• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA KUBAH MASJID DI PULAU JAWA Studi Kasus: Masjid Agung Di Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA KUBAH MASJID DI PULAU JAWA Studi Kasus: Masjid Agung Di Jawa"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Shabrina Hasnadhiya Retnoasih, Satriya Wahyu Firmadhani: [Makna Kubah Masjid di Pulau Jawa]

41

MAKNA KUBAH MASJID DI PULAU JAWA

Studi Kasus: Masjid Agung Di Jawa

Shabrina Hasnadhiya Retnoasih

1

, Satriya Wahyu Firmandhani

2

1Mahasiswa Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro 2 Dosen Departemen Arsitektur Universitas Diponegoro E-mail: hasnadhiyashabrina@gmail.com,

satriyawf@arsitektur.undip.ac.id

Abstract:.Mosque is a house of worship of Muslims and is a work of art and culture of architecture. The development of Islam is in line with the development of architecture, namely Mosque Architecture. As we often see today, the mosque is identical to the dome on its roof.

In its use, the dome of the mosque is used as a structure and construction but some are only used as aesthetic ornaments. With the many uses of the dome on the building of the mosque, making some people think the dome that is used as a hallmark of this mosque is the ornament of the Islamic Architects. If noticed, the ancient mosque on the island of Java at first has no dome. Characteristic of the ancient mosque in Java, among others, the roof is in the form of overlapping two to five levels upwards. While the mosque building that we often encounter today is a mosque that has a dome roof. We need to learn more about the development of this mosque architecture in the context of roof overlap and domes. So we need to know whether the meaning of the dome applied to the mosque in Java. This study reveals that, the meaning of the dome evolved according to the needs of the mosque itself, such as political symbols, gratitude, and media of da'wah. Keyword: mosque, dome, meaning

Abstrak: Masjid adalah rumah ibadah umat Islam dan merupakan suatu karya seni dan budaya dalam bidang arsitektur. Perkembangan Agama Islam sejalan dengan perkembangan arsitekturnya, yakni Arsitektur Masjid. Seperti yang sering kita lihat sekarang, Masjid sangat identik dengan kubah di bagian atapnya.

Dalam penggunaannya, kubah masjid ada yang digunakan sebagai struktur dan konstruksi namun ada pula yang hanya digunakan sebagai ornamen estetika. Dengan banyaknya penggunaan kubah pada bangunan masjid, menjadikan sebagian orang beranggapan kubah yang dijadikan ciri khas masjid ini adalah ornamen dari Arsitekur Islam. Jika diperhatikan, masjid kuno di pulau Jawa pada awalnya tidak ada yang memiliki kubah. Ciri khas masjid kuno di Jawa antara lain atapnya yang berbentuk tumpang bersusun dua hingga lima tingkat keatas semakin mengecil. Sedangkan bangunan masjid yang sering kita temui saat ini adalah masjid yang memiliki atap kubah. Perkembangan arsitektur masjid ini dalam konteks atap tumpang dan kubah, perlu kita pelajari lebih lanjut. Sehingga perlu kita ketahui apakah makna kubah yang diterapkan pada masjid di Jawa. Penelitian ini mengungkap bahwa, pemaknaan kubah berkembang sesuai kebutuhan yang di capai masjid itu sendiri, seperti simbol politik, rasa syukur,dan media dakwah.

Kata kunci: masjid, atap kubah, makna Informasi Naskah: Diterima: 10 Agustus 2017 Direvisi: 20 Oktober 2017 Disetujui terbit: 1 November 2017 Diterbitkan: Cetak: 15 November 2017 Online 30 Novemver 2017

(2)

42

ARCADE

:

Vol. I No. 2, November 2017

PENDAHULUAN

Penggunaan atap kubah pada masjid di pulau Jawa sudah banyak di terapkan dan bentuk kubah sendiri sudah menjadi identitas tempat peribadatan umat Islam di masyarakat. Padahal jika kita melihat pada tipologi masjid kuno Jawa atapnya tidak ada yang berkubah, atapnya rata-rata berbentuk tumpang bertumpuk dua sampai lima. Hal tersebut menjadi menarik untuk dibahas, apakah makna dari penggunaan kubah itu sendiri yang menggantikan bentuk atap sebelumnya dan dari mana bentuk kubah itu berasal.

Atap adalah bagian dari suatu bangunan, dalam hal ini kubah dalam bangunan masjid. Dalam Islam, masjid sendiri dalam pembangunannya tidak ada petunjuk tertentu kecuali penentuan arah Qiblat. Semua diserahkan kepada umat manusia sesuai dengan perkembangan ilmu dan kebudayaan setempat. Hal ini dapat di yakinkan dengan hadits, yakni “Setiap bagian dari bumi Allah adalah masjid.” (H.R. Muslim) dan “Telah dijadikan bagi kita bumi ini tempat sujud (masjid) dan dalam keadaan suci bersih.” (H.R. Muslim). Setiap orang dapat melaksanakan shalat dimana saja kecuali di tempat kotoe/najis dan kuburan. Tidak ada ketentuan bentuk masjid, semua murni perkembangan ilmu, budaya dan kebutuhan dari manusia.

TINJUAN PUSTAKA Sejarah Kubah

Penggunaan kubah pada awalnya digunakan sebagai pembeda posisi mihrab dengan jamaah shalat. Posisi imam yang dirasa penting pada zaman Ummayah, memunculkan suatu space atau bentuk ruang tersendiri yang dimajukan dari jamaah yang lain serta bentuk kubah di pilih sebagai pembeda pada bagian atap mihrab. Bentuk kubah sendiri berasal dari peninggalan Romawi di wilayah Syria.

Gambar 1. Masjid Al-Aqsa, Jerrusalem Atapnya berbentuk rangkaian pelana. Kubah di

posisikan pada pengimamaan Sumber: Al-Riyani, 2001

Bentuk kubah pertama di temukan pada bangunan Pantheon di Roma, Italia (27 SM). Bangunan tersebut bukan merupakan bangunan Arsitektur Islam, sedangkan monumen arsitektur Islam pertama yang menggunakan kubah adalah Kubah Al-Sakra (Dome of Rock, 691 M).

Gambar 2. Kubah Al- Sakhra atau Al Quds Sumber: Islamic art and architecthure, 2011

Penggunaan kubah pertama dalam masjid sendiri terletak pada Hagia Sophia, Turki yang pada awalnya bangunan tersebut adalah sebuah gereja yang kemudian diadopsi menjadi sebuah masjid setelah penguasa Turki Utsmani menaklukan Konstatinopel dan sekarang bangunan tersebut sudah dialihkan fungsi menjadi sebuah museum.

Ga mbar 3. Kubah Utsmani, Turki

Sumber: Al-Rayani, 2001

Penggunaan Kubah di Indonesia

Bentuk atap kubah sangat dominan sebagai elemen atap arsitektur masjid di banding bentuk atap lainnya. Upaya mengganti atap kubah sangat kuat di luar pulau Jawa karena prosesnya lebih radikal dan langsung. Karena hanya terdapat sedikit candi peninggalan bangunan Candi peninggalan kerajaan sriwijaya sehingga asimilasi bangunan sangat sedikit ditemukan. Sedangkan munculnya bentuk kubah di Jawa secara jelas terlihat pada masjid-masjid yang dibangun setelah era kemerdekaan. Jika dibandingkan masjid di pulau Jawa dan di luar Jawa, di pulau Jawa termasuk lambat dalam mengadopsi bentuk kubah pada masjid karena pengaruh kuat dari sejarah masjid yang di wariskan oleh Wali Songo di pantai utara Jawa. Penggunaan kubah yang terjadi pada masjid di pulau Jawa memiliki bentuk yang berbeda-beda. Pengadopsian bentuk kebudayaan baru yakni kubah masjid dan tradisi kebudayaan lama masjid Jawa kuno memiliki peran penting dalam pembangunan masjid di pulau jawa. Pemaknaan penggunaan atap kubah yang di gunakanpun

(3)

Shabrina Hasnadhiya Retnoasih, Satriya Wahyu Firmadhani: [Makna Kubah Masjid di Pulau Jawa]

43

berbeda beda dan memiliki ciri khas pada setiap masing-masing masjid.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan tujuan untuk menemukan dan menggambarkan makna bentuk kubah masjid. Lokasi penelitian ini mengambil bangunan-bangunan masjid yang berada disetiap provinsi pulau Jawa. Di mulai dari perkiraan awal kubah masjid masuk ke pulau jawa hingga sekarang.

Penelitian diawali dengan mengumpulkan data-data masjid berkubah yang mewakili setiap provinsi di pulau Jawa. Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan dilakukan dengan cara pengumpulan data melalui metode studi literatur yang berasal dari buku, jurnal, penelitian terkait, serta pengamatan tentang bentuk kubah masjid yang berada di pulau Jawa.

Setelah data terkumpul, kemudian data di analisis perubahan bentuknya berdasarkan kronologi waktu pembangunan atau pemugaran masjid di setiap provinsi serta menganalisis bentuk kubah pada masjid terkait. Kemudian peneliti mencoba menemukan faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan bentuk tersebut.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Masjid Agung Jawa Tengah

(Semarang, Jawa Tengah)

Gambar 4.Masjid Agung Jawa Tengah Sumber: Dokumentasi pribadi (2017) Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) dirancang oleh Ir. H. Ahmad Fanani, arsitek dari PT. Atelier Enam Jakarta yang memenangkan sayembara desain MAJT tahun 2001. Bentuk atap MAJT perpaduan antara atap tumpang ciri khas arsitektur jawa, sebuah kubah, dan 4 buah minaret yang mengelilingi kubah. Ukuran kubah MAJT ini berdiameter 20m dengan minaret setinggi 62m yang mengelilinginya.

Menurut analisa, pada Masjid Agung Jawa Tengah ini terjadi akulturasi budaya pada desain rancangannya. Elemen kubah pada bangunan utama masjid menyatu dengan atap tumpang khas jawa. Ahmad Fanani sebagai arsitek dari MAJT ini menunjukan bahwa dia tidak ingin meninggalkan ciri khas masjid kuno yang ada di pulau jawa pada umumnya. Dengan menggabungkan elemen kubah serta pilar-pilar yang ada pada serambi masjid, desain MAJT ini

juga membawa tipologi baru pada perkembangan masjid di pulau Jawa.

Menurut pengurus MAJT, penggunaan kubah pada MAJT yang di gabungkan dengan atap tumpang dan minaret merupakan sebagai rasa syukur terhadap umat muslim yang telah membangun berbagai macam budaya islam. Perpaduan ini melambangkan bahwa MAJT ini bukan hanya merupakan masjid untuk Jawa Tengah saja, melainkan masjid untuk seluruh umat di dunia. Hal ini tercermin dari gaya arsitektur yang di ciptakan pada masjid ini, sehingga diharapkan MAJT ini juga dapat mempersatu umat muslim di seluruh dunia. Masjid Syuhada (Yogyakarta, DIY)

Gambar 5. Masjid Syuhada Yogyakarta Sumber: Dokumentasi pribadi (2017) Masjid Syuhada di rancang oleh Ir. Soepono yang didampingi oleh arsitek Jerman yakni Ir. R. Feenstra. Masjid ini didirikan sebagai bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat muslim pada umumnya dan secara khusus memberi penghargaan kepada masyarakat muslim di Yogyakarta yang telah memberikan kontribusi banyak bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Lebih dari itu, masjid ini juga dimaksudkan sebagai monumen hidup untuk memperingati jasa para syuhada yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Republik Indonesia. Masjid ini memiliki 5 kubah, 1 kubah utama di bagian tengah, serta 4 kubah kecil di sudut sudutnya. Bentuk Kubahnya sendiri yakni bentuk kubah bawang yang sering disebut model Indo-persiani dari Asia Selatan, India.

Menurut pengurus Masjid Syuhada, Panji, masjid ini merupakan perpaduan dari 3 gaya arsitektur yakni Asia Selatan (India), Jawa dan Islam. Gaya arsitektur dari Asia Selatan dapat dilihat dari bentuk kubahnya yang menyerupai bawang. Bagian bawah kubah yang lebar dan bagian atas yang semakin meruncing serta penambahan elemen tonggak jarum runcing sebagai mahkotanya membuatnya terlihat seperti bentuk bawang. Peletakannya kubah anak yang mengelilingi kubah utama juga mencerminkan gaya indo-persiani tersebut

Penggunaan atap kubah pada Masjid Syuhada ini berdasarkan pengurus Masjid

(4)

44

ARCADE

:

Vol. I No. 2, November 2017

Syuhada, Panji, dikarenakan pada pembangunan dan perancangannya (1952) menggunakan tata kelola modern pada saat itu. Pencerminan modern tidak hanya pada penggunaan kubah, melainkan juga sekat sekat pada masjid tersebut seperti tempat penitipan sandal, perpustakaan, ruang kuliah yang pada saat itu terciptanya ruang-ruang tersebut merupakan sesuatu yang baru. Menurut sejarahnya, Bung Karno menganggap masjid ini sebagai langgar besar, karena masjid ini kecil dan tidak sebesar yang beliau harapkan. Sehingga ketika para panitia pembangunan masjid ini mendatangi Ir. Soekarno, beliau menyumbang kubah utama yang berbentuk bawang tersebut sehingga menciptakan kesan besar dan megah. Hasil kekecewaan beliau tercermin dengan menciptakan Masjid Istiqlal dengan kubah yang besar di Ibukota Jakarta. Masjid Istiqlal (DKI Jakarta)

Gambar 6. Masjid Istiqlal Jakarta Sumber: (istiqlal.id 2015)

Masjid Istiqlal yang dirancang oleh Friedrich Silaban, seorang arsitek beragama Kristen Protestan, memiliki 2 kubah pada bagian atas masjid. Kubah utama yang besar ditopang oleh 12 pilar menaungi ruang utama solat pada masjid ini. Sedangkan kubah yang lebih kecil terletak di atas bangunan pendamping masjid. Kubah utama memiliki diameter sebesar 45m dan kubah pendamping memiliki diameter sebesar 8m. Kubah utama terbuat dari rangka baja anti karat seberat 86 ton dengan bagian luar yang dilapisi keramik. Bagian dalam kubah dihiasi oleh kaligrafi Surat Yassin yang mengelilinginya.

Menurut Pusat Informasi Masjid Istiqlal, Masjid Istiqlal ini di pengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa (Dinasti Utsmaniyah, Turki) yang bisa dilihat dari bangunannya yang kokoh, tinggi, dan terdapatnya kubah. Kemudian Masjid Istiqlal juga dipengaruhi oleh gaya arsitektur Timur Tengah yang ditandai dengan terdapatnya kaligrafi pada bagian dalam masjid. Gaya arsitektur nusantara juga diperlihatkan dalam masjid ini melalui letak masjid yang berada di pusat pemerintahan kota Jakarta, dekat dengan pusat kota (kawasan Monas) serta derah perekonomian (pasar Baru).

Menurut keterangan Pusat Informasi Masjid Istiqlal, makna kubah pada Masjid Istiqlal sendiri adalah sebagai simbol politik. Sang arsitek

sengaja membuat kubah utama yang berdiameter

45m yang merupakan symbol dari Hari

Kemerdekaan Indonesia yang 17 Agustus 1945. Hal ini juga tercermin pada kubah pendamping yang berdiameter 8m mencerminkan bulan kemerdekaan.

Penggunaan Kubah pada atap Masjid Istiqlal, menurut keterangan Pusat Informasi

Masjid Istiqlal, merupakan pengaruh dari

kebudayaan budaya bangsa-bangsa maju.

Dengan di jajah oleh bangsa belanda selama beratus-ratus tahun, negara berkembang seperti Indonesia pasti dipengaruhi oleh bangsa-bangsa maju.

Masjid Raya Bandung (Jawa Barat)

Gambar 7. Masjid Raya Bandung Sumber: (KEMENAG 2014)

Masjid Raya Bandung yang kini kita lihat merupakan hasil rancangan 4 orang perancang kondang dari Bandung masing masing adalah Ir. H. Keulman, Ir. H. Arie Atmadibrata, Ir. H. Nu’man dan Prof. Dr. Slamet Wirasonjaya. Rancangan awalnya akan tetap mempertahankan sebagian bangunan lama Masjid Agung Bandung termasuk jembatan hubung masjid dengan alun alun yang melintas di atas jalan alun alun barat dan dinding berbentuk sisik ikan di sisi depan masjid. Satu satunya perubahan pada bangunan lama adalah perubahan bentuk atap masjid dari bentuk atap limas diganti dengan kubah besar setengah bola berdiameter 30 meter sekaligus menjadi kubah utama. Untuk mengurangi beban, kubah tersebut dibangun dengan konstruksi space frame yang kemudian ditutup dengan material metal yang dipanaskan dalam suhu sangat tinggi. Selain satu kubah utama Masjid Raya Bandung dilengkapi lagi dengan dua kubah yang ukurannya lebih kecil masing masing berdiameter 25 meter diletakkan di atas bangunan tambahan. Sama seperti kubah utama dua kubah tambahan ini menggunakan konstruksi space frame namun ditutup dengan material transparan untuk memberi efek cahaya ke dalam masjid.

Masjid Raya Bandung, sejak pertama kali

berdiri pada awal abad ke-19, telah mengalami perubahan berkali-kali hingga menjadi masjid seperti sekarang ini. Bentuk atap menjadi bentuk yang siknifikan pada perubahan-perubahan yang terjadi pada Masjid Raya Bandung ini. Di awali dengan perubahan atap tumpang menjadi perisai pada tahun 1890, kemudian kembali lagi menjadi

(5)

Shabrina Hasnadhiya Retnoasih, Satriya Wahyu Firmadhani: [Makna Kubah Masjid di Pulau Jawa]

45

bentuk tumpang pada tahun 1910. Tahun 1955 terjadi perubahan besar yakni penggunaan atap kubah yang menyebabkan jejak perkembangan masa sebelumnya tidak dapat teramati lagi. Perubahan ini berkaitan dengan diadakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung. Presiden Soekarno memberikan perintah atas terjadinya perubahan tersebut, beliau berpendapat akan lebih baik jika Masjid Bandung diberi sebuah kubah. Karena masjid Bandung akan menjadi perhatian dunia. Soekarno beranggapan bahwa sebuah masjid beratap tumpang tidak pantas menggambarkan sebuah bangsa islami modern. (Nas 2003)

Masjid Al-Akbar (Surabaya, Jawa Timur)

Gambar 8. Masjid Syuhada Yogyakarta Sumber: wikipedia.org (2017)

Rancangan Masjid Al-Akbar Surabaya ini dikerjakan oleh tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bersama konsultan ahli yang telah berpengalaman membangun masjid-masjid besar di Indonesia. Total kubah Masjid Al-Akbar ada lima, yakni 1 kubah besar dan 4 kubah kecil berbentuk limasan. Angka lima, selain bermakna rukun islam juga sering diartikan pancasila. Kubah Masjid ini terbilang hamper menyerupai bentuk setengah telur namun yang membedakan bagian bawah kubah berbentuk limasan. Keunikan bentuk kubah ini ditunjang dengan bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer memiliki tinggi sekitar 27 m. Bentuk ini menumpu pada bentuk piramida terpancung dalam 2 layer setinggi kurang lebih 11 m dengan bentang tumpuan atau diameter 54 m x 54 m.

Menurut analisa penulis, penggunaan kubah pada Masjid Al-Akbar Surabaya dikarenakan ingin menciptakan kesan megah dan modern pada pembangunan masjid ini. Analisa ini di dasari pada ide awal pembangunan Masjid Al-Akbar yaitu sebagai impian masyarakat Surabaya yang ingin memiliki masjid berskala nasional, baik konsep arsitektural, skala fisik dan fungsi ibadahnya serta menjadikannya sebagai ikon dari kota Surabaya. Sehingga kemegahannya ini nanti dapat menjadikan daya tarik sendiri bagi Masjid

Al-Akbar. Kesan modern ditunjukan pada kubah yang menggunakan sebuah teknologi baru dan jarang dipergunakan dalam proses pembangunan masjid di Indonesia.

Masjid Al-Azhom (Tangerang, Banten)

Gambar 9. Masjid Al-Azhom Tangerang Sumber: tangerang.go.id (2014)

Masjid Raya Al-Azhom Tangerang dirancang oleh Ir. Slamet Wirasonjaya, salah seorang Guru Besar Jurusan Arsitektur ITB. Menurut Asrofi H Yusuf, Petugas Bagian Administrasi dan Perijinan Masjid Raya Al A'zhom, bahwa masjid berkubah besar ini memiliki keunikan karena tidak ada tiang penyangga, struktur kubah induk di tengah ditopang oleh 4 kubah anak berbentuk setengah lingkaran di bawahnya sehingga cukup kuat menyangga kubah induk. Sehingga menciptakan ruang utama sholat yang bebas kolom. Beliau juga mengatakan bahwa kubah masjid tanpa penyangga dengan diameter 63 meter ini merupakan yang terbesar di dunia.

Jika di analisis, bentuk atap pada Masjid Al-Azhom ini di desain seperti komposisi bentuk atap pada Masjid Aya Sophia di Istanbul Turki. Kubah yang menjadi atap pada masjid ini merupakan hasil konfigurasi dari bentuk dasar lingkaran yang disusun secara terpusat, yakni 1 buah kubah induk yang di topang oleh 4 kubah anak. Bentuk inilah yang di terapkan pada Masjid Raya Al-Azhom, sehingga dapat menciptakan ruang yang bebas kolom di bawah kubah tersebut. Ukuran kubah yang besar serta bentuk yang unik ini menjadikan masjid ini memiliki daya tarik akan kemegahannya dan membuat bangunan ini menjadi ikon dari Kota Tangerang. Arsitek masjid ini juga menentukan jumlah komponen kubah masjid sebagai konsep rancangan. Beliau memaknai jumlah kubah sebagai lambang 5 rukun Islam dan kewajiban solat 5 waktu bagi umat muslim. Jadi, setiap bentuk dan jumlah komponen dalam mendesain masjid ini memiliki arti tersendiri, terutama pada komponen kubah sebagai atap.

Menurut analisa penulis, penggunaan kubah pada Masjid Al-Azhom Tangerang dikarenakan ingin menciptakan kesan megah dan

(6)

46

ARCADE

:

Vol. I No. 2, November 2017

membuat ikon dari kota Tangerang. Penggunaan kubah yang bertumpuk pada Masjid Al-Azhom dapat membuat ruangan yang cukup besar di bawahnya tanpa ada kolom, sehingga dapat menciptakan kemegahan pula di dalam masjid. Selain dibangun dengan ukuran yang besar, masjid ini juga memiliki arti yang sangat berarti dalam pemberdayaan fungsinya sebagainya sebagai masjid itu sendiri dalam hal pembentukan masyarakat yang berakhlakul karimah di kota Tangerang. Masjid Raya yang terintegrasi dengan rencana Islamic center dan berdekatan dengan pusat pemerintahan, merupakan hasil pemikiran yang mulia dan efektif karena : Mencerminkan kesatuan antara ulama dengan umara sebagai soko guru stabilitas sosial dan peradaban, sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. Dilihami contoh klasik kebesaran kota-kota lama yang ditandai dengan adanya kedekatan antara pendopo, kaum (Masjid Agung) dengan alun-alun. (Arlianto 2008)

KESIMPULAN

Setelah mengetahui makna kubah di setiap masing-masing masjid tersebut maka dapat di simpulkan bahwa penggunaan kubah pada masjid di pulau jawa tidak lepas dari perkembangan kebudayaan Islam yang terjadi di Indonesia. Kubah yang sekarang ini banyak terdapat di masjid-masjid di pulau Jawa adalah budaya dari luar Indonesia. Akulturasi pun terjadi karena masyarakat jawa yang cukup kuat dengan kearifan lokalnya. Pemaknaan kubah sendiri berkembang sesuai kebutuhan yang di capai masjid itu sendiri, seperti simbol politik, rasa syukur, media dakwah, dan lain lain.

Pada perancangan bangunan selanjutnya, dalam hal ini bangunan ibadah yakni masjid, diharapkan kebudayaan luar yang di serap tidak menghilangkan ciri khas yang ada di masing-masing daerahnya. Sehingga kearifan lokal masing-masing daerah tetap terjaga kelestariannya dan perkembangan tipologinya akan terekam dari masa ke masa. Kemunculan tipologi masjid yang baru juga akan terjadi jika perkembangan ilmu dan budaya terus berlangsung, namun diharapkan kemunculan tipologi yang baru ini tidak menyalahi kaidah atau fungsi masjid yang sesungguhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arlianto, Yudi. 2008. “PENERAPAN KONSEP DAN HISTORIS,” 1–3.

Fanani, Achmad. 2009. ARSITEKTUR MASJID. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Fithri, Cut Azmah, and Bambang Karsono. 2016. “Alternatif Kubah Sebagai Simbol Mesjid Dan Pengaruhnya Pada Desain Mesjid-Mesjid Di Indonesia.” Temu Ilmiah IPLBI 2016, 163–68.

Iskandar, M. Syaom Barliana. 2004.

“Tradisionalitas Dan Modernitas Tipologi

Arsitektur Masjid.” Dimensi Teknik Arsitektur 32 (2): 110–18.

Istiqomah, Esti, and Bambang Setia Budi. 2013. “Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955” 2 (2): 34–49.

Nas, Peter J.M. 2003. Masa Lalu Dalam Masa Kini Di Arsitektur Indonesia. Gramedia. Wahyudi, Derry Esa. 2015. “Interelasi Nilai Islam

Dan Jawa Dalam Arsitektur Masjid Agung Jawa Tengah.”

Gambar

Gambar 2. Kubah Al- Sakhra atau Al Quds  Sumber: Islamic art and architecthure, 2011
Gambar 4.Masjid Agung Jawa Tengah  Sumber: Dokumentasi pribadi (2017 )
Gambar 7. Masjid Raya Bandung  Sumber: (KEMENAG 2014)
Gambar 9.  Masjid Al-Azhom Tangerang  Sumber: tangerang.go.id (2014)

Referensi

Dokumen terkait

rancangan Cross Sectional Study, dimana data independennya adalah kondisi kesehatan, kebersihan tangan, teknik pencucian peralatan makan, teknik pengeringan peralatan

Berdasarkan hasil uji ketahanan Galur Cabai Keriting Mg1012 dengan tiga varietas pembanding terhadap hama Kutu Daun Persik (Myzus Persicae Sulz) dapat disimpulkan, bahwa

Contohnya, dalam kolumna dorsalis, serabut-serabut yang berasal dari bagian bawah tubuh terletak berhadapan dengan bagian pusat medula spinalis, sedangkan serabut yang

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang berkenaan dengan implementasi akad mudharabah sebagai produk tabungan rencana dan analisis kelebihan dari

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bupati Pangandaran Nomor 25 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kabupaten Pangandaran Tahun 2017

Pengawasan yang dilakukan oleh Kantor Lingkungan Hidup Kota Magelang selama ini belum sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Irwan Adhie Nugroho, Kepala Seksi

Berdasarkan seluruh proses pengolahan data sehingga didapatkan hasil dan analisis, mulai dari pengolahan data curah hujan, pembuatan peta Tata Guna Lahan, perhitungan

Pertama, luas lahan rawa yang digunakan untuk pertanian masih sangat kecil, hanya 23,8 persen dari luas total lahan sawah di Indonesia.. Kedua, produktivitas di lahan rawa juga