i
SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KAJIAN
KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM
(Studi Putusan Mahkamah Agung No.726K/Pid./2008)
SKRIPSI
Oleh :
Amiruddin
Nim : C03211005
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PRODI SIYASAH JINAYAH
SURABAYA
vi ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan yang berjudul Sanksi Tindak Pidana Perzinaan Menurut Kajian KUHP dan Hukum Pidana Islam. Dengan menjawab pertanyaan: Bagaimana sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif Hukum Pidana Islam.
Penelitian dalam penulisan skripsi ini melalui pembacaan dokumen Negara, yaitu penelitian dengan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip hukum berupa putusan Mahkamah Agung yang menjadi pembahasan dalam putusan kasus perzinaan dengan diskriptif dan dianalisis menurut pandangan Hukum Pidana Islam.
Hasil penelitian menyimpulkan pertama bahwa Putusan Mahkamah Agung dengan putusan No.726K/pid./2008. tanggal 17 September 2008, menolak pengajuan kasasi dengan maksud memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bangkalan dan pengadilan Tinggi Negeri Surabaya. Pengadilan Negeri Bangkalan dengan nomer putusan No.115/Pid.B/2007/PN.Bl. tanggal 24 Mei2007, memutuskan EP dan SW bersalah melakukan tindak pidana perzinaaan. Dengan putusan masing-masing 6 (enam) bulan penjara. Karena menurut pertimbangan hakim terdapat hal-hal yang dapat meringankan, yaitu mengakuai perbutannya dan tidak berbelit-belit dalam persidangan mulai awal sampai perkara diputuskan. Hal-hal yang dapat memberatkan adalah retaknya hubungan kekeluargaan, yaitu terjadi perceraian sehingga pelaku zina jika disanksi dengan 6 (enam) bulan penjara. Hukuman ini lebih ringan karena dalam KUHP pasal 248 hukumannya adalah maksimal sembilan (9) bulan. Karena tindak pidana yang dilakukan oleh SW dan EP selain merusak moral juga menjadi sebab retaknya hubungan kekeluargaan, maka hakim seharusnya bisa memberikan hukuman yang lebih berat. kedua Pandangan Hukum Pidana Islam terhadap putusan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung terlalu ringan, karena sanksi perzinaan terhadap kasus di EP seharusnya dijatuhi sanksi 100 kali jlid, dan
SW dirajam, karena tindak pidana perzinaan adalah perbuatan keji dan dosa besar
yang menjadi penyebab rusaknya ahlak dan martabat sebagai.
J. Sistematika Pembahasan«««««««««««««««.«...17
BAB II SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KUHP DAN
HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tindak Pidana Perzinaan Menurut KUHP
1. Pengertian Overspel««««««««««««««««««.« 2. Syarat Pertanggung jawaban Overspel««««««««««««.19 3. Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Pidana Penjara
x
B. Tindak Pidana Perzinaan Menurut Hukum Pidana Islam«««««
1. Pengertian Jarimah Zina««««««.««««««««««...« 2. Syarat Pertanggung jawaban Jarimah Zina«««««««««««.27 3. Sanksi Jarimah zina«««««««««««««««««.««...29 4. Tata cara Pelaksanaan Sanksi Jarimah Zina«««.«««««««... 35
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.726K/Pid./2008«««..38
A. Sejarah Mahkamah Agung«««««««««««««««««.«« B. Putusan Mahkamah Agung No.726k/pid./2008«««««««««..« C. Kronologi Persidangan Kasus Tindak Pidana Perzinaan«««««..««
BAB IV ANALISIS SANKSI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT
KHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM«««««««««««.««54
A. Analisis Sanksi Pemidanaan Tindak Pidana Perzinaan dalam Putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan««
B. Analisis Sanksi Pemidanaan Tindak Pidana Perzinaan Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 Dalam Perspektif hukum Pidana Islam
««««««««««««««««««««««««««««««57
BAB V PENUTUP...«««««««««««««««««««
A. Kesimpulan ««««««««««««««««««««««««« B. Saran-saran««««««««««««««««««««««««
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup bermasyarakat mengharuskan manusia membuat aturan-aturan hidup
yang diberlakukan diantara mereka sebagai suatu alat untuk menjaga
keharmonisan hubungan dan kehidupan bermasyarakat yang aman, damai dan
tentram. Kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan yang
mendesak kebutuhan pemuas diri bahkan untuk menpertahankan status diri.
Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, walaupun tidak
seluruhnya dan harus dipenuhi dengan segera, biasanya sering dilakukan dengan
pertimbangan yang tidak matang dan merugikan. Pertimbangan yang tidak matang
itulah maka ada manusia yang melakukan pemenuhan kebutuhan dengan
merugikan lingkungan dan orang lain seperti halnya dalam memenuhi kebutuhan
seksual merupakan kebutuhan dasar pada diri manusia, menurut Sigmund Freud
kebutuhan seksual manusia dalam ilmu biologi terungkap lewat asumsi mengenai
instink seksual, instink ini disamakan dengan insting mencari makan dan minum
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan merupakan bagian dari
kehidupan manusia itu sendiri1. Karena kebutuhan seksual itu tidak bisa
dipisahkan maka ada dari manusia itu untuk memenuhi kebutuhan seksulanya
merugikan orang lain dan linkungannya sepeti dalam kasus perzinaan dalam
penulisan skripsi ini.
1
2
Penulisan skripsi ini termasuk dalam permasalahan kasus perzinaan yang
merupakan putusan Pengadilan Negeri Bangkalan sampai tingkat kasasi yang
akan dikaji dalam hukum pidana Islam, kronologi tentang duduk perkaranya
berawal pada hari Jumat tanggal 2 Februari 2007 dirumah kontrakan Sri Fatima
Utami di Jalan Letnan Ramli Kelurahan Kraton, Kecamatan/Kabupaten
Bangkalan skitar pukul 20:30 wib. Sri Wahyuniningsih mengajak Edi Purnomo
menonton perayaan pawai lampion. Kemudian pada waktu setelah mahgrib sekitar
jam 19:00 Edi Purnomo SMS Sriwahyuniningsih “apakah jadi yang akan
menonton perayaan pawai lampion?”. Kemudian Sri Wahyuniningsih menjawab
agar berangkat terlebih dahulu karena akan berangkat dengan anak-anaknya
dengan menaik motor. Setelah itu Edi Purnomo berangkat menuju ke-rumah Sri
Fatima Utami bibik Sri Wahyuniningsih dengan teman-temanya Lia, Eva dan
Hendrik, setelah samapai dirumah Sri Fatimah Utami, Edi Purnomo dan
teman-temanya, Sri Fatimah Utami menelpon Sri Wahyuniningsih mengabarkan Edi
Purnomo dan teman-temannya ada dirumahnya, lalu Sri Fatima Utami menitipkan
rumahnya kepada Edi Purnomo dan teman-temannya karena akan berangkat
terlebih dahulu menonton perayaan pawai lampion. Lalu Sri Wahyuniningsih
berangkat menuju ke-rumah Sri Fatimah Utami, sesampai dirumah Sri Fatima
Utami, Sri Wahyuniningsih mengobrol bersama Edi Purnomo dan
teman-temannya, tidak lama kemudian mereka keluar kecuali Edi Purnomo dan Sri
Wahyuniningsih2
2
3
Karena hanya mereka berdua di dalam rumah kontrakan Sri Fatima Utami Edi
Purnomo mulai melakukan perbuatan mesum dengan mencium leher dan pipi Sri
wahyuniningsih lalu Edi purnomo membuka ikat pinggang celana, kancing, dan
resliting Sri Wahyuniningsih dan celana Sri Wahyuniningsih membuka sendiri
sampai pada lutut berikut celana dalamnya juga sampai pada lutut. Kemudian Edi
Purnomo membuka celana luar dan dalamnya sampai pada lutut, setelah terbuka
Edi Purnomo menindih Sri Wahyuniningsih terjadilah persetubuhan. Disaat
pertenganhan persetubuhan mereka datanglah seorang tetangga Sri Fatima Utami
bernama Suaji yang sejak awal mengetahui mereka berdua masuk kerumah Sri
Fatima Utami karena mereka mencurigakan Suaji masuk merggokin mereka yang
sedang besetubuh dengan mengatakan “kalian kira disini Hotel” lalu Suaji
mengambil celana dalam Sri Wahyuniningsih dibawa lari, dengan kejadian
tersebut Edi Purnomo mengejar Suaji karena jaraknya jauh Edi Purnomo kemabli
kerumah kontrakan Sri Fatima Utami 3
Dengan kejadian yang diliahat, Suaji melaporkan Ke-Rt dengan
memabawa bukti celana dalam Sri Wahyuniningsih, Rt lansung memanggil
warganya utuk mergokin apa yang dikatakan Suaji, bahwa ada laki-laki dan
perempuan tidak dikenal melakukan persetubuhan dirumah kontrakan
tetangganya yaitu Sri Fatima Utami, Rt dan warga setempat berangkat kerumah
Sri Fatima Utami setelah sampai dirumah kontrakan Sri Fatima Utami, Rt Dan
warga menanyakan tentang persetubuhan tersebut, dengan nada ketakutan mereka
3
4
mengakui perbuatannya lalu Rt bersama warga setempat membawa Edi Purnomo
dan Sri Wahyuniningsih Ke-Polres Bangkalan.4
Dengan kejadian yang dilaporkan oleh Rt bersama warga setempat pihak
kepolisian menahan mereka berdua untuk diperiksa, dan segera menagbil tindakan
peninjauan TKP (tempat kejadian perkara), saat ke-TKP Polisi menemukan
bebrapa barang bukti yang berupa celana jeans warna biru merek bunga, celana
dalam mutif kembang-kembang, sprei warna kuning milik Sri Wahyuniningsih.
Celana jeans warna biru motif garis-garis merek maxmilian, celana dalam warna
biru merek YSL milik Edi Purnomo. Kemuadia pihak kepolisian memanggil para
saksi guna untuk memberikan keterangan atas kejadian kasus tersebut antara lain:
1. Mat Ruji merupakan suami Sri Wahyuniningsih memberikan keterangan
bahwa Sri wayuniningsih adalah istrinya yang masih sah dengan bukti
menunjukan Surat nikah No : L 246/05/X/1994. atas nama Mat Ruji dan
Sri Wahyuniningsih. Dan Mat Ruji tidak terima atas perselingkuhan yang
dilakukan istrinya menuntut agar istrinya dihukum sesuai dengan hukum
yang belaku.
2. Suaji adalah tetangga Sri Fatima Utami memberikan ketrangan melihat
langsung pada persetubuhan yang dilakukan oleh Edi Purnomo dan Sri
Wahyuniningsih pada hari Jumat tanggal 2 Februari 2007 dirumah
kontrakan Sri Fatima Utami di Jalan Letnan Ramli Klurahan Kraton,
Kecamatan/Kabupaten Bangkalan skitar pukul 20:00 wib.
4
5
3. Sri Fatima Utami adalah bibik Sri Wahyuniningsih pemilik rumah yang
dikontrak memberikan keterangan membenarkan perbuatan Edi Purnomo
dan Sri Wahyuniningsih yang diberitahukan tetangganya bahwa Edi
Purnomo dan Sri Wahyuniningsih telah melakukan perzinaan karena Sri
Wahyuniningsih masih istri dari Mat Ruji 5
Setelah alat bukti terkumpul dan para saksi memberikan keterangan
dengan jelas pihak kepolisian mengklafikasikan bahwa perkara tersebut adalah
tindak piana perzinaan yang terdapat dalam KUHP pasal 284 pasal (1). Setelah
selesai BAP (berita acara pemeriksaan) selesai pihak kepolisian menyerahkan
BAP kepada Jaksa. Jaksa sebagai penuntud umum membuat surat dakwaan bahwa
Edi purnomo sebagai terdakwa I dan Sri Wahyuniningsih sebagai terdakwa II
dituntut dengan tujuh (7) bulan penjara, perbuatan mereka sebagaimana diatur
dan diancam pidana penjara dalam pasal 284 ayat (1) KUHP yang menyatakan
dihukum penjara selama-lamanya Sembilan bulan6:
1. a. laki-laki yang beristri, berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa pasal 27
kitab Undang-undang Hukum Perdata (sipil) berlaku padanya:
b. Perempuan yang bersuami, berbuat zina:7
Penagdialn Negeri Bangkalan dalam putusannya Sri Wahyuniningsih dan Edi
Purnomo bersalah melakukan tindak pidana perzinaan dengan hukuman enam (6)
5
BPA (berita acara pemeriksaan) Polres Bangkalan 19 April 2007.
6 Direktori, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia”, No. 726K/Pid/2008, dalam Direktori Putusan - Pengadilan Mahkamah Agung , diakses 25 september 2014 , 3. 7
R. Sosilo Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap
6
bulan penjara karena Sri Wahyuniningsih tidak merasa puas dengan putusan
pengadilan Negeri Bangkalan, Sri Wahyuniningsih mengajukan permohonan
banding ke- Pengadilan Tinggi Surabaya. Pengadilan Tinggi memutuskan
menerima permohonan banding dari Sri Wahyuniningsih dan menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Bangkalan. Putusan Pengadilan Tinggi tidak merubah putusan
Pengadilan Negeri Bangakalan sehingga Sri Wahyuniningsih masih tidak merasa
puas maka menagjukan permohonan kasasi ke-Mahkamah Agung pada tanggal 30
januari 2007 dengan alasan sebagai berikut:
1. Dalam persidangan saya sebagai terdakwa tidak memberikan keterangan
yang berbelit-belit dan mengakui kesalahannya dan perbuatan zina dengan
terdakwa Edy Purnomo tersebut hanya 2 (dua) kali saja.
2. Dalam perkara ini saya sebagai terdakwa Sri Wahyuningsih dan terdakwa
Edy Purnomo, dan didalam persidangan saksi korban yaitu Mat Ruji (
suami Sri Wahyuningsih) tidak datang dan hanya memberikan selembar
surat pernyataan bahwa saksi korban Mat Ruji tidak akan menuntut saya
(Sri Wahyuningsih) sebagai mantan istrinya.
3. Bahwa selain dengan terdakwa Edy Purnomo saya sebagai terdakwa Sri
Wahyuningsih tidak pernah melakukan perbuatan zina dan perbuatan
tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan
4. Bahwa dalam persidangan saya sebagai terdakwa selalu hadir dan tidak
mempersulit persidangan.
5. Bahwa sejak kejadian tersebut, terdakwa Sri Wahyuningsih diceraikan
7
Wahyuningsih sampai saat ini menjadi satu-satunya tulang punggung
keluarga yang menghidupi 2 (dua) anak yang masih dibawah umur dan
masih sekolah dasar ( SD)8
Dengan alasan yang diajukan oleh Sri Wahyuniningsih Mahkamah Agung
berpendapat bahwa alasan 1-5 tidak dapat dibenarkan, oleh karena itu Pengadilan
Tinggi tidak salah menerapakan hukum dan mengenai berat ringannya penerapan
hukuman adalah wewenang Pengadilan Tinggi yang tidak tunduk pada kasasi
kecuali pengadilan tinnggi menerapkan hukum yang tidak diatur dalam
perundang-undagan yang belaku atau menerapkan hukum tanpa
mempertimbangkan dengan cukup sehingga salah dalam mengambil keputusan.9
Dalam kasus putusan perzinaan oleh Mahkamah Agung di atas yang
menolak atas penagajuan Kasasi dengan maksud memperkuat putusan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi. Dalam putusan Pengadilan Negeri Bangkalan
terdakwa I Sri Wahyunininsih dan terdakwa II Edi Purnomo masing-masing
dihukum 6 (enam) bulan penjara, berdasarkan KUHP.
Kasus perzinaan di atas jika dikaji dengan pandangan hukum Islam
perbuatan zina merupakan perbuatan yang keji sehingga harus dihukum dengan
berat, karena merusak moral dan sistem kemasyarakatan, dan mengancam
keselamatannya. Zina merupakan pelanggaran atas sistem kekeluargaan,
sedangkan keluarga merupakan dasar untuk berdirinya masyarakat10. Tindak
8 Direktori, Putusan Mahkamah…, 7 9 Direktori, Putusan Mahkamah…, 6 10
8
pidana perzinaan kasus di atas adalah perbuatan keji dan merupakan dosa besar
yang diancam dengan hukuman cambuk dan rajam. Bagi pelaku zina muhshan
(Sudah menikah), maka ia dibebani hukum rajam, yakni dilempari batu sampai
mati. Hukuman kedua berlaku bagi pelaku zina ghairu muhsan (Belum menikah)
yakni dihukum dengan hukuman cambuk atau dera sebanyak 100 kali. Hal ini
sesuai dengan dalam (QS. al-Nur/24: 2)
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya 100 (seratus) kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman11.
Sedangkan dalam hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:
(
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwa Beliau memerintahkan bagi siapa yang berzina dan belum pernah menikah agar dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. (HR. Bukhari ).12
11
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, (Surabaya: Karya Utama, 2000), 543. 12
9
Dari uraian di atas diketahui bahwa kasus perzinaan yang diputus
oleh hakim, dijatuhi hukuman 6 (enam) bulan penjara berdasarkan hukum
positif. Dalam hukum Islam sanksi atas kasus perzinaan di atas dicambuk
seratus kali dan dirajam. Dengan perbedaan sanksi yang diterapkan maka
dapat di identifikasi masalahnya dan implikasi sanksi yang berbeda
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan masalah
bahwa penemuan tertentu adalah sabagai berikut
1. Putusan Mahkamah Agung No 726K /Pid/2008. terhadap kasus
perzinaan
2. Konsep tindak pidana perzinaan menurut hukum positif
3. Konsep perzinaan menurut hukum pidana Islam
4. Sanksi perzinaan menurut KUHP pasal 284 ayat (1) dan hukum
pidana Islam
5. Sanksi perzinaan menurut hukum pidana Islam
6. Faktor penyebab tindak pidana perzinaan
C. Batasan Masalah
1. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari
10
2. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi
Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif hukum pidana
Islam
D. Rumusan Masalah:
1. Bagaimana sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan
Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan putusan Pengadilan
Negeri Bangkalan?
2. Bagaimana sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan
Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif
hukum pidana Islam?
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada dasarnya adalah deskripsi penelitian terdahulu yang
terkait, agar dalam penelitian yang dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikat. Skripsi yang membahas tentang tindak pidana
zina sebelumnya sudah ada yang menuliskannya, namun obyek kajiannya
berbeda antara lain:
1. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan
No.35/PID.SUS.2012/PN.Jmb. tentang Tindak Pidana Membujuk
Melakukan Persetubuhan Disertai Penaganiayaan Anak di Bawah Umur.
11
meyakinkan seorang untuk melakukan tindak pidana hubungan suami istri
yang disertai dengan penyiksaan atau penindaskan. Putusan
No.35/PID.SUS.2012/PN.Jmb. tentang tindak pidana membujuk
melakukan persetubuhan disertai penaganiayaan anak dibawah umur
kesimpulanya tindak pidana yang dilakukan termasuk dalam pidana islam
dalam katagori sebagai jarimah zina ghairu muhsan dan jarima
penaganiayaan sanksinya didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun
karena terdakwa belum terikat pernikahan13.
2. Studi Komprasi Anatara KUHP Pasal 294 ayat (1) dan Hukum Pidana
Islam tentang Sanksi Hukum bagi Seorang ayah/ibu yang Melakukan
Tindak pidana Incest dengan Anak Kandung. Perkawinan incest dalam
hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai
hbungan darah dekat, hal ini tidak boleh dilakukan sebagai mana dalam
berupa penjara maksiamal 7 tahun. 14
13
AnziAfrianti.W.A, “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Putusan NO.35/PID.SUS/2012/PN.Jmb. tentang Tindak Membujuk Melakukan Persetubuhan Disertai Penganiayaan Anak di Bawah Umur”, ( Skripsi-- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 85. 14
12
Hal -hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
ialah penelitian ini membahas fokus pada sanksi zina dalam kajian hukum pidana
Islam dan hukum pidana positif (Studi Putusan Mahkamah Agung
No.726/Pid/2008).
F. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam
putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri
Bangkalan
2. Untuk mengetahui sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam
putusan Kasasi Mahkamah Agung No.726K /Pid/2008 dalam perspektif
hukum pidana Islam
G. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diaharapkan dan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum, dan minimal dapat
digunakan untuk dua aspek sebagai berikut :
1. Dari segi teoritis, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan
kepentingan ilmiah dalam studi hukum khususnya dalam tindak
pidana perzinaan hukum pidana Islam
2. Dari segi praktis, dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan
bahan penyuluhan hukum secara intensif dan informasi kepada
13
H. Definisi Oprasioanal
Untuk mempermudah pemahaman dan salah pengertian terhadap istilah
dalam skripsi ini, maka penulis akan memaparkan beberapa istilah yang
terdapat dalam penulisan skripsi ini
1. Hukum Pidana Islam: perbuatan yang dilarang dilakukan dan sudah
ada ketentuannya dalam syara’ yang disertai sanksi yang bersumber
dari al-Quran dan Hadis dan pendapat ulama15
2. Persetubuhan (zina) menurut KUHP seorang laki-laki atau seorang
perempuan yang telah kawin melakukan persetubuhan dengan
seseorang yang bukan suami atu istrinya.16
3. Zina menurut hukum pidana Islam adalah masuknya alat kelamin
laki-laki ke dalam kelamin perempuan tanpa adanya suatu ikatan
hukum yang berlaku disuatau Negara19 dan tentang sanksi zina
15
Ahmad Wardi Muslich, Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam (jakarta: sinar Grafika, 2004), 9.
16
R. Sosilo, kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap
pasal demipsal, (Bogor: polita, 2001), 209.
17
Ahmad Wardi Muslich, pengatar dan asas,…, IX.
18
14
I. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk memperoleh data-data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu sebagai alat untuk menggali suatu
informasi yang terkait dengan judul penelitian secara teoristis dan praktis.20
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dokumentasi, yaitu
penelitian data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip
hukum, yang berupa putusan Mahkamah Agung yang menjadi
pembahasan dalam putusan kasus perzinaan. Untuk mendukung data
yang dijadikan pembahasan dalam skripsi ini adalah keputusan yang
terkait dengan pembahasan skripsi ini dengan penulusuran dan
menelaah data yang ada hubungannya dengan tindak pidana perzinaan.
2. Sumber Data
Sumber data merupakan subyek dari mana data yang dapat diperoleh,
sebagai brikut
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari
sumber asli (melalui dokumen Negara secara resmi), antara lain:
1. Keputusan PengadilanNegeri Bangkalan tentang perzinaan
2. Putusan Mahkamah Agung NO.726K /Pid./2008.
19
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka cipta2009), 2. 20
15
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
b. Sumber Data Skunder
Sumber data skunder adalah sumber data yang diperoleh secara
tidak langsung yang terdiri dari beberapa refrensi yang terkait
dengan pembahasan skripsi ini antara lain:
1. Ahmad Wardi Muslich, Pengatar dan Asas Hukum Pidana
Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2001).
2. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidan, (KUHP).
serta komentar-komentarnya Lengkap pasal demi pasal
(Bogor: polita, 2001).
3. Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2013).
4. Moejatno, Asas-asas Hukum Pidana, (jakarta: Renika cipta,
2009).
5. Departemen kehakiman, Pedoman Pelaksnaan KUHP,
(Bandung: Refika Aditama, 2001).
6. Moh. Daud Ali., Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
7. Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,
(Jakarta: PT. Karisma Ilmu, 2008).
16
Mengingat penelitian ini bersifat kepustakaan atau leteratur, maka
data yang dikumpulkan data kepustakaan:
a. Studi putusan/studi dokumen
b. Ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana zina dalam KUHP
c. Ketentuan hukum pidana Islam tentang sanksi bagi pelaku zina
d. Data persamaan dan perbedaan sanksi tindak pidana perzinaan
menurut hukum positif dan hukum pidana Islam
e. Teknik Pengelolaan Data
Data yang sudah didapat dari dokumen dianalisa. Dan
tahapan-tahapnnya sebagi berikut :
a. Editing yaitu pemeriksaan kembali terhadap data yang telah
ditelaah dari Leteratur primer maupun skunder tentang
perzinaan putusan Mahkamah Agung No.726K /Pid./2008 21
b. Organzing : yaitu menyusun data secara sistematis data yang
yang terkait dengan putusan dan dukumen yang relevan
f. Tehnik Analisa Data
Dalam menganalisis data penelitian ini, penulis menganalisis
dokument (content analisys), yaitu memaparkan dan
menggambarkan tentang isi putusan dalam kasus perzinaan yang
diputus oleh Penagadilan Negeri Bangkalan yang diperkuat oleh
21
17
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, kemudian kasus
tersebut dianalisis dalam hukum pidana Islam22
J. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan sikripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Pada
masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga
mempermudah pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas
mengenai uraian yang di kemukakan dalam tiap bab
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, definisi oprasional, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua berisi landasan teoritis yang membahas tentang
gambaran umum tindak pidana perzinaan dalam perspektif hukum
pidana islam
Bab ketiga berisi data yang memuat deskripsi kasus perzinaan
dari putusan Pengadilan Negeri Bangkalan dan putusan Pengadilan
Tinggi yang menjadi pertimbangan putusan Mahkamah Agung tingkat
ksasi
Bab keempat merupakan analisis kasus terkait dasar
pertimbangan putusan Mahkamah Agung Tingkat kasasi dalam
perspektif hukum pidana Islam
22
18
Bab kelima berisi penutup yang didalamnya berisi tentang
19
BAB II
TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tindak Pidana Perzinaan Menurut KUHP
1. Pengertian Overspel
Dari berbagai terjemahan KUHP di berbagai buku refrensi, para pakar hukum
Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti dari overspel.
Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa
Belanda. Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain
menggunakan kata istilah mukah atau gendak. Hal ini tampak dalam terjemahan
KUHP hasil karya Moelyatno, Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto
atau terjemahan KUHP dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Departemen Kehakiman. Menurut Van Dale’s Groat Woorden Boek Nederlanche
Taag kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang
berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan.23 Menurut Noyon
Langemayer yang menegaskan bahwa overspel: kanaller door een gehuwde
gepleegd woorden deangehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet
medepleger, yang artinya perzinaan hanya dapat dilakukan oleh orang yang
menikah, sedangkan orang yang tidak terikat pernikaan dalam perbuatan itu
adalah turut serta (medepleger)24. Oleh karena itu, melihat ketentuan pasal 284
sedemikian rupa, maka overspel yang dapat dikenai sanksi pidana menurut KUHP
adalah:
23
Topo Santosa, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ind-Hill, 1997), 92. 24
20
a. persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila
pasangan ini belum menikah kedua-duanya, maka persetubuhan mereka tidak
dapat dikualifikasikan sebagai overspel, hal ini berbeda dengan pengertian berzina
yang menganggap persetubuhan antara pasangan yang belum menikah juga
termasuk di dalamnya.
b. pasangan yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai
peserta pelaku (medepleger). Dengan demikian apabila pasangan yang disetubuhi
telah menikah juga, pasangannya tersebut dianggap bukan sebagai peserta
melainkan sebagai pelaku.
c. persetubuhan tidak diizinkan oleh suami atau pun isteri yang bersangkutan.
Dengan demikian maka tidak dapat dikatakan overspel, jika persetubuhan itu
direstui oleh suami atau istri yang bersangkutan, maka itu bukan termasuk
overspel.25
2. Syarat Pertanggung jawaban Overspel
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun
perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak
dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk
itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan
25
21
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah ( Subjective guilt). Di sini
berlaku apa yang di sebut di atas “tiada pidana tanpa kesalahan”(keine strafe ohne
schhuld atau geen straf zonder schuld ) atau nulla poena sine culpa ( “Culpa” di
sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Dari apa yang telah disebutkan di atas,
maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah :
a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit
atau Zurechnungsfahigkeit) : artinya keadaan jiwa si pembuat harus
normal
b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) : ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan.
c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf.
Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan
bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa dipidana.
Sekalipun kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan
pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana
memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli.
Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebakan
perbedaan dalam penerapanya26.
26
22
3. Prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap pidana penjara
atau kurungan antara lain :
1. Menerima salinan putusan pengadilan dan panitera Pengadilan Negeri
yang bersangkutan dalam waktu 1 minggu untuk perkara biasa dan 14
hari untuk perkara dengan acara singkat
2. Kepala kejaksaan menggunakan surat perintah pelaksanaan putusan
pengadilan
3. Menyerahkan terpidana kepada Lembaga Pemasyarakatan.
4. Membuat laporan pelaksanaan
Berdasarkan prosedur pelaksanaan putusan pengadilan terhadap
pidana penjara atau kurungan pada poin 2 disebutkan bahwa kepala
kejaksaan Negeri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan putusan
Pengadilan, dengan dikeluarkannya perintah tersebut maka jaksa segera
menjalankan tugasnya untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan
Pengadilan. Kemudian apabila seorang terpidana dipidana penjara atau
kurungan lebih dari satu putusan, maka pidana itu dijalankan berturut-turut
dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu (Pasal 273
KUHAP)27.
27
23
4. pelaksanaan pidana penjara:28
a) Tahap pertama
Lembaga Pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap narapidana atau
sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat
yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3
(sepertiga) masa pidananya. Masa ini juga merupakan masa orientasi
berupa masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan yang
dilakukan paling lama 1 (satu) bulan. Di sini para narapidana mendapatkan
pembinaan kepribadian diantaranya adalah:
a) Pembinaan kesadaran beragama
b) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c) Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
d) Pembinaan kesadaran hukum
Pada tahap ini, pembinaan dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan
dengan pengawasan maksimum
b) Tahap kedua
Apabila narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan,
maka kepada narapidana diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan
pada lembaga pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Narapidana
yang telah menunjukkan kemajuan disini adalah sudah terlihat keinsyafan,
perbaikan diri, disiplin, dan patuh kepada peraturan tata tertib yang belaku di
24
dalam Lembaga Pemasyarakatan. Tahap ini dilakukan setelah narapidana
menjalani 1/3 sampai ½ masa pidana. Disini narapidana mendapatkan pembinaan
kepribadian lanjutan serta pembinaan kemandirian antara lain :
a) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri
b) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil
c) Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya
masing-masing
d) Keterampilan yang mendukung usaha-usaha industri seperti pertanian
dan perkebunan
c) Tahap ketiga
Selanjutnya dalam tahap ketiga ini adalah tahap asimilasi yang dilakukan
setelah, menjalani ½ dari masa pidana yang sebenarnya, pelaksanaannya terdiri
dari 2 (dua) bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap
awal sampai dengan ½ dari masa pidananya. Pada bagian ini pembinaan masih
dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem pengawasan
menengah (medium security). Sedangkan bagian kedua dimulai sejak berakhirnya
masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam bagian lanjutan
ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi atau biasa disebut dengan
asimilasi korvey, dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti
menjelang bebas dengan pengawasan minimum
25
Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang
sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pembinaan tahap akhir
yaitu bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas
(CMB) atau pembebasan bersyarat (PB). Pembinaan dilakukan di luar Lapas oleh
Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien
Pemasyarakatan. Setelah tahap-tahap tersebut narapidana siap untuk dikembalikan
ke masyarakat dan diharapkan menjadi manusia yang mandiri, tidak melakukan
tindak pidana lagi, serta dapat berperan aktif dalam masyarakat. Namun setelah
pembebasan bersyarat ini habis, maka terpidana tersebut kembali ke-Lembaga
Pemasyarakatan untuk mengurus atau menyelesaikan surat bebas atau surat
lepasnya.
B. Tindak Pidana Perzinaan Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Jarimah Zina
Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa
adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa
adanya unsur subhat29. Ibnu Rusyd mendefinisikan zina sebagai setiap
persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena
semu (subhat)30 dan bukan pula karena pemilikan terhadap budak.31 Secara garis
besar pengertian ini telah disepakati oleh para ulama, meski mereka masih
berselisih pendapat tentang manakah yang dikatakan syubhat (semu/mirip) yang
menghindarkan hukuman had dan mana pula yang tidak menghindarkan
29
Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr), 109. 30
Tidak jelas hukumya (menyetubuhi istri yang ditalak dengan sindiran) 31
26
Hukuman tersebut. Namun Imam Taqiyuddin memberikan definisi zina sebagai
perbuatan persetubuhan dengan memasukan zakar ke dalam vagina dengan cara
apapun yang diharamkan oleh syara’ dan bukan wath’i subhat.32. Sedangkan
Sayyid Sabiq menggambarkan zina sebagai hubungan kelamin sesaat yang tidak
bertanggung jawab33. Definisi zina yang dikemukakan oleh para ahli hukum
Islam tersebut secara esensi tidak ada perbedaan yang signifikan, karena pada
dasarnya perbuatan zina ada dua unsur yang harus terpenuhi yaitu;
a. Adanya persetubuhan antar dua orang yang berlainan jenis.
b. Adapun laki-laki atau perempuan tersebut tidak dalam ikatan yang sah.
Oleh karena itu apabila ada seorang laki-laki dan wanita yang bermesraan dan
atau bertelanjang di atas tempat tidur belum bisa dikategorikan sebagai perbuatan
zina. Di sini dibutuhkan persaksian yang melihat langsung pada saat terjadi
perzinaa sebagai justifikasi apakah sudah terjadi zina atau belum. Perlu diketahui
sebagai catatan bahwa ada perbedaan yang sangat esensial mengenai definisi zina
di dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum Islam. Di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia pasal 284 dinyatakan bahwa zina
adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah
kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dan
supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama
suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.34
32
Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Alamin, 1995), 619. 33
Sayyid Sabiq , Fiqih Sunnah, terjemah: M. Syafi'i, jilid ix, (Kairo: Penerbit: Pena Publishing ), 90.
34
27
Kenyataan tersebut menunjukkan betapa jauh perbedaan antara hukum
Islam dengan hukum positif. Walaupun sama-sama bertujuan untuk memelihara
kepentingan dan ketenteraman masyarakat, serta menjamin kelangsungan hidup
namun hukum Islam lebih memperhatikan soal akhlak, dimana tiap-tiap perbuatan
yang bertentangan dengan akhlak yang tinggi tentu diancam hukuman. Akan
tetapi tidak demikian halnya dengan hukum positif yang boleh dikatakan telah
mengabaikan soal-soal akhlak sama sekali dan baru mengambil tindakan, apabila
perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perorangan atau ketentuan
masyarakat.35 Sebagai contoh adalah perbuatan zina. Hukum positif tidak
menghukum perbuatan tersebut, kecuali apabila terjadi perkosaan terhadap salah
satu pihak atau tanpa kerelaan salah satunya. Karena dalam keadaan demikian,
perbuatan tersebut merugikan perorangan maupun ketenteraman umum. Akan
tetapi syari’at menghukum perbuatan zina dalam keadaan dan bentuk
bagaimanapun juga, karena zina di pandang bertentangan dengan akhlak dan
apabila akhlak sudah rusak maka rusaklah masyarakat.
2. Syarat Pertangungjawaban Jarimah Perzinaan
Pelaku zina tentunya akan mendapatkan sanksi yang berat berdasarkan
ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw.
hukuman bagi pelaku zina tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat pokok.
Namun dalam penjelasan mengenai persyaratan ini terdapat dua bagian, yakni
35
28
syarat yang muttafaq dan syarat yang mukhtalaf. Adapun syarat syarat tersebut
yakni sebagai berikut :
a. Baligh, maka tidak ada had bagi anak yang belum baligh.
b. Berakal, tidak berlaku had bagi orang gila. Jika orang berakal berzina
dengan orang gila atau sebaliknya, maka yang mendapat hukuman had
adalah orang yang berakal.
c. Muslim.
d. Tidak dalam paksaan. Para ulama berbeda pendapat apakah orang yang
dipaksa mendapat hukuman had atau tidak. Ulama mengungkapkan bahwa
tidak ada had bagi orang yang dipaksa. Ulama Hanabilah mengungkapkan
tetap berlaku had meskipun dipaksa, jika masih memungkinkan
menghindar, jika tidak mungkin maka tidak berlaku had.
e. Pelaku berbuat zina dengan sesama manusia, jika ia menyetubuhi hewan
maka tidak ada had baginya namun berlaku hukum ta’zir.
f. Pelaku zina (sekufu) maka tidak ada had zina jika menyetubuhi anak anak
menurut satu pendapat. Namun pendapat jumhur mengatakan bahwa tetap
berlaku had dalam hal ini selama masih memungkinkan menegakkannya.
g. Tidak ada unsur syubhat dalam perbuatan tersebut. Misalnya seorang laki
laki menyetubuhi wanita yang disangka adalah istrinya atau budaknya.
Namun ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Abu Yusuf mengatakan bahwa
29
h. Pelaku tersebut mengetahui bahwa zina diharamkan. Jika ia tidak
mengetahui keharaman itu, maka ulama berbeda pendapat, namun
pendapat yang rajih dalam hal ini adalah gugurnya had.
i. Melakukan perbuatan zina dengan wanita yang masih hidup, jika
menyetubuhi mayat, maka jumhur berpendapat bahwa tidak berlaku had,
namun dalam pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah mengatakan
tetap berlaku had.
j. Jelas bahwa telah terjadi perzinahan. Yakni dengan kadar masuknya penis
ke vagina walaupun separuh hasyafah (penis). Adapun jika terjadi
persetubuhan melalui dubur, maka tidak berlaku had, namun jatuh hukum
ta’zir menurut Hanafiyah, dan tetap berlaku had sebagaimana had zina36
Wahbah Az-Zuhaili menyatakan dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam
Waadillatahu bahwa syarat-syarat agar dapat ditegakkannya had terbagi dua, yang
pertama syarat yang harus ada untuk tegaknya had secara menyeluruh yakni
adanya imamah (pemerintahan islam). Adapun yang kedua yakni syarat yang
khusus harus ada dalam penegakan had rajam, yakni adanya saksi perbuatan
tersebut, dan dalam hal ini imam (pemerintah setempat) yang menegakkan
hukumnya, sama halnya dengan had jilid. Berdasarkan keterangan di atas, dapat
difahami bahwa perbuatan jarimah dikategorikan jarimah zina, apabila telah
memenuhi persyaratan-persyaratan di atas secara menyeluruh, apabila ada salah
satu syarat yang tidak terpenuhi, maka perbuatan jarimah tersebut tidak
30
dikategorikan zina. Misalnya melakukan persetubuhan melalui dubur, maka
perbuatan perbuatan ini menurut ulama Hanafiyah tidak disebut zina, berbeda
halnya dengan kalangan sahabat, ulama Syafi’iyah, Hanabilah dan Malikiyah
yang tetap mengkategorikan perbuatan tersebut dalam kategori zina.37
3. Sanksi Jarimah Perzinaan
Perbuatan zina adalah perbuatan keji dan merupakan dosa besar yang
diancam dengan hukuman cambuk dan rajam. Bagi pelaku zina muhshan (Sudah
menikah), maka ia dibebani hukum rajam, yakni dilempari batu sampai mati.
Hukuman kedua berlaku bagi pelaku zina ghairu muhsan (Belum menikah) yakni
dihukum dengan hukuman cambuk atau dera sebanyak 100 kali. Hal ini sesuai
dengan dalam (QS. al-Nur/24: 2). Pakar hukum pidana islam membagi hukuman
tindak pidana zina dibagi menjadi dua kategori yaitu:
a. Bagi pelaku zina yng belum berkeluarga (ghayru muhsan)
b. Bagi pelaku zina yang sudah pernah berkeluarga (muhsan)
37
31
Ancaman hukuman yang diberikan kepada pelaku zina yang belum berkeluarga
adalah seratus kali dera. Tetapi Abdul Qadir Audah menetapkan hukum jarimah
itu tiga macam yaitu :38
a. Hukuman Dera (cambuk)
Hukum dera 100 kali di jatuhkan kepda semua pelaku zina baik laki laki
maupun perempuan baik yang telah kawin maupun yang belum berdasarkan (QS.
al-Nur/24: 2)
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman39.
Sedangkan hukuman rajam dan pengasingan salama satu tahun ditetapkan
berdasarkan sunah Rasulullah saw. Dalam hal hukuman bagi pelaku zina yang
sudah nikah seratus kali jilid terdapat perbedaan pendapat di kalangan imam
mazhab. Menurut golongan Khawarij, bahwa hukuman bagi pelaku zina yang
sudah nikah adalah dera/jilid 100 kali, sedangkan hukuman rajam tidak
38
Eldin H Zainal, Hukum pidana Islam, (Bandung cipta pustaka media perintis, 2011), 111 39
32
disyari’atkan oleh Allah swt.40 Golongan Ahlul al-Zahir, Ishak dan Ahmad, pada
salah satu riwayat mengatakan bahwa hukumannya adalah jilid dan rajam. Tetapi
fuqaha sepakat bahwa bagi budak yang sudah kawin adalah jilid, seperti bagi
budak yang statusnya gadis dan hukuman rajam tidak dikenakan kepada budak
atau hamba tersebut.41 Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku zina yang
belum kawin hanya di jilid 100 kali dan tidak ada hukuman pengasingan.
Sedangkan golongan Hanafiyah hukuman pengasingan selama satu tahun tidak
mutlak seperti hukuman dera. Pengasingan bisa dijatuhkan manakala dipandang
perlu tetapi jangka waktunya ditetapkan menurut kebijakan hakim sendiri42
b. Hukuman pengasingan (Taghrib)
Bagi pelaku zina yang ghairu muhsan (belum menikah) dikenakan
hukuman pengasingan selama satu tahun selain hukuman jilid sebgaimana
tersebut di atas. Ketentuan ini bersumber kepada hadis nabi yang artinya: lajang
dan gadis jilid seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Dalam konteks ini
ulama berbeda pendapat menurut Imam Abu Hanifah dan murid muridnya hadis
tersebut telah di batalkan (mansukh) atau tidak dikenal (ghairu mahsyur).
Hukuman pengasingan bukan hukuman had, melainkan hukuman ta’zir yang
menjadi otoritas kepala Negara karena hadis yang memerintahkan hukuman
pengasingan sebelum turunya (QS. al-Nur/24: 2). Imam Malik berpendapat bahwa
pengasingan merupakan hukuman yang harus dijatuhkan baik kepada laki laki
40
Muhammad Ali al-Sayis, tafsir Ayatu al-Ahkam jilid III, (Al azhar , Mesir .1373H), 106 41
Ibid, 108 42
33
maupun perempuan. Sedangkan imam Syafii mengangap hukuman pengasingan
adalah hukuman had terhadap pelaku zina ghairu muhsan (belum nikah).43
c. Hukuman Rajam
Dalam buku fiqih sunnah Para ulama telah sepakat bahwa hukuman yang
diberikan kepada pelaku zina muhsan adalah dirajam sampai mati. Menurut
al-Mundziri, Khalifah Abu Bakar , Ali ra, al-Auzai, Abu Yusuf (murid Abu Hanifah)
berpendapat bahwa pelaku zina yang belum nikah hukumannya didera dan
diasingkan. sedangkan bagi yang telah nikah hukumannya dirajam. Abdul qadir
Audah berpendapat bahwa pelaku zina yang muhsan (sudah menikah) dijatuhi
hukuman rajam, karena perbuatan tersebut merupakan contoh yang sangat buruk
bagi orang lain dan tidak pantas hidup di keluarga muslim, sebab lembaga
perkawinan yang merupakan wadah penyaluran nafsu birahi bagi suami istri dapat
mengantisifasi terjadinya perbuatan zina, akan tetapi kalau juga masih terjadi,
maka harus dijatuhi hukuman berat yaitu rajam. Berdasarkan pendapat para
mazhab di atas, timbul pro dan kontra dalam pelaksanaan hukum rajam tersebut.
Karena dianggap bertentangan dengan nash al-Qur’an hal ini terjadi berbeda
pandang dalam memahami hadis tentang rajam dikaitkan dengan nash (QS.
al-Nur/24: 2).
Namun dari kesepakatan para ulama fiqih, hukuman untuk tindak pidana
zina terbagi dua kategori. Pertama bagi pezina yang belum nikah (ghairu Muhsan)
43
34
hukumannya adalah 100 kali cambuk, kemudian diasingkan keluar daerah selama
satu tahu berdasarkan hadis Rasulullah saw.
)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa Beliau memerintahkan bagi siapa yang berzina dan belum pernah menikah agar dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. (HR. Bukhari)44
Sedangkan kedua: bagi pelaku zina yang telah nikah (Muhsan)
hukumannya adalah rajam atau dilempar dengan batu sampai mati yang telah
memenuhi syarat orang yang telah baliq, berakal, merdeka (bukan budak) dan
telah menikah, baik masih terikat perkawinan maupun yang telah bercerai.45 Para
ulama telah bersepakat, bahwa hukuman yang dikenakan atas diri pelaku zina
muhsan adalah dirajam. Pendapat ini didasarkanatas hadis Rasulullah saw.
Sebagai berikut:
44
Lidwa pusaka, shofwer Hadis Kitab 9 Imam dan Terjemahnya versi 1, (Jakarta: Telkom, 2010), 2455
45
35
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ashbagh Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman dari Jabir bahwa seorang laki-laki dari Bani Aslam mendatangi Nabi saw. yang saat itu sedang berada di dalam Masjid. Laki-laki itu mengatakan bahwa ia telah,berzina namun beliau berpaling darinya. Maka laki-laki itu menghadap ke arah wajah beliau seraya bersaksi atas dirinya dengan empat orang saksi. Akhirnya beliau memanggil laki-laki itu dan bertanya: "Apakah kamu memiliki penyakit gila?" ia menjawab, "Tidak." Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu telah menikah?" ia menjawab, "Ya." Akhirnya beliau memerintahkan untuk merajamnya di lapangan luas. Dan ketika lemparan batu telah mengenainya, ia berlari hingga ditangkap dan dirajam kembali hingga meninggal. (HR. Bukhari)46
Para fuqaha sepakat bahwa pelaksanan hukuman had harus dilakukan oleh
imam atau wakilnya (pejabat yang ditunjuk) hal ini disebabkan karena hukuman
had itu merupakan hak Allah (masyarakat) dan sudah selayaknya dilakukan oleh
imam atau wakil dari masyarakat.
4. Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Jarimah Zina
a. Cara Pelaksanaan Hukuman Rajam
Apabila orang yang akan dirajam itu laki laki, hukuman dilaksanakan
dengan berdiri tampa dimasukkan kedalam lubang dan tampa dipegang atau di
ikat. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw. Ketika merajamMa’iz dan
orang yahudi. Dari Abi Sa’id ia berkata: Ketika Rasulullah saw. Memerintahkan
46
36
kepada kami untuk merajamMa’iz ibn Malik, maka kami membawanya ke Baqi’.
Demi Allah kami tidak memasukkan kedalam lubang dan tidak pula mengikatnya,
melainkan ia tetap berdiri. Maka kami melemparinya dengan tulang. Apabila
melarikan diri dan pembuktiannya dengan pengakuan, maka ia tidak perlu dikejar
dan hukumannya dihentikan. Dan jika pembuktiannya dengan kesaksian maka ia
harus dikejar, dan hukuman rajam diteruskan sampai mati. Apabila orang yang
akan dirajam itu wanita, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i maka ia
boleh dipendam sampai dada, karena cara yang demikian itu lebih menutupi
auratnya. Sedangkan menurut pendapat Imam Malik dan pendapat rajih dalam
mahzah hambali wanita juga tidak dipendam sama halnya dengan laki-laki. Dalam
hukuman rajam adalam hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau
benda benda lain. Menurut imam Abu Hanifah lemparan pertama dilakukan oleh
parea saksi apabila pembuktiannya dengan persaksian. Kemudian diikuti oleh
imam atau pejabat yang ditunjukdan kemudian diteruskan oleh masyarakat.
Apabila jarimah zina sudah bisa dibuktikan dan tidak ada syubhat maka hakim
harus memutuskannya dengan menjatuhkan hukuman had, yaitu rajam bagi zina
muhsan dan dera (cambuk) seratus kali ditambah pengasingan selama satu tahun
bagi pezina ghairu muhsan. Dalam hukum Islam menurut para fuqaha sepakat
bahwa pelaksanaan hukuman harus dilakukan oleh imam atau wakilnya (pejabat
yang ditunjuk). Dalam zaman Rasulullah saw. selalu memerintahkan kepada para
sahabat untuk melaksanakan hukuman. Pelaksanaan hukuman rajam dengan cara
dipendam kedalam tanah sampai bagian dada kemudian dilempari batu sampai
37
itu diteruskan oleh imam dan pejabat kemudian masyarakat. Hukuman ini bebas
dilakukan kapanpun baik siang atau malam baik panas atau dingin namun bagi
wanita hamil ditunda hingga melahirkan.47
b. Cara pelaksanaan Hukuman Dera dan Pengasingan
Hukuman dera atau jilid dilaksanakan dengan menggunakan cambuk,
dengan pukulan yang sedang sebanyak 100 kali cambukan, disyaratkan cambuk
yang digunakan harus kering, tidak boleh basah, karena bisa menimbulkan luka,
disyaratkan cambukan itu tidak boleh lebih dari satu, apabila ekor cambuknya
lebih dari satu, maka pukulan cambuknya dihitung sebanyak ekornya. Apabila
yang dihukum laki laki maka bajunya harus dibuka kecuali yang menutupi
auratnya. Hukuman dera tidak boleh menimbulkan bahaya terhadap orang yang
terhukum. Karena hukuman itu bersifat pencegahan. Oleh karena itu hukuman
tidak boleh dilakukan pada saat cuaca panas dan cuaca dingin dan tidak boleh
dilakukan pada orang yang sakit sampai ia sembuh, dan wanita yang hamil sampai
ia melahirkan48
Sedangkan hukuman kedua yaitu pengasingan pelaksanaan hukuman
pengasingan menurut Imam Syafii dan Imam Hambali dikeluarkan dari
keluarganya dengan tujuan bisa merasakan tidak diakui dalam keluarganya sendiri
karena telah melakukan perbuatan yang dilaranag selama satu tahun. Sedangkan
menurut Imam Ahmad dan Imam Malik diasingkan dengan artian dikeluarkan dari
47
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), 57 48
38
kelaurga muslim ke-non muslim dengan tujaun bisa bertobat, setelah bertobat
dapat kemabli kekluarga muslim dan dapat berkelakuan baik.49
49
39
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 726K/Pid/2008
A. 1. Sejarah Mahkamah Agung Republik Indonesia
Masa penjajahan Belanda atas bumi pertiwi Indonesia, selain
mempengaruhi roda pemerintahan juga sangat besar pengaruhnya terhadap
Peradilan di Indonesia. Dari masa dijajah oleh Belanda (Mr. Herman Willem
Daendels-Tahun 1807), kemudian oleh Inggris (Mr. Thomas Stanford
Raffles-Tahun 1811 Letnan Jenderal) dan masa kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda
(1816-1842).50 Pada masa penjajahan Belanda Hoogerechtshoof merupakan
Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan wilayah hukum
meliputi seluruh Indonesia. Hoogerechtshoof beranggotakan seorang Ketua, 2
orang anggota, seorang pokrol Jenderal, 2 orang Advokat Jenderal dan seorang
Panitera dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau lebih. Jika perlu
Gubernur Jenderal dapat menambah susunan Hoogerechtshoof dengan seorang
Wakil dan seorang atau lebih anggota.51
Setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, Presiden
Soekarno melantik/mengangkat Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama. Hari pengangkatan
itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Mahkamah Agung, melalui Surat
Keputusan KMA/043/SK/VIII/1999 tentang Penetapan Hari Jadi Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Tanggal 19 Agustus 1945 juga merupakan tanggal
50 Wikipedia bahasa Indonesia, “Mahkamah Agung Republik Indonesia”, dalam , diakses pada 30 Maret 2015.
40
disahkannya UUD 1945 beserta pembentukan dan pengangkatan Kabinet
Presidentil Pertama di Indonesia. Mahkamah Agung terus mengalami dinamika
sesuai dinamika ketatanegaraan. Antara tahun 1946 sampai dengan 1950
Mahkamah Agung pindah ke Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia.
Pada saat itu terdapat dua Lembaga Peradilan Tertinggi di Indonesia yaitu :52
Hoogerechtshof di Jakarta
Ketua : Dr. Mr. Wirjers
Anggota Indonesia : Mr. Notosubagio, Koesnoen
Anggota belanda : Mr. Peter, Mr. Bruins
Procureur General : Mr. Urip Kartodirdjo
Mahkamah Agung Republik Indonesia di Yogyakarta
Ketua : Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja
Wakil : Mr. R. Satochid Kartanegara
Anggota : Mr. Husen Tirtaamidjaja, Mr. Wirjono Prodjodikoro, Sutan Kali
Malikul Adil
Panitera : Mr. Soebekti
Kepala TU : Ranuatmadja
52
41
Kemudian terjadi kapitulasi Jepang, yang merupakan Badan Tertinggi
disebut Saikoo Hooin yang kemudian dihapus dengan Osamu Seirei
(Undang-Undang No. 2 Tahun 1944). Pada tanggal 1 Januari 1950 Mahkamah Agung
kembali ke Jakarta dan mengambil alih (mengoper) gedung dan personil serta
pekerjaan Hoogerechtschof. Dengan demikian maka para anggota
Hoogerechtschof dan Procureur General meletakkan jabatan masing-masing dan
pekerjaannya diteruskan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat
(MA-RIS) dengan susunan:53
Ketua : Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja
Wakil : Mr. Satochid Kartanegar
Anggota : Mr. Husen Tirtaamidjaja, Mr. Wirjono Prodjodikoro, Sutan Kali
Malikul Adil
Panitera : Mr. Soebekti
Jaksa Agung : Mr. Tirtawinata
Dapat dikatakan sejak diangkatnya Mr. Dr. Koesoemah Atmadja sebagai
Ketua Mahkamah Agung, secara operasional pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman
di bidang Pengadilan Negara Tertinggi adalah sejak disahkannya Kekuasaan dan
Hukum Acara Mahkamah Agung yang ditetapkan tanggal 9 Mei 1950 dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang. Susunan Kekuasaan dan Jalan
53
42
Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.54 Dalam kurun waktu tersebut
Mahkamah Agung telah dua kali melantik dan mengambil sumpah Presiden
Soekarno, yaitu tanggal 19 Agustus 1945 sebagai Presiden Pertama Republik
Indonesia dan tanggal 27 Desember 1945 sebagai Presiden Republik Indonesia
Serikat (RIS).55
Waktu terus berjalan dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 sudah harus
diganti, maka pada tanggal 17 Desember 1970 lahirlah Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang Pasal
10 ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara
Tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan Kasasi
(terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan di bawahnya, yaitu
Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding yang meliputi 4
(empat) Lingkungan Peradilan56 : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, Peradilan TUN (Tata Usaha Negara).
Sejak Tahun 1970 tersebut kedudukan Mahkamah Agung mulai kuat dan
terlebih dengan keluarnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, maka kedudukan Mahkamah Agung sudah mulai mapan,
dalam menjalankan tugas-tugasnya yang mempunyai 5 fungsi, yaitu57: Peradilan,
Pengawasan, Pengaturan, Memberi Nasehat, Administrasi
43
Situasi semakin berkembang dan kebutuhan baik teknis maupun non
teknis semakin meningkat, Mahkamah Agung harus bisa mengatur organisasi,
administrasi dan keuangan sendiri tidak bergabung dengan Departemen
Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM). Waktu terus berjalan,
gagasan agar badan Kehakiman sepenuhnya ditempatkan di bawah
pengorganisasian Mahkamah Agung terpisah dari Kementerian Kehakiman58.
Pada Mei 1998 di Indonesia terjadi perubahan politik yang radikal dikenal dengan
lahirnya Era Reformasi. Konsep Peradilan Satu Atap dapat diterima yang ditandai
dengan lahirnya TAP MPR No. X/MPR/1998 yang menentukan Kekuasaan
Kehakiman bebas dan terpisah dari Kekuasaan Eksekutif. Ketetapan ini kemudian
dilanjutkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang tersebut memberi batas waktu
lima tahun untuk pengalihannya sebagaimana tertuang dalam Pasal II ayat (1)
yang berbunyi :“Pengalihan Organisasi, administrasi dan Finansial dilaksanakan
secara bertahap paling lama 5 Tahun sejak Undang-Undang ini berlaku”. Berawal
dari Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 inilah kemudian konsep Satu Atap
dijabarkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.59 Pada tanggal
23 Maret 2004 lahirlah Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2004 tentang
pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dan lingkungan Peradilan Umum
58 Ibit ,. d
59 Wikipedia bahasa Indonesia, “Mahkamah Agung Republik Indonesia”, dalam
Artikel:"Hatta Ali
44
dan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama ke Mahkamah Agung, yang
ditindaklanjuti dengan :
1. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dari
Departemen Kehakiman dan HAM ke Mahkamah Agung pada tanggal 31
Maret 2004.
2. Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial lingkungan
Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung yang
dilaksanakan tanggal 30 Juni 2004.60
2. Wewenang Mahkamah Agung
1. Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan
peradilan
2. Mahkamah Agung menguji peraturan secara materiil terhadap peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-undang
3. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di
semua lingkungan peradilan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
60
45
3. Struktur Organisasi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan hakim anggota, kepaniteraan
Mahkamah Agung, dan sekretariat Mahkamah Agung. pimpinan dan hakim
anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung. jumlah hakim agung paling
banyak 60 (enam puluh) orang
a. Pimpinan Daftar Ketua Mahkamah Agung Indonesia
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil
ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri
atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua