• Tidak ada hasil yang ditemukan

SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KAJIAN KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM : STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.726k/Pid./2008.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KAJIAN KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM : STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.726k/Pid./2008."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

i

SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KAJIAN

KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM

(Studi Putusan Mahkamah Agung No.726K/Pid./2008)

SKRIPSI

Oleh :

Amiruddin

Nim : C03211005

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PRODI SIYASAH JINAYAH

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

vi ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan yang berjudul Sanksi Tindak Pidana Perzinaan Menurut Kajian KUHP dan Hukum Pidana Islam. Dengan menjawab pertanyaan: Bagaimana sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif Hukum Pidana Islam.

Penelitian dalam penulisan skripsi ini melalui pembacaan dokumen Negara, yaitu penelitian dengan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip hukum berupa putusan Mahkamah Agung yang menjadi pembahasan dalam putusan kasus perzinaan dengan diskriptif dan dianalisis menurut pandangan Hukum Pidana Islam.

Hasil penelitian menyimpulkan pertama bahwa Putusan Mahkamah Agung dengan putusan No.726K/pid./2008. tanggal 17 September 2008, menolak pengajuan kasasi dengan maksud memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bangkalan dan pengadilan Tinggi Negeri Surabaya. Pengadilan Negeri Bangkalan dengan nomer putusan No.115/Pid.B/2007/PN.Bl. tanggal 24 Mei2007, memutuskan EP dan SW bersalah melakukan tindak pidana perzinaaan. Dengan putusan masing-masing 6 (enam) bulan penjara. Karena menurut pertimbangan hakim terdapat hal-hal yang dapat meringankan, yaitu mengakuai perbutannya dan tidak berbelit-belit dalam persidangan mulai awal sampai perkara diputuskan. Hal-hal yang dapat memberatkan adalah retaknya hubungan kekeluargaan, yaitu terjadi perceraian sehingga pelaku zina jika disanksi dengan 6 (enam) bulan penjara. Hukuman ini lebih ringan karena dalam KUHP pasal 248 hukumannya adalah maksimal sembilan (9) bulan. Karena tindak pidana yang dilakukan oleh SW dan EP selain merusak moral juga menjadi sebab retaknya hubungan kekeluargaan, maka hakim seharusnya bisa memberikan hukuman yang lebih berat. kedua Pandangan Hukum Pidana Islam terhadap putusan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung terlalu ringan, karena sanksi perzinaan terhadap kasus di EP seharusnya dijatuhi sanksi 100 kali jlid, dan

SW dirajam, karena tindak pidana perzinaan adalah perbuatan keji dan dosa besar

yang menjadi penyebab rusaknya ahlak dan martabat sebagai.

(6)

J. Sistematika Pembahasan«««««««««««««««.«...17

BAB II SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KUHP DAN

HUKUM PIDANA ISLAM

A. Tindak Pidana Perzinaan Menurut KUHP

1. Pengertian Overspel««««««««««««««««««.« 2. Syarat Pertanggung jawaban Overspel««««««««««««.19 3. Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Pidana Penjara

(7)

x

B. Tindak Pidana Perzinaan Menurut Hukum Pidana Islam«««««

1. Pengertian Jarimah Zina««««««.««««««««««...« 2. Syarat Pertanggung jawaban Jarimah Zina«««««««««««.27 3. Sanksi Jarimah zina«««««««««««««««««.««...29 4. Tata cara Pelaksanaan Sanksi Jarimah Zina«««.«««««««... 35

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.726K/Pid./2008«««..38

A. Sejarah Mahkamah Agung«««««««««««««««««.«« B. Putusan Mahkamah Agung No.726k/pid./2008«««««««««..« C. Kronologi Persidangan Kasus Tindak Pidana Perzinaan«««««..««

BAB IV ANALISIS SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT

KHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM«««««««««««.««54

A. Analisis Sanksi Pemidanaan Tindak Pidana Perzinaan dalam Putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan««

B. Analisis Sanksi Pemidanaan Tindak Pidana Perzinaan Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 Dalam Perspektif hukum Pidana Islam

««««««««««««««««««««««««««««««57

BAB V PENUTUP...«««««««««««««««««««

A. Kesimpulan ««««««««««««««««««««««««« B. Saran-saran««««««««««««««««««««««««

Daftar Pustaka

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hidup bermasyarakat mengharuskan manusia membuat aturan-aturan hidup

yang diberlakukan diantara mereka sebagai suatu alat untuk menjaga

keharmonisan hubungan dan kehidupan bermasyarakat yang aman, damai dan

tentram. Kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan yang

mendesak kebutuhan pemuas diri bahkan untuk menpertahankan status diri.

Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, walaupun tidak

seluruhnya dan harus dipenuhi dengan segera, biasanya sering dilakukan dengan

pertimbangan yang tidak matang dan merugikan. Pertimbangan yang tidak matang

itulah maka ada manusia yang melakukan pemenuhan kebutuhan dengan

merugikan lingkungan dan orang lain seperti halnya dalam memenuhi kebutuhan

seksual merupakan kebutuhan dasar pada diri manusia, menurut Sigmund Freud

kebutuhan seksual manusia dalam ilmu biologi terungkap lewat asumsi mengenai

instink seksual, instink ini disamakan dengan insting mencari makan dan minum

yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan merupakan bagian dari

kehidupan manusia itu sendiri1. Karena kebutuhan seksual itu tidak bisa

dipisahkan maka ada dari manusia itu untuk memenuhi kebutuhan seksulanya

merugikan orang lain dan linkungannya sepeti dalam kasus perzinaan dalam

penulisan skripsi ini.

1

(9)

2

Penulisan skripsi ini termasuk dalam permasalahan kasus perzinaan yang

merupakan putusan Pengadilan Negeri Bangkalan sampai tingkat kasasi yang

akan dikaji dalam hukum pidana Islam, kronologi tentang duduk perkaranya

berawal pada hari Jumat tanggal 2 Februari 2007 dirumah kontrakan Sri Fatima

Utami di Jalan Letnan Ramli Kelurahan Kraton, Kecamatan/Kabupaten

Bangkalan skitar pukul 20:30 wib. Sri Wahyuniningsih mengajak Edi Purnomo

menonton perayaan pawai lampion. Kemudian pada waktu setelah mahgrib sekitar

jam 19:00 Edi Purnomo SMS Sriwahyuniningsih “apakah jadi yang akan

menonton perayaan pawai lampion?”. Kemudian Sri Wahyuniningsih menjawab

agar berangkat terlebih dahulu karena akan berangkat dengan anak-anaknya

dengan menaik motor. Setelah itu Edi Purnomo berangkat menuju ke-rumah Sri

Fatima Utami bibik Sri Wahyuniningsih dengan teman-temanya Lia, Eva dan

Hendrik, setelah samapai dirumah Sri Fatimah Utami, Edi Purnomo dan

teman-temanya, Sri Fatimah Utami menelpon Sri Wahyuniningsih mengabarkan Edi

Purnomo dan teman-temannya ada dirumahnya, lalu Sri Fatima Utami menitipkan

rumahnya kepada Edi Purnomo dan teman-temannya karena akan berangkat

terlebih dahulu menonton perayaan pawai lampion. Lalu Sri Wahyuniningsih

berangkat menuju ke-rumah Sri Fatimah Utami, sesampai dirumah Sri Fatima

Utami, Sri Wahyuniningsih mengobrol bersama Edi Purnomo dan

teman-temannya, tidak lama kemudian mereka keluar kecuali Edi Purnomo dan Sri

Wahyuniningsih2

2

(10)

3

Karena hanya mereka berdua di dalam rumah kontrakan Sri Fatima Utami Edi

Purnomo mulai melakukan perbuatan mesum dengan mencium leher dan pipi Sri

wahyuniningsih lalu Edi purnomo membuka ikat pinggang celana, kancing, dan

resliting Sri Wahyuniningsih dan celana Sri Wahyuniningsih membuka sendiri

sampai pada lutut berikut celana dalamnya juga sampai pada lutut. Kemudian Edi

Purnomo membuka celana luar dan dalamnya sampai pada lutut, setelah terbuka

Edi Purnomo menindih Sri Wahyuniningsih terjadilah persetubuhan. Disaat

pertenganhan persetubuhan mereka datanglah seorang tetangga Sri Fatima Utami

bernama Suaji yang sejak awal mengetahui mereka berdua masuk kerumah Sri

Fatima Utami karena mereka mencurigakan Suaji masuk merggokin mereka yang

sedang besetubuh dengan mengatakan “kalian kira disini Hotel” lalu Suaji

mengambil celana dalam Sri Wahyuniningsih dibawa lari, dengan kejadian

tersebut Edi Purnomo mengejar Suaji karena jaraknya jauh Edi Purnomo kemabli

kerumah kontrakan Sri Fatima Utami 3

Dengan kejadian yang diliahat, Suaji melaporkan Ke-Rt dengan

memabawa bukti celana dalam Sri Wahyuniningsih, Rt lansung memanggil

warganya utuk mergokin apa yang dikatakan Suaji, bahwa ada laki-laki dan

perempuan tidak dikenal melakukan persetubuhan dirumah kontrakan

tetangganya yaitu Sri Fatima Utami, Rt dan warga setempat berangkat kerumah

Sri Fatima Utami setelah sampai dirumah kontrakan Sri Fatima Utami, Rt Dan

warga menanyakan tentang persetubuhan tersebut, dengan nada ketakutan mereka

3

(11)

4

mengakui perbuatannya lalu Rt bersama warga setempat membawa Edi Purnomo

dan Sri Wahyuniningsih Ke-Polres Bangkalan.4

Dengan kejadian yang dilaporkan oleh Rt bersama warga setempat pihak

kepolisian menahan mereka berdua untuk diperiksa, dan segera menagbil tindakan

peninjauan TKP (tempat kejadian perkara), saat ke-TKP Polisi menemukan

bebrapa barang bukti yang berupa celana jeans warna biru merek bunga, celana

dalam mutif kembang-kembang, sprei warna kuning milik Sri Wahyuniningsih.

Celana jeans warna biru motif garis-garis merek maxmilian, celana dalam warna

biru merek YSL milik Edi Purnomo. Kemuadia pihak kepolisian memanggil para

saksi guna untuk memberikan keterangan atas kejadian kasus tersebut antara lain:

1. Mat Ruji merupakan suami Sri Wahyuniningsih memberikan keterangan

bahwa Sri wayuniningsih adalah istrinya yang masih sah dengan bukti

menunjukan Surat nikah No : L 246/05/X/1994. atas nama Mat Ruji dan

Sri Wahyuniningsih. Dan Mat Ruji tidak terima atas perselingkuhan yang

dilakukan istrinya menuntut agar istrinya dihukum sesuai dengan hukum

yang belaku.

2. Suaji adalah tetangga Sri Fatima Utami memberikan ketrangan melihat

langsung pada persetubuhan yang dilakukan oleh Edi Purnomo dan Sri

Wahyuniningsih pada hari Jumat tanggal 2 Februari 2007 dirumah

kontrakan Sri Fatima Utami di Jalan Letnan Ramli Klurahan Kraton,

Kecamatan/Kabupaten Bangkalan skitar pukul 20:00 wib.

4

(12)

5

3. Sri Fatima Utami adalah bibik Sri Wahyuniningsih pemilik rumah yang

dikontrak memberikan keterangan membenarkan perbuatan Edi Purnomo

dan Sri Wahyuniningsih yang diberitahukan tetangganya bahwa Edi

Purnomo dan Sri Wahyuniningsih telah melakukan perzinaan karena Sri

Wahyuniningsih masih istri dari Mat Ruji 5

Setelah alat bukti terkumpul dan para saksi memberikan keterangan

dengan jelas pihak kepolisian mengklafikasikan bahwa perkara tersebut adalah

tindak piana perzinaan yang terdapat dalam KUHP pasal 284 pasal (1). Setelah

selesai BAP (berita acara pemeriksaan) selesai pihak kepolisian menyerahkan

BAP kepada Jaksa. Jaksa sebagai penuntud umum membuat surat dakwaan bahwa

Edi purnomo sebagai terdakwa I dan Sri Wahyuniningsih sebagai terdakwa II

dituntut dengan tujuh (7) bulan penjara, perbuatan mereka sebagaimana diatur

dan diancam pidana penjara dalam pasal 284 ayat (1) KUHP yang menyatakan

dihukum penjara selama-lamanya Sembilan bulan6:

1. a. laki-laki yang beristri, berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa pasal 27

kitab Undang-undang Hukum Perdata (sipil) berlaku padanya:

b. Perempuan yang bersuami, berbuat zina:7

Penagdialn Negeri Bangkalan dalam putusannya Sri Wahyuniningsih dan Edi

Purnomo bersalah melakukan tindak pidana perzinaan dengan hukuman enam (6)

5

BPA (berita acara pemeriksaan) Polres Bangkalan 19 April 2007.

6 Direktori, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia”, No. 726K/Pid/2008, dalam Direktori Putusan - Pengadilan Mahkamah Agung , diakses 25 september 2014 , 3. 7

R. Sosilo Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap

(13)

6

bulan penjara karena Sri Wahyuniningsih tidak merasa puas dengan putusan

pengadilan Negeri Bangkalan, Sri Wahyuniningsih mengajukan permohonan

banding ke- Pengadilan Tinggi Surabaya. Pengadilan Tinggi memutuskan

menerima permohonan banding dari Sri Wahyuniningsih dan menguatkan Putusan

Pengadilan Negeri Bangkalan. Putusan Pengadilan Tinggi tidak merubah putusan

Pengadilan Negeri Bangakalan sehingga Sri Wahyuniningsih masih tidak merasa

puas maka menagjukan permohonan kasasi ke-Mahkamah Agung pada tanggal 30

januari 2007 dengan alasan sebagai berikut:

1. Dalam persidangan saya sebagai terdakwa tidak memberikan keterangan

yang berbelit-belit dan mengakui kesalahannya dan perbuatan zina dengan

terdakwa Edy Purnomo tersebut hanya 2 (dua) kali saja.

2. Dalam perkara ini saya sebagai terdakwa Sri Wahyuningsih dan terdakwa

Edy Purnomo, dan didalam persidangan saksi korban yaitu Mat Ruji (

suami Sri Wahyuningsih) tidak datang dan hanya memberikan selembar

surat pernyataan bahwa saksi korban Mat Ruji tidak akan menuntut saya

(Sri Wahyuningsih) sebagai mantan istrinya.

3. Bahwa selain dengan terdakwa Edy Purnomo saya sebagai terdakwa Sri

Wahyuningsih tidak pernah melakukan perbuatan zina dan perbuatan

tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan

4. Bahwa dalam persidangan saya sebagai terdakwa selalu hadir dan tidak

mempersulit persidangan.

5. Bahwa sejak kejadian tersebut, terdakwa Sri Wahyuningsih diceraikan

(14)

7

Wahyuningsih sampai saat ini menjadi satu-satunya tulang punggung

keluarga yang menghidupi 2 (dua) anak yang masih dibawah umur dan

masih sekolah dasar ( SD)8

Dengan alasan yang diajukan oleh Sri Wahyuniningsih Mahkamah Agung

berpendapat bahwa alasan 1-5 tidak dapat dibenarkan, oleh karena itu Pengadilan

Tinggi tidak salah menerapakan hukum dan mengenai berat ringannya penerapan

hukuman adalah wewenang Pengadilan Tinggi yang tidak tunduk pada kasasi

kecuali pengadilan tinnggi menerapkan hukum yang tidak diatur dalam

perundang-undagan yang belaku atau menerapkan hukum tanpa

mempertimbangkan dengan cukup sehingga salah dalam mengambil keputusan.9

Dalam kasus putusan perzinaan oleh Mahkamah Agung di atas yang

menolak atas penagajuan Kasasi dengan maksud memperkuat putusan Pengadilan

Negeri dan Pengadilan Tinggi. Dalam putusan Pengadilan Negeri Bangkalan

terdakwa I Sri Wahyunininsih dan terdakwa II Edi Purnomo masing-masing

dihukum 6 (enam) bulan penjara, berdasarkan KUHP.

Kasus perzinaan di atas jika dikaji dengan pandangan hukum Islam

perbuatan zina merupakan perbuatan yang keji sehingga harus dihukum dengan

berat, karena merusak moral dan sistem kemasyarakatan, dan mengancam

keselamatannya. Zina merupakan pelanggaran atas sistem kekeluargaan,

sedangkan keluarga merupakan dasar untuk berdirinya masyarakat10. Tindak

8 Direktori, Putusan Mahkamah…, 7 9 Direktori, Putusan Mahkamah…, 6 10

(15)

8

pidana perzinaan kasus di atas adalah perbuatan keji dan merupakan dosa besar

yang diancam dengan hukuman cambuk dan rajam. Bagi pelaku zina muhshan

(Sudah menikah), maka ia dibebani hukum rajam, yakni dilempari batu sampai

mati. Hukuman kedua berlaku bagi pelaku zina ghairu muhsan (Belum menikah)

yakni dihukum dengan hukuman cambuk atau dera sebanyak 100 kali. Hal ini

sesuai dengan dalam (QS. al-Nur/24: 2)

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya 100 (seratus) kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman11.

Sedangkan dalam hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:

(

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwa Beliau memerintahkan bagi siapa yang berzina dan belum pernah menikah agar dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. (HR. Bukhari ).12

11

Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, (Surabaya: Karya Utama, 2000), 543. 12

(16)

9

Dari uraian di atas diketahui bahwa kasus perzinaan yang diputus

oleh hakim, dijatuhi hukuman 6 (enam) bulan penjara berdasarkan hukum

positif. Dalam hukum Islam sanksi atas kasus perzinaan di atas dicambuk

seratus kali dan dirajam. Dengan perbedaan sanksi yang diterapkan maka

dapat di identifikasi masalahnya dan implikasi sanksi yang berbeda

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan masalah

bahwa penemuan tertentu adalah sabagai berikut

1. Putusan Mahkamah Agung No 726K /Pid/2008. terhadap kasus

perzinaan

2. Konsep tindak pidana perzinaan menurut hukum positif

3. Konsep perzinaan menurut hukum pidana Islam

4. Sanksi perzinaan menurut KUHP pasal 284 ayat (1) dan hukum

pidana Islam

5. Sanksi perzinaan menurut hukum pidana Islam

6. Faktor penyebab tindak pidana perzinaan

C. Batasan Masalah

1. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari

(17)

10

2. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi

Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif hukum pidana

Islam

D. Rumusan Masalah:

1. Bagaimana sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan

Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan putusan Pengadilan

Negeri Bangkalan?

2. Bagaimana sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan

Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif

hukum pidana Islam?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada dasarnya adalah deskripsi penelitian terdahulu yang

terkait, agar dalam penelitian yang dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikat. Skripsi yang membahas tentang tindak pidana

zina sebelumnya sudah ada yang menuliskannya, namun obyek kajiannya

berbeda antara lain:

1. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan

No.35/PID.SUS.2012/PN.Jmb. tentang Tindak Pidana Membujuk

Melakukan Persetubuhan Disertai Penaganiayaan Anak di Bawah Umur.

(18)

11

meyakinkan seorang untuk melakukan tindak pidana hubungan suami istri

yang disertai dengan penyiksaan atau penindaskan. Putusan

No.35/PID.SUS.2012/PN.Jmb. tentang tindak pidana membujuk

melakukan persetubuhan disertai penaganiayaan anak dibawah umur

kesimpulanya tindak pidana yang dilakukan termasuk dalam pidana islam

dalam katagori sebagai jarimah zina ghairu muhsan dan jarima

penaganiayaan sanksinya didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun

karena terdakwa belum terikat pernikahan13.

2. Studi Komprasi Anatara KUHP Pasal 294 ayat (1) dan Hukum Pidana

Islam tentang Sanksi Hukum bagi Seorang ayah/ibu yang Melakukan

Tindak pidana Incest dengan Anak Kandung. Perkawinan incest dalam

hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan yang

dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai

hbungan darah dekat, hal ini tidak boleh dilakukan sebagai mana dalam

berupa penjara maksiamal 7 tahun. 14

13

AnziAfrianti.W.A, “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Putusan NO.35/PID.SUS/2012/PN.Jmb. tentang Tindak Membujuk Melakukan Persetubuhan Disertai Penganiayaan Anak di Bawah Umur”, ( Skripsi-- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 85. 14

(19)

12

Hal -hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya

ialah penelitian ini membahas fokus pada sanksi zina dalam kajian hukum pidana

Islam dan hukum pidana positif (Studi Putusan Mahkamah Agung

No.726/Pid/2008).

F. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam

putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri

Bangkalan

2. Untuk mengetahui sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam

putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif

hukum pidana Islam

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diaharapkan dan dapat memberikan sumbangsih

pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum, dan minimal dapat

digunakan untuk dua aspek sebagai berikut :

1. Dari segi teoritis, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan

kepentingan ilmiah dalam studi hukum khususnya dalam tindak

pidana perzinaan hukum pidana Islam

2. Dari segi praktis, dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan

bahan penyuluhan hukum secara intensif dan informasi kepada

(20)

13

H. Definisi Oprasioanal

Untuk mempermudah pemahaman dan salah pengertian terhadap istilah

dalam skripsi ini, maka penulis akan memaparkan beberapa istilah yang

terdapat dalam penulisan skripsi ini

1. Hukum Pidana Islam: perbuatan yang dilarang dilakukan dan sudah

ada ketentuannya dalam syara’ yang disertai sanksi yang bersumber

dari al-Quran dan Hadis dan pendapat ulama15

2. Persetubuhan (zina) menurut KUHP seorang laki-laki atau seorang

perempuan yang telah kawin melakukan persetubuhan dengan

seseorang yang bukan suami atu istrinya.16

3. Zina menurut hukum pidana Islam adalah masuknya alat kelamin

laki-laki ke dalam kelamin perempuan tanpa adanya suatu ikatan

hukum yang berlaku disuatau Negara19 dan tentang sanksi zina

15

Ahmad Wardi Muslich, Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam (jakarta: sinar Grafika, 2004), 9.

16

R. Sosilo, kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap

pasal demipsal, (Bogor: polita, 2001), 209.

17

Ahmad Wardi Muslich, pengatar dan asas,…, IX.

18

(21)

14

I. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk memperoleh data-data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu sebagai alat untuk menggali suatu

informasi yang terkait dengan judul penelitian secara teoristis dan praktis.20

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dokumentasi, yaitu

penelitian data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip

hukum, yang berupa putusan Mahkamah Agung yang menjadi

pembahasan dalam putusan kasus perzinaan. Untuk mendukung data

yang dijadikan pembahasan dalam skripsi ini adalah keputusan yang

terkait dengan pembahasan skripsi ini dengan penulusuran dan

menelaah data yang ada hubungannya dengan tindak pidana perzinaan.

2. Sumber Data

Sumber data merupakan subyek dari mana data yang dapat diperoleh,

sebagai brikut

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari

sumber asli (melalui dokumen Negara secara resmi), antara lain:

1. Keputusan PengadilanNegeri Bangkalan tentang perzinaan

2. Putusan Mahkamah Agung NO.726K /Pid./2008.

19

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka cipta2009), 2. 20

(22)

15

3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Sumber Data Skunder

Sumber data skunder adalah sumber data yang diperoleh secara

tidak langsung yang terdiri dari beberapa refrensi yang terkait

dengan pembahasan skripsi ini antara lain:

1. Ahmad Wardi Muslich, Pengatar dan Asas Hukum Pidana

Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2001).

2. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidan, (KUHP).

serta komentar-komentarnya Lengkap pasal demi pasal

(Bogor: polita, 2001).

3. Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam,

(Bandung: Pustaka Setia, 2013).

4. Moejatno, Asas-asas Hukum Pidana, (jakarta: Renika cipta,

2009).

5. Departemen kehakiman, Pedoman Pelaksnaan KUHP,

(Bandung: Refika Aditama, 2001).

6. Moh. Daud Ali., Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan

Tata Hukum Islam di Indonesi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).

7. Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,

(Jakarta: PT. Karisma Ilmu, 2008).

(23)

16

Mengingat penelitian ini bersifat kepustakaan atau leteratur, maka

data yang dikumpulkan data kepustakaan:

a. Studi putusan/studi dokumen

b. Ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana zina dalam KUHP

c. Ketentuan hukum pidana Islam tentang sanksi bagi pelaku zina

d. Data persamaan dan perbedaan sanksi tindak pidana perzinaan

menurut hukum positif dan hukum pidana Islam

e. Teknik Pengelolaan Data

Data yang sudah didapat dari dokumen dianalisa. Dan

tahapan-tahapnnya sebagi berikut :

a. Editing yaitu pemeriksaan kembali terhadap data yang telah

ditelaah dari Leteratur primer maupun skunder tentang

perzinaan putusan Mahkamah Agung No.726K /Pid./2008 21

b. Organzing : yaitu menyusun data secara sistematis data yang

yang terkait dengan putusan dan dukumen yang relevan

f. Tehnik Analisa Data

Dalam menganalisis data penelitian ini, penulis menganalisis

dokument (content analisys), yaitu memaparkan dan

menggambarkan tentang isi putusan dalam kasus perzinaan yang

diputus oleh Penagadilan Negeri Bangkalan yang diperkuat oleh

21

(24)

17

Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, kemudian kasus

tersebut dianalisis dalam hukum pidana Islam22

J. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan sikripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Pada

masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga

mempermudah pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas

mengenai uraian yang di kemukakan dalam tiap bab

Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang

masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan

penelitian, definisi oprasional, metode penelitian dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua berisi landasan teoritis yang membahas tentang

gambaran umum tindak pidana perzinaan dalam perspektif hukum

pidana islam

Bab ketiga berisi data yang memuat deskripsi kasus perzinaan

dari putusan Pengadilan Negeri Bangkalan dan putusan Pengadilan

Tinggi yang menjadi pertimbangan putusan Mahkamah Agung tingkat

ksasi

Bab keempat merupakan analisis kasus terkait dasar

pertimbangan putusan Mahkamah Agung Tingkat kasasi dalam

perspektif hukum pidana Islam

22

(25)

18

Bab kelima berisi penutup yang didalamnya berisi tentang

(26)

19

BAB II

TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Tindak Pidana Perzinaan Menurut KUHP

1. Pengertian Overspel

Dari berbagai terjemahan KUHP di berbagai buku refrensi, para pakar hukum

Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti dari overspel.

Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa

Belanda. Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain

menggunakan kata istilah mukah atau gendak. Hal ini tampak dalam terjemahan

KUHP hasil karya Moelyatno, Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto

atau terjemahan KUHP dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)

Departemen Kehakiman. Menurut Van Dale’s Groat Woorden Boek Nederlanche

Taag kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang

berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan.23 Menurut Noyon

Langemayer yang menegaskan bahwa overspel: kanaller door een gehuwde

gepleegd woorden deangehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet

medepleger, yang artinya perzinaan hanya dapat dilakukan oleh orang yang

menikah, sedangkan orang yang tidak terikat pernikaan dalam perbuatan itu

adalah turut serta (medepleger)24. Oleh karena itu, melihat ketentuan pasal 284

sedemikian rupa, maka overspel yang dapat dikenai sanksi pidana menurut KUHP

adalah:

23

Topo Santosa, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ind-Hill, 1997), 92. 24

(27)

20

a. persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila

pasangan ini belum menikah kedua-duanya, maka persetubuhan mereka tidak

dapat dikualifikasikan sebagai overspel, hal ini berbeda dengan pengertian berzina

yang menganggap persetubuhan antara pasangan yang belum menikah juga

termasuk di dalamnya.

b. pasangan yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai

peserta pelaku (medepleger). Dengan demikian apabila pasangan yang disetubuhi

telah menikah juga, pasangannya tersebut dianggap bukan sebagai peserta

melainkan sebagai pelaku.

c. persetubuhan tidak diizinkan oleh suami atau pun isteri yang bersangkutan.

Dengan demikian maka tidak dapat dikatakan overspel, jika persetubuhan itu

direstui oleh suami atau istri yang bersangkutan, maka itu bukan termasuk

overspel.25

2. Syarat Pertanggung jawaban Overspel

Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun

perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak

dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk

itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan

25

(28)

21

perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah ( Subjective guilt). Di sini

berlaku apa yang di sebut di atas “tiada pidana tanpa kesalahan”(keine strafe ohne

schhuld atau geen straf zonder schuld ) atau nulla poena sine culpa ( “Culpa” di

sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Dari apa yang telah disebutkan di atas,

maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah :

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit

atau Zurechnungsfahigkeit) : artinya keadaan jiwa si pembuat harus

normal

b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) : ini disebut bentuk-bentuk

kesalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan

pemaaf.

Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan

bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa dipidana.

Sekalipun kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan

pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana

memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli.

Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebakan

perbedaan dalam penerapanya26.

26

(29)

22

3. Prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara

atau kurungan antara lain :

1. Menerima salinan putusan pengadilan dan panitera Pengadilan Negeri

yang bersangkutan dalam waktu 1 minggu untuk perkara biasa dan 14

hari untuk perkara dengan acara singkat

2. Kepala kejaksaan menggunakan surat perintah pelaksanaan putusan

pengadilan

3. Menyerahkan terpidana kepada Lembaga Pemasyarakatan.

4. Membuat laporan pelaksanaan

Berdasarkan prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap

pidana penjara atau kurungan pada poin 2 disebutkan bahwa kepala

kejaksaan Negeri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan

Pengadilan, dengan dikeluarkannya perintah tersebut maka jaksa segera

menjalankan tugasnya untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan

Pengadilan. Kemudian apabila seorang terpidana dipidana penjara atau

kurungan lebih dari satu putusan, maka pidana itu dijalankan berturut-turut

dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu (Pasal 273

KUHAP)27.

27

(30)

23

4. pelaksanaan pidana penjara:28

a) Tahap pertama

Lembaga Pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap narapidana atau

sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat

yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3

(sepertiga) masa pidananya. Masa ini juga merupakan masa orientasi

berupa masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan yang

dilakukan paling lama 1 (satu) bulan. Di sini para narapidana mendapatkan

pembinaan kepribadian diantaranya adalah:

a) Pembinaan kesadaran beragama

b) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara

c) Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)

d) Pembinaan kesadaran hukum

Pada tahap ini, pembinaan dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan

dengan pengawasan maksimum

b) Tahap kedua

Apabila narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan,

maka kepada narapidana diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan

pada lembaga pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Narapidana

yang telah menunjukkan kemajuan disini adalah sudah terlihat keinsyafan,

perbaikan diri, disiplin, dan patuh kepada peraturan tata tertib yang belaku di

(31)

24

dalam Lembaga Pemasyarakatan. Tahap ini dilakukan setelah narapidana

menjalani 1/3 sampai ½ masa pidana. Disini narapidana mendapatkan pembinaan

kepribadian lanjutan serta pembinaan kemandirian antara lain :

a) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri

b) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil

c) Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya

masing-masing

d) Keterampilan yang mendukung usaha-usaha industri seperti pertanian

dan perkebunan

c) Tahap ketiga

Selanjutnya dalam tahap ketiga ini adalah tahap asimilasi yang dilakukan

setelah, menjalani ½ dari masa pidana yang sebenarnya, pelaksanaannya terdiri

dari 2 (dua) bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap

awal sampai dengan ½ dari masa pidananya. Pada bagian ini pembinaan masih

dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem pengawasan

menengah (medium security). Sedangkan bagian kedua dimulai sejak berakhirnya

masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam bagian lanjutan

ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi atau biasa disebut dengan

asimilasi korvey, dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti

menjelang bebas dengan pengawasan minimum

(32)

25

Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang

sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pembinaan tahap akhir

yaitu bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas

(CMB) atau pembebasan bersyarat (PB). Pembinaan dilakukan di luar Lapas oleh

Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien

Pemasyarakatan. Setelah tahap-tahap tersebut narapidana siap untuk dikembalikan

ke masyarakat dan diharapkan menjadi manusia yang mandiri, tidak melakukan

tindak pidana lagi, serta dapat berperan aktif dalam masyarakat. Namun setelah

pembebasan bersyarat ini habis, maka terpidana tersebut kembali ke-Lembaga

Pemasyarakatan untuk mengurus atau menyelesaikan surat bebas atau surat

lepasnya.

B. Tindak Pidana Perzinaan Menurut Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Jarimah Zina

Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa

adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa

adanya unsur subhat29. Ibnu Rusyd mendefinisikan zina sebagai setiap

persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena

semu (subhat)30 dan bukan pula karena pemilikan terhadap budak.31 Secara garis

besar pengertian ini telah disepakati oleh para ulama, meski mereka masih

berselisih pendapat tentang manakah yang dikatakan syubhat (semu/mirip) yang

menghindarkan hukuman had dan mana pula yang tidak menghindarkan

29

Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr), 109. 30

Tidak jelas hukumya (menyetubuhi istri yang ditalak dengan sindiran) 31

(33)

26

Hukuman tersebut. Namun Imam Taqiyuddin memberikan definisi zina sebagai

perbuatan persetubuhan dengan memasukan zakar ke dalam vagina dengan cara

apapun yang diharamkan oleh syara’ dan bukan wath’i subhat.32. Sedangkan

Sayyid Sabiq menggambarkan zina sebagai hubungan kelamin sesaat yang tidak

bertanggung jawab33. Definisi zina yang dikemukakan oleh para ahli hukum

Islam tersebut secara esensi tidak ada perbedaan yang signifikan, karena pada

dasarnya perbuatan zina ada dua unsur yang harus terpenuhi yaitu;

a. Adanya persetubuhan antar dua orang yang berlainan jenis.

b. Adapun laki-laki atau perempuan tersebut tidak dalam ikatan yang sah.

Oleh karena itu apabila ada seorang laki-laki dan wanita yang bermesraan dan

atau bertelanjang di atas tempat tidur belum bisa dikategorikan sebagai perbuatan

zina. Di sini dibutuhkan persaksian yang melihat langsung pada saat terjadi

perzinaa sebagai justifikasi apakah sudah terjadi zina atau belum. Perlu diketahui

sebagai catatan bahwa ada perbedaan yang sangat esensial mengenai definisi zina

di dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum Islam. Di dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana Indonesia pasal 284 dinyatakan bahwa zina

adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah

kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dan

supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama

suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.34

32

Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Alamin, 1995), 619. 33

Sayyid Sabiq , Fiqih Sunnah, terjemah: M. Syafi'i, jilid ix, (Kairo: Penerbit: Pena Publishing ), 90.

34

(34)

27

Kenyataan tersebut menunjukkan betapa jauh perbedaan antara hukum

Islam dengan hukum positif. Walaupun sama-sama bertujuan untuk memelihara

kepentingan dan ketenteraman masyarakat, serta menjamin kelangsungan hidup

namun hukum Islam lebih memperhatikan soal akhlak, dimana tiap-tiap perbuatan

yang bertentangan dengan akhlak yang tinggi tentu diancam hukuman. Akan

tetapi tidak demikian halnya dengan hukum positif yang boleh dikatakan telah

mengabaikan soal-soal akhlak sama sekali dan baru mengambil tindakan, apabila

perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perorangan atau ketentuan

masyarakat.35 Sebagai contoh adalah perbuatan zina. Hukum positif tidak

menghukum perbuatan tersebut, kecuali apabila terjadi perkosaan terhadap salah

satu pihak atau tanpa kerelaan salah satunya. Karena dalam keadaan demikian,

perbuatan tersebut merugikan perorangan maupun ketenteraman umum. Akan

tetapi syari’at menghukum perbuatan zina dalam keadaan dan bentuk

bagaimanapun juga, karena zina di pandang bertentangan dengan akhlak dan

apabila akhlak sudah rusak maka rusaklah masyarakat.

2. Syarat Pertangungjawaban Jarimah Perzinaan

Pelaku zina tentunya akan mendapatkan sanksi yang berat berdasarkan

ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw.

hukuman bagi pelaku zina tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat pokok.

Namun dalam penjelasan mengenai persyaratan ini terdapat dua bagian, yakni

35

(35)

28

syarat yang muttafaq dan syarat yang mukhtalaf. Adapun syarat syarat tersebut

yakni sebagai berikut :

a. Baligh, maka tidak ada had bagi anak yang belum baligh.

b. Berakal, tidak berlaku had bagi orang gila. Jika orang berakal berzina

dengan orang gila atau sebaliknya, maka yang mendapat hukuman had

adalah orang yang berakal.

c. Muslim.

d. Tidak dalam paksaan. Para ulama berbeda pendapat apakah orang yang

dipaksa mendapat hukuman had atau tidak. Ulama mengungkapkan bahwa

tidak ada had bagi orang yang dipaksa. Ulama Hanabilah mengungkapkan

tetap berlaku had meskipun dipaksa, jika masih memungkinkan

menghindar, jika tidak mungkin maka tidak berlaku had.

e. Pelaku berbuat zina dengan sesama manusia, jika ia menyetubuhi hewan

maka tidak ada had baginya namun berlaku hukum ta’zir.

f. Pelaku zina (sekufu) maka tidak ada had zina jika menyetubuhi anak anak

menurut satu pendapat. Namun pendapat jumhur mengatakan bahwa tetap

berlaku had dalam hal ini selama masih memungkinkan menegakkannya.

g. Tidak ada unsur syubhat dalam perbuatan tersebut. Misalnya seorang laki

laki menyetubuhi wanita yang disangka adalah istrinya atau budaknya.

Namun ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Abu Yusuf mengatakan bahwa

(36)

29

h. Pelaku tersebut mengetahui bahwa zina diharamkan. Jika ia tidak

mengetahui keharaman itu, maka ulama berbeda pendapat, namun

pendapat yang rajih dalam hal ini adalah gugurnya had.

i. Melakukan perbuatan zina dengan wanita yang masih hidup, jika

menyetubuhi mayat, maka jumhur berpendapat bahwa tidak berlaku had,

namun dalam pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah mengatakan

tetap berlaku had.

j. Jelas bahwa telah terjadi perzinahan. Yakni dengan kadar masuknya penis

ke vagina walaupun separuh hasyafah (penis). Adapun jika terjadi

persetubuhan melalui dubur, maka tidak berlaku had, namun jatuh hukum

ta’zir menurut Hanafiyah, dan tetap berlaku had sebagaimana had zina36

Wahbah Az-Zuhaili menyatakan dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam

Waadillatahu bahwa syarat-syarat agar dapat ditegakkannya had terbagi dua, yang

pertama syarat yang harus ada untuk tegaknya had secara menyeluruh yakni

adanya imamah (pemerintahan islam). Adapun yang kedua yakni syarat yang

khusus harus ada dalam penegakan had rajam, yakni adanya saksi perbuatan

tersebut, dan dalam hal ini imam (pemerintah setempat) yang menegakkan

hukumnya, sama halnya dengan had jilid. Berdasarkan keterangan di atas, dapat

difahami bahwa perbuatan jarimah dikategorikan jarimah zina, apabila telah

memenuhi persyaratan-persyaratan di atas secara menyeluruh, apabila ada salah

satu syarat yang tidak terpenuhi, maka perbuatan jarimah tersebut tidak

(37)

30

dikategorikan zina. Misalnya melakukan persetubuhan melalui dubur, maka

perbuatan perbuatan ini menurut ulama Hanafiyah tidak disebut zina, berbeda

halnya dengan kalangan sahabat, ulama Syafi’iyah, Hanabilah dan Malikiyah

yang tetap mengkategorikan perbuatan tersebut dalam kategori zina.37

3. Sanksi Jarimah Perzinaan

Perbuatan zina adalah perbuatan keji dan merupakan dosa besar yang

diancam dengan hukuman cambuk dan rajam. Bagi pelaku zina muhshan (Sudah

menikah), maka ia dibebani hukum rajam, yakni dilempari batu sampai mati.

Hukuman kedua berlaku bagi pelaku zina ghairu muhsan (Belum menikah) yakni

dihukum dengan hukuman cambuk atau dera sebanyak 100 kali. Hal ini sesuai

dengan dalam (QS. al-Nur/24: 2). Pakar hukum pidana islam membagi hukuman

tindak pidana zina dibagi menjadi dua kategori yaitu:

a. Bagi pelaku zina yng belum berkeluarga (ghayru muhsan)

b. Bagi pelaku zina yang sudah pernah berkeluarga (muhsan)

37

(38)

31

Ancaman hukuman yang diberikan kepada pelaku zina yang belum berkeluarga

adalah seratus kali dera. Tetapi Abdul Qadir Audah menetapkan hukum jarimah

itu tiga macam yaitu :38

a. Hukuman Dera (cambuk)

Hukum dera 100 kali di jatuhkan kepda semua pelaku zina baik laki laki

maupun perempuan baik yang telah kawin maupun yang belum berdasarkan (QS.

al-Nur/24: 2)

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman39.

Sedangkan hukuman rajam dan pengasingan salama satu tahun ditetapkan

berdasarkan sunah Rasulullah saw. Dalam hal hukuman bagi pelaku zina yang

sudah nikah seratus kali jilid terdapat perbedaan pendapat di kalangan imam

mazhab. Menurut golongan Khawarij, bahwa hukuman bagi pelaku zina yang

sudah nikah adalah dera/jilid 100 kali, sedangkan hukuman rajam tidak

38

Eldin H Zainal, Hukum pidana Islam, (Bandung cipta pustaka media perintis, 2011), 111 39

(39)

32

disyari’atkan oleh Allah swt.40 Golongan Ahlul al-Zahir, Ishak dan Ahmad, pada

salah satu riwayat mengatakan bahwa hukumannya adalah jilid dan rajam. Tetapi

fuqaha sepakat bahwa bagi budak yang sudah kawin adalah jilid, seperti bagi

budak yang statusnya gadis dan hukuman rajam tidak dikenakan kepada budak

atau hamba tersebut.41 Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku zina yang

belum kawin hanya di jilid 100 kali dan tidak ada hukuman pengasingan.

Sedangkan golongan Hanafiyah hukuman pengasingan selama satu tahun tidak

mutlak seperti hukuman dera. Pengasingan bisa dijatuhkan manakala dipandang

perlu tetapi jangka waktunya ditetapkan menurut kebijakan hakim sendiri42

b. Hukuman pengasingan (Taghrib)

Bagi pelaku zina yang ghairu muhsan (belum menikah) dikenakan

hukuman pengasingan selama satu tahun selain hukuman jilid sebgaimana

tersebut di atas. Ketentuan ini bersumber kepada hadis nabi yang artinya: lajang

dan gadis jilid seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Dalam konteks ini

ulama berbeda pendapat menurut Imam Abu Hanifah dan murid muridnya hadis

tersebut telah di batalkan (mansukh) atau tidak dikenal (ghairu mahsyur).

Hukuman pengasingan bukan hukuman had, melainkan hukuman ta’zir yang

menjadi otoritas kepala Negara karena hadis yang memerintahkan hukuman

pengasingan sebelum turunya (QS. al-Nur/24: 2). Imam Malik berpendapat bahwa

pengasingan merupakan hukuman yang harus dijatuhkan baik kepada laki laki

40

Muhammad Ali al-Sayis, tafsir Ayatu al-Ahkam jilid III, (Al azhar , Mesir .1373H), 106 41

Ibid, 108 42

(40)

33

maupun perempuan. Sedangkan imam Syafii mengangap hukuman pengasingan

adalah hukuman had terhadap pelaku zina ghairu muhsan (belum nikah).43

c. Hukuman Rajam

Dalam buku fiqih sunnah Para ulama telah sepakat bahwa hukuman yang

diberikan kepada pelaku zina muhsan adalah dirajam sampai mati. Menurut

al-Mundziri, Khalifah Abu Bakar , Ali ra, al-Auzai, Abu Yusuf (murid Abu Hanifah)

berpendapat bahwa pelaku zina yang belum nikah hukumannya didera dan

diasingkan. sedangkan bagi yang telah nikah hukumannya dirajam. Abdul qadir

Audah berpendapat bahwa pelaku zina yang muhsan (sudah menikah) dijatuhi

hukuman rajam, karena perbuatan tersebut merupakan contoh yang sangat buruk

bagi orang lain dan tidak pantas hidup di keluarga muslim, sebab lembaga

perkawinan yang merupakan wadah penyaluran nafsu birahi bagi suami istri dapat

mengantisifasi terjadinya perbuatan zina, akan tetapi kalau juga masih terjadi,

maka harus dijatuhi hukuman berat yaitu rajam. Berdasarkan pendapat para

mazhab di atas, timbul pro dan kontra dalam pelaksanaan hukum rajam tersebut.

Karena dianggap bertentangan dengan nash al-Qur’an hal ini terjadi berbeda

pandang dalam memahami hadis tentang rajam dikaitkan dengan nash (QS.

al-Nur/24: 2).

Namun dari kesepakatan para ulama fiqih, hukuman untuk tindak pidana

zina terbagi dua kategori. Pertama bagi pezina yang belum nikah (ghairu Muhsan)

43

(41)

34

hukumannya adalah 100 kali cambuk, kemudian diasingkan keluar daerah selama

satu tahu berdasarkan hadis Rasulullah saw.

)

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa Beliau memerintahkan bagi siapa yang berzina dan belum pernah menikah agar dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. (HR. Bukhari)44

Sedangkan kedua: bagi pelaku zina yang telah nikah (Muhsan)

hukumannya adalah rajam atau dilempar dengan batu sampai mati yang telah

memenuhi syarat orang yang telah baliq, berakal, merdeka (bukan budak) dan

telah menikah, baik masih terikat perkawinan maupun yang telah bercerai.45 Para

ulama telah bersepakat, bahwa hukuman yang dikenakan atas diri pelaku zina

muhsan adalah dirajam. Pendapat ini didasarkanatas hadis Rasulullah saw.

Sebagai berikut:

44

Lidwa pusaka, shofwer Hadis Kitab 9 Imam dan Terjemahnya versi 1, (Jakarta: Telkom, 2010), 2455

45

(42)

35

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ashbagh Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman dari Jabir bahwa seorang laki-laki dari Bani Aslam mendatangi Nabi saw. yang saat itu sedang berada di dalam Masjid. Laki-laki itu mengatakan bahwa ia telah,berzina namun beliau berpaling darinya. Maka laki-laki itu menghadap ke arah wajah beliau seraya bersaksi atas dirinya dengan empat orang saksi. Akhirnya beliau memanggil laki-laki itu dan bertanya: "Apakah kamu memiliki penyakit gila?" ia menjawab, "Tidak." Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu telah menikah?" ia menjawab, "Ya." Akhirnya beliau memerintahkan untuk merajamnya di lapangan luas. Dan ketika lemparan batu telah mengenainya, ia berlari hingga ditangkap dan dirajam kembali hingga meninggal. (HR. Bukhari)46

Para fuqaha sepakat bahwa pelaksanan hukuman had harus dilakukan oleh

imam atau wakilnya (pejabat yang ditunjuk) hal ini disebabkan karena hukuman

had itu merupakan hak Allah (masyarakat) dan sudah selayaknya dilakukan oleh

imam atau wakil dari masyarakat.

4. Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Jarimah Zina

a. Cara Pelaksanaan Hukuman Rajam

Apabila orang yang akan dirajam itu laki laki, hukuman dilaksanakan

dengan berdiri tampa dimasukkan kedalam lubang dan tampa dipegang atau di

ikat. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw. Ketika merajamMa’iz dan

orang yahudi. Dari Abi Sa’id ia berkata: Ketika Rasulullah saw. Memerintahkan

46

(43)

36

kepada kami untuk merajamMa’iz ibn Malik, maka kami membawanya ke Baqi’.

Demi Allah kami tidak memasukkan kedalam lubang dan tidak pula mengikatnya,

melainkan ia tetap berdiri. Maka kami melemparinya dengan tulang. Apabila

melarikan diri dan pembuktiannya dengan pengakuan, maka ia tidak perlu dikejar

dan hukumannya dihentikan. Dan jika pembuktiannya dengan kesaksian maka ia

harus dikejar, dan hukuman rajam diteruskan sampai mati. Apabila orang yang

akan dirajam itu wanita, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i maka ia

boleh dipendam sampai dada, karena cara yang demikian itu lebih menutupi

auratnya. Sedangkan menurut pendapat Imam Malik dan pendapat rajih dalam

mahzah hambali wanita juga tidak dipendam sama halnya dengan laki-laki. Dalam

hukuman rajam adalam hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau

benda benda lain. Menurut imam Abu Hanifah lemparan pertama dilakukan oleh

parea saksi apabila pembuktiannya dengan persaksian. Kemudian diikuti oleh

imam atau pejabat yang ditunjukdan kemudian diteruskan oleh masyarakat.

Apabila jarimah zina sudah bisa dibuktikan dan tidak ada syubhat maka hakim

harus memutuskannya dengan menjatuhkan hukuman had, yaitu rajam bagi zina

muhsan dan dera (cambuk) seratus kali ditambah pengasingan selama satu tahun

bagi pezina ghairu muhsan. Dalam hukum Islam menurut para fuqaha sepakat

bahwa pelaksanaan hukuman harus dilakukan oleh imam atau wakilnya (pejabat

yang ditunjuk). Dalam zaman Rasulullah saw. selalu memerintahkan kepada para

sahabat untuk melaksanakan hukuman. Pelaksanaan hukuman rajam dengan cara

dipendam kedalam tanah sampai bagian dada kemudian dilempari batu sampai

(44)

37

itu diteruskan oleh imam dan pejabat kemudian masyarakat. Hukuman ini bebas

dilakukan kapanpun baik siang atau malam baik panas atau dingin namun bagi

wanita hamil ditunda hingga melahirkan.47

b. Cara pelaksanaan Hukuman Dera dan Pengasingan

Hukuman dera atau jilid dilaksanakan dengan menggunakan cambuk,

dengan pukulan yang sedang sebanyak 100 kali cambukan, disyaratkan cambuk

yang digunakan harus kering, tidak boleh basah, karena bisa menimbulkan luka,

disyaratkan cambukan itu tidak boleh lebih dari satu, apabila ekor cambuknya

lebih dari satu, maka pukulan cambuknya dihitung sebanyak ekornya. Apabila

yang dihukum laki laki maka bajunya harus dibuka kecuali yang menutupi

auratnya. Hukuman dera tidak boleh menimbulkan bahaya terhadap orang yang

terhukum. Karena hukuman itu bersifat pencegahan. Oleh karena itu hukuman

tidak boleh dilakukan pada saat cuaca panas dan cuaca dingin dan tidak boleh

dilakukan pada orang yang sakit sampai ia sembuh, dan wanita yang hamil sampai

ia melahirkan48

Sedangkan hukuman kedua yaitu pengasingan pelaksanaan hukuman

pengasingan menurut Imam Syafii dan Imam Hambali dikeluarkan dari

keluarganya dengan tujuan bisa merasakan tidak diakui dalam keluarganya sendiri

karena telah melakukan perbuatan yang dilaranag selama satu tahun. Sedangkan

menurut Imam Ahmad dan Imam Malik diasingkan dengan artian dikeluarkan dari

47

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), 57 48

(45)

38

kelaurga muslim ke-non muslim dengan tujaun bisa bertobat, setelah bertobat

dapat kemabli kekluarga muslim dan dapat berkelakuan baik.49

49

(46)

39

BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 726K/Pid/2008

A. 1. Sejarah Mahkamah Agung Republik Indonesia

Masa penjajahan Belanda atas bumi pertiwi Indonesia, selain

mempengaruhi roda pemerintahan juga sangat besar pengaruhnya terhadap

Peradilan di Indonesia. Dari masa dijajah oleh Belanda (Mr. Herman Willem

Daendels-Tahun 1807), kemudian oleh Inggris (Mr. Thomas Stanford

Raffles-Tahun 1811 Letnan Jenderal) dan masa kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda

(1816-1842).50 Pada masa penjajahan Belanda Hoogerechtshoof merupakan

Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan wilayah hukum

meliputi seluruh Indonesia. Hoogerechtshoof beranggotakan seorang Ketua, 2

orang anggota, seorang pokrol Jenderal, 2 orang Advokat Jenderal dan seorang

Panitera dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau lebih. Jika perlu

Gubernur Jenderal dapat menambah susunan Hoogerechtshoof dengan seorang

Wakil dan seorang atau lebih anggota.51

Setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, Presiden

Soekarno melantik/mengangkat Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama. Hari pengangkatan

itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Mahkamah Agung, melalui Surat

Keputusan KMA/043/SK/VIII/1999 tentang Penetapan Hari Jadi Mahkamah

Agung Republik Indonesia. Tanggal 19 Agustus 1945 juga merupakan tanggal

50 Wikipedia bahasa Indonesia, “Mahkamah Agung Republik Indonesia”, dalam , diakses pada 30 Maret 2015.

(47)

40

disahkannya UUD 1945 beserta pembentukan dan pengangkatan Kabinet

Presidentil Pertama di Indonesia. Mahkamah Agung terus mengalami dinamika

sesuai dinamika ketatanegaraan. Antara tahun 1946 sampai dengan 1950

Mahkamah Agung pindah ke Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia.

Pada saat itu terdapat dua Lembaga Peradilan Tertinggi di Indonesia yaitu :52

Hoogerechtshof di Jakarta

Ketua : Dr. Mr. Wirjers

Anggota Indonesia : Mr. Notosubagio, Koesnoen

Anggota belanda : Mr. Peter, Mr. Bruins

Procureur General : Mr. Urip Kartodirdjo

Mahkamah Agung Republik Indonesia di Yogyakarta

Ketua : Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja

Wakil : Mr. R. Satochid Kartanegara

Anggota : Mr. Husen Tirtaamidjaja, Mr. Wirjono Prodjodikoro, Sutan Kali

Malikul Adil

Panitera : Mr. Soebekti

Kepala TU : Ranuatmadja

52

(48)

41

Kemudian terjadi kapitulasi Jepang, yang merupakan Badan Tertinggi

disebut Saikoo Hooin yang kemudian dihapus dengan Osamu Seirei

(Undang-Undang No. 2 Tahun 1944). Pada tanggal 1 Januari 1950 Mahkamah Agung

kembali ke Jakarta dan mengambil alih (mengoper) gedung dan personil serta

pekerjaan Hoogerechtschof. Dengan demikian maka para anggota

Hoogerechtschof dan Procureur General meletakkan jabatan masing-masing dan

pekerjaannya diteruskan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat

(MA-RIS) dengan susunan:53

Ketua : Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja

Wakil : Mr. Satochid Kartanegar

Anggota : Mr. Husen Tirtaamidjaja, Mr. Wirjono Prodjodikoro, Sutan Kali

Malikul Adil

Panitera : Mr. Soebekti

Jaksa Agung : Mr. Tirtawinata

Dapat dikatakan sejak diangkatnya Mr. Dr. Koesoemah Atmadja sebagai

Ketua Mahkamah Agung, secara operasional pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman

di bidang Pengadilan Negara Tertinggi adalah sejak disahkannya Kekuasaan dan

Hukum Acara Mahkamah Agung yang ditetapkan tanggal 9 Mei 1950 dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang. Susunan Kekuasaan dan Jalan

53

(49)

42

Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.54 Dalam kurun waktu tersebut

Mahkamah Agung telah dua kali melantik dan mengambil sumpah Presiden

Soekarno, yaitu tanggal 19 Agustus 1945 sebagai Presiden Pertama Republik

Indonesia dan tanggal 27 Desember 1945 sebagai Presiden Republik Indonesia

Serikat (RIS).55

Waktu terus berjalan dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 sudah harus

diganti, maka pada tanggal 17 Desember 1970 lahirlah Undang-Undang No. 14

Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang Pasal

10 ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara

Tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan Kasasi

(terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan di bawahnya, yaitu

Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding yang meliputi 4

(empat) Lingkungan Peradilan56 : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer, Peradilan TUN (Tata Usaha Negara).

Sejak Tahun 1970 tersebut kedudukan Mahkamah Agung mulai kuat dan

terlebih dengan keluarnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung, maka kedudukan Mahkamah Agung sudah mulai mapan,

dalam menjalankan tugas-tugasnya yang mempunyai 5 fungsi, yaitu57: Peradilan,

Pengawasan, Pengaturan, Memberi Nasehat, Administrasi

(50)

43

Situasi semakin berkembang dan kebutuhan baik teknis maupun non

teknis semakin meningkat, Mahkamah Agung harus bisa mengatur organisasi,

administrasi dan keuangan sendiri tidak bergabung dengan Departemen

Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM). Waktu terus berjalan,

gagasan agar badan Kehakiman sepenuhnya ditempatkan di bawah

pengorganisasian Mahkamah Agung terpisah dari Kementerian Kehakiman58.

Pada Mei 1998 di Indonesia terjadi perubahan politik yang radikal dikenal dengan

lahirnya Era Reformasi. Konsep Peradilan Satu Atap dapat diterima yang ditandai

dengan lahirnya TAP MPR No. X/MPR/1998 yang menentukan Kekuasaan

Kehakiman bebas dan terpisah dari Kekuasaan Eksekutif. Ketetapan ini kemudian

dilanjutkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang tersebut memberi batas waktu

lima tahun untuk pengalihannya sebagaimana tertuang dalam Pasal II ayat (1)

yang berbunyi :“Pengalihan Organisasi, administrasi dan Finansial dilaksanakan

secara bertahap paling lama 5 Tahun sejak Undang-Undang ini berlaku”. Berawal

dari Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 inilah kemudian konsep Satu Atap

dijabarkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.59 Pada tanggal

23 Maret 2004 lahirlah Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2004 tentang

pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dan lingkungan Peradilan Umum

58 Ibit ,. d

59 Wikipedia bahasa Indonesia, “Mahkamah Agung Republik Indonesia”, dalam

Artikel:"Hatta Ali

(51)

44

dan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama ke Mahkamah Agung, yang

ditindaklanjuti dengan :

1. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di

lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dari

Departemen Kehakiman dan HAM ke Mahkamah Agung pada tanggal 31

Maret 2004.

2. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial lingkungan

Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung yang

dilaksanakan tanggal 30 Juni 2004.60

2. Wewenang Mahkamah Agung

1. Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan

pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan

peradilan

2. Mahkamah Agung menguji peraturan secara materiil terhadap peraturan

perundang-undangan dibawah Undang-undang

3. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di

semua lingkungan peradilan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

60

(52)

45

3. Struktur Organisasi Mahkamah Agung

Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan hakim anggota, kepaniteraan

Mahkamah Agung, dan sekretariat Mahkamah Agung. pimpinan dan hakim

anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung. jumlah hakim agung paling

banyak 60 (enam puluh) orang

a. Pimpinan Daftar Ketua Mahkamah Agung Indonesia

Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil

ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri

atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua

Referensi

Dokumen terkait

Wismilik Inti Makmur Tbk Surabaya dapat digunakan karakteristik individu, komunikasi efektif dan iklim organisasi, yang dapat dilaksanakan secara bersama-sama dalam

Sistem pengawasan pasar merupakan sistem yang dibuat oleh bursa efek dengan tujuan agar sistem tersebut dapat memberikan optimalisasi keamanan transaksi dari praktek penipuan,

1.Untuk debit 26,7 m 6 /jam menggunakan motor induksi sebesar 75 kWatt agar sesuai dengan yang diperlukan oleh pompa air boiler.. Untuk debit 24,5 m 6 /jam menggunakan motor

Definisi ini mencakup pelestarian sebagai salah satu fungsi utama perpustakaan digital dalam menyediakan saluran tertentu bagi pengguna untuk menggunakan dan mengakses

Tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kondisi optimum parameter yang diperkirakan mempengaruhi proses adsorpsi ion krom oleh tanah

Selain itu aplikasi informasi tentang makanan aneka pasta juga dapat menarik pengguna informasi, karena terdapat beberapa animasi teks, bunyi, dan warna-warna yang membuat

Hal yang dibahas di dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah praktek penyalahgunaan izin tinggal kunjungan dan izin tinggal terbatas oleh warga negara asing

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang digunakan sebagai upaya penyelenggaraan dan pembangunan kesehatan dituntut untuk terus meningkatkan dan