• Tidak ada hasil yang ditemukan

KENDALA-KENDALA PELAKU KONVERSI KE AGAMA HINDU DALAM MEMPELAJARI AGAMA HINDU DI KECAMATAN PAMONA BARAT KABUPATEN POSO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KENDALA-KENDALA PELAKU KONVERSI KE AGAMA HINDU DALAM MEMPELAJARI AGAMA HINDU DI KECAMATAN PAMONA BARAT KABUPATEN POSO"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 57 KENDALA-KENDALA PELAKU KONVERSI KE AGAMA HINDU DALAM

MEMPELAJARI AGAMA HINDU DI KECAMATAN PAMONA BARAT KABUPATEN POSO

I K. Mertayasa

Program Studi Pendidikan Agama Hindu STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah Email: komang_mertayasa19@yahoo.com

ABSTRAK

Umat yang non Hindu ketika masuk agama Hindu menghadapi berbagai macam kendala, terutama ketika dalam peningkatan pemahaman terkait dengan agama dan budaya yang baru. Hal tersebut disebabkan karena Agama Hindu sudah tentu memiliki perbedaan dengan keyakinan dari agama yang dianut sebelumnya. Permasalahan yang penting untuk di dipahami yaitu bagaimana kendala-kendala pelaku konversi ke agama hindu dalam mempelajari agama hindu di kecamatan pamona barat kabupaten poso. Oleh karena kendala-kendala yang dihadapi sangat penting sehingga dapat memahami dan menentukan langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kendala tersebut. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa Kendala-kendala pelaku konversi ke agama hindu dalam mempelajari agama hindu di kecamatan pamona barat kabupaten poso yaitu 1). Bahasa dalam Doa/Mantra Agama Hindu; 2). Kurangnya Buku Pedoman Agama Hindu; 3). Banyaknya Sarana Upakara Yadnya; 4). Tidak Tersedianya Tempat Belajar dan Bimbingan Khusus Pelaku Konversi.

Kata Kuci : Kendala, Konversi, Agama Hindu.

1. Pendahuluan

Perkembangan sejarah dan kebudayaan tidak bisa lepas dari sentuhan pengaruh agama-agama yang ada dan berkembang di Indonesia. Berkambangnya berbagai agama menambah corak kemajemukan bangsa Indonesia. Agama dapat dikatakan sebagai sesuatu yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Bagi penganutnya agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran hakiki dan mutlak tentang keberadaan manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat (setelah mati). Agama sebagai suatu keyakinan dapat menjadi pendorong dan pengontrol gerak atau tindakan-tindakan penganutnya. Dengan demikian setiap gerak langkah tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan dan ajaran agamanya.

Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai ideologi bangsa memberikan jaminan kebebasan dalam beragama di

Indonesia. UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Ungkapan UUD 1945 tersebut memberikan peluang kepada setiap warga negara Indonesia untuk memilih agama yang akan dianutnya sesuai keyakinanya masing-masing dan dapat menjalankannya sesuai dengan keyakinannya itu.

Kebebasan dalam memeluk agama yang tertuang dalam UUD 1945 menjadikan setiap warga negara bebas dalam mememeluk agama. Hal tersebut menjadikan tidak menutup kemungkinan terjadi berpindah (konversi) dari agama yang satu ke agama yang lain. Seorang individu dapat berpindah agama dapat disebabkan oleh perkawinan yaitu antara mempelai wanita dan mempelai laki-laki memiliki keyakinan yang berbeda sehingga salah satu mempelai baik itu suami maupun istri harus beralih keyakinan. Selain itu ada

(2)

58 WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 pula disebabkan karena adanya keinginan

untuk memenuhi kebutuhan spiritual yang belum terpenuhi. Perpindahan tersebut atas kemauan individu sendiri dan biasanya ini terjadi pada orang-orang yang ingin mencapai kepuasan spiritual dan merasa tidak puas terhadap agama yang dianut sebelumnya sehingga berpindah agama.

Kecamatan pamona barat merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Poso dengan penduduk yang heterogen yaitu terdiri dari beberapa suku dan agama. Keadaan masyarakat yang heterogen menjadikan kemungkinan akan perpindahan agama sangat mungkin terjadi. Di Kecamatan Pamona Barat terdapat beberapa individu yang melakukan perpindahan dari agama non Hindu ke agama Hindu. Hasil observasi awal terdapat 24 orang yang tersebar di empat desa di wilayah Kecamatan Pamona Barat. Diantara individu-individu yang berpindah tersebut sebagian besar dikarenakan oleh pernikahan dengan penganut agama hindu. Keadaan demikian menjadikan salah satu mempelai harus berpindah agama. Hal ini untuk sahnya perkawinan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa sebuah perkawinan dapat dibatalkan bilamana si istri dan si suami tidak menganut agama yang sama. Oleh karena itu seseorang yang berasal dari agama yang berbeda apabila ingin melaksanakan pernikahan salah satunya harus beralih agama sehinga kedua mempelai berada dalam satu agama pada saat proses perkawinan berlangsung.

Umat yang berasal dari agama non Hindu ketika masuk agama Hindu menghadapi berbagai macam kendala, terutama ketika dalam peningkatan pemahaman terkait dengan agama dan budaya yang baru. Hal tersebut disebabkan karena Agama Hindu sudah tentu memiliki perbedaan dengan keyakinan dari agama yang dianut sebelumnya. Abdullah (2009: 4) mengungkapkan bahwa suatu kebudayaan bagaimanapun tidak dapat

dilepaskan begitu saja dari ruang dimana kebudayaan itu dibangun, di pelihara dan dilestarikan, atau bahkan di ubah.

Permasalahan yang penting untuk di dipahami yaitu bagaimana kendala-kendala pelaku konversi ke agama hindu dalam mempelajari agama hindu di kecamatan pamona barat kabupaten poso. Oleh karena kendala-kendala yang dihadapi sangat penting sehingga dapat memahami dan menentukan langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kendala tersebut.

Teknik pengumpulan data dalam melakukan suatu penelitian dilakukan dengan metode tertentu sesuai dengan tujuannya, teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti kualitatif sebagai human as instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Teknik analisi data yang digunakan yaitu (1). Reduksi data; (2). Display/penyajian data; (3). Verifikasi atau penyimpulan.

2. Hasil dan Pembahasan

a. Bahasa dalam Doa/Mantra Agama Hindu

Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, selain perlu berkomunikasi juga dituntut untuk dapat berbaur dan menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan lingkungan sekitar. Dengan adanya bahasa, akan dapat dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar atau lingkungan yang sedang datangi oleh individu. Pada saat beradaptasi dengan lingkungan sosial tertentu, akan memilih dan menggunakan bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Menurut Koentjaraningrat (Setyawan, 2011:

(3)

WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 59 66) menjabarkan tujuh unsur kebudayaan

dimana bahasa sebagai salah satu yang termasuk dalam tujuh unsur kebudayaan tersebut.

Pada dasarnya bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan.Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki peranan yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari kegunaan bahasa sangat penting dalam menunjang aktivitas kehidupan bermasyarakat, tanpa bahasa mungkin dunia ini tidak akan seperti sekarang ini dan karena manusia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bahasa.

Bahasa merupakan media yang digunakan untuk melakukan interaksi dan komunikasi antara individu. Kemampuan dalam berbahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif menjadikan seseorang lebih mudah untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain. Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat mendasar, karena dengan bahasa memungkinkan individu untuk saling menukar informasi (information sharing).Trudgill (dalam Setyawan, 2011: 66) menyatakan bahwa bahasa memiliki fungsi sebagai sarana pembangun hubungan sosial dan pemberitahuan informasi terhadap lawan bicara.Sedangkan Moor (dalam Dasih, 2011: 24) menyatakan bahwa manusia dilandasi kapasitas untuk menyampaikan maksud, hasrat, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman dari orang yang satu kepada orang lain. Penyampaian tersebut dijembatani dengan bahasa sehingga individu yang melakukan interaksi menjadi sepaham terkait dengan apa yang ingin disampaikan. Terkait dengan ucapan sebagai salah satu wujud bahasa Niti Sataka 5 menyebutkan sebagai berikut :

Keyurani na bhusayanti purusam harah na candrojjvalah na snanam na vilevanam na kusumam nalamkrtah murddhajah vanyeka samalamkareti purusam ya sanskta dharyate ksiyante khalu bhusanani vagbhusanam bhusanam.

Artinya :

Bukan perhiasan yang dapat menambahkan kecantikan seseorang tetapi ucapan dan kata-kata yang baik dan manis juga dapat meluluhkan hati orang (Mertha, 2009: 31).

Ungkapan kitab Niti Sataka tersebut memberi penegasan bahwa ucapan dan kata-kata apabila dapat diucapkan dengan baik dan sopan serta memiliki makna yang mendalam akan mampu meluluhkan hati seseorang. Demikian halnya ketika berinteraksi sengan masyarakat lokal penggunaan kata-kata dan bahasa akan mempu menjadikan lebih akrab dan dapat diterima dengan baik dalam lingkungan masyarakat setempat.

Masyarakat Hindu yang merupakan orang Bali pada umumnya dalam berinteraksi dengan sesama orang Bali menggunakan bahasa Bali. Setyawan (2011: 66) mengungkapkan bahwa pemilihan bahasa daerah atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi tentunya tidak mudah karena kita harus benar-benar memperhatikan variable lain yang memaksa kita untuk memilih salah satu bahasa agar terwujudnya pola komunikasi yang baik dan benar sehingga terbangun suatu hubungan yang humanis diantara penutur dan lawan bicara. Oleh karena itu bahasa daerah sebagai salah satu pilihan bahasa yang bisa digunakan secara tepat dengan mempertimbangkan pada situasi dan kondisi yang terjadi.

Perbedaan bahasa yang digunakan untuk berdoa menjadi suatu kendala tersendiri bagi penganut agama hindu yang berasal konversi agama non hindu, karena pada umumnya doa-doa yang digunakan dalam ajaran agama hindu adalah menggunakan bahasa sansekerta.

(4)

60 WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 Kendala tersebut diungkapkan oleh informan

berikut.

“…kendalanya yang paling jelas ada dalam bahasanya, doa-doa tidak menggunakan bahasa indonesia, sehingga saya harus sering-sering membaca sehingga lebih mudah mengucapkan sesuai dengan dengan yang ada dalam catatan doa-doa…” (Wawancara SR, 19 September 2015).

“… doa dalam agama hindu menggunakan bahasa bali alus dan sangat jarang didengar, jangankan untuk menghafal, untuk membaca saja saya masih kelulitan, perlu terus menerus untuk di ulangi biar terbiasa…” (Wawancara AG, 17 Oktober 2015).

Ungkapan kedua informan di atas mengatakan bahwa, terdapat kendala yang dihadapi oleh para pelaku konversi ke agama hindu dalam hal mengucapkan dan menghafalkan doa. Kesulitan tersebut dikarenakan perbedaan bahasa yang digunakan dalam berdoa dengan agama yang dianut sebelumnya. Dalam keyakinan dan dalam beberapa kitab agama hindu, doa ditulis dalam bahasa sansekerta, namun ada pula yang ditulis salam bahasa kawi dan bahasa bali halus. Bahasa sansekerta dan bahasa bali halus sangat jarang didengar oleh para pelaku konversi agama, dalam artian bahwa bahasa tersebut terasa asing ketika didengar, berbeda halnya dengan bahasa bali yang digunakan orang kebanyakan yang sudah biasa didengar dari orang-orang sekitanrnya, baik itu suami/istri atau orang tua dan tetangga sekitarnya.

Sesuai dengan keyakinan agama hindu, berdoa tidak harus menggunakan bahasa sebagaimana bahasa weda, namun lebih ditekankan pada keadaan hati dan niat ketika mengucapkan doa tersebut. Dalam berdoa apabila tidak mampu untuk menggunakan mantra dapat menggunakan sehe dengan bahasa sebisanya. Namun yang lebih penting adalah niat ketika melakukan doa tersebut apakah tulus atau tidak. Pemahaman tersebut

belum mampu dipahami oleh para pelaku konversi agama, masih terdapat persepsi bahwa dalam berdoa dalam agama hindu harus menggunakan bahasa atau mantra sebagaimana yang digunakan dalam Weda sebagai kitab suci agama hindu.

Lingkungan sekitar berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam berbahasa, baik itu bahasa indonesia maupun bahasa bali. Bahasa akan digunakan sebagai media komunikasi baik dengan sesama manusia maupun dalam berkomunikasi dengan sang Pencipta. Dalam keyakinan agama hindu, dalam melakukan komunikasi dengan sang pencipta dapat menggunakan baerbagai macam bahasa, baik itu menggungkan bahasa sansekerta, sebagaimana tertuang dalam weda, bahasa bali, bahasa indonesia maupun bahasa hati (sehe). Jaman (1998: 46) menungkapkan bahwa secara prinsipal tidak ada perbedaan yang berarti antara mantra dengan ucapan bahasa apapun termasuk bahasa indonesia, karena hal yang terpenting adalah kesungguhan hati yang muncul dari hati nurani yang paling dalam.

b. Kurangnya Buku Pedoman Agama Hindu

Pembelajaran ajaran agama hindu khususnya yang berkaitan dengan upakara dan ajaran tentang ketuhanan bagi umat hindu yang berasal dari non hindu, mengalami kendala diantaranya adalah kurangnya buku yang dapat dijadikan pedoman atau tuntunan dalam membuat upakara. Hal tersebut diungkapkan oleh informan berikut.

“… Selama ini saya belum pernah membaca buku tentang banten atau ajaran agama hindu yang lainnya, itu juga karena saya juga tidak punya bukunya, kalau ada buku kita bisa belajar sendiri, dan kalau ada bukunya itu akan lebih enak lagi untuk belajar. Kapan ada waktu baru buka buku, karena kalau khusus satu hari belajar itu, dan tidak diulang lagi itu akan hilang. Jadi kalau ada buku kan bisa kalau lupa, dibuka lagi bukunya, sehingga bisa ingat

(5)

WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 61 terus jadinya… “ (Wawancara, EB, 17

Oktober 2015).

“… yang menjadi masalah biasanya yaitu kalau mau buat canang dirumah sendiri, karna buku untuk cara buat itu juga tidak ada, kalau ada buku cara membuat itu kan gampang jadinya…” (Wawancara SN, 18 Oktober 2015)

Kedua informan di atas mengungkapkan bahwa kurangnya keberadaan buku yang dijadikan sebagai pedoman dan sarana belajar dalam membuat banten merupakan salah satu kendala. Ketika belajar membuat banten sendiri, diperlukan buku sebagai panduan, buku-buku tersebut yang masih sangat jarang dimiliki oleh para pelaku konversi ke agama hindu. Keberadaan buku pedoman baik tentang tata cara pembuatan sarana upacara, tata cara sembahyang maupun tuntunan dalam memahami keberadaan konsep ketuhanan sangat dibutuhkan oleh para pelaku konversi agama sehingga mampu memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama hindu.

AECT (Association of Education Cummunication Technology) (dalam Rohani, 2004: 164) menyebutkan bahwa salah satu sumber belajar adalah Materials (bahan) yaitu perangkat lunak yang mengandung pesan untuk disajikan melalui penggunaan alat/perangkat keras ataupun oleh dirinya sendiri.Berbagai program media termasuk kategori materials seperti transportasi, slide, film, audio, video, modul, majalah buku dan sebagainya.

Buku merupakan salah satu sumber belajar yang tergolong dalam klasifikasi material. Keberadaan buku sebagai sumber belajar akan sangat membantu individu dalam hal ini adalah para pelaku konversi ke agama hindu dalam mempelajari agama hindu. Buku teks merupakan salah satu sumber belajar dan bahan ajar yang banyak digunakan dalam belajar.Buku merupakan bahan ajar sekaligus sumber belajar yang konvensional.Namun meskipun konvensional dan sudah dipergunakan cukup lama dan banyak yang

menganggap tradisional, buku masih cukup mampu memberikan kontribusi yang baik pada pembelajaran. Buku adalah memberikan informasi dan materi kepada individu dalam hal ini adalah para pelaku konversi ke agama hindu melalui bahan yang berbentuk cetakan. Buku pelajaran memuat materi ditambah dengan informasi yang relevan secara menyeluruh dan lengkap sehingga penggunaan buku dapat digunakan berdampingan maupun tanpa sumber belajar atau media pembelajaran lainnya.

c. Banyaknya Sarana Upakara Yadnya Para pelaku konversi agama beberapa diantaranya telah mampu untuk membuat sarana upacara yang biasa digunakan sehari-hari. Dalam kehidupan masyarakat hindu memakai banyak sarana upacara, sarana tersebut digunakan sebagai media dalam menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Banyaknya sarana tersebut menjadi kendala tersendiri bagi para pelaku konversi ke agama hindu dalam memahami makna dari masing-masing sarana upacara yang digunakan. Hal tersebut diungkapkan oleh informan berikut.

“…masalahnya kalau belajar yadnya itu karena banyak ada yadnya, dan bantennya juga beda-beda, sulit di ingat kalau banyak, apalagi saya sudah mulai tua…” (Wawancara, MT, 19 September 2015)

“… kalau kita agama hindu bawa banten beda dengan denga kristen hanya datang duduk saja di dalam gereja…” (wawancara, AL, 6 September 2015).

Ungkapan informan di atas menyatakan bahwa agama hindu memiliki banyak jenis yadnya. Dalam setiap yadnya memiliki upakara yang berbeda-beda, hal tersebut menjadi sebuah kendala tersendiri karena dengan banyaknya sarana upacara yang digunakan sehingga kemampuan untuk mengingat hal itu menjadi kesulitan tesendiri bagi para pelaku konversi ke agama hindu.

(6)

62 WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 Dalam melaksanakan yadnya diperlukan

pemahaman berkaitan dengan apa yang telah di buat. Untuk dapat memahami makna dari apa yang dibuat para pelaku konversi ke agama hindu mengalami kesulitan, karena pemahaman akan dapat diperoleh jika individu mampu untuk mengingat sarana upakara yang akan di maknai. Oleh karena itu terlebih dahulu yang harus dimiliki adalah mengetahui bentuk-bentuk dari sarana upakara yang digunakan dalam setiap yadnya.Hal tersebut tidak cukup hanya diketahui bentuknya, namun juga harus dipahami makna, dan etika dalam membuat sarana tersebut.

Dalam ajaran agama hindu ada tiga hal yang mendasar dalam setiap pelaksanaan aktifitas yaitu tattwa, susila dan upacara.Tattwa, Susila dan Upacara merupakan Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.Ketiga kerangka dasar tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena sifatnya saling menyempurnakan. Kemampuan dalam membuat sarana upacara perlu dibarengi dengan etika dan pemahaman tentang makna dari upacara yang dilaksanakan. Tattwa (Filsafat) merupakan inti dari ajaran agama Hindu untuk mendapatkan suatu kebenaran yang hakiki; Susila (Etika) merupakan bentuk tingkah laku dalam kehidupan manusia, agar mempunyai tata krama, sopan santun dan budi pekerti; Upacara (Ritual) merupakan wujud nyata dari pelaksanaan ajaran agama Hindu sebagai pernyataan rasa Bhakti dalam bentuk korban suci yang didasari dengan Sradha (keyakinan) dan rasa tulus ikhlas tanpa pamrih.

Ketidakmampuan dalam membuat sarana upacara, karena menurut informan di atas begitu banyak sarana upacara yadnya yang ada dalam agama hindu, juga memiliki dampak terhadap pemahaman yang dimiliki terkait dengan pelaksanaan yadnya tersebut. Oleh karena itu, sarana upacara yadnya yang begitu banyak menjadi kendala bagi para pelaku konversi ke agama hindu dalam

memperoleh pemahaman secara komprehensif dari pelaksanaan yadnya yang dilakukan. Pada akhirnya pemahaman yang dimiliki akan memberi dampak pada motivasi individu dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam artian pemahaman yang tidak memadai akan pentingnya sesuatu turut serta memberikan pengaruh terhadap motivasi individu.

Motivasi dapat digolongkan kedalam motivasi ekstrinsik dan intrinsik, yaitu dorongan dari luar diri dan dorongan dari dalam diri. Dalyono (2009: 57) menyatakan bahwa dorongan intrinsik merupakan dorongan yang beradal dari hati sanubari, pada umumnya hal ini karena kesadaran akan pentingnya sesuatu yang dilakukan. Kuat dan lemahnya motivasi akan turut mempengaruhi keberhasilan.

Kendala dalam memahami ajaran agama hindu khususnya tentang sarana upacara oleh para pelaku konversi kea agama hindu, juga akan mempengaruhi motivasi mereka dalam membuat sarana dan melaksanakan yadnya. Memaknai secara baik dari apa yang dilaksanakan sebagai bentuk motivasi intrinsik masih belum dimiliki sepenuhnya. Motivasi yang ditimbulkan oleh dorongan yang berdasar dari dalam diri (intrinsik) memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan dari apa yang dilakukan individu.

d. Tidak Tersedianya Tempat Belajar dan Bimbingan Khusus Pelaku Konversi

Para pelaku konversi ke agama hindu pada umumnya ketika memasuki agama hindu belum memiliki pemahaman yang baik tentang agama hindu. Pemahaman terkait dengan agama hindu sebagian besar diperoleh ketika telah memasuki agama hindu baik melalui belajar secara mandiri maupun dengan bimbingan dan bantuan dari orang yang hidup disekitarnya. Para pelaku konversi ke agama hindu di kecamatan pamona barat belajar tentang agama hindu dilakukan tidak pada tempat yang dibuat secara khusus. Hal tersebut diungkapkan oleh informan berikut.

(7)

WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 63 “… saya belajar agama hindu lebih banyak

setelah saya masuk di agama hindu, sebelumnya saya tidak tahu agama hindu itu seperti apa. Sambil jalan sambil belajar, tentu dengan bimbingan orang tua di rumah…” (Wawancara, AG, 17 Oktober 2015).

“… saya belajar tentang agama hindu dirumah, tidak ada tempat khusus dibuatkan untuk kita untuk belajar. Kalau ada tempat, kemudian kita diajarkan secara khusus, dikumpulkan semua agama hindu yang beradal dari agama lain, sepertinya akan lebih baik. Cuma sekarangkan tidak ada tempat seperti itu, dan itu menjadi hambatan bagi saya untuk belajar agama hindu, coba kalau disediakan tempat dan dikumpulkan semua, pasti akan lebih mudah belajar majejahitan, sembahyang dan yang lainnya…” (Wawancara, MT, 17 Oktober 2015)

Ungkapan informan di atas menyatakan bahwa sebagian besar ajaran agama hindu di pelajari setelah masuk ke agama hindu. Hal tersebut dilakukan melalui belajar secara manidiri dan juga melalui bimbingan dari orang tua. Dalam proses pembelajarannya para pelaku konversi terkendala pada tempat untuk belajar. Selama ini para pelaku konversi hanya belajar dirumah, dan dengan bimbingan orang sekitarnya.Waktu untuk belajar juga tidak terjadwal secara baik, karena tidak ada tempat khusus yang disediakan untuk belajar.

Tempat belajar turut berperan dalam pencapain hasil belajar yang maksimal. Tempat belajar yang memadai akan mendukung keberhasil dari proses pembelajaran. Demikian halnya dengan para pelaku konversi ke agama hindu, memerlukan tempat belajar yang khusus sehingga akan dapat meningkatkan pemahaman tentang ajaran agama hindu. Tidak tersedianya tempat khusus untuk belajar agama bagi para pelaku konversi ke agama hindu menjadi kendala para konversi ke agama hindu untuk belajar agama hindu. Apabila di sediakan tempat, para pelaku dapat berkumpul, dan belajar secara

bersama-sama, dengan demikian motivasi untuk belajar akan lebih meningkat.

Tempat belajar yang dibuat secara khusus memberikan kenyamanan dalam belajar, dalam hal ini para pelaku konversi ke agama hindu akan merasa lebih nyaman bersemangat untuk belajar ketika disiapkan tempat khusus bagi mereka untuk belajar tentang agama hindu. Selain itu dengan disiapkan tempat khusus juga diperlukan tenaga pengajar/pembimbing yang akan mengarahkan dan membimbing para pelaku konversi ke agama hindu di dalam mempelajari agama hindu. Dalam prosesnya akan lebih banyak membantu para pelaku konversi dalam memahami ajaran agama hindu, karena dengan disediakan tempat dan tenaga pengajar/pembimbing, menjadikan par apelaku lebih leluasa dalam bertanya, berkaitan dengan hal-hal yang masih belum dipahami. Dengan demikian belum tersedianya tempat dan tenaga pengajar/pembimbing khusus menjadi kendala bagi para pelaku konversi ke agama hindu dalam belajar.

3. Simpulan

Kendala-kendala pelaku konversi ke agama hindu dalam mempelajari agama hindu di kecamatan pamona barat kabupaten poso yaitu 1). Bahasa dalam Doa/Mantra Agama Hindu; Perbedaan bahasa yang digunakan untuk berdoa menjadi suatu kendala tersendiri bagi penganut agama hindu yang berasal konversi agama non hindu, karena pada umumnya doa-doa yang digunakan dalam ajaran agama hindu adalah menggunakan bahasa sansekerta. 2). Kurangnya Buku Pedoman Agama Hindu yang dijadikan sebagai pedoman dan sarana belajar dalam membuat banten merupakan salah satu kendala. Ketika belajar membuat banten sendiri, diperlukan buku sebagai panduan, buku-buku tersebut yang masih sangat jarang dimiliki oleh para pelaku konversi ke agama hindu. Keberadaan buku pedoman baik tentang

(8)

64 WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 tata cara pembuatan sarana upacara, tata cara

sembahyang maupun tuntunan dalam memahami keberadaan konsep ketuhanan sangat dibutuhkan oleh para pelaku konversi agama sehingga mampu memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama hindu. 3). Banyaknya Sarana Upakara Yadnya menjadi kendala tersendiri bagi para pelaku konversi ke agama hindu dalam memahami makna dari masing-masing sarana upacara yang digunakan. 4). Tidak Tersedianya Tempat Belajar dan Bimbingan Khusus Pelaku Konversi, Sebagian besar ajaran agama hindu di pelajari setelah masuk ke agama hindu. Hal tersebut dilakukan melalui belajar secara manidiri dan juga melalui bimbingan dari orang tua. Dalam proses pembelajarannya para pelaku konversi terkendala pada tempat untuk belajar. Selama ini para pelaku konversi hanya belajar dirumah, dan dengan bimbingan orang sekitarnya.Waktu untuk belajar juga tidak terjadwal secara baik, karena tidak ada tempat khusus yang disediakan untuk belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Adhiputra, A.A. Ngurah. 2010. Konseling Lintas Budaya. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi V. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Aryadharma, Ni Kadek Surpi. 2011.

Membedah Kasus Konversi Agama Di Bali. Surabaya: Paramita.

Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dalyono, M. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber. Jakarta: Universitas Indoesia Press.

Hamalik, Oemar. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi aksara. Hanani, Dinar Gusti Dan Syafiq, Muhammad.

2013. Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin Di Surabaya. Jurnal Penelitian Psikologi, Vol. 04, No. 02, 120-141.

www.jurnalpsikologi.uinsby.ac.id. diakses Tanggal 2 Pebruari 2015.

Herimanto, dan Winarno. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara

Jaman, I Gede. 2006. Tri Hita Karana dalam Konsep Hindu. Denpasar: BP. Denpasar.

Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan

mentalitas dan pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi, Cetakan Kedelapan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Mardalis. 2006. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: PT Bumi Aksara.

(9)

WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 65 Margono. S, 2006, Metodelogi Penelitian

Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Mertayasa, I Komang. 2013. Pola Adaptasi

Masyarakat Hindu di Kecamatan Pamona Barat Kabupaten Poso Pasca Konflik Poso. Laporan Penelitian. Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Dharma Sentana Sulawesi Tengah. Mertha, I Nengah. 2009. Menggantang

Hindup Dijaman Kaliyuga. Denpasar: Widya Dharma

Merthawan, Gede. 2012. Peranan Keluarga Hindu dalam Mengantisipasi Perpindahan Agama Melalui Perkawinan Pada Kalangan Remaja Di Kota Palu. Laporan Penelitian Dosen. Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Sentana Sulawesi Tengah.

Moleong, Lexi. J. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pudja, G. 2005. Bhagavad Gita (Pancama Weda). Surabaya: Paramita

Pudja.G dan Sudharta, Tjokorda Rai. 2002. Manawa Dharma Sastra (manu Dharmasastra) Weda Smrti Compendium Hukum Hindu. Jakarta: Cv. Felita Nusantara Lestari.

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Riwayadi, Susilo, Anisyah, Suci Nur. tt.

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Sinar Terang

Riyanto, Yatim. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif dan Kuantitatif. Surabaya: Unesa University Press. Rohani, Ahmad. 2004. Pengelolaan

Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran:

Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sugiyono. 2008. Memahami penelitian Kualitatif. Bandung: C.V. Alfabeta. Suryabrata, Semadi. 2003. Metodologi

Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Suwasthi & Suastawa. 2008. Psikologi Agama

Seimbangkan Pikiran, Jiwa dan Raga. Denpasar: Widya Dharma

Syah, Muhibbin. 2013. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers

Tantra, I Wayan, 2012. Munculnya Masyarakat Multi-Agama Di Desa Rio Mukti Kecamatan Rio Pakava Kabupaten Donggala. Jurnal Widya Genitri, vol 1. No. 1 Juni 2012. Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Sentana Sulawesi Tengah

Thontowi, Ahmad. tt. Hakekat Religiusitas. Widyaiswara Madya Balai Diklat Keagamaan Palembang.

Tim. 2003. Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional Tirtarahardja, Umar dan Sulo, S.L.La. 2005.

Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

(10)

66 WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016 Waruwu, Fidelis E. 2010. Membangun Budaya

Berbasis Nilai. Panduan Pelatihan Bagi Trainer. Yogyakarta: Kanisius

Wiana, I Ketut. 1997. Cara Belajar Agama Hindu Yang Baik. Denpasar. Yayasan Dharma Naradha

Wiyono, Eko Hadi. 2007. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap Disertai Penggunaan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Palanta

www.maribelajarbk.web.id. Diakses tanggal 2 pebruari 2015

Yin, Robert K. 2001. Studi Kasus (Desaian dan Metode). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk nilai COP tertinggi pada heat pump tanpa mengunakan heat exchanger ini dikarenakan tekanan suction sebesar 35 Psi dan tekanan discharge sebesar 160 psi,

T-tes dilakukan untuk melihat adakah pengaruh metode yang digunakan terhadap hasil belajar peserta didik dengan menggunkan nilai dari post test dari kelas eksperimen dan

Bantalan pada alat uji dibagi atas dua bagian, yaitu bantalan 1 dan bantalan 2 yang berada pada bagian 1, bantalan 1 merupakan bantalan yang mengalami

Kritik intern adalah upaya yang dilakukan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup layak untuk dipercaya kebenarannya. 22 Dalam kritik sumber apabila

dalam pelaksanaannya. Berdasarkan kendala yang dihadapi dan berbagai permasalahan yang muncul dalam pembahasan di sidang- sidang UNCOPUOS, dianalisis bentuk upaya perubahan

Pada kesempatan kali ini, variasi sulaman karawo menggunakan teknik tusuk ikat dan tusuk loncat isi benang menisik. Untuk lebih jelasnya, proses pembuatan sulaman

Hal ini diperkuat dengan hasil temuan bahwa nilai niche overlap pakan antarjenis kelelawar insektivora yang bersarang dalam satu gua, lebih kecil bila dibandingkan dengan

Dalam RPP siklus 1 dan siklus 2 memiliki kesamaan komponen dengan RPP pada umumnya yang terdiri dari (identitas sekolah, kelas, semester, tema/subtema dan