• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI KEAMPUHAN EKSTRAK AKAR TUBA (Derris elliptica Benth) UNTUK PENGENDALIAN RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren GUS ADHARINI E

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI KEAMPUHAN EKSTRAK AKAR TUBA (Derris elliptica Benth) UNTUK PENGENDALIAN RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren GUS ADHARINI E"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

UJI KEAMPUHAN EKSTRAK AKAR TUBA (Derris elliptica

Benth) UNTUK PENGENDALIAN RAYAP TANAH

Coptotermes curvignathus Holmgren

GUS ADHARINI

E14203006

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

GUS ADHARINI. E14203006. Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris Elliptica Benth) Untuk Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Curvignathus Holmgren. Dibimbing oleh Ir. ENDANG A. HUSAENI.

Rayap merupakan jenis hama HTI yang sangat merugikan karena dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi hasil hutan. Serangan rayap terjadi pada berbagai jenis tanaman kehutanan, perkebunan maupun pertanian, misalnya jati, pinus, karet, eucaliptus, kelapa sawit dan jenis tanaman lainnya. Pengendalian rayap pada tegakan hutan sering dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetik seperti aldrin, heptachlor, chlordane dan dieldrin. Namun insektisida-insektisida tersebut tergolong insektisida hidrokarbon berklor yang sangat persisten di lingkungan dan sekarang sudah tidak diproduksi lagi. Untuk itu perlu dicari insektisida alternatif lainnya yang lebih ramah lingkungan tetapi cukup efektif untuk pengendalian rayap, salah satunya adalah insektisida botani yang terdapat dalan akar tanaman tuba (Derris

elliptica Benth). Tanaman tuba merupakan flora Indonesia yang cukup berpotensi dan

diketahui berkhasiat untuk pengendalian hama pada berbagai tanaman. Senyawa alami yang terdapat pada akar tuba ini yaitu rotenon.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2007 – januari 2008 di Laboratorium Hama Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bahan yang digunakan adalah akar tuba yang dibuat serbuk dengan ukuran 40-60 mesh. Sebanyak 1000 gram serbuk yang sudah disaring diekstrak dengan cara merendam dalam larutan etanol 95% selama 48 jam. Ekstraksi dilakukan berulang-ulang sampai mendapatkan seluruh zat ekstraktif yang terdapat pada tanaman tuba. Ekstraksi dihentikan bila tidak terjadi lagi perubahan warna pelarut (bening). Kemudian ekstrak etanol divakum dengan menggunakan alat rotary vaccum evaporator untuk mendapatkan zat ekstrak kental yang kemudian diaplikasikan dengan cara penyemprotan ekstrak akar tuba pada rayap tanah C. curvinagtus dan perendaman kayu umpan dengan ektrak akar tuba dengan konsentrasi 5% dan 10%. Kematian rayap 100% dengan penyemprotan konsentrasi 5% dan 10% terjadi pada hari ke-11 dan hari ke-7. Kematian rayap yang diberi kayu umpan pada konsentrasi 5% dan 10% mencapai mortalitas 100% terjadi pada hari ke-12 dan hari ke-8. Analisis keragaman pada kedua aplikasi menunjukan hasil yang berpengaruh sangat nyata dan hasil uji jarak Duncan menunjukan bahwa mortalitas rayap dengan penyemprotan dan mortalitas rayap yang diberi kayu umpan konsentrasi 5% tidak berbeda nyata dengan mortalitas rayap dengan penyemprotan dan moertalitas rayap yang diberi kayu umpan konsentrasi 10%. Uji pelarut menunjukan bahwa tidak ada pengaruh pelarut pada ekstrak akar tuba. Dengan demikian ekstrak akar tuba dapat dijadikan insektisida alternatif dalam upaya membunuh atau paling tidak mengurangi perkembangan rayap.

(3)

SUMMARY

GUS ADHARINI. E14203006. Efficacy of Tuba Extract ( Derris Elliptica Benth) to Control Captotermes Curvignathus Holmgren. Under Supervision of Ir. ENDANG A. HUSAENI.

Captotermes Curvignathus Holmgren pest in forest plantation in Indonesia.

The termite attack various plant such as teak, pine, rubber, eucalyptus and palm oil. Current measure to control the termite is by using chlorinated hydrocarbon such as aldrin, heptachlor, chlordane and dieldrin. The insecticides are very persistent and very harmful to the environment, and now the insecticides are not produced. It is therefore needed to seek alternative insecticide that are effective but not harmful the environment. Botanical insecticide extracted from the root of tuba plant (Derris

elliptica Benth) can be tested to control the termite.

The research was conducted on October 2007 to January 2008, at the forest pest laboratory, Faculty of Forestry IPB Bogor. As mush as 1000 grams tuba root powder of 40-60 mesh in size was extracted using ethanol 95% for 48 hours. Extraction was stopped after there is no color change in solvent. The extractive fluid was then vacuumed in the rotary vacuum evaporator to obtain a viscous liquid. The viscous liquid was then diluted in water to obtain a dilution of 5% and 10% in concentration. A number of 50 termite workers were sprayed with the dilution (three replication). Another treatment was to soak the pine wood in the dilution and the used as bait to termite.

The result show that 100% mortality of termite sprayed with 5% and 10% concentration was happened in the day of 11 and 7 respectively. While the 100% mortality of termite in pine wood bait soaked in 5% and 10% of concentration was in the day of 12 and 8 respectively. Duncan multiple range test showed that no the significant different in termite mortality sprayed with 5% and 10% concentration. The termite mortality baited with pine wood is not also significantly different. Ethanol as a solvent do not affect termite mortality.

Keyword : termite, extract of tuba, spraying, submerged, mortality

(4)

Benth) UNTUK PENGENDALIAN RAYAP TANAH Coptotermes

curvignathus Holmgren

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

GUS ADHARINI

E14203006

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Benth) Untuk pengendalian Rayap Tanah (Coptotermes

curvignathus Holmgren)

Nama : Gus adharini NRP : E 14203006

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Endang A. Husaeni

NIP. 130 338 569

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutana Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr

NIP. 131 578 788

(6)

Penulis dilahirkan di Manna, Bengkulu Selatan, pada tanggal 15 Agustus 1985 dari pasangan bapak Ahmad Daruri Fauzi dan ibu Lela Wati, serta merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari TK. Aisyiah pada tahun 1990–1991, kemudian pada tahun 1997 penulis menyelesaikan SDN.10. Manna. Pada tahun 2000 menyelesaikan pendidikan di SLTP 2 Manna dan pada tahun 2003 penulis lulus dari SMUN 5 Manna. Selama pendidikan penulis berprestasi di kelas dan diluar kelas diantaranya juara 2 Lomba Mengarang Bahasa Indonesia pada tahun 2002, juara 1 pada lomba teater se-SMU 5, Penulis juga aktif dalam kegiatan keorganisasian sekolah yaitu anggota OSIS pada seksi keagamaan, pramuka, dan aktif dalam kegiatan seminar Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Bengkulu Selatan (IPPMBS). Selama di SMUN penulis mendapatkan beasiswa. Pada tahun yang sama penulis diterima di Istitut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswi Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswi penulis mengikuti kegiatan keorganisaian IFSA pada tahun 2004, Lomba Karya Tulis Bidang Lingkungan Hidup yang diselenggarakan dalam rangka Hari Pulang Kampus (HAPKA) XIII tahun 2006. Pada tahun 2005 penulis melakukan praktek pengenalan dan pengelolaan hutan (P3H) di Kamojang-Sancang, Garut dan KPH Tasikmalaya. Tahun 2007 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) selama 2 bulan dari Februari–April di SINAR MAS, PT. Sebangun Bumi Andalas, Palembang.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian yang berjudul Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Benth) Untuk Pengendalian Rayap Kayu Tanah (Captotermes cuevignathus Holmgren) “ dibimbing oleh Ir. Endang A. Husaeni.

(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Benth) Untuk pengendalian Terhadap Rayap Tanah (Captotermes cuevignathus Holmgren)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari terbitan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2008

Gus Adharini NRP. E14203006

(8)

Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allh SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran serta rahmat, karunia dan hidayah-Nya yang selalu terlimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Benth) Untuk Pengendalian Rayap Tanah (Captotermes cuevignathus Holmgren).” Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi simua pihak.

Bogor, April 2008

Penulis

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Orang tua penulis, bapak Ahmad Daruri Fauzi dan ibu Lela Wati yang selalu mendoakan, memberikan semangat, kasih sayang, pengorbanan, perhatian dan nasehat sejak penulis lahir sampai saat ini. Serta kakak Bambang Meiliansyah dan adik-adik: Dyah Saraswati, Lili Fitriani dan Zaka Syahrul Hidayat Algani yang selalu membuat penulis semangat sehingga penulis mampu bertahan dari segala masalah yang penulis terima selama menjalani kenyataan hidup ini.

2. Ir. Endang A. Husaeni selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, pengarahan dan motivai yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Sucahyo Sadiyo, Ms selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Dr. Ir. Abdul haris Mustahri, M. Sc selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan.

4. Seluruh Dosen, Staf dan karyawan Fakultasa Kehutanan IPB atas segala bantuannya selam penulis melaksanakan studi.

5. Dwi Prian Dona, teman terdekat selama penelitian yang telah meluangkan waktunya untuk menemani, membantu dan memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Devianto TL, Nenih, Anjar, Cecep Ardian, teteh wenti, merda, uges dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuan dan nasehat kalian penulis dapat tabah dan tegar menghadapi masalah dalam hidup ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Amin.

Bogor, April 2008

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Insektisida ... 3

2.2 Tumbuhan Tuba (Derris elliptica Benth) ... 6

2.2.1 Taksonomi dan Morfologi ... 6

2.2.3 Penyebaran dan Tempat Tumbuh... 7

2.2.3 Penggunaan Akar Tuba ... 8

2.3 Rayap Tanah ... 9

2.4 Peranan Rayap pada Ekosistem Hutan... 12

2.5 Captotermes curvignathus Holmgren ... 12

2.5.1 Penyebaran ... 12

2.5.2 Morfologi Serangga ... 12

2.5.3 Biologi... 13

2.5.4 Jenis-jenis Pohon yang Diserang ... 13

2.5.5 Cara penyerangan... 13

2.5.6 Cara Pengendalian... 14

BAB III BAHAN DAN METODE ... 16

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Alat dan Bahan... 16

3.3 Persiapan Penelitian ... 16

3.3.1 Pembuatan Esktrak Akar Tuba ... 16

3.3.2 Penyeapan Kayu Umpan ... 17

(11)

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 18

3.4.1 Aplikasi Ekstrak Akar Tuba Dengan Cara Penyemprotan... 18

3.4.2 Aplikasi Ektrak Akar Tuba Dengan Perendaman Kayu Umpan ... 19

3.4.3 Pengujian Pelarut ... 19

3.5 Analisis Data ... 20

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Hasil ... 21

4.1.1 Kematian Rayap Dengan Perlakuan Penyemprotan 21

4.1.2 Kematian Rayap Yang Diberi Kayu Umpan... 22

4.3.3 Uji Pelarut ... 25

3.2 Pembahasan... 26

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

3.1 Kesimpulan ... 28

3.2 Saran... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Persentase kematian kumulatif C. curvignathus yang disemprot

dengan ekstrak akar tuba ... 21 2. Rekapitulasi hasil analisis keragaman kematian C. Curvignathus

dengan perlakuan penyemprotan dari hari pertama samapi hari ke

tujuh ... 22 3. Rekapitulasi uji jarak Duncan C. Curvignathus dengan perlakuan

penyemprotan dari hari pertama samapi hari ke tujuh ... 23 4. Persentase kematian kumulatif C. curvignathus yang diberi umpan

kayu pinus beracun ... 23 5. Hasil analisis keragaman kematian C. curvignathus yang diberi

kayu umpan yang direndam ekstrak akar tuba dari hari pertama

sampai hari ke delapan ... 24 6. Rekapitulasi uji jarak Duncan C. Curvignathus dengan perlakuan

pengumpanan kayu yang direndam ekstrak akar tuba ... 24 7. Persentase kematian rayap C. curvignathus yang diberi kayu umpan

yang direndam dalam serbuk akar tuba yang diencerkan dengan

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Klasifikasi insektisida secara umum ... 4

2. Tanaman tuba ... 6

3. Akar tuba... 8

4. Rumus kimia rotenon ... 9

5. Proses pemisahan pelarut dan ekstraktif dengan alat rotary vacum epavorator... 17

6. Rayap tanah Captotermes curvignathus Holmgren... 18

7. Grafik persentase kematian C. curvignathus pada berbagai perlakuan penyemprotan ... 21

8. Grafik persentase kematian C. curvignathus yang diberi kayu umpan yang direndam ... 23

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Kadar ektrak akar tuba (Derris elliptica Benth) berdasarkan berat

kering... 32 2. Kadar air contoh uji sebelum perendaman ke dalam ekstrak akar tuba 33 3. Data kematian rayap tanah (Captotermes curvignathu Holmgren) per

hari selama pengamatan yang diberi umpan kayu pinus yang

direndam dengan ekstrak akar tuba... 34 4. Persentase kematian rayap tanah (Captotermes curvignathus

Holmgren) selama pengamatan yang diberi perlakuan dengan

perendaman ekstrak akar tuba ... 35 5. Data kematian rayap tanah (Captotermes curvignathu Holmgren) per

hari selama pengamatan yang diberi perlakuan penyemprotan ekstrak

akar tuba. ... 37 6. Persentase kematian rayap tanah (Captotermes curvignathus

Holmgren) selama pengamatan yang diberi perlakuan dengan

penyemprotan ekstrak akar tuba... 38 7. Data kematian rayap tanah (Captotermes curvignathu Holmgren) per

hari selama pengamatan yang diberi umpan kayu pinus yang

direndam dengan dan tanpa etanol ... 40 8. Persentase kematian rayap tanah (Captotermes curvignathus

Holmgren) selama pengamatan yang diberi perlakuan dalam

perendaman dengan dan tanpa etanol ... 41 9. Analisis ragam kematian C. curvignathus dengan penyemprotan

ekstrak akar tuba pada hari pertama samapai hari ke tujuh ... 43 10. Analisis ragam kematian C. curvignathus yang diberi kayu umpan

yang direndam dalam ekstrak akar tuba pada hari kedua samapai hari

ke delapan ... 44 11. Uji Khi-Kuadrat data persentase kematian rayap pada contoh uji

tanpa perlakuan perendaman dalam etanol dan contoh uji perlakuan

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara tropika yang mempunyai hutan alam yang sangat luas, disertai oleh keanekaragaman jenis tanaman (flora) yang sangat tinggi. Seperti umumnya di daerah tropika, kekayaan jenis tanaman yang tinggi ini disertai pula oleh kekayaan jenis faunanya, termasuk di dalamnya serangga pemakan tanaman.

Hutan tanaman industri (HTI) merupakan tegakan oligokultur atau bahkan monokultur, yang diharapkan lebih produktif dan lebih mudah dipanen dari hutan produksi alam. Ekosistem HTI menjadi sangat mirip dengan ekosistem pertanian yang memerlukan pengelolaan hama dan pathogen tanaman yang lebih intensif karena ekosistem HTI yang mempunyai keanekaragaman yang rendah ini akan peka terhadap gangguan organisme. Timbulnya masalah hama pada HTI merupakan kekhawatiran yang beralasan mengingat dalam ekosistem HTI yang mirip dengan ekosistem pertanian, rendahnya jumlah spesies menyebabkan menurunnya keseimbangan alam dalam ekosistem itu (Husaeni 2001).

Rayap merupakan jenis hama HTI yang sangat merugikan karena dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi hasil hutan. Kondisi iklim dan tanah termasuk banyaknya ragam jenis tanaman di Indonesia sangat mendukung kehidupan rayap. Oleh karena itu, lebih dari 80% daratan Indonesia merupakan habitat yang baik bagi kehidupan berbagai jenis serangga ini. Tidak kurang dari 200 jenis rayap atau 10% dari keragaman rayap yang tersebar di dunia merupakan bagian dari tipe ekosistem di Indonesia, tidak saja ekosistem hutan, pertanian, perkebunan, juga termasuk ekosistem permukiman atau perkotaan (Nandika et al., 2003). Serangan rayap terjadi pada berbagai jenis tanaman kehutanan, perkebunan maupun pertanian, misalnya jati, tusam, karet, eukaliptus, kelapa sawit dan jenis tanaman lainnya. Selain itu rayap juga dapat menyerang berbagai jenis kayu yang telah digunakan dalam bangunan gedung dan perabotan rumah tangga yang terbuat dari kayu.

(16)

Pengendalian rayap pada tegakan hutan sering dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetik. Serangan rayap tanah Coptotermes travians Haviland pada tegakan pinus (Pinus merkusii) di kebun percobaan Yanlapa (Jasinga) dikendalikan dengan menggunakan insektisida Dieldrin dan Aldrin. Untuk mencegah serangan C. curvignathus Holmgren pada tanaman karet digunakan Aldrin, Heptachlor, Chlordane dan Dieldrin (Natawiria 1973). Insektisida-insektisida tersebut semuanya tergolong insektisida hidrokarbon berklor, yang sangat persisten di lingkungan dan sekarang sudah tidak diproduksi lagi. Untuk itu perlu dicari insektisida lain yang lebih ramah lingkungan tetapi cukup efektif untuk pengendalian rayap, salah satunya adalah insektisida botani yang terdapat dalam akar tanaman tuba (Derris elliptica Benth).

Tanaman tuba merupakan flora Indonesia yang cukup berpotensi dan diketahui berkhasiat untuk pengendalian hama pada berbagai tananan (Balitro 1987). Senyawa alami yang terdapat pada akar tanaman ini yaitu rotenon, merupakan racun kuat bagi serangga. Namun demikian peranannya untuk mengendalikan serangan rayap tanah belum diketahui secara pasti. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan insektisida nabati dari akar tuba dalam rangka pengendalian terhadap serangan rayap tanah C. curvignathus.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menentukan keampuhan ekstrak akar tuba sebagai insektisida terhadap rayap tanah Captotermes curvignathus Holmgren.

2. Menentukan cara masuk ekstrak akar tuba ke dalam tubuh rayap Captotermes

curvignathus Holmgren

1.3 Manfaat Penelitian

Pemanfaatan ekstrak akar tuba sebagai bahan pengendali rayap tanah C.

curvignathus diharapkan dapat menghentikan atau paling tidak mengurangi

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Insektisida

Insektisida adalah pestisida khusus yang digunakan untuk membunuh serangga dan invertebrata lain. Secara harfiah insektisida berarti pembunuh serangga, berasal dari Bahasa Latin “cida” yang berarti pembunuh. Istilah pestisida mempunyai arti yang lebih luas, yang berarti pembunuh pest (organisme pengganggu) secara umum. Selain insektisida, yang tergolong pestisida adalah akarisida (pembunuh tungau), herbisida (pembunuh gulma), fungisida (pembunuh jamur), dan nematisida (pembunuh nematoda). Kelompok pestisida lain bahkan mempunyai nama yang lebih khusus, misalnya aphisida (pembunuh kutu aphid) dan termitisida bila digunakan untuk rayap. Semua pestisida ini digunakan untuk pengendalian, pencegahan atau penolakan suatu organisme penganggu (pest) (Natawiria 1973).

Insektisida dapat digolongkan dalam beberapa cara. Berdasarkan cara masuknya ke dalam tubuh serangga, insektisida digolongkan dalam racun perut, racun kontak dan racun pernafasan. Berdasarkan sifat dan cara memperolehnya insektisida dibagi menjadi insektisida anorganik, yaitu yang tidak mengandung atom karbon (C) dan insektisida organik, yaitu yang mengandung atom karbon. Kebanyakan insektisida modern adalah insiktisida organik dan insektisida ini dibagi menjadi insektisida organik alami dan buatan. Kebanyakan insektisida yang digunakan sekarang adalah insektisida buatan. Insektisida organik alami diperoleh dengan cara penyulingan zat-zat alami. Insektisida ini terdiri dari insektisida botanis yaitu yang diperoleh dari bahan tumbuhan dan insektisida mineral yang diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Metode penggolongan insektisida yang lain adalah berdasarkan sifat kimianya. Berbagai kelas senyawa kimia dapat ditunjukkan berdasarkan bahan aktifnya (active ingredient), yaitu bahan kimia yang mempunyai efek racun (toksik). Penggolongan insektisida berdasarkan bahan aktifnya disajikan pada Gambar 1.

(18)

Insektisida Organik Anorganik Alami Buatan/sintetik Mineral Botanis

Hidrokarbon Organofosfat Karbamat Piretroid Lainnya berklor

Gambar 1 Klasifikasi insektisida secara umum.

Hidrokarbon berklor adalah kelompok insektisida yang mengandung klor, hidrogen dan karbon, kadang-kadang juga oksigen dan belerang (S). Golongan insektisida ini adalah yang paling tua dan yang paling banyak digunakan. Walaupun sangat efektif, insektisida ini sekarang telah dilarang digunakan karena bertahan lama dalam lingkungan dan membahayakan manusia. Yang tergolong hidrokarbon berklor antara lain DDT, lindane, klordan, aldrin, dieldrin, endrin dan endosulfan.

Organofosfat dibuat dari asam fosfat dan merupakan insektisida yang paling beracun. Berbeda dengan hidrokarbon berklor, organofosfat tidak stabil bila terkena cahaya dan cepat terurai menjadi senyawa tidak beracun. Karena cepat terurai dan sangat efektif organofosfat digunakan untuk menggantikan hidrokarbon berklor. Organofosfat dicirikan oleh adanya berbagai alkohol yang terikat pada atom fosfor (P). Yang tergolong organofosfat antara lain adalah dimethoat, dicrothophos, paration, fenthion, diazinon dan chlorpyrifos.

(19)

5

Karbamat dibuat dari asam karbamat yang persistensinya sama dengan organofosfat. Salah satu hambatan penggunaan karbamat dalam pengendalian hama adalah daya racunnya yang agak tinggi terhadap Hymenoptera, termasuk penyerbuk dan parasitoid. Dua jenis karbamat yang banyak digunakan dalam bidang pertanian adalah karbaril dan karbofuran.

Piretroid adalah insektisida yang menyerupai piretrum. Piretroid adalah kelompok insektisida modern yang paling cepat berkembang karena sangat efektif dan pemakaiannya cukup aman. Keuntungan peretroid dari piretrum adalah sangat beracun pada pemakaian dengan dosis rendah. Selain itu, serangga yang terkena racun ini jarang sembuh kembali dibandingkan dengan yang terkena piretrum. Contoh piretroid adalah fenvalerate, permethrin dan cypermethrin.

Insetisida botani diperoleh dari tumbuhan atau produk tumbuhan. Insektisida botani telah digunakan lebih dahulu dari pada insektisida lain sesudah belerang. Beberapa jenis insektisida botani yang sudah terkenal adalah piretrum yang diekstrak dari bunga

Chrysanthemum sp, azadirachtin yang diekstrak dari biji pohon mimba (Azadirachta indica), nikotin yang dieksrak dari daun tembakau dan rotenon yang diekstrak dari akar

tanaman tuba (Derris sp dan Lonchocarpus sp).

Dalam penggunaannya insektisida murni seringkali dicampur dengan zat-zat kimia lain agar diperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Zat kimia yang dapat meningkatkan daya racun insektisida secara langsung disebut sinergis. Saat ini pengunaan sinergis telah diketahui meningkatkan daya racun hidrokarbon berklor, organofosfat, karbamat dan kelompok insektisida lainnya. Bahan-bahan lain yang dapat ditambahkan kedalam insektisida adalah perekat, perata, pembasah, pengaman, pengemulsi dan pendispersi. Kedalam insektisida dapat juga ditambahkan deodoran untuk menghilangkan bau yang tidak sedap. Berbagai zat seperti minyak sedar, minyak pinus atau bau harum bunga ditambahkan pada insektisida untuk menghilangkan bau sehingga insektisida tersebut cocok digunakan di dalam rumah.

Insektisida dapat digunakan dengan cara penyemprotan (spraying), penghembusan (dusting), pengabutan (fogging), penguapan (fumigating), perendaman (dipping) dan pengumpanan (baiting).

(20)

Secara umum pengendalian hama hutan dengan menggunakan insektisida memiliki berbagai keuntungan. Keuntungan penggunaan insektisida yang paling penting adalah efektivitas insektisida yang antara lain yaitu dapat mengatasi masalah serangga hama pada saat masalah itu sedang terjadi dan dapat menurunkan jumlahnya dengan sangat nyata. Aksi insektisida juga sangat cepat sehingga dapat mengatasi masalah yang dihadapi dalam beberapa hari. Keuntungan lainnya adalah insektisida sangat ekonomis dalam jangka pendek dan mudah cara penggunaannya.

Dampak negatif atau kerugian dari penggunaan insektisida adalah terutama pada lingkungan sekitarnya. Dampak ini antara lain berupa kematian atau penurunan serangga parasitoid dan predator, serangga penyerbuk, mengganggu kehidupan perairan, burung dan mamalia, meracuni manusia, menimbulkan keracunan pada pohon, dan timbulnya resistensi dan resurjensi (populasinya meningkat melebihi populasi sebelum dikendalikan) pada serangga hama.

2.2 Tanaman Tuba (Derris elliptica Benth) 2.2.1 Taksonomi dan morfologi

Tuba (Derris elliptica Benth) termasuk ke dalam famili Fabaceaae (Leguminosae). Di Kalimantan Barat tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda di berbagai daerah seperti akar jenu, kayu tuba, tuba kurung. Di daerah Jawa dikenal dengan nama besto, oyod ketungkul, oyod tungkul, tuba, tuba akar, tuba jenu dan di daerah Sunda dikenal dengan nama tuwa, tuwa lalear, tuba leteng (Westphal and Jansen 1987).

(21)

7

Tanaman ini merupakan liana yang membelit dengan panjang 5-10 meter. Ranting tua berwarna coklat, dengan lentisel yang berbentuk jerawat. Daunnya tersebar dengan panjang poros daun 13-23 cm, anak daun berjumlah 7-15, bertangkai pendek, memanjang sampai bentuk lanset atau bulat telur terbalik dengan ukuran panjang kali lebarnya 4-24 cm x 2-8 cm. Sisi bawah daun berwarna hijau keabu-abuan atau hijau kebiru-biruan, kerapkali berambut rapat, anak daun yang masih muda berwarna ungu. Tandan bunga dengan sumbu yang berambut rapat, panjang tangkai dan anak tangkai bunga 12-6 cm, bunga tiga-tiga pada ujung samping yang panjangnya 0,5-2 cm, anak tangkai bunga berwana ungu, panjangnya lebih kurang 1 cm. Kelopak bunga berbentuk cawan, berambut coklat rapat. Buah polong berbentuk oval sampai memanjang dengan ukuran panjang kali lebarnya 3,5-7cm x ± 2 cm. sepanjang tepi bawah bersayap, tidak membuka. Jumlah biji 1-2, jarang 3. Musim berbuah pada bulan April - Desember.

2.2.2 Penyebaran dan tempat tumbuh

Menurut Westphal dan Jansen (1987), tuba merupakan tanaman liar yang telah dapat dibudidayakan. Budidaya tanaman ini dapat ditemukan mulai dari India hingga Papua Nugini, termasuk seluruh kawasan Asia Tenggara. Tanaman ini juga telah dibudidayakan di daerah tropik Afrika dan Amerika.

Tanaman tuba tersebar di seluruh Nusantara dan tanaman ini di Jawa dibudidayakan di kampung-kampung. Di Jawa ditemukan mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1500 m dari permukaan laut, tumbuh di tempat yang tidak begitu kering dalam hutan dan belukar, di tepi hutan serta pinggir sungai, selalu tumbuh terpencar (Heyne 1987). Menurut Duke (1983), tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah. Di Puerto Rico tanaman ini dilaporkan tumbuh dengan baik sampai ketinggian 450 m dari permukaan laut. pertubuhannya kelihatan lambat di atas ketinggian 800 m dari permukaan laut.

Pada taun 1940 luas tanaman tuba di Indonesia ditaksir sekitar 7000 ha. Produksi akar tuba kering antara 1-2,5 ton/ha dengan jumlah ekspornya mencapai 570 ton, baik yang berasal dari perkebunan maupun dari tanaman rakyat (Mujinan 1981). Akan tetapi sekarang sudah semakin langka, baik di perkarangan-perkarangan rumah maupun di perkebunan.

(22)

2.2.3. Penggunaan akar tuba

Menurut Prijono dan Triwidodo (1993), sebelum insektisida organik sintetik digunakan secara luas, para petani di Jawa sering menggunakan cairan perasan tembakau dan akar tuba untuk mengendalikan kutu tanaman dan beberapa jenis ulat pada tanaman palawija dan sayuran tertentu. Bahan insektisida dari akar tuba dilaporkan telah digunakan untuk mengendalikan hama tanaman di Malaysia sejak tahun 1848 (Woodcock 1983 dalam Prijono dan Triwidodo 1993)

Di bidang perikanan, Hanafi (1979) menyatakan bahwa akar tuba selain berfungsi sebagai bahan penangkap ikan baik di kolam maupun di perairan bebas, juga dapat dipergunakan untuk pemberantasan ikan liar di tambak dalam usaha intensifikasi budidaya ikan dan udang. Bubuk akar tuba efektif untuk membasmi Poecilia reticulate (jenis ikan pengganggu di kolam air tawar dan payau) pada kosentrasi 5 ppm di air tawar dan 10-30 ppm di air payau (Guerrero et al., 1990). Berdasarkan laporan Burkill (1966), terdapat kebiasaan menggunakan akar tuba untuk menangkap ikan di Indo China (Kamboja, Laos, Vietnam), Malaysia, Australia, Indonesia, Fiji dan Amerika Selatan.

Gambar 3 Akar tuba (Derris elliptica Benth).

Tuba memiliki kandungan zat yang beracun yang terdapat di dalam akar tuba. Zat beracun terpenting yang terkandung pada akar tuba adalah rotenon (C23H22O6) yang

secara kimiawi digolongkan ke dalam kelompok flavonoid. Zat-zat beracun yang terkandung lainnya adalah deguelin, tefrosin dan toksikarol, tetapi daya racunnya tidak sekuat rotenon. Rotenon adalah racun kuat bagi serangga dan ikan. Menurut Sugianto (1984), akar tuba digunakan untuk menangkap ikan sedangkan akar yang telah dikeringkan digunakan sebagai insektisida. Menurut Hill (1952), rotenon 15 kali lebih

(23)

9

toksik dibandingkan nikotin dan 25 kali lebih toksik dibanding Potassium ferrosianida. Namun demikian rotenon sedikit atau tidak ada efeknya terhadap manusia atau hewan bedarah panas.

Bahan aktif rotenon mempunyai beberapa sifat yaitu a) sangat beracun terhadap ikan dan babi, b) bekerja sebagai racun perut dan kontak yang selektif, c) residu tidak persisten dan d) LD50 oral : 132-15000 mg/kg pada tikus (Ratnawati 1986). Rotenon

berwujud kristal berwarna putih sampai kuning, dengan titik lebur 1630C, larut dalam pelarut polar dan tidak larut dalam air (Tarumingkeng 1992).

Dewasa ini rotenone dijual sebagai cairan atau tepung untuk serangga penggigit – pengunyah dan penusuk – penghisap, terutama di perkarangan dan kebun buah-buahan. Rumus bangun rotenone diperlihatkan pada Gambar 4.

OCH3 CH3O O O O O C CH2 CH3 Gambar 4 Rumus bangun rotenon.

2.3 Rayap Tanah

Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera,

terutama terdapat di daerah-daerah tropika. Sampai saat ini para ahli hama telah menemukan kira-kira 2000 jenis rayap yang tersebar di seluruh dunia (Harris 1971 dalam Tambunan dan Nandika 1989), sedangkan di Indonesia telah tercatat kurang lebih 200 jenis rayap (Tarumingkeng 1971).

(24)

Berdasarkan cara dan tempat hidupnya rayap dibagi atas empat golongan besar (Tarumingkeng 1971) :

a. Rayap pohon, yaitu yang menyerang kayu hidup dan bersarang dalam pohon. Di Indonesia dikenal dua jenis rayap pohon yaitu Neotermes tectonae dan Neotermes

dalbergaie (famili Kalotermitidae)

b. Rayap kayu lembab, yaitu jenis rayap yang menyerang kayu lembab yang telah mati. Sarangnya berada dalam kayu tanpa berhubungan dengan tanah. Jenis-jenis ini tergolong dalam genus Glyptotermes (famili Kalotermitidae).

c. Rayap kayu kering, yaitu jenis rayap yang hidupnya dalam kayu kering udara, terutama kayu-kayu yang digunakan di bawah atap. Koloni rayap bersarang di dalam kayu dan tidak memerlukan air dan juga tidak berhubungan dengan tanah. Di Indonesia dikenal genus Cryptotermes (famili Kalotermitidae).

d. Rayap subteran, yaitu jenis rayap yang suka menyerang kayu baik yang terdapat di dalam tanah maupun di atas tanah dan umumya bersarang di dalam tanah. Jenis-jenis ini dapat menyerang kayu-kayu yang terletak jauh dari pusat sarangnya dengan membuat jalan-jalan penghubung yang tertutup dengan tanah untuk tempat hilir mudik rayap pekerja yang mengangkut bahan makanan ke dalam sarang. Hubungan dengan tanah pada sebagian besar jenis-jenis rayap subteran merupakan syarat mutlak tertama untuk mempertahankan habitatnya yang lembab. Hampir semua jenis-jenis dari famili Rhinotermidae dan Termitidae termasuk rayap subteran.

Menurut Jonnes dan Trosset (1991), dalam satu koloni besar terdapat pembiak, pekerja dan prajurit dengan bentuk tubuh dan fungsi yang berbeda. Kasta reproduktif primer terdiri dari ratu dan raja sedangkan kasta reproduktif suplementer terdiri dari individu yang dapat menggantikan kedudukan raja dan ratu apabila diperlukan. Tugas kasta pekerja ialah mencari, memberi makan dan memelihara anggota koloni. Tugas kasta prajurit adalah menjaga keamanan koloni terhadap gangguan dari luar sehingga bentuk kepala nandibelnya besar. Ratu semasa hidupnya hanya untuk menghasilkan telur sedangkan makannya dilayani oleh pekerja. Seekor ratu dapat hidup selama 6-20 tahun bahkan sampai berpuluh-puluh tahun (Roonwall 1978). Jika kasta reproduktif primer mati atau koloni membutuhkan pertambahan reproduktif bagi perluasan koloni, akan

(25)

11

dibentuk kasta reproduktif sekunder (neoten). Neoten terbentuk beberapa kali dalam jumlah besar sesuai dengan perkembangan koloni,

Dalam hidupnya rayap mempunyai sifat yang penting untuk diperhatikan (Tambunan dan Nandika 1989), diantaranya adalah :

1. Sifat tropalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul, saling menjilat anus dan mulut serta mengadakan pertukaran bahan makanan. Pada waktu terjadi pergantian kulit (ecdycis), protozoa/flagellate yang terdapat dalam saluran pencernaannya turut terbuang. Untuk mendapatkan gantinya diperoleh dari temannya melalui kegiatan trophalaxis ini.

2. Sifat cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (laron), yang selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya (terang)

3. Sifat canibalism, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah atau sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan.

Pada habitat yang tidak terganggu, rayap memiliki peranan yang sangat penting, khususnya di daerah tropika seperti Indonesia. Serangga ini berperan di dalam proses daur ulang nutrisi tanaman melalui proses disintegrasi dan dekomposisi bahan organik dari kayu dan serasah tanaman menjadi bahan anorganik seperti karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, dan lain-lain (Nandika et. al., 2003). Melalui siklus ini berbagai tanaman dapat lahir, tumbuh, mati dan lahir kembali, termasuk beraneka ragam jenis tanaman yang secara langsung berguna bagi kelangsungan hidup manusia.

Menurut Horwood dan Eldridge (2005), habitat rayap tanah dapat ditemukan di atas permukaan tanah, pada tempat-tempat yang tinggi di batang-batang pohon, di dalam kayu, bahkan di dalam tanah yang sumber kelembabannya selalu tersedia. Sebagai contoh sarang rayap tanah genus Macrotemes dan Odontotermes berkembang ke bawah maupun ke atas permukaan tanah membentuk sarang bukit; rayap tanah genus Nasutitesmes membangun sarang pada tempat-tempat yang tinggi di batang-batang pohon.

Rayap pembentuk sarang bukit umumnya membangun sarang dekat perakaran tanaman. Bentuk sarang bukit bervariasi antar jenis rayap yang berbeda. Sarang bukit dari rayap Amitermes, Cubitermes, Procubitermes seringkali berbentuk tudung dengan bangunan ujungnya seperti payung, yang mampu mengalirkan air hujan dengan cepat. Di

(26)

daerah yang kering gundukan sarang dari rayap Cubitermes tidak memiliki bentuk seperti tudung payung pada bagian ujungnya.

2.4 Peranan Rayap pada Ekosistem Hutan

Peranan rayap pada ekosistem hutan menduduki dua posisi dipandang dari sudut ekonomi dan ekologi. Dari segi ekonomi rayap mungkin sangat merusak. Sebanyak kurang lebih 300 spesies rayap dari seluruh spesies rayap yang tersebar di dunia dikenal sebagai hama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai spesies tanaman perkebunan, kehutanan dan pertanian. Di Indonesia sendiri terdapat 20 spesies rayap yang dikenal sebagai hama penting pada tanaman perkebunan dan kehutanan (Natawiria 1996 dalam Nandika et. al., 2003). Beberapa contoh spesies rayap yang penting sebagai hama pada tanaman perkebunan dan kehutanan di Indonesia adalah Coptotermes curvignathus,

Macrotermes gilvus, Odontotermes spp, Schedorhinoterme javanicus, Microtermes spp,

dan Neoterme tectonae. Selain merusak tanaman kehutanan dan perkebunan, rayap juga sering kali merusak berbagai struktur atau bahan-bahan yang dipakai manusia, misalnya bagian-bagian kayu dari bangunan, perabotan rumah tangga, buku-buku, tiang-tiang listrik, pagar kayu, kain, dan sejenisnya. Sebaliknya dari segi ekologi rayap bermanfaat karena mereka membantu dalam perombakan pohon-pohon yang mati dan produk-produk tanaman lain ke zat-zat yang dapat dipakai oleh tanaman (Borror et al., 1996).

2.5 Coptotermes curvignathus Holmgren 2.5.1 Penyebaran

Coptotermes curvignathus Holmgren sering disebut rengas atau anai-anai. Daerah

penyebaran C. curvignathus meliputi India, Myanmar, Indocina, Thailand, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Di Indonesia rayap ini tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.

2.5.2 Morfologi serangga

Seperti rayap pada umumnya, C. curvignathus adalah serangga sosial yang hidup dalam koloni. Dalam satu koloni rayap C. curvignathus dapat dijumpai kasta reproduktif bersayap (laron) berwarna coklat kehitam-hitaman, panjang tubuhnya 7,5 – 8,0 mm dan rentang sayapnya 15 – 16 mm. Kasta reproduktif suplementer (tak bersayap) mempunyai

(27)

13

ukuran tubuh yang hampir sama dengan kasta reproduktif primer bersayap. Sayapnya tidak berkembang, hanya berupa tonjolan sayap saja. Kasta pekerja berwarna putih, panjang tubuhnya 4,5 – 5,0 mm dan lebar kepalanya 1,4 – 1,5 mm. Kasta prajurit berwarna putih, kepalanya besar berwarna coklat. Panjang tubuhnya 5,0 -5,3 mm, lebar kepalanya 1,4 – 1,5 dan panjang mandibelnya ± 0,9 mm. Pada bagian dorsal kepalanya terdapat kelenjar frontal untuk mengeluarkan cairan berwarna putih pada waktu koloninya mendapat gangguan musuhnya.

2.5.3 Biologi

Coptotermes curvignathus tergolong rayap tanah, ia menyukai tempat-tempat

lembab. Sarangnya berada di dalam tanah dan dapat meliputi areal seluas 1,5 – 2 ha. Sarang sekunder dapat berada sampai 90 m dari sarang pusat. Rayap ini biasanya membangun sarang pada tanah-tanah yang mempunyai kadar liat dan debu yang cukup tinggi dengan kadar pasir yang rendah. Bila muncul di atas tanah rayap ini akan membuat saluran-saluran penghubung yang terbuat dari tanah.

2.5.4 Jenis-jenis pohon yang diserang

Di Indonesia rayap ini terkenal sejak tahun 1911 sebagai hama pohon karet di perkebunan. Pada tahun 1930 rayap ini mulai diketahui sebagai hama pohon kapok di Jawa. Serangan Coptotermes curvignathus pada hutan mulai diketahui pada tahun 1932, yaitu menyerang jati, tusam, Albizzia procera, Pinus caribaea, P. insularis, Eucalyptus spp., Shorea spp., Canarium spp., dan Koompassia malaccensis. Selain tanaman hutan,

Coptotermes curvignathus juga menyerang tanaman di perkebunan dan pertanian seperti

sawit, bambu, jamur dan tanaman lainnya.

2.5.5 Cara penyerangan

Serangan Coptotermes pada pohon yang masih hidup maupun yang sudah mati dimulai dari bagian-bagian pohon yang ada di dalam tanah yaitu melalui akar atau leher akar. Pada bagian pohon yang berada di atas tanah serangan rayap dicirikan oleh adanya beberapa saluran-saluran tanah (tunel) pada permukaan kulit pangkal batang. Bila ada saluran-saluran tanah pada sebatang pohon tidak berarti pohon tersebut akan terus

(28)

diserangnya sampai mati. Pada beberapa pohon pinus ditemukan saluran-saluran tanah yang telah kosong oleh sebab-sebab yang belum diketahui (Natawiria 1973).

Bila baru terbentuk beberapa saluran tanah pada pangkal batang rayap hanya menyerang kulit batang bagian luar yang telah mati. Selanjutnya dibentuk saluran-saluran baru yang semakin banyak sampai akhirnya permukaan pangkal batang tertutup oleh kerak tanah. Penutupan batang dengan kerak tanah ini kadang-kadang mencapai tinggi sampai 5 meter. Pada fase ini rayap mulai menyerang kulit pohon yang masih hidup dan bagian kayu gubal. Bila kulit batang dibuka maka pada permukaan kayu akan tampak pola serangan yang berupa celah-celah sempit yang memanjang mengikuti panjang batang. Bila bagian kayu sudah hancur maka dalam batang pohon akan terbentuk sarang sekunder. Sarang ini dapat berada mulai dari pangkal batang sampai beberapa meter kearah atas pohon. Dalam sarang sekunder hanya ditemukan kasta pekerja dan prajurit. Dalam sarang sekunder ini disimpan telur-telur yang berasal dari sarang utama di dalam tanah. Sarang sekunder sering terdapat pula pada tunggak tua dan pohon yang sudah tumbang. Di sekitar pohon yang terserang atau tunggak tua dan pohon tumbang ditemukan kebun jamur berukuran 4-5 x 8-10 cm pada kedalaman 20-30 cm bahkan sampai 50 cm dari permukaan tanah.

Pada musim kemarau pada saat suhu tinggi dan kelembaban udara rendah persentase serangannya menurun. Pada awal musim hujan suhu udara agak turun dan kelembaban udaranya meningkat sehingga persentase serangannya meningkat (Natawiria 1973).

2.5.6 Cara pengendalian

Di Malaysia serangan C. curvignathus sering terjadi pada lahan bekas hutan rimba yang tanahnya tidak dibersihkan dengan sempurna. Peluang timbulnya serangan pada tanaman karet yang tanahnya tidak dibersihkan lebih besar dari pada tanah yang dibersihkan dengan sempurna. Peluang ini akan semakin menurun bila antara hutan alam dengan tanaman karet ada jalur pemisah berupa tanah kosong (Newsam 1952 dalam Natawiria 1973). Dengan demikian dapat juga disimpulkan bahwa pembuatan jalur pemisah antara hutan alam dengan hutan tanaman (HTI) dan pembersihan lahan dari

(29)

sisa-15

sisa kayu pada saat penyiapan lahan merupakan upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya serangan rayap tersebut.

Untuk mencegah serangan rayap C. curvignathus pada tanaman karet di Malaysia digunakan aldrin, heptaklor, klordan dan dieldrin dengan konsentrasi bahan aktif masing-masing 0,025; 0,025; 0,04 dan 0,05 %. Bahan aktif sebanyak itu dapat tahan di dalam tanah sekitar 2 tahun, tetapi pada tanah liat dan gambut efek residunya dapat sangat berkurang (Smee 1964 dalam Natawiria 1973). Pengendalian serangan C. travians pada tanaman pinus di kebun percobaan Yanlapa menggunakan aldrin 50 WP dengan konsentrasi bahan aktif 0,125%, dieldrin 20 EC dengan konsentrasi bahan aktif 0,0075% dan dieldrin 50 WP dengan konsentrasi bahan aktif 0,075%. Ternyata penggunaan dieldrin lebih baik daripada aldrin karena aldrin mudah menguap sehingga khasiatnya cepat berkurang (Natawiria 1973).

(30)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini pembuatan ekstrak akar tuba dilakukan di labaratorium kimia kayu dan pengujian keampuhan ekstrak akar tuba terhadap rayap tanah C. curvignathus dilakukan di laboratorium hama hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama 4 bulan yang dilaksanakan mulai bulan Oktober 2007 sampai dengan bulan Januari 2008.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotary vaccum evaporator, labu erlemenyer, saringan ukuran 40-60 mesh, kamera, timer, cawan porselin, gelas ukur, pengaduk, stoples besar, ampelas, oven, wadah perendaman kayu umpan, penyemprot tangan (hand sprayer). Bahan yang digunakan adalah akar tuba, aluminium foil, etanol 95%, kapas, kayu umpan, kertas saring dan rayap pekerja C. curvignathus yang diperoleh dari kampus IPB di Darmaga.

3.3 Persiapan Penelitian

3.3.1 Pembuatan ekstrak akar tuba

Sebanyak 3 kg akar tuba yang berasal dari Bengkulu Selatan dikering udarakan selama beberapa hari, selanjutnya dibuat serbuk dan disaring dengan saringan berukuran 40-60 mesh. Sebanyak 1000 gram serbuk akar tuba yang sudah disaring diekstrak dengan cara merendam dan mengaduknya dalam larutan etanol 95% selama 48 jam. Ekstraksi dilakukan berulang-ulang sampai mendapatkan seluruh kandungan ekstrak yang terdapat dalam serbuk akar tuba. Ekstraksi dihentikan bila tidak terjadi lagi perubahan warna pelarut (bening). Kemudian esktrak etanol divakum dengan menggunakan alat rotary

vaccum evaporator untuk mendapatkan zat ekstrak tuba yang kental. Dari hasil ekstraksi

ini diperoleh 1000 ml larutan kental zat ekstraktif dengan kadar zat ekstraktif sebesar 8,53%.

(31)

17

Gambar 5 Proses pemisahan pelarut dan ekstraktif dengan alat rotary vacum epavorator.

3.3.2 Penyiapan kayu umpan

Kayu umpan yang digunakan adalah kayu pinus (Pinus merkusii). Kayu umpan dibuat dengan ukuran 5,0 cm x 2,5 cm x 1,5 cm, dan bebas dari cacat. Kayu umpan ini dikeringkan dalam oven untuk memperoleh keseragaman kadar air dan menghindari serangan blue stain.

3.3.3 Penyediaan rayap

Rayap yang digunakan dalam pengujian ini adalah rayap dari kasta pekerja, karena dalam koloni rayap hanya rayap pekerja yang bertugas mencari makanan, dan kasta inilah yang merusak kayu dan bahan-bahan lainnya yang berselulosa. Rayap yang dipilih adalah rayap yang sehat dan berukuran relatif sama. Rayap pekerja C.

curvignathus diperoleh dari kampus IPB di Darmaga. Sebelum digunakan untuk

pengujian rayap-rayap tersebut beserta tanah dan sumber makanannya disimpan dalam wadah plastik besar yang ditutup dengan kertas karbon dan wadah tersebut disimpan di tempat lembab.

(32)

Gambar 6 Rayap tanah Captotermes curvignathus Holmgren.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

Pengujian keampuhan ekstrak akar tuba terhadap C. curvignathus dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah dengan menyemprotkan ekstrak akar tuba langsung pada tubuh rayap. Cara ini dilakukan untuk mengetahui cara masuk racun ke dalam tubuh rayap melalui kulit tubuh rayap (racun kontak). Cara yang kedua adalah dengan merendam kayu umpan dalam larutan ekstrak akar tuba untuk selanjutnya diumpankan pada rayap. Cara ini dilakukan untuk mengetahui cara masuk racun ke dalam tubuh rayap melalui aktivitas makan (racun perut).

Dalam pengujian ini digunakan tiga macam konsentrasi larutan ekstrak akar tuba yaitu 0% (kontrol), 5% dan 10%. Untuk membuat konsentrasi 5% yaitu dengan mengambil 50 ml ekstrak kental akar tuba yang diencerkan dalam 950 ml air. Konsentrasi 10% dibuat dengan mengambil 100 ml ekstrak kental akar tuba yang diencerkan dalam 900 ml air.

3.4.1 Aplikasi ekstrak akar tuba dengan cara penyemprotan

Pada percobaan ini digunakan tiga macam konsentrasi ekstrak akar tuba, yaitu 0%, 5% dan 10%. Untuk masing-masing konsentrasi diulang sebanyak tiga kali. Untuk keperluan penyemptotan dengan ekstrak akar tuba, sebanyak 300 ekor rayap pekerja C.

curvignathus ditempatkan pada 6 cawan petri yang berisi kayu umpan yang tidak

(33)

19

Penyemprotan ekstrak akar tuba dilakukan dengan menggunakan penyemprot tangan (hand sprayer) sampai tampak seluruh tubuh rayap basah oleh cairan semprot. Rayap pekerja yang tidak disemprot (kontrol) ditempatkan dalam 3 wadah plastik berdiameter 11 cm dengan tinggi 10 cm yang ditutup dengan kertas karbon, masing-masing wadah berisi 50 ekor rayap pekerja. Tiap-tiap wadah plastik tersebut diberi kayu umpan untuk sumber makanannya. Pengamatan kematian rayap dilakukan setiap hari sejak aplikasi sampai selama 30 hari.

3.4.2 Aplikasi ekstrak akar tuba dengan perendaman kayu umpan

Sebelum diumpankan pada rayap, 3 buah kayu umpan direndam dalam cairan ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 5% dan 3 buah lagi dalam cairan ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 10% selama 24 jam. Sebelum diumpankan pada rayap, kayu yang telah direndam tadi dikering udarakan.

Pengujian kayu umpan dilakukan dengan cara meletakkan kayu umpan dalam wadah plastik berdiameter 11 cm dengan tinggi 10 cm, yang ditutup dengan kertas karbon. Ke dalam masing-masing wadah plastik tersebut dimasukkan 50 ekor rayap pekerja. Untuk keperluan pembanding (kontrol) digunakan rayap yang dijadikan kontrol pada aplikasi dengan cara penyemprotan. Pengamatan kematian rayap dilakukan setiap hari sampai selama 30 hari.

3.4.3 Pengujian pelarut

Untuk mengetahui ada tidaknya efek insektisidal dari etanol 95% dilakukan juga pengujian pengaruh pelarut tersebut terhadap kematian rayap. Pengujian dilakukan dengan cara merendam 100 gram serbuk akar tuba dalam 1 liter air bersih dan 100 gram lagi dalam 1 liter etanol 95% selama 48 jam. Setelah itu masing-masing rendaman disaring menggunakan kertas saring. Untuk keperluan pengujian, 3 buah kayu umpan direndam dalam cairan akar tuba dalam air dan 3 buah lagi dalam cairan yang direndam dengan etanol 95% selama 24 jam. Kayu-kayu yang telah direndam tadi diumpankan kepada rayap pekerja. Jumlah rayap yang diberi umpan kayu ini masing-masing adalah 50 ekor untuk tiap ulangan. Pengamatan kematian rayap dilakukan setiap hari selama 30 hari.

(34)

3.4.6 Analisis Data

Data diolah dengan menggunakan prosedur rancangan acak lengkap (RAL). Model umum RAL adalah sebagai berikut;

Yij = µ + Xij + ∑ij Dimana :

Yij = Nilai pengamatan nilai perlakuan ke-I dan ulangan ke-j µ = Pengaruh nilai rata-rata umum

Xij = Pengaruh sebenarnya dari perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

∑ij = Pengaruh kesalahan percobaan karena perlakuan ke-I dan ulangan ke-j i = Perlakuan ke 1, 2, 3, 4, 5 … dst

j = Ulangan ke 1, 2, 3, 4, 5 …dst

Respon yang diuji adalah persentase kematian rayap. Perhitungan persentase kematian rayap dilakukan pada akhir pengujian. Persentase kematian rayap dihitung dengan menggunakan rumus;

Kij = 50- (50-MPij) x 100% 50

Dimana :

Kij = Persentase kematian rayap pada perlakuan ke-j dan konsentrasi ke-i. MPij = Jumlah rayap yang mati pada perlakuan ke-j dan konsentrasi ke-i

(35)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Kematian Rayap dengan Perlakuan Penyemprotan

Dari hasil pengamatan, kematian rayap yang disemprot dengan ekstrak akar tuba terjadi setiap hari dan kematian ini sudah mulai terjadi satu hari sejak penyemprotan. Pada rayap yang disemprot dengan ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 5% persentase kematian 100% terjadi pada hari ke-11 dan yang disemprot dengan konsentrasi 10% terjadi pada hari ke-7 (Tabel 1 dan Gambar 7). Sampai 30 hari pengamatan persentase kematian rayap kontrol mencapai 48,67% (Lampiran 4).

Tabel 1 Persentase kematian kumulatif C. curvignathus yang disemprot dengan ekstrak akar tuba

Peserntase kematian (%) pada hari ke-…setelah penyemprotan. Konsentrasi ekstrak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kontrol 0 0 0,67 0,67 1,33 2 4,67 8 10 10,67 13,33 18,67 18,67 22 24,67 5% 2 8 18,67 24 27,33 36,67 47,33 62 78 91,33 100 100 100 100 100 10% 5,33 14,67 49,33 72 86 96,67 100 100 100 100 100 100 100 100 100 0 20 40 60 80 100 120 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, Hari Pengamatan M o rt al it as (10 0 % )

kontrol semprot 5% semprot 10%

Gambar 7 Grafik persentase kematian C. curvignathus pada berbagai perlakuan penyemprotan.

(36)

Pengujian efektivitas penyemprotan ekstrak akar tuba dilakukan dengan menggunakan analisis keragaman. Hasil analisis keragaman disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi hasil analisis keragaman kematian C. curvignathus dengan

perlakuan penyemprotan dari hari pertama sampai hari ke tujuh

Hari F Hitung Hp 1. 12,248 ** 2. 27,912 ** 3. 18,917 ** 4. 29,962 ** 5. 129,560 ** 6. 177,838 ** 7. 220,297 ** Keterangan ** = sangat nyata (α=0,01)

Analisis keragaman menunjukkan hasil yang berpengaruh sangat nyata maka selanjutnya dilakukan uji jarak Duncan. Hasil uji jarak Duncan menunjukkan bahwa mortalitas rayap yang disemprot dengan konsentrasi ekstrak akar tuba 5% tidak berbeda nyata dengan mortalitas rayap yang disemprot dengan konsentrasi ekstrak 10% (Tabel 3). Dengan demikian penyemprotan dengan konsentrasi 5% akan memberikan hasil yang kurang lebih sama baiknya dengan penyemprotan konsentrasi 10%.

4.1.2 Kematian rayap yang diberi kayu umpan

Dari hasil pengamatan, kematian rayap yang diberi kayu umpan yang direndam ekstrak akar tuba terjadi setiap hari, dimulai pada hari kedua sejak pengumpanan. Pada rayap yang diumpankan pada kayu umpan yang direndam dengan ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 5% persentase kematian 100% terjadi pada hari ke-12 dan yang diberi kayu umpan yang direndam dengan ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 10% terjadi pada hari ke-8. Sampai 30 hari pengamatan kematian rayap kontrol mencapai 48,67% (lampiran 4). Pada Tabel 4 disajikan persentase kematian rayap sampai hari ke-15 dan grafiknya pada Gambar 8.

Pengujian efektivitas ekstrak akar tuba dilakukan dengan menggunakan analisis keragaman. Hasil analisis keragaman tersebut disajikan pada Tabel 5.

(37)

23

Tabel 3 Rekapitulasi uji jarak Duncan C. curvignathus dengan perlakuan penyemprotan dari hari pertama sampai hari ke tujuh

Hari JND Perlakuan Mortalitas 0,05 0,01 1 0% 0,000 A a 2 0,000 A a 3 0,667 A a 4 0,667 A a 5 1,333 A a 6 2,000 A a 7 4,667 A a 1 5% 2,000 A ab 2 8,000 B b 3 18,667 B b 4 24,000 B b 5 27,333 B b 6 36,667 B b 7 47,333 B b 1 10% 5,333 B b 2 14,667 C b 3 49,333 B b 4 72,000 C c 5 86,000 C c 6 96,667 C c 7 100,000 C c

Ket : huruf yang sama pada uji JND menunjukan tidak berbeda nyata

Tabel 4 Persentase kematian kumulatif C. curvignathus yang diberi umpan kayu pinus beracun

Kematian rayap (%) pada hari ke-…setelah pengumpanan Konsentrasi ekstrak pada kayu umpan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kontrol 0 0 0,67 0,67 1,33 2 4,67 8 10 10,67 13,33 18,67 18,67 22 24,67 5% 0 3,33 9,33 22 42 49,33 62 72,67 79,33 87,33 96,67 100 100 100 100 10% 0 16,67 25,33 48,67 68,67 88,67 98 100 100 100 100 100 100 100 100 0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Hari Pengamatan P e rs en ta se K em a ti an R a ya p kontrol Rendam 5% Rendam 10%

Gambar 8 Grafik persentase kematian C. curvignathus yang diberi kayu umpan yang direndam dalam ekstrak akar tuba.

(38)

Tabel 5 Hasil analisis keragaman kematian C. curvignathus yang diberi kayu umpan yang direndam ekstrak akar tuba dari hari pertama sampai hari ke delapan

Hari F Hitung Hp 1. 0 tn 2. 16,406 ** 3. 11,366 ** 4. 9,251 ** 5. 25,198 ** 6. 60,818 ** 7. 347,814 ** 8. 793,000 **

Keterangan : tn = tidak nyata

** = sangat nyata (α=0,01)

Analisis keragaman menunjukkan hasil yang berpengaruh sangat nyata maka selanjutnya dilakukan uji jarak Duncan. Hasil uji jarak Duncan menunjukkan, mortalitas rayap yang diberi kayu umpan yang direndam dengan ekstrak akar tuba 5% tidak berbeda nyata dengan mortalitas rayap yang diberi kayu umpan yang direndam dengan ekstrak akar tuba 10% (Tabel 6). Dengan demikian perendaman ekstrak akar tuba konsentrasi 5% memberikan hasil yang kurang lebih sama dengan perendaman konsentrasi 10%.

Tabel 6 Rekapitulasi uji jarak Duncan mortalitas C. curvignathus dengan perlakuan pengumpanan kayu Hari Perlakuan JND Mortalitas 0,05 0,01 1 0% - - - 2 0,000 A a 3 0,667 A a 4 0,667 A a 5 1,333 A a 6 2,000 A a 7 4,667 A a 8 8,000 A a 1 5% - - - 2 3,333 A a 3 9,333 A ab 4 22,000 AB ab 5 42,000 B b 6 49,333 B b 7 62,000 B b 8 72,000 B b 1 10% - - - 2 16,667 B b 3 25,333 B b 4 48,667 B b 5 68,667 C b 6 88,667 C c 7 98,000 C c 8 100,000 C c

(39)

25

4.1.3 Uji pelarut

Etanol merupakan salah satu pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi zat ekstraktif yang dikandung tumbuhan. Penggunaan pelarut ini bertujuan untuk mempercepat proses keluarnya zat ekstraktif yang terkandung pada tumbuhan tersebut. Etanol (alkohol) juga sering digunakan untuk mengawetkan serangga. Dalam proses ekstraksi dengan menggunakan etanol dalam penelitian ini zat ektraktif yang terkandung pada akar tuba dibuat menjadi cairan kental. Ini berarti bahwa dalam cairan tersebut masih terkadung etanol. Dalam proses pengenceran dengan air sebelum aplikasi, etanol ini masih terkandung dalam cairan tersebut. Untuk mengetahui ada/tidaknya efek mematikan dari etanol ini pada rayap, dilakukan uji pelarut. Persentase kematian rayap yang diberi kayu umpan yang direndam dalam serbuk akar tuba yang diencerkan dengan etanol dan dengan air disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Persentase kematian rayap C. curvignathus yang diberi kayu umpan yang direndam dalam serbuk akar tuba yang diencerkan dengan etanol dan dengan air pada hari ke-30

Ulangan Perlakuan 1 2 3 Persentase kematian rata-rata (%) Te 34 46 32 37,33 Ta 34 40 36 36,67

Keterangan: Te = perendaman serbuk akar tuba dalam etanol Ta = perendaman serbuk akar tuba dalam air

Dari hasil pengujian dengan menggunakan X² (Lampiran 11) ternyata bahwa etanol tidak mempunyai efek insektisidal pada rayap tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kematian rayap yang diberi ekstrak akar tuba, baik dengan cara penyemprotan maupun dengan cara pengumpanan pada kayu, hanya disebabkan oleh racun yang terkanung pada akar tuba.

(40)

4.2 Pembahasan

Pengendalian rayap tanah dengan ekstrak akar tuba ini dilakukan dalam skala laboratorium. Untuk keperluan aplikasi di lapangan diperlukan pengujian lanjutan.

Penyerangan rayap tanah pada pohon dimulai dari bagian-bagian pohon yang mati atau membusuk, misalnya empulur atau kulit pohon bagian luar. Dari bagian pohon yang mati serangan akan dilanjutkan ke jaringan pohon yang masih hidup. Apabila serangan dimulai dari kulit pohon, maka kulit pohon akan tertutup tanah.

Serangan C. travians pada tegakan pinus di kebun percobaan Yanlapa pada tahun 1964 terjadi setelah tegakan dijarangi. Setelah penjarangan di lantai hutan berserakan dahan dan ranting sisa-sisa penjarangan. Serangan rayap dimulai dari sisa-sisa kayu tersebut, yang selanjutnya menjalar ke pohon-pohon pinus yang masih hidup. Serangan mula-mula terjadi pada akar dan leher akar. Jika serangan makin hebat maka daun akan mengering dan akhirnya mati. Pada bagian batang yang diserangnya akan tampak lorong-lorong gerekan rayap. Rayap ini membuat lorong-lorong-lorong-lorong di bawah tanah ke segala arah dan tidak memperlihatkan pola penyebaran tertentu. Akibatnya pohon-pohon yang terserang tersebar acak (Natawiria 1973).

Untuk membunuh rayap tanah dengan cara penyemprotan ekstrak akar tuba, maka sarang rayap dan saluran-saluran tanah pada batang pohon harus dibongkar sehingga rayap mudah disemprot. Untuk membunuh atau paling tidak menghambat penyerangan rayap tanah pada pohon yang masih hidup, maka dapat dilakukan penyemprotan ekstrak akar tuba pada kayu-kayu yang ada di lantai hutan, tunggak pohon dan pangkal batang pohon. Perendaman kayu dengan ekstrak akar tuba tidak mungkin dapat dilakukan di lapangan

Untuk masyarakat petani, pengekstrakan merupakan hal yang cukup sulit untuk dilakukan di lapangan. Untuk itu, penggunaan pestisida akar tuba di lapangan (HTI) dapat dilakukan langsung dengan merendam akar tuba yang telah ditumbuk (serbuk) ke dalam air bersih.

Matinya rayap pada kayu umpan kontrol di laboratorium diduga karena ketidakmampuan rayap tanah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru yaitu lingkungan laboratorium dan sifat kanibalisme dari rayap itu sendiri. Dalam hal ini kondisi lingkungan yang baru akan sangat mempengaruhi keaktifan makan rayap.

(41)

27

Supriana (1983) menjelaskan tentang perilaku makan rayap yang berbeda di alam dan di laboratorium. Di alam rayap memilih sendiri lingkungan yang paling sesuai bagi hidupnya, dimana rayap dihadapkan kepada berbagai pilihan makanan. Sebaliknya di laboratorium, lingkungan tersebut sudah dibuat oleh manusia, dalam hal ini yaitu rayap dihadapkan kepada keadaan tunggal atau keadaan terpaksa. Dalam keadaan terpaksa inilah rayap akan memakan bahan makanan yang diberikan, dalam hal ini kayu umpan kayu pinus sebagai bahan makanan. Pada tahap awal rayap akan melakukan penyesuaian dengan lingkungan hidup yang diberikan. Pada tahap ini aktifitas makan rayap rendah. Rayap yang mampu bertahan dan menyesuaikan diri akan melakukan orientasi makanan, sedangkan yang tidak mampu menyesuaikan diri akan mati. Tahap berikutnya rayap mencoba mencicipi makanan yang diberikan (oriantasi makanan) dengan jalan menggigit bagian permukaan kayu. Bila bagian tersebut tidak cocok, rayap akan beralih ke bagian lainnya sampai akhirnya rayap menemukan bagian yang sesuai dan memenuhi syarat sebagai makanan. Jika makanan itu sesuai, rayap akan meneruskan makan, sebaliknya bila makanan itu tidak memenuhi syarat rayap akan meninggalkan makanan yang disediakan dan memilih berpuasa. Dalam keadaan ini kondisi rayap akan lemah dan berangsur-angsur mati atau sakit.

Sifat kanibalisme rayap yang juga diduga sebagai penyebab matinya rayap pada kayu umpan kontrol, yang ditunjukkan dari kondisi rayap yang mati sudah tidak dalam keadaan utuh lagi. Diduga rayap-rayap yang masih sehat dan aktif membunuh dan memakan rayap yang kondisinya lemah atau sakit. Dari hasil pengujian setelah diteruskan sampai 30 hari pengumpanan, kematian rata-rata rayap pada kayu umpan kontrol cukup rendah yaitu sebesar 48,67%. Hal ini berarti bahwa pengujian keampuhan ekstarak akar tuba sudah memenuhi syarat keberhasilan yaitu kematian rayap pada kayu umpan kontrol kurang dari 50%.

Pada pengujian ini disimpulkan bahwa ekstrak akar tuba pada perlakuan penyemprotan merupakan racun kontak terhadap rayap, sedangkan perlakuan perendaman merupakan racun perut terhadap rayap.

(42)

A. Kesimpulan

Dari hasil pengujian, dapat disimpulkan :

1. Penyemprotan dengan konsentrasi ekstrak 5% dan 10% dan pemberian kayu umpan yang direndam ekstrak akar tuba konsentrasi 5% dan 10% menimbulkan kematian rayap 100% sebelum hari ke-13 sejak hari perlakuan.

2. Akar tuba merupakan racun perut dan racun kontak pada rayap tanah

Captotermes curvignathus Holmgren, hal ini dibuktikan pada aplikasi ekstrak

akar tuba dengan perendaman (sebagai racun perut) dan perlakuan penyemprotan (sebagai racun kontak) memberikan hasil mortalitas 100% sebelum 30 hari pengamatan.

3. Ekstrak akar tuba dapat menjadi insektisida alternatif untuk pengendalian rayap.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengaplikasikan ekstrak akar tuba di lapangan (hutan industri).

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 1987. Prospek beberapa jenis tanaman penghasil insektisida. Laporan Balitro Bulan Oktober 1987.

Borror DJ, Triplehorn CA and Johnson NF. 1996. Pengenalan pelajaran serangga. Terjemahan. Soetiyono Partosoedjono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Duke JA. 1983. Handbook of legumes of world economic importance. Plenum Press. New York and London. P. 73-75.

Gerrero RD, Guerrero LA and Garcia LL. 1990. Use of indigenous plants as sources of fish toxicants for pond management in the Phillippines. Philippine Tecnology Journal. Vol. XV, No. 22, April-June. P. 15-17.

Hanafi A. 1979. Beberapa informasi dan pengamatan penggunaan akar tuba sebagai pecisida di tambak. Pewarta LPPD Balitbang Pertanian No. 1, Tahun ke-2, hal 57-62.

Heyne K. 1987. Tanaman berguna Indonesia II. Terjemahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.

Hill AF. 1952. Economic botany : A texbook of useful plants and plant product (second edition). Mc Graw-Hill Book Company, Inc. New York.

Husaeni EA. 2001. Hama hutan tanaman. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Horwood MA dan Eldridge. 2005. Termite in New South Wales. Technical Publication Forest Resources Research No 21. p 1-4

Mujiman A. 1981. Tuba semakin langka. Majalah Terubus 12 (136) : 120-121.

Nandika D, Rafiuddin R dan Husaeni EA. 1991. Biologi rayap perusak kayu. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Bogor.

Nandika D, Rismayadi Y dan Diba F. 2003. Rayap : biologi dan pengendaliannya. Muhammadiyah University Press. Surakarta.

Natawiria D. 1973. Percobaan pencegahan serangan rayap pada tegakan Pinus merkusii. Laporan Lembaga Penelitian Hutan. Bogor. No 176

Prijono D dan Triwidodo H. 1993. Pemanfaatan insektisida nabati di tingkat petani. Di dalam : Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan

(44)

Pestisida Nabati, Bogor 1-2 Desember 1993. Balitro, Bahan Litbang Pertanian, Bogor .

Ratnawati E. 1986. Penelitian pembuatan bahan aktif pestisida dari sumber hayati. Bulletin Penelitian Balai Besar Industri Kimia, Balitbang Industri, No. 34 : 1-9 (1985/1986). Jakarta.

Jones SC and Trosset MW. 1991. Interference competition in desert subterranean termites. Journal Entomologia. No. 61:83-90. USA.

Roonwall M.L. 1978. Termite Life and Termite Cont6rol in Tropical South Asia. Scientific Publis Her. Jodhpur.

Sugianto. 1984. Tanaman-tanaman beracun. Penerbit Widjaya. Jakarta.

Tambunan B dan Nandika D. 1989. Deteriorasi kayu oleh faktor biologis. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

Tarumingkeng RC. 1971. Biologi dan pengenalan rayap perusak kayu di Indonesia. Laporan No. 138. lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Tarumingkeng RC. 1992. Insektisida : Sifat, mekanisme kerja dan dampak penggunaannya. Ukrida Press. Jakarta.

Westphal E dan Jansen PCM. 1987. Plant resources of South- East Asia : Proposal for a Handbook. Pudoc Wageningen.

(45)

32

Lampiran 1 Kadar ekstrak akar tuba (Derris elliptica Benth.) berdasarkan berat kering

Berat Serbuk (KU) = 1000,00 gram Kadar Air Serbuk = 1,860 % Berat Kering serbuk = 981,74 gram Berat Ektrak Kental = 82 gram

Kadar Ekstark Kental = 82 gram x 100 %

981,74 gram

= 8,53 %

(46)

Lampiran 2 Kadar air kayu umpan sebelum perendaman ke dalam ekstrak akar tuba

Kayu umpan Ulangan

Kadar Air (%) Rata-rata (%) 1 17,45 2 18,48 3 17,98 17,97 Kontrol 1 16,81 2 17,58 3 17,05 17,14 Rendam 5% 1 18,10 2 18,26 3 16,50 17,62 Rendam 10% 1 16,40 2 16,50 3 18,28 17,06 Semprot 5% 1 16,92 2 17,22 Semprot 10% 3 12,17 17,10 33

(47)

Lampiran 3 Data kematian rayap tanah (Captotermes curvignathus Holmgren) per hari selama pengamatan yang diberi umpan kayu pinus yang direndam dengan ekstrak akar tuba

Lama pengamatan ( 26 Desember 2007 – 24 Januari 2008) Perlakuan Ulangan 26 27 28 29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 0 0 0 0 0 0 1 1 2 0 2 2 0 2 2 0 1 3 2 2 0 0 1 0 1 2 0 1 1 0 2 0 0 1 0 0 0 1 2 0 0 2 3 0 2 2 2 0 0 0 2 2 0 0 0 0 1 0 1 1 0 kontror 3 0 0 0 0 1 1 2 2 1 1 0 3 0 2 0 1 2 0 0 2 1 0 1 1 0 1 2 0 0 0 1 0 4 1 4 6 2 3 8 7 5 3 4 3 2 0 1 4 2 16 4 4 7 4 3 5 Rendam 5% 3 0 0 4 13 8 5 4 2 1 6 5 2 1 0 8 5 13 10 12 2 2 0 11 7 16 8 4 4 Rendam10% 3 0 6 1 6 12 14 8 3 34

(48)

Persentase kematian Rayap pada hari ke… setelah pengumpanan Retensi Ekstrak Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 (kg/m3) 1 2 3 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 2 0 0 2 2 0 2 4 2 4 8 4 8 12 8 8 14 8 8 16 12 12 16 16 18 22 16 18 22 20 22 24 24 26 24 Jumlah 0 0 2 2 4 6 14 24 30 32 40 56 56 66 74 Kontrol Rata-rata 0 0 0,67 0,67 1,33 2 4,67 8 10 10,67 13,33 18,67 18,67 22 24,67 1 2 3 0 0 0 8 2 0 10 10 8 18 14 34 30 46 50 34 54 60 56 62 68 70 76 72 80 84 74 86 90 86 94 100 96 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Jumlah 0 10 28 66 136 162 204 240 238 262 290 300 300 300 300 2 Rata-rata 0 3,33 9,33 22 45,33 54 68 80 79,33 87,33 96,67 100 100 100 100 1 2 3 0 0 0 16 22 12 26 36 14 52 68 26 72 84 50 96 92 78 100 100 94 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Jumlah 0 50 76 146 206 266 294 300 300 300 300 300 300 300 300 4 Rata-rata 0 16.67 25.3 48,67 68,67 88,67 98 100 100 100 100 100 100 100 100 35

Gambar

Gambar 1  Klasifikasi insektisida secara umum.
Tabel 1  Persentase  kematian  kumulatif  C. curvignathus yang disemprot dengan  ekstrak akar tuba
Tabel 2  Rekapitulasi hasil analisis keragaman kematian C. curvignathus dengan   perlakuan penyemprotan dari hari pertama sampai hari ke tujuh
Tabel 3  Rekapitulasi uji jarak Duncan C. curvignathus dengan  perlakuan penyemprotan  dari hari pertama sampai hari ke tujuh
+6

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Faktor pendukung yang berasal dari eksternal dalam upaya pengembangan promosi dalam menarik kunjungan wisatawan pada Taman Rekreasi Kota Malang yakni salah satunya

Berdasarkan hasil kajian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal: (1) Analisis isi 2 teks islami berbahasa Inggris dalam buku Al-Arabiyyah al-Muyassarah menggunakan

bahwa dalam pengembangan kelas internasional pada Universitas Terbuka di Inggris ( Open University of the United Kingdom ), model belajar jarak jauh merupakan salah

Jurnal "~nafisa' Volume XV, No.. Mulyani Mudis Taruna dalam proses pembelajaran di sekolah. ' Dan dalam proses pembelajaran, kurikulum dapat berubah atau mengalami

Hasil dari penelitian dengan menggunakan metode tersebut tersusun dalam sebuah Perencanaan Strategi Sistem Informasi yang dapat meningkatkan kinerja bisnis pada CV Graha

Sterilisasi permukaan dengan menggunakan metode A yang merupakan metode yang sama dengan yang digunakan oleh Achlich dan Sieber (1996) untuk mengisolasi fungi

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menyelesaikan program Studi Strata Satu (S-1) dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE) Program Studi