• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DAN PROBLEM SOLVING PADA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DAN PROBLEM SOLVING PADA REMAJA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA

ADVERSITY QUOTIENT

DAN

PROBLEM SOLVING

PADA REMAJA

Oleh : Rizki Wulandari F

R.R. Indah Ria

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2007

(2)

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT

DAN PROBLEM SOLVING PADA REMAJA

Telah Disetujui Pada Tanggal

Dosen Pembimbing

( R.R. Indah Ria S, S.Psi. Psi )

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT

DAN PROBLEM SOLVING PADA REMAJA

Rizki Wulandari Febrianti R.R. Indah Ria

(3)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara adversity quotient dan problem solving pada remaja. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara adversity quotient dan problem solving pada remaja. Semakin tinggi adversity quotient maka semakin baik pula kemampuan problem solving. Semakin rendah adversity quotient maka semakin rendah atau buruk kemampuan problem solving.

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Psikologi Universitas Islam Indonesia, dengan klasifikasi usia antara 18-21 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun alat ukur yang digunakan adalah skala untuk mengukur adversity quotient modifikasi dari Tiara (2005) yang berjumlah 26 aitem dengan menggunakan aspek-aspek dari Stoltz (2004). Untuk mengukur kemampuan problem solving menggunakan tugas analisa kasus berupa soal cerita dari Widati (1995) yang berjumlah 16 aitem.

Data Penelitian dianalisis dengan komputer program SPSS versi 11.5 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara adversity quotient dan problem solving. Hasil analisis data menggunakan korelasi product moment dari Spearman’s menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara adversity quotient dan problem solving pada remaja yang menunjukkan bahwa nilai r = 0.081, p = 0.260 (p > 0.05).

(4)

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DAN PROBLEM SOLVING PADA REMAJA

Pengantar

Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan sikap dan tindakan yang harus diambilnya ketika menghadapi suatu keadaan yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Apapun pilihan yang diambil, pasti memerlukan usaha dan kerja keras untuk mewujudkannya. Adanya tujuan yang ingin dicapai dari pilihan yang ditetapkan berguna untuk mengingatkan mereka apabila mulai kehilangan semangat dan merasa putus asa ketika dihadapkan pada hambatan dan kesulitan.

Kehidupan manusia tidak lepas dari masalah, begitu juga dengan remaja. Remaja memiliki banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya dalam proses pergaulannya, mengerjakan tugas kuliah atau ketika mereka mendapat uang saku yang kurang. Meskipun problem solving merupakan sesuatu yang biasa dan aktivitas penting dalam kehidupan orang dewasa namun problem solving merupakan sesuatu yang lebih penting pada kehidupan remaja.

(5)

Masalah yang saat ini terjadi adalah bukan peningkatan kemampuan remaja dalam pemecahan masalah namun remaja justru tidak mampu memecahkan masalah, mereka cenderung lari dari masalah. Permasalahan mereka yang semakin kompleks justru membuat mereka tidak terlatih untuk memecahkan masalah namun sebaliknya mereka tidak bisa menyelesaikan masalah mereka. Remaja bahkan harus melibatkan orang lain untuk menyelesaikan masalah mereka.

Masalah yang banyak terjadi pada remaja telah disebutkan diawal yaitu masalah mengerjakan tugas kuliah. Remaja seringkali merasa kesulitan dan merasa tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen mereka dan akhirnya meminta kakak atau teman untuk mengerjakannya, bahkan tidak jarang mereka melihat hasil tugas milik teman. Hal mini menunjukkan kemampuan problem solving remaja sangat rendah, padahal apabila mereka mau berusaha, mereka tentu saja bisa mengerjakan tugas itu meskipun hasil dari tugas itu belum tentu benar.

Remaja pada khususnya perlu dipersiapkan sejak dini. Remaja seharusnya mempunyai kemampuan kognitif dan kemasakan psikologis yang lebih berkembang dibandingkan anak-anak. Kemampuan tersebut memungkinkan faktor dan proses kognitif remaja lebih berperan terhadap kemampuan problem solving. Perkembangan kognitif remaja memungkinkan untuk berpikir logis, membuat abstraksi, berpikir tentang masa depan, melihat hubungan sebab akibat, memperkirakan masa depan, alternatif pemecahan masalahnya dan bagaimana mengatasinya, namun ternyata remaja tidak serasional yang diperkirakan, tekanan

(6)

dan pengaruh dari luar remaja juga sangat berperan terhadap keputusan-keputusan yang dibuat oleh remaja tersebut. Pada kenyataannya prilaku remaja belum sesuai dengan harapan yang ada. Tidak sedikit remaja dalam menghadapi permasalahan cepat menyerah dan mengambil jalan pintas.

Banyak pertanda yang menunjukkan bahwa remaja Indonesia mempunyai kemampuan problem solving yang rendah. Indikator lemahnya kemampuan problem solving pada remaja ditunjukkan dengan adanya kemampuan pengambilan keputusan secara tidak tepat, bergantung dan mengikuti apa yang dilakukan oleh kelompok dan teman-temannya hanya karena solidaritas yang semu, emosional dan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Rendahnya kemampuan dalam problem solving dan ketidakmampuan mengendalikan kemarahan tersebut telah berakibat fatal bagi masa depan remaja. Begitu diri mereka dipenuhi oleh dendam, maka kejernihan pikiran menjadi lenyap dan terjadilah malapetaka yang merenggut masa depannya.

Remaja yang mempunyai kemampuan problem solving yang baik akan mencapai tujuan yang diinginkan. Problem solving pada dasarnya merupakan usaha menghilangkan hambatan riil maupun non-riil yang menghalangi tercapainya suatu tujuan yang diinginkan (Huiit, 1992). Remaja akan mampu mengembangkan dirinya, memiliki kepercayaan diri, kreatifitas dan tidak takut terhadap segala macam tantangan dan hambatan.

Persimpangan atara dua pilihan yaitu berani menghadapi atau menghindar dari masalah ini muncul pada jalur yang tantangannya paling berat dan bisa jadi

(7)

mempunyai keuntungan yang cukup besar. Namun pada kenyataannya daripada harus mengatasi hambatan-hambatan hidup, semakin banyak jumlah orang yang tidak memiliki kemampuan problem solving yang baik akhirnya mereka memilih untuk menyerah saja.

Hidup ini seperti mendaki gunung, kepuasan dicapai melalui usaha yang tidak kenal lelah untuk terus mendaki, meskipun kadang-kadang langkah demi langkah yang ditapakkan terasa lambat dan menyakitkan. Situasi yang sulit tidak menciptakan halangan-halangan yang tidak dapat diatasi. Pada umumnya, ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang akan berhenti berusaha sebelum tenaga dan batas kemampuan benar-benar teruji. Kesuksesan dapat dirumuskan sebagai tingkat dimana seseorang terus bergerak kedepan dan keatas, terus maju dalam menjalani kehidupannya, kendati terdapat berbagai rintangan atau bentuk-bentuk kesengsaraan lainnya (Stoltz, 2000).

Hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi apabila remaja mempunyai kemauan yang kuat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Kemauan yang kuat tersebut juga berkaitan erat dengan daya tahan untuk mengatasi kesulitan. Daya tahan untuk mengatasi kesulitan disebut dengan adversity quotient (Stoltz, 2000). Semakin baik daya tahan remaja dalam menghadapi kesulitan maka kemungkinan akan semakin baik pula kemampuan memecahkan masalah yang dihadapinya.

Mempunyai adversity quotient yang tinggi semakin penting karena keadaan jaman sekarang yang menjadi semakin sulit dan banyak perubahan menyebabkan manusia menjadi semakin sulit untuk dapat beroperasi secara baik.

(8)

Orang yang mempunyai adversity quotient tinggi akan mempunyai pandangan bahwa kesulitan yang menimpa hanya akan berlangsung sementara.

Berdasarkan uraian tersebut maka muncul pertanyaan apakah seseorang remaja yang mempunyai adversity quotient yang tinggi akan mempunyai kemampuan problem solving yang tinggi. Pada penelitian ini peneliti secara lebih spesifik ingin mengertahui keterkaitan hubungan antara adversity quotient dan problem solving pada remaja.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris hubungan antara adversity quotient dan problem solving pada remaja.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat secara teoritis maupun secara praktis. 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat mengembangkan wacana adversity quotient dan problem solving dan memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu psikologi terutama pada psikologi perkembangan remaja dan psikologi pendidikan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi orang tua (keluarga) dan lembaga pendidikan tentang hubungan adversity quotient dan problem solving pada remaja. Bagi para pendidik, konselor, dan relawan

(9)

khususnya remaja dan masyarakat luas memberi gambaran betapa pentingnya adversity quotient dan problem solving yang harus dimiliki seorang remaja.

Tinjauan Pustaka

Problem Solving

Setiap akan memecahkan masalah tentunya harus ada masalah yang akan dipecahkan karena tanpa masalah tentu tidak membutuhkan suatu penyelesaian. Problem atau yang sering dikenal dengan masalah adalah situasi yang tidak pasti, meragukan dan sukar dipahami. Masalah atau pernyataan yang memerlukan pemecahan (Kartono & Gulo, 2000).

Suharnan (2005) mengemukakan bahwa masalah seringkali disebut sebagai kesulitan, hambatan, gangguan, ketidakpuasan, atau kesenjangan. Secara umum dan hampir semua ahli psikologi kognitif seperti Anderson(1980), Evans (1991), Hayes (1978), Ellis dan Hunt (1993) sepakat bahwa masalah adalah suatu kesenjangan antara situasi sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan yang diinginkan. Suatu masalah muncul apabila ada halangan atau hambatan yang memisahkan antara present state dengan goal state.

Hayes (1978) menjelaskan bahwa suatu hal disebut masalah bila terdapat jarak yang memisahkan antara keadaan yang sedang dihadapi individu dengan keadaan yang diinginkan. Solso (1991) mengemukakan bahwa problem solving merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan yang belum jelas yaitu menemukan jawaban atas permasalahan yang meliputi pembentukan respon dan

(10)

seleksi atas berbagai kemungkinan respon. Kartono & Gulo (2000) mengemukakan pengertian problem solving atau pemecahan masalah adalah proses penyelesaian suatu kesukaran atau kewajiban, pemberian perhatian terhadap suatu masalah, proses pemilihan salah satu dari beberapa alternatif yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu.

Penulis dalam penelitian ini menggunakan masalah yang berupa logical dikarenakan adanya asumsi bahwa kemampuan logika (kemampuan menggunakan penalaran secara rasional) sangat diperlukan dalam problem solving (Ellis dan Hunt, 1993). Masalah disajikan sebagai stimulus dalam bentuk verbal dengan menggunakan cerita yang tertulis.

Bardasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa problem solving merupakan tingkat tertinggi dari proses belajar dan terdapat usaha untuk menemukan jawaban atau penyelesaian atas suatu persoalan dengan terlebih dahulu mengetahui gambaran dan karakteristik masalah yang dihadapi.

Stein & Book (2004) mengemukakan aspek-aspek problem solving yaitu, mampu merumuskan masalah., mampu mencari alternatif solusi, mampu memilih alternatif solusi, mampu melaksanakan alternatif solusi yang dipilih, dan mampu mengevaluasi pelaksanaan solusi.

Walgito (1997), juga menerangkan dalam pemecahan masalah ada orang yang menggunakan insight atau juga menggunakan trial and error.

a. Insight adalah adanya pengertian terlebih dahulu yang menuntun orang dalam memecahkan masalahnya.

(11)

Tiap-tiap melakukan problem solving individu akan menemui kesukaran, mulai dari merumuskan masalah hingga melaksanakan alternatif solusi. Pada evaluasi pelaksanaan solusi, individu akan mengetahui hasil dari pemecahan masalahnya.

Seperti prilaku manusia yang lain, problem solving menurut Rakhmat (1996) dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :

a. Faktor personal : meliputi jenis kelamin, kondisi permasalahan, mental set dan functional fixedness, serta pengetahuan dan pengalaman.

b. Faktor situasional terjadi misalnya pada stimulus yang menimbulkan masalah; pada sifat-sifat masalah seperti sulit mudahnya masalah, penting atau kurang pentingnya masalah, melibatkan sedikit atau banyak masalah lain.

Adversity quotient juga bisa dikatakan mempengaruhi bagaimana seseorang memecahkan masalah mereka. Stoltz (2000) menyebutkan bahwa adversity quotient akan memberi tahu seseorang sejauh mana seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan mampu mengatasinya.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa problem solving adalah usaha untuk menemukan jawaban atau penyelesaian terhadap suatu masalah dengan terlebih dahulu mengetahui gambaran dan karakteristiknya. Pada proses problem solving juga diperlukan beberapa faktor, yaitu ada faktor personal, situasional, biologis juga faktor sosiopsikologis yaitu adversity quotient dari problem solver yang akan mempengaruhi seseorang dalam memecahkan masalah.

(12)

Adversity Quotient

Umumnya ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang akan berhenti berusaha sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji, namun ada juga orang yang bagaimanapun caranya harus mendapatkan kekuatan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidup (stoltz, 2000).

Menurut Stoltz (2000), adversity quotient memiliki 3 pengertian yaitu : a. Adversity quotient adalah suatu konsep teori pemahaman tentang kesuksesan

dan usaha meningkatkan semua segi kesuksesan tersebut.

b. Adversity quotient adalah alat ukur untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan.

c. Adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang mempunyai dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan yang dialami sehingga potensi diri menjadi optimal.

Stoltz (2000), menemukan komponen yang terkandung dalam adversity quotient yang sering disebut dengan CO2RE yaitu :

a. Aspek control yaitu tingkat kendali yang dirasakan seseorang terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan diawali dengan pemahaman. Kendali merupakan kemampuan bagaimana mempengaruhi situasi, mengubah situasi yang tidak mungkin menjadi mungkin untuk dilakukan.

b. Aspek origin dan ownership.

Aspek origin yaitu asal-usul siapa atau apa yang menjadi penyebab kesulitan, disini ada kaitannya dengan rasa bersalah. Pada banyak hal, mereka melihat

(13)

dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atas asal-usul (origin) kesulitan tersebut.

Aspek ownership yaitu pengakuan sejauh mana seseorang mengakui akibat kesulitan yang dialami, disini kaitannya dengan rasa tanggung jawab.

c. Aspek reach yaitu jangkauan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian lain dalam aspek kehidupan dan bagaimana individu merespon kesulitan yang dialami.

d. Aspek endurance yaitu daya tahan, rentang waktu kesulitan dan penyebab kesulitan. Endurance merupakan kemampuan bertahan menghadapi kesulitan yang berkaitan dengan seberapa lama kesulitan itu akan berlangsung.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa adversity quotient terdiri atas aspek-aspek control, origin dan ownership, reach serta endurance. Keempat dimensi inilah yang akan menentukan adversity quotient yang dimiliki seseorang, dan yang terpenting adalah bagaimana individu tersebut berusaha dari dalam dirinya untuk mengasah kemampuan adversity quotient-nya. Semakin tinggi tingkat adversity quotient yang dimiliki oleh seorang remaja maka semakin baik pula remaja itu menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-harinya.

Remaja

Penelitian tentang masa remaja yang pernah dipublikasikan sebagian besar membahas tentang remaja awal, sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan dalam masa remaja akhir kurang mendapat perhatian. Mappiare (1982)

(14)

mengatakan bahwa rentangan usia yang biasanya terjadi dalam masa remaja akhir ( remaja Indonesia) adalah antara 17-21 tahun bagi wanita, dan 18-22 tahun bagi pria, oleh sebab itu peneliti mengambil subjek berdasarkan ciri-ciri dan karakteristik yang sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu remaja berusia 18-21 tahun (remaja akhir) baik pria maupun wanita.

Mappiare (1982) menyebutkan, remaja akhir diharapkan memiliki kemampuan menyusun rencana-rencana, menyusun alternatif-alternatif pilihan, membuat perhitungan untung rugi dalam memilih, serta mengadakan konsensus dengan “penguasa” (misalnya orang tuanya), sehingga dia dapat menetapkan pilihan. Kemampuan yang dikemukakan diatas berlaku juga dalam proses berpikir remaja untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Kenyataannya kemampuan berpikir remaja lebih dikuasai oleh emosionalitasnya sehingga kurang mampu mengadakan konsensus dengan pendapat orang lain yang bertentangan dengan pendapatnya. Akibatnya masalah yang menonjol adalah pertentangan sosial. Banyak terdapat remaja akhir yang mendapat kesulitan dalam menyusun rencana-rencana mereka serta menetapkan pilihan, demikian pula dalam pemecahan persoalan yang dihadapi. Hal yang demikian ini mungkin disebabkan oleh kondisi-kondisi sosial, ekonomis, atau aspek-aspek psikis lainnya seperti kondisi emosi dan sikap.

Dipilihnya remaja akhir sebagai subjek karena pada tahap remaja ini terjadi pertumbuhan pribadi dan sosial. Remaja akan menghadapi berbagai macam persoalan dalam kehidupannya dan hal ini tentu saja membutuhkan problem solving yang baik. Dasar lainnya adalah pada remaja dengan rentang usia tersebut

(15)

telah dapat menganalisis suatu permasalahan secara lebih mendalam sehingga faktor-faktor lain yang mempengaruhi problem solving dapat diminimalkan. Diharapkan dalam penelitian ini dapat ditemukan adanya kemampuan problem solving yang kuat, dan juga perkembangan adversity quotient yang dimiliki remaja.

Hubungan antara Adversity Quotient dan Problem Solving pada Remaja. Remaja yang memiliki kemampuan problem solving yang baik akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Hal ini disebabkan remaja tidak merasa terhambat dan cenderung memiliki perasaan yang tenang karena remaja tersebut mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi (Levine, 1988). Remaja dengan kemampuan problem solving yang rendah menyebabkan perasaan terhambat, ketidaktenangan yang akhirnya akan menghambat remaja dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan untuk memecahkan masalah (Lestari, 1994). Remaja yang memiliki kemampuan problem solving yang rendah didominasi oleh rasa pesimisme yang mengarah terbentuknya afeksi negatif. Afeksi negatif tersebut menyebabkan remaja mengalami hambatan emosional yang akan berpengaruh pula terhadap proses kognitif terhadap problem solving.

Menurut Stoltz (2000) individu dapat dikatakan memiliki adversity quotient yang tinggi apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : bersikap fleksibel pada saat menghadapi tantangan; berusaha tampil prima dan mempertahankan penampilannya, bersikap optimistik, mengambil resiko bila perlu, berusaha melakukan perubahan, berusaha untuk tetap sehat, enerjik dan

(16)

memiliki vitalitas, bertahan pada tantangan-tantangan yang sulit dan kompleks, tekun berusaha (ulet); berusaha menemukan inovasi-inivasi baru untuk pemecahan masalah; berusaha menjadi pengambil keputusan dan pemikir yang responsif; serta berusaha untuk belajar hal-hal yang baru dan berusaha untuk mengembangkan diri.

Berdasarkan ciri-ciri diatas dapat dilihat juga seorang remaja yang memiliki adversity quotient yang tinggi tidak akan mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya. Selain itu juga akan menemukan inovasi-inovasi baru dalam pemecahan masalah.

Salah satu ciri individu dengan adversity quotient tinggi adalah memiliki sikap optimistik. Stein & Book (2004) mendefinisikan optimistik adalah kemampuan melihat sisi terang kehidupan dan memelihara sikap positif, sekalipun ketika berada dalam kesulitan, optimisme mengasumsikan adanya harapan dalam cara orang menghadapi kehidupan.

Aspek-aspek positif dari adversity quotient menyebabkan kemampuan problem solving remaja meningkat karena terciptanya afeksi positif yang akan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh remaja. Afeksi positif yang didasari oleh optimisme tersebut akan mempengaruhi keadaan kognitif remaja. Baron dan Byrne (1994) mengatakan bahwa afeksi akan mempengaruhi proses kognitif melalui pembentukan persepsi yang disesuaikan dengan keadaan remaja. Kondisi emosional yang stabil dan senang akan membawa dampak positif pada penampilan kognitif remaja dalam kemampuan problem solving.

(17)

Disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki daya juang atau keuletan yang tinggi atau biasa dikenal dengan adversity quotient akan lebih baik pula dalam kemampuan problem solving-nya.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara adversity quotient dan problem solving pada remaja, sehingga diharapkan semakin tinggi adversity quotient maka semakin baik problem solving pada remaja.

Metode Penelitian

Variabel Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian dan untuk mengenalkan fungsi masing-masing variabel dalam penelitian ini maka diidentifikasikan :

1. Variabel tergantung (Dependent) : Problem solving 2. Variabel bebas (Independent) : Adversity quotient

Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil berdasarkan ciri-ciri dan karakteristik yang sesuai dengan tujuan penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UII dengan kriteria subjek yang diambil adalah remaja akhir berusia 18-21 tahun, laki-laki dan perempuan sejumlah 65 subjek.

(18)

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah tugas problem solving dan sebuah skala pengukuran. Pertama kemampuan untuk memecahkan masalah diungkap melalui pemberian tugas problem solving yang disusun Widati (1995). Tugas problem solving ini terdiri dari aspek-aspek problem solving dari Stein & Book (2004) yaitu, mampu merumuskan masalah, mampu mencari alternatif solusi, mampu memilih alternatif solusi, mampu melaksanakan alternatif solusi yang dipilih, dan mampu mengevaluasi pelaksanaan solusi. Kedua, skala adversity quotient menggunakan alat ukur dari Tiara (2005) ditambah dengan modifikasi untuk menyesuaikan dengan subjek penelitian, yang terdiri dari aspek-aspek adversity quotient dari Stoltz (2000) yaitu aspek control, origin, ownership, reach, dan endurance.

Metode Analisis Data

Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan teknik analisa statistik. Teknik statistik yang dipakai adalah teknik analisis data korelasi, yaitu formula koefisien korelasi product moment dari Spearman’s dan untuk menganalisis data penelitian digunakan alat bantu komputer dengan program SPSS for windows release 11.5.

Hasil Penelitian

(19)

Melalui perhitungan statistik yang dilakukan, didapatkan gambaran tentang data penelitian berdasarkan fungsi-fungsi statistik yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1

Deskripsi Data Penelitian

Hipotetik Empirik Variabel

Min Maks SD Rerata Min Maks SD Rerata Problem Solving Adversity Quotient 0 26 16 104 2.67 13 8 65 1 61 16 95 4.531 6.764 8.18 78.94

Hasil Uji Asumsi

Hasil uji normalitas terhadap kedua alat ukur menunjukkan sebaran yang normal dengan koefisien K-SZ =1.033, (p >0.05) untuk tugas problem solving, sedangkan skala adversity quotient menunjukkan skor K-SZ = 0.718, (p > 0.05). Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa alat ukur problem solving dan adversity quotient memiliki sebaran normal.

Sementara itu, hasil uji linieritas menunjukkan koefisien F = 0.888 dengan p = 0.352 (p > 0.05). Hasil uji linearitas tersebut menunjukkan bahwa antara problem solving dan adversity quotient bersifat tidak linier.

(20)

Uji hipotesis pada penelitian ini dilakukan setelah uji prasyarat yaitu normalitas dan linearitas terpenuhi. Berdasarkan hasil uji linearitas diperoleh hasil bahwa antara problem solving dan adversity quotient tidak linier. Pengujian hipotesis yang dilakukan adalah dengan analisa menggunakan korelasi spearman’s rho, diperoleh hasil r = 0.081, p = 0.260 (p > 0.05), hipotesis penelitian ditolak.

Pembahasan

Hasil analisis menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini ditolak, sehingga tidak ada hubungan antara adversity quotient dan problem solving pada remaja. Hal ini bisa saja terjadi karena ada berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan problem solving pada remaja dan juga pengaruh dari prosedur pengambilan data. Adversity quotient ternyata tidak berpengaruh terhadap kemampuan problem solving pada remaja, padahal dikatakan bahwa orang yang memiliki daya juang tinggi akan mampu menghadapi dan mengatasi semua masalah yang menimpanya. Kenyataannya dalam penelitian ini banyak remaja yang memiliki adversity quotient tinggi justru kurang baik dalam kemampuan problem solving.

Penelitian ini secara teori menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara adversity quotient dan problem solving. Pemecahan masalah adalah tingkat tertinggi dari suatu proses belajar. Proses ini meliputi aplikasi dari prinsip-prinsip dan fakta untuk menjelaskan dan memecahkan suatu masalah. Tahap-tahap pemecahan masalah yang rumit mulai dari pemahaman masalah sampai evaluasi serta pemilihan strategi-strategi yang dibutuhkan untuk memecahkan suatu

(21)

masalah memerlukan proses kognisi yang tidak sederhana yang meliputi kemampuan untuk melakukan prediksi dan analisis (Chauchan, 1978).

Hal ini berkaitan erat dengan adversity quotient, dimana seseorang yang mempunyai adversity quotient yang tinggi akan menganggap masalah sebagai suatu tantangan untuk diselesaikan, sedangkan seseorang yang mempunyai adversity quotient yang rendah akan cenderung menyerah dan menghindar dari permasalahan yang sedang dihadapi (Stoltz, 2000).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adversity quotient yang tinggi tidak menjamin subjek akan memiliki kemampuan problem solving yang tinggi juga. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tinjauan mengenai hasil analisis data tersebut. Tingginya kemampuan problem solving subjek penelitian dapat disebabkan oleh faktor internal dan ekternal dari subjek. Faktor internal meliputi pengalaman dan keahlian (Matlin, 1988).

Faktor pengalaman dan keahlian subjek tidak dikontrol dalam penelitian ini karena hal ini sulit dilakukan jadi dari subjek penelitian tidak dapat dilihat kedua faktor tersebut dalam proses problem solving yang dilakukan. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kemampuan problem solving dan instruksi dalam pengerjaannya juga sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh. Alat ukur yang digunakan adalah model kognitif tes dengan empat alternatif jawaban dengan satu jawaban yang benar. Hal ini memungkinkan subjek menjawab dengan cara asal tanpa melalui proses dan tahapan problem solving yang benar. Jadi skor yang tinggi belum dapat sepenuhnya menunjukkan bahwa subjek tersebut mempunyai kemampuan problem solving yang tinggi.

(22)

Tingkat adversity quotient subjek yang sebarannya tidak merata dan hanya terdapat pada tingkat tinggi dan sedang. Hal ini sebenarnya berkaitan dengan alat ukur yang menggunakan skala Linkert dimana subjek tidak berani untuk menjawab dengan jawaban-jawaban ekstrim dikarenakan berkaitan dengan sikap subjek.

Delclos dan Harrington (1991), mengatakan pentingnya pelatihan didalam keterampilan memecahkan masalah, berdasarkan riset dari Harmon, dkk (1995) nampak bahwa kecerdasan, keahlian dan pengetahuan, perorangan bisa menghadirkan suatu ruang masalah dengan sepenuhnya, untuk menghasilkan suatu variasi strategi lebih besar, dan untuk memilih dan menggunakan yang paling efisien untuk strategi dalam suatu solusi masalah.

Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan antara lain, pembagian skala penelitian dilaksanakan selesai kuliah, dan ditunggu dosen mata kuliah tersebut ketika proses pengerjaan berlangsung dan belum disampaikan secara jelas manfaat penelitian bagi subjek. Keadaan tersebut dapat memungkinkan terjadi social desirability, yaitu aitem yang isinya sesuai dengan keinginan sosial umumnya atau dianggap baik oleh norma sosial.

Kelemahan lainnya adalah alat ukur tugas problem solving. Aspek-aspek dalam problem solving menunjukkan kemampuan problem solving dalam ruang lingkup kognitif, sehingga pengukuran kemampuan problem solving dengan menggunakan tugas problem solving bentuk soal cerita yang lebih membutuhkan kemampuan berpikir, dan logika yang termasuk ruang lingkup kognitif tidak akan berhubungan, karena antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya alat

(23)

ukur yang digunakan tidak berada dalam satu ruang lingkup. Tugas problem solving sebagai masalah yang disajikan oleh peneliti tidak menuntut kemampuan adversity quotient yang tinggi namun lebih kepada kemampuan kognitif dan proses berpikir subjek. Ketidaksesuaian alat ukur inilah yang ikut berpengaruh terhadap hasil penelitian.

Faktor emosi juga mempengaruhi hasil penelitian diatas. Rakhmat (1996) mengatakan bahwa dalam menghadapi berbagai situasi, tanpa sadar seseorang sering terlibat secara emosional, emosi mewarnai cara berpikir seseorang. Subjek terlihat terlalu emosional untuk bisa menyelesaikan soal cerita tersebut, tapi hal itu justru secara tidak langsung mengganggu konsentrasi dalam berpikir. Subjek menjadi tidak tenang dan merasa harus cepat menyelesaikannya. Hal ini terjadi karena instruksi yang diberikan ada batas waktu yang ditetapkan dalam penyelesaiannya, sehingga mereka menjadi emosi dan tidak bisa berpikir dengan tenang. Mereka sering melihat-lihat milik teman, karena adanya keterbatasan waktu sehingga mengganggu konsentrasi mereka dalam mengerjakan. Sehingga remaja yang sebenarnya memiliki adversity quotient yang tinggi, karena panik mereka tidak mampu mengerjakan tugas problem solving dengan baik.

Subjek ketika melakukan proses problem solving harus diperhatikan tahap-tahapnya. Penelitian ini tidak memperhatikan tahap-tahap tersebut sehingga proses berpikir subjek dalam problem solving tidak terlihat. Levine (Stein & Book, 2004) menjelaskan mengenai tiga prinsip yang dapat dijadikan pedoman dalam tahap-tahap individu memecahkan masalah, yaitu :

(24)

a. Eksternalisasi, adalah penjabaran informasi yang dimiliki oleh individu. Menuliskan informasi tersebut atau menggambarkan grafik untuk menjelaskan hubungan yang lebih kompleks sehingga semua unsurnya terlihat jelas.

b. Visualisasi, berarti membayangkan diri melakukan langkah-langkah yang telah ditetapkan untuk memecahkan suatu masalah sebelum benar-benar menjalankannya atau membayangkan akibat yang mungkin terjadi apabila dilaksanakan suatu cara pemecahan masalah.

c. Penyederhanaan, adalah memecahkan masalah menjadi unit-unit yang paling kecil. Apabila seseorang memfokuskan diri pada informasi yang paling relevan, membuat semuanya menjadi spesifik dan sekonkret mungkin bahkan kesulitan yang paling berat pun akan menjadi lebih mudah ditangani. Disimpulkan bahwa tahap-tahap pemecahan masalah ada berbagai macam dari tingkat yang mudah dan butuh kemampuan tertentu dan juga dapat menjangkau masalah yang sempit atau yang luas dimana setiap orang meskipun tanpa mereka sadari akan memiliki gaya dan metode yang berbeda dalam melihat suatu masalah dan memecahkannya., begitu pula dengan setiap remaja akan berbeda cara mengatasi masalah yang dihadapinya.

Penutup

(25)

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ditolak, sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara adversity quotient dengan problem solving pada remaja.

Saran

Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini masih dapat diperluas dengan memperhatikan variabel lain yang dapat berhubungan dengan problem solving. Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk lebih mengetahui hal-hal tentang problem solving dapat memperhatikan faktor lain yang dapat dihubungkan dengan problem solving yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa motivasi, kepercayaan dan sikap yang salah, kebiasaan, emosi, inteligensi, pengalaman, dan kreativitas. Faktor eksternal berupa teman-teman, dosen, orang tua, dan lingkungan.

Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, oleh karena itu bagi peneliti selanjutnya sebaiknya mengantisipasi kelemahan tersebut. Pada pelaksanaan penelitian agar memperhatikan subjek yang akan diteliti dan alat ukur yang akan digunakan. Lebih spesifik lagi dalam menggunakan alat ukur untuk kemampuan problem soling, lebih detail dan lebih kompleks lagi pengukuran kemampuan problem solving-nya dan sesuai dengan aspek yang akan diukur dalam kaitannya

(26)

dengan variabel yang dihubungkan. Diperhatikan juga waktu dalam pengambilan data dalam peneltiaan yang sebaiknya disediakan waktu yang benar-benar terkondisikan. Pembagian skala sebaiknya dilaksanakan peneliti sendiri dengan menyampaikan kepada subjek penelitian bahwa penelitian juga bermanfaat bagi subjek, diantaranya untuk memecahkan permasalahan. Hal tersebut bermanfaat pula untuk mengurangi kemungkinan social desirability. Perlu juga diperhatikan tahap-tahap subjek dalam memecahkan masalah sehingga proses berpikirnya bisa terlihat.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R.A & Byrne, D. 1994. Social Psychology : Understanding Human Interaction, Sixth Edition. Boston : Allyn Bacon Inc.

Delclos, V.R. and Harrington. C. 1991. Effects of Strategy Monitoring and Proactive Instruction on Children’s Problem Solving Performance. Journal of educational Psychology, 83 (1). 35-42.

Ellis, H.C. and Hunt, R.R. 1993. Fundamental of Cognitive Psychology (5th edition). Dubuque, Lowa : Wm. C. Brown Publisher.

Harmon. Michelle. Morse & Linda. 1995. Strategies and Knowledge in Problem Solving : Result and Implication for Education. Journal Education Vol 115.

Hayes, J.R. 1978. Cognitive Psychology : Thinking and Creating. Home wood : The Dorsey Press.

Huitt, W. 1992. Problem Solving and Decision Making Consideration of Individual Differences Using the Myers-Briggs Type Indicator. Journal of Psychological type 24, 33-34.

Kartono. K. & Gulo. D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung : Penerbit Pionir Jaya.

Lestari, A.1994. Pelatihan Berpikir Positif untuk Mengatasi Sifat Pesimis dan Gangguan Depresi. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Pascasarjana UGM.

Levine, M. 1988. Effective Problem Solving. New Jersey : Prentice Hall Inc. Mappiare, Andi. (1982). Psikologi Remaja. Malang : Usaha nasional.

Matlin, M.W. 1998. Cognition (4th edition). Orlondo : Harcourt Brace and Company. Rakhmat, J. 1996. Psikologi Komunikasi. Bandung : Pt Remaja Rosdakarya. Solso, R.L. 1991. Cognitive Psychology (3rd edition). Boston Allyn and Bacon.

Stein. S. J & Book. H. B. 2004. Ledakan EQ : 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Terjemahan. Bandung : Kaifa.

Stoltz, P.G. 2000. Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang (Terjemahan). Jakarta : PT Gramedia.

Suharnan, 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya : Srikandi 22

(28)

Tiara. 2005. Kemampuan Problem Solving anak Ditinjau dari Adversity Quotient dan Inteligence Quotient. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII.

Walgito. B. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset.

Widati, A. 1995. Pengaruh Ketidakberdayaan yang Dipelajari Terhadap State Anxiety dan Kemampuan Pemecahan Masalah ditinjau dari Tingkat Kesulitan Tugas. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang kesehatan pada ternak babi melalui prevalensi dan intensitas cacing parasit pada feses, yang bertujuan untuk

2014, Pengaruh Kepercayaan Diri Terhadap Kecemasan Bertanding Pada Atlet Pencak Silat Nur Harias Di Malang, Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Maulana

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dimana penggunaan metode deskriptif dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menjabarkan fenomena terkait

Kelebihan dari pelumas berbahan dasar minyak nabati ini jika dibandingkan dengan bahan dasar minyak bumi yaitu memiliki indeks viskositas tinggi, tingkat pengurangan jumlah

MEMBANGUN KESIAPAN BELAJAR SISWA ( READINESS ) PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI MA NU IBTIDAUL FALAH SAMIREJO DAWE KUDUS TAHUN. PELA

menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN DAN KREATIVITAS GURU DALAM MENGAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SEJARAH

Singapura tidak dikenakan pajak. !ung !unga" untu a" untuk bunga yang di k bunga yang dibay bayark arkan oleh per an oleh perusa usahaa haan yang berke n yang

Fungsi sistem yang penulis buat ini adalah untuk memberikan informasi atau gambaran tentang wisata budaya yang ada di pulau lombok dalam format multimedia