PEDOMAN TEKNIS
GANGGUAN REPRODUKSI (GANGREP) 2017
DIREKTORAT JENDERAL
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
i KATA PENGANTAR
Kegiatan penanganan gangguan reproduksi adalah salah satu kegiatan Direktorat Kesehatan Hewan yang menjadi program Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka mensukseskan program Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (SIWAB). Program tersebut bertujuan meningkatkan populasi ternak dalam penyediaan protein asal hewan untuk pemenuhan konsumsi masyarakat Indonesia.
Pedoman Teknis Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi ini adalah perbaikan dari pedoman Penanggulangan Gangguan Reproduksi pada ternak sapi dan kerbau yang telah disusun sebelumnya dan disesuaikan dengan program SIWAB. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan dari tingkat pusat sampai dengan daerah yang terlibat dalam pelaksanaanpenanganan gangguan reproduksi agar mempunyai persamaan persepsi mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pelaporannya.
Kami menyadari pedoman ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak khususnya para pelaksana di lapangan yang dapat melengkapi dan menyempurnakan buku pedoman ini.
Jakarta, Desember 2016
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
ii DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... ii
DAFTAR LAMPIRAN... iii
DAFTAR GAMBAR………. iv
BAB II. KLASIFIKASI DAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI... 7
A. Klasifikasi Gangguan Reproduksi... 7
B. Penanganan Gangguan Reproduksi... 11
BAB III. SUMBER DAYA... 12
A. Penetapan petugas pelaksana penanganan gangguan reproduksi.... 12
B. Penyediaan bahan, peralatan dan obat-obatan... 12
C. Biaya Operasional... 12
BAB IV. MANAJEMEN OPERASIONAL... 13
BAB V. MEKANISME KERJA... 15
A. Penetapan Status Reproduksi... 15
B. Penanganan Gangguan Reproduksi... 16
C. Pemberian Pakan Konsentrat... D. Pemberian Feed Suplement... 17 17 BAB VI. OPERASIONAL KEGIATAN... 19
1) Tahap Persiapan... 19
2) Tahap Pelaksanaan... 20
BAB VII. JADWAL KEGIATAN... 23
BAB VIII. PENGENDALIAN, PENGAWASAN SERTA INDIKATOR KEBERHASILAN 24 BAB IX. MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN... 27
A. Monitoring dan Evaluasi... 27
B. Pelaporan... 27
iii DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Kelompok Ternak...
29 Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di
Kabupaten/Kota...
30 Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Provinsi... 31 Form Pemantauan Hasil Penanganan Gangguan Reproduksi
Nasional...
32 Data Evaluasi Penanganan Gangguan Reproduksi... 33
Data Kasus Hypofungsi Ovaria 34
Surat Keterangan Status Reproduksi... 35 Daftar Peserta Bimtek Petugas Penanganan Gangguan Reproduksi
tahun 2012-2016...
iv DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Skema Kejadian Anestrus... 8 Gambar 2. Diagram Penyebab Kawin Berulang……... 9
Gambar 3. Skema Operasional Tim Kerja... 14
Gambar 4. Penetapan Status Reproduksi dan Penanganan
Gangguan Reproduksi……...
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan asal hewan dan meningkatkan kesejahteraan peternak, Kementerian Pertanian mencanangkan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) dengan mengoptimalkan potensi sapi indukan untuk menghasilkan pedet dan meningkatkan populasi. Kesehatan hewan memiliki peran penting dalam dukungan keberhasilan peningkatan populasi kaitannya dengan penanganan gangguan reproduksi. Dampak adanya gangguan reproduksi dapat dilihat dari rendahnya service per conception (S/C), panjangnya calving interval (CI), kemajiran, dan rendahnya angka kelahiran.
Manajemen pemeliharaan dan penanganan reproduksi yang kurang tepat khususnya manajemen pakan dapat mempengaruhi berat badan dan akan berpengaruh terhadap reproduksi ternak. Penurunan berat badan pada umumnya dipengaruhi oleh parasit darah dan kecacingan, terapi terhadap parasit dan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan dapat membantu memperbaiki status reproduksi serta status kesehatan sapi dan kerbau.
Dalam pelayanan kesehatan reproduksi ternak, peran dokter hewan sebagai medik reproduksi dan paramedik veteriner dalam bidang reproduksi yaitu Asisten Teknis Reproduksi (ATR), petugas pemeriksa kebuntingan (PKb), dan Inseminator (Petugas IB) diharapkan dapat melaksanakan perannya sesuai dengan ilmu dan keterampilan yang telah dimiliki, dan diaplikasikan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Petugas penanganan reproduksi melaksanakan tugas dan kewajiban secara terpadu dibawah penyeliaan dokter hewan.
Berdasarkan data penanganan gangguan reproduksi Tahun 2015 pada ternak ruminansia besar (sapi potong, sapi perah dan kerbau) kasus gangguan reproduksi disebabkan hipofungsi ovarium, corpus luteum
persisten, peradangan saluran reproduksi (endometritis, metritis) oleh karena penanganan kelahiran dan pelayanan inseminasi yang tidak sesuai prosedur (legeartis).
2 1.2. Maksud dan Tujuan
1.2.1. Maksud
Maksud disusunnya Pedoman Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi adalah sebagai acuan bagi pelaksanaan penanganan gangguan reproduksi di lapangan.
1.2.2. Tujuan
Tujuan disusunnya Pedoman Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau adalah untuk meningkatkan pemahaman pengelolaan dan pelaksanaan teknis kegiatan penanganan gangguan reproduksi, mencakup:
a. Deteksi gangguan reproduksi dan infertilitas ternak sapi dan kerbau b. Menanggulangi penyakit gangguan reproduksi
c. Menurunkan kasus gangguan reproduksi
1.3. Keluaran
Keluaran yang diharapkan adalah tersosialisasinya pedoman kepada seluruh pelaku dan pengelola kegiatan sehingga kegiatan dapat berjalan dengan efektif dan efisien sesuai dengan Sistem Pengendalian Internal (SPI), seperti:
a. Teridentifikasinya data gangguan reproduksi pada ternak sapi dan kerbau yang akurat.
b. Meningkatnya efektifitas kinerja medik reproduksi dan paramedik bidang reproduksi (Asisten Teknis Reproduksi/ATR, Petugas pemeriksa kebuntingan/Pkb, Inseminator) dalam pelayanan teknis reproduksi ternak.
c. Tersedianya data hasil analisis dan pemetaan aspek reproduksi ternak
1.4. Pengertian
Dalam Pedoman Pelaksanaan ini yang dimaksud dengan :
1. Betina produktif yaitu: ternak betina yang memiliki saluran reproduksi normal, dapat memperlihatkan gejala estrus, bunting,melahirkan dan membesarkan anak umur < 8 thn dan/atau <5 kali beranak.
3 3. Paramedik bidang reproduksi yaitu: paramedik yang melaksanakan tugas bidang reproduksi dibawah penyeliaan medik reproduksi antara lain inseminator, pemeriksa kebuntingan, dan asisten teknik reproduksi
4. Inseminasi Buatan (IB) adalah teknik memasukkan mani/semen ke dalam alat reproduksi ternak betina sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar ternak bunting.
5. Semen Beku adalah semen yang berasal dari pejantan unggul, sehat, bebas dari penyakit hewan menular yang diencerkan sesuai prosedur proses produksi sehingga menjadi semen beku dan disimpan di dalam rendaman nitrogen cair pada suhu minus 196° Celcius dalam
countainer cryogenic.
6. Akseptor IB adalah ternak betina produktif yang dimanfaatkan untuk Inseminasi Buatan.
7. Inseminator adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan ketrampilan khusus untuk melakukan IB dan atau memiliki Surat Izin Melakukan Inseminasi (SIMI).
8. Petugas Pemeriksa Kebuntingan yang selanjutnya disebut sebagai PKb adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan ketrampilan khusus untuk melakukan pemeriksaan kebuntingan dan atau memiliki SIM-A2.
9. Asisten Teknis Reproduksi yang selanjutnya disebut sebagai ATR adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan keterampilan dasar manajemen reproduksi untuk melakukan pengelolaan reproduksidan atau memiliki SIM-A1.
10. Gangguan reproduksi yaitu: perubahan fungsi normal reproduksi baik jantan maupun betina yang disebabkan oleh penyakit infeksius dan non infeksius. Status gangguan reproduksi ditetapkan berdasarkan diagnosa klinis dan/atau laboratoris, antara lain tidak bunting setelah dilakukan IB
4 12. Induksi estrus yaitu: upaya menimbulkan estrus menggunakan sediaan hormon agar terjadi ovulasi yang fertil pada individu ternak yang memenuhi persyaratan tertentu dalam rangka terapi
13. Body Condition Score (BCS) atau Skor Kondisi Tubuh (SKT) sapi yaitu: nilai tingkat kegemukan sapi dengan kisaran antara nilai 1-5 (emasiasi = SKT 1, kurus = 2, ideal/optimum = 3, gemuk = 4, dan obesitas = 5)
14. Anestrus adalah kondisi betina produktif yang tidak berahi atau tidak mengalami siklus estrus.
15. Anestrus post partum adalah tidak munculnya estrus pada ternak betina setelah 90 hari setelah melahirkan.
16. Korpus Luteum Persisten adalah corpus luteum abnormal yang terbentuk akibat adanya kondisi patologis di dalam uterus
17. Hypofungsi ovaria yaitu adalah ovaria yang mengalami degradasi fungsi temporer dalam menghasilkan folikel-folikel ovulasi.
18. Kista ovaria (ovarian cyst) adalah folikel yang gagal ovulasi dan berdiameter lebih dari 20 millimeter.
19. Subestrus adalah sapi yang bersiklus namun menunjukkan gejala berahinya tidak jelas
20. Silent heat adalah sapi yang bersiklus namun tidak menunjukkan gejala berahinya
21. Nymfomania adalah sapi yang berahi terus-menerus tanpa disertai ovulasi
22. Abortus (abortion) adalah kelahiran belum saatnya dalam keadaan fetus matis
23. Kelahiran premature (premature birth) adalah pedet yang dikeluarkan belum saatnya dalam keadaan hidup.
24. Still birth adalah pedet dilahirkan sudah saatnya dalam keadaan mati.
5 26. Service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan IB untuk setiap
kebuntingan (idealnya < 1,5).
27. Conception Rate (CR) adlah angka kebuntingan oleh IB pertama dan dihitung dalam % (idealnya > 60%).
28. Calving Interval (CI) adalah jarak antara kelahiran ternak betina dan dihitung dalam bulan (idealnya 12 bulan).
29. Kawin Berulang (repeat breeding) yaitu: ternak betina, pernah beranak, dengan siklus estrus normal atau mendekati normal dikawinkan baik dengan IB atau kawin alam 2-3 kali atau lebih tidak menghasilkan kebuntingan.
30. Retensio plasenta adalah tertahannya selaput plasenta 8-12 jam atau lebih setelah kelahiran,
31. Endometritis adalah peradangan endometrium saluran reproduksi
disebabkan oleh agen penyakit dan biasanya menyertai proses kelahiran yang abnormal.
32. Kematian fetus adalah kematian fetus umur 43 hari atau lebih dalam kandungan dapat dikeluarkan atau tidak dikeluarkan dari tubuh.
1.5. Ruang lingkup
Ruang lingkup pedoman ini terdiri dari:
a. Penanganan gangguan reproduksi, yang meliputi 1) Klasifikasi Gangguan Reproduksi
2) Tahapan Penanganan Gangguan Reproduksi b. Sumber Daya
1) Penetapan petugas pelaksana penanganan gangguan reproduksi 2) Penyediaan bahan, peralatan dan obat-obatan
3) Biaya operasional c. Manajemen Operasional
d. Pengendalian, Pengawasan Serta Indikator Keberhasilan 1) Pengendalian pelaksanaan kegiatan.
6 e. Monitoring, evaluasi dan pelaporan, yang meliputi
7 BAB II.
KLASIFIKASI DAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI
A. Klasifikasi Gangguan Reproduksi
1. Gangguan reproduksi berdasarkan sifat
Gangguan reproduksi berdasarkan sifat yaitu gangguan reproduksi non permanen (infertilitas) dan permanen (sterilitas). Gangguan reproduksi bersifat permanen pada ternak ruminansia besar di Indonesia < 5% dari seluruh populasi, sementara itu kejadian non permanen berkisar 50-75% dalam suatu kelompok ternak.
Gangguan reproduksi yang bersifat non permanen ditandai dengan keterlambatan produksi anak setiap siklus reproduksinya. Contoh gangguan reproduksi yang bersifat infertilitas antara lain:
a. Hypofungsi ovari (ovarium in-aktif temporer)
Kasus hypofungsi ovari pada umumnya terjadi pada kondisi BCS
dibawah 2,0. Pada kasus ini ovarium akan teraba halus yang ditandai tidak adanya pertumbuhan folikel dan corpus luteum serta uterus teraba lembek
.
Penanganan: Tingkatkan kualitas dan jumlah pakan, massage
(perbaikan sirkulasi darah di ovarium), pemberian vitamin ADE, hormon perangsang pertumbuhan folikel atau pembebas hormone gonadotropin, dan deworming.
b. Corpus Luteum Persisten
/CLP
Kasus kejadian CLP merupakan kasus infeksi pada uterus, seperti pyometra, metritis dan mumifikasi fetus.
Pada ovarium ditemukan
corpus luteum yang menetap yang disebabkan oleh tertahannya
8 Penanganan: Lisiskan corpus luteum secara hormonal, dan menghilangkan penyebab utama dengan pemberian antibiotika atau preparat lainnya secara intra uterin (infusi intrauterina).
c. Endometritis
Pada umumnya endometritis terjadi setelah kelahiran abnormal, seperti abortus, retensio plasenta, distokia, dsb atau sebagai kelanjutan radang bagian luar (vulva, vagina,dan cervix). Tanda klinis ditunjukkan dengan keluarnya lendir kotor saat estrus dan atau keluar lendir mukopurulen secara kontinyu. Pada kasus endometritis subklinis tidak menunjukkan gejala yang bisa dipalpasi per rektum.
Penanganan : Perbaiki sirkulasi darah di uterus (hati-hati dapat menimbulkan kerusakan uterus) dan menghilangkan kuman dengan antibiotika, sulfa atau antiseptik secara intra uterin.
d. Anestrus
Kasus anestrus disebabkan oleh kegagalan perkembangan folikel di ovarium. Hal ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu:
insufisiensi gonadotropin akibat pengaruh faktor lingkungan dan abnormalitas ovarium; dan
corpus luteum persisten.
Skema dibawah ini menjelaskan kejadian anestrus.
9 e. Pyometra
Kejadian endometritis disertai dengan akumulasi pus dalam uterus, biasanya bilateral, cervix biasanya dalam keadaan konstriksi, sehingga leleran pus dari vulva tidak selalu terlihat. Peradangan uterus ini selalu diikuti dengan terbentuknya corpus luteum. Penderita akan mengalami anestrus akibat terbebasnya progesteron dari korpus luteum.
Penanganan: obati dengan antibiotika secara infusi intrauterin, pemberian sulfa atau antiseptika.
f. Kista Ovaria
Kista ovaria disebabkan oleh defisiensi LH yang mengakibatkan folikel tidak mengalami ovulasi, namun dapat menjadi kista persisten dengan diameter lebih dari 20 mm. Kista dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
kista folikel (follicular cysts) disebabkan defisiensi LH berat, bersifat multipel, bilateral, gejala umumnya nimfomania.
kista lutea (luteal cyst) disebabkan defisiensi LH ringan, tunggal, gejala umumnya anestrus.
Penanganan: Berikan hormon yang kerjanya seperti LH (hati-hati sangat antigenik) atau pembebas hormon gonadotrofin.
g. Kawin Berulang (Repeat Breeding)
Kawin berulang disebabkan oleh kematian embrio dini serta gangguan fertilisasi berkisar 25 - 40%. Skema dibawah ini menunjukkan faktor-faktor pemicu kawin berulang.
10 Sedangkan gangguan reproduksi yang bersifat lengkap adalah sterilitas atau disebut juga kemajiran. Contoh gangguan reproduksi yang bersifat Sterilitas antara lain
a. Atrofi ovari
b. Defek kongenital, seperti freemartin, hipoplasia ovaria, aplasia ovaria
c. Fibrosis (indurasi) cervix et uteri.
2. Gangguan reproduksi berdasarkan gejala
Gangguan reproduksi berdasarkan gejala dibedakan menjadi empat kelompok yaitu:
a. tidak menunjukkan gejala estrus (anestrus). Gejala anestrus ditemukan pada kasus kista luteal, hypofungsi ovari, atrofi, mumifikasi fetus, maserasi fetus, pyometra, metritis, dan kelainan kongenital lainnya.
b. estrus yang lemah (subestrus, silent heat). Gejala subestrus terjadi pada sapi yang bersiklus normal namun menunjukkan gejala berahinya tidak jelas, sedangkan silent heat terjadi pada sapi yang bersiklus namun tidak menunjukkan gejala berahinya, kecuali kerbau pada umumnya secara normal menunjukkan silent heat. c. estrus terus-menerus (nymfomania). Gejala estrus terus-menerus
(nymfomania) terjadi pada sapi yang berahi terus menerus tanpa disertai ovulasi, ditemukan pada kasus kista folikuler (follicular cyst) dalam ovarium.
d. estrus berulang. Gejala estrus berulang terjadi pada gangguan reproduksi akibat kegagalan fertilisasi (fertilization failure) dan kematian embrio (embryonic death) yang menyebabkan terjadinya kawin berulang. Pada sapi akseptor IB di Indonesia banyak dijumpai endometritis subklinis yang berakibat 80% repeat breeding.
3. Gangguan reproduksi berdasarkan penyebab
Gangguan reproduksi berdasarkan penyebab, dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Gangguan reproduksi yang disebabkan oleh infeksi agen penyakit yang menyerang organ reproduksi.
Secara spesifik (Brucellosis, vibriosis, leptospirosis, tuberkulosis, dll)
11 a. Gangguan reproduksi yang disebabkan non infeksi
Kongenital Nutrisi
B. Penanganan Gangguan Reproduksi
a. Terapi
Ternak yang mengalami gangguan reproduksi akan diterapi dengan perlakuan dan pengobatan, proses kesembuhan bervariasi tergantung permasalahan reproduksinya sehingga memerlukan waktu dan penanganan bertahap minimal 1 - 2 kali terapi disertai pemantauan yang intensif. Selanjutnya sapi yang telah dilakukan tindakan perbaikan atau terapi dan dinyatakan sembuh dijadikan sebagai akseptor IB atau kawin alam.
b. Pemeriksaan Ulang Gangguan Reproduksi
Sapi yang tidak sembuh pada terapi pertama sebagaimana pada poin b di atas dilakukan pemeriksaan dan terapi kedua. Sapi yang dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan kedua tersebut dijadikan sebagai akseptor IB atau kawin alam. Sementara Sapi yang tidak sembuh pada terapi kedua, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan terapi ketiga. Sapi yang dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan ketiga tersebut dijadikan sebagai akseptor IB atau kawin alam. Sementara sapi yang tidak disembuh dinyatakan sebagai sapi tidak produktif atau mengalamai gangguan reproduksi permanen.
Dengan demikian, pada kegiatan penanganan gangguan reproduksi tahun 2017 akan dilakukan pemeriksaan dan terapi gangguan reproduksi sebanyak 2 – 3 kali.
c. Tindak lanjut terhadap sapi yang dinyatakan sembuh
12 BAB III.
SUMBER DAYA
A. Penetapan Petugas Pelaksana Penanganan Gangguan Reproduksi Penetapan petugas pelaksana penanganan gangguan reproduksi dilakukan dengan mengoptimalkan Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) melalui identifikasi, mobilisasi sumberdaya kesehatan hewan dan peningkatan kompetensi petugas puskeswan.
1) Optimalisasi pelayanan Pusat Kesehatan Hewan a. Identifikasi
Identifikasi dilakukan untuk memetakan ketersediaan Puskeswan dan petugas lapangan sebagai ujung tombak pelaksanaan kegiatan UPSUS SIWAB. Untuk mensinkronkan kegiatan di lapangan, puskeswan akan difungsikan sebagai koordinator pelayanan yang mencakup kesehatan hewan, gangguan reproduksi, IB, pemeriksaan kebuntingan, pakan, pendataan, dan pelaporan di wilayah kerjanya. Dengan demikian puskeswan berperan sebagai pusat data dan informasi pelaksanaan kegiatan UPSUS SIWAB.
b. Mobilisasi sumberdaya Puskeswan.
Dalam rangka mensukseskan kegiatan UPSUS SIWAB bentuk layanan dilakukan secara terjadwal, serentak dan terintegrasi dengan mengoptimalkan peran puskeswan sebagai sentra UPSUS SIWAB. Mobilisasi dapat dilakukan apabila di suatu wilayah yang telah ditetapkan sebagai wilayah UPSUS SIWAB tidak terdapat puskeswan dan/atau sumberdaya, maka dapat menugaskan puskeswan dan/atau sumberdaya Puskeswan terdekat.
c. Peningkatan kompetensi petugas Puskeswan.
Keberhasilan UPSUS SIWAB tidak terlepas dari kompetensi dan komitmen para petugas pelaksana lapangan. Peningkatan kompetensi petugas puskeswan dilakukan melalui bimbingan teknis. B. Penyediaan bahan, peralatan dan obat-obatan
1) Melakukan inventarisasi kebutuhan bahan, peralatan dan obat-obatan untuk pelaksanaan kegiatan.
2) Penyediaan bahan, peralatan dan obat-obatan C. Biaya operasional
13 BAB IV.
MANAJEMEN OPERASIONAL
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan dibentuk Tim baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
1. Tim pelaksana administratif berdasarkan tugas, tanggung jawab dan kewenangan antara lain:
a. Tingkat Pusat
Tim pelaksana administratif tingkat pusat dikoordinasikan oleh Direktorat Kesehatan Hewan, memiliki tugas dan peran sebagai berikut:
1. Menyusun perencanaan program dan anggaran 2. Menyusun Pedoman Pelaksanaan Kegiatan
3. Membuat SK tim pelaksana administratif ditandatangani oleh Direktur Kesehatan Hewan.
4. Menetapkan wilayah sasaran kegiatan nasional 5. Melakukan pembinaan dan pengawasan
6. Melakukan sosialisasi dan koordinasi kegiatan tingkat provinsi 7. Melakukan monitoring dan evaluasi
8. Pelaporan nasional b. Tingkat Provinsi :
Tim Pelaksana Administratif tingkat provinsi yang dikoordinasikan oleh Dinas Provinsi yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan yang memiliki tugas dan peran sebagai berikut: 1. Menyusun perencanaan program dan anggaran
2. Membuat matriks pelaksanaan kegiatan
3. Menginventarisasi data petugas kesehatan hewan kompeten di bidang reproduksi ternak tingkat provinsi
4. Membuat SK tim pelaksana yang ditandatangani oleh Kepala Dinas
5. Menetapkan wilayah sasaran kegiatan lingkup provinsi 6. Melakukan pembinaan dan pengawasan
7. Melakukan Sosialisasi dan Koordinasi Kegiatan tingkat provinsi dan kabupaten/kota
8. Melakukan penyegaran/training tim pelaksana Penanganan gangrep kabupaten/kota
9. Melakukan monitoring dan evaluasi 10. Pelaporan secara berjenjang. c. Tingkat Kabupaten/Kota
Tim Pelaksana Administraif Kabupaten/Kota adalah Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan yang memiliki tugas dan peran sebagai berikut: 1. Menginventarisasi data petugas kesehatan hewan yang
14 2. Menetapkan wilayah sasaran kegiatan lingkup
kabupaten/kota
3. Membuat SK tim pelaksana yang ditandatangani oleh Kepala Dinas
4. Melakukan pembinaan dan pengawasan kepada petugas teknis lapangan
5. Melakukan sosialisasi dan koordinasi kegiatan ke kelompok ternak dan masyarakat
6. Melakukan monitoring dan evaluasi 7. Pelaporan secara berjenjang.
2. Tim pelaksana operasional teknis melaksanakan tugas, tanggung jawab dan kewenangan sebagai berikut:
a. Menyusun rencana kerja teknis
b. Melaksanakan koordinasi sesuai jenjang
c. Memeriksa dan mendiagnosa status reproduksi ternak d. Mengobati gangguan reproduksi ternak
e. Mengambil sampel dan pengujian laboratorium
f. Menerbitkan Surat Keterangan Status Reproduksi (SKSR) g. Membuat laporan kegiatan
Skema Operasional Tim Kerja
Inventarisasi
DITJEN PETERNAKAN DAN KESWAN
Monitoring dan
Gambar 3. Skema Operasional Kerja Catatan
15 BAB V
MEKANISME KERJA
A. Penetapan Status Reproduksi
Penetapan status Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau dilakukan melalui 2 (dua) kegiatan, yaitu pemeriksaan status reproduksi dan penetapan status reproduksi.
1) Pemeriksaan status reproduksi
Pemeriksaan dalam rangka penetapan status reproduksi ternak sapi dan kerbau dilakukan dengan cara palpasi rectal atau menggunakan alat
ultrasonografi yang dilakukan oleh Petugas PKb, ATR, atau Medik
Reproduksi.
2) Penetapan status reproduksi
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, status reproduksi sapi atau kerbau akan diketahui, yaitu:
a. Kelompok Body Condition Score (BCS) di bawah 2,0. Kondisi berat badan sapi yang mengalami kekurangan gizi berat sehingga mengakibatkan kekurangan berat badan ideal untuk berfungsinya sistem reproduksi. Pada kelompok tersebut, ditetapkan bahwa sistem reproduksi baru dapat dinormalkan kembali setelah BCS dapat ditingkatkan hingga 2,0.
b. Kelompok Body Condition Score (BCS) di atas atau sama dengan 2,0. Kondisi berat badan sapi minimal untuk berfungsinya sistem reproduksi. Apabila ditemukan kondisi sapi yang mengalami gangguan reproduksi, kondisi tersebut dinilai masih dapat disembuhkan hingga menjadi normal kembali. Penetapan status reproduksi pada kelompok ini adalah sebagai berikut:
b.1. bunting,
b.2. tidak bunting dengan status reproduksi normal; b.3. tidak bunting dengan status mengalami gangrep;
b.4. tidak bunting dengan status mengalami gangrep permanen.
c. Penerbitan Surat Keterangan Status Reproduksi (SKSR)
Berdasarkan hasil penetapan status reproduksi sapi dan kerbau sebagaimana pada poin 2.b di atas, maka diterbitkan SKSR yang menerangkan kondisi sapi sebagai berikut:
a. bunting
16 c. tidak bunting dengan status mengalami gangrep, ditetapkan
sebagai target Gangrep; atau
d. tidak bunting dengan status mengalami gangrep permanen, diberikan surat keterangan tidak produktif.
Hasil pemeriksaan status reproduksi dilakukan oleh Petugas PKb, ATR dan medik reproduksi. Apabila dilakukan oleh petugas PKb atau ATR, direkomendasikan kepada Medik Reproduksi sebagai dasar penetapan Surat Keterangan Status Reproduksi (SKSR). Penetapan status reproduksi dilaksanakan mulai dari seleksi BCS hingga pemeriksaan pertama untuk mengetahui status normal (bunting atau tidak bunting) dan tidak normal. Selanjutnya sebagaimana pada gambar 4.
Setiap sapi/kerbau yang diberikan penetapan status reproduksi dan belum memiliki nomor ear tag dan Nomor Kartu Ternak yang dikeluarkan ISIKHNAS, harus diberikan:
ear tag atau neck tag
Nomor Kartu Ternak yang didaftarkan melalui ISIKHNAS
B. Penanganan Gangguan Reproduksi
Mekanisme kerja penanganan gangguan reproduksi dilakukan secara bertahap yaitu melalui :
a. Surveillans Gejala Klinis berdasarkan anamnese peternak
Surveillans gejala klinis dilaksanakan sebagai seleksi awal atau sebagai dasar untuk penanganan gangguan reproduksi. Kriteria ternak yang akan dijadikan sebagai target penanganan gangguan reproduksi adalah:
a. Setelah 14 hari melahirkan b. Ada discharge abnormal c. Ada siklus estrus abnormal
d. Estrus tidak teramati setelah 50 hari melahirkan e. Dikawinkan 2 kali tidak bunting
f. Setelah 2 bulan di IB
g. Sapi yang bunting lebih dari 280 hari
h. Sapi yang mengalami abortus, prematur atau lahir mati b. Pemeriksaan dan penentuan diagnosa status reproduksi,
Pemeriksaan dilakukan terhadap sapi betina produktif yang memperlihatkan kriteria gangguan reproduksi. Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan status reproduksinya dan status kesehatan ternak khususnya terhadap ada tidaknya infeksi penyakit terutama Brucellosis.
Pemeriksaan status reproduksi dilakukan dengan cara:
17 Palpasi per rektum dan per vaginam
Sonologi dengan menggunakan alat ultrasonografi (bila tersedia) Laboratoris dengan pengambilan dan pemeriksaan sampel
darah, feses dan lendir vagina (discharge vagina)
Penentuan diagnosa dilakukan oleh medik reproduksi sesuai dengan hasil pemeriksaan fungsi organ reproduksi.
c. Penanganan Gangguan Reproduksi,
Tindakan penanganan gangguan reproduksi dijadikan sebagai dasar dalam penentuan ternak yang dapat disembuhkan (fausta) atau tidak dapat disembuhkan (infausta). Keberhasilan penanganan gangguan reproduksi dinyatakan berhasil apabila kondisi ternak menunjukkan gejala estrus.
Setiap sapi/kerbau yang diberikan penetapan status reproduksi dan belum memiliki nomor ear tag dan Nomor Kartu Ternak yang dikeluarkan ISIKHNAS, harus diberikan:
ear tag atau neck tag
Nomor Kartu Ternak yang didaftarkan melalui ISIKHNAS
d. Tingkat Keberhasilan Kesembuhan.
Keberhasilan kesembuhan dari penanganan gangguan reproduksi dinyatakan setelah dilakukan pemeriksaan dan tindakan pengobatan 2-3 kali.
Penanganan gangguan reproduksi dilaksanakan mulai pemeriksaan II hingga pemeriksaan ke III. Selanjutnya sebagaimana gambar 4.
C. Pemberian Pakan Konsentrat
Setiap sapi/Kerbau yang didiagnosa hypofungsi uteri dan mengalami kekurangan gizi (mal nutrisi) diberikan pakan konsentrat selama berkisar 3 bulan. Pemberian pakan konsentrat dianggarkan dari kegiatan dibawah Direktorat Pakan Ditjen PKH.
D. Pemberian Feed Suplement
19 BAB VI
OPERASIONAL KEGIATAN
Kegiatan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu persiapan dan pelaksanaan, yaitu:
1) Tahap Persiapan
a. Sosialisasi Kegiatan
Sosialisasi kegiatan berupa Rapat Koordinasi dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan yang dihadiri oleh Perwakilan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjennak dan Keswan (sebagai koordinator kegiatan), Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan serta perwakilan petugas teknis lapangan (Inseminator, PKb, ATR, Recorder, Medik dan Paramedik). Pada rapat tersebut dapat disosialisasikan Pedoman Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau.
b. Penentuan dan Pembentukan Tim Pelaksana
Kegiatan ini diawali dengan inventarisasi data petugas kesehatan hewan dan reproduksi sebagai tim pelaksana administratif dan operasional teknis. Tim operasional teknis beranggotakan petugas teknis Dinas Peternakan Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskeswan yang terdiri dari Dokter Hewan, ATR, dan PKB yang dikoordinasikan oleh Dokter Hewan. Adapun persyaratan yang ditetapkan untuk Tim Operasional Teknis adalah sebagai berikut:
1. Ketua Tim adalah petugas yang memiliki kompetensi manajemen di bidang reproduksi.
2. Anggota Tim adalah petugas teknis (medik reproduksi dan asisten teknis reproduksi) yang memenuhi persyaratan keterampilan di bidang reproduksi.
c. Penentuan wilayah sasaran
Penentapan wilayah sasaran berdasarkan persyaratan, antara lain:
1. Wilayah dengan potensi populasi ternak betina tinggi 2. Wilayah dengan lokasi dengan tingkat kebuntingan rendah 3. Wilayah dengan data kasus gangguan reproduksi yang relatif
tinggi
20 e. Pengadaan Barang
Penyediaan barang dan bahan operasional kegiatan dilaksanakan melalui proses pengadaan barang sesuai peraturan yang berlaku. Pemilihan bahan operasional didasarkan atas azas efektif dan efisien.
2) Tahap Pelaksanaan
Adapun tahapan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan skema berikut :
Gambar 5. Skema Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
21 b. Operasional
1. Penentuan diagnosa status reproduksi ternak
Penentuan diagnosa status reproduksi ternak dilakukan oleh tim operasional teknis. Anamnese dan pemeriksaan klinis menjadi dasar penentuan status reproduksi ternak.
2. Analisis hasil pemeriksaan
Apabila ditemukan adanya gangguan reproduksi pada ternak, petugas medik reproduksi memeriksa jenis gangguan reproduksi yang dialami oleh ternak tersebut.
3. Perlakuan/Treatment
Ternak dengan diagnosa gangguan reproduksi non permanen dilakukan penanganan gangguan reproduksi 2 sampai dengan 3 kali penanganan.
a. Penanganan tahap pertama, dilakukan terhadap ternak dengan diagnosa gangguan reproduksi non permanen. Ternak yang dinyatakan sembuh akan dilakukan sinkronisasi, kawin alam atau inseminasi buatan sesuai dengan tahap siklus estrusnya. Sedangkan ternak yang dinyatakan tidak sembuh dilanjutkan ke penanganan tahap kedua.
b. Penanganan tahap kedua, dilakukan terhadap ternak yang dinyatakan tidak sembuh pada tahap pertama. Ternak yang berhasil disembuhkan akan dilakukan sinkronisasi, kawin alam atau inseminasi buatan sesuai dengan tahap siklus estrusnya. Sedangkan ternak yang dinyatakan tidak sembuh dapat dilanjutkan ke penanganan tahap ketiga.
c. Penanganan tahap ketiga, dapat dilakukan terhadap ternak yang dinyatakan tidak sembuh pada tahap kedua. Ternak yang berhasil disembuhkan akan dilakukan sinkronisasi, kawin alam atau inseminasi buatan sesuai dengan tahap siklus estrusnya. Sedangkan ternak yang dinyatakan tidak sembuh direkomendasikan sebagai ternak untuk dipotong. c. Pendataan Hasil
22 Penentuan Status Reproduksi Ternak
a) Data ternak yang disurveilans berdasarkan anamneses b) Data ternak yang memiliki BCS dibawah 2.0
c) Data ternak yang memiliki BCS diatas sama dengan 2.0 c).1. Data ternak dengan status reproduksi normal c).2. Data ternak dengan status gangguan reproduksi Penanganan Gangrep Tahap Pertama
a) data ternak yang dilakukan pemeriksaan organ reproduksi (ekor).
b) Data penanganan gangrep tahap pertama (ekor),
c) data kesembuhan penanganan gangrep tahap pertama (ekor),
d) data ketidaksembuhan penanganan gangrep tahap pertama (ekor),
e) data IB atau kawin alam dari ternak yang sembuh pada penanganan gangrep tahap pertama (ekor),
Penanganan Gangrep Tahap Kedua
a) Data penanganan gangrep tahap kedua (ekor),
b) data kesembuhan penanganan gangrep tahap kedua (ekor), c) data ketidaksembuhan penanganan gangrep tahap kedua
(ekor),
d) data IB atau kawin alam dari ternak yang sembuh pada penanganan gangrep tahap pertama (ekor),
Penanganan Gangrep Tahap Ketiga
a) Data penanganan gangrep tahap ketiga (ekor),
b) data kesembuhan penanganan gangrep tahap ketiga (ekor), c) data ketidaksembuhan penanganan gangrep tahap ketiga
(ekor),
23 BAB VII
JADWAL KEGIATAN
Tahapan kegiatan Penanganan Gangguan Reproduksi seperti pada tabel 1, dengan jadwal pelaksanaan seperti berikut :
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Bulan ke 1-3.
Persiapan administrasi, pengumpulan data, identifikasi ternak betina produktif yang bunting dan tidak bunting, analisa permasalahan/penyebab.
Bulan ke 4-6.
Pemeriksaan status reproduksi, penentuan diagnosa kelompok ternak di wilayah sasaran dan treatment ternak yang mengalami gangguan reproduksi.
Bulan ke 7-9.
Pengamatan tindak lanjut treatment pengobatan bagi ternak yang mengalami gangguan reproduksi.
Bulan ke 10.
Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan.
No Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Persiapan
2. Pelaksanaan 3. Evaluasi dan
24 BAB VIII
PENGENDALIAN, PENGAWASAN SERTA INDIKATOR KEBERHASILAN
Mengingat kegiatan operasional Penanggulangan Gangguan Reproduksi melibatkan banyak pihak, maka dalam pelaksanaan pengendalian mengacu pada Sistem Pengendalian Internal (SPI) agar pelaksanaan kegiatan tersebut dapat efektif dan efisien. Sistem Pengendalian Internal dilakukan melalui 5 unsur SPI yaitu 1. Lingkungan Pengendalian, 2. Penilaian Risiko, 3. Kegiatan Pengendalian, 4. Informasi dan Komunikasi, dan 5. Pemantauan Pengendalian Internal.
Lingkungan pengendalian dalam penanganan gangguan reproduksi dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang terlibat dalam pelaksanaan memberikan keyakinan yang memadai dan telah terbangun sistem pengendalian intern yang efektif yang melekat sepanjang kegiatan. Lingkungan pengendalian terdiri dari Organisasi, Sumber Daya Manusia,Kebijakan, dan Prosedur.
a. Organisasi dapat dicerminkan dari adanya penetapan lembaga yang akan berperan, penetapan surat keputusan lembaga/petugas yang terbentuk dalam tim pusat sampai dengan tim pelaksana daerah dengan peran dan tanggung jawab dan tata hubungan kerja serta uraian tugas yang jelas.
b. Sumber Daya Manusia yang ditunjuk dengan jumlah dan kompetensi yang sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing sehingga dapat melaksanakan kegiatan dari mulai perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pengawasan dan pelaporan.
c. Kebijakan ditetapkan dalam pedoman/petunjuk/Surat keputusan yang jelas sehingga dapat dipakai acuan pelaksanaan dengan prinsip rasional, tertib, efektifitas, efisiensi, produktivitas dan transparan.
d. Proseduryang berupa urutan kegiatan atau rangkaian aktivitas secara berurutan, yang harus ada dan tertulis untuk dilaksanakan oleh petugas dengan peralatan dan waktu tertentu yang dibuat sederhana dan mudah dimengerti.
Penilaian risiko merupakan kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran program/kegiatan penanganan gangguan reproduksi. Untuk penanganan risiko perlu penerapan manajemen pengelolaan risiko dengan cara menangani semua risiko baik dari dalam maupun luar organisasi dilakukan melalui tahapan:
a. identifikasi risiko(penetapan titik kritis dan menyusun daftar risiko), b. penanganan risiko,
c. pemantauan dan evaluasi terhadap penanganan risiko.
25 1. Pedoman/petunjuk teknis pelaksanaan yang mudah digunakan sebagai
acuan.
2. Keterlambatan proses pengadaan sarana dan prasarana. 3. Sarana dan prasarana yang tidak sesuai yang diperlukan.
4. Keterlambatan sosialisasi kegiatan di tingkat provinsi/Kab/kota/ Pelaksana.
5. Kurangnya data dan informasi terkait populasi yang mengalami gangguan reproduksi.
6. Ketidaktepatan diagnosa pemeriksaan status reproduksi. 7. Ketidaktepatan pemberian treatment.
8. Tidak ada Recording data atau ada data yang kurang lengkap. 9. Komitmen waktu pelayanan oleh petugas.
10. Pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan jadwal palang yang telah ditetapkan dan yang telah diinformasikan.
Kegiatan pengendalian merupakan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif.Kegiatan pengendalian dilakukan oleh atasan langsung dalam bentuk pengendalian atasan langsung dan oleh tim pengawas kegiatan yang ditunjuk. Pengendalian dilakukan untuk mengetahui perkembangan kemajuan pelaksanaan program dan kegiatan penanganan gangguan reproduksi yang antara lain :
a. Mengetahui sedini mungkin hambatan yang terjadi atau mungkin akan terjadi dalam pelaksanaan penanganan gangguan reproduksi kegiatan serta memberikan jalan pemecahannya;
b. Mencegah atau mengurangi terjadinya penyimpangan-penyimpangan; c. Mengevaluasi apakah pencapaian hasil sesuai dengan yang telah
ditetapkan;
d. Memperoleh masukan bagi penyempurnaan program dan kegiatan penanganan gangguan reprodukis yang akan datang;
e. Mengevaluasi maksud dan tujuan penanganan gangguan reproduksi; dan f. Penilaian terhadap kegiatan pengendalian dilakukan untuk mengukur
tingkat efektifitas dan memberi keyakinan bahwa kegiatan pengendalian oleh instansi pemerintah telah dilakukan secara tepat dan memadai baik terhadap implementasi pengendalian internal, pencapaian tujuan, keandalan laporan keuangan dan laporan teknis kegiatan yang sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
Pimpinan Satuan Kerja/Penanggungjawab/Kutua Tim Penanganan Gangguan Reproduksi wajib melakukan pengendalian terhadap tahapan kegiatan yang memiliki risiko dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah.
26 Pengendalian hanya bisa dilaksanakan apabila sudah diketahui Indikator Keberhasilan penanganan gangguan reproduksi. Indikator keberhasilan antara lain meliputi :
1) Perbaikan status kesehatan umum. 2) Peningkatan BCS atau SKT.
3) Pulihnya kembali siklus estrus normal. 4) Timbulnya gejala birahi normal.
5) Dapat dilakukan IB.
6) Menurunnya kejadian abortus dan stillbirth.
7) Kelahiran pedet normal.
8) Menurunnya kejadian patologis kebuntingan, patologis kelahiran dan patologis pasca beranak.
9) Peningkatan kinerja reproduksi, mendekati slogan satu induk-satu pedet-satu tahun.
Informasi dan komunikasi, Informasi adalah data yang telah diolah yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka penanganan gangguan reproduksi. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian pesan atau informasi dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik hasil penanganan gangguan reproduksi. Untuk mendapatkan informasi yang optimal perlu penerapan system informasi data/hasil recording mulai data populasi target, wilayah penanganan gangguan reproduksi dan pelaporan secara menyeluruh yang dapat dikomunikasikan secara baik terhadap semua tim yang terlibat dalam organisasi penanganan gangguan reproduksi.
Pemantauan merupakan proses penilaian atas mutu kinerja Sistem Pengendalian Intern dan proses yang memberikan keyakinan bahwa temuan audit dan evaluasi lainnya segera ditindaklanjuti.
Unsur pemantauan dapat dibagi menjadi 3 sub unsur, yaitu :
a. pemantauan berkelanjutan, Pemantauan melalui laporan berkelanjutan baik laporan mingguan setiap pelaksanaan kegiatan, bulanan, triwulan dan tahunan.
b. evaluasi terpisah dilakukan reviu oleh penanggungjawab kegiatan/tim Pengawas, Tim Satlak PI, Inspektorat Jenderal dan BPK-RI, dan
27 BAB IX.
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
A. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan penanganan gangguan reproduksi dilakukan secara reguler oleh tim pelaksana administrasi. Monitoring dan evaluasi secara periodik dan/atau sewaktu-waktu sesuai dengan jadwal pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh tim pelaksana operasional teknis, sehingga perkembangan kegiatan akan terus termonitor.
Evaluasi pelaksanaan kegiatan dimaksudkan untuk mengetahui secara akurat realisasi kegiatan serta mengetahui kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan. Hasil evaluasi diformulasikan dalam bentuk laporan, merupakan data dan informasi untuk bahan koreksi pelaksanaan kegiatan, dan untuk perbaikan kegiatan di masa yang akan datang. Pedoman ini dapat berubah setelah mendapatkan hasil evaluasi penerapan kegiatan di lapangan.
B. Pelaporan
Pelaporan sangat diperlukan untuk mengetahui perkembangan kinerja kegiatan. Hasil pelaksanaan kegiatan dilaporkan secara berjenjang. Untuk itu perlu ditetapkan mekanisme sistem pelaporan sebagai berikut :
1. Bagi tim operasional lapangan harus langsung melaporkan hasil pemeriksaan setelah selesai pelaksanaan kegiatan kepada penanggungjawab data dan pelaporan dan melalui I-SIKHNAS.
2. Tim penanggungjawab data dan pelaporan lapangan wajib melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan setiap bulan di minggu pertama setiap kepada Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Dinas Provinsi dan UPT Veteriner. Dinas Kabupaten/Kota melakukan rekapitulasi seluruh laporan perkembangan yang diterima dari petugas di lapangan untuk disampaikan ke Dinas Provinsi setiap bulan;
3. Dinas Provinsi melakukan rekapitulasi seluruh laporan perkembangan yang diterima dari Kabupaten/Kota dan selanjutnya setiap triwulan menyampaikan kepada UPT Veteriner dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan cq. Direktur Kesehatan Hewan.
28 BAB X.
PENUTUP
Demikian Pedoman Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau ini disusun untuk dijadikan acuan oleh pelaksana kegiatan baik di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan di lapangan. Pedoman Pelaksanaan ini dapat di jabarkan lebih lanjut dalam bentuk petunjuk teknis oleh Pelaksana kegiatan. Dengan adanya Pedoman Pelaksanaan ini, diharapkan semua pelaksana kegiatan di pusat, provinsi, kabupaten/kota, kelompok pelaksana serta
29 Lampiran 1. Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Kelompok Ternak
Nama Kelompok Ternak : Tanggal Pemeriksaan :
Desa : Kecamatan : Kabupaten/Kota : Provinsi :
Penanggung Jawab Mengetahui
Koordinator
30 Lampiran 2. Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Penanggung Jawab Mengetahui
Koordinator Lapangan
31 Lampiran 3. Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Provinsi
Provinsi :
Penanggung Jawab Mengetahui
Koordinator Lapangan
32 Lampiran 4. Form Pemantauan Hasil Penanganan Gangguan Reproduksi Nasional
Tanggal Pemeriksaan:
JUMLAH PENANGANAN GANGREP SEMBUH JML PENANGAN
JML TERNAK BUNTING SAAT PEMERIKSAAN
Penanggung Jawab Mengetahui
33 Lampiran 5. Data Evaluasi Penanganan Gangguan Reproduksi
(1)
sembuh pada penanganan gangrep II... ..ekor
tidak sembuh pada penanganan gangrep II... ..ekor
% = (7)/(3) x 100
(9)
sembuh pada penanganan gangrep III... ..ekor
% = (9)/(7) x 100
(10)
35 Lampiran 7. Surat Keterangan Status Reproduksi
KOP SURAT
Surat Keterangan Status Reproduksi
Nomor SKSR : …………Yang bertandatangan dibawah ini drh……….., di wilayah………menerangkan bahwa pada
hari…….., tanggal……,bulan…….., tahun……….telah memeriksa hewan dibawah ini :
Jenis Hewan ………….
Menerangkan bahwa hewan tersebut setelah dilakukan pemeriksaan, dinyatakan status reproduksinya *)
1. BCS < 2,0
2. BCS ≥ 2,0
a. Bunting
b. Normal dan Tidak Bunting
c. Tidak Normal/Tidak Produktif Infausta
d. Tidak Normal/Tidak Produktif Fausta
hypofungsi*
Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya
……….,……/……/2017 Tanda tangan
drh………
*) √
* untuk kasus hypofungsi direkap per kab/kota untuk dijadikan sebagai dasar pemberian pakan konsentrat
SKSR dibuat rangkap 4 Form 1 untuk UPT Veteriner Form 2 untuk Dinas
36 Lampiran 8. Daftar Peserta Bimtek Petugas Penanganan Gangguan Reproduksi tahun 2012-2016
DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI 2012
No Nama Peserta Provinsi
1 Drh. Rahmandi Aceh
2 Drh. Muslim Aceh
3 Drh. T. Bahruni Aceh
4 Drh. Chalikul Bahri Sumatera Utara
5 Drh. Ayu Munajah Sumatera Utara
6 Drh. Novia Helentina Sumatera Utara
7 Drh. Taqiyyudin Harahap Sumatera Utara
8 Drh. Rian Arisandy Riau
9 Drh. Aang Kusbiantoro Riau
10 Drh. Ardian N Riau
11 Drh. Devri Franstoyah Sumatera Barat
12 Drh. Dody San Ismail Sumatera Barat
13 Drh. Yasir Irawan Sumatera Barat
14 Drh. Eka Oktarianti Sumatera Barat
15 Drh. Ade Meliala, Msi Sumatera Barat
16 Drh. Devi Irmayeni Sumatera Barat
17 Drh. Rahmi Tamsil Sumatera Barat
18 Drh. Taufiq Asmar Sumatera Barat
19 Drh. Indorizal Sumatera Barat
20 Drh. Rahmat Yusuf Sumatera Barat
21 Drh. Desi Anggraini Jambi
22 Drh. Riki Prayitno Jambi
23 Drh. Fajri Jambi
24 Drh. Efrizal Jambi
25 Drh. Arifkiyanto Jambi
26 Drh. David Viter Olele Bengkulu
27 Drh. Murco Cahyo Lampung
28 Drh. Bambang Primbodo Lampung
29 Drh. Julidarma Lampung
30 Drh. Desi Purnami Lampung
31 Drh. Dewanto Lampung
32 Drh. Budhy Surjaprijadhy Jawa Barat
33 Drh. Dian Daju Jawa Barat
34 Drh. Hendra Komara Jawa Barat
35 Drh. Baruna Febri Yanto Jawa Barat
36 Drh. Rofiq Jawa Barat
37
No Nama Peserta Provinsi
38 Drh. Sri Rahayu DIY
39 Drh. Petra DAK Jawa Tengah
40 Drh. Aldi Salman Jawa Tengah
41 Drh. Eka Setyani Jawa Tengah
42 Drh. Andining Tyas Jawa Tengah
43 Drh. Sri Lestari Jawa Tengah
44 Drh. Winda Titi P Jawa Tengah
45 Drh. Toto Sukarno Jawa Tengah
46 Drh. Tri Wahyu R Jawa Tengah
47 Drh.Yuyun Purwaningsih Jawa Tengah
48 Drh. Ismu Subroto Jawa Tengah
49 Drh. Ari Sulistyo Jawa Tengah
50 Drh. Deni Raditya F Jawa Tengah
51 Drh. Syaiful Ratmus Jawa Timur
52 Drh. Tony Wibowo Jawa Timur
53 Drh. Dhitus Noviayanto Jawa Timur
54 Drh. Moh. Fachrur Rosi Jawa Timur
55 Drh. Muhammad Samsudin Jawa Timur
56 Drh. Rifki Nugroho Jawa Timur
57 Drh. Diah Anggraeni Jawa Timur
58 Drh. Danang Prasetyo Jawa Timur
59 Drh. Rendy Yoenistyawan Jawa Timur
60 Drh. Zulfah Jawa Timur
69 Drh.Magdalena Yuke M Jawa Timur
70 Drh. Imam Alriadi Banten
38
No Nama Peserta Provinsi
81 Drh. Adriya Dhayani Dwi Putri Kalimantan Barat
82 M. Akbar Susanto Kalimantan Selatan
83 Drh. Nanang Sevina Ekafani Kalimantan Selatan
84 Drh. Alex Uria Atmaja Kalimantan Tengah
85 Drh. Linda Widyastuti Kalimantan Timur
86 Drh. Anik Ariswandani Kalimantan Timur
87 Drh. Heriyanti Kalimantan Timur
88 Drh. Al Habib Kalimantan Timur
89 Drh. Yanno Fidunia Gorontalo
90 Drh. Abdullah Saleh Gorontalo
91 Drh. Asrieana S. Dunggio Gorontalo
92 Drh. Faradila Atamimi Maluku
93 Drh. Sugeng Wiyono Maluku Utara
94 Drh. Ni putu Novi Sulawesi Barat
95 Drh. Isnaniah Bagenda Sulawesi Barat
96 Drh. Irwaty Sulawesi Selatan
97 Drh. Endang Lestari Sulawesi Selatan
98 Drh. Mutawadiah Sulawesi Selatan
99 Drh. Abdul Haris Sulawesi Selatan
100 Drh. Marliana Sulawesi Selatan
101 Drh. Sangia Muldjabar Sulawesi Tenggara
102 Drh. Jusriati Sulawesi Tenggara
103 Drh. Louise Kumaunang Sulawesi Utara
104 Drh. Jhon Karundeng Sulawesi Utara
105 Drh. Sabelina Papua
106 Drh. I Nyoman Polos Papua
107 Drh. Marolop Nadeak Papua
108 Drh. Endah Rukmini Y
39 DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN
REPRODUKSI 2013
12 Drh. Iyan Kurniawan Bengkulu
13 Drh. Wenny Haryanti Bengkulu
14 Drh. Getri Grecilia Bengkulu
15 Drh. Sigit Purnomo DIY
16 Drh. Suryanto DIY
17 Drh. Lis Suryani DIY
18 Drh. Ahmad Rasyidi DIY
19 Drh. Andy Prasetyo DIY
20 Drh. Yeni Retno Wati Gorontalo
21 Drh. Fenny Rimporok Gorontalo
22 Drh. Fitasari O Tuna Gorontalo
23 Drh. Diah Rodiah Jawa Barat
24 Drh. Dewi Kusuma W Jawa Barat
25 Drh. Adjeng Resty Fauzy Jawa Barat
26 Drh. Dini Dinarwati Jawa Barat
27 Drh. Moosa Jati Waspodo Jawa Barat
28 Drh. Fida Prawita Jawa Barat
29 Drh. Ahmad Nur Hakim Jawa Barat
30 Drh. Manik Retno Dewati Jawa Barat
31 Drh. Narti Sunarti Jawa Barat
32 Drh. Samsul Rizal Jambi
33 Drh. Joko Handoko Jambi
34 Drh. Togu Permadi Samosir Jambi
35 Drh. Deny Ferdiana Jawa Tengah
36 Drh. Wahyu Hendra K Jawa Tengah
37 Drh. Harmanto Jawa Tengah
40
No Name Provinsi
39 Drh. Arif Rahman Jawa Tengah
40 Drh. Aziz Maulana Jawa Tengah
41 Drh. Diah Rahmawati Jawa Tengah
42 Drh. Anggoro Widi K Jawa Tengah
43 Drh. Aris Susilo Jawa Tengah
44 Drh. Avinda Aji W Jawa Tengah
45 Drh. Aisyah Purnomosari Jawa Tengah
46 Drh. Ummi Hudaefah Jawa Tengah
47 Drh. Damar Dwi Harjanto Jawa Tengah
48 Drh. Suprapto Jawa Tengah
49 Drh. Keki Riza Murti Jawa Tengah
50 Drh. Fathurrahman Jawa Tengah
51 Drh Heri Sularto Jawa Tengah
52 Drh. Ferry A.M Jawa Timur
53 Drh. Pariadi Jawa Timur
54 Drh. Yumananto Jawa Timur
55 Drh. Katik Endah Utami Jawa Timur
56 Drh. Eko Yuli Santoso Jawa Timur
57 Drh. Defi Aqsha Saputra Jawa Timur
58 Drh. Reni Rahmaningsih Jawa Timur
59 Drh. Dony Bindariyanto Jawa Timur
60 Drh. Siska Mahargian F Jawa Timur
61 Drh. Bambang Dwi Sasongko Jawa Timur
62 Drh. Moh. Abd. Hamid Jawa Timur
63 Drh. R. Silvia Yulianti Jawa Timur
64 Drh. Melati Jawa Timur
65 Drh. Lilla Prita Muda Wardani Jawa Timur
66 Drh. Novita Rahmawati Jawa Timur
67 Drh. Gesang Dwi Sasongko Jawa Timur 68 Drh. Huibert Hendrian Umboh Kalimantan Barat 69 Drh. Vingga Wahyuli K Kalimantan Barat
70 Drh. Iwan Kusuma Kalimantan Barat
71 Drh. Tri Budi Setiawan Kalimantan Selatan
72 Drh. Ali Mubin Kalimantan Selatan
73 Drh. Riche Victorina Kalimantan Selatan
74 Drh. Santoso Kalimantan Tengah
75 Drh. Noviyanti Kalimantan Tengah
76 Drh. Eva Masnawati Purba Kalimantan Timur
77 Drh. Ridha Chalifah Kalimantan Timur
78 Drh. Dwi Heru Widyanto Kalimantan Timur
41
No Name Provinsi
80 Drh. Ira Kartikasari Kalimantan Timur
81 Drh Sistomo Adi Nugroho Kalimantan Timur
82 Drh. Eny Widayati Kalimantan Timur
83 Drh. Ardi Abdillah Kep Riau
84 Drh. Teuku Taufik Ardiansyah Kep Riau
85 Drh. Tommy Hartono Lampung
86 Drh. Made Agus Aryadi Lampung
87 Drh. Bagus Setiawan Lampung
88 Drh. Elvia Syahrini Primadona Lampung
89 Drh. Eva Yulianti Lampung
90 Drh. Kunta Maluku
91 Drh. R. Dendi. M Maluku
92 Drh. Merlin Jacobus Maluku
93 Drh. Elin M. Thamrin Maluku
94 Drh. M. Hasbi P NTB
95 Drh. Andhista Gusviarini NTB
96 Drh. Maratun Jannah NTB
105 Drh. Andreas Morentino NTT
106 Drh. Marolop Nodeale Papua
107 Drh. Sri Utami Papua
108 Drh. Fitria Sayuri Papua
109 Drh. Adorsina Wompere Papua
110 Drh. Eko Cahyono Riau
111 Drh. Wahyu Samurwat Riau
112 Drh. Fran Deviyanto Riau
113 Drh. Taufiq Bahar Riau
114 Drh. Mus Afandi Rizal Riau
115 Drh. Ade Nurbayanti Sulawesi Barat
116 Drh. Isnaniah Bagenda Sulawesi Barat
117 Drh. Nurmayani Sulawesi Selatan
118 Drh. Marliana Sulawesi Selatan
119 Drh. Bone Ramadhan Sulawesi Selatan
42
No Name Provinsi
121 Drh. Ridwan Gaffar Sulawesi Selatan
122 Drh. Nurdin Sulawesi Selatan
123 Drh. Elvi Martina Sulawesi Selatan
124 Drh. Muhammad Faqih Mappatunru Sulawesi Tengah
125 Drh. Anang Sulawesi Tengah
126 Drh. Tiwuk Wulan Sari Sulawesi Tengah
127 Drh. Susilowati Sulawesi Tengah
128 Drh. Titi Novianti Sulawesi Tengah
129 Drh. Junaedy R Sulawesi Tenggara
130 Drh. Arief Budi P Sulawesi Tenggara
131 Drh. Asifun Sulawesi Tenggara
132 Drh. Wa Ode Yusran Sulawesi Tenggara
133 Drh. Ketut Wahyudiarta Sulawesi Utara 134 Drh. Mokhamad Joko Purnomo Sulawesi Utara
135 Drh. Efal Afriandoni Sumatera Barat
136 Drh. Andriani Sumatera Selatan
137 Drh. Sapta Rianto Sumatera Selatan
138 Drh. Sutarno Sumatera Selatan
43 DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN
REPRODUKSI 2014
No Nama Peserta Provinsi
1 Drh. Usman Aceh
2 Drh. Zoel Fadli Aceh
3 Drh. Gunjal Ritonga Sumatera Selatan
4 Drh. Dwi Christy Pertika Sumatera Selatan
5 Drh. Hayatul Fitro Sumatera Barat
6 Drh. Zairan A Bengkulu
7 Drh. Ferdi Ferfian Bengkulu
8 Drh. Dwi Kurniawati Bengkulu 9 Drh. Okman Eka Putra Bengkulu 10 Drh. Triyano Bengkulu 11 Drh. Henny Kusuma Dewi Bengkulu
12 Drh. Janto Jambi
13 Drh. Endang Setianingsih Jambi
14 Drh. Abdul Roni Jambi
20 Drh. Hermyn Febrianti Kepri
21 Drh. Tondi Prawira Lubis Riau
22 Drh. Muamma Mufti Riau
23 Drh. Fran Deviyanto Riau
24 Drh. Yudi Kurniawan Riau
25 Drh. Reni Fajarwati Lampung
26 Drh. Nusaibah Nurayati Lampung
27 Drh Kurnia Nurwulantri Ws Lampung
28 Drh Alfiah Yeti N Lampung
29 Drh. Tutur Kristanto Banten
30 Drh. Ayu Puspariana Banten
31 Drh. Intan Widianingrum Jawa Barat 32 drh. Azwar Jawa Barat
39 Drh. Septyadi agung Laksono Jawa Barat
40 Drh. Any Setiyowati Jawa Tengah
41 Drh. Ali Hujarat Jawa Tengah
42 Drh. Rina Luhkito Jawa Tengah
44
No Nama Peserta Provinsi
44 Drh. Sri Maryani Jawa Tengah
45 Drh. Ninik Wirdianingsih Jawa Tengah 46 Drh. Mitta Yuni Lestari Jawa Timur 47 Drh. Retno Wismaningdyah,MM Jawa Timur 48 Drh. Utami Kurniawati,MP Jawa Timur
49 Drh. Ika Puspita Jawa Timur
50 Drh. Retno Wulandari Jawa Timur
51 Drh. Aril Tri Setiyo Perdata Jawa Timur 52 Drh. Sugeng Astri Puspasari Jawa Timur 53 Drh. Ni Made Satriningsih Bali
54 Drh. I Wayan Sutresna Bali
55 Drh. I Nyoman Oka Widiarta Bali
56 Drh. I Gede Suarsadana Bali
57 Drh. I Made Winaya Bali
58 Drh. Antartiningsih DIY
59 Drh. Devy Ardi DIY
86 Drh. Ludi Nurmala Kalimantan Barat
87 Drh. Rosaria Kalimantan Barat
88 Drh. Niken Larasati Kharisma Kalimantan Selatan 89 Drh. I Komang Agus Candra Negara Kalimantan Selatan
45
No Nama Peserta Provinsi
91 Drh. Diah Ardhiningrum Kalimantan Tengah
92 Drh. Endrayatno Kalimantan Tengah
93 Drh. Ivan M Tarigan Kalimantan Timur
94 Drh. Didik K Kalimantan Timur
95 Drh. Tri Widiyanti Kalimantan Timur
96 Drh. A. Amri Marzuki Sulawesi Barat
97 Drh. Arie Rosman Sulawesi Barat
98 Drh. Rinandar S Sulawesi Barat
99 Drh. Rivai S Sulawesi Barat
100 Drh. Hartono Sulawesi Selatan
101 Drh. Abd Haris Sulawesi Selatan
102 Drh. Felisia Mira Anom Sari Sulawesi Selatan 103 Drh. Marliana Sulawesi Selatan 104 Drh. Rusmi Anggraini Kira Sulawesi Selatan 105 Drh. Wirawati Sulawesi Selatan 106 drh. Fitriana Sari Benhur Sulawesi Tenggara
107 Drh. Yulianti Sulawesi Tenggara
108 Drh. Ali Sumarlan Sulawesi Tenggara
109 Drh. Jenny A. Situmeang Sulawesi Utara
110 Drh. Lanivia Sulawesi Utara
111 Drh. Merlin Jacobus Maluku
112 Drh. Naser Efendi Gorontalo
113 Drh. Rifina Murtialmira Gorontalo 114 Drh. Novita Angela Raharusun Papua
46 DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN
REPRODUKSI 2015
No Nama Peserta Provinsi
1 Drh. Harry Setiawan Sumatera Utara
2 Drh. David Viter Olele Bengkulu
3 Drh. Fran Deviyanto Riau
4 Drh. Syaifullah Riau
5 Drh. Hendra Komara Jawa Barat
6 Drh. Rik Rik Baniati Jawa Barat
7 Drh. Agus Toto Tribuono Jawa Tengah
8 Drh. Wahono Jawa Tengah
9 Drh. Aldi Salman Jawa Tengah
10 Drh. Yano Findria DIY
11 Drh. Syaiful Ratmus Jawa Timur
12 Drh. Ferry A.M Jawa Timur
13 Drh. Gunawan Nanang Kalimantan Timur
14 Drh. Ivan M. Tarigan Kalimantan Timur 15 drh. Bambang Muriadi Kalimantan Timur
16 Drh. Irwati Sulawesi Selatan
17 Drh. Saiful Bahri NTB
18 Drh. Eko Juli S Jawa Timur
19 Drh. Danu Ariyanto Jawa Timur
20 Drh. Lilik Prayitno BBVet Medan
21 Drh. Satriyo Setyo Utomo Bvet Subang
22 Drh. Agus Heri S. Bvet Subang
23 Drh. Indarto Sudarsono,MMT BBVet Wates
24 Drh. Suhardi BBVet Wates
25 Drh. Aziz Ahmad Fuady Bvet Banjarbaru
26 Drh. Wahyuni Bvet Maros
27 Drh. Suryananta Bvet Lampung
47
DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI 2016
No Nama Peserta Provinsi
1 Irwin Johan H BPTU HPT Sembawa
2 Ahmad Mike Ariyanto Kalimantan Barat
3 Irvansyah Batubara Sumatera Utara
4 Suryantana Bvet Lampung
5 Berlidianty Lampung
6 Nadia K Lampung
7 Sugito Lampung
8 Fakhruddin Lampung
9 Alriasman Lampung
10 Aan Supriyanto Lampung
11 Sujatmiko Lampung
12 Yudistira BS Lampung
13 Putri N. Inawati Sulawesi Selatan
14 Guswandi Riau
21 Drh. Budi Rahardian; Sulbar
22 Drh. Didik Nurul Hadi Jabar
30 Drh. Eko Budi Priyatmoko Jateng
31 Drh. Ali Makki Jatim
32 Drh. Yusron Wahyudi Jatim
33 Drh. Arisa Diana E Kaltim
34 Drh. Maulana Firmansyah Kaltim
35 Drh. Dyah Noviandari Jateng
36 Drh. Elyda Jateng
37 Drh. Indarto BBVet Wates
38 Drh. Nyoman Dibia Bbvet Denpasar
39 Drh. Gigih Tri Pambudi BBPTUHPT Baturaden 40 Drh. Hapy Wahyuningrum BPTU HPT Pelaihari
41 Drh. Krisna K Jateng
42 Drh. Ahyani Indahwati Jateng
43 Martono Jateng
44 Agus Susanto Jateng
45 M.Ridwan Jateng