• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. RANTAI PANGAN ASAL TERNAK. A. Rantai Pangan dalam Perspektif Keamanan Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. RANTAI PANGAN ASAL TERNAK. A. Rantai Pangan dalam Perspektif Keamanan Pangan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

A. Rantai Pangan dalam Perspektif Keamanan Pangan

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa keamanan pangan asal ternak merupakan suatu keharusan karena menyangkut kesehatan manusia yang mengonsumsi pangan tersebut. Hal ini disebabkan karena pangan asal ternak dapat tertular atau tercemar oleh patogen maupun cemaran nonpatogen yang terdapat pada hewan yang memproduksinya, serta dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan pada manusia yang mengonsumsinya.

Keterkaitan penyakit hewan dengan penyakit pada manusia dapat dilihat dari informasi 10 tahun terakhir bahwa sekitar 75% penyakit-penyakit yang baru muncul pada manusia ternyata berasal dari hewan, sedangkan penyakit zoonosis yang sudah diketahui sampai saat ini berjumlah lebih dari 200 penyakit (Anonymous 2010). Oleh karena itu sesungguhnya kesehatan hewan dan kesehatan manusia ini merupakan satu kesatuan yang saling terkait, sehingga dalam pangan asal hewan muncul konsep “one health” yang terkait dengan keamanan pangan hewani dengan

pendekatan from farm to fork atau from farm to table. Dalam konsep

one health ini, dijelaskan bahwa hewan penghasil pangan akan menghasilkan pangan hewani yang sehat dan aman apabila hewan dalam keadaan sehat, tidak stres karena dipelihara dengan layak mengikuti prinsip-prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare).

Konsep from farm to fork merupakan suatu konsep yang menyeluruh mencakup seluruh elemen yang dapat memberikan dampak kepada keamanan pangan pada setiap tahap dari rantai pangan mulai dari farm (kandang/peternakan) sampai di piring (meja makan). Jadi keamanan pangan tidak hanya di ujung ( end-product) saja, tetapi sebaliknya penekanannya kepada interaksi antara seluruh rantai (tahap) yang terkait dalam keseluruhan rantai pangan, mulai dari pabrik pakan maupun sumber-sumber air, tanah, obat hewan dan bahan-bahan kimia yang digunakan serta penyakit hewan dan lingkungan dimana hewan/ternak

(2)

dipelihara sampai ke konsumen. Indonesia sebenarnya telah menerapkan konsep from farm to table dalam sistem jaminan keamanan pangan dengan sistem keamanan pangan terpadu (SKPT) yang diulas oleh Murdiati (2006).

Rantai pangan yang dimulai dari pakan dan lain sebagainya pada proses budidaya di peternakan akan menghasilkan produk primer berupa hewan ternak (sapi dan ayam) yang siap potong, susu segar dan telur. Kemudian produk primer tersebut ditransportasi ke RPH (untuk sapi dan ayam potong) atau ke pengumpul/pabrik/perusahaan pengolahan untuk susu segar dan telur. Daging sapi dan daging ayam segar, susu dan telur yang telah diproses ditransportasi kepada grosir/penyalur, penjual atau perusahaan pengolahan atau disimpan dalam tempat penyimpanan. Kemudian ditransportasikan kepada pengecer, toko, swalayan atau restoran, dan seterusnya sampai kepada konsumen akhir (lihat Gambar 5). Penyimpangan keamanan pangan dapat terjadi pada setiap mata rantai tersebut. Oleh karena itu, untuk mengetahui di rantai yang mana keamanan pangan tersebut bermasalah perlu ada komunikasi yang dapat mencakup keseluruhan rantai tersebut. Komunikasi melalui rantai pangan dari farm ke konsumen merupakan elemen kritis pada pendekatan dari konsep from farm to fork dimana melalui komunikasi akan dilakukan proses penelusuran bila terjadi sesuatu yang menyebabkan pangan tidak aman.

Contoh dari pentingnya komunikasi pada rantai pangan ini adalah apabila hewan dari farm/peternakan masuk ke RPH, kemudian pada waktu inspeksi di RPH ditemukan sesuatu penyakit hewan atau cemaran, maka dokter hewan/petugas di RPH harus melaporkan kembali ke peternakan asal tentang adanya kasus penyakit tersebut sehingga dokter hewan yang menangani dipeternakan tersebut akan mengetahui hal ini dan mengadakan inspeksi untuk menelusuri/mengecek bagaimana penyakit tersebut bisa terjadi, sehingga tindakan koreksi dan lain-lain yang diperlukan dapat ditindaklanjuti. Oleh karena itu,

(3)

pendekatan ini memerlukan sistem yang memungkinkan penelusuran secara menyeluruh terhadap produk pangan dari tempat asalnya dimana pangan diproduksi sampai kepada konsumen dapat dilakukan dengan didukung melalui komunikasi yang efektif dari seluruh informasi yang berhubungan pada rantai pangan. Dengan demikian tindakan korektif yang tepat dapat diterapkan sehingga keamanan pangan sampai kepada konsumen dapat dijamin.

Gambar 5 menjelaskan keterkaitan keamanan pangan asal ternak mulai dari hewan ternak dipelihara (on farm) di peternakan rakyat maupun peternakan besar sampai produk ternak tersebut disajikan di meja makan untuk dikonsumsi oleh konsumen. Dalam hal ini manajemen pemeliharaan ternak di tingkat peternak ini sangat menentukan dalam proses keamanan pangan, dimulai dari pemilihan lokasi dimana ternak dipelihara yang mengharuskan lokasi tersebut (lingkungan tempat ternak dipelihara) bukan daerah endemis penyakit-penyakit tertentu yang agen penyakitnya dapat bertahan hidup bertahun-tahun, juga bukan bekas lokasi pembuangan limbah berbahaya seperti limbah B3 atau bukan tempat membuang berbagai sampah nonorganik.

Dalam manajemen pemeliharaan ini akan berhubungan erat dengan pakan dan bahan pakan yang dipergunakan termasuk sumbernya darimana harus diusahakan untuk diketahui sehingga apabila terjadi sesuatu (cemaran/residu obat dan lain sebagainya) pada produk ternak yang dihasilkan akan dapat ditelusuri sampai kepada asal/sumber bahan pakan tersebut. Demikian juga dengan obat-obatan yang dipergunakan selama proses budidaya baik untuk mengobati penyakit maupun untuk pencegahan. Penggunaan bahan kimia seperti pestisida, desikfektan dan cat yang dipergunakan untuk membersihkan kandang, lantai dan lingkungan setempat maupun dalam memberantas ektoparasit seringkali menimbulkan efek samping terhadap kesehatan hewan, sehingga dapat berdampak pada terjadinya residu dalam produk ternak yang dihasilkan. Penyakit hewan yang terjadi selama

(4)

ternak dipelihara juga dapat mempengaruhi keamanan produk ternak yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam manajemen pemeliharaan harus dikembangkan sistem sedemikian rupa agar semua yang terjadi dalam proses produksi dapat ditelusuri. Makna panah dua arah dalam gambar ini dimaksudkan agar setiap rantai pangan dapat ditelusuri ulang apabila diperlukan.

Gambar 5. Bagan rantai pangan asal ternak dari peternak sampai meja makan (panah dua arah menggambarkan sistem penelusuran pada tiap tahapan rantai pangan)

Penyakit Hewan Lingkungan Manajemen pemeliharaan Pakan Cemaran toksik

Air, tanah, udara

Ternak

Proses budidaya di peternakan/farm

Ternak siap potong, susu segar dan telur

Transportasi ternak siap potong, susu dan telur

Pemotongan di RPH/RPU, prosesing produk

Transportasi produk asal ternak segar dan olahan

Distributor/grosir/pedagang besar

Transportasi produk segar dan olahan ke pengecer, toko, swalayan, restoran, dsb.

Konsumen

Obat hewan Bahan kimia

(5)

Setelah proses budidaya ternak selesai dan produk ternak siap untuk dipanen (baik ternak yang akan dipotong, susu segar yang diperah dan telur yang dikumpulkan), akan dilanjutkan dengan kegiatan transportasi ke RPH (untuk ternak yang akan dipotong), ke pengumpul susu (cooling unit). Di RPH atau RPU ternak akan dipotong dengan mengikuti prosedur standar, sedangkan untuk susu akan masuk ke pabrik/prosesing sesuai dengan ketentuan baku yang telah ditentukan. Proses selanjutnya masuk ke tahap pengolahan pascapanen dan dilanjutkan dengan distribusi kepada distributor/grosir atau pedagang besar yang dilanjutkan distribusi dan transportasi produk segar dan olahan ke pengecer, toko, swalayan dan lain sebagainya hingga sampai kepada konsumen. Pada proses panen dan pascapanen ini juga pada setiap rantai pangan dimaknai dengan panah dua arah yang dimaksudkan agar sistem penelusuran pada setiap tahapan rantai pangan dapat dilakukan. Tentu saja hal ini akan dapat terwujud apabila sistem identifikasi ternak dan peternakan sudah berjalan dengan baik.

B. Proses Biotransformasi Obat Hewan dan Senyawa Kimia Lainnya serta Proses Terjadinya Residu di dalam Jaringan

Gambar 6 dan 7 menerangkan bahwa senyawa obat yang masuk ke saluran pencernaan bersama pakan akan diabsorbsi tubuh melalui dinding usus dan masuk ke dalam darah/sirkulasi sistemik, selanjutnya obat mengalami proses biotransformasi sehingga senyawa obat dalam sirkulasi sistemik sebagian keberadaannya dalam bentuk obat bebas, obat yang terikat dengan senyawa lain dan senyawa metabolitnya. Dalam sirkulasi tersebut sebagian obat akan mencapai organ tubuh yang menjadi sasaran kerja dari obat sehingga agen penyakit dapat dinetralisir, sedangkan sebagian obat baik dalam bentuk senyawa asli maupun metabolitnya akan tersebar ke berbagai bagian tubuh dan terdeposit di organ atau di jaringan otot. Namun sebagiannya lagi dalam sirkulasi sistemik akan diekskresikan keluar tubuh

(6)

melalui air seni atau bisa juga melalui saluran empedu ke saluran pencernaan, dan dapat juga disekskresikan melalui air susu pada individu atau ternak yang sedang dalam masa laktasi. Proses farmakokinetik obat secara umum ini akan terjadi pada setiap hewan ternak yang diberi pakan mengandung antibiotika atau senyawa obat tersebut masuk ke dalam tubuh melalui oral maupun secara parenteral.

Gambar 6. Bagan proses farmakokinetik obat (dikutip dari Setiawati 1987)

Absorbsi obat dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia dari obat tersebut seperti kelarutan dalam air atau kelarutan dalam lemak, tingkat ionisasi, bentuk dan ukuran molekul obat tersebut dan lain sebagainya (Baggot 1977; Setiawati 1987). Obat atau khemikalia yang telah beredar di dalam tubuh akan mencapai target organ maupun jaringan tubuh lainnya serta memberikan respons atau efek pengobatan (terapi) atau dapat juga memberikan efek toksik. Distribusi dan lamanya

Target kerja (reseptor) Bebas Terikat Depot jaringan Bebas Terikat Sirkulasi sistemik Obat bebas

Obat terikat Metabolit

Absorbsi Ekskresi

(7)

keberadaan obat atau khemikalia di dalam jaringan ini tergantung dari sifat fisiko-kimia, kelarutan dan kemampuannya untuk berikatan dengan komponen intraseluler dalam jaringan tertentu. Obat yang mempunyai sifat larut lemaknya tinggi akan dengan mudah menembus membran sel jaringan sehingga dengan cepat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk jaringan lemak, organ hati, ginjal dan kelenjar susu, dan biasanya akan terakumulasi dalam jaringan lemak.

Terakumulasinya obat di dalam suatu jaringan juga karena adanya ikatan dengan komponen intraseluler. Oleh karena itu kadar residu obat akan bervariasi dari jaringan yang satu dengan jaringan lainnya. Pada jaringan penimbun lemak dan organ-organ tempat terjadinya proses biotransformasi atau eliminasi seperti hati dan ginjal akan mempunyai/menimbun residu obat yang lebih tinggi daripada jaringan lainnya.

Gambar 7. Proses farmakokinetik obat di dalam tubuh dan proses terjadinya residu obat dalam jaringan (disederhanakan dari Schlatter 1990) Senyawa masuk ke dalam tubuh Absorbsi Senyawa dalam peredaran darah Sirkulasi sistemik (senyawa bebas dan senyawa terikat dengan

plasma protein) Jaringan (senyawa bebas dan senyawa terikat pada intra seluler/disposisi dalam jaringan) Residu (pada saat ternak dipotong) Metabolisme Metabolisme (konyugasi dan senyawa asal) Target organ

Efek terapi Efek toksik Ekskresi: (urine, susu, feses)

(8)

Biasanya dalam waktu tertentu obat atau khemikalia di dalam jaringan sudah harus disingkirkan dan akhirnya diekskresikan keluar tubuh melalui berbagai cara. Umumnya proses penyingkiran obat dari jaringan tubuh dengan proses biotransformasi dimana senyawa asal obat (parent compound) tersebut mengalami perubahan struktur kimianya menjadi senyawa lain atau metabolitnya. Senyawa metabolit ini pada umumnya bersifat lebih polar atau mempunyai kelarutan yang tinggi sehingga mudah dikeluarkan melalui ginjal. Sedangkan senyawa obat asalnya dapat juga dikeluarkan dari jaringan tubuh dengan melalui empedu, ginjal dan lain sebagainya.

Obat yang diabsorbsi dari tempat masuknya (oral maupun parenteral) akan segera didistribusikan melalui darah ke seluruh tubuh baik dalam bentuk bebas maupun terikat dengan plasma protein. Senyawa obat atau khemikalia ini yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh lainnya mempunyai keseimbangan dengan senyawa obat yang ada di dalam jaringan tubuh termasuk jaringan target dimana obat memberikan efek terapi maupun efek toksik (Renwick 1982; Debackere 1990). Efek terapi dari obat umumnya dapat diukur dari konsentrasi obat atau khemikalia di dalam sirkulasi sistemik yang disebut bioavailabilitas dari obat. Hal ini dikarenakan adanya keseimbangan antara konsentrasi dalam plasma darah dengan konsentrasi dalam jaringan serta telah dibuktikan adanya korelasi antara efek obat dengan konsentrasi obat dalam plasma.

Pada proses absorbsi, distribusi dan eliminasi (penyingkiran) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi akan mengikuti pola kinetika tingkat pertama yang mempunyai hubungan linier antara log kadar obat dalam plasma dengan waktu pada fase absorbsi, distribusi dan eliminasi. Dalam hal ini kecepatan proses absorbsi, distribusi dan eliminasi sebanding dengan jumlah obat yang ada atau yang tersisa, sehingga jumlah obat yang diabsorbsi, didistribusi dan dieliminasi per satuan waktu makin lama makin berkurang sebanding dengan jumlah obat yang

(9)

tertinggal/yang belum mengalami proses (Baggot 1977; Setiawati 1987). Keadaan ini menggambarkan bahwa waktu paruh biologiknya (t-1/2) untuk mengeliminasi obat menjadi setengahnya memerlukan suatu unit waktu tertentu. Sedangkan untuk menghilangkan separuhnya lagi dari yang tersisa memerlukan waktu yang sama, sehingga setelah beberapa kali waktu paruh (t-1/2) dilewati, maka obat yang tersisa semakin kecil sampai di bawah batas toleransi dan akhirnya tidak terdeteksi lagi.

Oleh karena itu, diperlukan waktu tertentu agar obat atau khemikalia yang masuk ke dalam tubuh menjadi hilang sama sekali atau batas toleransi obat (batas maksimum obat/ khemikalia yang diperbolehkan dalam produk ternak). Keadaan ini menggambarkan bahwa senyawa obat/khemikalia atau metabolitnya masih terdapat di dalam jaringan tubuh ternak apabila ternak dibunuh/dipotong sebelum masa hilang obat tersebut terlampaui. Akibatnya produk ternak tersebut mengandung residu obat/khemikalia baik dalam bentuk senyawa asal maupun dalam bentuk metabolitnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka terdapat konsep waktu henti obat (withdrawal time) yang dalam hal ini lamanya waktu yang diperlukan sejak pemberian obat dihentikan (pemberian obat terakhir) sampai dengan kadar residu obat di dalam jaringan (produk ternak) mencapai di bawah batas toleransi untuk dikonsumsi manusia. Dengan kata lain pengertian waktu henti obat ini adalah tenggang waktu atau jarak waktu antara saat pemberian obat terakhir sampai dengan produk dari ternak tersebut (daging, telur dan susu) boleh untuk dikonsumsi dimana residu obat pada produk tersebut telah mencapai di bawah batas toleransi sehingga tidak membahayakan manusia yang mengonsumsi produk tersebut.

Waktu henti obat ini bervariasi tergantung oleh berbagai faktor seperti: (1) jenis/macam obat; (2) spesies hewan; (3) faktor genetik hewan; (4) keadaan iklim; (5) rute pemberian obat; (6) dosis obat/ khemikalia; (7) status kesehatan hewan; (8) macam

(10)

produk ternak yang akan dihasilkan; (9) batas toleransi residu obat dan (10) formulasi obat/senyawa khemikalia. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila setiap pabrik/perusahaan obat yeng memproduksi obat tersebut mencantumkan keterangan sejelas-jelasnya tentang waktu henti pemberian obat tersebut.

Senyawa obat yang masuk ke dalam tubuh tersebut akan mengalami metabolisme atau detoksifikasi pada organ-organ tubuh tertentu seperti organ hati dengan mekanisme tertentu. Pada proses metabolisme ini senyawa induk obat (parent compound) akan mengalami perubahan menjadi senyawa lain (metabolit) yang pada umumnya lebih tidak toksik dibandingkan dengan senyawa induknya, tetapi adakalanya senyawa metabolit ini lebih toksik (bahaya) dari senyawa induknya. Selanjutnya senyawa obat baik senyawa induk maupun metabolitnya mengalami proses seperti yang telah diuraikan terdahulu (di atas). Dengan mekanisme seperti ini maka cemaran atau residu obat dapat dijumpai dalam produk ternak berupa daging, susu dan telur. Bahkan dalam organ-organ tertentu seperti hati, dapat dijumpai senyawa tersebut dalam konsentrasi yang lebih tinggi.

Untuk obat hewan yang diberikan melalui suntikan atau cara lainnya selain melaui saluran pencernaan, akan mempercepat obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik yang selanjutnya akan mengikuti proses yang sama seperti pada obat yang diberikan melalui pakan sampai terjadinya residu obat dalam daging, susu dan telur. Namun karena pemberian obat melalui injeksi untuk tujuan pengobatan hanya diberikan dalam periode tertentu saja (beberapa hari), maka keberadaan residu obat pada produk ternak akan sangat rendah apabila produk ternak tersebut dipanen setelah masa tenggang waktu obat dilewati.

Mekanisme ini juga akan terjadi pada senyawa kimia lain seperti mikotoksin, pestisida, dan senyawa-senyawa toksik lain. Sebagaimana diketahui bahwa definisi obat dapat diartikan sebagai senyawa racun yang dalam jumlah sedikit (tertentu) dapat menyembuhkan/mengatasi penyakit atau berfungsi sebagai obat,

(11)

tetapi dalam jumlah berlebih dapat berperan sebagai racun yang akan membahayakan bahkan mematikan hewan ternak atau individu yang diberi atau mengonsumsi obat tersebut. Oleh karena itu, masuknya senyawa toksik seperti mikotoksin dan pestisida ke dalam tubuh ternak melalui pakan atau lainnya, akan mengalami proses yang hampir sama dengan proses metabolisme yang terjadi pada senyawa obat, karena senyawa obat juga merupakan senyawa asing bagi tubuh yang memiliki struktur kimia tertentu.

C. Proses Budidaya Bagian Terpenting dalam Keamanan Pangan

Proses budidaya ternak di tingkat on farm sangat menentukan keamanan produk ternak yang dihasilkannya. Hal ini karena selama proses budidaya terjadi interaksi antara hewan ternak dengan lingkungannya berupa lahan, air, udara, tanaman sekitar, pakan yang diberikan, bahan kimia yang digunakan, obat hewan, penyakit dan kesehatan hewan, dan lain sebagainya. Masing-masing aspek akan dibahas tersendiri secara lebih detail.

1. Tanah, Air dan Lingkungan

Setelah lokasi dan lingkungan tempat ternak dipelihara memenuhi persyaratan, maka bagaimana dengan air minum yang akan digunakan baik untuk minum ternak maupun untuk membersihkan ternak atau kandang dan lain sebagainya. Harus dipastikan bahwa air yang dipergunakan terutama yang berasal dari tanah atau sungai di sekitarnya tidak mengandung bahan-bahan berbahaya seperti mikroorganisme patogen, logam berat merkuri, timbal atau kadmium atau cemaran senyawa toksik lainnya. Demikian juga dengan udara di sekitar peternakan tidak ada polusi yang berlebihan.

Apabila terdapat aliran sungai yang melalui lokasi peternakan, harus dilakukan pengecekan di bagian hulunya terhadap kemungkinan adanya pabrik yang membuang limbahnya ke

(12)

sungai tersebut. Dalam hal ini perlu diketahui darimana saja sumber air yang memasok sungai tersebut, sehingga dapat diantisipasi terhadap kemungkinan adanya cemaran kimia pada aliran sungai.

Air yang digunakan di peternakan harus diketahui sumbernya, bebas dari zat-zat berbahaya berdasarkan hasil analisa laboratorium. Demikian juga tanah pada lahan yang digunakan untuk lokasi peternakan (farm) harus diketahui bebas dari mikiroba berbahaya seperti spora Antraks (bukan daerah endemis Antraks) dan zat-zat berbahaya lainnya seperti logam berat maupun cemaran kimia lainnya berdasarkan catatan di Dinas peternakan dan analisa laboratorium. Lingkungan peternakan juga harus dilakukan kajian analisa dampak lingkungan dan bukan merupakan daerah yang tercemar seperti daerah industri, pabrik atau pertambangan serta bebas dari berbagai limbah berbahaya.

Apabila sumber air telah tercemar mikroba tertentu (Coli form

atau Salmonella sp), maka ternak dan produknya dapat menjadi tidak aman untuk dikonsumsi karena tercemar oleh mikroba tersebut. Demikian pula apabila tanah di peternakan tersebut telah terkontaminasi oleh kuman Antraks atau Clostridium sp., maka akan membahayakan kesehatan ternak maupun produk ternak yang akan dihasilkannya. Keadaan ini diperkirakan telah terjadi pada kasus Antraks yang menyerang burung unta pada tahun 1999 di Desa Cipayungsari, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Hardjoutomo et al. 2000) dan ternak domba/kambing di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor pada tahun 2000/2001 yang lalu (Noor et al. 2001).

2. Pakan dan Bahan-Bahan yang Terkait dengan Pakan

Pakan, bahan pakan dan seluruh unsur yang akan masuk ke dalam tubuh ternak pada proses budidaya/pemeliharaan di farm

merupakan faktor kritis yang menentukan keamanan produk ternak yang akan dihasilkannya, karena apa yang dimakan ternak

(13)

akan terkandung pada produknya. Oleh karena itu, pakan dan apa yang ada di dalamnya harus diketahui aman untuk ternak maupun produk ternak yang akan dihasilkan. Selain itu juga harus dapat diidentifikasi dan dibuat catatannya agar dapat ditelusuri kembali apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada ternak maupun produknya. Untuk pakan yang dibuat dari pabrik pakan komersial harus ada nomor batch pada waktu diproduksi, dicatat distribusinya mulai dari pabrik ke grosir, pengecer sampai ke farm atau peternak. Keadaan demikian akan memungkinkan untuk melakukan peringatan dini dan melakukan intervensi langsung serta mengambil tindakan cepat apabila diketahui atau terdeteksi adanya kontaminan maupun patogen dari pakan tersebut.

Pencemaran pakan pernah terjadi pada kejadian kontaminasi pakan oleh senyawa Dioksin di Eropa (Belgia) pada tahun 1999 (Putro, 1999), sehingga pakan ternak dan produk ternak yang sudah didistribusikan dan diduga dihasilkan dari ternak yang diberi pakan tercemar tersebut dapat segera ditarik dari peredaran walaupun sudah sempat menyebar ke berbagai negara. Keadaan demikian dapat dilakukan karena negara Eropa telah menerapkan konsep keamanan pangan from farm to fork sehingga pada kasus tersebut penelusuran dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.

Untuk memperlancar proses pengawasan dan penelusuran seperti kejadian di atas, maka pakan yang diproduksi harus dilengkapi dengan lebel identifikasi (nomor batch), sehingga tiap produk dapat dilacak balik kepada sumber asalnya dan dapat ditarik kembali dari pasar apabila diperlukan. Sistem seperti ini akan memungkinkan pedagang pengecer untuk melayani konsumen dengan informasi yang akurat terhadap asal produk. Untuk menjamin penelusuran dapat dilakukan, maka seluruh pelaku bisnis yang terlibat harus diregistrasi dan diidentifikasi sehingga pelacakan dapat dilakukan secara menyeluruh.

Dari pengamatan penulis di lapangan ternyata hampir semua pabrik pakan di Indonesia menambahkan obat hewan berupa antibiotika ke dalam ransum jadi (Bahri et al. 2000; 2005). Hal ini

(14)

berarti sebagian besar pakan (ransum jadi) komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika (Tabel 5). Dengan demikian apabila peternak yang menggunakan ransum tersebut kurang atau tidak memperhatikan aturan pemakaiannya, dapat diduga kuat bahwa produk peternakan yang akan dihasilkannya mengandung residu antibiotika. Lebih-lebih lagi 1/3 dari pabrik pakan yang diamati juga membubuhi obat coccidiostat selain antibiotika (Bahri et al. 2000; 2005). Keadaan ini juga akan menambah kemungkinan macam residu yang dapat ditemukan pada produk ternak yang dihasilkannya seperti yang dilaporkan Bahri (1994) dan Bahri et al. (2006).

Tabel 5. Penambahan feed additivie dan feed supplement pada pakan yang diproduksi oleh beberapa pabrik pakan dan peternak di Jabodetabek Jenis senyawa tambahan Pabrik pakan A B C D E F Kelompok peternak Feed additive Antibiotik - + + + + + + Koksidiostat - - - + + + - Enzim - + - - - - - Anti jamur - + - + - - - Antioksidan - - + + - + - Feed supplement Vitamin +* + + +* + + + Mineral + + + +* + + - Asam amino +** + + +* + + -

*Dalam bentuk campuran premix; **asam amino lisin dan metionin; +dilakukan penambahan; - tidak dilakukan penambahan

(15)

Penggunaan imbuhan pakan dapat meningkatkan efisiensi pakan maupun produktivitas ternak sehingga penggunaannya semakin luas, terutama pada ternak unggas (ayam petelur dan pedaging), babi, sapi perah dan sapi potong karena secara ekonomis menguntungkan peternak. Keadaan ini menyebabkan ternak terus-menerus terpapar oleh obat hewan hampir sepanjang kurun waktu hidupnya, sehingga produk ternak yang dihasilkan kemungkinan besar masih mengandung residu obat, terutama apabila aturan dosis obat dan waktu hentinya tidak dipatuhi.

Hasil pengamatan penulis terhadap beberapa pabrik pakan menunjukan bahwa bahan baku pakan yang akan digunakan oleh pabrik pakan komersial secara fisik telah melalui proses seleksi/ pemeriksaan (Tabel 6) terutama terhadap bau, ketengikan dan terhadap jamur (Bahri et al. 2005). Selain pemeriksaan fisik juga semua bahan baku pakan diperiksa terhadap kandungan aflatoksin, dan sebagian pabrik pakan (50%) juga memerikssa terhadap cemaran mikroba patogen pada bahan baku pakan. Selain cemaran (aflatoksin, logam berat dan mikroba) yang terdapat pada bahan pakan atau pakan jadi juga dapat ditemukan senyawa obat-obatan seperti golongan antibiotika, coccidiostat, anti jamur dan lain sebagainya yang secara sengaja dicampur ke dalam pakan (ransum) tersebut untuk maksud-maksud tertentu seperti growth promoter dan sebagainya (Bahri et al. 2005).

Selain kandungan antibiotika pada pakan ayam, ternyata pakan dan bahan pakan di Indonesia juga banyak tercemar oleh berbagai mikotoksin seperti aflatoksin, zearalenon, Cyclopiazonic Acid dan Okratoksin A (Widiastuti et al. 1988a; 1988b; Bahri et al. 1994a; Maryam 1994). Dari berbagai macam mikotoksin tersebut yang paling utama (dominan) adalah aflatoksin, khususnya Aflatoksin B1 (AFB1). Dari berbagai pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa masalah cemaran mikotoksin pada pakan selalu terjadi sepanjang tahun dengan kadar bervariasi, sehingga diduga produk ternak, terutama daging ayam, telur dan susu perlu diwaspadai terhadap residu mikotoksin tersebut. Bahri et al.

(16)

(1994b) melaporkan adanya korelasi positif antara keberadaan AFB1 pada pakan dengan AFM1 pada susu yang dihasilkannya.

Penggunaan meat and bone meal (MBM) sebagai campuran pakan ternak tidak diperkenankan, terutama yang diperuntukkan ternak ruminansia. Hal ini dikaitkan dengan kejadian penyakit sapi gila (Mad Cow atau BSE) yang penularannya diduga kuat melalui penggunaan MBM asal ternak ruminansia yang menderita/tertular BSE. Dengan demikian pakan yang mengandung MBM ini mempunyai potensi menghasilkan produk ternak tidak aman bagi kesehatan manusia.

Dari uraian tersebut maka keamanan pakan menjadi sangat penting agar produk ternak yang dihasilkannya aman bagi kesehatan manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan terdahulu bahwa pakan merupakan bagian kritis dalam suatu rantai produksi pangan asal ternak. Oleh karena itu, berbagai peraturan yang menunjang keamanan pakan harus dipenuhi, dilengkapi dan disempurnakan termasuk pengawasan dan sanksi yang diberikan kepada yang melanggar. Selain itu juga harus dilakukan upaya-upaya seperti penyuluhan kepada peternak dan pengusaha pakan agar lebih memperhatikan hal-hal tersebut, serta perlu meningkatkan pengawasan dari petugas-petugas berwenang.

3. Pemakaian Obat Hewan di Peternakan

Semua obat hewan yang dipergunakan pada proses budidaya/pemeliharaan di peternakan/farm harus dicatat dan digunakan sesuai ketentuan serta diawasi dengan cermat dan dibuat catatannya. Pemakaian obat hewan harus dilakukan dengan hati-hati sesuai ketentuan dan mengikuti petunjuk tenaga medis yang berwenang. Keadaan ini akan memudahkan penelusuran atau pelacakan terhadap berbagai hal apabila terjadi kasus penyakit, residu pada hewan atau produk ternak di kemudian hari pada tahap rantai pangan yang mana saja.

(17)

Tabel 6. Uji mutu bahan baku pakan dan pakan jadi (ransum) yang diproduksi oleh beberapa pabrik pakan dan peternak di Jabodetabek Kategori uji Pabrik pakan A B C D E F Kelompok peternak Bahan pakan

Kualitas fisik (bau, tengik, jamur) + + + + + + +

Logam berat - - - - + - - Pestisida - - - - + - - Aflatoksin + + + + + + - Mikroba patogen - - + + - + - Ransum jadi Nutrisi proksimat + + + + + + - Aflatoksin + + + + + + - Asam amino - + + + + - - Feed additive - + - - - - - Feed supplement - + - - - - - Cemaran mikroba - - - -

Penandaan dan pengemasan

Nama dan merek + - + + + + -

Nama dan alamat + - + + + + -

Nomor dan izin perusahaan + - + + + + - Jenis dan kode ransum + - + + + + -

Bentuk ransum + - + + + + -

Berat ransum + - + + + +

Tanggal produksi - - - -

Tanggal kadaluarsa - - - -

Cara penggunaan ransum - - + + + + - + Dilakukan pengujian atau penandaan; - tidak dilakukan

Sumber: Bahri et al. (2005)

Pada proses budidaya ternak, penggunaan obat hewan untuk kepentingan pengobatan, pencegahan penyakit maupun sebagai

feed additive atau feed supplement tidak dapat dihindari. Bahkan seringkali penggunaan obat hewan merupakan suatu kebutuhan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan.

(18)

Obat hewan berupa antibiotika umumnya dipergunakan untuk pengobatan penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri. Kenyataannya, antibiotika juga seringkali diberikan bukan untuk mengatasi penyakit hewan tertentu, tetapi untuk memperbaiki penampilan ternak, memacu pertumbuhan (sebagai growth promoter), meningkatkan reproduksi dan juga untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan/ransum (Bell 1986). Kadang-kadang sebagai pemacu pertumbuhan dipergunakan hormon tertentu seperti yang banyak digunakan pada ternak sapi potong di Australia, yaitu dengan menggunakan hormon Trenbolon Asetat. Widiastuti et al. (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pengamatan pada hari ke-21 setelah implantasi hormon Trenbolon pada sapi muda, masih diketemukan kandungan Trenbolon Asetat (TBA) pada jaringan sekitar implan maupun jaringan yang jauh dari lokasi implan serta pada organ hati.

Dari berbagai pengamatan di lapang terlihat bahwa pemakaian antibiotika terutama pada peternakan ayam niaga (broiler dan

layer) cenderung berlebihan dan dilakukan kurang tepat tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar (Bahri et al. 2000; Bahri et al. 2005). Hal ini dapat dilihat dari data pada Tabel 7 yang memperlihatkan keberadaan berbagai residu obat hewan di Indonesia. Penggunaan obat hewan yang kurang tepat ini, kemungkinan ada hubungannya dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, dimana 33,3% peternak layer skala kecil dan 30,8% peternak broiler skala kecil yang tidak mempunyai dokter hewan mendapat suplai obat langsung dari distributor atau importir, sehingga mereka menggunakan obat-obatan tersebut tanpa mengikuti aturan yang benar (Kusumaningsih et.al. 1997). Seharusnya hanya peternak besar yang memiliki tenaga dokter hewan yang boleh berhubungan langsung dengan distributor atau importir.

Kusumaningsih et al. (1996) dalam penelitiannya menggungkapkan bahwa hanya 20% peternak sapi perah di Jawa Barat yang mengetahui jenis obat yang dipergunakan oleh

(19)

petugas Dinas Peternakan atau Koperasi. Dengan kata lain sebesar 80% peternak lainnya tidak mengetahui jenis obat hewan yang dipergunakan kepada ternaknya. Kemudian dari 20% tersebut hanya 14,28% peternak yang mengetahui adanya waktu henti obat, sedangkan yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual produknya (susu) ke koperasi selama 2-5 hari setelah perobatan hanya 8,16% saja. Herrick (1993) dan Spence (1993) melaporkan hasil pengamatannya bahwa walaupun peternak mengetahui adanya waktu henti obat, tetapi sebagian dari mereka tidak mematuhinya.

Dengan meluasnya penggunaan obat hewan (terutama yang dipergunakan sebagai imbuhan pakan) maka diperkirakan sebagian besar hewan ternak yang dipelihara secara intensif akan terpapar (terekspose) oleh obat-obat hewan pada sebagian besar atau selama masa hidupnya. Pada keadaan demikian, apabila pemakaian obat-obatan hewan tersebut tidak mengikuti aturan pemakaian yang benar, maka akan timbul masalah baru karena produk ternak yang dihasilkannya kemungkinan besar masih mengandung sisa-sisa obat hewan baik sebagai senyawa asal (parent compounds) maupun sebagai metabolitnya. Sisa-sisa obat hewan yang berada di dalam produk ternak ini selanjutnya dikenal dengan istilah residu obat.

Oleh karena itu, pemerintah Inggris pada tahun 1968 membentuk Komisi Swan yang dipimpin oleh Profesor Michael Swaan untuk mengkaji permasalahan ini. Salah satu rekomendasi dari Komisi ini adalah mempertegas bahwa penggunaan antibiotika tertentu sebagai perangsang pertumbuhan ternak dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomik, tetapi obat-obat tersebut harus berbeda dengan obat-obat yang dipergunakan untuk pengobatan pada manusia maupun hewan, juga obat tersebut tidak boleh yang dapat menimbulkan resistensi silang atau resistensi berganda terhadap obat-obat yang akan dipergunakan untuk pengobatan. Selain itu, obat tersebut juga tidak boleh menimbulkan residu yang dapat membahayakan

(20)

kesehatan manusia, dan pemberiannya sebaiknya hanya diberikan kepada hewan ternak yang sedang dalam fase pertumbuhan (Bell 1986).

4. Penggunaan Bahan Kimia di Peternakan

Semua bahan kimia lain yang dipergunakan pada proses budidaya/pemeliharaan di peternakan/farm harus dicatat dan digunakan sesuai ketentuan serta diawasi dengan cermat penggunaannya. Pemakaian herbisida, insektisida maupun antiseptik atau pestisida lainnya di lingkungan peternakan/farm

tersebut juga harus dicatat. Keadaan ini akan memudahkan penelusuran atau pelacakan terhadap berbagai hal apabila terjadi kasus penyakit atau keracunan maupun cemaran kimia pada hewan atau produk ternak pada rantai pangan tertentu.

Penggunaan berbagai bahan kimia seperti yang dijelaskan terdahulu untuk mendukung proses budidaya ternak, seringkali ikut mengontaminasi berbagai sumber pakan dan air minum maupun bagian-bagian kandang dan lingkungan sekitarnya, sehingga pada akhirnya termakan oleh ternak. Apabila hal ini terjadi secara kronis dan ternak tidak mati, maka akan berpengaruh kepada produk ternak yang dihasilkannya. Dalam hal ini senyawa-senyawa kimia tersebut dapat berada (tertimbun) sebagai residu dalam daging, lemak, telur dan susu ternak yang terpapar bahan kimia tersebut.

Keadaan seperti ini dapat dilihat pada data Tabel 8 yang memperlihatkan data berbagai residu pestisida dan senyawa toksik lainnya di Indonesia. Residu pestisida golongan

organophosphate dan organochlorine pada serum, hati dan lemak sapi dari daerah Blora dan Wonogiri telah diungkapkan oleh Indraningsih et al. (2006). Demikian juga residu pestisida sejenis dapat ditemukan pada tanah, pakan dan susu segar pada ternak yang dipelihara di Pengalengan Jawa Barat (Indraningsih 2008).

(21)

Pengamatan pada sapi perah di daerah Lembang Jawa Barat yang pakannya diduga tercemar oleh pestisida menunjukkan adanya perubahan histopatologis dari jaringan otak sapi berupa

encephalopathy yang menyerupai perubahan akibat keracunan pestisida golongan organofosfat. Perubahan ini juga diperkuat dengan dijumpainya kandungan pestisida golongan

organochlorine dan organophosphate pada hijauan pakan, pada serum dan pada organ otak sapi yang diperiksa (Sani dan Indraningsih 2007). Keadaan ini membuktikan bahwa penggunaan pestisida di lingkungan peternakan perlu dicermati dan dilakukan dengan penuh kehati-hatian karena pangan asal ternak yang akan dihasilkan dari ternak dengan lingkungan seperti ini mempunyai risiko mengandung residu senyawa pestisida tersebut.

5. Penyakit dan Kesehatan Hewan

Pangan asal ternak yang aman dapat dihasilkan dari hewan-hewan yang memang sehat dan dipelihara dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan. Pada pemeliharaan hewan yang tidak baik dapat menyebabkan hewan stres dan tidak nyaman sehingga akan memudahkan terjadinya serangan penyakit baik oleh patogen yang memang sudah ada di tubuh ternak maupun terhadap patogen dari luar tubuh, bahkan patogen yang ada dalam saluran ternak akan berkembang dan menjadi infektif atau terekspose keluar tubuh sehingga mencemari lingkungan atau produk ternak yang dihasilkannya. Atau apabila hewan menjadi sakit dan diobati, kemungkinan akan menimbulkan risiko terjadinya resistensi kuman terhadap obat-obatan tertentu serta menimbulkan residu obat hewan pada produk ternak yang dihasilkan. Oleh karena itu, cara pemeliharaan ternak yang baik ini memiliki keterkaitan yang erat dalam menjaga kesehatan hewan serta menghasilkan pangan asal ternak yang aman.

Untuk menjaga kesehatan hewan dan kesejahteraan hewan yang optimal, maka perlu dilakukan pemeliharaan kesehatan

(22)

hewan individual dengan baik dan mencegah terjadinya penyakit hewan di tingkat peternak atau peternakan, sehingga akan meningkatkan kesehatan kelompok hewan dan pada akhirnya akan melindungi keamanan pangan. Keadaan ini dapat tercapai apabila dilakukan pemeliharaan ternak yang baik (good husbandry practices), pemakaian obat hewan dan imbuhan pakan (feed additive) secara bertanggungjawab, dan melakukan tindakan pencegahan terhadap penyakit epizootik dan zoonotik. Hal demikian dapat terwujud dengan melibatkan dokter hewan atau tenaga paramedis veteriner atau petugas kesehatan hewan setempat secara rutin.

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa pengendalian penyakit atau patogen yang ditularkan melalui pangan, sebaiknya dilakukan pada tahap proses produksi pangan hewani primer, yaitu pada saat dilakukan budidaya di peternak/peternakan (farm). Sebagai contoh pada pencegahan terjadinya Salmonellosis, sebaiknya dilakukan dengan menggunakan vaksin pada saat budidaya unggas di peternak/peternakan sehingga dapat menekan tercemarnya/terbawanya kuman Salmonella pada daging broiler yang dipanen. Cara demikian juga akan meningkatkan status kesehatan unggas yang akan dibawa ke rumah pemotongan unggas (RPU) atau tempat pemotongan unggas (TPU). Dengan demikian sudah sangat sesuai apabila strategi pemeliharaan kesehatan hewan didasarkan kepada prinsip bahwa “pencegahan adalah lebih baik daripada pengobatan” dimana tindakan surveilans, pencegahan dan penelitian sangat diperlukan guna menekan terjadinya penyakit hewan dan mengurangi dampak dari suatu kejadian penyakit apabila terjadi wabah penyakit tertentu. Konsep pencegahan ini juga harus didukung dengan tindakan biosekuriti di peternakan untuk mencegah masuk dan menyebarnya penyakit hewan di peternakan dengan menerapkan tindakan higienis yang baik yang dilakukan oleh seluruh personil yang masuk kepeternakan tersebut.

(23)

Konsep pencegahan terhadap terjadinya penyakit hewan ini telah membawa perubahan peran dokter hewan yang lebih fokus kepada produksi pangan sehingga fokusnya telah bergeser dari yang tadinya pendekatan kepada kesehatan hewan secara individual menjadi kepada kesehatan kelompok hewan yang kemudian bergeser kepada kesehatan masyarakat. Dengan demikian peranan dokter hewan semakin berkembang kepada kedokteran pencegahan, pengendalian dan pengawasan penyakit-penyakit zoonosis yang ditularkan melalui pangan, juga meningkatkan kehati-hatian dalam penggunaan obat hewan (memperhatikan dosis, lama pemberian dan waktu henti obat), pengawasan residu untuk melindungi kesehatan masyarakat dan jaminan kesehatan hewan maupun kesejahteraan hewan (Anonymous 2010).

Kesehatan hewan ini mempunyai keterkaitan juga pada proses transportasi hewan pada waktu akan dipanen yang dapat berdampak kepada kesehatan masyarakat. Hal ini karena dalam transportasi dapat menyebabkan hewan mengalami stress

dimana hewan yang dalam keadaan stres cenderung mengekskresikan organisme patogen yang selanjutnya dapat mencemari atau mengontaminasi daging yang dihasilkannya sehingga dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan masyarakat. Salah satu alternatif untuk mengurangi terjadinya pencemaran mikroba ini pada transportasi hewan yang terlalu jauh, adalah dengan melakukan perdagangan karkas. Cara demikian dianjurkan dengan alasan untuk keamanan pangan, kesehatan hewan dan kesejahteraan hewan (Anonymous 2010), karena sesungguhnya transportasi hewan dari peternakan sampai ke RPH merupakan bagian yang kritis yang dapat mempengaruhi kesehatan hewan, keamanan pangan dan kesejahteraan hewan. Oleh karena itu, perlu mendapat pertimbangan dari dokter hewan, dan juga alat pengangkutan dan petugasnya harus terlatih dan memenuhi standar.

(24)

Situasi penyakit hewan pada proses budidaya cukup berperan terhadap keamanan pangan asal ternak atau produk ternak, terutama pada ternak besar seperti sapi, kerbau, domba, kambing dan babi. Keadaan ini terutama berkaitan dengan penyakit-penyakit hewan yang bersifat zoonosis seperti penyakit-penyakit Antraks , penyakit Nipah Virus pada babi dan penyakit cacing pita (cysticercosis) serta penyakit sapi gila (Mad Cow). Penyakit zoonosis yang ditularkan melalui pangan juga telah dibahas oleh Murdiati dan Sendow (2006). Knight-Jones et al. (2010) mengemukakan bahwa patogen yang perlu di cermati dalam keamanan pangan asal ternak di Asia adalah Salmonella (S. enteritidis dan S. typhimurium), Taenia spiralis, T. solium,

Mycobacterium bovis, serta Streptococcus suis dan S. aureus.

Sedangkan patogen lain yang juga cukup penting adalah penyakit HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenzae) H5N1 dan virus Nipah (Knight-Jones et al. 2010).

Penyakit-penyakit hewan yang disebutkan ini sangat penting dalam sistem keamanan dan ketahanan pangan asal ternak karena selain dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat juga berdampak kepada hambatan dalam perdagangan dan pembangunan peternakan di Indonesia. Hal ini dapat dicermati pada kasus penyakit Antraks yang terjadi pada burung unta di Jawa Barat pada akhir tahun 1999, yang telah menyebabkan penyakit pada 34 orang di Kecamatan Cempaka, Kabupaten Purwakarta yang mengonsumsi daging yang tercemar Antraks tersebut (Hardjoutomo et al. 2000; Widarso et al. 2000). Demikian juga dengan kasus penyakit Antraks pada manusia di Kabupaten Bogor, diduga karena mengonsumsi daging domba yang terserang Antraks (Noor et al. 2001). Keadaan ini dikarenakan produk peternakan yang dihasilkan dari ternak penderita Antraks menjadi tidak aman baik untuk konsumsi manusia maupun terhadap lingkungan budidaya ternak.

(25)

6. Identifikasi dan Registrasi Hewan

Bahri (2012) menempatkan identifikasi dan registrasi hewan sebagai salah satu faktor penting dalam proses budidaya untuk menghasilkan produk asal ternak yang aman, yang selanjutnya akan diuraikan lebih lanjut. Konsep pendekatan keamanan pangan mulai dari peternakan sampai ke piring konsumen (from farm to fork) perlu didukung dengan sistem identifikasi dan registrasi hewan yang dapat diandalkan yang akan berguna pada pelacakan/penelusuran kembali pada rantai pangan yang ada apabila dijumpai kasus cemaran atau penyakit pada hewan dan produk asal ternak yang dihasilkan. Sistem identifikasi dan registrasi ini harus aman, dapat dilihat atau diamati dengan jelas, mudah diterapkan, sulit untuk dimanipulasi dan harus dapat dideteksi setiap saat. Identifikasi dan registrasi juga harus dilakukan pada peternak atau peternakan. Sistem ini harus ditangani oleh Otoritas yang kompeten yang terpusat dan terorganisir dengan tertib sehingga penomoran yang dilakukan akan memudahkan dalam mengakses untuk kepentingan pelacakan atau penelusuran dalam kaitannya dengan rantai pangan apabila diperlukan. Pendekatan keamanan pangan asal ternak dengan sistem seperti ini telah dilakukan di Eropa (Anonymous 2010).

Agar sistem ini berjalan dengan baik, maka setiap hewan/ternak atau kelompok hewan ternak harus tercatat dalam catatan di peternak atau peternakan dan harus dapat diperbaharui apabila ada yang keluar atau masuk dari dan ke peternakan tersebut. Perpindahan hewan juga perlu dicatat termasuk dalam proses transportasi hewan dari peternak asal sampai ke tempat terahir untuk dipanen. Informasi ini dapat disimpan dalam

database di komputer untuk memudahkan dalam monitoring dan penelusuran perpindahan hewan baik untuk kepentingan yang terkait dengan kesehatan hewan maupun keamanan pangan.

Disamping itu, para peternak, tenaga medis veteriner, teknisi dan seluruh yang terlibat di peternakan harus menyimpan

(26)

catatan-catatan aktivitas peternakan tersebut. Sebagai contoh, sejarah medis hewan harus dicatat sebagai informasi penting untuk melindungi kesehatan masyarakat. Catatan ini juga sebaiknya disimpan dalam database di komputer untuk digunakan sebagai rujukan lebih lanjut, dan juga sebagai bagian yang terkait dengan penelusuran dari rantai pangan. Oleh karena itu, bilamana hewan dibawa ke RPH atau bilamana susu atau telur dibawa ke pusat pengumpul atau industri pengolahan, maka seharusnya dokter hewan (tenaga medis veteriner) pemerintah atau yang berwenang bisa mendapatkan informasi dengan cepat tentang catatan sejarah/histori hewan, susu atau telur tersebut dari peternakan asalnya untuk kepentingan-kepentingan lebih lanjut.

D. Proses Produksi dalam Rantai Pangan

Pada tahapan proses produksi pada ternak yang berkaitan dengan keamanan pangan, terutama terjadi pada tempat pemotongan, yaitu di rumah potong hewan untuk produksi daging, atau pada tempat pemerahan untuk produksi susu. Oleh karena itu, proses produksi daging dan susu sejak saat pemotongan atau pemerahan sampai siap santap merupakan proses yang panjang dimana terdapat beberapa titik kritis terhadap keamanan bahan pangan tersebut. Hal ini karena adanya ancaman kontaminasi daging atau susu oleh berbagai macam kontaminan yang sangat dimungkinkan karena pengaruh lingkungan yang kurang higienis dan tidak dijaga sanitasinya, serta dipermudah oleh tidak terlindungnya daging atau susu oleh pembungkus apapun. Ancaman-ancaman tersebut dapat berupa kontaminasi oleh mikroba, bahan kimia berbahaya dan beracun, dan oleh pengaruh fisik lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

Adanya rumah potong hewan (RPH) atau rumah potong unggas (RPU) merupakan salah satu upaya yang dimaksud dalam definisi keamanan pangan pada UU pangan tersebut.

(27)

Sebagai tindak lanjut dalam mewujudkan upaya keamanan pangan asal unggas, maka telah diberlakukan standar nasional Indonesia (SNI) tentang kriteria RPU dalam SNI 01-6-6160-1999.

Pemotongan ayam atau unggas di pasar tradisional atau di tempat-tempat pemotongan ayam ilegal dapat menimbulkan peluang tercemarnya daging ayam oleh berbagai mikroba patogen seperti kuman Salmonella sp., E. coli, dan lain sebagainya karena tidak ada pengawasan dokter hewan berwenang sehingga tidak ada jaminan terhadap keamanan daging atau produk yang dihasilkan. Dalam hal ini jelas tidak dilakukan apa yang disebut produksi daging yang aman (Good Production Practices). Potensi cemaran bisa datang dari sumber air yang dipergunakan, peralatan seperti pisau, pengasah dan wadah yang digunakan sudah tercemar kuman-kuman dimaksud. Oleh karena itu, Sri-Poernomo dan Bahri (1998) banyak menemukan kuman Salmonella pada pisau, pada daging ayam maupun alat-alat lain yang dipergunakan pada proses produksi tersebut.

1. Pemeriksaan Ante Mortum

Sesuai dengan peraturan yang berlaku maka status hewan yang akan dipotong, antara lain harus bebas dari penyakit menular, pemeriksaan laboratorium bila mencurigakan serta pemantauan terhadap penggunaan antibiotika serta obat-obatan lainnya dalam pakan. Bila hal ini dilaksanakan maka produk ternak akan terjamin keamanannya.

Untuk ternak besar seperti sapi, kerbau, domba dan kambing maka pemeriksaan kesehatan ante mortem ini sangat penting untuk mencegah jangan sampai hewan yang sedang terinfeksi penyakit berbahaya seperti Antraks ikut terpotong, karena akan membahayakan petugas, mencemari lingkungan setempat dan produk ternaknya akan membahayakan masyarakat yang mengonsumsinya. Diduga kasus Antraks pada manusia di Kabupaten Bogor terjadi karena kambing yang dipotong secara

(28)

perorangan tersebut tidak terawasi oleh petugas (dokter hewan) berwenang sehingga pemeriksaan ante mortum terabaikan. Oleh karena itu pemeriksaan kesehatan ternak pada pengamatan ante-mortem ini menjadi sangat penting sebelum pemeriksaan lebih lanjut dilaksanakan.

2. Pemeriksaan Post-Mortum

Setelah pemeriksaan ante-mortum, maka pada proses penyembelihan harus dilanjutkan dengan pemeriksaan post-mortum untuk mengamati kemungkinan adanya kelainan-kelainan pada berbagai organ/jaringan tubuh akibat berbagai penyakit hewan yang masih belum dapat teramati pada pemeriksaan ante mortum.

Untuk pemeriksaan yang lebih detail seperti untuk keperluan ekspor, maka dilakukan secara mendalam, yaitu: (a) Pemeriksaan mikrobiologis; (b) Pemeriksaan residu bahan hayati, bahan kimia, logam berat, antibiotika, hormon dan obat-obatan lain. Daging unggas yang mengandung residu bahan kimia, logam berat, antibiotika, hormon dan obat lain yang kadarnya di atas batas ambang dilarang untuk diedarkan/dikonsumsi. Ditemukannya berbagai residu obat hewan dan hormon pada berbagai produk peternakan oleh Bahri et al. (1992a dan 1992b), Balitvet (1990; 1991), Sudarwanto (1990; 1995), Sudarwanto et al. (1992), Darsono (1996), Dewi et al. (1997a dan 1997b), dan Widiastuti (2000), menunjukkan bahwa pengawasan residu pada pemeriksaan post-mortum belum berjalan sebagaimana mestinya.

3. Sarana dan Prasarana

Tempat-tempat pemotongan hewan atau tempat pemerahan susu yang tidak higienis, tidak memenuhi standar SNI atau yang ilegal, maka produk ternak yang diperolehnya akan diragukan keamanannya. Oleh karena itu, untuk menjamin bahwa produk

(29)

ternak yang diperoleh dari proses produksi tersebut benar-benar aman, maka semua persyaratan pada proses pemotongan atau pemerahan susu harus dipenuhi, terutama standar RPH atau RPU (mulai dari persyaratan lokasi, sarana, bangunan, peralatan, higienis pengawasan kesmavet, ruang pembekuan cepat, ruang penyimpanan beku, pengolahan daging, kendaraan angkut dan laboratorium). Kebersihan peralatan-peralatan dan sumber air yang digunakan dalam proses produksi dapat mempengaruhi keamanan produk ternak yang diperoleh pada proses produksi, karena alat-alat dan air yang tidak higienes akan mengontaminasi produk ternak tersebut.

Beberapa mikroorganisme yang sering mengontaminasi produk peternakan pada proses produksi adalah: (1) Salmonella

sp.; (2) Camphylobacter sp.; (3) Clostridium sp.; dan (4) E. coli

dari berbagai serotipe. Data cemaran berbagai Salmonella sp. pada berbagai produk ternak di Indonesia telah dilaporkan oleh Sri-Poernomo dan Bahri (1998).

Dari pengamatan lapang terhadap dua buah RPU Modern dan dua RPU tradisional di Jabotabek ternyata RPU Modern tersebut telah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan SNI tentang RPU, sedangkan RPU tradisional sebagian besar persyaratan tersebut tidak dapat dipenuhi (Bahri et al. 2000). Dikhawatirkan daging broiler yang dihasilkan dari RPU tersebut tidak cukup aman terhadap cemaran mikroba seperti E. coli maupun

Salmonella spp. Dari pengamatan ini secara keseluruhan RPU tradisional masih kurang memenuhi persyaratan higienis yang ditentukan. Dapat dibayangkan bagaimana dengan RPU atau TPA ilegal atau tempat-tempat pemotongan milik perorangan lainnya yang tidak diketahui petugas pengawas, kemungkinan besar daging ayam yang dihasilkan sangat diragukan tingkat higienis dan keamanannya.

(30)

E. Proses Pascaproduksi atau Pengolahan dalam Rantai Pangan

Keamanan pangan asal ternak yang berkaitan dengan proses Pascaproduksi terutama ditekankan pada pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Pengawasan yang dimaksud disini adalah pengawasan terhadap penanganan, pengangkutan, peredaran dan penyimpanan produk ternak. Selain itu pengawasan juga menekankan kepada pengujian yang harus dilakukan pada produk ternak dalam rangka pengawasan daging, telur, susu, bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan bahan asal hewan lainnya. Pengujian adalah kegiatan pemeriksaan kesehatan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan untuk mengetahui bahwa bahan-bahan tersebut layak, sehat dan aman bagi manusia.

Untuk melindungi kosumen dari bahaya cemaran mikroba dan residu dalam produk asal hewan, maka telah dibentuk Tim Penyusun ambang batas cemaran mikroba dan residu di dalam bahan makanan asal hewan, dengan harapan Indonesia mempunyai suatu standar ambang batas cemaran sendiri. Pada tahun 1996 dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. Kemudian baru pada tahun 2000 terbit SNI No.01-6366-2000, yaitu tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan.

Mengenai Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam bahan makanan asal hewan yang tertuang dalam SNI tersebut bertujuan untuk: (a) Memberikan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat terutama dalam aspek keamanan dan kesehatan; (b) Mewujudkan jaminan mutu dari bahan makanan asal hewan; (c) Mendukung perkembangan agroindustri dan agrobisnis. SNI ini memuat sembilan jenis cemaran mikroba, baik pada daging, susu dan telur, serta 314

(31)

jenis residu (meliputi pestisida, logam berat, antibiotika, hormon, obat-obatan lainnya dan bahan-bahan kimia lainnya).

1. Industri Pengolahan dan Pemasaran Pangan Asal Ternak

Salah satu proses yang terjadi dalam tahap pascapanen adalah proses pengolahan yang terutama terjadi pada industri pengolahan. Sebenarnya, salah satu tujuan pengolahan pangan asal ternak adalah untuk membuat agar produk tersebut menjadi lebih lama masa simpannya, disamping kualitas dan rasanya juga meningkat, dan nilai jual serta penampilannya juga menjadi menarik. Dengan dilakukan pengolahan, diharapkan keamanan pangan asal ternak lebih terjamin karena pertumbuhan mikroba dapat dihambat seperti halnya dengan proses pasteurisasi pada susu. Pada proses pasteurisasi, sebenarnya tidak membunuh seluruh mikroba yang ada, tetapi hanya menghambat pertumbuhannya, oleh karena itu, susu harus disimpan pada suhu di bawah 4C.

Dalam pengolahan pangan asal ternak ini, umumnya jaminan keamanan pangan di tingkat industri pangan lebih baik daripada pengolahan pangan di tingkat peternak atau industri rumah tangga. Hal ini terjadi karena pada industri pengolahan pangan di tingkat peternak atau rumah tangga belum semuanya menerapkan konsep HACCP, sebaliknya pada industri pengolahan pangan yang besar telah mengikuti semua proses HACCP maupun ketentuan lainnya yang terkait dengan kemanan pangan (Murdiati 2006). Sebagaimana diketahui bahwa HACCP merupakan sistem manajemen keamanan pangan dengan prinsip pencegahan melalui penyadaran kepada berbagai pihak yang terlibat dalam proses tersebut, bahwa bahaya dapat timbul pada setiap titik atau tahapan produksi, dan diikuti dengan pengendaliannya untuk mengontrol bahaya tersebut.

Dalam hal pemasaran pangan asal ternak di Indonesia, terutama penanganan produk tersebut di tingkat pengecer di pasar

(32)

tradisional perlu mendapat perhatian. Dalam hal ini biasanya ayam dan daging sapi atau daging lainnya diperdagangkan dengan diletakkan di atas meja atau alas yang tidak dilengkapi alat pendingin maupun fasilitas lainnya. Keadaan ini berbeda dengan kondisi pemasaran produk yang sama di pasar swalayan yang telah menggunakan alat pendingin maupun fasilitas sanitasi dan higienes lainnya yang lebih menjamin terjadinya keamanan pangan, karena peluang terjadinya kontaminasi maupun berkembangbiaknya mikroba yang ada semakin diperkecil.

Dalam contoh kasus pemasaran daging ayam maupun daging lainnya di pasar tradisional, membuka peluang yang lebih besar untuk terjadinya pencemaran mikroba baik yang kurang patogen maupun yang patogen, terlebih lagi apabila proses pemotongannya juga dilakukan di sekitar pasar tradisional tersebut. Hal lain yang menghawatirkan terhadap pemasaran ayam di pasar tradisional adalah adanya penggunaan formalin pada ayam yang dipasarkan sebagai pengawet agar ayam tetap terlihat segar, sedangkan formalin itu sendiri merupakan senyawa kimia yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengonsumsi daging berformalin tersebut. Formalin sudah dilarang untuk digunakan sebagai pengawet bahan pangan, berdasarkan Peraturan menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/88. Dalam hal ini pelarangan tidak hanya untuk daging ayam atau pangan asal ternak saja (seperti baso, dan lain sebagainya), tetapi juga untuk pangan yang berasal dari bahan nabati seperti tahu dan mi basah.

2. Proses Pengolahan Pangan untuk Dikonsumsi

Pada konsep rantai pangan from farm to fork atau from farm to table, maka proses pengolahan pangan untuk siap dikonsumsi atau disantap merupakan rantai terakhir dari konsep tersebut. Pada tahap ini atau pada proses pengolahan yang umumnya berupa masak-memasak bahan pangan adakalanya terjadi bahaya berupa keracunan makanan apabila terjadi ketidak

(33)

hati-hatian atau kesalahan/kelalaian, walaupun kemungkinan tersebut relatif kecil. Dalam hal ini cukup banyak masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan dapur, walaupun bahan pangan yang digunakan cukup baik dan sehat serta bebas dari kontaminasi berbagai bahan berbahaya.

Kontaminasi dapat terjadi selama proses pemasakan di dapur apabila dapur yang kurang bersih tersebut telah terkontaminasi mikroba patogen yang berasal dari hewan seperti tikus atau tercemar senyawa pestisida atau bahan kimia berbahaya lainnya. Untuk menghindari terjadinya berbagai kemungkinan pada saat mempersiapkan makanan untuk disantap, WHO pada tahun 1990 mengeluarkan anjuran cara mempersiapkan pangan yang aman, yang intinya adalah menghindarkan makanan dari kontaminasi mikroba patogen maupun mencegah mikroba berkembang biak.

Gambar

Gambar 5. Bagan rantai pangan asal ternak  dari  peternak sampai  meja  makan (panah dua arah menggambarkan sistem penelusuran  pada tiap tahapan rantai pangan)
Gambar 6.  Bagan  proses  farmakokinetik  obat  (dikutip  dari  Setiawati 1987)
Gambar 7.  Proses  farmakokinetik  obat  di  dalam  tubuh  dan  proses  terjadinya  residu  obat  dalam  jaringan  (disederhanakan  dari  Schlatter 1990) Senyawa masuk ke dalam tubuh Absorbsi Senyawa dalam peredaran darah  Sirkulasi sistemik  (senyawa beba
Tabel 5.  Penambahan  feed  additivie  dan  feed  supplement  pada  pakan  yang  diproduksi  oleh  beberapa  pabrik  pakan  dan  peternak  di  Jabodetabek  Jenis senyawa  tambahan  Pabrik pakan  A  B  C  D  E  F  Kelompok  peternak  Feed additive  Antibiot
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kabupaten Jombang bagian utara adalah bagian dari pegunungan kapur yang memiliki tanah relatif kurang subur, sebagian besar mempunyai fisiografi yang mendatar dan

Sebuah sampel yang terdiri dari 100 orang wanita muda dan sampel lain yang terdiri dari 200 wanita berumur diminta mencium bau parfum itu dan menyampaikan apakah mereka menyukainya

Sensor sidik jari pada sistem Pengaman Kendaraan menjadi keamanan utama yang susah dibobol, sedangkan GPRS dapat mengirim pesan ke Android apabila kode numerik pada alat

Diabetes militus (DM) adalah kelainan metabolime karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan hiperglikemia (Maryunani,

Mereka digalakkan untuk membangunkan potensi intelektual berasaskan world-view barat menggunakan bahasa Inggeris; “The boy in the English school with a brain that has

Renja Kerja ( RENJA ) Tahun 2018 sebagai dokumen Perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang memuat kebijakan dan program/kegiatan dalam satu tahun dan sebagai

Pembangunan di bidang ekonomi dalam rangka pencapaian swasembada pangan untuk penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Grobogan pada Pelita V merupakan kelanjutan dan

ari hasil perhitungan diatas terlihat bah(a setiap !p.1 dari rata-rata kas > setara kas dapat "enghasilkan pendapatan sebesar 130 kali pada tahun 2013. ebaliknya