan kegiatan yang sifatnya tradisi. Beberapa tradisi yang dilakukan biasanya berkaitan dengan siklus kehidupan.

a. Kelahiran,

Pada saat kelahiran dilakukan adzan dan iqomat yang dilakukan oleh Imam atau pegawai syariah lainnya. Sebagai rentetan kegiatan, setelah itu dilakukan pula aqiqah dan gunting rambut.

Dalam upacara gunting rambut, pemangku adat mengambil bunga pinang yang diletakkan diatas dalam ruangan rumah. Kemudian diambil kelapa muda, dengan cara dilubangi, diambil airnya dan diusap di rambut yang mau digunting. Setelah rambut digunting kepala bayi diusap lagi dengan air kelapa. Guntingan rambut dimasukan ke dalam buah kelapa yang dilubangi sebelumnya, selanjutnya kelapa digantung ditirisan depan rumah sampai jatuh sendiri. Upacara ini bertujuan agar bayi tidak diganggu makhluk halus. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Syam Madi sebagai salah satu pemangku adat, “adat gunting rambut ini supaya bayi tidak ada diganggu arwah-arwah”.

(45)

Gambar2.12. Imam membacakan adzan Sumber : Dokumentasi peneliti

Bagi keluarga yang mampu secara ekonomi, umumnya upacara ini dibarengkan dengan aqiqah.Sedangkan bagi yang tidak mampu bisa dilakukan kapanpun tidak ada waktu khusus.

b. Khitanan

Khitanan adalah kegiatan yang hanya diperuntukan anak laki-laki.Saat dilakukan upacara khitanan, anak laki-laki akandimandikan agar suci dan dibaiat. Upacara ini dilakukan oleh pegawai syariah. Upacara agama untuk aqiqah dan khitan adalah pengajian mengundang masyarakat sekitar yang dipimpin oleh pegawai syariah. Bila tidak mampu mengadakan pengajian maka cukup doa keluarga dipimpin pegawai syariah.Kegiatan ini mengawali khitan yang dilakukan tenaga medis.

c. Pernikahan,

Di Desa Nunuk ini pesta pernikahan tidak ditentukan oleh tanggal dan atau hari baik berdasarkan kepercayaan tertentu. Waktu pernikahan biasanya dilakukan pada hari sabtu atau minggu. Masyarakat tidak bisa seenaknya menentukan waktu pernikahan. Ada peraturan desa yang mengatur jumlah

(46)

perkawinan, adat dan waktunya. Satu bulan hanya boleh diselenggarakan resepsi 2 pasang perkawinan.

Dalam prosesi pernikahan, pegawai syariah biasanya bertindak sebagai memimpin. Pegawai syariah dalam pernikahan sebagai Pembantu Pencatat Nikah (PPN) mewakili KUA/Negara. Pegawai tersebut biasanya juga menjadi wali nikah dari pengantin perempuan. Sedangkan yang menjadi saksi pada umumnya adalah pejabat desa seperti Sangadi, Ketua BPD, dan Kepala Dusun. Untuk pernikahan di bawah umur yang harus melalui ijin Pengadilan Agama bila keluarga tidak mengurusnya maka wali akad nikah adalah keluarga sendiri, pegawai syariah dilarang menghadiri.

Gambar 2.13. Pernikahan di Desa Nunuk Sumber : Dokumentasi Peneliti.

Sebelum akad nikah Pegawai Syariah didampingi Pemangku Adat memastikan terlebih dahulu kepada pengantin perempuan apakah bersedia untuk dinikahi. Pada saat akad nikah hanya pengantin laki-laki sedangkan pengantin perempuan tetap di dalam kamar. Setelah akad nikah selesai maka dipertemukan antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan, selanjutnya akan dilanjutkan prosesi adat. Beberapa tahap adat perkawinan etnis Mongondow antara lain:

(47)

1) Moponaba atau empat mata melamar. Keluarga pihak laki-laki diwakili dan atau didampingi pemangku adat datang melamar ke keluarga pihak perempuan.

2) Pogumanan atau peminangan, Pada tahap peminangan ini dilakukan perundingan terkait dengan syarat-syarat adat. Pihak keluarga perempuan menentukan sumbangan untuk pesta perkawinan;tali hartaoyayang harus disediakan pihak laki-laki sebanyak 40 pohon kelapa, yang kemudian dikonversikan menjadi uang adat sebesar Rp. 1.000.000,-;ukud-ukud dihitung dari konversi terhadap 5 pohon kelapa senilai total Rp.125.000,-.Untuk Tali dan Ukud-ukud dulunya dalam bentuk pohon kelapa beserta tanahya, perkembangan jaman dikonversikan dalam bentuk uang. Penentuan besarnya nilai konversi ini ditetapkan dalam peraturan desa (Perdes).

3) Undangan, Pemangku adat dan keluarga mengabarkan kepada masyarakat bahwa akan diselenggarakan pesta perkawinan. Untuk acara resepsi pernikahan biasanya melibatkan juga pejabat pemerintahan tingkat Kabupaten, seperti Kepala Dinas, anggota DPRD, Camat, dan termasuk di dalamnya Bapak Bupati diminta sebagai pihak yang turut mengundang.

(48)

4) Pogogutat, gotong-royong membantu persiapan untuk pesta perkawinan dengan membawa atau menyumbang kebutuhan untuk pesta seperti sembako. Sumbangan ini disebut mogutat, dicatat oleh pihak keluarga dan dikembalikan saat diundang balik.Untuk kaum laki-laki pada saat pesta perkawinan menyumbang dalam bentuk uang yang disebut dengan tradisi roriyo. Uang yang disumbangkan dicatat dan dikembalikan saat ada undangan balik. Untuk roriyo ini ada potongan 10% dari keseluruhan hasil pogogutat ini, 5% untuk Kas Desa dan 5% untuk Kas Lembaga Adat/ Pemangku Adat, sesuai dengan peraturan desa yang dibuat.

5) Akad Nikah dan Pesta Perkawinan, Prosesi akad nikah ini melalui beberapa tahap, pertama dibatali yaitu serah terima pengantin pria dibawa pemangku adat desa diserahkan kepada pemangku adat desa mewakili keluarga pihak perempuan.Kedua mongontog yaitu menanyakan kepada calon mempelai perempuan apakah ikhlas menerima untuk menikah. Ketiga adalah akad nikah yang dilakukan dan dipimpin oleh Imam atau pegawai syariah, mulai dari khotbah nikah, akad nikah, dan doa. Mahar nikah penduduk Desa Nunuk dan juga Desa-desa di sekitarnya adalah seperangkat alat sholat yaitu mukenah dan sajadah serta perhiasan.Keempat salamat adalah seni sastra sajak bersajak atau baku balas pantun yang berisi doa, harapan, dan juga humor. Kelima gama adalah penyerahan tanda kasih pihak keluarga pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Bentuknya adalah kado-kado atau bingkisan yang berisi kebutuhan pengantin perempuan mulai dari baju hingga sepatu, juga perlengkapan kamar tidur.

6) Tuliyoko, mengantar pengantin kepada keluarga pengantin laki-laki dengan membawa makanan yang ada dimasak di rumah keluarga pengantin perempuan. Bila belum dilakukan

(49)

upacara gama maka upacara tuliyoko ini tidak bisa dilaksanakan.

7) Pesta Muda Mudi, Sebuah tradisi pesta sebagai ucapan terima kasih keluarga pengantin kepada pemuda pemudi Desa yang telah membantu atau baku tolong pesta perkawinan. Kegiatan ini dilakukan setelah acara resepsi atau pesta perkawinan selesai, dimulai jam 9 malam hingga jam 12 malam bahkan hingga jam 4 menjelang subuh. Dulu kegiatan pesta muda mudi hanyalah karaoke, tetapi sepuluh tahun terakhir berganti menjadi pesta disko lengkap dengan DJ (disc jokey) dan sound system yang keras.

d. Kematian,

Masyarakat Etnis Mongondow di Desa Nunuk sebagai muslim, selain ada adat khusus kematian juga harus dilakukan prosesi secara ajaran Islam. Perpaduan tradisi secara adat dan agama dengan nilai-nilai keyakinan yang berbeda menjadi sinkritisme budaya tersendiri. Kegiatan keagamaan saat kematian yang utama adalah merawat jenasah secara Islam, memandikan, mengafani, mensholati, dan menguburkan. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan oleh pegawai syariah, bila yang meninggal adalah perempuan maka untuk memandikan melibatkan majlis taklim. Kepala Dusun biasanya bertindak sebagai Ketua Panitia secara langsung bila ada kematian.

Berikut ini adalah Adat Kematian pada etnis Mongondow, ada yang bersifat khusus dan ada yang bersifat umum.

1) Mogama kondimukud, upacara mengambil arwah yang meninggal tidak wajar, seperti kecelakaan atau dibunuh. Upacara mengambil arwah ini dilakukan bertujuan agar arwah yang meninggal tenang tidak gentayangan dan mengganggu yang masih hidup.

(50)

2) Mogogaatan minatoi, Upacara simbolis cerai mati bagi perkawinan yang pertama. Pasangan yang meninggal duduk depan pintu rumah yang akan dilewati jenasah dari kamar, duduknya menghadap ke dalam rumah. Setelah jenasah melewatinya maka pemangku adat melakukan pecah piring. Upacara ini tidak berlaku bagi pernikahan kedua dan seterusnya.

3) Kinotaloan, Upacara dilakukan bila yang meninggal adalah anak pertama. Bapak dan ibu tidur berbalik kepala dengan jenasah anaknya. Setelah jenasah diangkat keluar untuk dimakamkan maka pemangku adat melakukan pecah piring. 4) Tonggoluan, Upacara menghias kamar orang yang meninggal

setelah dimakamkan sampai selesai polapatan atau pesta duka. Pesta duka biasanya diadakan pada 10 malam atau 14 malam, maksudnya adalah hari ke-10 atau hari ke-14.

5) Mintahang, Doa arwah ini dilakukan dengan memadukan nilai-nilai Islam yaitu membaca doa tahlil. Doa arwah atau doa tahlil memiliki ketentuan hari yang berbeda dengan hitungan hari di Jawa. Doa arwah ini dilakukan pada pada hitungan malam 1-3-5-7-10-14-20-30-40-50-60-70-80-90-100-104. Mereka menyebutnya 1 malam, 3 malam, setelah menginjak pada malam ke-10 disebutnya malam kegenapan 10, malam kegenapan 14, dan seterusnya 100 malam dan 104 malam. 6) Polapatan, Pesta duka adalah pesta yang dilakukan dalam

tradisi kematian di hari ke-10 disebut pesta duka 10 malam, atau di hari ke-14 disebut pesta duka 14 malam. Pada acara pesta duka ini juga ada tradisi pogogutat yaitu membawa bahan makanan, sembako atau uang.

7) Porumbunan kontonggoluan, pembongkaran tempat tidur yang sudah dihias dan tempat tidur dikeluarkan. Seluruh baju yang meninggal dicuci dan diberikan kepada keluarga. Upacara

(51)

ini secara simbolis menandakan bahwa arwah yang meninggal sudah diantar keluar ke tempat pemakamannya.

Tradisi kepercayaan etnis Mongondow di Desa Nunuk di luar siklus kehidupan adalah terkait dengan pengobatan baik untuk pengobatan kesehatan maupun pengobatan pertanian. Tradisi ini bagian dari keyakinan atau kepercayaan masyarakat etnis Mongondow terhadap hal-hal yang ghaib, khususnya terhadap keberadaan leluhur etnis Mongondow yaitu Bogani, yaitu upacara momolapag dan monibi.

2.4. ORGANISASI SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN 2.4.1. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan di Desa Nunuk adalah sistem patrileneal yaitu dari garis Bapak, merujuk pada adat Mongondow. 90% penduduknya adalah etnis Mongondow dengan kurang lebih 70% memiliki fam/marga Paputungan. Mengingat cikal bakal penduduk Desa Nunuk adalah keluarga besar Paputungan dari Kotamobago dulu namanya Kotobangon, bila ditelusuri lebih lanjut maka antar penduduk di Desa Nunuk ini masih ada ikatan kekerabatan.

Akses dari dan ke Desa Nunuk sebelumnya relatif sulit, maka mobilisasi penduduk juga kurang, sehingga pernikahan di antara penduduk Desa Nunuk cukup kuat. Selain pernikahan antar etnis Mongondow, beberapa penduduk juga menikah dengan etnis Gorontalo dan Makasar, sejarahnya dulu dan hingga kini banyak orang Gorontalo dan Makasar datang ke Desa Nunuk untuk berdagang.

Nama penduduk Desa Nunuk etnis Mongondow selalu menggunakan nama marga dari garis Bapaknya. Meskipun sistem kekerabatan bersifat patrilineal tetapi seorang perempuan etnis Mongondow tidak kehilangan nama marganya saat menikah dengan marga lain, nama marganya disebut setelah marga suami, Misal Dewi Paputungan menikah dengan marga Makalalo maka namanya menjadi

(52)

Berikut ini adalahSkema Kekerabatan Etnis Mongondow di Desa Nunuk :

Toto

Tete – Neme

Utat/Ginalo --- Bapak – Mamak --- Om – Tante (Nunuton – Guya)

Anak Bersaudara --- Lolaki – Bobai --- Anak Bersaudara

Ompu Bersaudara --- Ompu/Cucu --- Ompu Bersaudara

Panggilan untuk Orang Tua Kakek/Nenek yang biasa kita sebut buyut di etnis Mongondow adalah Toto. Panggilan untuk Kakek dan Nenek adalah Tete dan Nemea tau Ba’ai. Ayah dan Ibu mereka panggil dengan Bapak dan Mamak, untuk Bapak Mertua dan Ibu Mertua mereka panggil dengan Nunuton dan Guya. Sebutan untuk Paman dan Bibi adalah Om dan Tante. Khusus kepan anak pertama dari Kakek yang biasa disebut Pakde dipanggilnya adalah Utat atau Ginalom.

Sebutan untuk anak laki-laki adalah Lolaki, sedang anak perempuan dipanggilnya Bobai, dan sebutan untuk cucu adalah ompu. Keponakan disebut Pokoadiun, sedangkan kalau sepupu disebutnya Anak Bersaudara, dan antara cucu disebutnya Cucu atau Ompu Bersaudara. Panggilan untuk Kakak baik laki-laki maupun perempuan adalah Guyah Guyang, sedang panggilan untuk adik Ayi-ayi, dan untuk saudara ipar dipanggil Mogai.

Gambar

Gambar 2.1. Bus Penghubung Bolsel   Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.2. Pengangkut Hasil Bumi  Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.4. Desa Nunuk dan Sungai Pinolosian  Sumber : Goggle Map
Gambar 2.5. Sungai Pinolosian  Sumber : Dokumentasi Peneliti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada jarak 1 meter, kombinasi warna background dan obyek yang mudah dilihat adalah warna background hijau dengan obyek biru dan kuning, dan warna background

Access juga dapat digunakan sebagai sebuah basis data untuk aplikasi Web dasar yang disimpan di dalam server yang menjalankan Microsoft Internet Information Services (IIS)

Pada penelitian ini terdapat hubungan bermakna antara derajat sesak napas dan skor CAT ditunjukkan dengan semakin tinggi skor mMRC dan semakin banyak gejala maka nilai D

Bila penulangan konstruksi beton menggunakan tulangan jaring, maka akan berlaku pera- turan sebagai berikut : jaringan digambar dalam bentuk empat persegi panjang pada gambar

Perilaku menyimpang di lingkungan pesantren dalam sinetron Pesantren dan Rock n Roll 3 yang dimaksud dalam penelitian ini, dapat dilihat dari cara berpakaian

Hasil karakterisasi komponen minyak mint dengan menggunakan KG-SM menghasilkan Total Ionic Chromatogram (TIC) yang disajikan pada Gambar 1, sedangkan komponen

Suatu kumpulan program yang mengkoordinasikan semua aktivitas peralatan hardware komputer dan memperbolehkan pengguna untuk menjalankan aplikasi software Program

Communication Peserta didik mempresentasikan hasil kerja kelompok atau individu secara klasikal, mengemukakan pendapat atas presentasi yang dilakukan kemudian