• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mahasiswa tidak menampilkan potensinya, maka ia termasuk underachiever.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mahasiswa tidak menampilkan potensinya, maka ia termasuk underachiever."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

6 1. Underachiever

1.1. Pengertian Underachiever

Rimm dalam Del Siegle & McCoah, 2008) menyatakan bahwa ketika mahasiswa tidak menampilkan potensinya, maka ia termasuk underachiever. Mahasiswa yang underachiever seringkali salah dinilai sebagai mahasiswa berkesulitan belajar (Peters & Boxtel, 1999). Robinson, (2006) mendifinisikan

underachievement sebagai kesenjangan akut antara potensi prestasi (expected achievement) dan prestasi yang diraih (actual achievement). Untuk dapat diklasifikasikan sebagai underachiever, kesenjangan antara potensi dan prestasi tersebut bukan merupakan hasil diagnosa kesulitan belajar (learning disability) dan terjadi secara menetap pada periode yang panjang.

Underachiever ini juga tidak dikaitkan dengan adanya perubahan hormonal menjelang remaja. Saat ini belum ada metode yang tepat yang dapat digunakan psikolog pendidikan untuk mengidentifikasi underachiever. Secara operasional, underachievement dapat didefinisikan sebagai kesenjangan antara skor tes inteligensi dan hasil yang diperoleh mahasiswa di kampus (Ross dalam Peters & VanBoxtel, 1999).

1.2. Penyebab Underachiever

Butler-Por dalam oxfordbrooks.ac.uk, (2006) menyatakan bahwa

underachievement bukan disebabkan karena ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik, tetapi karena pilihan-pilihan yang dilakukan dengan

(2)

sadar atau tidak sadar. Pernyataan ini dijelaskan oleh penelitian McClelland dalam oxfordbrooks.ac.uk, (2006) yang menyatakan bahwa ada dua set utama yang mempengaruhi performa underachiever, yaitu (a) faktor emosi dan motivasi, dan (b) faktor yang berhubungan dengan strategi belajar. McClelland dan rekannya percaya bahwa ketika faktor-faktor pada kedua set tersebut berkombinasi dan saling berinteraksi, bisa menjadi konsekuensi yang paling kuat untuk mencegah mahasiswa menjadi underachiever.

1.2.1. Faktor Emosi dan Motivasi

Yang termasuk dalam faktor ini adalah (dalam oxfordbrooks.ac.uk, 2006):

1. Tidak menyadari potensinya, sehingga mereka kurang memahami dirinya dan orang lain

2. Mempunyai harapan /target yang terlalu rendah, sehingga membuat mereka tidak mempunyai tujuan dan nilai yang jelas.

3. Mempunyai self-esteem yang rendah, dan menjadi peka terhadap penilaian orang lain.

4. Pernah mengalami ‘high incident of emotional difficultiies, dan membuat mereka depresi atau cemas.

5. Tidak termotivasi untuk berprestasi di kampus. 6. Takut mengalami kegagalan.

7. Takut mengalami kesuksesan. 8. Menyalahkan orang lain

(3)

1.2.2. Faktor yang Berkaitan dengan Strategi Belajar

Berikut merupakan faktor yang berhubungan dengan bagaimana indvidu belajar yang dikemukakan McClelland dalam oxfordbrooks.ac.uk, (2006).

1. Tidak bisa menampilkan performa yang baik dalam situasi tes.

2. Meraih prestasi di bawah harapan dalam salah satu pelajaran, sebagian atau keseluruhannya.

3. Mengumpulkan tugas yang belum selesai atau yang dikerjakan secara asal-asalan.

4. Menghindari untuk mencoba hal-hal baru.

5. Mempunyai kecenderungan perfeksionis dan self-critism. 6. Kesulitan untuk bekerja dalam kelompok.

7. Membuat tujuan yang tidak realistis, terlau tinggi atau terlalu rendah.

8. Tidak menyukai kegiatan yang membutuhkan latihan teratur, mengingat dan yang membutuhkan penguasaan keahlian tertentu.

9. Sulit untuk memberikan atensi dan berkonsentrasi dalam tugas.

10.Sulit menjalin dan mempertahankan hubungan persahabatan dengan teman-teman sebayanya.

1.3. Karakteristik Mahasiswa Underachiever

Karakteristik utama yang dihubungkan dengan anak underachiever adalah rendahnya self-esteem (Trevallion, 2008). Pernyataan tersebut juga dipertegas oleh McClelland dalam Adams, (1997) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik kepribadian mahasiswa underachiever adalah rendahnya konsep diri. Mahasiswa biasanya menutupi ini dengan mengembangkan mekanisme

(4)

pertahanan diri (defence mechanism) seperti bertindak agresif ataupun membuat keributan /lelucon di kelas.

Karakteristik sekunder yaitu biasanya mereka memperlihatkan perilaku menghindar. Mereka sering mengatakan bahwa pelajaran di kampus tidak relevan atau tidak penting karena itu mereka biasanya lebih tertarik kegiatan selain kegiatan kampus. Kaufman dalam Trevallion, (2008) menyatakan bahwa karakteristik ini tampil dalam dua arah yaitu agresif atau menghindar. Mereka juga akan memperlihatkan ketergantungan seperti tergantung pada orang lain untuk menyelesaikan tugasnya.

Karakteristik tersier mahasiswa underachiever antara lain buruknya keahlian dalam tugas-tugas kampus, kebiasaan belajar yang buruk, memiliki masalah penerimaan oleh teman sebaya, konsentrasi yang buruk dalam aktivitas kampus, tidak bisa mengatur diri baik di rumah maupun di kampus, mudah bosan, “meninggalkan” kegiatan kelas, memiliki kemampuan berbahasa oral yang baik, tapi buruk dalam menulis, mudah terdistraksi dan tidak sabaran, sibuk dengan pikirannya sendiri, kurang jujur, sering mengkritik diri sendiri, mempunyai hubungan pertemanan yang kurang baik, suka bercanda di kelas (membuat keributan), ramah terhadap orang yang lebih tua, dan berperilaku yang tidak biasa.

1.4. Prestasi Akademik Mahasiswa Underachiever

Menurut Elabum & Vaughn, (2001), pengalaman di kampus akan mempengaruhi persepsi mahasiswa terhadap kemampuan akademis, penerimaan sosial, popularitas, perilaku, self-efficacy, dan bahkan ketertarikan fisik. Pesepsi kemampuan akademiknya akan mempengaruhi penampilan, motivasi terhadap

(5)

tugas akademik, orientasi karir, dan perkiraan keberhasilan di masa depan. Perasaan anak tentang dirinya selama di kampus bisa mempengaruhi perkembangan konsep dirinya terutama konsep diri akademiknya (Swann dalam Elabum & Vaughn, 2001).

Mengacu pada pendapat Shaffer (2002) yang menjelaskan bahwa pada awal masa kanak-kanak, individu mulai membangun konsep dirinya yakni satu set keyakinan mengenai karakteristik mereka. Penelitian Keller, Ford, dan Meacham (dalam Shaffer, 2002) menunjukkan bahwa anak-anak prakampus menggambarkan diri mereka berdasarkan karakteristik yang konkrit, seperti nama, penampilan fisik, kepemilikan, dan perilaku yang khas pada mereka. Usia 8-11 tahun anak mulai menggambarkan dirinya berdasarkan karakternya. Mereka mulai mengurangi penekanan terhadap perilakunya dan mulai menonjolkan kemampuannya. Misalnya “saya dapat mengerjakan ulangan dengan baik”. Mereka juga mulai menggambarkan dirinya berdasarkan sifat-sifat psikologis. Hal tersebut dimulai dari penggambaran kualitas secara umum, seperti “pintar” dan “bodoh”. Selajutnya pada usia remaja, penggambaran diri merekapun berubah. Contoh “saya tidak terlalu pintar dalam matematika”, “Saya senang dengan pelajaran sejarah”.

Underachievement terjadi karena kegagalan individu untuk merealisasikan diri (ReisDel Siegle & McCoah, dalam Gallager, 2005), karenanya

underachievement dapat dilihat sebagai dampak dari perkembangan emosi yang berinteraksi dengan status kognisi yang mengarahkan ke keadaan

underachievement (Gallager, 2005). Salah satu faktor yang sering muncul pada mahasiswa underachiever adalah rendahnya self-image dan buruknya self-esteem

(6)

(Davis & Rimm, dalam Gallager, 2005). Konsep diri yang positif terbentuk dari prestasi (Gallager, 2005). Hasil tinjauan literartur yang dilakukan Lau dan Chan (2001) juga menunjukkan hal yang sama, bahwa dari berbagai karakteristik mahasiswa underachiever yang diajukan oleh berbagai peneliti, temuan yang paling konsisten adalah rendahnya konsep diri atau self-esteem mereka, terutama pada area konsep diri akademik.

Mahasiswa yang underachiever tidak percaya bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk berprestasi, karenanya mereka tidak berusaha keras untuk belajar dan mudah menyerah ketika menghadapi kegagalan. Kemudian kegagalan dalam bidang akademik akan membuat mereka tidak percaya diri dalam belajar sehingga mereka kehilangan konsep dirinya. Hubungan yang negatif antara konsep diri akademik dengan prestasi menjadi lingkaran yang membuat pola

underachievement sulit diputus.

1.5. Mengatasi Mahasiswa Underachiever

Beberapa literatur menyatakan bahwa underachievement adalah pola perilaku yang dipelajari dan tentunya dapat juga diubah (Gallagher, 2005; Joan, 2004). Coyle dalam Trevallion, (2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan prestasi anak underachiever dapat dilakukan dengan membangun self-esteem, meningkatkan konsep diri, meningkatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik, mengajari cara belajar (study skills), manajemen waktu dan mengatasi kekurangannya dalam hal akademik. Pringle dalam oxfordbrooks.ac.uk, (2006) juga menyatakan hal yang sama, bahwa untuk mengatasi mahasiswa

(7)

moral mahasiswa, memberikan dukungan, memberikan kesempatan untuk mengerjakan sesuatu dengan bebas, ataupun membuat suasana belajar yang menyenangkan. Jika guru bersikap negatif terhadap mahasiswa underachiever

ataupu kurang memperhatikan mereka, akan berakibat makin menguatnya pola

underachievement pada mahasiswa tersebut.

Self esteem dan self-concept sangat berhubungan dan biasanya digunakan secara bertukar. Menurut Snow & Jackson dalam Adams, (1997), konsep diri (self-concept) adalah sejauh mana ia mengetahui dirinya (individual’s self- knowlwdge), dan self-esteem adalah persepsi individu harga diri dan penghormatan terhadap dirinya dan kualitas perasaan individu terhadap kedua hal tersebut.

Menurut Branden (1998), konsep diri adalah siapa dan apa yang individu pikirkan mengenai diri sendiri baik secara sadar maupun tidak sadar, mencakup fisik dan psikologi serta kelebihan dan kekurangannya. Harter dalam Papalia, (2007) juga menjelaskan bahwa konsep diri merupakan konstruksi kognitif yang menggambarkan dan menilai diri. Konsep diri diperoleh dari hasil belajar, oleh karena itu konsep diri biasanya menetap dan konsisten. Persepsi tentang diri mengarahkan perilaku seseorang, dan individu akan berperilaku sesuai dengan persepsinya tersebut (Purkey dalam Adams, 1997). Konsep diri berkorelasi dengan prestasi (Snow & Jackson dalam Adams, 1997), motivasi (Raffini, 1993), dan tujuan pribadi (Lazarus dalam Adams, 1997). Perbaikan konsep diri akan mengarahkan peningkatan penyesuaian diri dan prestasi (Snow & Jackson dalam Adams, 1997).

(8)

2. Tes Intelegensi

2.1. Pengertian Intelegensi

Andrew Crider (dalam Azwar, 2008) mengatakan bahwa intelegensi itu bagaikan listrik, gampang untuk diukur tapi hampir mustahil untuk didefinisikan. Kata-kata ini banyak benarnya. Tes intelegensi sudah dibuat orang sekitar diri sendiri delapan dekade yang lalu, akan tetapi sejauh ini belum ada definisi intelegensi yang dapat diterima secara universal.

Alfred binet dan Theodore Simon tahun (1857-1911) mendifinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu: a) kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan c) kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan autocritism. Lewis Madison mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan seseorang untuk berfikir secara abstrak. Sedangkan H.H Goddard mendefinisikan intelegensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah- masalah yang akan datang (Azwar, 2008).

VAC Henmon salah seorang diantara penyusun tes intelegensi kelompok henmon-nelson, mengatakan bahwa intelegensi terdiri atas dua macam faktor yaitu (a) kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, dan (b) pengetahuan yang telah diperoleh (Azwar, 2008).

Edward Lee Thorndike seorang tokoh psikologi fungsionalisme mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta. Galton mendasarkan tes

(9)

intelegensinya pada asumsi bahwa keunggulan intelegensi seseorang tercermin dalam keunggulan kekuatan fisiknya. Dengan demikian variabel yang diukur dalam tes intelegensinya adalah ukuran batok kepala, ketajaman penglihatan, ingatan terhadap bentuk visual, kemampuan bernafas, dan kekuatan genggaman tangan (Sobur, 2003).

George D Stoddard menyebut intelegensi sebagai bentuk kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan: a) mengandung kesukaran; b) komplek, yaitu mengandung bermacam jenis tugas yang harus dapat diatasi dengan baik dalam arti bahwa individu yang intelegen mampu menyerap kemampuan baru dan memadukannya dengan kemampuan yang sudah dimiliki untuk kemudian digunakan dalam menghadapi masalah; c) abstrak yaitu mengandung simbol-simbol yang memerlukan analisis dan interpretasi; d) ekonomis yaitu dapat diselesaikan dengan menggunakan proses mental yang efesien dari segi penggunaan waktu; e) diarahkan pada suatu tujuan yaitu bukan dilakukan tanpa maksud melainkan mengikuti suatu arah atau target yang jelas; f) mempunyai nilai sosial yaitu cara dan hasil pemecahan masalah dapat diterima oleh nilai dan norma sosial; g) berasal dari sumbernya yaitu pola pikir yang membangkitkan kreativitas untuk menciptakan sesuatu yang baru dan lain (Azwar, 2008).

2.2. Teori-Teori Intelegensi

Menurut sudut pandang mengenai faktor-faktor yang menjadi elemen intelegensi, maka teori-teori intelegensi dapat digolongkan dalam tiga golongan.

(10)

Penggolongan pertama adalah teori-teori yang berorientasi pada faktor tunggal yang kedua adalah teori-teori yang berorientasi pada faktor ganda (Azwar, 2008): 1. Afred Binet (1857-1911)

Menurut Binet intelegensi adalah merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang.

2. Edward Lee Thondike (1916)

Pada dasarnya teori thorndike menyatakan bahwa intelegensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku intelegen.

3. Charles E Spearman (1927)

Teori menyatakan bahwa kemampuan mental yang popular dengan nama teori dua faktor (two factor theory).

4. Louis Leon Thurtone dan Thelma Gwinn Thurstone (1941)

Teori ini mengatakan bahwa kemampuan mental data dikelompokkan ke dalam enam faktor dan bahwa intelegensi dapat diukur dengan sampel perilaku seseorang dalam keenam bidang termaksud.

5. Cyril Burt (1976)

Dalam teori ini mengatakan bahwa kemampuan mental terbagi atas beberapa faktor yang berbeda pada tingkatan-tingkatan yang berbeda. Faktor-faktor tersebut adalah salah satu faktor umum (general), faktor-faktor kelompok besar (broad group), faktor- faktor kelompok kecil (narrow group), dan faktor-faktor spesifik (specific).

(11)

6. Joy Paul Guilford (1959).

Teori mengenai structure off intellect. Model ini diilustrasikan dalam bentuk kubus atau kotak berdimensi tiga yang masing-masing mewakili satu klasifikasi faktor-faktor intelektual yang bersesuaian satu sama lain.

2.3. Macam-Macam Tes Intelegensi

Tes intelegensi dibagi menjadi enam macam yaitu (Azwar, 2008) : 1. Stanford Binnet intelegence scale

Materi-materi yang terdapat dalam skala Stanford binnet berupa sebuah kotak bermacam-macam benda mainan tertentu yang akan disajikan pada anak-anak. 2. The Wechsler-intellegence scale for children revised (WISC-R)

Skala ini yaitu untuk mengukur intelegensi anak-anak usia 6 sampai dengan 16 tahun.

3. The Wechsler Adult-intellegence scale for revised (WAIS-R)

WAIS-R terdiri dari skala verbal dan IQ performansi sedangkan kombinasi keduanya menjadi dasar untuk perhitungan IQ deviasi sebagai IQ keseluruhan. 4. Tes standard progressive matrices

SPM merupakan tes yang bersifat non verbal artinya materi soal-soalnya diberikan tidak dalam bentuk tulisan ataupun bacaan melainkan dalam waktu gambar-gambar.

5. The Kauffman assement batteray for children (K-ABC)

Tes intelegensi yang disebut K-ABC merupakan rangkaian tes yang relative baru yang diperuntukkan bagi anak-anak usia 2,50 sampai 12,50 tahun. Tes ini

(12)

diciptakan oleh Alan S Kauffman dan Nadden L Kaufman dari The University of albama dan diterbitkan oleh American Guidance service, circle pines, MN.

2.4. Distribusi Intelegensce Quotient (IQ)

Salah satu cara yang sering digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya tingkat intelegensi adalah menerjemahkan hasil tes intelegensi ke dalam angka yang dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang bila dibandingkan secara relative terhadap suatu norma. Secara tradisional angka normative dari suatu hasil tes intelegensi dinyatakan dalam bentuk rasio (quotient) dan dinamai intelegensce quotient (IQ). Dari sini kita akan melihat bahwa pengertian tes integensi seringkali dan memang dapat dipertukarkan dengan pengertian tes IQ. Walaupun demikian tidak semua tes integensi akan menghasilkan IQ karena IQ memang bukan satu-satunya cara untuk menyatakan tingkat kecerdasan seseorang. Beberapa macam tes intelegensi bahkan tidak menghasilkan IQ akan tetapi memberikan klasifikasi tingkat integensi normal. Ada pula tes psikologi yang mengukur integensi dan menyatakan hasilnya dalam kategori pola berfikir seperti divergen atau konvergen (Azwar, 2008).

(13)

Tabel 2.1. Distribusi IQ Untuk Kelompok Standarisasi IQ Klasifikasi 160 – 169 150 – 159 140 – 149 Sangat superior 130 – 139 120 – 129 Superior 110 – 119 Rata-rata tinggi 100 – 109 90-99 Rata-rata/ normal 80-89 Rata-rata rendah 70-79 Batas lemah 60-69 50-59 40-49 30-39 Lemah mental

Sumber : Tes Binnet, (1937) dalam Widyastuti, 2010

3. Prestasi Belajar 3.1. Pengertian Prestasi

Murray dalam Beck (1990) mendefinisikan prestasi sebagai berikut: “To overcome obstacle, to exercise power, to strive to do something difficult as well and as quickly as possible”. Kebutuhan untuk prestasi adalah mengatasi hambatan, melatih kekuatan, berusaha melakukan sesuatu yang sulit dengan baik dan secepat mungkin.

Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan. Gagne (1985) menyatakan bahwa pretasi belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu: kemampuan intelektual, startegi kognitif, informasi verbal, sikap dan ketrampilan. Menurut Bloom dalam Arikunto (1990) bahwa hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Prestasi merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat dicapai pada saat

(14)

atau periode tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, prestasi dalam penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai mahasiswa dalam proes pembelajaran.

3.2. Pengertian Belajar

Untuk memahami tentang pengertian belajar disini akan diawali dengan mengemukakan beberapa definisi tentang belajar. Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi tentang belajar. Cronbach, Harold Spears dan Geoch dalam Sardiman A.M (2005) sebagai berikut:

1) Cronbach memberikan definisi:

“ Learning is shown by achange in behavior as a result of experience”.

Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari pengalaman.

2) Harold Spears rmemberikan batasan

“Learning is to observe, to read, to intiate, to try something themselves, to listen, to follow direction”. Belajar adalah mengamati, membaca, berinisiasi, mencoba seseuatu sendiri, mendengarkan, mengikuti petunjuk /arahan.

3) Geoch mengatakan

“Learning is change in performance as a result of practice” . Belajar adalah perubahan dalam penampilan sebagai hasil praktek.

Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik kalau si subjek belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik. Belajar sebagai kegiatan

(15)

individu sebenarnya merupakan rangsangan-rangsangan individu yang dikirim kepadanya oleh lingkungan. Dengan demikian terjadinya kegiatan belajar yang dilakukan oleh seorang individu dapat dijelaskan dengan rumus antara individu dan lingkungan Belajar adalah suatu kegiatan yang kita lakukan untuk memperoleh jumlah ilmu pengetahuan. Dalam belajar tidak biasa melepaskan diri dari berbagai hal yang dapat mengantarkan kita berhasil dalam belajar (Djamarah, 2000).

Gambar

Tabel 2.1. Distribusi IQ Untuk Kelompok Standarisasi   IQ   Klasifikasi  160 – 169  150 – 159  140 – 149  Sangat superior  130 – 139  120 – 129  Superior  110 – 119  Rata-rata tinggi  100 – 109  90-99  Rata-rata/ normal  80-89  Rata-rata rendah  70-79  Bat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran broadcast message sebagai media komunikasi internal dan eksternal, sebagai ajang komunikasi khusus antar

Sistem propulsi elektrik adalah sistem pada kapal yang menggunakan generator set sebagai mesin penggerak menggantikan posisi atau kinerja dari mesin utama,

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

Dalam sistem pendukung keputusan, TOPSIS digunakan menjadi salah satu metode dalam mengolah data untuk setiap alternatif yang ada di basis data, dimana pada

Proses penelitian dilaksanakan dalam empat tahapan yaitu: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Seperti yang telah dijelasakan sebelumnya bahwa proses pembelajaran

Jika Nilai mata uang Rupiah mengalami depresiasi, pastinya yang satu lagi mengalami kenaikan atau istilah yang lebih tepat adalah “apresiasi”.. Penyebab nilai USD

Pada tanggal tersebut, kurs Jika Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta hibahan dari Tuan B (ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta hibahan

UAV merupakan sistem tanpa awak (Unmanned System), yaitu sistem berbasis elektro-mekanik yang dapat melakukan misi-misi terprogram, dengan karakteristik: (i) tanpa awak