• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Revitalisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk Pendidikan Karakter Bangsa T1 152008025 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Revitalisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk Pendidikan Karakter Bangsa T1 152008025 BAB II"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Kajian Teori

a. Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei tahun 1889 dengan nama R.M Suwardi Suryaningrat. Masa mudanya dipengaruhi oleh suasana kesusastraan Jawa, agama Islam, Hinduisme, kesenian dengan cabang-cabangnya seperti kesenian gending, seni suara dan seni sastra (Abdurrachman Suryomihardjo, 1986 : 52). Tepat pada usia 40 tahun menurut perhitungan tahun Jawa, namanya diganti menjadi Ki Hadjar Dewantara (Darsiti Soeratman, 1983 : 3). Semenjak saat itu beliau tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya (Sugihartono dkk, 2007 : 124). Dengan nama Suwardi Suryaningrat ia dikenang sebagai Bapak Pergerakan Nasional, dan dengan nama Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional (Harahap, 1980 : 3).

(2)

8

atas tawaran dokter Wahidin Sudiro Husodo, Ki Hadjar melanjutkan pelajarannya ke sekolah dokter Jawa atau STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Arsten). Ki Hadjar juga sempat aktif dalam organisasi Budi Utomo (BU) dan Sarikat Islam (SI), namun akhirnya ia menggabungkan diri pada Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo dalam Indische Partij (IP). Ketiga pemimpin tersebut kemudian dikenal dengan nama Tiga Serangkai.

Pada permulaan bulan Juli tahun 1913, pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga termasuk pribumi untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Perancis. Pesta peringatan itu akan diselenggarakan pada bulan November tahun tersebut. Saat itu timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Suwardi. Bersama dengan Cipto Mangunkusumo pada permulaan Juli 1913, beliau membentuk “Committee tot Herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid” (panitia peringatan 100 tahun kemerdekaan Nederland) yang dalam bahasa Indonesia disingkat “Komisi Bumiputera”. Panitia bermaksud akan mengeluarkan isi hati rakyat, memprotes adanya perayaan kemerdekaan Belanda karena rakyat Indonesia dipaksa secara halus harus memungut uang sampai ke pelosok-pelosok (Haryanto, 2011 : 3).

(3)

9

untuk kemerdekaan suatu negeri yang tidak ingin memberi kemerdekaan kepada negeri jajahan. Dalam keadaan demikian itulah, Suwardi menulis sebuah risalah yang juga merupakan pencanangan perjuangan berjudul “Andaikata Aku Seorang Belanda” (Abdurrachman Suryomihardjo, 1986 : 57).

Ki Hadjar memberi tamparan yang hebat kepada penjajah namun dengan cara yang tidak kasar, tidak dengan maki-maki, senantiasa tetap sebagai ksatria, memberi kata-kata yang tepat, jitu, indah susunannya, juga memberi pandangan-pandangan yang dapat direnungkan oleh pihak Belanda maupun pihak kita (Dwi Siswoyo, 2008 : 164). Tulisan “Andaikata Aku seorang Belanda” ( Als ik eens Nederlander was ) dimuat dalam surat kabar De Express pimpinan Douwes Dekker. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.

“…Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan

pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri

kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi

juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk

dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah

menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja

penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama

menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan

bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada

kepentingan sedikit pun baginya…”.

(Sumber: Bambang S. Dewantara, 1989 : 59 - 65)

(4)

10

ditahan dan dikenakan hukuman buang. Ketiganya memilih negeri Belanda sebagai tempat pengasingan mereka (Darsiti Soeratman, 1984 : 45 - 46). Ketika di negeri Belanda, perhatian Ki Hadjar Dewantara tertuju pada masalah-masalah pendidikan dan pengajaran di samping bidang sosial politik. Ia aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga pada tahun 1915 beliau memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya tersebut, Ki Hadjar terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Frobel dan Montessori. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri (Haryanto, 2011 : 4).

(5)

11

Taman Siswa lahir pada 3 Juli 1922 dengan nama asli “Nationall Onderwejis Instituut Taman Siswa”. Taman Siswa didirikan atas dasar keprihatinan terhadap situasi dan nasib bangsa Indonesia yang terjajah. Taman Siswa selalu berusaha untuk bersatu dengan rakyat, maka dalam waktu yang singkat Ki Hadjar Dewantara mendapatkan pengikut yang banyak (Darsiti Soeratman, 1983 : 2). Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional; suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangannya (Sartono Kartodirdjo dalam Darsiti Soeratman, 1983 : 2). Taman Siswa tidak hanya menghendaki pembentukan intelek, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam arti pemeliharaan dan latihan susila (Ki Hadjar Dewantara, 1977 : 58).

b. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara dihormati dan dikagumi sebagai bapak pendidikan nasional dan tanggal kelahirannya ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara bercorak nasional pada awalnya muncul dalam rangka mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional yang berdasarkan pada kebudayaan sendiri (Haryanto, 2011 : 14).

(6)

12

dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi (Sugihartono dkk, 2007 : 124).

Lorens dalam kamus filsafat (1996 : 793 - 794) menjelaskan bahwa pemikiran merupakan sebuah aktivitas dalam bentuk kegiatan mental beserta hasilnya, yang berkenaan dengan aspek metafisika, universalia, dan epistemology, yang tergantung pada pandangan seseorang. Pengertian tersebut diperjelas Lorenz dengan menggunakan pendekatan platonic bahwa, pemikiran dapat diartikan sebagai sebuah dialog batin dengan menggunakan ide-ide abstrak yang sama sekali tidak fiktif dan memiliki realitasnya sendiri. Selanjutnya, pola-pola pemikiran atau pendekatan filosofis terhadap permasalahan bidang pendidikan dan pengajaran disebut dengan filsafat pendidikan (Ali Saifullah, 1991 : 118).

(7)

13

pendidikan itu tidak hanya terbatas pada golongan atas saja. Keluasan pikiran Dewantara, toleransinya yang besar memberi contoh-contoh yang bagus didalam lembaga pendidikan Taman Siswa. Kebebasan dijunjung atas dasar umum saling menghormati. Shadeg menarik kesimpulan bahwa Dewantara adalah seorang nasionalistis yang masih menjaga sifat tradisional, natural, kultural maupun aset-aset spiritual bangsanya sendiri. Inilah yang menjadi kekuatan dalam mendasari filsafat pendidikannya seperti diwujudkan dalam Taman Siswa, yang kemudian mempengaruhi dan membentuk sistem pendidikan di seluruh Indonesia.

Ali Saifullah H.A dalam bukunya yang berjudul Antara Filsafat dan Pendidikan, mengemukakan bahwa teori pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara memang menunjukkan adanya sesuatu yang dianggap penting dalam kaitannya dengan pembahasan hubungan antara filsafat dan teori pendidikan, sebagai salah satu contoh yakni definisi pendidikan nasional dari Ki Hadjar Dewantara:

“Pendidikan Nasional ialah pendidikan yang berdasarkan garis-garis

hidup bangsanya (kultural nasional) dan ditujukan untuk keperluan peri

kehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga

bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk

kemuliaan segenap manusia diseluruh dunia.”

(8)

14

didalamnya termasuk cabang metafisika, yang mengakui hakekat kenyataan yang bersifat metafisis transendental (Ali Saifullah, 1991 : 126). Buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan yang didalamnya banyak terdapat perbedaan-perbedaan dan dalam pelaksanaan pendidikan tersebut tidak boleh membeda-bedakan agama, ras, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi (Sugihartono dkk, 2007 : 125).

c. Pendidikan Karakter

Istilah “karakter” dalam bahasa Yunani dan Latin “character” berasal dari kata “charassein” yang artinya mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan (Kristi Wardani, 2010 : 232). “Karakter” merupakan sebuah kata yang artinya watak, ciri khas seseorang sehingga ia berbeda dari orang lain ( Sastrapradja, 1978 : 247). Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat (Suyanto dalam Kristi Wardani, 2010 : 232)

(9)

15

dan hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan (Haryanto, 2011 : 4).

Menurut Zainal Aqib dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa, pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan tiga matra penting di setiap tindakan edukatif maupun campur tangan intensional bagi kemajuan pendidikan. Matra ini adalah individu, sosial dan moral.

Jika kita tilik dari pengalaman sejarah bangsa, pendidikan karakter sesungguhnya bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia. Beberapa pendidik Indonesia yang kita kenal seperti Kartini, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Natsir, dan lain-lain, telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami (Zainal Aqib, 2011 : 40).

(10)

16 d. Revitalisasi

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata revitalisasi sebagai proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Revitalisasi juga adalah usaha menumbuhkembangkan hal yang bernilai guna kelangsungan hidup (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989 : 1004). Jadi, revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya).

(11)

17 B. Penelitian Yang Relevan

Berikut ini dikemukakan penelitian yang relevan dengan penelitian ini:

Ki Hadjar Dewantara dalam buku yang berjudul Pengaruh Keluarga Terhadap Moral, menyatakan bahwa menurut keadaan organisasi sekolah (sifat dan bentuk perguruan) pada jaman sekarang, nyata sekali bahwa kewajiban perguruan itu sebagian besar ialah mendidik kecerdasan pikiran serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan kepandaian. Pendidikan budipekerti hanya sambil lalu saja dilakukan. Sehingga tiga alam pendidikan yaitu alam keluarga, alam perguruan dan alam pemuda harus diperhatikan kepentingannya untuk pendidikan.

Zainal Aqib dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa menyatakan bahwa platform pendidkan karakter bangsa Indonesia telah dipelopori oleh tokoh pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara yang tertuang dalam tiga kalimat (walaupun konsep ini belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh bangsa kita), yang berbunyi: Ing ngarsa sung tuladha, Ing Madya Mangun karsa, Tut wuri handayani.

(12)

18

Pembentukan dan penanaman karakter melalui sekolah merupakan usaha mulia yang sangat mendesak untuk dilakukan, bahkan kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggung jawab bukan hanya mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mempunyai karakter dan kepribadian. Dengan demikian, sekolah sebagai lingkungan pembentukan pendidikan karakter mestilah diberdayakan kembali.

Kandideus Cendo (Jurusan Ilmu Pendidikan Program Studi Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta), dalam skripsinya tahun 1988 yang berjudul “Studi Filosofis Terhadap Konsepsi Ki Hadjar Dewantara Tentang Faham Kebangsaan Sebagai Pencerminan Kepribadian Indonesia”, memberikan analisa bahwa bagi Bangsa Indonesia kesadaran akan Pendidikan Nasional menjadi suatu realisasi dengan berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara. Konsepsi pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara merupakan landasan yang fundamental dalam perjuangan kebangsaan. Kesadaran berbangsa hanya dapat dicapai lewat pendidikan.

(13)

19

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta), menyimpulkan bahwa upaya mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter bangsa tidak pernah terlepas dari lingkungan pendidikan baik didalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Dewasa ini, tuntutan dan peran guru semakin kompleks, tidak sekedar sebagai pengajar semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya yang berlaku di Indonesia. Guru diharapkan menjadi model dan teladan bagi anak didiknya dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan olah rasa. Untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter kuat, perlu kiranya diterapkan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dengan sistem among, tut wuri handayani dan tringa.

(14)

20

Mulyono dalam skripsinya yang berjudul “Studi Filosofis Tentang Ide Pendidikan Ki Hadjar Dewantara” (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa tahun 1985), memberikan kesimpulan diantaranya:

1. Ki Hadjar Dewantara merakyatkan pendidikan dan mendidik rakyat. 2. Teori pendidikan Tamansiswa merupakan saringan kebudayaan

nasional.

Referensi

Dokumen terkait

Figure 21.4 (a) A single-point tool showing rake face, flank, and tool point; and (b) a helical milling cutter, representative of tools with.. multiple

Pada hari ini Rabu tanggal dua puluh bulan Mei tahun dua ribu lima belas, kami yang bertanda tangan di bawah POKJA II ULP Kabupaten Dharmasraya T.A 2014 -2015, yang

[r]

Cekam bahan pada chuck bubut atau pada sumbu/ spindle utama mesin bubut dengan cukup kuat untuk persiapan facing ujung dan pembuatan lobang senter.. Bubut facing dan buat

Parfum Laundry Gunungsitoli Selatan Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik.. BERIKUT INI JENIS PRODUK

Melalui empat hal yang telah penulis tentukan dalam seni dampeng ini, maka akan dapat menjelaskan kepada kita tentang struktur melodi dan makna teks dampeng

(1) Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada suatu daerah tertentu sesuai dengan rencana pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f dan huruf g yang

Desain penelitian ini adalah peneliti memberikan post-test terhadap peserta didik untuk medapatkan nilai hasil belajar matematika sehingga diketahui ada tidaknya pengaruh