12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Kebijakan Pendidikan
Dalam memahami apa itu kebijakan pendidikan,
maka penting untuk mengetahui pengertian kebijakan
publik itu sendiri. George C. Edwards III & Ira
Sharkansky (1978 dalam Amtu 2011) mengemukakan
bahwa kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan
dan dilakukan atau tidak dilakakukan oleh pemerintah.
Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan
program-program pemerintah.
Karena kebijakan pendidikan merupakan bagian
dari kebijakan publik, maka Olsen dkk (dalam Tilaar &
Nugroho, 2008) mengemukakan Kebijakan pendidikan
merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi,
bagi Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga
kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas
utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen
utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai
demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah
demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
Menurut Gaffar (2008), kebijakan pendidikan
berhubungan dengan keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan perbaikan dan penyempurnaan
penyelenggaraan pendidikan. Merujuk pada pendapat
13
pembuat kebijakan untuk memperbaiki pengelolaan
pendidikan di daerah secara baik dan benar sehingga
tujuan yang ingin didapatkan dalam pendidikan dapat
tercapai.
Selanjutnya kebijakan pendidikan menurut Tilaar
(2006) merupakan keseluruhan proses dan hasil
perumusan langkah-langkah startegis pendidikan yang
dijabarkan dari visi dan misi pendidikan dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam
suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Maka penting bagi pemerintah dalam menentukan
langkah strategis kebijakan pendidikan dalam hal ini
penempatan guru yang merata pada setiap tingkat
satuan pendidikan agar kualitas sumber daya
manusia (SDM) yang baik dapat diperoleh oleh setiap
anak bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
yang ingin dicapai.
Kemudian Hamid & Malian (2005) mengatakan
keberhasilan bangsa ini menghadapi tantangan masa
depan abad 21 sangat tergantung pada keberhasilan
pemerintah daerah dalam memperbaiki dan
memperbaharui proses dan hasil pembangunan sektor
pendidikan saat ini.
Selanjutnya, Fattah (2012) lebih menekankan
fungsi sebuah kebijakan dalam pendidikan, antara lain:
1) menyediakan akuntabilitas norma budaya yang
14
2) melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk
mengukur kinerja siswa dan guru.
Oleh karena pendidikan dijalankan melalui
gerakan otonomi daerah atau desentralisasi, maka
menurut pandangan Tilaar (2002 dalam Mashuri
2009), adalah menjadi suatu keharusan untuk segera
diimplementasikan dalam sistem bernegara sebagai
bentuk pertanggungjawaban Pemerintah dalam
membangun masyarakat yang demokratis, masyarakat
berprestasi dan peningkatan daya saing bangsa.
Sehingga dalam konteks kedaerahan, otonomi
pendidikan harus dapat mengakomudir secara fleksibel
berbagai kebutuhan masyarakat di daerah, mampu
menciptakan masyarakat lokal yang berprestasi, dan
mampu meraih kemajuan daerah setempat melalui
suatu kebijakan pendidikan yang tepat.
Melihat bahwa kebijakan pendidikan dijalankan
dalam era otonomi daerah yang bertujuan untuk
mewujudkan berhasilnya tujuan pendidikan nasional
akan sangat bergantung pada keberhasilan pemerintah
daerah dalam memperbaiki keseluruhan proses
pendidikan termasuk didalamnya penataan distribusi
15
2.2
Kebijakan Penempatan Guru di Era
Otonomi Daerah
Dengan lahirnya Undang Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, Pemerintah
telah memberikan sebagian kewenangan serta tugas
kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengelola sistem pemerintahan di daerahnya senidiri,
dengan alasan bahwa daerahlah yang lebih memahami
setiap masalah maupun potensi yang ada dalam
wilayahnya.
Salah satu urusan pemerintahan yang diatur dan
dikelolah oleh daerah adalah bidang pendidikan,
sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintah Daerah pasal 14 ayat 1
disebutkan bahwa Penyelenggaraan Pendidikan
merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Maka
pendidikan merupakan sektor yang utama dan
mendapat perhatian secara kusus dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan yang
menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib
dan urusan pilihan. Urusan wajib sebagaimana
16
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan
dasar. Salah satu bidang yang berkaitan dengan
pelayanan dasar adalah bidang pendidikan. (Pasal 7
ayat 1 dan 2 PP No 38 Tahun 2007).
Dalam bidang pendidikan Pemerintah
kabupaten/kota wajib mengalokasikan
sekurang-kurangnya 20% APBD untuk memenuhi anggaran
pendidikan. Kebijakan ini dilakukan agar sistem
pendidikan nasional di kabupaten/kota yang
bersangkutan dapat dilaksanakan secara efektif,
afesien, dan akuntabel sesuai dengan kebijakan daerah
dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu agar system pendidikan nasional
dapat berjalan dengan baik di daerah, maka penting
bagi pemerintah dalam pemenuhan segala kebutuhan
yang mendukung keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan itu sendiri, salah satunya harus didukung
dengan ketersedian tenaga pendidik yang memadai.
Yang diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
41 ayat 3 ditegaskan bahwa, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan
pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan
yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
17
Proses desentralisasi di Indonesia dimulai pada
tahun 1999, selain mempengaruhi semua proses aspek
penyelenggaraan maupun pelaksanaan pendidikan,
tidak terkecuali juga mempengaruhi reformasi guru
sebagai bagian dari proses ini, sebagian besar tanggung
jawab yang terkait dengan pengangkatan dan
penempatan guru dialihkan dari tingkat nasional ke
tingkat kabupaten/kota.
Badan-badan pemerintah pusat seperti
Kemendiknas, MENPAN, dan BKN tetap memainkan
peran dalam pengangkatan guru pegawai negeri sipil
dan manajemen guru. Namun sebagian besar
tanggung jawab dan kewenangan menegenai
pengangkatan dan penempatan guru pegawai negeri
sipil telah beralih ke tingkat kabupaten/kota.
Dalam pengangkatan serta penempatan guru
dapat dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah
kabupaten/kota, Pemeritah menetapkan kebijakan
teknis dalam penataan dan pemerataan guru PNS,
melalaui Peraturan Bersama Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama Nomor
05/X/PB/2011, SPB/03/M.PAN-RB/10/2011, 48
Tahun 2011, 158/PMK.01/2011, 11 Tahun 2011
18
Sipil. Dan yang sudah efektif dilaksanakan tanggal 2
januari 2012 secara eksplisit menyatakan bahwa:
a. Kebijakan standardisasi teknis dalam penataan
dan pemerataan guru PNS antarsatuan
pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis
pendidikan secara nasional ditetapkan oleh
Menteri Pendidikan Nasional. Demikian juga
Menteri Pendidikan Nasional mengkoordinasikan
dan memfasilitasi pemindahan untuk penataan
dan pemerataan guru PNS pada provinsi yang
berbeda berdasarkan data pembanding dari Badan
Kepegawaian Negara (BKN). Dalam memfasilitasi
penataan dan pemerataan guru PNS di daerah dan
kabupaten/kota, Menteri Pendidikan Nasional
berkoordinasi dengan Menteri Agama.
b. Menteri Agama berkewajiban membuat
perencanaan, penataan, dan pemerataan guru PNS
antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan
antarjenis pendidikan yang menjadi tanggung
jawabnya.
c. Menteri Dalam Negeri berkewajiban untuk
mendukung pemerintah daerah dalam hal
penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan
pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis
pendidikan untuk memenuhi standardisasi teknis
yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional
19
pemerataan guru PNS ini sebagai bagian penilaian
kinerja pemerintah daerah.
d. Menteri Keuangan berkewajiban untuk
mendukung penataan dan pemerataan guru PNS
antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan
antarjenis pendidikan sebagai bagian dari
kebijakan penataan PNS secara nasional melalui
aspek pendanaan di bidang pendidikan sesuai
dengan kemampuan keuangan negara.
e. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi mendukung penataan dan
pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan,
antarjenjang, dan antarjenis pendidikan melalui
penetapan formasi guru PNS.
f. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya membuat perencanaan penataan
dan pemerataan guru PNS antarsatuan
pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis
pendidikan yang menjadi tanggung jawab
masing-masing.
Untuk itu dalam penataan penempatan guru
dapat dijalankan secara baik, pemerintah
kabupaten/kota memiliki tugas seperti yang tercantum
dalam Surat Keputusan Bersama 5 Menteri Tahun
2011 Tentang Penataan dan Pemerataan guru PNS
20
1. Menyusun produk hukum dalam bentuk
peraturan bupati/walikota atau produk hukum
lainnya terkait penataan dan pemerataan guru PNS
yang merujuk pada Peraturan Bersama;
2. Sosialisasi program penataan dan pemerataan
guru PNS diwilayah kabupaten/kota;
3. Verifikasi data guru dan analisis kebutuhan guru
TK, SD, SMP, SMA, dan SMK di setiap satuan
pendidikan di wilayah kabupaten/kota;
4. Penyediaan Peta Guru yang menginformasikan
tentang kelebihan dan/atau kekurangan guru PNS
di wilayah kabupaten/kota dengan tembusan
disampaikan kepada Badan Kepegawaian Daerah
(BKD);
5. Pemindahan guru PNS antarsatuan pendidikan;
6. Penyediaan dana pemindahan guru PNS
antarsatuan pendidikan di wilayah
kabupaten/kota;
Selanjutnya dalam penataan dan pemerataan guru
PNS pada sekolah dasar, di dalam Surat Keputusan
Bersama (SKB) 5 Menteri, disebutkan untuk
kebutuhan guru SD/MI sebagai berikut :
1) Setiap rombel terdiri dari 20-32 siswa yang
diampu oleh 1 (satu) orang guru kelas.
2) Harus menyediakan guru agama dan guru
21
3) Wajib mengajar bagi guru agama dan guru
pendidikan jasmani dan kesehatan (penjaskes)
yang digunakan dalam perhitungan 24 jam tatap
muka perminggu.
4) Menyediakan guru agama sesuai dengan ragam
jenis agama yang dianut peserta didik.
5) Apabila terdapat anak berkebutuhan khusus
dan/atau SD tersebut menyelenggarakan program
pendidikan inklusi, maka SD tersebut harus
menyediakan minimal satu guru pendidikan
khusus per enam rombel, dengan perhitungan jam
setara dengan guru kelas.
Pemberian wewenang mengenai penataan dan
pemerataan guru pegawai negeri sipil (PNS) oleh
pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui SKB 5
Menteri, ini sejalan dengan pendapat Mashuri (2009)
yang mengatakan otonomi pendidikan pada dasarnya
adalah upaya Pemerintah Pusat untuk memberdayakan
daerah melalui pemberian kewenangan penuh kepada
daerah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi
masyarakatnya sesuai dengan kekhasan, kesanggupan,
dan kebutuhan daerah. Alasannya ialah Pemerintah
Daerahlah yang lebih mengetahui segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan pembangunan di wilayahnya.
Dalam konteks inilah sangat diperlukan perangkat
hukum dan kebijakan yang mampu memberikan
22
daerah dalam menyelenggarakan otonomi
pendidikannya termasuk dalam pengelolaan
penempatan guru yang merata.
Kebijakan penataan serta pemerataan guru PNS
melalui SKB 5 Menteri, merupakan salah satu
kebijakan desentralisasi pendidikan dimana
pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam
mengatur segala kebutuhan guru di wilayahnya. Chan
& Sam (2005) mengemukakan kelemahan yang
mungkin timbul dalam implemetasi kebijakan
desentralisasi pendidikan melalui Undang-Undang
Otonomi Daerah adalah:
1. Kurang siapnya SDM daerah terpencil
2. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD),
khususnya daerah-daerah termisikin
3. Mental korup yang telah membudaya dan
mendarah daging
4. Menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus
5. Dijadikan komoditas
6. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan
cukup merepotkan Depdiknas dalam
mengalokasikannya.
Jika daerah ingin mengembangkan pendidikan
secara profesional dalam hal ini penataan tenaga
pendidik, ciri-ciri profesionalisme berikut perlu
diindahkan, agar dunia pendidikan di daerah otonom
23
paham tentang subtansi dan hakikat proses pendidikan
itu sendiri. Menurut Houle (1980 dalam Hamid &
Malian 2005) Ciri-ciri profesionalisme bagi pengelola
pendidikan yang dimaksud meliputi:
1) Harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat
2) Harus berdasarkan atas kompetensi individual
3) Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi
4) Ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar
sejawat
5) Adanya kesadaran profesional yang tinggi
6) Memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik)
7) Memiliki sistem sanksi profesi
8) Adanya militansi individual
9) Memiliki organisasi profesi
Analisa bank dunia (dalam Worldbank document,
2011) tentang pengangkatan dan penempatan guru
dilaksanakan dengan dukungan program pendidikan
dari pemerintah kerajaan Belanda (Dutch Education
Support Program) menegaskan bahwa kelebihan suplai
guru dan penempatan yang tidak merata adalah salah
satu sumber kurang efesiennya sektor pendidikan.
Selain sangat mahal, daerah yang kelebihan suplai
harus berjuang mengatasi rendahnya kehadiran guru,
sementara daerah yang kekurangan guru kelabakan
menggabungkan kelas atau menjalankan dua giliran
kelas (shift) untuk mengatasi kekurangan guru. Solusi
24
setiap guru untuk mencatatkan 24 jam mengajar setiap
minggu agar berhak dapat memperoleh tunjangan
profesi.
Berdasarkan catatan lembaga penelitian SMERU
(2008 dalam Worldbank Document 2011) bahwa
dampak kebijakan yang diluncurkan tahun 2007
tersebut adalah berkurangnya angka absen guru dari
20,1 pada tahun 2003 menjadi 14,8 persen. Kebijakan
ini juga membuat pemerintah kabupaten/kota lebih
memperhatikan penempatan guru di berbagi sekolah.
Suparlan (2005) menjelaskan status guru
mempunyai implikasi terhadap peran dan fungsi yang
menjadi tanggung jawabnya. Guru memiliki kesatuan
peran dan fungsi yang tidak terpisahkan, antara
kemampuan mendidik, membimbing, mengajar, dan
melatih. Keempat kemampuan tersebut merupakan
kemampuan integratif, antara yang satu dengan yang
lain tidak dapat dipisahkan.
Selanjutnya Danim (2011) juga menjelaskan
guru bermakna sebagai pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta
didik pada jalur pendidikan formal. Tugas utama itu
akan efektif jika guru memiliki derajat profesionalitas
tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran,
kecakapan, atau ketrampilan yang memenuhi standar
25
Lebih jelasnya dalam UU No. 14 Tahun 2005
Tentag Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 1 disebutkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Wrightman (1997 dalam Usman 2005)
mengemukakan peran guru adalah terciptanya
serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang
dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta
berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkalaku
dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.
Hamalik (2006), masalah guru merupakan
masalah yang senantiasa mendapat perhatian, baik
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat pada
umumnya dan ahli pendidikan khususnya. Pemerintah
memandang bahwa guru merupakan media yang
sangat penting dalam mengemban tugas-tugas sosial
budaya yang berfungsi mempersiapkan generasi muda,
sesuai dengan cita-cita bangsa.
Dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional
yang diharapkan keberadaan serta peran seorang guru
sangatlah penting, namun secara umum guru yang
tersebar di Indonesia sangat tidak merata. Kurang lebih
26
sementara 34 % (persen) kekurangan. Sebagian besar
sekolah di daerah perkotaan dan sebagian di daerah
pedesaan, mengalami kelebihan jumlah guru,
sementara 66 % (persen) sekolah di daerah terpencil
mengalami kekurangan tenaga guru yang serius.
Kebijakan baru pemerintah, yang menyediakan insentif
finansial tambahan bagi guru yang bekerja di daerah
terpencil merupakan langkah awal yang tepat, tetapi
hal ini hanya akan meningkatkan kualitas pelayanan
jika dibarengi dengan penerapan sistem pemantauan
yang baik, yang idealnya dilaksanakan oleh masyarakat
setempat (Public Disclosure Authorized 38778 v.1).
Chan & Sam (2005) menjelaskan bahwa masalah
kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan
hal yang dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini
memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat
dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang
sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah
pemerataan guru.
Guru akan tersebar dengan lebih merata bila
formula penempatan yang digunakan untuk
mengalokasikan guru ke sekolah, dirubah. Saat ini,
tiap sekolah menerima alokasi standar untuk guru
berdasarkan jumlah kelas, tidak peduli jumlah murid
per kelas. Distribusi guru akan lebih merata jika
jumlah guru ditentukan oleh besarnya jumlah murid,
27
lebih kecil. Reformasi ini bisa dibarengi dengan
memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal
kisaran bidang studi yang harus diajarkan oleh guru
(Public Disclosure Authorized 38778 v.1).
Selanjutya secara umum keberadaan guru di
Indonesia sangatlah beragam, Worldbank Document
(2011) mengememukan komposisi dan karakter tenaga
kerja kependidikan di Indonesia dari segi gender, usia,
tingkat pendidikan, remunerasi, beban kerja, rasio
murid-guru, dan faktor-faktor lain:
1. Gender: Secara umum, perimbangan gender
tenaga kependidikan sangat baik. Namun
sebagian besar kepala sekolah adalah laki-laki.
Begitu pula, guru perempuan lebih banyak
tersebar di wilayah perkotaan, sedangkan guru
laki-laki lebih banyak di wilayah-wilayah terpencil.
2. Usia: Usia sebagian besar guru berkisar antara 35
dan 50 tahun. Fakta ini adalah akibat
pengembangan sekolah dasar besar-besaran yang
terjadi selama tahun 1980-an. Akibatnya, 30
persen guru pegawai negeri sipil ini akan pensiun
dalam 10 tahun. Keniscayaan ini memberikan
sebuah kesempatan unik bagi penataan ulang
tenaga kerja kependidikan.
3. Tingkat pendidikan: Tingkat pencapaian
pendidikan guru secara umum sangat rendah,
28
DIV. Dengan persyaratan baru untuk sertifikasi, proporsi guru yang bergelar S1/D-IV akan
meningkat 5 persen per tahun seiring dengan
masuknya guru-guru baru yang lebih terdidik dan
yang telah meningkatkan kemampuan ke dalam
sistem.
4. Sekolah swasta: Sekitar 48 persen sekolah
dikelola swasta; institutsi-institusi ini melayani 31
persen murid dan mempekerjakan 38 persen dari
keseluruhan guru. Oleh karena itu sekolah swasta
memainkan peran penting dalam sistem
pendidikan nasional. Pemerintah memiliki
hubungan yang unik dengan sekolah-sekolah
swasta dan menempatkan guru pegawai negeri
sipil untuk bekerja di sana. Pemerintah juga
memberikan tunjangan fungsional bagi seluruh
guru sekolah swasta, yang juga berhak
mendapatkan tunjangan sertifikasi. Oleh karena
itu manajemen guru sekolah swasta merupakan
bahan pertimbangan dalam reformasi sistem
pendidikan di negeri ini.
5. Remunerasi: Secara historis gaji guru selalu kecil.
Namun kenaikan gaji pegawai negeri sipil selama
empat tahun terakhir adalah 17 persen setiap
tahun. Sebagai tambahan, perubahan-perubahan
baru-baru ini telah memberikan tunjangan
29
dasar pegawai negeri sipil) dan tambahan
tunjangan baru yang dapat melipatgandakan,
bahkan sampai tiga kali lipat gaji dasar guru,
untuk beberapa situasi tertentu. Dengan
peningkatan ini, gaji guru menjadi semakin baik
dan profesi pengajar menjadi semakin menarik.
6. Beban kerja: Beban kerja guru pada umumnya
sangat rendah, khususnya pada sekolah
menengah, di mana hanya 20 persen guru saja
yang memenuhi ketentuan baru sertifikasi yang
mewajibkan guru mengajar minimum 24 jam per
minggu.
7. Rasio Murid-Guru (Student-Teacher Ratio, STR):
STR di sekolah-sekolah Indonesia jauh lebih
rendah dibanding negara-negara lain. Tren terus
menurunnya rasio ini memunculkan
kekhawatiran akan efisiensi sistem pendidikan.
8. Penyebaran: Bertolakbelakang dengan pandangan
umum, sekolah-sekolah di pedesaan umumnya
tidak kekurangan guru. Yang sering terjadi adalah kekurangan guru yang berkualifikasi. Tingkat pendidikan lebih dari 30 persen guru di
sekolah-sekolah kecil di pedesaan hanya sekolah
menengah saja atau lebih rendah lagi.
9. Proses pengangkatan: Proses ini berbeda-beda
tergantung dari jenis guru. Pada prosedur yang
30
mengangkat guru, namun pemerintah pusat yang
menggaji. Hal ini menciptakan insentif yang buruk
bagi kabupaten/kota untuk terus menambah
jumlah guru pegawai negeri sipil mereka. Jumlah
pengangkatan yang tinggi sejak desentralisasi
pendidikan terjadi pada guru yang diangkat
sekolah, sebagian karena dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang disalurkan ke
sekolah diperbolehkan untuk membiayai hal
tersebut.
Dengan dibuatkannya petunjuk teknis mengenai
penataan dan pemerataan guru melalui surat
keputusan bersama (SKB) 5 menteri, yang didalamnya
menjelaskan proses pelaksanaan penempatan guru
yang merata pada setiap jenjang pendidikan, sangat
penting bagi pelaksana kebijakan di daerah untuk
menindaklanjuti kewenangan yang diberikan dengan
baik sehingga penempatan guru pada setiap jenjang
pendidikan dapat merata sesuai kebutuhan.
Agar penempatan guru dapat dilaksanakan secara
merata dan sesuai kebutuhan, pemerintah daerah
perlu untuk memilih orang-orang yang mempunyai
kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan serta
memiliki kemampuan dalam proses pengelolaan
pendidikan. Dan juga pemerintah selaku pembuat
kebijakan penting untuk melaksanakan pengawasan
benar-31
benar dilaksanakan secara baik tanpa adanya
kepentingan tertentu diluar urusan pendidikan.
2.3
Implementasi Kebijakan
2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang
krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program
kebijakan harus diimplemetasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi
kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan
segera setelah penetapan undang-undang (Winarno,
2012).
Kemudian, Wahab (2012) menganggap
implementasi kebijakan sebagai bentuk
pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas
yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang dan
menjadi kesepakatan bersama diantara beragam
pemangku kepentingan (stakeholder), actor, organisasi
(public atau privat), prosedur, dan teknik secara
sinergistis yang digerakkan untuk bekerjasama guna
menerapkan kebijakan kearah tertentu yang
dikehendaki.
Sementara itu, Grindle (1980 dalam Winarno
2012) mengatakan bahwa secara umum, tugas
implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage)
yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa
direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan
32
membatasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu-individu (atau
kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Ripley & Franklin (1982 dalam Winarno 2012)
berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang
terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang
diberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan
(benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible
output). Implementasi mencangkup tindakan-tindakan
(tanpa tindakan-tindakan) oleh berbagai aktor,
khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk
membuat program berjalan.
Hal ini senada dengan pendapat Van Meter dan
Van Hom (1975 dalam Wahab 2012) yang merumuskan
proses implementasi sebagai “those actions by public or
private individuals (or group) that are directed at the
achievement of objective set fort in prior policy decision”
(tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
indivual/pejabat-pejabat atau kelompok pemerintah
atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijakan).
Selajutnya Sabatier dan Mazmanian (1986 dalam
Amtu 2011) menyatakan; implementasi kebijakan
33
karakteristik masalah; 2)struktur manajemen program
yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang
mengoperasikan kebijakan; dan 3) factor-faktor diluar
peraturan.
Nugroho (2009) implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada,
yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau
turunan dari kebijakan publik tersebut.
1.3.2
Model Implementasi Kebijakan (George
C. Edwards III)
Menurut Edwards III, studi implementasi
kebijakan adalah krusial bagi public administration dan
public policy. Implementasi kebijakan adalah salah satu
tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan
dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi
masyarakat yang dipengaruhinya.
Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat
mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari
kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan
mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu
diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu,
suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan baik,
34
kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaksana kebijakan.
Edwards III, membicarakan faktor-faktor atau
variabel krusial dalam implementasi kebijakan adalah
komunikasi, sumber-sumber,
kecendrungan-kecendrungan atau tingkahlaku–tingkahlaku dan
struktur birokrasi.
a) Komunikasi
Secara umum Edwards membahas tiga hal
penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni
transmisi, konsistensi, dan kejelasan (clarity).
Menurut Edwards, persyaratan pertama bagi
implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa
mereka yang melakukan keputusan harus
mengetahui apa yang harus mereka lakukan.
Keputusan-keputsan kebijakan dan perintah-perintah
harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum
keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu
dapat diikuti.
T r ansmi si . Faktor pertama yang berpengaruh
terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi.
Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu
keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu
keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk
pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak
selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana
keputusan-35
keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak
demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap
keputusan-keputusan yang dikeluarkan.
Kejel asan. Faktor kedua yang dikemukakan
Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan
diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan,
maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya
harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi
komunikasi kebijakan tersebut harus jelas, seringkali
intruksi-intruksi yang diteruskan kepada
pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan
bagaimana suatu program dilaksanakan.
Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan
berkenaan dengan implementasi kebijakan akan
mendorong terjadi interpretasi yang salah bahkan
mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.
Konsi st ensi . Jika implementasi kebijakan ingin
berlangsung efektif, maka perintah-perintah
pelaksana harus konsisten dan jelas. Di sisi yang lain,
perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak
konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil
tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan
mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi,
maka akan berakibat pada ketidak efektifan
implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat
longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan
36
b) Sumber-sumber
Perintah-perintah implementasi mungkin
diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi
jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan,
maka implementasi inipun cenderung tidak efektif.
Sumber-sumber yang penting meliputi : staf yang
memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan
fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.
St af. Sumber yang paling penting dalam
melaksanakan kebijakan adalah staf. Namun jumlah
staf tidak selalu mempunyai efek positif bagi
implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah
staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong
implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai
pemerintah ataupun staf, namun di sisi yang lain
kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan
yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang
efektif. Implementasi yang cenderung tidak efisien,
lebih pada kurangnya kualitas sumber daya dan
rendahnya motivasi para pegawai.
Infor masi . Informasi merupakan sumber
37
Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi
mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan.
Pelaksana-pelaksana perlu mengetahui apa yang
dilakukan dan bagaimana mereka harus
melakukannya. Bentuk kedua dari informasi adalah
data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap
peraturan-peraturan pemerintah.
Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain
yang dilibatkan dalam pelaksanaan kebijakan
mentaati undang-undang atau tidak.
Wewenang. Sumber lain yang pentig dalam
pelaksanaan implementasi adalah wewenang.
Wewenang akan berbeda-beda dari satu program
keprogram yang lain serta mempunyai banyak bentuk
yang berbeda. Terdapat banyak pembatasan pada
penggunaan wewenang yang efektif. Sekalipun
demikian, sanksi-sanksi dapat memainkan peranan
yang penting dalam pelaksanaan kebijakan.
Fasi l i t as. Fasilitas fisik bisa pula merupakan
sumber-sumber pentig dalam implementasi. Seorang
pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai,
mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan
mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan
tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor
untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan,
tanpa pembekalan, maka besar kemungkinan
38
c) Kecendrungan-kecendrungan
Kecendrungan dari para pelaksana kebijakan
merupakan factor ketiga yang mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi
kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap
baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini
berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka
melaksanakan kebijakan sebagaimana yang
diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.
Demikian pula sebaliknya bila
tingkahlaku-tingkahlaku atau prespektif-prespektif para pelaksana
berbeda dengan para pembuat keputusan, maka
proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin
sulit (Winarno, 2012)
Dampak dari kecendrungan-kecendrungan.
Menurut Edwards, banyak kebijakan masuk ke dalam
“zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang
dilaksanakan secara efektif karena mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun
kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertantangan
secara langsung dengan pandangan-pandangan
pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan
pribadi atau organisasi dari para pelaksana.
Pengangkatan birokrat.
Kecendrungan-kecendrungan pelaksana menimbulkan
hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi
39
disarankan untuk mengatasi kecendrungan para
pelaksana adalah dengan memanupulasi
insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak
menurut kepentingan mereka sendiri, maka
memanupulasi insentif-insentif oleh para pembentuk
kebijakan tingkat besar kemungkinan mempengaruhi
tindakan-tindakan para pelaksana-pelaksana
kebijakan.
d) Struktur birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang
paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi
pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau
tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk
kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan
masalah-masalah sosial dalam kehidupan moderen.
Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian
organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara
implementasi publik. Di Indonesia sering terjadi
inefektivitas impelementasi kebijakan karena
kurangnya koordinasi dan kerjasama diantara
lembaga-lembaga Negara dan/atau pemerintahan
(Nugroho, 2009).
Ripley dan Franklin (1982 dalam Winarno 2012)
berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap
birokrasi di Amerika Serikat, mengidentifikasi enam
40
1. Birokrasi dimanapun berada, dipilih sebagai
instrument sosial yang ditujukan untuk
menangani masalah-masalah yang
didefinisikan sebagai urusan publik.
2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan
dalam pelaksanaan program kebijakan, yang
tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk
masing-masing tahap.
3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang
berbeda
4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan
yang luas dan kompleks
5. Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan
hidup tidak perlu dipertanyakan lagi
6. Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang
netral dalam pilihan-pilihan kebijakan
mereka, tidak juga secara penuh dikontrol
oleh kekuatan kekuatan yang berasal di luar
dirinya.
Selanjutnya menurut Edwards, ada dua
karakteristik utama dari birokrasi, yakni
prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering
disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP)
dan fragmentasi. SOP merupakan salah satu dari
aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu
organisasi. Dengan menggunakan SOP, para
41
Selain itu, SOP juga menyeragamkan
tindakan-tindakan dari para pejabat dalam
organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang
pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang
besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari
suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang
besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Sifat
kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh
dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi
organisasi. Fragmentasi mengakibatkan
pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga
birokrasi.
Maka suatu kebijakan yang telah dibuat dan
dikeluarkan perlu untuk diimplementasikan secara
baik, agar tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai
dapat diselesaikan secara tepat. Demikian halnya
dalam kebijakan penempatan guru sangat penting
bagi para pembuat kebijakan melaksanakan atau
mengimplementasikannya dengan baik. Dengan
melihat berbagai factor yang mempengaruhinya,
berdasarkan padangan Edwards III ada empat factor
atau variable krusial yang dapat mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan dalam hal ini
kebijakan penempatan guru, antara lain komunikasi,
sumber-sumber, kecendrugan-kecendrungan dan
42
Ke-empat factor ini saling mempengaruhi
sehingga dapat dikatakan apabila salah satu dari
factor yang dikemukakan Edwards III bermasalah
atau tidak mendukung maka akan dapat
mempengaruhi kebehasilan implementasi kebijakan
itu sendiri, sehingga sangat dibutuhkan kerjasama
yang baik dari para pelaksana kebijakan atau
birokrasi yang memiliki kewenangan dalam
implementasi kebijakan penempatan guru.
2.4
Penelitian Yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Suranto tentang
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembagian
Kewenangan Bidang Pendidikan Terhadap Kualitas
Pelayanan Pendidikan Dasar (Studi Di Kota
Yogyakarta), Hasil penelitian menunjukkan dengan
mengacu model Edward III (1980), implementasi
kebijakan pembagian kewenangan bidang
pendidikan di kota Yogyakarta berpengaruh
signifikan terhadap kualitas pelayanan pendidikan
dasar. Sedangkan secara parsial, dimensi
komunikasi, sumberdaya dan struktur birokras
berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan
pendidikan dasar. Sementara disposisi tidak
berpengaruh signifikan. Peneliti merekomendasikan
perlunya modifikasi model Edward III (1980)
dengan mempersempit konsep disposisi terbatas
43
variabel bebas selain yang telah diteliti. Penelitian
ini juga merekomendasikan saran-saran praktis
bagi Pemerintah Kota Yogyakarta untuk
meningkatkan kinerjanya.
Dalam penelitian Suranto terlihat bahwa
Factor-faktor atau variabel yang dikemukakan oleh
Edwards III memiliki pengaruh yang cukup
signifikan dalam keberhasilan suatu implementasi
kebijakan, hanya factor disposisi yang tidak
berpengaruh signifikan, sehingga penting bagi para
pembuat serta pelaksana kebijakan untuk
memperhatikan factor-faktor seperti komunikasi,
sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi