Tania Intan Universitas Padadjaran
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap isu korupsi dan menganalisis tokoh perempuan di dalam novel metropop My Partner (2012) karya Retni S.B. Metode yang digunakan dalam telaah ini adalah deskriptif kualitatif dengan memadukan pendekatan struktural dan sosiologi sastra. Pendekatan struktural digunakan untuk memahami aspek penokohan dan latar sosial dalam cerita. Sosiologi sastra dimanfaatkan untuk memahami korupsi sebagai fenomena patologi sosial. Data berupa kata, frasa, dan kalimat yang relevan dengan tujuan penelitian dikumpulkan dengan teknik simak catat setelah dilakukan pembacaan tertutup. Data selanjutnya diklasifikasi dan diinterpretasi, kemudian dianalisis dengan teori-teori yang relevan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa metropop tidak selalu berkelindan dengan pergaulan kelas atas dan gaya hidup mewah para tokohnya, melainkan juga dapat menggunakan tema sekunder yang realistis dan membumi seperti isu korupsi. Korupsi menjadi titik awal kemunculan masalah-masalah lain dalam novel, seperti disorganisasi keluarga, hilangnya sumber daya, dan pelecehan seksual. Tokoh perempuan yang ditampilkan dalam novel bersifat kuat, sensitif, dan tegar menghadapi berbagai kendala yang ia hadapi. Namun, pada akhirnya, perempuan tetap diposisikan sebagai pihak yang lemah, korban, dan diselamatkan oleh laki-laki yang ditampilkan superior dan dominan.
Kata kunci: isu korupsi, perempuan, metropop
Abstract
This study aims to uncover the issue of corruption and analyze the female characters in the novel My Partner (2012) by Retni S.B. The method used in this study is descriptive qualitative by combining structural approaches and sociology of literature. The structural approach is used to understand the characterizing aspects and social setting in the story. Literary of sociology is used to understand corruption as a socio-pathological phenomenon. Data in the form of words, phrases, and sentences that are relevant to the research objectives were collected using a note-taking technique after a closed reading. The data is then classified and interpreted, then analyzed by relevant theories. This research concludes that a metropop does not always have to do with the high-class associations and luxurious lifestyles of its characters, but can also employ realistic and down-to-earth secondary themes such as the issue of corruption. Corruption is the starting point for the emergence of other problems in the novel, such as family disorganization, loss of resources, and sexual harassment. The female characters featured in the novel are strong, sensitive, and tough in facing the various obstacles they face. However, in the end, women are still positioned as weak parties, victims, and are saved by men who appear superior and dominant.
A. PENDAHULUAN
Metropop adalah istilah yang diciptakan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama sekitar awal tahun
2000-an yang menceritakan
kehidupan metropolitan masa kini. Ciri-ciri dari genre ini adalah gaya penulisan yang sederhana dan ringan. Tidak perlu waktu yang lama atau sampai berkali-kali membaca untuk memahami tiap
kalimatnya. Kisah yang
ditampilkan pun biasanya seputar cinta, karir, dan gaya hidup masyarakat kota, yang dibumbui dengan humor. Hadirnya novel jenis metropop ini bisa jadi
merupakan jawaban atas
kebutuhan masyarakat kota untuk mendapatkan hiburan.
Sebagaimana ditunjukkan
dalam karya-karya penulis Ika Natassa (Antologi Rasa, Critical Eleven), Ilana Tan (Summer in Seoul, Spring in London), Indah Hanaco (Love in Edinburg, Perfect Romance), dan Almira Bastari (Resign!, Ganjil Genap), metropop
hampir selalu menampilkan
kehidupan para tokoh yang hidup dalam ruang urban dengan situasi ekonomi berkecukupan. Dengan
gaya hidup cenderung glamour
dan berkutat dengan barang-barang bermerk terkenal, para tokoh dalam metropop tersebut
biasanya dihadapkan pada
masalah klasik dalam percintaan, keluarga, dan pekerjaan. Namun, dalam karya-karya metropopnya, Retni S.B mengungkapkan gagasan
yang relatif berbeda. Ia
memperlihatkan bahwa metropop bukan sekadar novel ringan dengan kecenderungan
tokoh-tokoh yang menganut hedonisme. Kehidupan masyarakat kota besar memang sangat rumit, tapi, menurutnya, banyak hal positif yang dapat dibagikan pada para pembaca, seperti pesan tentang perjuangan, kasih pada sesama, kepedulian lingkungan, kekuatan mental, dan cita-cita (Rahma, 2013).
Retni S.B lahir di Cirebon pada tanggal 22 Maret. Sebelum
menjadi penulis, alumnus
Komunikasi Fisipol UGM ini
sempat menekuni pekerjaan
copywriter dan account executive
selama beberapa tahun di
perusahaan periklanan di Jakarta. Pada tahun 2005, ia memenangkan sayembara menulis novel islami pada penerbit dar!mizan. Pada tahun 2006, ia memenangkan lomba novel metropop Gramedia Pustaka Utama dengan judul
Metamorfosa Oase. Karya-karyanya yang lain adalah Dimi is Married, Pink Project, His Wedding Organizer, dan Cinta Paket Hemat.
Meskipun tidak
meninggalkan percintaan sebagai tema dasar dan menggunakan bahasa sehari-hari, dalam karya
metropopnya, Retni S.B
memperlihatkan sisi lain dari
kehidupan modern berupa
beragam permasalahan sosial yang dialami oleh para tokohnya. Dalam
novel Dimi is Married (2013)
misalnya, diangkat tema
penebangan hutan dengan alasan
pengembangan industri,
sedangkan pada novel yang lain,
Cinta Paket Hemat (2007), penulis mengangkat tema autisme. Dengan tema beragam ini, ada kesamaan
yang terindikasi yaitu bahwa para tokoh perempuan menghadapi cobaan berat namun mereka dapat mengatasinya dengan baik. Para tokoh perempuan dalam kedua novel tersebut pun bukan sosok yang manja dan mudah mengeluh.
Novel My Partner yang dipilih sebagai objek penelitian ini mengangkat isu korupsi yang menjadi permasalahan awal, yang
kemudian mengaitkan tokoh
utama pada serangkaian konflik. Korupsi dalam hal ini merupakan representasi dari realitas yang dituangkan pengarang ke dalam karya sastra.
Subardini (2015: 51)
mengutip Hamzah yang
menjelaskan asal kata ‘korupsi’
dari kata Latin Corruptio atau
Corruptus. Kata ini lalu muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis
Corruption, dalam bahasa Belanda
Korruptie, dan dalam bahasa Indonesia Korupsi. Esensi korupsi tidak lain adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan (Alatas, 1987: viii).
Dalam pandangan Pope
(2003: 6) dan Kartono (1991: 80),
korupsi adalah penggunaan
wewenang dan jabatan untuk mengambil keuntungan pribadi
dengan cara merugikan
kepentingan umum dan negara. Dalam konteks Indonesia, korupsi merupakan fenomena endemik yang sulit diberantas (Kasmuri, 2017: 169). Oleh karena itu, korupsi juga didefinisikan sebagai
invisible crime yang prosedur
pembuktiannya sangat sulit
diperoleh, karena modus
operandinya bersifat tertutup,
sistematis, dan berjamaah
(Rukmini, 2009: 2). Seluruh pengertian tentang korupsi ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut merupakan perbuatan
yang dapat memberikan
keuntungan secara ekonomis
kepada pihak yang berkepentingan dengan cara melanggar peraturan.
Tindak pidana korupsi justru semakin berkembang, menurut Subardini (2015: 52), masyarakat Indonesia cenderung bersikap pasif dan bahkan akomodatif dalam memberi ruang gerak terhadap terjadinya korupsi (serta
kolusi, nepotisme, dan
penyimpangan lain).
Korupsi terjadi karena
adanya keinginan dan kesempatan (willingness and opportunity) yang
muncul secara bersamaan.
Keinginan untuk melakukan
korupsi merupakan faktor internal, dan kesempatan bersifat eksternal (Wijayanto, 2009: 26). Gagasan ini sejalan dengan pendapat Subardini (2015: 53), bahwa korupsi selain merupakan tindakan individual, juga dapat menjadi sistem sosial.
Seseorang dapat melakukan
korupsi sebagai pilihan pribadi, jika sistem sosial tidak lagi memberikan jalan baginya untuk dapat eksis dalam sistem tersebut. Dalam sudut pandang lain, justru sistem sosiallah yang menjerat orang-orang di dalamnya untuk melakukan tindak korupsi.
Korupsi merupakan gejala patologi sosial. Menurut Subardini
(2015: 51), korupsi adalah
fenomena penyimpangan dalam
kemasyarakatan, dan kenegaraan. Oleh karenanya, kajian terhadap isu korupsi dalam penelitian ini
akan dilandasi pendekatan
sosiologi sastra.
Menurut Damono (1979: 2-3), sastra dan sosiologi memiliki objek yang sama yaitu manusia
dalam masyarakat, hubungan
antarmanusia, dan proses yang timbul dari hubungan tersebut dalam masyarakat. Sosiologi sastra merupakan pendekatan untuk menganalisis teks sastra, untuk
mengetahui strukturnya dan
kemudian digunakan untuk
memahami secara mendalam
gejala sosial yang berada di luar sastra. Dengan demikian, jelas
bahwa sastra menampilkan
gambaran kehidupan, sementara kehidupan sendiri merupakan kenyataan sosial.
Wiyatmi (2013: 7-8)
mengutip Swingewood, bahwa ada dua kecenderungan utama dalam penelitian sosiologi sastra. Yang
pertama, penyelidikan yang
bermula dari lingkungan sosial untuk masuk pada hubungan sastra dengan faktor di luar sastra yang terbayang di dalam karya sastra. Cara ini disebut sebagai
sociology of literature.
Penyelidikan ini memandang
faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada masa dan
masyarakat tertentu. Kedua,
penyelidikan yang
menghubungkan struktur karya
sastra kepada genre dan
masyarakat tertentu. Cara ini dinamakan literary of sociology. Untuk penelitian terhadap novel
metropop My Partner, karena
mengaitkan struktur pada genre, maka cara yang dipilih adalah
literary of sociology.
Eksplorasi tema korupsi dalam kesusastraan Indonesia bukan merupakan hal yang baru, namun juga tidak dapat dikatakan
banyak jumlahnya. Menurut
Sarjono (2012: 8), selain minim digunakan sebagai tema karya,
penelitian, pembahasan, dan
bahkan pembicaraan mengenai korupsi dalam konteks sastra juga cukup langka. Demikian pula halnya dengan kajian terhadap perempuan dan korupsi (Sarjono, 2012: 2).
Dari penelusuran yang
dilakukan peneliti, terungkap ada sejumlah karya sastra ‘serius’ yang
mengangkat isu korupsi, di
antaranya adalah Korupsi (1954) karya Pramoedya Ananta Toer,
Senja di Jakarta (1963) karya
Mochtar Lubis, Kemelut Hidup
(1977) dan Ladang Perminus
(1990) karya Ramadhan KH., Pasar
(2002) karya Kuntowijoyo, 86
(2011) karya Okky Madasari,
Orang-orang Proyek (2007) karya Ahmad Tohari, dan Sang Koruptor
(2011) karya Hario Kecik. Dari uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa sejauh ini belum ditemukan adanya novel populer, atau dalam
konteks penelitian ini yang
bergenre metropop, yang
mengangkat tema korupsi di samping tema percintaan. Dengan demikian, penelitian terhadap isu korupsi dalam novel My Partner ini dapat dianggap memiliki nilai kebaruan.
Penelitian terdahulu yang mengupas tema korupsi dalam
karya sastra di antaranya dilakukan Kasmuri (2017) yang mengkaji fenomena korupsi di
dalam novel 86 karya Okky
Madasari dan Slank 5 Hero dari
Atlantis karya Sukardi Rinakit. Dari kajian tersebut terungkap adanya bentuk-bentuk korupsi berupa tindakan menyuap, memeras, dan melakukan perbuatan curang.
Penyebab terjadinya korupsi
adalah faktor internal berupa sifat tamak dan kurangnya keyakinan terhadap godaan. Merebaknya tindak korupsi juga disebabkan oleh faktor eksternal yang meliputi kondisi ekonomi, situasi politik, dan kurangnya ketegasan dalam penegakan hukum. Penelitian lain dilakukan oleh Mashuri (2012) yang menemukan bahwa dalam novel-novel yang mengusung tema korupsi, para tokoh laki-laki sebagai pelakunya digambarkan
“berkarakter sontoloyo, bermoral bangkrut, sah disebut sebagai
bajingan yang hidupnya
menghamba pada godaan, dan
bermodal mental yang rapuh”.
Dalam telaahnya terhadap
cerpen Amplop, Hastuti (2013)
mengungkapkan bahwa tokoh utama menerima suap karena
mendapat tekanan dari
keluarganya. Kata ‘amplop’ sendiri telah lama dianggap merujuk pada praktik suap yang merupakan salah satu bentuk tindak korupsi.
Kini, kata tersebut dalam
konteksnya terdegradasi karena memiliki stigma negatif.
Perbincangan tentang
korupsi juga dapat ditinjau dengan
pendekatan psikologi sastra,
sebagaimana telah dilakukan
Rahmawati (2017) terhadap novel
Korupsi atau dalam versi aslinya adalah L’Homme Rompu dari Tahar Ben Jelloun, seorang pengarang Maroko. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tokoh utama berkarakter mudah tergoda, tidak konsisten, dan kurang bersabar
sehingga membuatnya masuk
dalam dunia korupsi. Konflik kejiwaan yang dialami tokoh tersebut menimbulkan masalah psikologis seperti rasa bersalah, rasa malu, halusinasi negatif, mimpi buruk, dan ide bunuh diri.
Dari seluruh paparan terhadap kajian terdahulu tersebut, dapat
diketahui bahwa penelitian
terhadap isu korupsi dan
perempuan dalam novel metropop
My Partner karya Retni S.B belum
dilakukan. Tujuan yang
dirumuskan untuk penelitian ini adalah mengkaji isu korupsi dan mengungkap aspek penokohan terutama tokoh perempuan dalam novel metropop My Partner karya Retni S.B..
B. METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan
penelitian yang telah dirumuskan,
maka diperlukan langkah
metodologis. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif
kualitatif dengan pendekatan
sosiologi sastra dan analisis struktural. Dalam konteks kajian ini, elemen struktural pembangun teks yang terutama ditelaah adalah tokoh (perempuan) dan latar sosial.
Objek yang telah dipilih
adalah metropop My Partner karya
Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2012. Novel ini memiliki tebal 288 halaman.
Data berupa kata, frasa, dan kalimat dikutip dan dikumpulkan dari novel tersebut dengan teknik simak catat, setelah melalui tahap
pembacaan tertutup. Data
kemudian diklasifikasi,
diinterpretasi, dan dianalisis
dengan teori-teori yang relevan. Pada tahap akhir, ditarik simpulan.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sinopsis Novel My Partner
Tita adalah seorang
perempuan berumur 23 tahun, lulusan dari jurusan arsitektur. Sebelumnya, Tita terbiasa hidup nyaman dan berkecukupan, hingga tiba-tiba ayahnya tersangkut kasus korupsi dan dihukum 6 tahun penjara. Mamanya mengalami depresi, sedangkan Nena, adik Tita, melarikan diri ke rumah neneknya di Cirebon karena tidak kuat menghadapi keadaan tersebut. Rumah, mobil, dan semua aset yang dimiliki keluarganya pun disita.
Kemalangan terus menerus menghampirinya. Tita ditinggalkan pacarnya, Harry, tanpa kejelasan.
Sementara itu,
sahabat-sahabatnya, Vio dan Lala juga
menghindari untuk bertemu.
Dalam keadaan terpuruk itu, Tita masih mendapat bantuan dari Om Anton, adik ayahnya, serta Sani dan Butet sahabatnya. Selain mereka, ada juga Jodik, arsitek yang pernah merenovasi taman rumahnya.
Tita kemudian bertemu
kembali dengan Dido, teman
kecilnya, yang baru menyelesaikan studi di Swiss. Dido adalah anak Direktur Utama yang menjadi atasan ayah Tita. Dodi bersikap sangat baik dan terlihat ingin membantu, namun ternyata di
kemudian hari terungkap
kedoknya.
Tita justru menyukai Jodit, laki-laki dingin dan tak acuh namun ternyata, tanpa ia ketahui, sangat perhatian dan membantu Mama dan Papa Tita.
Korupsi dan Dampak Sosialnya Dalam novel My Partner, ayah Tita dinyatakan bersalah dan dihukum penjara selama 6 tahun karena
dianggap telah melakukan
tindakan korupsi. Ia diadili karena
menyalahgunakan jabatannya
sebagai Direktur Pengelolaan di sebuah BUMN hingga merugikan negara dan harus mengembalikan ganti rugi sebesar Rp 110 miliar. Proses peradilan ini memakan waktu hampir satu tahun hingga ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Dalam novel, tidak diberikan
informasi mengenai teknis
terjadinya korupsi baik alasan maupun proses terjadinya. Narasi lebih berfokus pada dampak yang dihasilkan dari tindakan tersebut, yang mempertegas posisi tema korupsi pada level sekunder saja.
Melalui narator orang ketiga, Tita menyuarakan nada protes
tentang penegakan hukum
Indonesia. Perjuangan cukup
panjang dilakukan Tita dan keluarganya dalam mendapatkan
keadilan. Menurutnya, ada
persidangan, ketidakadilan putusan hukuman, dan budaya menyogok yang dipelihara.
Vonis sudah dijatuhkan. Pada putusan kasasi Mahkamah Agung ini, majelis hakim menyatakan Budhi Bakti terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan Negara Rp 110 miliar. Karenanya dia harus menjalani hukuman selama
enam tahun penjara,
membayar denda tiga puluh juta rupiah subsider tiga
bulan kurungan, serta
membayar kerugian negara sebesar Rp 110 miliar.
Tita membelalak. […]
Budhi Bakti papanya! (hlm. 5)
Meskipun narasi tidak
berasal langsung dari tokoh utama, namun dengan jelas terungkap keberpihakan pencerita pada Tita. Narator yang berada di luar cerita ini seperti mengetahui segalanya (omniscient). Narator juga
mengambil posisi tokoh
perempuan tersebut dalam
mengungkapkan pandangannya
mengenai dunia yang sedang ia hadapi.
Dia pesimis. Setelah sekian
lama bolak-balik
menyaksikan proses
persidangan dengan aneka
materi, puluhan saksi,
banyak upaya, dan segala tetek-bengek yang tak selalu
bisa dipahaminya, yang
seluruhnya membumi
hanguskan emosinya,
rasanya dia tak bisa berharap banyak lagi. Papa selalu dianggap bersalah. (hlm. 6)
Subjektivitas Tita
membuatnya sangat yakin bahwa ayahnya tidak bersalah dan hanya
menjadi ‘kambing hitam’ dari
konspirasi di antara para petinggi perusahaan. Tita tidak dapat menerima bahwa mereka telah menimpakan kesalahan kepada ayah Tita, yang secara otomatis berdampak langsung pada situasi keluarganya.
Betapa inginnya Tita lari ke depan untuk memukuli para penegak hukum yang sangat
terhormat itu. Ingin
berteriak, menanyakan di mana keadilan. Bukankah dalam putusan kasasi itu
disebutkan bahwa Papa
terbukti melakukan tindak
pidana korupsi secara
bersama-sama? Tapi
mengapa hanya Papa yang divonis? Padahal Papa bukan orang nomor satu. Masih ada
banyak atasan, bahkan
menteri, yang pasti terlibat.
Papa hanya menuruti
perintah dari atas. Papa ditekan. Lalu mengapa orang-orang di atas itu tak tersentuh? Mengapa harus Papa yang dikorbankan? (hlm. 7)
Tita yakin bahwa kalaupun ayahnya terlibat, tindak korupsi itu tidak dilakukannya sendiri dan
Informasi ini telah dibahas dalam
persidangan, namun tanpa
kejelasan, semua bukti malah mengarah pada ayah Tita belaka.
Berarti seharusnya ada
banyak orang lain yang perlu dihukum juga, bukan? Tetapi mengapa orang-orang itu tak pernah tersentuh, padahal mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari Papa? Papa hanya Direktur
Pengelolaan. Di atasnya
masih ada Direktur Utama yang sangat bisa dipastikan terlibat dalam kasus ini. (hlm. 20)
Persepsi Tita bahwa ayahnya tidak bersalah didasari oleh pandangannya bahwa keluarga mereka tidak mampu untuk
membayar ganti rugi yang
dibebankan Negara dalam kasus korupsi tersebut. Tidak logis baginya, jika seluruh kekayaan
keluarganya yang telah
dikumpulkan selama berpuluh tahun hilang karena tindakan yang bahkan tidak dilakukan sang ayah.
“[…]Papa harus bayar ganti rugi 110 miliar …” […]
“Jelas Papa nggak punya uang
segitu. Kalau semua aset kita dijual pun, kayaknya nggak
ada sepersepuluhnya.”
Dada Tita bergemuruh. Ingin
benar rasanya meledak.
Lihat, jelas-jelas papanya tak pernah punya uang sebanyak itu, lalu mengapa masih saja didakwa bersalah? Jika beliau
benar-benar melakukan
tindak pidana korupsi senilai itu, setidaknya ada jejak
kekayaan yang dimiliki,
bukan? Ini mana …?! Sungguh
kacau hukum di negeri ini. (hlm. 54)
“PK sudah diajukan. Tapi
ditolak. Bagaimana lagi? Saya sudah mengupayakan banyak
cara. Tapi masalahnya,
papamu juga tak mau pakai jalan belakang. Padahal dulu
ada yang menawarkan
keringanan dengan bayar
sejumlah uang.”
Tita mendengus. “Itu karena
Papa nggak punya uang
sebanyak yang dia minta.”
(hlm. 57)
Dalam kutipan tersebut,
terlihat argumentasi yang hendak ditunjukkan Tita kepada pembaca
melalui pertanyaan-pertanyaan
retoris dan ungkapan “Lihat”.
Keyakinan bahwa ayahnya hanya merupakan korban dan bukan pelaku yang sebenarnya dari situasi ini membuat Tita marah namun tidak berdaya.
Terlepas dari realita siapa
yang bersalah dalam kasus
tersebut, terungkap bahwa tindak korupsi tersebut dilakukan tidak
secara individual melainkan
bersama-sama. Namun, kemudian ketika kasus terbongkar, secara klise, kesalahan akan ditimpakan kepada pihak yang paling lemah dan tidak dapat membela diri. Pihak yang dimaksud ini adalah yang berada di lapisan terbawah pada struktur kekuasaan.
Dalam kasus korupsi yang dilakukan kepala keluarga, kerap
kali yang menjadi korban dan terkena dampak langsung adalah istri dan anak-anaknya. Hal inilah yang terjadi pada keluarga Tita, bukan hanya materi dan
teman-teman yang menghilang,
melainkan juga keutuhan keluarga mereka.
Mereka berada di sebuah panti rehabilitasi jiwa yang tak terlalu besar namun
menjanjikan perawatan
bagus. Ya, Mama Tita
memang sedang menjalani perawatan di sini. Sudah jalan tiga bulan.
Sejak kasus Papa bergulir dan menghiasi halaman surat kabar setahun belakangan ini, sedikit demi sedikit
Mama menarik diri. […]
Rupanya Mama tak mampu menghadapi kejutan luar biasa yang tak pernah terbayangkan ini. Beliau jadi takut keluar rumah. Tak mau bertemu orang-orang. Sering mengamuk pula. (hlm. 14) Dalam pandangan umum, menurut Akun dan Budiman (2018: 337), di balik laki-laki yang
melakukan korupsi ada
perempuan yang sangat rakus dan
penuntut. Demikian pula
sebaliknya, bila laki-laki sukses, tentu ada peran aktif dari pendampingnya. Kejatuhan karir suami dan hilangnya kekayaan bisa jadi merupakan faktor yang membuat Mama Tita terpuruk.
Sosok ibu yang
biasanya/seharusnya menjadi
sandaran bagi anak-anak ketika
ayah tidak ada, justru sama sekali tidak dapat diandalkan. Kasus korupsi yang telah mencoreng nama baik keluarga tersebut telah membuat perempuan itu sangat terguncang sehingga tidak lagi dapat memenuhi tugasnya dalam melindungi anak-anaknya, Tita dan Nena.
Sebab artinya Nena sudah mau beraktivitas dan kembali bersemangat seperti dulu. Yeah, semenjak Papa jadi tersangka, dia mogok sekolah dan menutup diri. Untung
Nenek berhasil
membujuknya agar
bersekolah di sana saja
supaya memiliki
teman-teman baru yang tak tahu-menahu soal kasus Papa. (hlm. 16)
Mama Tita mengalami
gangguan jiwa dan Nena harus tinggal bersama Nenek di Cirebon supaya dapat bersekolah dengan lebih tenang. Perasaan malu dan bingung menghadapi pandangan sekitar membuat mereka semua terguncang. Dengan demikian, beban pun ditanggung Tita sebagai anak tertua sangat besar yang kondisi mentalnya lebih kuat. Ia harus menjenguk ayahnya di penjara dan ibunya di panti
rehabilitasi secara rutin.
Sementara itu, ia belum bekerja dan tidak memiliki penghasilan, sedangkan kehidupan ayah dan ibunya pun tetap membutuhkan biaya yang tidak mungkin terus diharapkan Tita dari kerabatnya.
Hidup Papa di lapas memerlukan biaya lumayan juga. Ada biaya kamar sel,
makan, dan seabrek
pungutan ini-itu tiap Tita melakukan kunjungan. Jika biaya-biaya itu diabaikan,
siap-siap saja Papa
dimasukkan ke sel yang berjejalan bersama puluhan
perampok, pembunuh,
penipu, atau pemerkosa. Dan harus siap pula menerima kekerasan dan
perlakuan-perlakuan tidak
menyenangkan lainnya. Oh,
tidak. Tita tak mau
membayangkan itu!
Kebutuhan biaya perawatan Mama pun selangit. Bisa dikurangi jika standarnya juga diturunkan. Oh, mana bisa? Kalau Mama mau segera sembuh, beliau harus ditangani secara tepat! Dan itu ada harganya! (hlm. 151) Beban masalah itu pun tidak mudah terurai karena masalah-masalah lain bermunculan. Selain ditinggalkan kekasihnya, Harry (hlm. 31), Tita juga dijauhi teman-temannya, Vio dan Lala, yang sama sekali tidak membantu saat keluarga Tita menghadapi masalah (hlm. 30). Perempuan ini pun masih harus bertanggung jawab atas hutang ayahnya pada Jodik yang sedang membuat taman di rumahnya. Seperti tidak cukup permasalahan yang datang, rumah,
mobil, dan seluruh aset
keluarganya pun disita oleh pengadilan.
Fiuhh! Mulai sekarang dia memang harus akrab dengan angkutan umum. Bus kota,
kereta api, metromini,
mikrolet, sampai ojek. Mobil kesayangan hadiah ulang tahun dari Papa tahun lalu itu sudah bukan lagi miliknya. Disita.
Ups! Jangan mulai mengeluh. Ini baru hari Senin! (hlm. 138)
Disorganisasi keluarganya
tersebut membuat Tita kesepian,
sehingga ia berusaha
menghubungi teman-temannya
agar mereka dapat tinggal
bersama. Ia juga berencana untuk mencari tempat kos, karena bila sendiri, Tita rentan diganggu oleh laki-laki, seperti pak RT yang
tiba-tiba bersikap genit dan
melecehkan (hlm. 37-38).
“Jadi kalau misalnya Dik Tita
perlu bantuan, apa saja,
jangan sungkan-sungkan
bilang pada saya. Saya pasti
bantu.”
“Makasih, Pak.”
“Apa lagi Dik Tita ini kan perempuan muda, cantik lagi. Pasti nanti banyak yang
ganggu …”
Pak RT mengedipkan sebelah
mata lagi. Tita jadi
mendengus. (hlm. 37)
Kondisi yang mengharuskan
Tita untuk segera menata
kehidupannya dan mendapatkan uang membuatnya bekerja pada Jodik, lalu pada Dido. Dilema sempat dirasakan Tita saat bekerja
di perusahaan Dido, anak Direktur
Utama, atasan ayahnya.
Perempuan itu tidak nyaman bekerja pada anak orang yang (mungkin) telah menjerumuskan
ayahnya ke penjara dan
menghancurkan kehidupan
keluarga mereka.
“Orang kayak kamu dan
keluargamu nggak bakalan salah. Selalu benar. Lain dibandingin papaku. Udah deh, antrean kamu udah abis tuh. Ngapain berdiri di sini? Masa nggak malu sih dekat-dekat cewek yang papanya
masuk bui?” jawab Tita pelan
namun tegas. (hlm. 108) Sebagaimana terlihat pada kutipan di atas, awalnya Tita bersikap sinis pada Dido, namun
karena terdesak, Tita yang
akhirnya memilih bekerja pada laki-laki itu. Hal ini menunjukkan bahwa ia terpaksa bernegosiasi dengan nurani dan penilaiannya
tentang ayah laki-laki itu.
Bagaimana pun Tita membutuhkan pekerjaan. Ia juga memilih bekerja di perusahaan besar, bergaji tinggi, dan terletak di gedung yang megah. Egoismenya membuat ia meninggalkan kantor kecil dan berantakan milik Jodik.
Seluruh situasi ini
menunjukkan secara langsung bagaimana tindak korupsi yang telah dilakukan sang ayah (laki-laki) berdampak pada seluruh anggota keluarganya (perempuan). Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan kerap menjadi korban
dari situasi yang tidak mereka ciptakan.
Permasalahan korupsi yang
disandingkan dengan tema
percintaan khas metropop
memang merupakan hal yang tidak biasa, namun dapat diramu dengan baik oleh Retni S.B di dalam novel
My Partner. Kesan realistis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari dapat dinyatakan cuku[ berhasil diciptakan pengarang dalam novel ini.
Metropop: Representasi
Perempuan Urban dalam Kisah Percintaan
Sebagai karya yang lebih banyak
ditulis perempuan, dibaca
perempuan, dan berkisah tentang perempuan, metropop biasanya
berfokus pada protagonis
perempuan. Sudut pandang
pencerita pun, meskipun tidak berasal dari narator akuan,
menunjukkan keberpihakannya
pada tokoh utama perempuan. Meskipun pada dasarnya merupakan sosok yang manja dan pengeluh, Tita juga ditampilkan sebagai perempuan yang berani dan tidak ingin diintimidasi siapapun. Dengan kondisi tidak ada lagi yang melindungi dan tidak memiliki banyak uang, Tita tahu dirinya harus bertahan hidup dengan sebaik-baiknya.
“Jangan khawatir, Pak. Saya
punya banyak persediaan semprotan cabe, pisau lipat, pisau dapur, golok, gergaji, petasan, pentungan kayu, rantai, pistol air keras, dan masih banyak lagi. Saya
sudah latihan cara makai itu
semua,” ujar Tita sebal.
Pak RT ternganga.
“Apalagi kita juga punya
satuan keamanan yang digaji
oleh warga. Jadi saya
percaya, mereka bisa
melindungi warga dari
macam-macam ancaman.”
Pak RT meneguk ludah. (hlm. 38)
Meskipun dapat bersikap tegar dan cukup kuat, tetap saja Tita digambarkan sensitif dan mudah tersinggung. Hal ini dapat dipahami sebagai bagian dari sisa egonya yang pernah menjadi anak orang berada. Sisa-sisa perilaku kelas menengah ke atas terkadang muncul meskipun dirinya sedang mengalami kesulitan keuangan.
Yang disebut kantor oleh Jodik ternyata jauh dari yang
dibayangkan Tita. Sama
sekali bukan gedung dengan sentuhan arsitektur cantik, mengingat owner-nya arsitek dan bidang usaha yang dikerjakan juga arsitektur. Melainkan hanya rumah kecil dua lantai di kompleks perumahan di Duren Sawit, Jakarta Timur. Tanpa papan nama pula. (hlm. 71)
Meskipun merasa gengsi ditawari pekerjaan oleh Jodik, yang merupakan pekerja ayahnya, Tita tahu dia harus bekerja. Terlebih,
keluarganya memiliki hutang
untuk pekerjaan membuat taman pada laki-laki itu. Berbeda dengan tokoh perempuan dalam metropop
lain yang memiliki pekerjaan dan mandiri secara finansial, Tita justru digambarkan menganggur setelah lulus kuliah. Kesulitan hidup yang dialami keluarganya mendorong perempuan itu untuk segera menemukan pekerjaan.
Ketabahan Tita juga
ditunjukkan dengan keputusannya untuk menutup-nutupi kondisinya sendiri yang sedang sulit di depan ayahnya.
“Mama oke-oke aja kok, Pa.
Cuma sepertinya Mama
memang perlu pergi dulu dari rumah. Cari ketenangan. Kayaknya Cirebon tempat yang tepat. Rumah Nenek yang di pinggiran kota itu kan masih sejuk dan segar. Masih banyak sawah dan
kebun,” papar Tita, tetap tak
sampai hati mengatakan bahwa Mama depresi gara-gara tak kuat menerima kasus Papa. (hlm. 49)
Demi menjaga perasaan
ayahnya pula, Tita tidak
menyampaikan bahwa ia tidak lagi bekerja di tempat Jodik. Saat itu, Tita bekerja di kantor Dido, anak pimpinan ayahnya.
“Sungguh, Ta, gue nggak tahu
sebenarnya siapa yang salah dan siapa yang benar. Gue kan lagi nggak di sini. Selain itu, gue juga nggak ada
sangkut-pautnya dengan
kasus itu. Jadi tolong dong, jangan musuhi gue kayak gini. Lu kan nggak bisa marah ke semua orang gara-gara
lagi marah ke keadaan,” tutur Dido teratur. “Dan gue datang
ke sini cuma pengin nawarin
bantuan dan dukungan.
Sebagai teman baik.” (hlm.
128)
Meskipun tidak ditampilkan sebagai sosok yang sangat cantik, yang merupakan kriteria dari tokoh perempuan pada metropop
‘standar’, Tita disukai oleh
beberapa laki-laki termasuk Dido, laki-laki yang tampan, mapan, dan baik hati, yang merupakan anak dari atasan ayah Tita. Namun,
dalam perkembangan cerita
kemudian terungkap sifat asli laki-laki tersebut.
Dido tertawa. “Ayolah, Taaa,
jangan muna! Keluargamu udah kacau ke mana-mana, kamu sendirian menghadapi hidup susah. Jadi apa lagi yang bisa kamu harapkan? Jelas cari cowok mapan. Dan
aku memenuhi syarat
banget.” […]
“Kamu udah dewasa. Jadi
bersikaplah kayak
perempuan dewasa. Dan aku tahu banget yang dibutuhin
perempuan dewasa,” ujar
Dido dengan seringai yang
rasanya baru kali ini
dilihatnya. (hlm. 213)
Laki-laki lain yang menyukai Tita adalah Jodik, seorang laki-laki pekerja keras, arsitek, berkarakter arogan, dan tak ramah. Namun, kemudian terungkap bahwa sosok ini ternyata sangat peduli dan
menyayangi Tita beserta
keluarganya.
Jodik ini berwajah cokelat nan keras, bermata tajam, berambut ikal agak panjang, ada area keabuan di pelipis dan dagunya akibat kurang
rajin bercukur,
penampilannya seperti
pembalap off-road di Gurun
Sahara, gaya bicaranya
terlalu lugas tanpa basa-basi, hobi tersenyum sinis, dingin, merokok, dan sekategori lainnya. Total, Jodik adalah pereman liar! Huh, cowok jenis ini sungguh bukan tipenya! (hlm. 91)
Bahkan, Jodiklah yang
kemudian menyelamatkan Tita dari perangkap jahat yang dibuat
Dido. Karakter kepahlawanan
Jodik ini merupakan stereotipe
dari narasi romantis, yang
mengonstruksi tokoh laki-laki sebagai pihak yang superior, dominan, dan memiliki jiwa
penyelamat. Sebaliknya,
perempuan digambarkan sebagai pihak yang lemah, korban, dan diselamatkan.
Tita tersekat. Mengapa kini matanya punya pandangan berbeda tentang Jodik? Apa
gara-gara kemarin Jodik
menjadi hero baginya? Duh, betapa mudahnya atmosfer hati berubah. (hlm. 230) Penciri lain dari metropop yang juga diadopsi Retni S.B di
keberadaan sahabat-sahabat dekat
protagonis perempuan, yang
biasanya berjumlah 2-3 orang. Tita memiliki Sani dan Butet yang selalu mendukungnya.
Yang pertama kali akan dihubunginya adalah Sani. Cewek asal Semarang itu baik hati dan rapi. Hidupnya teratur. Dia tahu kapan harus hura-hura dan kapan harus
prihatin. Pembawaannya
yang tenang mungkin akan menulari Tita. (hlm. 26) Teman kedua. Butet. Jelas orang Batak. Tapi karena
sejak balita hidup di
Sukabumi, logat Bataknya sudah berirama Sunda. Dia
cewek periang. Hobinya
cerita lucu-lucu. Masalah hidup seberat apa pun, tak pernah membuatnya pasang tampang duka. Jadi Tita memerlukan teman seperti ini. Dia butuh hiburan. (hlm. 28)
Kedua perempuan yang merupakan teman saat kuliah itu menemani Tita mulai dari saat tinggal bersama di rumahnya sebelum disita, hingga saat tinggal di tempat kos yang sama. Mereka pun berbagi cerita, masalah, hingga makanan. Meskipun telah kehilangan Vio dan Lala sebagai
sahabat, Tita membentuk
persahabatan baru dengan Sani dan Butet.
Bila metropop lain kerap menggunakan latar luar negeri dalam ceritanya, dalam
karya-karya Retni S.B, termasuk My
Partner, kota Jakarta selalu
menjadi latar tempatnya.
Kehidupan masyarakat kota besar seperti Jakarta yang konsumtif dan gaya hidup kelas menengah ke atas patut diduga menjadi salah satu faktor pendorong dari tindak korupsi.
Latar sosial para tokoh dalam novel tersebut pun dari kalangan kelas menengah ke atas, dengan penggambaran dunia arsitek yang digeluti Tita dan Jodik. Kesamaan latar belakang akademis dan pekerjaan itulah yang menjadi rujukan judul novel My Partner.
Tita yang awalnya menjadi
pegawai di kantor Jodik, pada akhirnya menjadi pasangan hidup dan kolega dalam dunia kerja mereka.
“Iya, Ta. Ini rumah kita.
Rumah yang bisa
mengumpulkan sebuah
keluarga besar. Aku sengaja menyisihkan sebagaian dari hasil usaha selama
bertahun-tahun untuk membeli
kaveling ini dan berencana
membangun rumah di
atasnya. […]”
“Kamu serius, Jod? Kok nggak ngomong dari awal?!”
“Kan kejutaaan. Ini kado atas
tantangan-tantangan yang
berhasil kita lewati.” (hlm.
279)
Meskipun terdapat deviasi dari standar metropop pada umumnya seperti pada aspek tema, My Partner ditutup dengan akhir yang membahagiakan. Tita
menikah dengan Jodik dan mereka dapat mengumpulkan kembali anggota keluarga yang terpencar dalam sebuah rumah besar yang
baru selesai dibangun oleh
keduanya.
D. SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa metropop tidak selalu berkelindan dengan gaya hidup
metropolitan yang glamour,
pergaulan tingkat tinggi,
penggunaan bahasa Inggris secara masif, dan keberadaan
barang-barang bermerk. Metropop My
Partner karya Retni S.B. mengusung isu korupsi sebagai tema sekunder selain percintaan sebagai tema utamanya. Tindak korupsi yang ditampilkan dalam metropop tersebut merupakan
titik awal dari terjadinya
permasalahan-permasalahan lain seperti disorganisasi keluarga, kehilangan sumber daya berupa harta dan relasi, hingga pelecehan seksual.
Tokoh perempuan urban dalam novel tersebut memiliki karakter kuat, sensitif, dan tegar
dalam menghadapi berbagai
masalah. Namun, alur cerita kemudian menunjukkan bahwa tokoh laki-laki menjadi pahlawan
yang menyelamatkannya dari
beragam masalah tersebut. Dengan
demikian, perempuan masih
ditampilkan sebagai pihak yang
lemah, korban, dan perlu
diselamatkan.
Kota Jakarta dan bidang
pekerjaan sebagai arsitektur
menjadi latarbelakang kehidupan para tokoh. Sebagai sebuah karya
populer, metropop My Partner pun
mengikuti selera masyarakat yang
mengharuskan cerita ditutup
dengan akhir yang
membahagiakan.
DAFTAR PUSTAKA
Akun, A. & Budiman, M. (2018).
“Women and Corruption in Okky Madasari’s 86 and
Anggie D. Widowati’s Laras: A feminist study” dalam Cultural Dynamics in a Globalized World (Editor: Budianta et al. ). London: Taylor & Francis Group. Alatas, Syed Hussein. (1987).
Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.
Damono, Sapardi Djoko. (1979).
Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hastuti, H. B. P. (2013). Mitos
Amplop dalam Cerpen
Amplop. Kandai. Vol. 9, No. 2, hlm. 371-380.
Kartono, Kartini. (1991). Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kasmuri. (2017). Representasi Korupsi dalam Novel-novel Indonesia Era Reformasi.
Humanis. Vol. 9, No. 2, hlm.169-176.
Mashuri. (2012). “Goda dan Lupa: Wajah Korupsi dalam Novel
Indonesia” dalam Jurnal
Kritik: Teori dan Kajian Sastra: Perkara Korupsi
dalam Sastra Indonesia. Jakarta: The Intercultural Institute.
Pope, Jeremy. (2003). Strategi
Memberantas Korupsi.
Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Rahma, Uzlifatur. (2013).
Kecenderungan Karya Sastra
Retni S.B. http://dioramauzlifa.blogspo t.com/2013/04/kecenderun gan-karya-sastra-retni-sb_9174.html. Diakses 5 Oktober 2020. Rahmawati. (2017). Konflik
Kejiwaan Tokoh Utama
dalam Novel Korupsi karya Tahar Ben Jelloun. Kandai. Vol.13, No. 1, hlm. 75-90.
Rukmini, Mien. (2009). Aspek
Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai). Bandung: Alumni. Sarjono, Agus R. (2012). “Perkara
Korupsi dalam Sastra
Indonesia” dalam Jurnal
Kritik: Teori dan Kajian Sastra. Jakarta: The Intercultural Institute.
S.B, Retni. (2012). My Partner.
Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Subardini, N. N. (2015). Potret
Koruptor dalam Novel
Korupsi. Pujangga. Vol. 1, No. 1, hlm. 50-62.
Wijayanto. (2009). “Memahami
Korupsi” dalam Korupsi
Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Kompas Gramedia.