• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

i

EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL 90% DAUN JARONG (Stachytarpheta indica Vahl.) TERHADAP KADAR ALANIN

AMINOTRANSFERASE DAN ASPARTAT AMINOTRANSFERASE PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON

TETRAKLORIDA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh : Jonathan Wijaya Setiawan

NIM: 128114031

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

God tells me so that believe that everything I ask

for in prayer, I have received it then it will be

mine”

“Aku berkata kepadamu : Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” Lukas 11:9

Kupersembahkan karya tulisku terindah

untuk Tuhan Yesus Kristus yang menjadi

pegangan hidupku, Bunda Maria yang

menguatkanku, Papa Mama tercinta, koko

dan cicikku yang mendoakanku, teman-teman

yang memberi semangat, serta almamaterku

tercinta.

(5)
(6)
(7)

vii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya yang telah diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul “Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol 90% Daun Jarong (Stachytarpheta indica Vahl.) Terhadap Kadar Alanin Aminotransferase dan Aspartat Aminotransferase pada Tikus Jantan Galur Wistar Terinduksi Karbon Tetraklorida” dengan baik.

Dalam penyelesaian skripsi ini, Penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari campur tangan berbagai pihak. Penulis secara tulus hati mengungkapkan rasa terima kasih kepada :

1. Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. dan Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt. selaku Dekan dan Ketua Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma. 2. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah

membimbing dan memberikan saran selama penyusunan skripsi.

3. drh. Sitarina Widyarini, MP., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang telah membimbing, selalu mendampingi, memotivasi, dan memberikan saran selama penyusunan skripsi.

4. Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku Kepala Penanggungjawab Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian ini.

5. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. yang telah bersedia menjadi dosen pembimbing memberikan bantuan dalam determinasi tanaman Stachytarpheta indica Vahl..

(8)

viii

6. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D, Apt. yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan saran.

7. Pak Kayat, Pak Heru, Pak Parjiman, Pak Parlan, dan Pak Bimo selaku laboran laboratorium Fakultas Farmasi yang telah membantu penulis dalam proses pelaksanaan penelitian di laboratorium.

8. Keluargaku tercinta papa, mama, koko, cicik, keluarga besarku yang selalu memberi motivasi, perhatian dan doa demi kelancaran studi dan penyusunan naskah skripsi.

9. Teman-teman seperjuangan Berto, Irest, dan Anna atas segala kerjasama, bantuan dan semangat dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir. 10. Eunike, Indra, Ave, Rina, Abal, Keket, Mike, Budi, Berto dan Ayaga untuk

bantuan dan motivasi yang diberikan.

11. Teman-teman Kos “Puri Phunix” yang memberikan keceriaan dan motivasi. 12. Teman-teman FSM-A 2012, FST-A 2012 dan seluruh angkatan 2012

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama di bidang ilmu Farmasi.

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA . ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xviii ABSTRACT ... xix BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 1. Perumusan Masalah ... 4 2. Keaslian Penelitian ... 4 3. Manfaat Penelitian ... 5 B. Tujuan Penelitian ... 5 1. Tujuan Umum ... 5 2. Tujuan Khusus ... 6

(10)

x

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Jarong ... 7

B. Anatomi dan Fisiologi Hati ... 9

C. Anatomi Hati Tikus ... 12

D. Jenis Kerusakan Hati ... 12

E. Hepatotoksin ... 13

F. Alanin Aminotransferasi (ALT) dan Aspartat Aminotransferase (AST) 14 G. Karbon Tetraklorida ... 14

H. Maserasi ... 15

I. Landasan Teori ... 17

J. Hipotesis ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ... 19

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 19

1. Variabel utama ... 19 2. Variabel pengacau ... 19 3. Definisi operasional ... 20 C. Bahan Penelitian ... 21 1. Bahan utama ... 21 2. Bahan kimia ... 21 D. Alat Penelitian ... 22

E. Tata Cara Penelitian ... 22

(11)

xi

2. Pengumpulan bahan uji ... 22

3. Pembuatan serbuk ... 23

4. Penetapan kadar air serbuk daun jarong... 23

5. Pembuatan ekstrak kental daun jarong ... 23

6. Uji tabung kandungan polifenol ... 24

7. Penetapan dosis ekstrak etanol 90% daun jarong ... 24

8. Pembuatan CMC-Na 1% ... 24

9. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50% ... 25

10. Uji pendahuluan ... 25

a. Penetapan dosis hepatotoksin ... 25

b. Penetapan waktu pencuplikan darah ... 25

11. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji ... 26

12. Pembuatan serum ... 27

13. Pengukuran kadar ALT-AST ... 27

F. Tata Cara Analisis Hasil... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Penyiapan Bahan ... 29

1. Hasil determinasi tanaman ... 29

2. Pembuatan serbuk daun jarong ... 30

3. Penetapan kadar air serbuk daun jarong... 31

B. Pembuatan Ekstrak Etanol 90% daun jarong dan uji polifenol ... 32

C. Uji Pendahuluan ... 35

(12)

xii

2. Penentuan dosis ekstrak etanol 90% daun jarong ... 36

3. Penentuan waktu pencuplikan darah ... 36

D. Hasil Uji Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol 90% Daun Jarong Pada Tikus Terinduksi Karbon Tetraklorida ... 40

1. Kontrol negatif olive oil 2 mL/kgBB ... 44

2. Kontrol hepatotoksin 2 mL/kgBB ... 47

3. Kontrol perlakuan ekstrak etanol 90% daun jarong 400 mg/kgBB . 48 4. Kelompok pra perlakuan ekstrak etanol 90% daun jarong pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida ... 48

E. Rangkuman Pembahasan ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

A. Kesimpulan ... 56

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Purata kadar ALT tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan

dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke 0, 24, dan 48 37 Tabel II. Hasil uji t berpasangan kadar ALT tikus setelah induksi karbon

tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 ... 38 Tabel III. Purata kadar AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan

dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke 0, 24, dan 48 38 Tabel IV. Hasil uji t berpasangan kadar AST tikus setelah induksi karbon

tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 ... 40 Tabel V. Purata ± SE kadar ALT dan AST tikus jantan galur Wistar pada

kelompok perlakuan ... 41 Tabel VI. Hasil uji post hoc Gamez Howell kadar ALT praperlakuan ekstrak

etanol 90% daun jarong pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ... 43 Tabel VII .Hasil uji Kruskal Wallis dan Mann Whitney kadar AST

praperlakuan ekstrak etanol 90% daun jarong pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ... 44 Tabel VII .Purata kadar ALT dan AST tikus setelah pemberian olive oil 2

(14)

xiv

Tabel IX. Hasil uji t berpasangan kadar ALT tikus setelah pemberian olive oil 2 mL/kgBB pada jam ke-0 dan 24... 45 Tabel X. Hasil uji t berpasangan kadar AST tikus setelah pemberian olive oil

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman jarong . ... 7

Gambar 2. Hati... ... 10

Gambar 3. Biotransformasi dan oksidasi karbon tetraklorida ... 15

Gambar 4. Serbuk simplisia daun jarong ... 33

Gambar 5. Ekstrak cair etanol 90% daun jarong ... 33

Gambar 6. Ekstrak kental etanol 90% daun jarong ... 34

Gambar 7. Hasil uji Kualitatif polifenol dalam daun jarong ... 35

Gambar 8. Diagram batang purata kadar ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ... 37

Gambar 9. Diagram batang purata kadar AST pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ... 39

Gambar 10. Diagram batang purata kadar ALT tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan ... 42

Gambar 11. Diagram batang purata kadar AST tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan ... 42 Gambar 12. Diagram batang purata kadar ALT tikus jantan galur Wistar

setelah pemberian olive oil 2 mL/kgBB pada jam ke-0 dan 24 46 Gambar 13. Diagram batang purata kadar AST tikus jantan galur Wistar

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Surat pengesahan Medical and Health Research Ethics

Committee (MHREC) ... 64

Lampiran 2. Surat keterangan penggunaan program IBM SPSS Statistics 22 Lisensi UGM ... 65

Lampiran 3. Hasil determinasi jarong ... 66

Lampiran 4. Surat pengesahan determinasi Stacytarpheta indica Vahl. ... 69

Lampiran 5. Perhitungan efek hepatoprotektif ... 70

Lampiran 6. Perhitungan konversi dosis ekstrak etanol 90% daun jarong (Stachytarpheta indica Vahl.) ... 70

Lampiran 7. Penetapan kadar air serbuk simplisia daun Stachytarpheta indica Vahl ... 71

Lampiran 8. Perhitungan rendemen ekstrak etanol 90% daun jarong ... 73

Lampiran 9. Analisis statistik kadar ALT dan AST pada penetapan waktu pencuplikan darah ... 73

Lampiran 10. Analisis statistik kadar ALT dan AST pada kelompok kontrol olive oil 2 mL/kgBB ... 75

Lampiran 11. Analisis statistik kadar ALT pada perlakuan ekstrak etanol 90% daun jarong (Stachytarpheta indica Vahl.) setelah induksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 77

(17)

xvii

Lampiran 12. Analisis statistik kadar AST pada perlakuan ekstrak etanol 90% daun jarong (Stachytarpheta indica Vahl.) setelah induksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 88

(18)

xviii

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif pemberian ekstrak etanol 90% daun jarong (Stachytarpheta indica Vahl.) terhadap kadar ALT dan AST pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian yang dilakukan adalah eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan tikus jantan galur Wistar sebanyak 30 ekor yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan ± 160-250 gram. Tikus dibagi secara acak ke dalam 6 kelompok perlakuan. Kelompok I (kontrol olive oil) diberi minyak zaitun dosis 2 mL/kgBB. Kelompok II (kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida dalam minyak zaitun dengan perbandingan 1:1 dengan dosis 2 mL/kgBB. Kelompok III (kontrol ekstrak) diberi ekstrak 90% daun S.indica dengan dosis 400 mL/kgBB. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) diberi ekstrak etanol 90% daun Stachytarpheta indica Vahl. dengan dosis bertingkat yakni 100; 200; dan 400 mg/kgBB. Dilakukan pengambilan darah pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan kadar ALT dan AST pada jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida. Data kadar serum ALT dan AST dianalisis menggunakan one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%. Data ALT dilanjutkan dengan posthoc test Games Howell. Data AST dilanjutkan dengan Kruskal-wallis dan Mann-whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak 90% daun Jarong memiliki efek hepatoprotektif. Namun, tidak ada kekerabatan dosis terhadap efek hepatoprotektif yang dihasilkan. Persen efek hepatoprotektif dari dosis rendah ke tinggi adalah 2,47%; 83,33%; 47,22%. Dosis efektif adalah 200 mg/KgBB.

Kata kunci : efek hepatoprotektif, Stachytarpheta indica Vahl., ekstrak etanol 90%, ALT, AST.

(19)

xix

ABSTRACT

This study aims to determine the hepatoprotective activity of 90 % ethanolic extract of jarong leaves (Stachytarpheta indica Vahl.) towards the ALT and AST level of male Wistar rats induced by carbon tetrachloride, effective dose of extract and correlation dose towards hepatoprotective activity.

This study is purely experimental research with randomized complete direct sampling. This study uses 30 male Wistar rats, aged 2-3 months and ± 160-250 gram weight. Rats grouped randomly into six experimental groups. Olive oil was given to I group at dose 2 mL/kgBW as a control of olive oil. Carbon tetrachloride in olive oil (1:1) was given to II group at dose 2 mL/kgBW as a control of hepatotoxin. 90 % ethanolic extract of S.indica Vahl. leaves was given to III group at dose 400 mL/kgBW as a control of extract. 90 % ethanolic extract of Stachytarpheta indica Vahl. leaves was given to IV, V, and VI group at graded doses 100; 200; dan 400 mg/kgBW respectively. Blood withdrawal through the orbital sinus region after 24 hours to analyse ALT and AST level. One way ANOVA test was used to analyse the ALT and AST serum activity with 95% significancy level. ALT level continued with posthoc test Games Howell. AST level continued with Kruskal-wallis and Mann-whitney.

The result of study shown that 90 % ethanolic extract of Stachytarpheta indica Vahl. leaves have the hepatoprotective activity. However, there is no dose correlation towards hepatoprotective activity. The percentages of hepatoprotective activity from the lowest dose to highest dose respectively are 2.47%; 83.33%; 47.22%. The effective dose is 200 mg/kgBW.

Keyword : hepatoprotective activity, Stachytarpheta indica Vahl., 90 % ethanolic extract, ALT, AST.

(20)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dalam tubuh manusia terdapat banyak organ penting salah satunya adalah hati. Hati merupakan organ terbesar didalam tubuh dan letak hati dala rongga abdomen dibawah diafragma (Baradero,2008). Diantara organ vital lainnya, hati memiliki kerja terberat, dimana hati memiliki kerja untuk berhubungan dengan zat-zat yang berbahaya dan tidak diperlukan oleh tubuh sehingga dimungkinkan hati mengalami kerusakan (Marsden,2005). Salah satu bentuk kerusakan hati yang sering dijumpai adalah perlemakan hati (steatosis). Pada perlemakan hati terjadi penumpukan trigliserida dalam bentuk droplet di dalam sitoplasma sel hepatosit (Schattner and Knobler, 2008).

Kasus perlemakan hati merupakan salah satu kasus yang paling sering dijumpai. Berdasarkan penyebabnya, terdapat dua jenis perlemakan hati yaitu perlemakan hati yang diperantarai alkohol dan perlemakan hati yang tidak diperantarai alkohol. Di negara maju dan berkembang saat ini kasus perlemakan hati yang sedang meningkat adalah penyakit hati non-alkoholik atau dikenal dengan Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Prevalensi NAFLD di negara barat pada populasi dewasa sekitar 20-40% dan di beberapa negara Asia sekitar 5% sampai 40% (Sari, 2012).

Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas tinggi yang memiliki 30.000 jenis tumbuhan dan 7.000 diantaranya sebagai tanaman obat (Sampurno, 2003). Jarong merupakan salah satu tumbuhan yang berasal dari benua Amerika

(21)

dan dapat ditemukan di Indonesia (Dharma, 1996). Tumbuhan Jarong secara tradisional digunakan untuk pengobatan diabetes, diare, gangguan hati dan Jantung. Tumbuhan jarong memiliki kandungan flavonoid, terpenoid dan golongan fenolik (Silambujanaki, 2009).

Menurut penelitian Joshi et al., (2010), menjelaskan bahwa daun jarong yang diekstraksi dengan pelarut etanol 96% menggunakan metode sokletasi mengandung karbohidrat, glikosida, dan alkaloid. Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa ekstrak etanol daun jarong memiliki efek hepatoprotektif karena adanya kandungan flavonoid. Menurut penelitian Gayatri et al., (2011), menjelaskan bahwa herba jarong mengandung flavonoid yang menimbulkan efek hepatoprotektif. Selain itu, rebusan daun jarong sebagai obat tradisional memiliki efek untuk mengobati penyakit hati (Dalimartha, 2000).

Flavonoid merupakan salah satu komponen dari tanaman yang dapat melindung hati. Flavonoid mampu meningkatkan kelangsungan hidup sel hepatosit dan menghambat terjadinya pelepasan alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) serum sel hepatosit yang disebabkan oleh karbon tetraklorida (Gayatri et al., 2011). Flavonoid merupakan golongan fenolik yang memiliki sifat polar dan mudah tersari dengan pelarut yang memiliki kepolaran sama yaitu etanol (Joshi et al., 2010).

Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah maserasi. Metode ekstraksi ini berbeda dengan dua penelitian yang dilakukan oleh Joshi et al., (2010) dan Gayatri et al., (2011). Alasan pemilihan metode maserasi karena maserasi memiliki beberapa keunggulan di antaranya tidak sulit dalam

(22)

pengerjaan, biaya yang dikeluarkan terjangkau, alat yang digunakan sederhana. Selain itu, maserasi juga lebih bagus untuk senyawa yang tidak tahan panas bila dibandingkan dengan dengan sokletasi karena proses ekstraksi maserasi tidak melibatkan panas (Istiqomah, 2013).

Pada penelitian ini digunakan karbon tetraklorida sebagai agen perusak hati (hepatotoksin). CCl4 merupakan senyawa model yang dapat mengakibatkan perlemakan (steatotis) dan nekrosis pada hepar (Timbrell, 2009). Di dalam tubuh CCl4 akan diubah menjadi radikal bebas CCl3 oleh enzim mikrosomal yang terdapat di hati (sitokrom P450) sehingga memicu terjadinya peroksidasi lipid (Adewole et al., 2007). Terjadinya peroksidasi lipid yang merusak sel dapat menyebabkan hepatotoksisitas dan gagal hati kongestif (Khan, Khan and Sahreen, 2012).

Berdasarkan pemaparan diatas, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh efek hepatoprotektif pemberian ekstrak etanol 90% daun jarong (Stachytarpheta indica (L.) Vahl.) terhadap kadar AST-ALT pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Pada penelitian ini pemberian ekstrak diberikan dalam jangka waktu enam jam mengacu pada penelitian yang dilakukan Balrianan, (2015). Penelitian ini adalah penelitian payung (dalam tim) sehingga pelarut yang digunakan adalah etanol 90%.

1. Perumusan masalah

a. Apakah pemberian ekstrak etanol 90% daun jarong mempunyai efek hepatoprotektif dengan menurunkan kadar AST-ALT pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida?

(23)

b. Berapakah dosis efektif pemberian ekstrak etanol 90% daun jarong yang memberikan efek hepaprotektif pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida?

c. Apakah ada kekerabatan antara dosis pemberian ekstrak etanol 90% daun jarong dengan kadar ALT-AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian menggunakan tanaman Stachytarpheta indica Vahl. pernah dilakukan oleh :

a. Joshi et al. (2010) yang melakukan penelitian tentang skrining ekstrak etanol 96% daun Stacytarpheta indica Vahl. Metode ekstraksi yang digunakan adalah sokletasi dengan menggunakan beberapa pelarut berdasarkan peningkatan polaritas.Uji efek hepatoprotektif ini dilakukan dengan menggunakan kontrol positif liv 52 (obat herbal dari the Himalaya Drug Company) dengan penginduksi karbon tetraklorida dalam jangka waktu penelitian 10 hari.

b. Gayatri et al. (2011) melakukan penelitian tentang aktivitas hepatoprotektif ekstrak etanol 96% herba Stachytarpheta indica Vahl. Metode yang digunakan adalah sokletasi. Uji aktivitas hepatoprotektif dilakukan dalam jangka waktu tujuh hari.

c. Sahoo et al. (2014) yang melaporkan mengenai aktivitas antioksidan dari ekstrak metanol Stacytarpheta indica Vahl. dengan menggunakan metode DPPH.

(24)

Berdasarkan jurnal penelitian diatas maka penelitian efek hepatoprotektif ekstrak etanol 90% daun Stachytarpheta indica Vahl. dengan metode ekstraksi maserasi belum pernah dilakukan.

1. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoretis. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terkait ilmu pengetahuan khususnya bidang kefarmasian mengenai pengaruh ekstrak etanol 90% daun jarong sebagai hepaprotektor.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terkait dosis efektif ekstrak etanol 90% daun jarong bagi masyarakat khususnya sebagai hepatoprotektif.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui efek hepatoprotektif pemberian ekstrak etanol 90% daun jarong terhadap kadar ALT dan AST pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui efek hepatoprotektif ekstrak etanol 90% daun jarong terhadap penurunan kadar ALT-AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

b. Mengetahui dosis efektif ekstrak etanol 90% daun jarong terhadap kadar ALT-AST yang dapat memberikan efek hepatoprotektif pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

(25)

c. Mengetahui ada tidaknya kekerabatan antara dosis pemberian ekstrak etanol 90% daun jarong. dengan kadar ALT-AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

(26)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Jarong (Stachytarpheta indica (L.)Vahl.)

Tumbuhan jarong berasal dari bagian benua Amerika yang beriklim panas dan dapat ditemukan di Indo-Cina, Semenanjung Malaka, dan Indonesia (Dharma, 1996). Jarong merupakan jenis tumbuhan liar yang berbunga sepanjang tahun dan dapat tumbuh di tempat-tempat teduh dengan ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut (Maradjo, 1985). Foto jarong dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Tanaman Jarong (Dokumentasi pribadi, 2015)

Jarong mengandung senyawa kimia berupa terpenoid, glikosida, dan flavonoid (Chowdhury, 2003). Secara tradisional tumbuhan ini dapat digunakan untuk mengobati penyakit kencing nanah, berak darah, amandel,

(27)

disentri, ambeien, haid tidak teratur, nifas, luka memar, bisul (Soedibyo, 1998), rematik hepatitis A (Dalimartha, 2001), pembersih darah, anti radang, dan diuretika (Dalimartha, 2000).

1. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Lamiales

Famili : Verbenaceae Genus : Stachytarpheta

Spesies : Stachytarpheta indica Vahl. Sinonim Nama ilmiah :

Spesies : Stachytarpheta indica (L.)Vahl.

(Plantamor, 2012).

2. Nama asing

Gajihan (Malaysia), ratstail (Filipina), yu long bian (China) (Plantamor, 2012).

3. Nama daerah

Jarong memiliki nama yang berbeda untuk daerah yang berbeda. Beberapa diantaranya, yaitu remek getih, ngadi rengga (Jawa), jarongan, jarong

(28)

lelaki (Jakarta), jarong lelaki, pecut kuda (Sunda), rum jarum, roem jharum (Madura), selasih hutan (Sumatera) (Dharma, 1996; Soedibyo, 1998).

4. Morfologi

Stachytarpheta indica Vahl. merupakan rumput-rumputan yang tegak, tinggi 0,3-0,9 m dengan daun berhadap-hadapan, bertangkai sangat panjang, berbentuk elips memanjang atau bulat telur, dengan kaki yang menyempit demi sedikit, di atas bagian kaki yang bertepi rata berigigi beringgit, berambut jarang atau tidak yang ukurannya 4-9 cm dan 2,5-5 cm. Bulir bertangkai, dengan ukuran 15-30 cm. Daun pelindung menempel kuat pada kelopak, bertepi lebar serupa selaput. Kelopak bergigi empat, panjang 0,5 cm. Tabung dasar bunga berbentuk bantal. Buah berbentuk garis baji, panjang 0,5 cm, pecah dalam 2 kendaga. Terutama di daerah dengan musim kemarau yang tegas, di tempat yang cerah atau sedikit, 1-1,250 m (Flora, 1992).

B. Anatomi dan Fisiologi Hati

Hati merupakan organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Dengan bobot sekitar 2 kg. Hati mempunyai tugas yang penting yang rumit deni kelangsungan seluruh fungsi kesehatan tubuh. Organ hati terletak dalam rongga abdomen dibawah diafragma. Unsur struktural utama hati adalah sel-sel hati atau hepatosit. Sel-sel ini berkelompok dalam lempeng-lempeng yang saling berhubungan sedemikian rupa, membentuk bangunan yang disebut lobules hati (Junqueira et al., 1998). Anatomi hati dapt dilihat pada gambar 2.

(29)

Gambar 2. Anatomi Hati (Baradero et al..,2008)

Hati mempunyai fungsi utama sebagai pusat metabolisme tubuh. Beberapa kadar hati dalam regulasi metabolisme adalah sebagai berikut:

a. Metabolisme karbohidrat. Kadar gula darah dapat distabilkan oleh hati. Hepatosit dapat memecah glikogen dan mengeluarkan glukosa ke aliran darah serta mensintesis glukosa dari asam amino yang tersedia, jika kadar gula darah menurun. Sintesis glukosa dari komponen lain disebut juga glukoneogenesis. Saat tubuh kekurangan gula darah, cadangan glikogen yang disimpan dalam hati akan diubah menjadi glukosa baru dengan memecah gilkogen (Martini, 2004).

b. Metabolisme lipid. Apabila kadar trigliserida, asam lemak, dan kolestrol menurun, hati aka memecah cadangan lipid dan akan dikeluarkan ke alira darah. Trigliserida yang ada dalam tubuh nantinya akan menjadi asam lemak untuk cadangan energi (Martini, 2004).

c. Metabolisme asam amino. Hepar dapat menurunkan peningkatan jumLah asam amino dalam sirkulasi darah. Kegunaan asam amino untuk

(30)

mensintesis protein dan dapat diubah menjadi glukosa atau lipid untuk cadangan energi (Martini, 2004).

d. Detoksifikasi. Hepar berperan dalam menghilangkan zat-zat endogen dan eksogen yang dapat merugikan tubuh. Kerusakan pada hepar menandakan efek toksik dari zat-zat tersebut tidak dapat didetoksifikasi (Baradero et al.., 2008).

e. Penyimpanan mineral. Hati dapat mengubah cadangan besi menjadi ferritin dan protein ion kompleksnya dapat disimpan (Martini, 2004).

f. Penyimpanan vitamin. Vitamin A, D, E, dan K yang dapat larut dalam lemak dapat diabsorbsi dari darah dan disimpan di dalam hepar (Martini, 2004).

g. Inaktivasi obat. Hepar dapat menghilangkan dan memecah sirkulasi obat tanpa menurunkan durasi dari efeknya (Martini, 2004). Hati secara keseluruhan tertutup oleh dinding thorax. Hati mempunyai dua facies (permukaan), yaitu facies diaphragmatica dan facies visceralis. Facies diaphragmatica memiliki dua bagian, yaitu anterior dan posterior, yang terletak di sisi atas dengan bentuk yang menyesuaikan lengkung diafragma dan memiliki tekstur permukaan halus. Facies visceralis menghadap ke bawah dan ke belakang dengan garis horizontal yang membentang yang dinamakan porta hepatis (Wibowo dan Paryana, 2009).

(31)

C. Anatomi Hati Tikus

Tikus memiliki hati yang terdiri dari empat lobus utama yang saling berhubungan di sebelah belakang. Lobus tengah dibagi menjadi kanan dan kiri oleh bifurcatio yang dalam. Lobus sebelah kiri tidak terbagi sedangkan lobus sebelah kanan terbagi secara horizontal menjadi bagian anterior dan posterior. Lobus belakang terdiri dari dua lobus berbentuk daun yang berada di sebelah dorsal dan ventral dari oesophagus sebuah kurvatura dari lambung. Lobus hati tikus dibagi menjadi tiga zona yang terdiri dari zona 1, zona 2, dan zona 3 yang sama dengan area periportal, midzona, dan centrilobular. Tikus tidak mempunyai kantung empedu. Struktur dan komponen hati tikus mirip dengan struktur hati manusia (Hebel, 1989).

D. Jenis Kerusakan Hati

Ada beberapa jenis kerusakan hati yang dapat terjadi sebagai akibat dari efek toksik yang dihasilkan oleh toksikan, antara lain :

1. Steatosis

Steatosis merupakan suatu keadaan di mana hati mengandung lipid dengan berat lebih dari 5%. Lesi yang terbentuk biasanya dapat bersifat akut, seperti yang ditimbulkan oleh etionin, fosfor, atau tetrasiklin (Lu, 1995).

2. Nekrosis

Nekrosis merupakan suatu keadaan hati yang ditandai dengan kematian dari hepatosit yang termasuk dalam kerusakan akut. Karbon tetraklorida adalah salah satu toksikan yang sering menyebabkan nekrosis pada hati (Lu, 1995).

(32)

3. Kolestasis

Kolestasis adalah salah satu jenis kerusakan hati yang bersifat akut dan jarang ditemukan (Lu, 1995). Kolestasis ditandai dengan adanya penekanan atau penghentian aliran empedu yang disebabkan oleh faktor dalam atau pun luar hati (Hodgson, 2010).

4. Sirosis

Sirosis merupakan hepatotoksisitas yang ditandai dengan adanya kolagen di seluruh hati yang mengakibatkan terbentuknya jaringan parut. Penyebab utama terjadinya sirosis hati adalah konsumsi kronis dari minuman beralkohol (Lu, 1995).

E. Hepatotoksin

Klasifikasi hepatotoksisitas secara primer didasarkan pada pola kejadian dan morfologi histopatologi. Hepatoksisitas intrinsik merupakan hepatotoksisitas yang umum terjadi, bergantung pada dosis, dan dapat dilihat pada manusia serta hewan uji. Hepatotoksisitas idiosinkratik ditunjukkan pada perubahan metabolisme yang ditemukan pada gen pemetabolisme (Hodgson, 2010). Pada hepatotoksik intrinsik bergantung pada dosis sublethal (Roth dan Ganey, 2010).

Hepatotoksisitas idiosinkratik dibagi menjadi dua yaitu alergi dan non alergi. Reaksi idiosinkratik alergi melibatkan partisipasi sistem imun adaptif, sedangkan reaksi idiosinkratik non alergi dibedakan berdasarkan ada tidaknya hipersensitivitas. Hepatotoksik idiosinkratik hanya dapat terjadi pada sebagian

(33)

kecil individu yang terpapar suatu obat, faktor lingkungan dan genetik sangat mempengaruhi (Kaplowitz, 2005).

F. Alanin Aminotransferase (ALT) dan Aspartat Aminotransferase (AST)

Dua uji yang sering dilakukan untuk mengetahui penyakit hati adalah melihat peningkatan kadar ALT dan AST. Ketika sel hati mati, maka ALT dan AST akan dilepaskan ke dalam aliran darah. Kadar ALT dan AST orang sehat adalah dibawah 30 (Montanarelli, 2007).

Enzim ALT dan AST merupakan enzim pada serum yang dapat menjadi indikator untuk kerusakan hati, perubahan fungsi hati atau adanya toksisitas pada hati (Edem dan Akpanabiatu, 2006). AST menjadi perantara reaksi antara asam aspartat dan asam alfaketoglutamat sedangkan ALT memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam ketoglutamat (Sacher dan McPherson, 2004). Enzim ALT lebih spesifik untuk organ hati karena proporsinya paling banyak berada pada organ ini dibanding organ tubuh lainnya (Edem dan Akpanabiatu, 2006). Hastuti (2008) menyebutkan bahwa rentang nilai ALT tikus berada pada kisara 29,8-77,0 U/L.

G. Karbon Tetraklorida

Karbon tetraklorida merupakan senyawa model yang dapat mengakibatkan perlemakan (steatotis) dan nekrosis pada hepar (Timbrell, 2009). Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan senyawa kimia yang bersifat lebih ekstensif dalam merusak hepar jika dibandingkan senyawa kimia lainnya. CCl4

(34)

dikonversi menjadi radikal triklormetil (CCl3·) dan kemudian diubah menjadi radikal triklorometilperoksi (CC3O2·) yang bersifat lebih reaktif. Nekrosis yang terjadi karena CCl4 paling parah terjadi pada centrilobular sel hati yang banyak mengandung isozim CYP dalam konsentrasi tinggi yang bertanggung jawab mengaktifkan CCl4 (Hodgson, 2010). Biotransformasi dan oksidasi dari karbon tetraklorida dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Biotransformasi dan oksidasi karbon tetraklorida (Duffus, 1996)

H. Maserasi

Maserasi merupakan metode ekstraksi sederhana dengan cara merendam simplisia dari tanaman dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup dengan suhu kamar. Pengadukan dalam maserasi dapat menggunakan shaker atau mixer untuk menjamin pencampuran yang homogen, selain itu dengan menggunakan alat tersebut dapat mempercepat terjadinya eksraksi. Ekstraksi berhenti ketika terjadi kesetimbangan konsentrasi metabolit (Sarker et al., 2006). Jika tidak

(35)

dinyatakan lain, maserasi menggunakan etanol 70% P. Semua hasil maserasi yaiut maserat diuapkan untuk mendapatkan ekstrak kental (Badan POM, 2009).

Dalam proses ekstraksi, terjadi peristiwa difusi pelarut ke dalam sel bahan. Pelarut yang masuk ke dalam sel bahan tersebut akan melarutkan senyawa bila kelarutan senyawa yang diekstrak sama dengan pelarut. Dengan cara tersebut akan tercapai kesetimbangan antara zat terlarut dan pelarut. Pengeluaran bahan aktif dari serbuk bahan tergantung kepada laju difusi subtansi dari serbuk bahan ke dalam pelarut, waktu kontak dan laju pelarut menembus serbuk bahan (Bombardelli, 1991).

I. Landasan Teori

Organ hati merupakan organ sekaligus kelenjar terbesar didalam tubuh yang memproduksi empedu dan juga mengeluarkan hasil produksi dari makanan yang sudah dicerna (Wibowo dan Paryana, 2009). Tikus memiliki hati yang terdiri dari empat lobus utama yang saling berhubungan di sebelah belakang. Tikus tidak mempunyai kantung empedu. Struktur dan komponen hati tikus mirip dengan manusia (Hebel, 1989).

Beberapa kerusakan hati akibat efek toksik yaitu steatosis, nekrosis, kolestasis, dan Sirosis (Lu, 1995). Klasifikasi hepatotoksisitas secara primer didasarkan pada pola kejadian dan morfologi histopatologi. Hepatoksisitas intrinsik merupakan hepatotoksisitas yang umum terjadi, bergantung pada dosis, dan dapat dilihat pada manusia serta hewan uji. Hepatotoksisitas idiosinkratik ditunjukkan pada perubahan metabolisme yang ditemukan pada gen

(36)

pemetabolisme (Hodgson, 2010). Hepatotoksik idiosinkratik hanya dapat terjadi pada sebagian kecil individu yang terpapar suatu obat, faktor lingkungan dan genetik sangat mempengaruhi (Kaplowitz, 2005).

Pada peneltian ini digunakan senyawa model CCl4. Senyawa model CCl4 merupakan Salah satu senyawa hepatotoksin (Sentra Informasi Keracunan Nasional, 2010). Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan senyawa kimia yang bersifat lebih ekstensif dalam merusak hepar jika dibandingkan senyawa kimia lainnya. CCl4 dikonversi menjadi radikal triklormetil (CCl3·) dan kemudian diubah menjadi radikal triklorometilperoksi (CC3O2·) yang bersifat lebih reaktif (Hodgson, 2010). Untuk mengetahui terjadinya penyakit hati adalah melihat peningkatan kadar ALT dan AST. Ketika sel hati mati, maka ALT dan AST akan dilepaskan ke dalam aliran darah (Montanarelli, 2007).

Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah maserasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi sederhana dengan cara merendam simplisia yang berasal dari tanaman dengan pelarut yang sesuai. Metode ini bagus untuk senyawa yang tidak tahan suhu tinggi (Sarker et al., 2006).

Oleh karena itu diperlukan suatu senyawa untuk melindungi hati dari senyawa yang toksik. Salah satu senyawa yang dapat digunakan adalah senyawa flavonoid. Senyawa flavonoid hampir terdapat pada semua tanaman, salah satunya adalah tanaman jarong (Chowdhury, 2003). Jarong memiliki efek hepatoprotektif pada bagian daun (Joshi et al., 2010) dan herbanya (Gayatri et al., 2011) karena terdapat kandungan flavonoid didalamnya. Berdasarkan pemaparan diatas, perlu

(37)

dilakukan penelitian untuk mengetahui efek hepatoprotektif eksktrak etanol 90% daun jarong pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

J. Hipotesis

Ekstrak etanol 90% daun jarong (Stachytarpheta indica Vahl.) memiliki efek hepatoprotektif dengan menurunkan kadar ALT-AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

(38)

19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai efek hepatoprotektif ekstrak etanol 90% daun jarong terhadap kadar ALT-AST pada tikus jantang galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel utama

a. Variabel bebas. Variabel bebas penelitian ini adalah variasi dosis dalam ekstrak etanol 90% daun jarong.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung penelitian ini adalah nilai kadar ALT-AST tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida setelah pemberian ekstrak etanol 90% daun jarong.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali. Hewan uji yang digunakan, yaitu tikus jantan galur Wistar yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 160-250 g, cara pemejanan senyawa, cara pemberian ekstrak secara per oral, frekuensi waktu pemberian ekstrak, dan letak pengambilan daun

(39)

b. Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali adalah Kondisi patologis dari tikus jantan galur Wistar.

3. Definisi operasional

a. Daun Stachytarpheta indica. Daun Stachytarpheta indica yang diambil dari tanaman Stachytarpheta indica adalah daun yang berwarna hijau, segar, dan tidak rusak. Daun diambil ketika tanaman sudah memiliki bunga dan berada dibagian tengah tumbuhan yaitu sekitar tiga daun dari atas dan tiga daun dari dasar tumbuhan (Purwantisari, 2014). b. Ekstrak etanol 90% daun Stachytarpheta indica. Ekstrak etanol 90% daun Stachytarpheta indica didapatkan dengan cara merendam (memaserasi) simplisia kering daun jarong ke dalam etanol 90% kemudian dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator dan diuapkan dengan waterbath hingga bobot tetap.

c. Efek hepatoprotektif. Efek hepatoprotektif merupakan kemampuan ekstrak Stachytarpheta indica dengan dosis tertentu yang diberikan dengan dosis tertentu yang melindungi hati dengan cara menurunkan kadar ALT-AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

d. Waktu pengukuran efek hepatoprotektif. Didefinisikan sebagai selang waktu enam jam pemberian ekstrak etanol daun jarong kepada hewan uji, kemudian dipejankan CCl4 dan 24 jam setelah pemejanan CCl4 dilakukan pengukuran ALT-AST.

(40)

e. Dosis efektif. Didefinisikan sebagai sejumlah miligram per kilogram berat badan (mg/kgBB) ekstrak etanol daun jarong yang memiliki % hepatoprotektif yang paling mendekati 100% bila dihitung dari kadar ALT.

f. ALT-AST. ALT-AST adalah enzim yang ditemukan di dalam serum, yang mengindikasikan adanya kerusakan fungsi hati.

C. Bahan Penelitian

1. Bahan utama

a. Hewan uji. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan galur Wistar yang berusia 2-3 bulan dengan berat badan 160-250 g yang diperoleh dari daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. b. Bahan uji. Bahan uji yang digunakan yaitu serbuk daun Stachytarpheta indica yang diperoleh dari kebun Tanaman obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Daun dipanen pada bulan Juli-Agustus.

2. Bahan kimia

a. Hepatotoksin. Karbon Tetraklorida (p.a) bermerek Merck®. b. Kontrol negatif. Olive oil bermerek Cesar.

c. Pelarut ekstrak. Pelarut ekstrak yang digunakan adalah etanol 96% dan aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

(41)

d. Pelarut hepatotoksin. Pelarut hepatotoksin adalah olive oil bermerek Cesar.

e. Reagen ALT dan AST. Reagen yang digunakan adalah reagen ALT DiaSys dan reagen AST DiaSys.

D. Alat Penelitian

1. Alat preparasi dan pembuatan ekstrak etanol daun Stachytarpheta Indica

Moisture balance, cawan porselen, panci enamel, termometer, stopwatch, gelas Beaker, gelas ukur, batang pengaduk, penangas air, timbangan analitik, dan kain flannel.

2. Alat pengujian hepatoprotektif

Gelas Beaker, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, pipet tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass®), timbangan analitik (Mettler Toledo®), vortex (Genie Wilten®), spuit injeksi per oral untuk tikus, spuit injeksi intraperitonial, pipa kapiler, tabung Eppendorf, Sentrifuge, Microvitalab 200 Merck®, Blue tip, dan Yellow tip.

E. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi tanaman jarong

Tanaman jarong yang diperoleh dari kebun obat kampus III Universitas Sanata Dharma, Paingan, Maguwoharjo. Tanaman jarong dideterminasi dengan mencocokkan morfologi tanaman jarong mengacu pada Steenis, (1992).

(42)

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan uji yang dipilih adalah daun dari tanaman jarong yang hijau, segar, dan tidak rusak. Daun diperoleh dari tanaman jarong yang berada di Kebun Tanaman Obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

3. Pembuatan serbuk

Daun jarong disortasi dan dicuci bersih dengan air mengalir. Setelah bersih, daun diangin-anginkan hingga tidak tampak basah kemudian dilakukan pengeringan menggunakan oven pada suhu 40oC selama 48 jam. Setelah benar-benar kering, simplisia daun diserbuk dan diayak menggunakan ayakan nomor 40 supaya kandungan fitokimia dalam daun jarong lebih mudah terekstrak karena luas permukaan serbuk yang kontak dengan pelarut semakin besar.

4. Penetapan kadar air serbuk daun jarong

Serbuk daun jarong dimasukkan ke dalam alat moisture balance sebanyak 5 g, lalu diratakan. Bobot serbuk tersebut ditetapkan sebagai bobot sebelum pemanasan, setelah itu dipanaskan pada suhu 105oC. Serbuk yang telah dipanaskan ditimbang kembali lalu dihitung sebagai bobot setelah pemanasan. Pengukuran kadar air dilakukan replikasi sebanyak tiga kali. Menurut BPOM RI Kadar air serbuk diperoleh menggunakan rumus:

5. Pembuatan ekstrak kental daun jarong

Metode yang digunakan dalam pembuatan ekstrak kental adalah dengan memaserasi Serbuk daun jarong dengan etanol 90%. Ekstrak cair yang diperoleh diuapkan dengan vacuum rotary evaporator selanjutnya diuapkan kembali dalam

(43)

cawan porselen di atas waterbath sehingga didapatkan ekstrak kental dengan bobot tetap. Pembuatan ekstrak dilakukan replikasi tiga kali. Menurut Farmakope Herbal Indonesia, ekstrak kental diperoleh ketika bobot tetap tercapai, yakni apabila perbedaan dua kali penimbangan berturut-turut setelah dikeringkan selama 1 jam tidak melebihi 0,5 mg pada penimbangan dengan menggunakan timbangan analitik.

6. Uji tabung kandungan polifenol

Uji kandungan polifenol dilakukan pada Serbuk daun jarong yang telah diuji kadar airnya. Uji dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes larutan FeCl3 pada ekstrak cair. Terbentuknya warna hijau-biru menunjukkan hasil positif adanya polifenol (Simaremare, 2014).

7. Penetapan dosis ekstrak etanol daun jarong.

Dasar penetapan peringkat dosis adalah bobot tertinggi tikus dan pemberian secara peroral separuhnya yaitu 2,5 mL. Penetapan dosis tertinggi ekstrak etanol daun jarong. adalah:

D x BB = C x V

D x BB tertinggi tikus (kgBB) = C ekstrak (mg/mL) x 0,5 Vmax (2,5 mL) D = x mg/kg BB

Keterangan: D= Dosis ekstrak C= Konsentrasi ekstrak V= Volume pemberian

Terdapat tiga peringkat dosis, dua dosis didapatkan dengan menurunkan 2 kalinya dari dosis tertinggi.

(44)

8. Pembuatan CMC-Na 1%

CMC-Na 1% dibuat dengan mendispersikan lebih kurang 1,0 g CMC-Na yang telah ditimbang secara saksama, kemudian dilarutkan dengan 100 mL aquadest. CMC-Na yang dibuat digunakan untuk melarutkan ekstrak kental etanol 90% daun jarong.

9. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50%

Larutan karbon tetraklorida dibuat dengan melarutkan cairan karbon tetraklorida (p.a) dalam olive oil dengan perbandingan volume karbon tetraklorida dan olive oil yakni 1:1 atau konsentrasi 50%. Pembuatan karbon tetraklorida mengacu pada penelitian Janakat dan Al-Merie (2002).

10. Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis hepatoksik. Penetapan dosis hepatotoksin dilakukan mengacu penelitian yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) yang menyebutkan bahwa dosis hepatotoksin karbon tetraklorida pada perbandingan CCl4 dengan volume olive oil (1:1) yang digunakan untuk menginduksi kerusakan hati tikus jantan galur Wistar adalah 2 mL/kgBB.

b. Penetapan waktu pencuplikan darah. Penetapan Waktu pencuplikan darah dilakukan dengan cara orientasi pada tiga kelompok perlakuan waktu, yakni pada waktu ke- 0, 24, dan 48 jam. Kemudian diukur kenaikan kadar AST-ALT. Menurut Janakat dan Al-Merie (2002), terjadi peningkatan kadar ALT pada tikus yang terinduksi karbon

(45)

tetraklorida yang dilarutkan dalam olive oil dengan perbandingan (1:1), yakni dengan dosis 2 mL/kgBB.

11. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji

Tikus jantan galur Wistar yang digunakan sebagai hewan uji adalah sebanyak 30 ekor yang dibagi kedalam enam kelompok secara acak sama banyak. Kelompok I merupakan kelompok kontrol hepatotoksin yang diberi larutan karbon tetraklorida dalam olive oil (1:1) dengan dosis 2 mL/kgBB secara i.p. kemudian setelah 24 jam pemberian hepatotoksin dilakukan pengukuran kadar ALT dan AST. Pada Kelompok II (kelompok kontrol negatif) diberi olive oil dosis 2 mL/kgBB secara i.p. Dilakukan pengukuran kadar ALT dan AST pada jam ke-0 sebelum diberi olive oil dan jam ke-24 setelah diberi olive oil. Kelompok III (kelompok kontrol ekstrak etanol) yakni diberi ekstrak etanol 90% daun Stachytarpheta indica (L.) Vahl. dengan dosis ekstrak 400mg/kgBB secara peroral. Kemudian setelah enam jam pemberian ekstrak dilakukan pengukuran kadar ALT dan AST. Kelompok IV-VI (kelompok perlakuan uji yang diberikan ekstrak etanol daun Stachytarpheta indica (L.) Vahl. Dengan dosis bertingkat yakni 100; 200; dan 400 mg/kgBB kemudian enam jam setelah pemberian ekstrak etanol 90% dilakukan induksi dengan karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara i.p. (Janakat dan Al-Merie, 2002). Dilakukan pengambilan darah pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan kadar ALT dan AST pada jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida.

(46)

12. Pembuatan serum

Darah yang diambil dari sinus orbitalis mata tikus kemudian ditampung dalam tabung eppendrof dan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 15 menit. Bagian supernatannya diambil menggunakan mikro pipet dan kemudian ditampung kedalam tabung eppendrof berbeda untuk kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 8.000 rpm selama 10 menit. Kemudian dilakukan pengukuran terhadap kadar AST-ALT-nya (Kuncoro, 2015).

13. Pengukuran kadar ALT-AST

Tahap analisis ALT dilakukan dengan mengambil sejumlah 100 µL serum dicampurkan dengan 1000 µL reagen I dan divortex selama 5 detik. Campuran didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur dengan 250 µL reagen II dan divortex selama 5 detik. Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit berselang dari pemberian reagen II. Tahap analisis AST dilakukan dengan cara yang sama, yakni dengan mengambil sejumLah 100 µL serum dicampurkan dengan 1000 µL reagen I dan divortex selama 5 detik. Campuran didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur dengan 250 µL reagen II dan divortex selama 5 detik. Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit berselang dari pemberian reagen II. kadar ALT dan AST dinyatakan dalam satuan U/L. Kadar enzim yang terjadi diukur pada panjang gelombang 340 nm, pada suhu 37ºC. Pengukuran kadar ALT-AST dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Kuncoro, 2015).

(47)

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data kadar dari ALT dan AST serum diperoleh dilakukan analisis untuk mengetahui apakah terdistribusi normal atau tidak yaitu dengan Shapiro Wilk (karena sampel di bawah 50). Selanjutnya dilakukan uji Levene’s test untuk mengetahui homogenitas varian data antar kelompok sebagai syarat parametrik. Apabila hasil yang diperoleh distribusi normal, kemudian dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan dari masing-masing kelompok. Di lakukan Post Hoc Tukey untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antara masing-masing kelompok untuk data berdistribusi normal dan variansi homogen. Jika data yang diperoleh berdistribusi normal dan variansi tidak homogen maka dilakukan Post Hoc Games Howell untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antara masing-masing kelompok untuk data. Perbedaan dikatakan bermakna (signifikan) bila memiliki nilai p<0.05, sedangkan tidak bermakna (tidak signifikan) bila p>0,05.

Bila data kadar ALT dan AST yang diperoleh tidak normal, maka dilakukan uji Kruskall-Wallis. Selanjutnya dilakukan uji Mann-Whitney untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antar kelompok. Perbedaan dikatakan bermakna (signifikan) bila memiliki nilai p<0,05, sedangkan tidak bermakna (tidak signifikan) bila p>0,05. Perhitungan persen efek hepatoprotektif terhadap hepatotoksin karbon tetraklorida diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

( ) ( )

( ) (Wakchaure, Jain, Singhai, and Somani, 2011).

(48)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun jarong dengan pelarut 90% dan kekerabatan antar dosis yang diberikan terhadap kadar ALT-AST serta mengetahui besar dosis efektif hepatoprotektif dari ekstrak etanol daun jarong 90% pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida. Pengamatan dilakukan dengan Pemberian ekstrak dilakukan dalam kurun waktu enam jam kemudian dipejankan karbon tetraklorida dan pada jam ke 24 setelah pemejanan karbon tetraklorida diukur kadar ALT-AST. Penurunan kadar ALT-AST pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida setelah pemberian ekstrak etanol 90% daun jarong menunjukkan bahwa terdapat efek hepatoprotektif.

Pengamatan hasil penelitian ini dapat tercapai meliputi determinasi tanaman daun Jarong, penetapan kadar air serbuk kering daun Jarong, penentuan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida, penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji, uji kontrol negatif olive oil, uji kontrol ekstrak daun Jarong, uji efek hepatoprotektif ekstrak etanol 90% daun Jarong dengan dosis : 100, 200 dan 400 mg/kgBB.

A. Penyiapan Bahan

1. Determinasi Tanaman

Tujuan dari determinasi tanaman adalah untuk memastikan bahwa bagian tanaman yang digunakan dalam penelitian merupakan daun jarong. Daun yang

(49)

digunakan pada penelitian ini diambil dari kebun Tanaman Obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Determinasi tanaman tersebut dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Buku acuan yang digunakan untuk melakukan determinasi adalah buku acuan menurut Van steenis, (1992). Bagian tanaman yang dilakukan determinasi adalah bagian daun. Determinasi bagian daun dilakukan dengan mencocokkan kesamaan ciri daun tanaman hingga tingkat spesies. Hasil dari determinasi membuktikan bahwa daun yang digunakan adalah benar merupakan serbuk daun jarong. Hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 3 dan 4.

2. Pembuatan serbuk daun jarong

Langkah awal yang dilakukan dalam pembuatan serbuk daun jarong adalah dengan pemanenan daun, kemudian sortasi dan dilanjutkan pencucian sesuai dengan kaidah pembuatan simplisia. Tujuan dari sortasi untuk memilah daun agar daun yang digunakan adalah daun yang hijau dan tidak berlubang. Tujuan pencucian supaya daun yang diperoleh bebas dari kotoran makroskopik seperti debu ataupun bagian tanaman yang lain. Selanjutnya daun dikeringkan, pengeringan dilakukan dengan penutupan kain hitam agar tidak langsung terkena sinar matahari. Tujuan dari penutupan kain hitam adalah mencegah rusaknya kandungan kimia daun karena terpapar sinar UV langsung (Soegihardjo, 2013). Pengeringan dibawah sinar matahari dilakukan hingga daun tidak lagi basah, kemudian dipindahkan ke dalam oven bersuhu 40oC agar proses pengeringan lebih cepat dan suhunya terkontrol. Menurut Farmakope Herbal Indonesia, suhu

(50)

pengeringan simplisa dilakukan pada tidak boleh melebihi 60oC. Daun yang telah benar-benar kering ditunjukkan dengan mudah hancur pada saat diremas. Daun diserbukkan menggunakan penyerbuk dan disaring menggunakan pengayak dengan nomor mesh 40. Proses pembuatan serbuk simplisia ini sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Farmakope Herbal Indonesia. Hasil pembuatan serbuk simplisia dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Serbuk simplisia daun jarong

3. Penetapan kadar air serbuk daun jarong

Penetapan kadar air serbuk daun jarong bertujuan untuk mengetahui kadar air dalam serbuk daun jarong. Hasil pengukuran kadar air tersebut dapat diketahui apakah serbuk daun jarong telah memenuhi syarat yang ditetapkan. Persyaratannya adalah bila serbuk memiliki kadar air kurang dari 10% (Dirjen, 2013). Penetapan kadar air dilakukan di Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penetapan kadar dilakukan dengan metode Gravimetri dengan menggunakan alat moisture balance. Serbuk yang akan digunakan dipanaskan dalam alat dengan suhu 105oC selama 15 menit. Penggunaan suhu 105 oC dengan tujuan supaya kandungan air telah menguap dan dalam waktu 15 menit dianggap bahwa kadar air dalam serbuk daun jarong telah

(51)

memenuhi syarat paramater non-spesifik. Dari pengukuran kadar air ini didapatkan kadar air serbuk daun jarong adalah sebesar 8,26% sehingga dapat dikatakan bahwa serbuk tersebut memenuhi persyaratan.

B. Pembuatan ekstrak 90% daun jarong dan Uji Polifenol

Metode yang digunakan dalam pembuatan ekstrak etanol 90% adalah dengan metode penyarian maserasi. Alasan pemilihan metode maserasi untuk menyari kandungan simplisia karena metode penyarian ini sederhana dan cara pengerjaan serta pengoperasian alat yang mudah. Proses maserasi dilakukan dengan memasukkan 30 g serbuk simplisia ke dalam labu erlenmeyer, yang kemudian direndam dengan pelarut 300 mL selama 24 jam dengan bantuan shaker dan dilakukan penyaringan serbuk yang dimaserasi dengan menggunakan buchner dan kertas saring. Selanjutnya, dilakukan tahapan remaserasi dengan memaserasi ampas hasil dari proses maserasi yang dilakukan sebelumnya dengan volume pelarut yang sama. Tujuan dilakukan remaserasi adalah agar zat-zat yang belum tersari pada maserasi sebelumnya dapat tersari dalam remaserasi. Hasil ekstrak cair etanol 90% dari maserasi dan remaserasi kemudian digabungkan. Ekstrak cair tersebut kemudian dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator selanjutnya diuapkan kembali dalam cawan porselen di atas waterbath sehingga didapatkan ekstrak kental dengan bobot tetap.

Hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pelarut adalah pelarut harus mampu menyari atau melarutkan kandungan zat aktif dari simplisia. Daun jarong mengandung senyawa golongan glikosida fenolik yang larut dalam air. Menurut

(52)

Susanti, Budiman, Wardianti (2003), pelarut etanol 90% dapat menyari kandungan flavonoid. Hal inilah yang mendasari pemilihan etanol 90% sebagai pelarut untuk proses maserasi.

Ekstrak kental etanol 90% daun jarong yang ingin diperoleh dalam penelitian ini harus sesuai dengan paramater standarisasi. Salah satu parameter standarisasi ekstrak kental adalah bobot tetap. Menurut Farmakope Herbal Indonesia, bobot tetap yaitu selisih penimbangan < 0,5 mg tiap gram zat sisa dari dua penimbangan berturut-turut. Ekstrak dalam cawan ditimbang setiap dua jam hingga bobot tetap. Rata-rata rendemen yang didapatkan adalah 24,58%. Hasil ekstrak kental yang didapatkan berwarna hijau kecoklatan dan telah memiliki bobot tetap. Hasil ekstrak cair dan kental daun jarong dapat dilihat pada gambar 5 dan gambar 6.

(53)

Gambar 6. Ekstrak kental etanol 90% daun jarong

Uji polifenol dilakukan dengan tujuan untuk melihat kandungan polifenol dalam serbuk daun Jarong. Flavonoid merupakan turunan senyawa fenolat yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan pereaksi FeCl3 . pereaksi ini akan membentuk ion kompleks [Fe(Oar)6]3- yang akan menunjukkan hasil positif jika terbentuk warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam kuat (Harbone, 1987). Uji dilakukan dengan menggunakan reagen FeCl3. Perubahan warna larutan ekstrak yang mula-mula kuning kecoklatan menjadi hijau biru kehitaman menunjukkan adanya kandungan polifenol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serbuk daun Jarong mengandung senyawa polifenol (gambar 7).

(54)

Gambar 7. Hasil uji kualitatif polifenol dalam daun Jarong

C. Uji pendahuluan

1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida

Senyawa model hepatotoksin yang digunakan dalam penelitian ini adalah karbon tetraklorida. Tujuan dari penentuan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida untuk mengetahui dosis karbon tetraklorida yang dapat mengakibatkan kerusakan hepar yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar ALT dan AST pada hewan uji. Dosis yang digunakan pada penelitian ini mengacu dari penelitian Janakat dan Al-merie (2002), yaitu pada dosis 2 mL/kgBB tikus yang mana sudah menimbulkan efek hepatotoksik. Selain itu mengacu pada penelitian Murugesan, et al.. (2009) dosis 2 mL/kgBB dalam olive oil (1:1) secara intraperitoneal dapat menimbulkan kerusakan hati steatosis tanpa menyebabkan kematian hewan uji.

Peningkatan kadar ALT sebanyak tiga kali dan AST empat kali lipat menunjukkan terjadinya steatosis (Zimmerman, 1999). Pemberian hepatotoksin melalui intraperitonial (i.p.) dilakukan karena rongga peritonium memiliki luas

(55)

permukaan absorpsi yang sangat luas sehingga obat dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik secara cepat (Staf pengajar departemen farmakologi fakultas kedokteran universitas sriwijaya, 2009). Obat yang dipejankan dengan rute intraperitoneal pasti akan mengalami first pass metabolism, tidak seperti rute intramuskular atau subkutan yang terdapat pada golongan administrasi ekstravaskular (Hau and Schapiro, 2002). Karbon tetraklorida pada penelitian ini dipejankan secara i.p. Hal ini memungkinkan hepatotoksin ini untuk mengalami metabolisme oleh sitokrom P450 yang terdapat pada sel hepatosit hati menjadi radikal toksik sehingga dapat menginduksi kerusakan hati berupa steatosis. Olive oil berfungsi sebagai pelarut karbon tetraklorida karena bersifat non toksik dan dapat melarutkan senyawa nonpolar seperti karbon tetraklorida (Strickley, 2004).

2. Penentuan dosis ekstrak etanol 90% daun jarong

Penentuan dosis ekstrak etanol 90% daun jarong mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Joshi et al., (2010) yang menyebutkan bahwa dosis efektif ekstrak etanol daun jarong adalah 200 mg/kgBB. Dosis ini ditetapkan sebagai dosis tengah. Pada penelitian ini digunakan tiga peringkat dosis dengan faktor kelipatan 2 sehingga dosis rendah 100 mg/kgBB, dosis tengah 200 mg/kgBB, dan dosis tinggi 400 mg/kgBB.

3. Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji

Tujuan dilakukan penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji dilakukan untuk mengetahui waktu terjadinya kerusakan yang paling besar pada organ hati yang ditandai dengan peningkatan kadar serum ALT dan AST yang paling besar tanpa menyebabkan kematian hewan uji. Karbon tetraklorida dengan

(56)

dosis 2 ml/kgBB diberikan ke tikus jantan galur Wistar secara i.p, kemudian dilakukan pencuplikan darah pada sinus orbitalis hewan uji pada jam ke-0, 24, dan 48 jam pasca pemberian CCl4. Uji kadar ALT tertera dalam tabel I dan gambar 9.

Tabel I. Purata kadar ALT tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 (n=3)

Waktu pencuplikan jam ke-

Purata kadar ALT ± SE (U/I)

0 60,80 ± 2,27

24 181,40 ± 6,40

48 74,20 ± 1,99

Keterangan : SE = Standart Error

Gambar 8. Diagram batang purata kadar ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Hasil pengukuran kadar ALT pada jam ke-0, 24, dan 48 berturut-turut adalah 60,80 ± 2,27; 181,40 ± 6,40 dan 74,20 ± 1,99 U/I. Hasil statistik uji T berpasangan menunjukkan kadar ALT serum pada jam ke-0 berbeda bermakna (p=0,000) dengan kadar ALT pada jam ke-24, kadar ALT serum pada jam ke-0 berbeda bermakna (p=0,014) dengan kadar ALT pada jam ke-48, dan kadar ALT

(57)

serum pada jam ke-24 berbeda bermakna (p=0,000) dengan kadar ALT pada jam ke-48. Analisis statistik uji T berpasangan dilakukan untuk melihat perbedaan antara kondisi sebelum menerima pelakuan (pencuplikan jam ke-0) serta jam 24 dan 48 jam setelah menerima perlakuan hepatotoksin CCl4. Dari hasil uji T berpasangan kadar ALT dapat disimpulkan bahwa pada jam ke-24 terjadi peningkatan kadar ALT yang paling tinggi. Hasil uji T berpasangan ditunjukkan pada tabel II.

Tabel II. Hasil uji T berpasangan kadar ALT tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 (n=3)

Waktu pencuplikan (jam ke-)

Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48

Jam ke-0 BB BB

Jam ke-24 BB BB

Jam ke-48 BB BB

Keterangan : BB = Berbeda bermakna

Pengujian juga dilakukan terhadap kadar AST tikus. Data kadar AST tertera pada tabel III dan gambar 10.

Tabel III. Purata kadar AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 (n=3)

Waktu pencuplikan jam ke-

Purata kadar AST ± SE (U/I)

0 141,20 ± 5,15

24 452,40 ± 32,45

48 156,80 ± 4,61

(58)

Gambar 9. Diagram batang purata kadar AST pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Hasil yang didapat dari pengukuran kadar AST pada jam ke-0, 24, dan 48 berturut-turut adalah 141,20 ± 5,15, 452,40 ± 32,45 dan 156,80 ± 4,61 U/I. Hasil statistik uji T berpasangan menunjukkan kadar AST serum pada jam ke-0 berbeda bermakna (p=0,000) dengan kadar AST pada jam ke-24, kadar AST serum pada jam ke-0 berbeda bermakna (p=0,006) dengan kadar AST pada jam ke-48, dan kadar ALT serum pada jam ke-24 berbeda bermakna (p=0,001) dengan kadar AST pada jam ke-48. Analisis statistik uji T berpasangan dilakukan untuk melihat perbedaan antara kondisi sebelum menerima pelakuan (pencuplikan jam ke-0) serta jam 24 dan 48 jam setelah menerima perlakuan hepatotoksin CCl4. Hasil uji T berpasangan kadar AST dapat disimpulkan bahwa pada jam ke-24 terjadi peningkatan kadar AST yang paling tinggi. Hasil uji T berpasangan ditunjukkan pada tabel IV.

(59)

Tabel IV. Hasil uji T berpasangan kadar AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 (n=3)

Waktu pencuplikan (jam ke-)

Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48

Jam ke-0 BB BB

Jam ke-24 BB BB

Jam ke-48 BB BB

Keterangan : BB = Berbeda bermakna

Berdasarkan data kadar ALT dan AST tersebut maka waktu pencuplikan darah dilakukan pada jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara i.p.

D. Hasil Uji Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol 90% Daun Jarong Pada Tikus Terinduksi Karbon Tetraklorida.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek hepatoprotektif ekstrak etanol 90% daun jarong pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida terhadap penurunan kadar ALT-AST. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui adanya kekerabatan antara peningkatan dosis dengan adanya penurunan kadar ALT-AST pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran kadar ALT-AST pada kelompok kontrol perlakuan yaitu kelompok kontrol olive oil, kontrol karbon tetraklorida, dan kontrol ekstrak. Pada Penelitian ini dilihat efek hepatoprotektif dengan memberikan ekstrak etanol 90% daun jarong pada 3 peringkat dosis yaitu dosis rendah 100 mg/kgBB, dosis tengah 200 mg/kgBB, dan 400 mg/kgBB. Dosis yang digunakan mengacu pada penelitian yang dilakukan Joshi et al (2010), yang menyebutkan bahwa dosis efektif untuk ekstrak etanol daun Jarong adalah 200 mg/kgBB. Dosis tersebut dijadikan sebagai dosis tengah.

(60)

Efek hepatoprotektif ditunjukkan dengan penurunan kadar ALT. Data kadar ALT dan AST dapat dilihat dalam bentuk purata ± SE pada tabel V, gambar 11 dan gambar 12 dibawah ini.

Tabel V. Purata ± SE kadar ALT dan AST tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan. Kelompok Perlakuan Purata kadar ALT ± SE (U/I) Purata kadar AST ± SE (U/I) Persen Efek hepatoprotektif (ALT) I Kontrol olive oil 2mL/kgBB 49,20 ±

1,07 127,00 ± 2,30 100% II Kontrol CCl4 2 mL/kgBB 178,80 ± 7,47 451,00 ± 32,20 0% III Kontrol ekstrak 46,40 ±

0,75 124,20 ± 5,50 - IV EE90%DJ 100 mg/kgBB + CCl4 2 mL/kgBB 175,60 ± 3,57 431,60 ± 25,70 2,47% V EE90%DJ 200 mg/kgBB + CCl4 2 mL/kgBB 70,80 ± 1,28 172,00 ± 3,54 83,33% VI EE90%DJ 400 mg/kgBB + CCl4 2 mL/kgBB 117,60± 8,18 270,60 ± 28,03 47,22% Keterangan : EE90%DJ = Ekstrak etanol 90% Daun Jarong

- = tidak memiliki efek hepatoprotektif

Pada tabel diatas, dapat terlihat bahwa persen efek hepatoprotektif yang paling tinggi hingga rendah berturut-turut adalah kelompok dosis 200, 400 dan 100 mg/kgBB. Kelompok dosis 200 mg/kgBB memiliki persen efek hepatoprotektif terbesar yaitu 83,33%. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok dosis 200 mg/kgBB dapat menurunkan kadar ALT akibat CCl4 yang paling besar, dapat dilihat dari nilai purata kadar ALT pada kelompok 200 mg/kgBB memiliki nilai purata yang paling rendah bila dibandingkan dengan kelompok dosis 100 dan 400 mg/kgBB.

(61)

Gambar 10. Diagram batang purata kadar ALT tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan

Gambar 11. Diagram batang purata kadar AST tikus jantan galur Wistar pada kelompok perlakuan

Gambar

Tabel IX. Hasil  uji  t  berpasangan    kadar  ALT  tikus  setelah  pemberian  olive  oil 2 mL/kgBB pada jam ke-0 dan 24.............................................
Gambar 1. Tanaman Jarong (Dokumentasi pribadi, 2015)
Gambar 2. Anatomi Hati (Baradero et al..,2008)
Gambar 3. Biotransformasi dan oksidasi karbon tetraklorida (Duffus, 1996)
+7

Referensi

Dokumen terkait

maupun aset logik, namun masih banyak kejadian ancaman yang belum memiliki kontrol pencegahan dan kontrol deteksi dikarenakan kejadian ancaman tersebut belum pernah terjadi dan

[r]

Organisasi psikologis adalah tujuan akhir pertumbuhan dan perkembangan dari funsi dan dasar biologis.sehingga kemudian timbul usaha untuk menrangkan hubungan antara proses-

The stem structure consist of epidermal (one layer), cortex (7-8 cell layers), extra xilary fiber (I-2 cell layers) and vascular bundles (amphicribral type) in three circum-ference.

yang mengikuti semua standarisasi peralatan listrik seperti cara penggambaran dan kode- kode pengaman dalam pemasangannya, maka menjadi tanggung jawab kita untuk. menggunakan

Denagan aneka makanan dan minuman yang enak dan segar dengan harga yang bias dicapai oleh semua golongan masyarakat sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan ketertarikan saya

Fasilitas yang disediakan oleh penulis dalam perancangan ini adalah kapel sebagai tempat berdoa baik bagi komunitas maupun masyarakat sekitar, biara dengan desain interior

[r]