• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01278

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01278"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

REFLECTIVE TEACHING LEARNING MODEL Satya Wacana Chritian University – Salatiga – Indonesia

sulasmonobambang@yahoo.com

The theme of Australian Consortium on Experiential Education

Conference in 1982 'Reflection: A Neglected Area in Learning',

unfortunately still relevant for education in Indonesia at this time.

Instead of emphasizing reflective action in teaching learning

processes, reflective dimension in learning has long been neglected

in the praxis of learning in this country. The importance of

reflection in learning have long been raised by many education

experts. Reflection are important to build a 'critical attitude /

critical intent'' (Habermas), Reflection also importance in the

process of 'cooperative inquiry', (Heron) and in the developing of

the study skills (Maine). Kolb also puts the reflection as an

important part of the ‘experiential learning process'. Safery &

Duffy stated that reflection is one of the important pillars of

constructivist learning, because reflection can help learners to

develop meta-cognitive awareness. For the teachers, Borich

suggests that a good teachers are reflective teachers, ie teachers

who are able to think deeply and critically on their own teaching.

In this paper I would like to discuss: (a) the meaning of reflection,

(b) the significance of reflection in the teaching-learning process,

and (c) the examples of reflective learning model .

Key word: reflection, significance of reflection, reflective learning model

1. Pendahuluan

Reflection: A Neglected Area in Learning‟ pernah menjadi tema konferensi sehari yang digelar oleh The Australian Consortium on Experiential Education pada tahun 1982. Konferensi itu tentu telah usai puluhan tahun lalu,

(2)

Yang menarik bagi kita saat membaca kembali tema itu adalah bahwa tema itu rasanya tepat untuk diajukan kepada dunia pendidikan Indonesia saat ini. Karena memang demikianlah rasanya yang terjadi di dunia pendidikan kita selama ini. Dimensi reflektif dalam pembelajaran telah cukup lama diabaikan dalam praksis pembelajaran di negeri ini.

Ihwal keterpurukan kualitas pendidikan negeri ini ketimbang bahkan negara negara se Asia Tenggara sekalipun tentu sudah menjadi pengetahuan dan keprihatinan umum. Namun yang justru terasa masih langka adalah elaborasi lebih dalam dan serius tentang penyebab dan/atau solusi atas keterpurukan itu. Tulisan ini dibangun atas asumsi bahwa salah satu penyebab keterpurukan di atas adalah dominannya paradigma psikologi behavioristik dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia selama ini yang memang tidak memberi tempat bagi proses belajar yang otentik ke arah pencapaian makna pengetahuan melalui proses refleksi.

Miskinnya pengalaman berrefleksi juga dicerminkan oleh menggejalanya perilaku spontan destruktif, yang mencerminkan pola pikir „tanpa pikir panjang dulu‟ di masyarakat sebagai dinampakkan oleh perilaku kerusuhan massal,

pembakaran dan/atau penganiayaan tersangka pelaku kejahatan, perkelahian antar warga Desa, konflik antar suku dan/atau antar pemeluk agama, tawuran antar pelajar dan sejenisnya. Dalam batas-batas yang lebih “beradab” pertikaian demi pertikaian juga terjadi di kalangan elit baik yang ada di lembaga legislatif maupun di berbagai lembaga pemerintahan selama 6 tahun masa transisi belakangan ini.

Secara berturut-turut akan disajikan secara serba ringkas (a) pengertian refleksi, (b) signifikasi refleksi dalam proses pembelajaran dan (c) contoh model pembelajaran reflektif. Sebuah catatan penutup akan mengakhir tulisan ini.

2. Refleksi: Belajar dari Pengalaman

Kata reflection yang kita terjemahkan menjadi refleksi bermakna sebagai „ pikiran, gagasan, pandangan yang terbentuk, atau catatan yang dibuat

berdasarkan hasil pertimbangan atau pemikiran yang serius‟. Dalam bahasa

(3)

upaya mengeksplorasi pengalaman mereka dalam rangka mencapai pemahaman dan apresiasi-apresiasi baru‟. Refleksi itu bisa dilakukan secara mandiri maupun bersama orang lain. Hal itu bisa dilakukan dengan baik ataupun buruk, bisa berhasil namun juga bisa gagal. Namun dalam proses pendidikan semestinya diupayakan agar refleksi menjadi kegiatan yang produktif.

Jadi refleksi adalah tanggapan secara mendalam dan kritis seseorang atas pengalamannya sendiri. Melalui proses itu orang berusaha semakin memahami arti (makna) dan konsekuensi dari pengalamanya itu sehingga mampu memilih tindakan yang cocok untuk pengembangan dirinya. Proses refleksi dapat digambarkan seperti berikut

[image:3.595.113.550.298.548.2]

Gambar 1.

Proses refleksi dalam sebuah konteks (Diterjemahkan dari Boud, Keogh, Walker, 1989: 36)

Dalam gambar tersebut tampak bahwa proses refleksi pada intinya meliputi tiga tahap kegiatan, yaitu (a) tahap menghadirkan kembali pengalaman, (b) tahap mengelola perasaan, dan (c) tahap mengevaluasi kembali pengalaman. 1) Tahap Menghadirkan Kembali Pengalaman.

Pada tahap ini, pelaku refleksi mencoba mengumpulkan kembali peristiwa-peristiwa yang menonjol dan menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa tersebut dalam pikirannya. Proses ini akan sangat tertolong jika yang bersangkutan bersedia

Menghadirkan kembali pengalaman Mengelola perasaan:

memanfaatkan perasaan yang bersifat positif. mengubah

pera-saan-perasaan yang menggang-gu. Mengevaluasi kembali pengalaman Perilaku Gagasan Perasaan

Perspektif baru pengalaman diri Perubahan sikap

& perilaku

Kesiapan untuk

penerapan/aplik asi (aksi)

Komitmen untuk bertindak

(4)

menuliskan dalam kertas atau menceritakannya kepada orang lain. Dalam pembelajaran proses ini dapat berupa proses de-briefing yang merupakan salah satu langkah dalam rancangan tugas tugas untuk pembelajaran kooperatif (Borich 1996:442). De-briefing itu sendiri lebih di kenal di dunia penerbangan dan diplomatik, dalam bentuk interogasi terhadap penerbang atau diplomat segera setelah mereka kembali dari menjalankan missi tertentu guna memperoleh informasi-informasi yang bermanfaat.

2) Tahap Mengelola Perasaan.

Tahap ini terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu (a) memanfaatkan perasaan-perasaan yang positif dan (b) mengubah perasaan-perasaan-perasaan-perasaan yang mengganggu. Memanfaatkan perasaan-perasaan positif meliputi upaya untuk memfokuskan diri pada perasaan-perasaan positif mengenai proses pembelajaran dan pengalaman yang sedang direfleksikan. Hal itu misalnya meliputi kesadaran untuk mengumpulkan kembali pengalaman-pengalaman yang baik, memberikan perhatian pada aspek-aspek yang menyenangkan dari lingkungan, atau mengantisipasi keuntungan yang mungkin bisa didapat dari peristiwa tersebut. Upaya mengubah perasaan-perasaan yang mengganggu merupakan awal yang diperlukan agar seseorang dapat mempertimbangkan peristiwa peristiwa yang telah dialaminya secara rasional. Hal itu misalnya dapat dilakukan dengan mentertawakan pengalaman yang memalukan.

3) Tahap Mengevaluasi Kembali Pengalaman.

(5)

integrasi pertama-tama dicari sifat sifat hubungan yang telah terjadi dalam proses asosiasi. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan tentang pengalaman yang direfleksikan itu agar sampai pada tilikan-tilikan baru. Validasi, adalah proses menguji keotentikan gagasan dan perasaan yang telah dihasilkan. Dalam validasi pelaku refleksi melakukan pengujian konsistensi internal antara apresiasi-apresiasi baru dengan pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan yang telah ada. Apropriasi, adalah proses menjadikan pengetahuan baru itu menjadi milik pelaku refleksi.

Hasil dari proses refleksi bersifat kompleks, bisa berupa salah satu atau seluruh hal-hal seperti cara baru untuk melakukan sesuatu, kejelasan atas isu-isu, dan berkembangnya ketrampilan atau pemecahan masalah. Peta kognitif mungkin diperoleh, dan rangkaian gagasan baru mungkin dikenali. Mungkin pula lahir sudut pandang baru dalam melihat pengalaman atau perubahan sikap dan perilaku. Sintesa, validasi dan apropiasi pengetahuan selain merupakan menjadi bagian dari proses juga merupakan hasil dari refleksi itu sendiri. Dan lebih penting lagi ketrampilan belajar yang signifikan mungkin berkembang melalui pemahaman atas kebutuhan-kebutuhan dan gaya belajarnya sendiri.

3. Signifikasi Refleksi dalam Pembelajaran.

Refleksi dalam proses pembelajaran penting baik bagi pengajar maupun terlebih-lebih bagi pebelajar. Bagi pengajar kemampuan untuk melakukan refleksi merupakan salah satu indikator dari pengajar yang baik. Slavin (2000: 8) menyebutkan bahwa refleksi merupakan salah satu dari empat kemampuan pokok yang harus dikuasai oleh pengajar. Tiga kemampuan lainnya adalah kemampuan mengambil keputusan, penguasaan bahan ajar dan pengaturan diri serta kemampuan menerapkan hasil penelitian di bidang kependidikan.

(6)

dan pengalaman pebelajar, serta untuk menganalisa dan mengritik pembelajaran-nya sendiri sesudah semuapembelajaran-nya berlangsung.

Sementara itu Burden & Byrd (1999: 6) menyatakan bahwa kunci keberhasilan profesional seorang pengajar adalah kemampuan mengambil keputusan dan kemampuan refleksi. Pengajar seharusnya seorang praktisi refleksi, yaitu figur yang selalu merefleksikan dan mengevaluasi hasil hasil keputusan keputusannya di masa lalu guna membuat keputusan yang lebih baik di masa depan.

Semua kutipan di atas menunjukkan betapa pentingnya penguasaan ketrampilan melakukan refleksi bagi para pengajar. Terlebih-lebih jika dipertimbangkan bahwa para pengajar itu pada gilirannya harus membimbing proses refleksi yang dilakukan para pebelajar. Tentu tugas semacam itu sulit dilaksanakan jika pengajar itu sendiri belum mampu melakukan refleksi.

Bagi pebelajar, pentingnya refleksi dalam pembelajaran telah lama dikemukakan oleh pakar pendidikan. Tak kurang dari Dewey hampir seabad yang lalu telah menyatakan hal itu. Menurut Dewey (Boud dkk; 1989: 25) „konteks dari refleksi itu adalah ketidak-pastian di dalam lingkungan dan kegiatan pebelajar

dalam konteks itu adalah berupa usaha disengaja untuk menemukan hubungan

hubungan khusus yang akan memperbaiki kepastian‟.

Dalam konteks yang agak luas, secara ideologis Jurgen Habermas (Boud dkk, ibid) menekankan pentingnya refleksi dalam upaya membangun „sikap kritis/ critical intent‟‟, yaitu disposisi untuk menyelidiki dan merekonstruksi aspek aspek sosial dan moral dari lingkungan untuk mencapai pencerahan dan emansipasi sepenuhnya.

(7)

refleksi dapat membantu pebelajar mengembangkan kesadaran meta-kognitif. Kesadaran meta-kognitif adalah kesadaran akan pikiran sendiri sebagaimana tampak dalam cara seseorang mengerjakan tugas tugas dan penggunaan kesadaran itu untuk mengendalikan hal hal yang akan dikerjakan (Marzano, dkk. 1998:9). Degeng (1998: 8) juga menyebutkan bahwa dalam pandangan konstruktivistik belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi.

Dapatlah disimpulkan bahwa basis signifikansi utama bagi refleksi dalam pembelajaran adalah konstruktivisme. Seperti sudah sering dikemukakan hakikat belajar dalam pandangan konstuktivis adalah proses pembangunan makna yang memiliki viabilitas. Untuk sampai tahap itu maka salah satu prinsip pembelajaran dalam terang paham konstruktivsme adalah kesempatan melalukan refleksi. Argumentasi bagi penerapan pembelajaran reflektif yang merupakan inti dari pedagogi Ignasian itu menurut Drost (2001: 14) adalah sebagai berikut

a. Dapat diterapkan pada semua jenis kurikulum sebagai suatu sikap, mentalitas, dan pendekatan yang konsisten yang mewarnai seluruh proses pembelajaran.

b. Dapat diterapkan tidak hanya pada disiplin-disiplin akademis, tetapi juga pada ranah non-akademis seperti kegiatan ekstra kurikuler, program pelayanan masyarakat, olah raga.

c. Memungkinkan para pengajar untuk memperkaya baik isi maupun susunan bahan pelajaran. Demikian pula, pebelajar dapat belajar lebih aktif dan bertanggung jawab.

d. Memungkinkan pebelajar menghubungkan bahan pelajaran dengan pengalaman mereka dan belajar dari pengalaman hidup mereka. Dengan demikian mendukung integrasi antara pengalaman belajar di kelas dengan pengalaman pebelajar di rumah, dunia teman sebaya, dan di masyarakat. e. Penerapan Pembelajaran Refleksif secara konsisten dan berkelanjutan akan

membantu pembentukan kebiasaan berefleksi terlebih dulu sebelum melakukan sesuatu.

(8)

Singkatnya, Pembelajaran Refleksif yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan akan membantu pebelajar lebih siap mengolah pengalamannya sehingga menjadi bahan baginya untuk tumbuh-berkembang menjadi dirinya, yaitu pribadi yang semakin dewasa dan peduli terhadap sesama.

4. Model Pembelajaran Reflektif

Salah satu model pembelajaran refleksif adalah Pembelajaran Refleksif yang dikembangakn berdasarkan paradigma pedagogi Igansian di sekolah sekolah milik ordo Jesuit. Pada intinya model ini merupakan proses pembelajaran dengan lima langkah, yaitu: (a) pengenalan konteks, (b) penyajian pengalaman, (c) refleksi, (d) aksi, dan (e) evaluasi.

a. Pengenalan Konteks

Pengalaman manusiawi, yang merupakan titik tolak dalam Pembelajaran Refleksif, tidak berlangsung dalam ruang hampa. Hal itu terjadi dalam sebuah konteks tertentu. Oleh karena itu, pengajar perlu mengenali secara baik kenyataan-kenyataan kontekstual dunia pebelajar maupun dunia pengajar. Dalam hal ini, pengajar perlu mengenali secara baik konteks berikut:

 Konteks nyata kehidupan pebelajar, seperti keluarga, kelompok sebaya, keadaan sosial, kondisi politik dan ekonomi, suasana kebudayaan, media, musik, dan kenyataan-kenyataan hidup yang lain yang dekat dengan kehidupan pebelajar. Itu semua potensial berdampak menguntungkan atau merugikan. pada pebelajar.

 Konteks sosio-ekonomi-politik-kebudayaan yang merupakan lingkungan hidup pebelajar yang amat mempengaruhi pebelajar. Misalnya, kemiskinan yang menghimpit pada umumnya berdampak negatif terhadap harapan untuk berhasil dalam studi; sikap politik pemerintah yang otoriter akan menindas keberanian untuk berpendapat, dlsb.

(9)

 Konteks nyata proses pembelajaran, yaitu, pengertian-pengertian yang dibawa oleh pebelajar ketika memulai proses pembelajaran, pendapat-pendapat dan pemahaman-pemahaman yang mereka peroleh dari studi sebelumnya, perasaan dan sikap mereka terhadap bidang studi yang akan mereka pelajari.

b. Penyajian Pengalaman

Pengalaman yang dimaksud di sini adalah setiap kegiatan yang bercirikan adanya pemahaman kognitif dari bahan yang disimak dan juga pelibatan dimensi afektif pebelajar. Di sini, pengalaman bisa dibedakan menjadi dua, yaitu pengalaman langsung dan tidak langsung. Termasuk pengalaman langsung dalam situasi pembelajaran, biasanya berupa: diskusi, penelitian, kegiatan lapang, aksi sosial, home stay, karya wisata, dlsb. Termasuk pengalaman tidak langsung dalam situasi pembelajaran adalah upaya memperoleh informasi mengenai sebuah peristiwa melalui kegiatan membaca, mendengarkan atau menyimak gambar. Untuk itu, biasanya dilakukan proses perangsangan indera dan daya imajinasi pebelajar melalui simulasi, permainan peran, atau tayangan audio-visual.

c. Refleksi

Istilah refleksi di sini dipahami dalam pengertian khas, yaitu suatu upaya menyimak dengan penuh perhatian terhadap bahan studi tertentu, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan untuk mengerti pentingnya pemahaman mendalam sampai pada makna dan konsekuensinya.

Melalui refleksi, pebelajar diajak untuk menggali makna dan konsekuensi dari sebuah pengalaman, misalnya dengan cara:

 memahami dengan lebih baik kebenaran hal yang dipelajarinya ( misal dengan bertanya, apakah pengandaian-pengandaian yang ada di balik paham ekonomi liberal? Apakah pengandaian-pengandaian itu sahih? Apakah jujur? Apakah ada pengandaian-pengandaian lain? Bagaimana jadinya kalau kita menggunakan pengandaian lain?);

(10)

menarik bagi saya? Mengapa saya tertarik? Adakah perasaan lain? Mengapa demikian?);

 Memperdalam pemahaman pebelajar tentang implikasi-implikasi bagi diri sendiri maupn orang lain (misal dengan bertanya: Dampak apa yang akan timbul dari sistem distribusi gula yang ada saat ini bagi parapedagang kecil dan masyarakat pada umumnya?);

 Mendapatkan pengertian pribadi tentang peristiwa-peristiwa, gagasan-gagasan, kebenaran atau pemutar balikan kebenaran, dsb (misal dengan bertanya: mungkinkah gaya hidup saya menyumbang pada terciptanya ketidak adilan?);

 Memahami siapa saya (pebelajar) dan bagaimana seharusnya sikap saya terhadap orang lain ( misalnya dengan bertanya: perasaan apa yang timbul dalam refleksi ini? Mengapa demikian? Apakah saya merasa nyaman dengan perasaan itu? Mengapa? Bagaimana saya harus menyikapinya?) Tantangan terbesar bagi seorang pengajar adalah dalam hal merumuskan pertanyaan-pertanyaan refleksi. Pengajar perlu menghindari apa saja yang bersifat manipulasi dan indoktrinasi. Sebaliknya, pengajar perlu membuka kepekaan pebelajar terhadap implikasi-implikasi manusiawi dari apa yang sedang dipelajari sedemikian rupa, sehingga dapat mengatasi pengalaman-pengalaman terdahulu untuk menuju perkembangan pribadi yang lebih matang. Bila memungkinkan, ada baiknya manakala refleksi dilanjutkan dengan saling berbagi refleksi (dialog refleksif).

d. Aksi

Istilah aksi di sini merujuk pada pertumbuhan sikap batin dan tindakan yang ditampilkan pebelajar berdasarkan pengalaman yang telah direfleksikan. Dengan demikian, aksi mencakup dua langkah:

(11)

 Pilihan yang dinyatakan secara lahir. Makna-makna hidup, sikap, nilai, perasaan-perasaan yang diperoleh melalui refleksi akan mendorong pebelajar untuk bertindak. Kalau makna pengalaman itu positif, maka pebelajar akan meningkatkan mutu pengalaman yang menimbulkan makna positif itu (misal, kalau pebelajar menganggap positif mendalami sejarah, maka ia akan senang belajar sejarah atau biografi seseorang). Kalau makna pengalaman itu negatif, maka pebelajar akan berupaya memperbaikinya dengan mengubah, mengurangi atau menghindari apa saja yang dapat menimbulkan pengalaman negatif itu (misal, kalau merokok menimbulkan pengalaman negatif, maka ia akan mengurangi atau bahkan tidak akan merokok lagi).

e. Evaluasi

Pembelajaran refleksif tidak hanya peduli pada pertumbuhan dan perkembangan akademis, melainkan perkembangan pribadi pebelajar dan kepeduliannya kepada sesama. Karena itu, disamping evaluasi berupa tes, ulangan atau ujian, perlu pula dilakukan evaluasi yang bersifat menyeluruh yang dilaksanakan sedikitnya sekali setiap catur wulan/semester. Evaluasi ini terutama sebagai sarana untuk melihat tingkat perkembangan. Sehingga hasilnya perlu ditindak lanjuti dengan memberikan ucapan selamat dan memberi semangat untuk lebih berkembang, bagi yang sudah berkembang dengan baik. Di sisi lain, bagi yang mengalami hambatan perkembangan, perlu ditindak lanjuti dengan mendorongnya untuk berefleksi lebih lanjut. Misalnya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan bijaksana, memberikan informasi yang dibutuhkan, mengajak memahami masalah dengan sudut pandang lain, dan lain sejenisnya..

5. Catatan Penutup

(12)

membangun kepedulian pebelajar terhadap pengalaman-pengalaman manusiawi dengan segala makna dan konsekuensinya; dan (c) membiasakan pebelajar untuk membuat pilihan hidup dalam bentuk komitmen dan tindakan nyata.

Jika memang demikian halnya maka amat jelas betapa strategisnya model pembelajaran reflektif dalam upaya perbaikan kinerja pendidikan kita dewasa ini.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Borich, G.D. 1996. Effective Teaching Methods. Third Edition, New Jersey: Prentice Hall

Boud, D., Keogh, R. & Walker, D. Promoting Reflection in Learning: a Model, dalam David Boud et. all (Ed).1989. Reflection: Turning Experience into Learning. London: Kogan Page.

Burden, P. & Byrd, D.M. 1999. Methods For Effective Teaching. Second Edition; Boston: Allyn and Bacon.

Degeng, I.N.S. 1998. Mencari Paradigma Baru. Pemecahan masalah Belajar. Dari Keteraturan Menuju ke Kesemrawutan. Pidato Pengukuhan Pengajar Besar IKIP Malang; Malang: IKIP Malang

Drost, J. 2001. Ignatian Pedagogy: A Practical Approach. Jakarta: ? (naskah siap cetak).

Heron, J. The Role of Reflection in a Co-operative Inquiry, dalam David Boud et. all (Eds).1989. Reflection: Turning Experience into Learning. London: Kogan Page.

Kolb, D.A. 1984. Experiential Learning. Experience as The Source of Learning and Development; New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Main, A. Reflection and Development of Learning Skills, dalam David Boud et. all (Eds).1989. Reflection: Turning Experience into Learning. London: Kogan Page.

Marzano, R.J. et all. 1998. Dimensions of Thinking: A framework for Curriculum and Instruction; Virginia: ASCD

Savery, J.R. & T.M. Duffy (1996) Problem Based Learning: An Instructional Model and Its Constructivist Framework dalam Brent G. Wilson (ed) Constructivist Learning Environment; New Jersey: Educational Technology Publications.

Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology. Theory and Practice. Sixth Edition. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon

Gambar

Gambar 1.  Proses refleksi dalam sebuah konteks (Diterjemahkan  dari Boud, Keogh, Walker, 1989: 36)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap. Tahap pertama adalah membandingkan 2 cara pembuatan probiotik bakteri asam laktat yaitu, a) Probiotik enkapsulasi;

Dendogram membentuk dua kluster utama, kluster pertama terdiri dari pohon induk sub plot pinggir atas jarang, dan kluster kedua terdiri dari sub kluster pohon induk pinggir atas,

Pada tahap pelaksanaan (do), terdapat dua kegiatan utama, yaitu: a. Kegiatan Pelaksanaan Pembelajaran Fiqih. Pelaksanaan pembelajaran fiqih dilakukan oleh Bpk. Faizun,

 Semarang Civil Aviation Institute akan dibangun dalam beberapa massa bangunan dimana pada bagian kegiatan utama merupakan bangunan utama yang terdiri dari dua

♦ Tugas pengawas adalah mendorong guru membangun sikap dan persepsi yang positif terhadap kegiatan supervisi.. ♦ Sikap dan persepsi ditentukan oleh dua hal, yaitu: (1)

Dari hasil analisis dan prediksi longsoran diatas dapat diklasifikasikan perilaku deformasi lereng menjadi empat tahap utama, yang terdiri dari tiga tahap sebelum longsoran

P2M ini dilaksanakan dalam bentuk pelatihan dan pendampingan implementasi kurikulum 2013, yang terdiri dari dua tahap kegiatan yaitu: tahap pertama, pelatihan dan

Bentuk kegiatan terdiri dari kegiatan utama dan kegiatan pendukung. Kegiatan utama terdiri dari beberapa kegiatan yang merupakan target utama. Sedangkan kegiatan pendukung merupakan