• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Kreativitas merupakan suatu aktivitas yang sifatnya sangat kompleks,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Kreativitas merupakan suatu aktivitas yang sifatnya sangat kompleks,"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Kreativitas

II. A.1. Definisi Kreativitas

Kreativitas merupakan suatu aktivitas yang sifatnya sangat kompleks, sehingga tidak dapat dipungkiri pengertian kreativitas menyebar luas dan banyak digunakan melalui individu-individu yang memiliki keahlian berbeda dan peradaban yang variatif, hingga secara otomatis hal ini menyebabkan munculnya sejumlah definisi.

Amabile (dalam Munandar, 2002) mendefinisikan kreativitas sebagai produk suatu respon atau karya yang baru dan sesuai dengan tugas yang dihadapi. Menurut Renzulli (dalam Munandar, 2002) kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, kemampuan untuk memberi gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.

Torrance (dalam Al-Khalili, 2005) menambahkan bahwa kreativitas mengandung sensitifitas terhadap problematika-problematika dan kesulitan dalam bidang apa pun, kemudian menyusun sebagian pemikiran atau data-data teoritis yang digunakan untuk mengatasi problematika tersebut, dan menguji kebenaran data-data itu, serta menyampaikan hasil-hasil yang dicapai kepada orang lain. Namun, setiap individu memiliki cara-cara yang berbeda dalam pemikiran, kemampuan mengatasi masalah, maupun penyampaian ide. Hal ini sesuai dengan

(2)

definisi kreativitas yang dikemukakan Guilford (dalam Al-Khalili, 2005) yaitu, sistem dari beberapa kemampuan nalar yang sederhana, dan sistem ini berbeda satu sama lain dikarenakan perbedaan bidang kreativitas tersebut.

Guilford (dalam Munandar, 1999) juga mengemukakan tentang struktur intelektual, dimana didalamnya mencakup tiga dimensi:

1. Dimensi Operation, terdiri dari kognisi, memori, kemampuan berpikir divergen, konvergen dan kemampuan melakukan evaluasi

a. Kognisi adalah kemampuan menemukan ( discovery ), menyadari (awareness ), memahami ( comprehension atau understanding ).

b. Ingatan ( memory ) adalah kemampuan untuk meretensi informasi dan menyimpannya dalam ingatan.

c. Berpikir divergen adalah kemampuan berpikir secara kreatif yang ditandai oleh kelancaran ( fluency ) dalam mengemukakan ide, kelenturan ( flexibility ), orisinalitas, dan elaborasi.

d. Berpikir konvergen adalah kemampuan berpikir kearah satu alternatif pemecahan umum yang diterima.

e. Evaluasi adalah kemampuan membuat keputusan dan pertimbangan.

2. Content menjelaskan bagaimana informasi diproses, yang mencakup figural, simbolik, semantic, dan behavioral ( perilaku ). 3. Product, ialah hasil akhir dari proses yang terjadi dalam bentuk

(3)

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan suatu kemampuan individu dalam bersikap, menciptakan berbagai jenis ketrampilan yang sifatnya unik atau berbeda dari biasanya dan kemampuan berpikir yang menunjukkan kelancaran, orisinalitas, kemampuan mengembangkan suatu ide yang berbeda dari orang lain, dan fleksibilitas dalam berpikir.

II. A.2. Ciri-ciri Kreativitas

Ada beberapa ciri kreativitas yang dimiliki oleh individu kreatif, tidak hanya meliputi aspek kognitif, tetapi juga meliputi aspek afektif. Guilford (dalam Munandar, 2004) menekankan bahwa prestasi atau perilaku kreatif sangat ditentukan oleh ciri-ciri kognitif yang disebutnya dengan aptitude dan ciri afektif yang disebutnya dengan nonaptitude. Ciri-ciri aptitude dari kreativitas (berpikir kreatif) meliputi kelancaran, kelenturan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir. Ciri-ciri ini dioperasionalisasikan dalam tes berpikir divergen. Namun, produktivitas kreatif tidak sama dengan produktivitas divergen. Sejauh mana seseorang mampu menghasilkan prestasi kreatif ikut ditentukan oleh ciri-ciri non-aptitude (afektif).

Penelitian berdasarkan analisa faktor menunjukkan korelasi yang statistis bermakna (signifikan) walaupun rendah, antara ciri-ciri non-aptitude atau afektif (seperti kepercayaan diri, keuletan, apresiasi estetik, kemandirian) dan ciri-ciri aptitude dari kreativitas (antara kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam berpikir.

(4)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kreativitas terdiri dari dua ciri yaitu ciri kognitif dan ciri afektif yang saling berhubungan satu sama lain, saling mendukung dan akan selalu muncul secara bersamaan.

II. A.3. Aspek-aspek Kreativitas

Menurut Torrance (dalam Munandar,1988) aspek-aspek kreativitas meliputi :

1. Kelancaran berpikir

Maksud dari kelancaran berpikir adalah kemampuan dalam menghasilkan ide, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan yang keluar dari pemikiran seseorang, memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal.

2. Keluwesan

Yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan. Orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir menggantikan cara berpikir lama dengan cara berpikir yang baru dan mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.

3. Elaborasi

Yaitu kemampuan dalam memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk, dan menambahkan atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga lebih menarik.

(5)

4. Orisinalitas

Kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli, memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri, dan mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas terdiri dari aspek-aspek yang meliputi kelancaran berpikir, keluwesan, elaborasi, dan orisinalitas. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, peneliti ingin mengungkap secara simultan dari beberapa operasi mental kreatif dengan menggunakan tes Torrence yang terdiri dari bentuk verbal dan bentuk figural,dimana keduanya berkaitan dengan proses kreatif dan meliputi jenis berpikir yang berbeda-beda.

II. A.4. Fase-fase Kreativitas

Wallas (dalam Al-khalili,2005) memberikan deskripsi tentang empat fase berkreativitas yang dilalui oleh proses kreativitas. Keempat fase tersebut meliputi:

1) Fase persiapan (Preparation)

Fase ini mencakup segala hal yang dipelajari orang yang kreatif melalui kehidupannya, dan pengalaman yang diperolehnya, hingga meskipun melalui usaha dan kesalahan terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa segala hal yang dipelajari seseorang dalam hidupnya dapat bermanfaat bagi proses berpikir kreatif. Disamping berbagai macam pengetahuan yang dibawa oleh orang kreatif, terkadang juga diperlukan latihan khusus yang berkaitan dengan kerja kreatif disesuaikan dengan program yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

(6)

2) Fase inkubasi

Dalam fase ini, secara emosional orang yang kreatif tidak akan menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan, dan proses berpikir sedang dalam kondisi tidak aktif, serta tidak memperlihatkan kemajuan apa pun menuju solusi atau produk kreatif. Orang kreatif menyengaja untuk mengalihkan pandangannya dari permasalahan utama kepada sesuatu yang lain setelah melewati fase persiapan, denan harapan dapat memberikan petunjuk kepada solusi akhir bersamaan dengan berlalunya waktu.

Perilaku orang kreatif ini tampak jelas melalui fase inkubasi antara seseorang dengan orang lain, dan dari satu sikap dengan sikap lainnya. Dalam fase ini, kegundahan dapat mengalahkan perilaku seseorang dengan disertai rasa tidak nyaman sampai frustasi dan menjadi mudah terpengaruh dengan faktor yang terpisah. Terkadang orang lain menjadi merasa sedih dan tertekan. Seseorang yang santai, dapat meminimalisir pengaruh pencegahan kreativitas, ia akan lebih mempersiapkan kesempatan untuk memunculkan kreativitas melalui dorongan yang kuat dan baru, serta keberanian melangkah ke depan. 3) Fase inspirasi (Illumination)

Dalam fase ini, sebuah solusi tampak seakan-akan datang secara tiba-tiba, disertai dengan emosi yang meluap dan menyenagkan. Fase inpirasi ini bukan merupakan fase yang terpisah dan mandiri. Namun, merupakan hasil dari seluruh upaya yang dilakukan oleh orang kreatif selama fase-fase sebelumnya. 4) Fase perealisasian (Verification)

Dalam fase ini, orang kreatif melakukan pengujian atas kebenaran dan kelayakan kreativitasnya melalui eksperimen. Bisa jadi dalam fase ini

(7)

dilakukan sebagian revisi atau perubahan atas produk kreativitas tersebut yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan memunculkannya dengan bentuk sebaik mungkin.

Meskipun keempat fase ini ada dalam proses kreativitas, namun sebaiknya lebih melihat kreativitas sebagai suatu proses yang dinamis, reaktif, dan berkesinambungan secara lebih banyak daripada proses psikologis lainnya. Proses kreativitas juga merupakan proses intervensi antar beberapa fase, reaktif, dan eksis. Inilah yang berlawanan dengan pembagian proses kreativitas menjadi beberapa fase yang berbeda. Meski demikian, fokus lebih mengarah pada dua fase yaitu inkubasi dan iluminasi sebagai dua fase dasar yang memberikan cahaya bagi proses berkreativitas itu sendiri secara langsung.

II. A.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kreativitas

Rogers (dalam Munandar, 2002) mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi kreativitas seseorang, yaitu :

1. Faktor internal, didalamnya mencakup:

a. Keterbukaan terhadap pengalaman dan rangsangan-rangsangan dari luar.

b. Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi seseorang.

c. Kemampuan untuk bereksperimen dalam hal “bermain” dengan konsep-konsep.

(8)

2. Faktor eksternal, didalamnya terdapat lingkungan yang mengandung keamanan dan kebebasan psikologis yang terbentuk melalui tiga proses yang berbeda, yaitu :

a. Menerima individu sebagaimana adanya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya.

b. Mengusahakan suasana yang di dalamnya tidak ada evaluasi eksternal

c. Memberikan pengertian secara empatis.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kedua faktor tersebut adalah faktor internal yang bersumber dari diri individu sendiri, dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu.

II. A.6. Peranan Orangtua dalam Upaya Pengembangkan Kreativitas

Dalam lingkungan anak, orangtualah yang menjadi tokoh terdekat. Anak dilahirkan dari pasangan orangtua yang kemudian merawat, mendidik, serta memberikan kasih sayang kepadanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bilamana anak mencontoh orangtuanya an menganggap mereka sebagai tokoh yang paling baik, setidaknya sampai mereka mulai memasuki lingkungan pergaulan yang lebih luas. Apapun bentuk perilaku yang ditunjukkan orangtua pada anaknya akan berdampak pada kepribadian anak (Faw dan Belkin,1989). Selain itu, keluarga tetaplah merupakan sekolah utama di tengah masyarakat yang akan menghasilkan individu-individu yang mandiri serta kreatif, yang siap menghadapi cobaan-cobaan hidup (Ikeda,1978).

(9)

Menurut Amabile (1989), dalam keluarga yang kreatif, orangtua terlibat secara intelektual dalam proses perkembangan anak-anaknya. Mereka berdiskusi mengenai berbagai hal, bertanya, berasumsi, menyelidiki, dan mengeksplorasi.

Pada umumnya, rumah yang kreatif adalah rumah di mana anak dan orang dewasa yang ada di dalamnya memiliki ‘kebiasaan-kebiasaan kreatif’. Mereka selalu mempertanyakan apa yang dilihat, berusaha menemukan cakrawala baru dalam menjawab suatu persoalan, berusaha menemukan cara baru untuk melakukan apapun yang mereka lakukan.

Amabile (1989) juga memberikan beberapa garis umum bagi orangtua untuk pengembangan kreativitas anak di rumah, yaitu:

1. Kebebasan

Orangtua yang memberikan kebebasan pada anak, orangtua yang seperti ini menjauhi sikap yang otoriter, tidak selalu mengendalikan anak-anaknya serta tidak merasa cemas dengan apa yang dilakukan oleh anaknya.

2. Rasa hormat

Anak yang kreatif umumnya memiliki orangtua yang menghargai dan menghormati keberadaan mereka sebagai individu. Orangtua dapat menunjukkan keyakinan atas kemampuan anak-anaknya dan percaya akan keunikan anaknya. Anak-anak ini secara alami akan mengembangkan rasa percaya diri serta dapat bersikap orisinal. 3. Kedekatan emosional yang secukupnya

Keluarga dengan anak yang kreatif pada umumnya tidak memiliki hubungan emosional yang terlalu dekat. Bahkan pada umumnya

(10)

hubungan antara anak dan orangtua agak longgar. Kuncinya adalah sikap yang tidak terlalu berlebihan sehingga anak tidak terlalu tergantung pada orangtua, namun di lain pihak mereka perlu mengetahui bahwa mereka dicintai serta diterima oleh orangtuanya.

4. Nilai dan bukan peraturan

Orangtua dari anak-anak yang kreatif tidak terlalu menjejali peraturan pada anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua dari anak-anak yang tidak begitu kreatif. Peraturan yang diterapkan bersifat lebih mendasar dan khusus, misalnya dalam jumlah jam belajar, kebebasan yang menekankan agar anak tidak mengancam kebebasan oranglain, namun yang pasti adalah diperlukannya peraturan yang spesifik. Anehnya, banyak orangtua dari keluarga yang kreatif merasa bahwa mereka tidak mempunyai masalah apapun sehubungan dengan upaya penegakkan disiplin anak.

5. Prestasi dan bukan angka

Orangtua dari anak-anak kreatif menilai tinggi prestasi anak. Mereka mendorong anak-anaknya untuk tampil sebaik mungkin dan mencapai hal-hal yang baik. Namun di pihak lain, mereka tidak menekankan perlunya anak memperoleh angka yang baik di rapornya. Dalam sebuah studi yang dilakukan untuk melihat perbedaan antara ‘anak-anak kreatif’ dan orangtua ‘anak-anak yang tidak begitu kreatif’, tampak bahwa orangtua anak-anak yang kreatif menilai bahwa memperoleh nilai yang tertinggi di kelas

(11)

serta mempunyai IQ yang tingi, tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan imajinasi dan kejujuran.

6. Kemandirian, orangtua aktif

Sebagai orangtua, sikapnya terhadap diri sendiri merupakan hal yang perlu diperhatikan karena ia menjadi model utama bagi anaknya.

Mereka umumnya memiliki beragam jenis minat baik di dalam maupun di luar rumah tangga.

7. Menghargai kreativitas

Anak-anak kreatif pada umumnya merasa bahwa orangtua mereka sangat mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang kreatif, dan orangtua mereka sangat senang melihat anak-anaknya menampilkan kreativitas. Dalam keluarga yang kreatif, orangtua mengolah kreativitas anak-anaknya dengan les, peralatan dan pengalaman baru yang menarik.

8. Visi

Orangtua dari anak-anak yang kreatif mengekspresikan visi yang jelas mengenai anaknya sebagai individu yang mandiri, dengan hak untuk dihargai dan dikasihi, yang dapat diharapkan mampu menunjukkan sikap yang bertanggungjawab jika dituntut demikian. Selain itu, mereka juga dilihat mampu untuk melakukan hal-hal yang luar biasa, kreatif, dengan bakat serta skill apapun yang mereka miliki.

(12)

9. Rasa humor

Salah satu aspek yang secara potensial juga penting adalah kemampuan menertawakan kejadian-kejadian, situasi-situasi tertentu ataupun diri sendiri. Hasil penelitian menemukan bahwa anak-anak yang kreatif berasal dari keluarga yang dalam interaksi sesama anggota keluarganya selalu dipenuhi oleh humor. Dalam keluarga-keluarga yang seperti ini, selalu ada ‘lelucon-lelucon tetap’ ataupun permainan-permainan lucu.

Dari uraian diatas tampak di sini besarnya peran orangtua dalam menumbuhkan minat dan kreativitas anak. Dimana orangtua terlibat dalam proses perkembangan anaknya dan senantiasa menjadikan rumah sebagai sarana pengembangan kreativitas tanpa batas.

II. B. Homeschooling

II. B.1. Pengertian Homeschooling

Homeschooling adalah suatu model pendidikan alternatif selain di sekolah. Homeschooling dipraktikkan oleh jutaan keluarga di seluruh dunia. Namun, tidak ada sebuah definisi tunggal mengenai homeschooling karena model pendidikan yang dikembangkan di dalam homeschooling sangat beragam dan bervariasi.

Lines (1995) mendefinisikan homeschooling sbagai suatu situasi pembelajaran yang singkat atau lama, di mana siswa dididik dengan beragam subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman, atau orang yang ahli.

(13)

Sementara Wichers (2001) mengemukakan bahwa homeschooling merupakan sebuah situasi pembelajaran di mana pada umumnyaanak diajarkan oleh orang tua mereka sendiri dalam lingkunganyang non-tradisional.

Menurut Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana pembelajaran yang menitikeratkan pada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit supervisi. Anak yang homescholing diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal, dan mengoptimalkan kreativitasnya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Holt (dalam Griffith,2006) yang mengatakan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan yang dilakukan ‘tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah, serta berdasarkan pada pembelajaran yang terpusat pada anak.

Sumardiono (2007) homeschooling adalah model pendidikan di mana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya dan mendidik anak dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya.

Homeschooling pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3 (dalam Sumardiono,2007) yaitu :

1. Homescholing Tunggal

Merupakan format homeschooling yang dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya. Biasanya homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya tujuan atau alasan khusus yang tidak dapat diketahui atau dikompromikan dengan komunitas homeschooling lain. Keluarga bertanggungjawab

(14)

sepenuhnya atas seluruh proses yang ada dalam homeschooling, mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga penyediaan sarana pendidikan. Dalam format seperti ini, keluarga menggunakan fasilitas atau sarana-sarana umum sebagai penunjang kegiatan belajar anak-anaknya.

2. Homeschooling Majemuk

Merupakan format homeschooling yang dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Format homeschooling ini memberikan kemungkinan pada keluarga untuk saling bertukar pengalaman dan sumber daya yang dimiliki tiap keluarga.

Alasan memilih homeschooling jenis ini dikarenakan terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari konsorsium, kegiatan olahraga (misalya kelurga atlet tenis), keahlian musik, kegiatan keagamaan, dan kegiatan sosial.

3. Komunitas Homeschooling

Adalah gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga, musik/seni, dan bahasa), sarana/prasarana, dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan antara orangtua dan komunitasnya kurang lebih 50:50.

(15)

a. Terstruktur dan lebih lengkap untuk pendidikan akademik, pembangunan akhlak mulia, dan pencapaian hasil belajar. b. Tersedia fasilitas pembelajaran yang baik, misalnya bengkel

kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA atau bahasa, auditorium, fasilitas olahraga dan kesenian.

c. Ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat dikendalikan.

d. Dukungan lebih besar dikarenakan masing-masing bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai keahlian masing-masing.

e. Sesuai untuk anak usia di atas sepuluh tahun.

f. Menggabungkan keluarga yang tinggal berjauhan melalui internet dan alat informasi-komunikasi lainnya untuk tolak banding (benchmarking) termasuk untuk standardisasi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terdapat tiga jenis kegiatan homeschooling, yaitu homeschooling tunggal, homeschooling majemuk, dan komunitas homeschooling. Menurut data yang dihimpun oleh Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional, ada sekitar 600 peserta homeschooling di Indonesia. Sebanyak 83,3% atau sekitar 500 orang mengikuti homeschooling majemuk dan komunitas, sedangkan sebanyak 16,7%, atau sekitar 100 orang mengikuti homeschooling tunggal.

(16)

II. B.2. Sejarah Homeschooling

Sejak perkembangan revolusi industri, terjadi proses sistematisasi pendidikan dan proses belajar. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan serta usaha untuk memaksimalkan model pembelajaran selama berabad-abad menghasilkan sebuah evolusi sistem pendidikan yang kemudian kita kenal sebagai sekolah. Sekolah adalah salah satu representasi institusional dari nilai-nilai modern yang dipegang manusia saat ini. Sebagai institusi modern, sekolah dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan keluarga dalam mendidik anaknya secara sadar dan terencana (Sumardiono,2007).

Walaupun sekolah menjadi institusi pendidikan yang terbukti memberikan manfaat bagi kemanusiaan, proses pencarian pendidikan yang terbaik tak pernah berhenti. Berbagai filsafat dan pemkiran yang terus lahir, serta berinteraksi dengan kondisi sosial yang dialami oleh masyarakat.

Pembelajaran yang tidak konvensional ini kemudian mengambil jalur pendidikan yang berbeda. Dipicu oleh pemikiran yang dilontarkan John Cadlwell Holt (dalam Sumardiono,2007) melalui bukunya “ How Children Fail” (1964), terjadi perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat pendidikan, Holt menyatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak disebabkan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah,tetapi disebabkan oleh eksistensi sekolah itu sendiri. Walaupun Holt tidak mendorong untuk pembentukan sistem pendidikan alternatif, pemikiran Holt memicu banyak kalangan pendidikan dan keluarga untuk memikikan ulang mengenai pendidikan dan sekolah. Pemikiran dasar Holt adalah “ manusia pada dasarnya adalah makhluk belajar dan senang belajar, kita tidak perlu ditunjukkan

(17)

bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya.”

John Holt di akhir tahun 1970-an akhirnya mempelopori terbentuknya sekolah di rumah kepada publik. Pada tahun 1977, Holt mulai mempublikasikan buletin berita sebanyak empat halaman, yang berjudul “Growing Without Schooling “ (Tumbuh Tanpa Sekolah) bagi keluarga-keluarga yang menginginkan ide-ide dan dukungan untuk membantu anak-anak mereka belajar di luar sekolah. Pada awalnya Holt menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk menggambarkan tindakan pendidikan anak didik di luar sekolah formal. Namun, hal tersebut segera menjadi sinonim untuk sebutan sekolah di rumah (homeschooling). Selama dua dekade terakhir, arti istilah itu telah berubah dan menyempit, sehingga “pendidikan tanpa sekolah” mengacu pada gaya khusus sekolah di rumah (homeschooling) yang dianjurkan Holt dan pembelajarannya terpusat pada anak. Kemudian sejak tahun 1970-an, pergerakan dari homeschooling telah mendapat dukungan luas dan tumbuh dengan pesat (Griffith,2006).

Menurut laporan Departemen Pendidikan Amerika Serikat “Homeschooling in the United States: 2003” , terjadi peningkatan jumlah siswa homeschooling dari 850 ribu (1,7% dari total siswa) menjadi 1,1 juta pada tahun 2003 (2,2% dari total siswa). Sementara itu, berdasarkan penelitian Dr. Brian Ray (presiden the National Home Education Research Institute), pada tahun 2002-2003 ada sekitar 1,7 juta-2,1 juta siswa homeschooling Amerika Serikat. Dr. Ray menyatakan bahwa jumlah siswa homeschooling terus tumbuh dengan kecepatan 7-15% per tahun (Sumardiono,2007).

(18)

Di tahun 2003 pula, NHES melakukan survei terhadap orang tua, mengenai alasan mereka menerapkan homeschooling pada anak-anak mereka. Sekitar 31% orang tua menyatakan khawatir terhadap lingkungan sekolah; 30% mengatakan alasannya adalah memberikan ajaran agama dan moral; dan alasan berikutnya, sekitar 16% adalah ketidakpuasan terhadap sistem akademis di sekolah.

Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sub sistem kesuluruhan sistem pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah. Pemerintah Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa kebijakan pendidikan guna mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan bagi anak-anak di Indonesia, karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk menumbuhkembangan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi wajib pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas,2001).

Namun, pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi disekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari hal menjemukan sampai penyiksaan terhadap siswa, namun tetap saja harus dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung es dari ketidakpercayaan

(19)

terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal (http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comment.php?id=P153_0_9_0_C).

Sejalan dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak, sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini yang lebih menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah (homeschooling) sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal. Walaupun masih belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian dari dinamika proses negoisasi dimensi formal dan non-formal dari pendidikan (http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comment.php?id=P153_0_9_0_C).

Salah satu konsep kunci dari homeschooling adalah pembelajaran yang tidak berlangsung melalui institusi sekolah formal. Konsep ini mengarah pada konsep yang lebih umum yaitu konsep belajar otodidak atau belajar mandiri. Dalam bentuk umumnya, pembelajaran otodidak ini memiliki beragam variasi, diantaranya pembelajaran dengan cara magang (internship )yang banyak dipraktikkan oleh keluarga di Indonesia. Dalam level komunitas, akar homeschooling ini dapat juga ditelusuri dari pendidikan berbasis agama seperti pesantren atau komunitas adat yang melakukan pembelajaran secara mandiri tanpa ketergantungan pada model pendidikan formal yang ada ( sumardiono,2007 ).

Prasetyawati (2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan dari sekolah ke rumah (homeschooling) disebabkan oleh ketidakpuasan orangtua

(20)

terhadap sistem pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk, misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah menyusup di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan pelajaran oleh orangtua.

Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk anak-anaknya.

Ibuka (dalam Sukadji,2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan anak, bahwa anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri. Pendidikan anak pada hakekatnya berasal dari rumah yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam rumah dapat membuat anak sehat jasmaninya,lebih bermental fleksibel,lebih cerdas, dan lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada homeschooling yang menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah orang tua. Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang siapa saja untuk memberikan keahlian transfer pada anak-anaknya,bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya,seorang suster untuk masalah kesehatan,seorang satpam untuk belajar beladiri,seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam berkerja,seorang buruh pabrik,dan lain sebagainya.Pada dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki,wawasan anak didik menjadi lebih berkembang oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa siapa saja.

Suyanto (2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap kualitas pendidikan formal yang ada, sah-sah saja jika ingin mendidik sendiri

(21)

anaknya dirumah. Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang berlaku.Untuk itulah anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (SKB-UPTD) yang sudah menyebar di seluruh kabupaten di Indonesia, dan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya mencapai tingkat kelurahan.Dengan demikian anak yang homeschooling dapat memperoleh ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah formal, dan dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula.

Di Indonesia, menurut perkiraan Ella Yulaelawati (dalam Sumardiono,2007) Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas, ada sekitar 1.000-1.500 siswa homeschooling. Di Jakarta terdapat sekitar 600 siswa, sebagian besar diantaranya ( sekitar 500 orang ) adalah siswa homeschooling majemuk.

II. B.3. Legalitas Homeschooling di Indonesia

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan pentingnya pendidikan nasional. Pasal 31 menyebutkan:

1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan

2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Untuk menjalankan amanat Konstitusi UUD 1945, telah dibuat Undang-Undang nomor 20/2003 yang mengatur mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Undang-Undang ini merupakan rujukan induk untuk sistem dan penyelenggaraan pendidikan yang ada di Indonesia.

(22)

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, definisi pendidikan yang dianut dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1).

Sistem Pendidikan Nasional didefinisikan sebagai keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional(pasal 1).

Definisi pendidikan yang dijelaskan dalam UU tersebut menunjukkan luasnya cakupan pendidikan dan sistem pendidikan yang diakui di Indonesia. Pendidikan tidak hanya terbatas pada belajar di sekolah. Demikian pula, sistem pendidikan tidak hanya ada dalam bentuk sekolah formal sebagaimana yang umumnya dikenal dan berkembang di masyarakat. Ada bentuk-bentuk pendidikan lain yang dikenal dan diakui dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku di Indonesia.

Di dalam UU Sisdiknas dijelaskan mengenai jenjang dan jalur pendidikan yang ada. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan (pasal 1).

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia mengakui ada 3 jalur pendidikan (Sumardiono,2007), yaitu:

(23)

1. Formal, adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang. Terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan yang dimulai dari tingkat SD, SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi.

2. Non Formal, adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Jalur pendidikan ini diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecapakan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan yang lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan non formal antara lain adalah: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis.

3. Informal, adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan secara mandiri, salah satunya adalah homeschooling. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 27 ayat (1), yaitu:

(24)

“Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”

Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal. Tetapi, hasil pendidikan informal ini dapat diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No.20 / 23, pasal 27 ayat (2).

Bagi keluarga homeschooling, salah satu jalan untuk mendapatkan kesetaraan adalah membentuk Komunitas Belajar. Eksistensi Komunitas Belajar diakui sebagai salah satu satuan pendidikan non formal yang berhak menyelenggarakan pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (6):

“Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”

Agar kegiatan homeschooling bisa memperoleh penilaian dan penghargaan melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan Komunitas Belajar sebagai berikut:

1. Mendaftarkan kesiapan orangtua atau keluarga untuk menyelenggarakan pembelajaran di rumah atau lingkungan kepada Komunitas Belajar. 2. Berhimpun dalam suatu komunitas.

3. Mendaftarkan Komunitas Belajar pada bidang yang menangani pendidikan kesetaraan pada Dinas Pendidikan kabupaten / kota setempat.

(25)

4. Mengadministrasikan peserta didik sesuai dengan program paket belajar yang diikutinya.

5. Menyusun program belajar dan strategi penyelenggaraan secara menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan program paket belajar yang diselenggarakannya.

6. Mengembangkan perangkat pendukung pembelajaran.

7. Melakukan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik secara berkala per semester.

8. Mengikutsertakan peserta didik yang sudah memenuhi persyaratan dalam Ujian Nasional.

Sejalan dengan hal di atas, pemerintah dan pemerintah daerah juga berkewajiban untuk:

1. Melakukan pendataan Komunitas Belajar dan sekolah rumah yang menjadi anggotanya.

2. Melakukan pembinaan terhadap Komunitas Belajar.

3. Memfasilitasi terselenggaranya Ujian Nasional bagi peserta didik sekolah rumah yang terdaftar pada Komunitas Belajar.

II. B.4. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Homeschooling

Menurut Alifa (2006) keberhasilan homeschooling dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini (http://www.tabloid-nakita.com/artikel2.php3?edisi=07359&rubrik=topas), yaitu:

(26)

Pengajar dan anak didik yang diajar harus menerapkan sikap yang disiplin. Belajar di rumah tentu memiliki keleluasaan waktu. Namun, orangtua bersama anak harus membuat kesepakatan bersama perihal waktu belajar. Taati waktu yang telah dipilih dan tidak melanggarnya. Terlewat satu hari berarti talah melewatkan beberapa materi yang harus dipelajari.

2. Mengenali Kemampuan Anak

Dengan mengenali kemampuan anak, maka si pengajar atau tutor dapat memberikanmateri yang sesuai baginya. Orang tua tidak boleh memaksa anak melebihi kemampuannya karena dapat membuatnya frustasi.

3. Menciptakan Suasana Belajar yang Menyenangkan

Kelebihan sistem homeschooling ini adalah dapat memilih lokasi belajar di mana saja, di dalam ruangan, dan di sekitar rumah, sehingga suasana belajar menjadi lebih menyenangkan.

4. Memberikan Kesempatan pada Anak untuk Bersosialisasi

Kemampuan bersosialisasi anak tetap dapat dikembangkan dengan cara memberinya kesempatan mengikuti kegiatan ekskul yang melibatkan anak-anak sebaya. Sesuaikan bidang ekskul dengan minat anak sehingga semangat selalu menyertainya.

5. Memperkaya Kemampuan Pengajaran

Tutor hendaknya selalu menambah pengetahuannya, baik dalam hal teknik mengajar kreatif dan interaktif maupun materi yang disampaikan. Mengakses informasi melalui internet, televisi, surat

(27)

kabar, buku, dan forum-forum orangtua homeschooling tentu akan sangat membantu.

Keberhasilan homeschooling sangat dipengaruhi oleh komitmen orangtua yang lebih dituntut untuk mengenali kemampuan anak, menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, lebih memberikan kesempatan untuk anak bersosialisasi, dan memperkaya kemampuan pengajaran.

II.C. Program Reguler

Pengertian Program reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur, tetap atau biasa (Daryanto,1997). Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud kelas reguler adalah kelas yang secara umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap atau biasa yang memberikan kepada siswa suatu metode pengajaran yang biasa dilaksanakan selama ini yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun SD dan tiga tahun di SMP / SMU. Waktu belajar yang digunakan kelas reguler maksimal delapan jam, secara umum belajar yang digunakan adalah tujuh sampai dengan delapan jam (Balitbang Depdikbud,1986)

Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Dalam kelas reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa program reguler merupakan program pendidikan secara umum, di mana siswa menyelesaikan

(28)

studinya selama enam tahun untuk SD dan tiga tahun untuk SMP/SMU, dengan tetap menggunakan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah.

II.D. Perbedaan Kreativitas siswa Homescholing dan siswa yang mengikuti Program Reguler

Program pendidikan homeschooling sudah semakin meluas dan cukup dikenal, termasuk Indonesia. Banyak para pendidik dan tokoh masyarakat menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah salah satu program pendidikan bagi anak didik yang melibatkan partisipasi orangtua di dalamnya.

Dalam homeschooling penekanannya lebih kepada partisipasi dari orangtua dalam merancang pendidikan anak-anaknya. Dalam belajar dan mendidik anak, yang menjadi guru pertama dalam hidup anak adalah orangtua. Menurut Dewey (dalam Lines,2000) orangtua yang lebih mengenal karakter, minat, dan bakat anak-anaknya, sehingga dapat dirancang suatu pola didik yang paling sesuai dengan karakter, minat, dan bakat mereka tersebut. Selanjutnya, orangtua bisa mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian kepada anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang perawat untuk masalah kesehatan, seorang satpam untuk belajar beladiri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, dan lain sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman mereka anak-anak akan menjadi lebih berkembang, karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja (Yulfiansyah,2006).

Menurut Kak Seto (2007) homeschooling dapat membebaskan anak untuk belajar apa saja sesuai minat dan hal-hal yang disukainya. Sesekali mereka

(29)

berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran, seperti persawahan, taman burung, pemandian air panas, kebun binatang, tepian laut yang berisi beraneka ragam makhluk hidup, stadion olahraga, pasar, bank, dan tempat-tempat lain yang dapat dijadikan sebagai sarana belajar.

Berbeda dengan konsep sekolah reguler yang sangat komplek, belajar mengajar di sekolah berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana guru harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju kedewasaan, melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. Selain itu, siswa yang belajar di sekolah memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda dan mau tidak mau harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan pihak sekolah sehingga menyebabkan keterbatasan bagi ruang gerak siswa (Suryadi dan Hartilaar,1993).

Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orangtua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada ditangan orangtua.

Sistem di sekolah terstandarisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Sekolah telah mengatur jadwal belajar dan menentukan seragam untuk seluruh siswa, semantara homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orangtua. Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homescholing terdesentralisasi pada keinginan keluarga

(30)

homeschooling, kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orangtua (Kompas,2005).

Kelebihan homeschooling sendiri antara lain: adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan keluarga, mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum, dapat memaksimalkan potensi anak tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah, siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada disekitarnya, terlindung dari pergaulan menyimpang, ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan keluarga (Yorgi,2006).

Menurut Jeanette Vos dan Gordon Dryden (dalam Pikiran Rakyat,2006) kunci pembelajaran adalah “Fun”, ini akan semakin menguatkan kelebihan pembelajaran individual yang paling mungkin dilakukan di rumah. Vos dan rekannya tersebut mengatakan, bahwa belajar akan efektif jika dilakukan dalam situasi yang menyenangkan. Kondisi itu hanya bisa terwujud jika guru dan muridnya berada dalam keadaan senang mengajar dan ingin belajar. Jadwal belajar yang ketat seperti halnya di sekolah kurang mampu mengakomodasikan kepentingan ini. Bisa jadi, pada saat pembelajaran berlangsung, siswa dan juga gurunya sedang malas untuk belajar, efeknya proses belajar mengajar menjadi tidak efektif. Esensi pelajarannya pun tidak tertangkap otak, sehingga proses kreativitas mau tidak mau akan terhambat.

Sementara itu, hal yang dapat menunjang kreativitas menurut Munandar (1985) adalah menciptakan iklim yang menunjang pengembangan kreativitas dan mendorong anak merasa tertarik dan tertantang untuk bersibuk diri secara kreatif.

(31)

Blair, dkk (1975) mengatakan bahwa anak akan kreatif bila diberi kesempatan untuk menyentuh, menggunakan peralatan-peralatan, dan mengubah-ubah bentuk objek. Hal ini memberi implikasi bahwa apa pun jenis kegiatan belajar hendaknya menyediakan lingkungan dan sarana yang dapat mengembangkan sifat eksploratif dan rasa ingin tahu. Kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan lebih mendorong perkembangan kreativitas.

Siswa-siswa yang mengikuti homescholing diperkirakan memiliki kreativitas yang berbeda dibandingkan dengan siswa-siswa reguler yang belajar di sekolah formal. Siswa homeschooling lebih fleksibel dalam menerima maupun mengikuti pendidikan, tidak kaku dan tidak terlalu berstruktur sebagaimana sekolah formal. Pendidikan homeschooling lebih kepada upaya pengembangan kreatif anak-anak itu sendiri, sehingga tercipta anak-anak yang senang belajar, menjalankan aktivitas pembelajaran dengan motivasi internal yang kuat, kreatif, serta mampu menguasai materi pelajaran secara lebih efektif. Dengan demikian, kreativitas siswa homeschooling belum tentu sama dengan kreativitas yang dimiliki oleh siswa di sekolah reguler.

II.E. Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukan di atas, maka dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada perbedaan kreativitas antara siswa homeschooling dengan siswa yang mengikuti program reguler.”

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat tujuh faktor psikologis yang mempengaruhi belajar seorang siswa. Faktor-faktor tersebut adalah: intelgensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kelelahan.

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving pada materi laju reaksi dalam meningkatkan keterampilan

Penerapan Algoritma Topsis untuk Sistem Pendukung Keputusan Penerima bantuan bedah pada Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Deli Serdang yang berjalan

Sebuah modul panel depan pada umumnya terdiri dari sakelar daya, sakelar reset, lampu LED daya, lampu LED aktifitas penggerak depan (hard drive), pengeras suara dan lain-lain. Ketika

Untuk adonan dengan penambahan -amilase dan glukoamilase 25 U/g tepung masih dihasilkan adonan yang agak kasar sama dengan roti yang terbuat dari pasta ubi jalar ungu

Saat krisis global terjadi, justru banyak AC merek China yang masuk ke pasar Indonesia, namun konsumen tetap memperhatikan kualitas dan kenyamanan udara AC yang

Semua mononom pangkat genap akan membentuk kurva yang memiliki sifat seperti pada mononom pangkat dua yaitu simetris terhadap sumbu-y, berada di atas sumbu-x

Kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah kontrol RPMI sebagai kontrol standar dimana sumur (well) tidak diberi perlakuan baik ekstrak buah merah maupun gom arab tetapi