CAHAYA ALAMI SEBAGAI UNSUR
PEMBENTUK EKSPRESI SAKRAL PADA
GEREJA DI JAKARTA
Irfan Balindo Sidauruk,
Firza Utama Sjarifudin, Vivien Himmayani
Universitas Bina Nusantara, irfan.balindo@gmail.comABSTRACT
The purpose of this research was to define the influence of natural light as one of the
elements in forming the sacred worship space in catholic church. Qualitative method used
focuses on the theory of sacred space, the meaning of light in church, and relationship with
the natural light itself and comparative study of similiar projects. The result was natural
light played an important role in a religious building, especially in this case was the church,
due to the influx of light that penetrates the building can be inffered as a symbol of the
presence of God, as the Bible says “I am the Light of the world” and strengthen the theory of
light that became one of the sacred element in the church. Conclusions that can be made was
the theory of sacred space in the Catholic Church design has been applied. Entry of light to
penetrate the building could meets the category of sacred space and light into the church
building.
Keywords: church, natural light, sacred. (IBS)
Keywords: church, natural light, sacred.ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh seberapa besar pengaruh cahaya alami sebagai salah
satu unsur pembentuk sakral dalam ruang ibadah gereja katolik. Metode yang digunakan
adalah Kualitatif, dimana kualitatif disini menitikberatkan pada teori mengenai sakral dan
ruang sakral, makna cahaya pada gereja dan hubungan cahaya alami dengan sakral itu
sendiri lalu studi banding proyek sejenis. Hasil yang didapatkan adalah bahwa cahaya
alami mempunyai peranan penting dalam sebuah bangunan religius khususnya dalam kasus
ini adalah Gereja karena masuknya cahaya yang menembus bangunan gereja adalah simbol
kehadiran Tuhan sebagaimana Alkitab mengatakan bahwa Akulah Terang Dunia dan
menguatkan teori mengenai cahaya yang menjadi salah satu unsur sakral dalam gereja.
Kesimpulan yang dapat diambil yakni teori mengenai sacred space dalam bangunan gereja
katolik adalah telah ada dan dapat diterapkan. Masuknya cahaya menembus bangunan
sudah memenuhi kategori sacred space dan cahaya yang masuk ke dalam bangunan gereja
diaplikasikan dengan estetika cahaya dan filosofi.(IBS)
PENDAHULUAN
Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mengatakan bahwa dari tahun 2010 hingga tahun 2013 pertumbuhan penduduk Jakarta mencapai sekitar 127.804 jiwa setiap tahun. Angka pertumbuhan ini berpengaruh terhadap bertambahnya jumlah penganut agama yang ada di Jakarta setiap tahun dan akan mempengaruhi kuantitas tempat ibadah yang akan mereka gunakan. Berikut ulasan mengenai jumlah penduduk DKI Jakarta menurut agama pada tahun 2010.
Kota-madya Agama Islam Kris-ten Kato-lik Hin-du Bu-dha Kong Hu Chu Lain-nya Kep. Seribu 21. 009 24 3 6 0 0 0 Jak-Sel 1.896.1 52 97. 872 44. 549 4.736 11. 970 443 936 Jak-Tim 2.416.3 60 190. 137 57. 330 4.511 12. 312 603 321 Jak-Pus 752. 465 76. 784 30. 195 3.481 29. 035 538 560 Jak-Bar 1.803.6 12 205. 112 103. 681 2.792 160. 291 2.458 297 Jak-Ut 1.311.1 98 154. 303 67. 537 4.838 103. 919 1.292 296 Jumlah 8.200.7 96 724. 232 303. 295 20. 364 317. 527 5.334 2.410 Tabel 1. Data Jumlah Penduduk Menurut Agama
Berikut adalah data sarana ibadah yang ada di Jakarta :
Kotamadya Masjid Mushola Gereja Pura/
kuil Vihara Jumlah Kristen Katolik Kep. Seribu 11 29 - - - - 40 Jak-Sel 748 1.285 177 7 4 7 2.228 Jak-Tim 906 1.675 271 10 5 19 2.886 Jak-Pus 437 505 213 8 3 33 1.199 Jak-Bar 613 1.287 240 11 1 138 2.290 Jak-Ut 433 867 202 9 8 51 1.570 Jumlah 3.148 5.648 1.103 45 21 248 10.213 2009 3.148 5.648 1.178 45 27 245 10.291 2008 3.148 5.648 1.178 45 27 245 10.291
Tabel 2. Data Jumlah Tempat Ibadah di DKI Jakarta
Berdasarkan data, berikut ulasan perhitungan rasio antara penganut agama dengan sarana ibadahnya di Jakarta :
• Islam
8.200.796 jiwa : 8.796 Masjid & Musholla = 933 jiwa : 1 Masjid & Musholla
• Kristen
724.232 jiwa : 1.103 Gereja = 657 jiwa : 1 Gereja
• Katolik
303.295 jiwa : 45 Gereja = 6740 : 1 Gereja
• Hindu
20.364 jiwa : 21 Pura = 970 : 1 Pura/Kuil
• Buddha
Berkaca pada kapasitas Gereja katolik terbesar di Jakarta yakni Katedral, Taufik Kipot, Humas Paroki Gereja Katedral Jakarta, mengatakan, “kapasitas standar di dalam gereja tersebut adalah 800 orang”. Jika diakumulasikan dengan ibadah sebanyak 7 kali pada Gereja Katedral dalam 1 minggu didapatkan 5.600 umat terlayani dalam 1 mingguan ibadah. Jumlah ini masih cukup jauh dengan data 6740 jiwa dalam 1 gerejanya. Hal ini mengindikasikan adanya sebuah kebutuhan terhadap Gereja Katolik di Jakarta, selanjutnya akan di bahas mengenai kotamadya yang mempunyai rasio perbandingan tertinggi untuk asumsi umat dalam 1 Gereja.
Tabel 3. Data Jumlah Penduduk agama kristen katolik
• Jakarta Selatan
44.549 jiwa : 7 gereja = 6.365 jiwa : 1 gereja
• Jakarta Timur
57.330 jiwa : 10 gereja = 5.733 jiwa : 1 gereja
• Jakarta Pusat
30.195 jiwa : 8 gereja = 3.775 jiwa : 1 gereja
• Jakarta Barat
103.681 jiwa : 11 gereja = 9.425 jiwa : 1 gereja
• Jakarta Utara
67.537 jiwa : 9 gereja = 7.505 jiwa : 1 gereja
Pada data perbandingan diatas diperoleh bahwa satu Gereja pada wilayah Jakarta Barat harus menampung 9.425 jiwa, angka ini adalah tertinggi dibanding 4 daerah lainnya. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa wilayah Jakarta Barat butuh penambahan Gereja Katolik. Saat ini telah ada 11 gereja Katolik yang ada di Jakarta Barat yaitu :
• St. Thomas Rasul (Cengkareng)
• Trinitas (Cengkareng)
• St. Kristoforus (Grogol Petaamburan)
• Damai Kristus (Tambora)
• St. Andreas (Kedoya)
• St. Petrus & Paulus (Taman Sari)
• Maria Kusuma Karmel
• Maria Bunda Karmel (Kebon Jeruk)
• St. Maria de Fatima (Taman Sari)
• Kristus Salvator (Palmerah)
• St. Matias rasul (Cengkareng) Nama Kabupaten /
Kota Katolik Gereja
Jakarta Selatan 44.549 7 Jakarta Timur 57.330 10
Jakarta Pusat 30.195 8 Jakarta Barat 103.681 11 Jakarta Utara 67.537 9 Prov. DKI Jakarta 303.295 45
Pendahuluan Topik
Paus Benediktus XVI dikenal memiliki kepedulian pada karya seni suci (Sacred art) dan Arsitektur dalam Gereja Katolik, beberapa tulisan dalam bentuk buku, jurnal dan isi dari homili-nya memperlihatkan hal itu. Dengan posisi Paus Benediktus sebagai pemimpin tertinggi dalam Gereja Katolik, tentu pokok-pokok pandangannya mengenai Arsitektur memiliki dampak dalam desain Arsitektur Gereja Katolik di seluruh dunia. Kasus yang belum lama muncul pada bulan November 2011 yakni keprihatinan Paus atas “penyimpangan” yang begitu banyak terjadi pada desain Arsitektur Gereja Katolik di seluruh dunia. Inti dari “penyimpangan” yang dimaksud adalah bahwa Arsitektur Gereja Katolik kehilangan apa yang disebut sacred space karena tidak lagi didesain dengan berpatokan pada Liturgi yang benar. pernyataan ini menunjukkan pentingnya sacred space dalam Arsitektur Gereja Katolik.
Salah satu unsur pemaknaan religius dan Sakral yaitu cahaya yang bagi umat Kristiani merupakan simbol kebenaran, kesucian, keadilan, bahkan merupakan simbol akan Tuhan yang perlu dihadirkan pada ruang dalam gereja untuk membentuk karakteristik ruang yang religius, suci, dan kudus. Dalam menjalankan ibadah, dibutuhkan sesuatu yang mempresentasikan kehadiran Tuhan untuk mendukung kegiatan tersebut.
Menurut Humphrey dan Vitebsky ( 1997 ), Cahaya alami secara umum memang berperan sebagai pemberi kenyamanan visual panca indera yang berasal dari matahari (bukan buatan). Sedangkan pada bangunan gereja, cahaya alami bukan saja berperan dalam kenyamanan visual melainkan ada unsur rohani yang berperan di dalamnya dimana unsur cahaya tersebut dapat menciptakan unsur sakral yang dapat membuat suasana lebih hikmat dan religius. Triantafyllides (1964 , hal.5 ) berpendapat bahwa " orang-orang percaya memasuki gereja akan melihat ke arah cahaya dan akan merasakan kehadiran Allah"
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mengerucut pada studi kasus dan kuantitatif dengan simulasi. Metode kualitatif meliputi kebutuhan ruang gereja katolik dan studi perilaku para pelaku gereja. Metode penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini peneliti melakukan simulasi pencahayaan dan bukaan ruang menggunakan software ecotect dan sketchup.
Gambar 1. Diagram Alur Penelitian
HASIL DAN BAHASAN
Lokasi
Lokasi Tapak berada di Jalan Perdana Kusuma, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat
Lokasi Tapak : Jalan Wijaya Kusuma, Grogol, Jakarta Barat
Peruntukan lahan : SUK
Tipe masa bangunan : Tunggal
Luas Tapak : 10.206 m2
GSB : 8 m
KDB : 40 %
Luas lantai yang boleh dibangun : 40 % x 10.206 m2
: 4082,4 m2
KLB : 1,6
Luas total bangunan yang boleh dibangun : 1,6 x 10.206 m2
: 16.329,6 m2
Maksimum ketinggian lantai : 4
Pencapaian Site dapat ditempuh dengan kendaraan umum, kendaraan pribadi baik motor maupun mobil dan berjalan kaki. Kendaraan umum yakni Transjakarta koridor 2B, 3, dan 3A, angkutan KWK B02, Metromini 80, bajaj, dan ojek. Dari depan jalan perumahan dapat ditempuh dengan berjalan kaki sejauh +/- 160 m.
Dengan sarana transportasi yang cukup memadai tersebut diharapkan dapat memudahkan akses orang-orang yang ingin ke gereja ini. Selain itu dari kawasan Citraland, Kampus Tarumanagara dan Kampus Trisakti cukup dekat ke tapak dengan waktu tempuh +/- 15 menit.
Analisa Tapak
Berdasarkan arah datangnya sinar matahari, bentuk massa yang paling efisien adalah bentuk memanjang searah matahari karena sedikit sisi yang terkena sinar matahari karena dapat mengurangi radiasi panas, namun bentuk massa ini bukanlah bentuk massa akhir, masih perlu membandingkan dengan analisa lainnya dan akan dibahas lebih dalam pada analisa pencahayaan terkait analisa tapak terhadap matahari.
Bangunan diposisikan lebih ke dalam yakni ke area yang sedikit mengalami bising.
Jika dilihat dari tipologi gereja dimana pintu masuk adalah satu garis lurus dengan posisi altar, maka diperoleh pintu masuk dari ujung- ujung bangunan. (memanjang)
Pertimbangan lain yang ingin dicapai adalah unsur filosofi pada bangunan religius yang telah ada. Pada proyek ini pertimbangan pertama adalah membuat garis Salib. Pengaturannya adalah dengan membuat garis (warna hijau) yang membentang sepanjang sisi terpanjang bangunan. Selanjutnya menarik garis (warna kuning) sebagai respon terhadap ujung-ujung tapak.
Hasil obeservasi
Gambar. Contoh penerapan masuknya cahaya
Pembahasan
Gambar. Pergerakan Matahari pada Tapak
Pada gambar diatas adalah hasil analisa jalur pergerakan matahari dalam satu tahun. Matahari akan berada pada utara dan selatan tapak pada bulan-bulan tertentu.
Pergerakan Semu Matahari Tahunan :
• 21 Maret : Matahari pada pada daerah khatulistiwa
• 21 Juni : Matahari pada belahan bumi utara
• 21 September : Matahari pada daerah khatulistiwa
• 21 Desember : Matahari pada belahan bumi selatan Selanjutnya akan dibahas mengenai pergerakan matahari harian :
Gambar 4.25 Pergerakan Matahari Harian
Perbedaan derajat setiap jamnya adalah sebesar 15 derajat. Selanjutnya
menganalisa bentuk yang akan dipilih.
Pada pembahasan sebelumnya mengenai sacred space dijelaskan bahwa
layout gereja yang dimaksud adalah bentuk gereja yang satu garis lurus dari
area Narthex, Nave dan Sanctuary. Hal ini yang menyebabkan banyak
gereja-gereja katolik dahulu banyak mengadopsi bentuk Salib yang bentuknya
memanjang. Akhirnya diambil bentuk yang memanjang namun akan di
elaborasi kemudian dengan analisa lainnya.
Gambar 4.28 Bentuk memanjang
Pada teori sebelumnya dijelaskan bahwa desain pencahayaan alami di
gereja-gereja yang mungkin selalu ditentukan oleh efek estetika dan simbolisme agama.
Berdasarkan hal ini penulis ingin membuat bentuk yang merespon pergerakan
cahaya matahari.
12:00
Gambar 4.29 Perubahan Massa
Bentuk elips dipilih karena dapat merespon pergerakan semu tahunan
matahari karena ingin mendapatkan pergerakan cahaya yang berbeda-beda setiap
waktunya. Selain itu dari teori dalam buku Seeking the Sacred in Contemporary
Religious Architecture (2010) dijelaskan bahwa bentuk elips adalah representatif dari
simbol kesempurnaan.
Berdasarkan teori sebelumnya bahwa daerah altar adalah daerah paling sakral
dalam gereja, maka dari itu penulis ingin memaksimalkan pencahayaan pada area
altar dengan membuat bukaan yang mengarah pada area tersebut.
Jika melihat pergerakan semu harian matahari, maka diambil bentuk yang
dapat merespon pergerakan semu matahari tersebut. dengan mengambil teori prinsip
cahaya, diambil alternatif pantulan cahaya ke dalam bangunan.
Gambar 4.30 Bukaan pada atas Altar
Pada bagian atas bangunan dibuat aksen dome dengan dibuat
batang-batang lubang yang berfungsi sebagai bidang pantul cahaya yang
masuk ke dalam altar.
Pada bagian selubung bangunan akan dibuat lubang untuk
masuknya cahaya dari sisi bangunan dengan membentuk filosofi
sayatan-sayatan cambuk sebagai simbol penyiksaan Tuhan sebelum ia disalibkan.
Gambar . Tampak Atas
SIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah dimana sebuah sacred space atau ruang sakral perlu dihadirkan kembali sebagaimana kritik Paus Benediktus XVI. Apabila ditelaah ternyata kategori ruang sakral itu sebenarnya sudah dijabarkan dalam teori dan dapat diaplikasikan pada pembangunan gereja baru, hanya saja pemahaman manusia sekarang terhadap hal ini sudah sangat kurang dan perlahan mungkin akan hilang.
Pada proyek ini penulis mencoba menerapkan kategori-kategori sacred space itu sendiri dalam sebuah desain. Dimana pengaplikasiannya mencakup dari eksterior maupun interior, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan keseluruhan sacred space itu.
Untuk pencahayaan dikatakan bahwa masuknya cahaya menembus bangunan sudah memenuhi kategori sacred space, dan dikatakan juga cahaya yang masuk kedalam bangunan gereja ini diaplikasikan dengan permainan estetika cahaya. Itulah yang coba penulis lakukan dengan mencoba bermain dengan cahaya untuk mendapatkan sebuah pengalaman ruang yang baru.
Ada keterkaitan antara filosofi bentuk bukaan cahaya dengan hanya sekedar memasukkan cahaya itu sendiri, dimana filosofi ini menambah kuat kesan terhadap bangunan gereja tersebut. contohnya seperti pada bangunan Tadao Ando dalam Church of The Light dimana beliau membuat bukaan berbentuk salib yang diketahui bersama salib adalah simbol pengorbanan Tuhan kepada umat manusia. Simbol ini kemudian dibelah dengan masuknya cahaya yang membuat orang yang melihatnya seperti melihat Tuhan hadir dalam kegelapan manusia. Pada proyek ini penulis mencoba membuat benang merah antara filosofi dengan masuknya cahaya tersebut dimana penulis membuat sayatan cambuk sebelum Tuhan disalib.
Secara keseluruhan penulis ingin membuat gereja ini menjadi gereja yang menjadi ikon dengan konsep tubuh kristus dimana ketika orang melihat gereja dan sitenya ornag akan teringat akan pengorbanan Tuhan di kayu salib.
SARAN
Bagi para pembaca dan yang akan melakukan penelitian terkait, diharapkan dapat melakukan pemahaman mengenai sakral. kemampuan yang dalam terhadap software perlu ditunjang karena sangat mempengaruhi performa kerja dimana pada penelitian jenis ini software menjadi alat yang cukup signifikan.
REFERENSI
General Instruction of The Roman Missal (Canada: St. Joseph Communications, 2010).
Hoffman,R.D., (2010). Seeking the Sacred in Contemporary Religious Architecture. The Kent State University, Ohio
Lam, William M. C. (1986). Sunlight as Formgiver for Architecture. New York: Van Nostrand Reinhold
Lechner, Norbert. (2007). “Heating, Cooling and Lighting : Metode Desain untuk Arsitektur”. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Satwiko, Prasasto. (2004). Fisika Bangunan 1. Yogyakarta: Andi.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. (2013). Jakarta Dalam Angka/Jakarta In Figures 2013 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. (2013). Jakarta Barat Dalam Angka 2013
Antonakaki, Theodora (2007). Lighting and Spatial Structure in Religious Architecture
Doni Srisadono, Yosef (2012). Konsep Sacred Space Dalam Arsitektur Gereja Katolik. Jurnal melintas (182-206)
Shumka, L (2013). Considering importance of light in the post byzantine church in central albania. Ziabakhsh, Neda (2011). Spiritual manifestation of natural light in sacred building : a comparative study.
Thomas Schielke (28 maret 2014) Light matters: Sacred Spaces. diakses 5 April 2014 dari www.archdaily.com/
Editor (2014).perencanaan bangunan gereja baru. diakses 24 maret 2014 dari www.katolisitas.org
RIWAYAT PENULIS
Irfan Balindo Sidauruk lahir di kota Jakarta pada 22 September 1990. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Arsitektur pada 2014.