• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA AL-ASHR DALAM AL-QUR’AN : TELAAH PENAFSIRAN IBNU KATSIR DANSAYYID QUTB TERHADAP SURAT AL-ASHR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAKNA AL-ASHR DALAM AL-QUR’AN : TELAAH PENAFSIRAN IBNU KATSIR DANSAYYID QUTB TERHADAP SURAT AL-ASHR."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA AL-ASHR DALAM AL-

QUR’AN

(Telaah Penafsiran Ibnu Katsir danSayyid Qutb terhadap surat

al-Ashr)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

AGUS AINUL AMIN

(E03212040)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USH ULUDDI N DAN FILS AFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Nama : Agus Ainul Amin NIM : E03212040

Judul : Makna al-‘Ashr Dalam al-Qur’an (Telaah Penafsiran Ibnu Katsir Dan Sayyid Qutb Terhadap Surat al-‘Ashr

Penelitian ini dilakukan karena banyaknya umat manusia yang menyia-nyiakan waktunya dan tidak menggunakan waktunya sebaik mungkin. Sehingga banyak manusia yang berada dalam kerugian yang besar, kecuali orang-orang beriman, beramal shaleh, menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dan itu semua terkandung dalam surah al-‘Ashr ayat 1-3.

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) bagaimana Bagaimana penafsiran Ibnu Katsir tentang kata al-Ashr dalam surat al-Ashr. 2) Bagaimana penafsiran Sayyid Qutb tentang kata al-Ashr dalam surat al-Ashr. 3) Apa persamaan dan perbedaan penafsiran Ibnu Katsir dan Sayyid Qutb tentang kata al-Ashr dalam surat al-Ashr ?

Tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsikan pandangan Sayyid Qutb dan Ibnu Katsir atas ayat-ayat waktu serta Mengetahui persamaan dan perbedaan Sayyid Qutb dan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat waktu.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat keperpustakaan (Library research) dan diskriptif analitis yaitu menggambarkan atau menjelaskan bagaimana makna al-‘Ashr dalam pandangan Ibnu Katsir dan Sayyid Qutb.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ..xiv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian... 8

E. Kegunaan Penelitian ... 8

F. Metodologi penelitian……… .. .9

G. Sistematika Pembahasan ... .11

BAB II : KAJIAN TEORI (PANDANGAN UMUM TENTANG PEMAKNAAN KATA AL-‘ASHR) A. Pengertian Waktu ……… ... 13

1. Makna lain kata waktu (Term) ... 14

a. ‘Ajal ... 14

b. ‘Dahr ... 14

c. Waqt ... 15

d. ‘Ashr ... 15

B. Relativitas dan tujuan Kehadiran Waktu………... 16

C. Substansi Waktu (‚Ashr) dalam Kehidupan Menurut al -Qur‘an…… ... 21

(8)

BAB III : TELAAH PENAFSIRAN BNU KATSIR DAN SAYYID QUTB

TENTANG KATA AL-‘ASHR

1. Sistematika, Metode dan Corak PenafsiranIbnu Katsir…….…32

a. Sistematika Tafsir Ibnu Katsir ………….………….…32

b. Metode Penafsiran Ibnu Katsir ………….………33

c. Penafsiran Ibnu Katsir Surat al-‘Ashr…..…………..…34

2. Tafsir Fi Dzilalil Qur’an………... 36

a. Metode Penafsiran…………..……… ... 36

b. Corak Penafsiran…………..……… ... 37

c. Penafsiran Sayyid Qutb………….………39

3. Perbedaan dan Persamaan penafsira al-‘Ashr Menurut Ibnu katsir dan Sayyid Qutb…………..……… ... 56

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat. Mereka mengenal masa lalu, kini dan masa depan. Kesadaran manusia tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari dari segi perjalanannya (malam saat terbenam dan siang saat terbit).1

Memanfaatkan waktu merupakan amanat Allah kepada makhlukn-Nya. Bahkan, manusia dituntut untuk mengisi waktu dengan berbagai amal dan mempergunakan potensinya, karena manusia diturunkan ke dunia ini adalah untuk beramal. Agama melarang mempergunakan waktu dengan main-main atau mengabaikan yang lebih penting. Nampaknya antara waktu dan amal tidak dapat dipisahkan. Waktu adalah untuk beramal dan beramal adalah untuk mengisi waktu. Amal akan berguna bila dilaksanakan sesuai dengan waktunya, sebaliknya waktu akan bermakna bila diisi dengan amal.2

Sekarang ini, banyak ditemui orang yang suka menyalahkan waktu atau setidaknya mengkambinghitamkan waktu ketika mengalami kegagalan. Islam sebenarnya tidak pernah mengenal waktu sial atau waktu untung. Sial dan untung sangan ditentukan oleh baik dan tidaknya usaha seseorang, karena waktu bersifat

1

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas perbagai persoalan

Umat (Bandung: Mizan, 2000), 548. 2

Fahmi Idris et. Al, Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam (Jakarta: Nuansa Madani,

(10)

2

netral dan waktutidak pernah berpihak pada siapapun.3

Demikian besar peranan watu sehingga Allah SWT berkali-kali bersumpah dengan menggunakan kata yang menunjukkan waktu-waktu tertentu seperti Wa al-layl (demi malam), Wa al-Nahar (demi waktu siang), Wa al-Shubh (demi

waktu subuh), Wa al-Fajr (demi waktu fajar) dan lain-lain, untuk menegaskan pentingnya waktu dan kegunaannya, seperti yang tersurat dan tersirat dalam al Qur’an Surah Al-Lail/92:1-2, Al-Fajr/89:1-2, Adh-Dhuha/93:1-2, Al-‘Ashr/103:1 -3, dan lain-lain.

Al-Qur’an menggunakan beberapa term yang menunjukkan waktu, seperti Waqt, Dahr, Ajal, Sa’ah, ‘Ashr, Hin dan Yawm. Waqt digunakan dalam batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa, misalnya:

 merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang

beriman”.4

Allah memberikan pesan pada ayat di atas bahwa dzikir setelah shalat dapat di lakukan dengan cara apapun dan bagaimanapun keadaanya. Dalam keadaaan normal dilakukan dengan duduk, dalam keadaan gawat dilakukan dengan keadaan yang memungkinkan, bahkan setiap saat diwaktu berdiri, waktu duduk dan waktu berbaring. Kemudian, shalat apabila dalam keadaan normal

3

Ibid., 154. 4

(11)

harus dilakukan dengan khusyu’ memenuhi syarat rukunnya serta memenuhi sunnah dan waktu-waktunya yang telah ditentukan. Kata Waqt memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa.5

Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini, yaitu sejak diciptakan-Nya sampai punahnya alam semesta ini.6 Misalnya: QS. Al-Jatsiyah ayat 24

“dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,

kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka

tidak lain hanyalah menduga-duga saja”.7

Dalam ayat ini Allah menjelaskan, di antara kedurhakaan orang kafir adalah mereka menganggap kehidupan ini adalah kehidupan di dunia saja, tidak ada kehidupan akhirat. Mereka menganggap hidup dan matinya hanyalah perjalanan waktu. Kematian adalah akhir perjalanan wujud manusia dan tidak ada kebangkitan sesudahnya.8 Kata Dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr)9

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 13 (jakarta: Lentera Hati,2000), 56-57. 9

(12)

4

Ajalmenunjukkan waktu barakhirnya sesuatu, berakhirnya usia seseorang, masyarakat atau negara.10 Misalnya:



“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula)

kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat mempunyai ajal. apabila telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat

mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).11

Pada ayat di atas Allah SWT menjelaskan ancaman-Nya pada masyarakat makkah tentang kehancuran mereka, yakni disebabkan oleh syirik dan penyembahan berhala yang menjadi sendi kehidupan masyarakat ketika itu. Dan ketentuan itu berlaku untuk semua masyarakat manusia sejak dahulu hingga kini dan masa datang.12 Kata Ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah SWT sendiri.13

Ashr bisa diartikan waktu menjelang terbenamnya matahari tetapi juga

dapat diartikan sebagai masa secara mutlak.14 Misalnya:

(13)

Allah memulai surat al-‘Ashr dengan bersumpah Wa al-‘Ashr (demi masa), untuk membantah anggapan sebagian orang yang mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai masa sial atau masa mujur, karena yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan inilah yang berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu pekerjaan, karena masa selalu bersifat netral. Kata ‘Ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialamioleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.16

Hin dipahami dalam arti waktu secara mutlak, pendek atau panjang17

terkait dengan waktu dan tempatnya. Misalnya QS. Al-A‘raf ayat 24.

“Allah berfirman: "Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh

bagi sebahagian yang lain. dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah

ditentukan".18

Ayat ini berisi tentang perintah Allah kepada Adam dan Hawa untuk turun ke bumi bertempat tinggal di sana sebagai tempat kediaman sementara dan mencari kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan yakni kematian atau hari Kiamat nanti.19 Kata Hin memberi kesan bahwa waktu itu hanya saat-saat yang terkait pada pelaksanaan suatu pekerjaan atau peristiwa tertentu saja.

(14)

6

“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan

ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat

mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya”.20

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa salah satu bukti hikmah kebijaksanaan Allah adalah Dia menangguhkan hukuman atas kaum musyrikin yang dengan kemusyrikannya telah mencapai puncak kedlalimannya. Yaitu mereka akan di tangguhkan sampai waktu yang telah ditentukan oleh Allah swt. (hari kiamat) kemudian Allah menjelaskan bahwa apabila telah datang ajal kematian manusia maka ajal itu tidak bisa diundur atau diajukan.21 Kata sa’ah memberi kesan bahwa waktu atau saat terjadinya suatu peristiwa tertentu itu sangat terbatas.

(15)

Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk menyusun tugas akhir mengenai waktu dengan judul: MAKNA AL-ASHR DALAM AL-QUR’AN (Telaah Penafsiran Ibnu Katsir dan Sayyid Qutb terhadap surat al-Ashr)

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah mengenai term-term waktu dalam al-quran di antaranya:

1. Bagaimana sumpah Allah dalam Al-qur’an? 2. Apa kandungan sumpah Allah dalam Al-qur’an? 3. Bagaimana ungkapan sumpah Allah dalam Al-qur’an? 4. Bagaimana biografi Ibnu Katsir dan Sayyid Al-qutb?

5. Apa yang mempengaruhi penafsiran Ibnu Katsir dan Sayyid Al-qutb? 6. Bagaimana penafsiran IbnuKatsir dan Sayyid Al-qutb terhadap ayat-ayat

tentang waktu?

C. Rumusan Masalah

Dari Pemaparan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran Ibnu Katsir tentang kata al-Ashr? 2. Bagaimana penafsiran Sayyid Qutb tentang kata al-Ashr?

(16)

8

D. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pandangan tentang Ibnu Katsir tentang kata al-Ashr. 2. Mengetahui pandangan tentang Sayyid Qutb tentang kata al-Ashr.

3. Mengetahui persamaan dan perbedaan Sayyid Qutb dan Ibnu Katsir dalam menafsirkan kata al-‘Ashr.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang tafsir. Agar hasil penelitian ini jelas dan berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.

Adapun kegunaan hasil penelitian ini ada dua yaitu:

1. Kegunaan secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki arti akademis (academic significance) sebagai tambahan pemikiran dan pengembangan ilmu yang ada di dalam al-quran khususnya ayat Al-qur’an mengenai waktu. 2. Kegunaan scara praktis

(17)

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif keperpustakaan (Library Research), karena datanya berasal dari data-data keperpustakaan, adapun

data yang diperlukandalam penelitian ini adalah:

a. Ayat-ayat yang berkaitan dengan waktu baik yang mengungkapkan waktu yang menunjukkan durasi yang jelas batasannya maupun durasi yang tidak jelas batasnya.

b. Asbab al-nuzul dan munasabah yang berhubungan dengan ayat-ayat yang dibahas dalam penelitian.

2. Sumber Data

Dari data di atas, sumber data diklasifikasikan menjadi dua: data primer dan data sekunder.

a. Sumber data primer: Mushhaf al-quran. b. Sumber data sekunder:

1) Tafsir-tafsir yang mu’tabir, seperti: tafsir al-misbah, tafsir fi zhilal quran, tafsir mizan, tafsir khazin, tafsir mizan fi tafsir al-quran dan lain-lain.

2) Al-mu’zam al-mufahras li alfadz al-quran karya muhammad fuad abd al-baqi

3. Teknik pengumpulan data

(18)

10

mengklarifikasi sesuai dengan sub bahasan dan penyusunan data yang akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

4. Metode Analisis Data

Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis

menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan

muncul di sekitar penelitian ini.

Deskriptif yaitu menggambarkanatau melukiskan keadaan obyek

penelitian(seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan

fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau

menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan

fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa

adanya.22

Penelitian Deskritif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk

mendeskripsikan yang saat ini berlaku. di dalamnya terdapat upaya

mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi

yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif

akualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai

keadaan yang ada.23

22Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, 2002), 3.

23 Convelo G Cevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: Universitas Islam,

(19)

G. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih mudah mengetahui secara utuh terhadap isi skripsi ini, maka perlu disusun konsep sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab Pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua adalah berisi tentang kajian teori (pandangan umum tentang pemaknaan kata al-‘Ashr.

Bab ketiga adalah telaah penafsiran Ibnu Katsir dan Sayyid Qutb tentang kata al-‘Ashr.

(20)

12

BAB II

KAJIAN TEORI

(PANDANGAN UMUM TENTANG PEMAKNAAN KATA

AL-‘ASHR)

A. Pengertian Waktu

Berbicara mengenai waktu mengingatkan kepada ungkapan malik bin nabi dalam bukunya syuruth an-Nahdhah (syarat-syarat kebangkitan). Saat memulai urainnya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama’

sebagai hadis nabi saw :

Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru.“putra-putri adam, aku waktu, aku ciptakan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali sampai hari kiamat,”24

Kemudian, tulis Malik bin Nabi lebih lanjut :

Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainnya, walaupun segala sesuatu selain tuhan tidak akan mampu melepaskan diri darinya.

24

(21)

13

Sedemikian besar peranan waktu, sehingga Allah swt berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti Wa al-Lail, Wa an-Nahar, Wa as-Subhi, Wa al-Fajr, dan lain-lain.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata waktu di artikan dengan empat makna: (1) seluruh rangkaian saat, baik yang telah berlalu, sekarang, yang akan dating. (2) saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu. (3) kesempatan, tempo atau peluang. (4) ketika atau saat terjadinya sesuatu.25 Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan atau kejadian, atau bias merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Skala waktu diukur dengan satuan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya.

Al-Qur’an menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna di atas, seperti:

a. Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berahirnya usia manusia atau masyarakat. Seperti dalam firman Allah dalam surat yunus ayat 49 :



“ Setiap umat mempunyai batas waktu berahirnya usia “.26

25

Tim penyusun kamus besar bahasa Indonesia, kamus besar bahasa Indonesia (Jakarta: balai pustaka, 1989), 1006.

26

(22)

14

b. Dahr, digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam semesta dalam kehidupan di dunia ini, yaitu sejak diciptakannya sampai

“ Bukankah telah dating (terjadi) atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia

ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada di ala

mini?) “.27

c. Waqt, digunakan dalam batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan sesuatu peristiwa. Karena itu, seringkali Al-qur’an menggunakan dalam konteks kadar tertentu dari satu masa. Seperti dalam firman Allah dalam surat An-nisa’ ayat 103:

“ Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas

orang-orang yang beriman “.28

d. ‘Ashr, kata ini biasa diartikan “waktu menjelang terbenamnya matahari”, tetapi juga dapat diartikan sebagai “masa” secara mutlak.

Makna terakhir ini diambil berdasarkan asumsi bahwa ’ashr

merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata ‘ashr

sendiri bermakna “perasaan”, seakan-akan masa harus digunakan oleh

27

Al-Qur’an, 76:1 28

(23)

15

manusia untuk memeras pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan saja sepanjang masa.

Dari kata-kata di atas, ditarik beberapa kesan tentang pandangan al-Qur’an mengenai waktu (dalam engertian-pengertian bahasa Indonesia), yaitu:

a. Kata Ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah swt sendiri.

b. Kata Dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaanya menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr).

c. Kata Waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tercermin dari waktu-waktu shalat yang member kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya), sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa.

(24)

16

Demikianlah arti dan kesan-kesan yang diperoleh dari akar serta serta penggunaan kata yang berarti “waktu” dalam berbagai makna.

B. Relativitas dan tujuan kehadiran waktu

Bagi umat beragama dikenal ada dua waktu, yakni waktu di dunia dan waktu di akhirat. Keduanya tidak sama, kalau waktu di dunia ada ukurannya, maka waktu di akhirat tidak ada ukurannya. Misalnya Firman Allah bahwa setahun sama dengan dua belas bulan Q.S al-Taubah ayat 36:

Tetapi, setahun di akhirat tidak sama dengan setahun di dunia. Semua ini terjadi karena perbedaan dimensi kehidupannya.30 Qurays Shihab menjelaskan, al-Qur’an memperkenalkan adanya relativitas waktu, baik yang berkitan dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.

29

Al-Qur’an, 9:36 30

(25)

17

Ketika al-Qur’an berbicara tentang waktu yang ditempuh oleh malaikat menuju hadirat-Nya, salah satu ayat al-Qur’an menyatakan perbandingan waktu dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (manusia) seperti dalam Qur’an surah al Ma’raj ayat 4:

“malaikat-malaikat dan jibril naik (menghadap) kepada tuhan dalam sehari yang

kadarnya limapuluh ribu tahun”.31

sedangkan dalam dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh oleh para malaikat tertentu untuk naik ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut perhitungan manusia, seperti dalam surat al-sajdah ayat 5.

“ Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya

dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu “.32

(26)

18

tidak membutuhkan waktu demi mencapai hal yang dikehendakinya.Sesuatu itu adalah Allah swt.33

Jadi, kalau tuhan menciptakan alam iniselama enam hari, maka tidak mesti dipahami enam kali dari dua puluh empat jam, atau juga tidak harus dipahami satu tahun ada 365 hari karena umat manusia berbeda-beda dalam menetapkan jumlah hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan perhitungan perjalanan bulan atau marahari, tetapi karena umat manusia mengenal perhitungan yang lain. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa firman Allah yang

menerangkanbahwa Nabi Nuh as.Hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun tidak harus dipahami dalam konteks perhitungan Syamsyiah atau Qomariah. Karena umat manusia juga pernah mengenal perhitungan tahun berdasarkan musim (panas, dingin, gugur dan semi) sehingga setahun perhitungan manusia yang menggunakan ukuran perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan musim.34

Al-Qur’an mengisyaratkan perbedaan perhitungan syamsyian dan qomariah melalui ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua (ashabul kahfi) tertidur.

“ dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan

tahun (lagi) “.35

33

Quraysh Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas berbagai persoalan Umat

(bandung, mizan, 2000),,549-550. 34

Idris, Nilai, 151;shihab, wawasan, 551. 35

(27)

19

Tiga ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan syamsyiah, sedangkan penambahan Sembilan tahun adalah berdasarkan Qomariah.Seperti diketahui terdapat selisih sekitar sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Qomariah dan Syamsyiah. Jadi selisih Sembilan tahun itu adalah sekitar 300x11 hari, atau sama

dengan Sembilan tahun. Allah berada di luar dimensi waktu sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini dan masa yang akan dating sama saja. Dari sini, dan dari dari sekian ayat yang lain, sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.36

Ketika beberapa sahabat nabi saw. Mengamati keadaan bulan yang sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama, kemudian kembali menjadi sabit dan kemudian menghilang dan bertanya kepada Nabi mengapa terjadi demikian, maka al-Qur’an menjawab seperti yang tersirat dalam surah al-baqarah ayat 189.

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari

pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung “.37

Ayat tersebut antara lain mengisyaratkan bahwa peredaran matahari dan bulan yang menghasilkan pembagian rinci (seperti perjalanan dari sabit ke purnama), harus dimanfaatkan oleh manusia untuk menyelesaikan suatu tugas dan

36

Shihab, wawasan, 548-551 37

(28)

20

salah satu tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini dicontohkan dengan ibadah haji, karena ibadah haji tersebut mencerminkan seluruh rukun islam.38

Dalam surah al-Furqanayat 62 dijelaskan bahwa Allah menjadikan malam dan siang silih berganti untuk member waktu (kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur.Mengingat berkaitan dengan masa lampau dan ini menuntut introspeksi dan kesadaran yang menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehinga mengantarkan manusia untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi agama adalah menggunakan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah sesuai dengan tujuan penganugerahkannya dan ini menuntut untuk upaya dan kerja keras.banyak ayat al-qur’an yang berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, lalu diakhiri dengan pernyataan “maka ambillah pelajaran dari peristiwa itu” demikian pula ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk menghadapi masa depan atau berpikir dan menilai hal yang telah dipersiapkannya demi masa depan.39

Sekarang ini, banyak ditemukan orang yang menyalahkan waktu atau setidaknya mengkambinghitamkan waktu ketika mengalami kegagalan.Islam sebenarnya tidak pernah mengenal waktu sial atau waktu untung.Sial dan untung sangat ditentukan oleh baik tidaknya usaha seseorang, karena waktu bersifat netral dan tidak berpihak kepada siapapun.Allah telah bersumpah dengan waktu dan hal ini mengisyaratkan agar manusia berusaha semaksimal mungkin untuk menemui

38

Ibid, 551-552. 39

(29)

21

sesuatu yang tersembunyi atau rahasia dibalik pekerjaan itu. Suatu saat akan dijumpai orang yang selalu dalam kerugian, yaitu orang yang tidak menggunakan waktu sebaik-baiknya. Semua itu baru akan disadari kelak setelah merasakan pedihnya penderitaan, karena penyesalan tidak dating di awal tetapi dating di akhir. Untuk menghindarinya, agama memberikan petunjuk seperti yang disebutkan dalam surah al-ashr agar manusia beriman, beramal shaleh, saling berwasiat dengan kebenaran dan berwasiat dengan kesabaran.40

Berdasarkan paparan di atas, waktu merupakan kesempatan atau peluang atau sesuatu yang mempunyai durasi dan relatifitas sesuai dengan siapa, apa, dimana dan bagaimana situasi dan kondisi yang mengalaminya yang bias terukur dan tidak terukur oleh kekuatan akal dan pengetahuan manusia atau sesuatu hal yang ada pemulanya dan ada akhirnya yang dapat diukur dari durasi yang terus berubah sebagaimana perubahan posisi matahari atau bulan dan juga harus digunakan dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk agama.

C. Substansi Waktu (‘Ashr) Dalam Kehidupan Menurut Al-Qur’an

“ demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,kecuali

(30)

22

Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia memang benar-benar berada dalam kerugian apabila tidak memanfaatkan waktu yang telah diberikan oleh Allah secara optimal untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.Hanya individu-individu yang beriman dan kemudian mengamalkannyalah yang tidak termasuk orang yang merugi, serta mereka bermanfaat bagi orang banyak dengan melakukan aktivitas dakwah dalam banyak tingkatan.

Lebih lanjut, dalam al-Qur’an surat Al-Imran ayat 104, Allah berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,

merekalah orang-orang yang beruntung”. Dengan demikian, hanya orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkarlah orang-orang yang memperoleh keuntungan.

Setiap muslim yang memahami ayat di atas, tentu saja berupaya secara optimal mengamalkannya. Dalam kondisi kekinian dimana banyak sekali ragam aktivitas yang harus ditunaikan, ditambah pula berbagai kendala dan tantangan yang harus dihadapi.

(31)

23

aktivitas qiyamullail, shaum sunnah, bertaqarrub illallah, dan menuntut ilmu-ilmu syar’i. Dalam hubungannya secara horizontal, ia menginginkan

bermuamalah dengan masyarakat, mencari maisyah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, maupun di tempat-tempat lainnya.

Semua itu tentu saja harus diatur secara baik, agar apa yang kita inginkan dapat terlaksana secara optimal, tanpa harus meninggalkan yang lain. Misalnya, ada orang yang lebih memfokuskan amalan-amalan untuk bertaqarrub ilallah, tanpa bermu’amalah dengan masyarakat.Ada juga yang lebih mementingkan kegiatan muamalah dengan masyarakat, tetapi mengesampingkan kegiatan amalan ruhiyahnya.

Allah banyak bersumpah dengan waktu. Tidak lain karena keagungan nikmat waktu dan begitu urgensinya dalam kehidupan anak manusia. Allah bersumpah dengan waktu dhuha, waktu malam, siang, dan bahkan dengan waktu itu sendiri.“Demi masa”. Rasulullah saw melarang kita mencaci waktu. Karena waktu adalah hamba Allah yang senantiasa tunduk dan berserah diri kepada-Nya.Maka atas perintah-Nya dia berlalu dan melaju bagaikan badai tanpa ada yang sanggup menghentikannya kecuali Allah yang maha perkasa.

(32)

24

suatu pekerjaan, karena masa selalu bersifat netral. Demikian Muhammad 'Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini.

Allah bersumpah dengan 'Ashr, yang arti harfiahnya adalah "memeras sesuatu sehingga ditemukan hal yang paling tersembunyi padanya," untuk menyatakan bahwa, "Demi masa, saat manusia mencapai hasil setelah memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh" (dan seterusnya sebagaimana diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya).

Kerugian tersebut baru disadari setelah berlalunya masa yang berkepanjangan, yakni paling tidak akan disadari pada waktu 'ashr kehidupan menjelang hayat terbenam. Bukankah 'Ashr adalah waktu ketika matahari akan terbenam? itu agaknya yang menjadi sebab sehingga Allah mengaitkan kerugian manusia dengan kata 'ashr untuk menunjuk "waktu secara umum", sekaligus untuk mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian selalu datang kemudian.

(33)

25

Kata fi biasanya diterjemahkan dengan di dalam bahasa indonesia. Jika misalnya Anda berkata, "Baju di lemari atau uang di saku", tentunya yang Anda maksudkan adalah bahwa baju berada di dalam lemari dan uang berada di dalam saku. Yang tercerap dalam benak ketika itu adalah bahwa baju telah diliputi lemari, sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di dalam saku sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar.

Itulah juga yang dimaksud dengan ayat di atas, "manusia berada didalam kerugian". Kerugian adalah wadah dan manusia berada di dalam wadah tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi pun dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian, dan kerugian itu amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa demikian? Untuk menemukan jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada ayat pertama, "Demi masa", dan mencari kaitannya dengan ayat kedua, "Sesungguhnya manusia berada didalam kerugian".

(34)

26

Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi, yang bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal yang negatif, manusia tetap diliputi oleh kerugian. Di sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi Saw. yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi Saw

Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang: kesehatan dan kesempatan (Diriwayatkan oleh Bukhari melalu Ibnu Abbas r.a.)

Tugas dan kewajiban kita sebagai manusia terlalu banyak.Sedang waktu membatasi ruang gerak dan usaha kita.Dilihat dari sisi waktu dan kepentingannya pekerjaan itu bermacam-macam dan bertingkat.Dari situlah seorang mukmin harus memandang, memilih dan memilah berbagai pekerjaannya.

Dalam mengatur waktu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar manajemen waktu dapat berjalan dengan optimal, diantaranya adalah:

1. Menentukan peta hidup, hal ini dilakukan untuk menentukan arah dan tujuan hidup yang sesuai yang diajarkan al-Qur’an surat al-‘Ashr, yakni menjalani hidup dengan beramal saleh.

(35)

target-27

target yang diinginkan sudah direncanakan sehingga target itu bias tercapai secara efektif dan efisien.

3. Menentukan prioritas, ada kalanya seorang mukmin dihadapkan oleh pilijhan-pilihan. Seorang yang beriman dan beramal saleh seharusnya cermat dalam memilih, jangan sampai pilihan yang ditetapkan akan mengorbankan sesuatu yang lebih penting. Oleh karena itu prioritas juga akan menentukan keberhasilan dalam memanaj waktu.

4. Melakukan evaluasi (muhasabah), inilah yang seringkali dilupakan banyak manusia. Setelah menyelesaikan suatu jadwal kegiatan baik itu harian, mingguan, bulanan maupun tahunan dibutuhkan evaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan. Ini dilakukan agar bias terus memperbaiki kesalahan ataupun kekurangan yang terjadi dihari-hari sebelumnya. Sebab bila hari ini lebih baik dari hari kemarin maka termasuk orang yang beruntung. Namun jika hari ini sama dengan hari kemarin, termasuk orang-orang yang merugi, apalagi lebih buruk dari hari-hari sebelumnya.

(36)

28

saw, ingat lima perkara sebelum lima perkara. Yaitu hidup sebelum mati, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, sehat sebelum sakit dan luang sebelum sempit.Jika pendidikan ingin berhasil dngan baik, dibutuhkan memperhatikan waktu seefektif dan efisien mungkin agar sebanding dengan kinerja yang dihasilkannya.

Manajemen waktu merupakan perencanaan, perorganisasian, penggerakan, dan pengawasan produktifitas waktu.Waktu menjadi salah satu sumber daya yang meski dikelola secara efektif dan efisien.Efektifitas terlihat dari tercapainya tujuan menggunakan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dan efisien tidaklain mengandung dua makna, yaitu: makna pengurangan waktu yang ditentukan, dan makna investasi waktu menggunakan waktu yang ada.

(37)

29

Beberapa hal perlu diperhatikantentang konsep manajemen waktu, yaitu bahwa waktu terus bergerak maju, waktu terus berlalu, waktu tidak bias ditabung dan waktu bias dikelola. Mengelola waktu dapat dilaksanakan jika seorang bersikap konsisten dengan rencana-rencana yang telah dibuatnya sendiri, dank arena setiap kegiatan sudah direncanakan dengan batas waktunya sendiri, maka ia harus mengerjakan sesuai dengan waktunya agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan suatu kegiatan.

Dari gambaran yang diuraikan di atas, intinya adalah betapa pentingnya mengelola waktu sebagai anugerah dari Allah swt dalam melaksanakan berbagai aktifitas kehidupan.Dengan waktu seseorang dapat memperoleh kebahagiaan, dank arena waktu pula seseorang mendapat kerugian dalam kehidupannya.Hanya orang-orang beriman, berilmu dan beramal shaleh yang data saling mengingatkan untuk menggunakan waktu secara efektif dan efisien sehingga menghasilkan perjalanan waktu dengan produktifitas.

“ demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,, kecuali

orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran “.42

42

(38)

30

Dalam surah ini, Allah memulai dengan bersumpah dengan waktu ‘Ashr atau waktu senja. Yang mengisyaratkan tentang urgensi waktu dalam kehidupan semua orang dalam dunia ini.Dan jika Allah bersumpah dengan salah satu makhluk-Nya, itu menunjukkan bahwa makhluk itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pandangan Allah SWT. Maka apabila seseorang tidak segerah menggunakan waktu itu dengan semestinya, maka ia akan dalam kerugian yang sangat luar biasa kecuali dengan tiga syarat sekaligus, pertama, iman, kedua, amal shaleh dan ketiga, saling berpesan dengan kebaikan dan kesabaran.

Ada dua konsep waktu dalam surat ini yang perlu kita renungkan: a. Setiap detik adalah hidup kita yang baru

Waktu walaupun satu detik adalah kehidupan yang baru bagi manusia dengan demikian kita tidak perlu menunggu momentum untuk berubah maupun mau mengerjakan sesuatu.Setiap detik yang kita lalui adalah hidup kita yang baru jangan mudah menunda-nunda pekerjaan.Diantara kita banyak yang mau mengerjakan sesuatu ketika ada momentum.Contoh : Saya akan berhenti merokok kalau saya sudah menikah, saya akan rajin sholat jama’ah di masjid ketika saya

sudah dikarunia anak, tahun depan saya akan berinfaq, saya akan rajin baca al qur’an kalau sudah masuk bulan ramadhan dan seterusnya.

(39)

31

uang.Orang yang hebat, rela mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk cepat sampai tujuan meskipun dengan mahalnya tiket pesawat terbang dan lain sebainya.Dengan demikian nilai seseorang dilihat dari bagaimana memanfaatkan waktu.

b. Setiap waktu adalah kerugian

Dalam surat al-‘Ashr Allah menggunakan tiga kata ta’kid (penguat) yaitu: 1. Huruf “و” yang berarti sumpah. 2. Huruf “ نإ” yang berarti sungguh. 3. Huruf “ل”. Setiap waktu yang kita lalui adalah kerugian, maka rugilah orang-orang yang merayakan pergantian tahun, berlalunya waktu yang telah lalu dan seterusnya.

Dalam surat ini waktu tidak akan merugi apabila kita manfaatkan dalam empat hal:

1. Keimanan

Semua kita sudah menghafal rukun iman yang enam.Akan tetapi sudahkah kita menghayati keimanan kita?? Salah seorang salaf Ibrahim bin Adam pernah berkata kepada muridnya :kalau engkau masih bermaksiat kepada Allah, maka janganlah engkau tinggal di muka bumi ini. Kemudian muridnya bertanya :”lalu

kita tinggal dimana?” kemudian Ibrahim bin Adam menjawab :” kalau kita

(40)

32

Ada salah seorang tabi’inyang sedang “memadu kasih” dengan dengan saling kirim-mengirim surat terhadap kekasihnya menggunakan burung merpati. Sedang asyik-asyiknya surat-menyurat, tabi’in tersebut mendengar salah satu dari tetangganya melaksanakan sholat tahajjud. Rakaat pertama beliau membaca surat Al ‘Ashr sedangkan rakaat kedua membaca surat al hadid yang berbunyi:

“ Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati

mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras.dan kebanyakan di antara mereka adalah

orang-orang yang fasik “.43

Mendengar bacaan tersebut, maka tabi’in itu pun berlalu meninggalkan perbuatan sia-sianya kemudian rajin beribadah kepada Allah hingga menjadi orang yang shufi.

2. Amal Shaleh

Para ulama tafsir berpendapat bahwa syarat diterimanya amal perbuatan apabila memenuhi dua syarat yaitu : Ikhlas karena Allah SWT dan Sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah SAW (ittiba’ur rasul) .

Dahulu kala ada pasangan anak dan bapak dari kalangan atbaa’ tabiin (anak) dan tabi’in(bapak). Suatu ketika sang bapak (tabi’in) tersebut meninggal dunia. Kemudian di waktu tidur sang anak (atbaa’ tabi’in) bermimpi.

43

(41)

33

Dalam mimpinya sang ayah mendatanginya seraya berkata : “Wahai anakku, jangan pernah engkau sia-siakan amal sholeh sekecil apapun karena nikmatnya akan kita rasakan ketika kita di alam kubur. Hanya ada satu amalan yang tidak bisa aku rasakan nikmatnya di alam kubur yaitu ketika aku sholat tahajjud kemudian mendengar suara langkah kaki seseorang kemudian suaraku aku keraskan agar didengar oleh orang tersebut”.

3. Tawashou bil Haq

Maksudnya adalah saling mengingatkan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi maksiat.Kenapa Allah menggunakan kata “menasehati” untuk

melaksanakan kebenaran bukan menggunakan lafadz “membuat” orang menjadi benar dan senantiasa melaksanakan yang haq?Karena hidayah adalah di tangan Allah. Orang yang menjadi perantara bagi seseorang untuk mendapatkan hidayah maka kelak di akhirat akan mendapat tujuh bidadari.

4. Tawashou bis Shobr

Yaitu saling menasehati untuk senantiasa bersabar. Sabar ada tiga tingkatan :

a. Sabar dalam melaksanakan ketaatan (tingkatan paling tinggi) b. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan kepada Allah SWT c. Sabar dalam menghadapi ujian (tingkatan paling rendah)

(42)

34

ibadah. Kalau kita istiqomah atas kesabaran pertama, maka tingkatan sabar ke-2 dan ke-3 akan mudah kita lewati.

Surat Al-'Ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan iman saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal saleh dengan iman pun belum cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal saleh dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak ada iman. Memang ada orang yang merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada pula yang merasa jenuh. Karena itu, ia perlu selalu menerima nasihat agar tabah dan sabar, sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya.

Demikian terlihat bahwa amal atau kerja dalam pandangan Al-Quran bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan makan, minum, atau rekreasi, tetapi kerja beraneka ragam sesuai dengan keragaman daya manusia. Dalam hal ini Rasulullah Saw. mengingatkan: “Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya, berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog) dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi. Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar), dan ada pula yang dikhususkan untuk diri (dan keluarganya) guna memenuhi kebutuhan makan dan minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim melalui Abu Dzar Al-Ghifari).

(43)

35

(44)

32

BAB III

TELAAH PENAFSIRAN IBNU KATSIR DAN SAYYID QUTB

TENTANG KATA AL-‘ASHR

1. Sistematika, Metode dan Corak Penafsiran Ibnu Katsir.

a. Sistematika tafsir ibnu katsir

Hal yang paling istimewa dari tafsir Ibnu Katsir adalah bahwa Ibnu Katsir telah tuntas atau telah menyelesaikan penulisan tafsirnya hingga keseluruhan ayat yang ada dalam al-Qur’an, dibanding mufassir lain seperti sayyid Rasyid Ridha (1282-1354 H) yang tidak sempat menyelesaikan tafsirnya.

Pada muqaddimah, Ibnu Katsir telah menjelaskan tentang cara penafsiran yang paling baik atau prinsip-prinsip penafsiran secara umum yang disertai dengan alasan jelas yang ditempuh dalam penulisan tafsirnya. Apa yang disampaikan ibnu katsir dalam muqaddimahnya sangat prinsipil dan lugas dalam kaitanya dengan tafsir al-ma’tsur dan penafsiran secara umum.

Adapun sistematika yang ditempuh dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-qur’an sesuai dengan susunannya dalam al-qur’an, ayat demi ayat, surat demi surat, dimulai dari surat fatihah dan diakhiri dengan surat al-nas. Dengan demikian, secara sistematika tafsir ini menempuh tafsir mushafi.

(45)

33

al-qur’an lebih megedepankan pemahaman yang lebih utuh dalam memahami adanya munasabah antar al-Qur’an (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an).

b. Metode penafsiran Ibnu Katsir

Dalam menafsirkan ayat al-qur’an, maka metode penafsiran Ibnu Katsir dapat dikategorikan metode tahlily, yaitu suatu metode tafsir yang menjelaskan kandungan al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Dalam metode ini, mufassir mengikuti susunan ayat sesuai dengan tartib mushafi, dengan mengemukakan kosa kata, penjelasan arti global ayat, mengemukakan munasabah, dan membahas asbab al-nuzul, disertai dengan sunnah Rasul saw, pendapat sahabat tabi’in dan pendapat para mufassir itu sendiri. Hal ini diwarnai dengan latar belakang pendidikan dan sering pula bercampur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu dalam memaknai makna dari ayat al-Qur’an.

Dalam tafsir al-Qur’an al-Azhim, Imam Ibnu Katsir menjelaskan arti kosa kata tidak selalu dijelaskan. Karena, kosa kata dijelaskannya ketika dianggap perlu ketika dalam menafsirkan ayat. Dalam menafsirkan suatu ayat juga ditemukan kosa kata dari suatu lafaz, sedangkan pada lafaz yang lain dijelaskan arti globalnya, karena mengandung suatu istilah dan bahkan dijelaskan secara lugas dengan memperhatikan kalimat seperti menafsirkan kata huda li al-Muttaqin dalam surat al-Baqarah ayat 2.

(46)

34

Disampaikan pula beberapa ayat yang menjadi latar belakang penjelasanya tersebut yaitu surat Fushilat ayat 44; Isra ayat 82 dan yunus 57.41

Di samping itu, dalam tafsir ibnu katsir terdapat beberapa corak tafsir. Hal ini dipengaruhi dari beberapa bidang kedisiplinan ilmu yang dimilikinya. Adapun corak-corak tafsir yang ditemukan dalam tafsir ibnu katsir yaitu corak fiqih, corak ra’yi dan corak qira’at.42

c. Penafsiran ibnu katsir surat Al-‘Ashr ayat 1-3

“ demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali

orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran “.43

Al-A’shr berarti masa yang di dalamnya berbagai aktivitas anak cucu adam berlangsung, baik dalam wujud kebaikan maupun keburukan. Imam malik meriwayatkan dari zaid bin aslam: “kata al-‘Ashr berarti shalat ‘Ashar. Dan yang paling popular adalah pendapat yang pertama.

Dengan demikian, Allah Ta’ala telah bersumpah dengan masa tersebut bahwa manusia itu dalam kerugian, yakni benar-benar merugi dan binasa, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih. Dengan demikian, Allah memberikan pengecualian dari kerugian itu bagi orang-orang yang beriman

41

Ibnu Katsir, tafsir al-qur’an al-azhim, jilid 1, hlm. 39.

42

Ali Hasan Ridha, sejarah dan metodologi tafsir (terj), ahmad akrom, (Jakarta:rajawali press, 1994), hlm. 59.

43

(47)

35

dengan hati mereka dan mengerjakan amal shalih melalui anggota tubuhnya. Dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran, yaitu mewujudkan semua bentuk ketaatan dan meninggalkan semua yang diharamkan. Dan nasihat-menasihati supaya menetapi kebenaran, yakni bersabar atas segala macam cobaan, takdir, serta gangguan yang dilancarkan kepada orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Pandangan beliau tentang tafsir surat al-‘Ashr menyatakan bahwa surat al -‘Ashr merupakan surat yang sangat popular dikalangan para sahabat. Setiap kali

para sahabat mengakhiri suatu pertemuan, mereka menutupnya dengan surat al-‘Ashr. Imam Syafi’i dan juga tafsir mizan menyatakan bahwa walaupun surat al-‘Ashr suratnya pendek, tapi ia menghimpun hampir seluruh isi al-Qur’an. Kalau al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan yang turun itu hanya surat al-‘Ashr saja, maka itu sudah cukup menjadi pedoman umat manusia.

(48)

36

terhindar dari bencana-bencana dan predestinasi, serta membahayakan diri dan menyakiti orang-orang yang menyuruhnya.44

Menurut keterangan beliau juga di dalam tafsirnya: “suatu keterangan

daripada ath-Tabrani yang ia terima dari jalan Hammad Bin Salmah, dari Tsabit Bin ‘Ubaidillah bin Hasan: “kalau dua orang sahabat-sahabat Rasulullah saw bertemu, belumlah mereka berpisah melainkan salah seorang di antara mereka membaca surat al-‘Ashr ini terlebih dahulu, barulah mereka mengucapkan salam tanda berpisah.”

2. Tafsir Fi Dzilalil Qur’an

a. Metode penafsirannya

Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, karangan sayyid terdiri atas delapan jilid, dan

masing-masing jilidnya yang diterbitkan Dar al-syuruq, mesir, mencapai ketebalan rata-rata 600 halaman.

Term Dzilal yang berarti “naungan” sebagai judul utama tafsir Sayyid Qutb, memiliki hubungan langsung dengan kehidupannya. Sebagai catatan mengenai riwayat hidup Sayyid Qutb, dan juga telah disinggung pada uraian yang lalu bahwa dia sejak kecilnya telah menghafal al-qur’an, dan dengan kepakarannya dalam bidang sastra, dia memahami al-qur’an secara baik dan benar dengan kepakarannya itu, serta segala kehidupannya selalu mengacu pada ajaran

(49)

37

al-qur’an. Oleh karena itu, Sayyid Qutb menganggap bahwa hidup dalam naungan al-ur’an sebagai suatu kenikmatan.

Selanjutnya, bila karya tafsir fi zilalil qur’an ddicermati aspek-aspek metodologisnya, ditemukan bahwa karya ini menggunakan metode tahlily, yakni metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-qur’an dari seluruh aspeknya secara runtut, sebagaimana yang tersusun dalam mushaf. Dalam tafsirnya, diuraikan korelasi ayat, serta menjelaskan hubungan maksudayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, diuraikan latar belakang turunnya ayat (sebab nuzul), dan dalil-dalil yang berasal dari al-qur’an, rasul, atau sahabat, dan para tabi’in, yang disertai dengan pemikiran rasional (ra’yu).

Kerangka metode tahlily yang digunakan sayyid qutb tersebut, terdiri atas dua tahap dalam menginterprestasikan ayat-ayat al-qur’an. Pertama sayyid qutb hanya mengambil dari al-qur’an saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan, referensi, dan sumber-sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama dan langsung. Tahap kedua, sifatnya sekunder, serta penyempurna bagi tahap pertama yang dilakukan Sayyid Qutb. Dengan metode yang kedua ini, sebagaimana dikatakan Adnan Zurzur yang dikutip oleh al-Khalidi bahwa Sayyid Qutb dalam menggunakan rujukan sekunder, tidak terpengaruh terlebih dahulu dengan satu warna pun diantara corak-corak tafsir dan takwil, sebagaimana hal itu juga menunjukkan tekad beliau untuk tidak keluar dari riwayat-riwayat yang sahih dalam tafsir al-ma’tsur.

(50)

38

pemikirannya. Adapun rujukan utama Sayyid Qutb dalam mengutip pendapat-pendapat ulama, adalah merujuk pada beberapa karya tafsir ulama yang diklaim sebagai karya tafsir bi al-ma’tsur kemudian merujuk juga pada karya tafsir bi al -ra’y. dari sini dapat dipahami bahwa metode penafsiran Sayyid Qutb, juga tidak terlepas dari penggunaan metode tafsir muqaran.

b. Corak penafsirannya

Bisa dikatakan kitaf tafsir Fi Zilalil Qur’an yang dikarang oleh Sayyid

Qutb termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam melakukan penafsiran al-qur’an. Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan al-qur’an. Termasuk diantaranya adalah melakukan pembaruan dalam bidang penafsiran dan di satu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang dia rasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsirannya adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan al-qur’an.

(51)

39

Karena pada dasarnya, hidayah merupakan hakikat dari al-qur’an itu sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-qur’an. Menurutnya, al-qur’an adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit serta ajaran kehidupan. Dan Allah telah menjadikan sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih tertutup dan obat bagi segala penyakit.

Pandangan seperti beliau ini didasarkan Firman Allah yang berbunyi “dan

kami turunkan dari al-qur’an sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang

yang beriman…” dan Firman Allah: “Sesungguhnya Al-qur’an ini memberikan

petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus…”.

Sayyid Qutb sudah menampakkan karakteristis seni yang terdapat dalam al-qur’an. Dalam permulaan surat al-baqarah misalnya, akan kita temukan gaya yang dipakai al-qur’an dalam mengajak masyarakat madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam yang dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnab, namun dibalik gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan keindahan suara dan keserasian irama.

Bias dikatakan bahwa tafsir Fi Zilalil Qur’an dapat digolongkan ke dalam

tafsir al-Adabi al-ijtima’I (sastra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bias merasakan keiondahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.45

45

(52)

40

“ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali

orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran “.46

Dalam surat pendek yang hanya terdiri atas tiga ayat ini, tercermin manhaj yang lengkap bagi kehidupan manusia sebagaimana yang dikehendaki islam. Tampaklah rambu-rambu tashawwur imani dengan hakikatnya yang besar dan lengkap dalam bentuk yang sejelas-jelasnya dan secermat-cermatnya.

Surah ini meletakkan dustur islami secara menyeluruh dalam kalimat-kalimat pendek. Juga mengidentifikasi umat islam dengan hakikat dan aktifitasnya dalam sebuah ayat, yaitu ayat ketiga dari surah ini. Hal ini adalah sebuah paparan singkat yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh selain Allah.

Hakikat besar yang ditetapkan surah ini secara total adalah bahwa dalam semua rentangan zaman dan perkembangan manusia sepanjang masa, hanya ada satu manhaj yang menguntungkan dan satu jalan yang menyelamatkan, yaitu manhaj yang telah dilukiskan batas-batasnya dan diterangkan rambu-rambu

46

(53)

41

jalannya oleh surah ini. Adapun yang berada di luar dan bertentangan dengannya adalah kesia-siaan dan kerugian.

Manhaj itu adalah iman, amal saleh, saling menasihati untuk menaati kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.

Apakah iman itu?

Kami tidak mendefinisikan iman dengan definisi fiqih, tetapi kami memicarakan tentang tabiat dan nilainya dalam kehidupan.

Iman adalah hubungan wujud insani yang fana, kecil, dan terbatas dengan asal yang mutlak dan azali serta abadi yang menjadi sumber semesta. Karena itu, ia berhubungan dengan wujud yang berasal dari sumber itu, aturan-aturan yang mengatur alam semesta ini, dan kekuatan-kekuatan beserta potensi-potensi yang tersimpan di dalamnya. Dengan demikian, ia bisa terlepas dari kungkungan dirinya sendiri yang kecil ke lapangan semesta yang besar. Juga dari kekuatannya yang kecil kepada potensi-potensi alam yang tak diketahui, dan dari keterbatasan usianya kepada masa berabad-abad yang hanya diketahui oleh Allah swt.

(54)

42

Dengan demikian, kehidupan adalah sebuah wisata dalam festifal Ilahi yang memberikan posisi kepada manusia dalam semua tempat dan kesempatan.

Kehidupan imani adalah suatu kebahagiaan yang tinggi, dan kegembiraan yang indah. Ia juga merupakan kemesraan terhadap kehidupan dan alam semesta ini seperti kemesraan dengan kekasihnya. Karena itu, kehidupan imani ini adalah sebuah keberuntungan yang tiada bandingnya, dan kehidupan tanpa iman adalah kerugian yang tiada bandingnya pula. Pasalnya, unsure-unsur iman itu sndiri merupakan unsure-unsur kemanusiaan yang tinggi dan mulia.

Beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa membebaskan manusia dari penyembahan kepada selain-Nya. Juga akan menanamkan di dalam jiwanya rasa kesamaan dengan semua hamba Allah. Karena itu, ia tidak merendahkan dirinya kepada seorangpun, dan tidak menundukkan kepalanya kepada Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha perkasa. Sehingga, ia merasakan kebebasan dan kemerdekaan yang hakiki sebagai manusia. Yakni kebebasan yang bersumber dari hati nurani dan dari pandangannya terhadap hakikat yang realistis pada alam semesta. Sesungguhnya hanya adaa satu kekuatan dan sesembahan. Maka, kebebasan dan kemerdekaan yang bersumber dari tashawwur ‘pola pandang’ demikian adalah

kemerdekaan diri yang sebenarnya karena sangat logis dan rasional.

(55)

43

kepentingan pribadi tersingkir dari kehidupannya, lalu digantikan dengan syari’at dan keadilan.

Selain itu, rasa ketuhanan akan meninggikan perasaan manusia untuk beriman dengan nilai manhaj-Nya. Kemudian iamengunggulkannya atas pola pandang jahiliah, tata nilai, dan norma-normanya. Juga atas semua tata nilai yang dikembangkan dari ikatan-ikatan dunia nyata walaupun ia hanya seorang diri yang bersikap begitu. Karena ia menghadapi semuanya dengan pola pandang, tata nilai, dan norma-norma yang bersumber dari Allah secara langsung. Karena itu, apa yang dari Allah inilah yang lebih tinggi, lebih kuat, serta lebih patut diikuti dan dihormati.

Kejelasan hubungan al-khaliq dengan makhluk, dan kejelasan posisi uluhiyyah dan posisi ubudiyah atas hakikatnya yang indah, dapat menjalinkan hubungan antara makhluk yang fana ini dan hakikat yang abadi tanpa keruwetan dan perantaraan siapa pun di dalam menempuh jalannya. Ia memberikan cahaya dalam hati, ketentraman dalam ruh, dan ketenangan dan kemantapan dalam jiwa. Juga menghilangkan kebimbangan, ketakutan, kegoncangan, dan kelabilan, sebagaimana dapat menghilangkan sikap takabur dan congkak di muka bumi secara tidak benar. Selain itu, ia pun menghilangkan sikap kesombongan dan tinggi hati terhadap sesame hamba Allah dngan cara yang bathil dan mengada-ada.

(56)

44

adanya dorongan-dorongan dan mengarah kepada tujuan yang hendak dicapai. Setiap anggota yang saling terikat, bekerjasama dan bantu-membantu karena mencari keridhaan Allah. Maka, berdirilah kaum muslimin dengan satu tujuan yang jelas, dan dengan sebuah panji-panji yang khusus. Hal demikian sebagaimana generasi yang dating silih berganti dan terikat dengan tali yang kuat in, saling menjaga kelestariannya.

Percaya pada kemuliaan manusia dalam pandangan Allah, akan dapat mengangkat pandangan manusia terhadap dirinya sendiri. Juga akan menebarkan dalam hatinya perasaan malu untuk melakukan sesuatu yang dapat merendahkan dirinya dari martabat yang tinggi itu. Ini adalah pandangan tertinggi manusia terhadap dirinya bahwa ia adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah.

(57)

45

Bersihnya perasaan itu dating sebagai akibat langsung dari perasaan terhadap kemuliaan manusia dalam pandangan Allah. Juga dari perasaan dan kesadaran akan adanya pengawasan Allah terhadap hati, dan pengetahuan-Nya terhadap segala rahasia. Dengan demikian, orang normal tidak dirusak oleh pandangan dan teori Frued, Karl Marx, dan orang-orang sejenisnya, akan merasa malu kalau keburukan-keburukan dirinya dan penghianatan perasaannya diketahui orang lain. Orang yang beriman akan merasakan dan menyadari adanya pengawasan Allah yang maha suci kepada semua sudut perasaanya yang menjadikannya merinding dan bergetar. Karena itu, ia lebih patut mensucikan dan membersihkan perasaannya.

Kesadaran berakhlak adalah buah yang otomatis dan alami dari keimanan kepada Tuhan yang maha adil, maha penyayang, maha mulia, maha pengasih, lagi maha penyantun. Tuhan yang benci kepada keburukan dan cinta kepada kebaikan, dan mengetahui penghianatan pandangan dan apa yang disembunyikan oleh hati.

(58)

46

memandang bahwa segala sesuatu itu ada bernilai di alam semesta in, dan akan dimintai pertanggung jawabannya.

Dengan demikian, seorang mukmin akan melepaskan diri dari bersusah payah terhadap kekayaan dunia, ini merupakan salah satu arahan iman. Ia memilih apa yang ada di sisi Allah, karena itulah yang lebih baik dan lebih kekal.

Dan untuk itulah hendaknya manusia berlomba-lomba.” (al-Muthaffifin: 26)

Berlomba-lomba untuk mendapatkan apa yang ada di sisi Allah, akan dapat meninggikan derajat seseorang dan akan membersihkan serta menyucikan hati dan pikirannya. Hal ini akan membantu melapangkan medan gerak seorang mukmin antara dunia dan akhirat, antara bumi dan alam yang tinggi (alam ruhani, alam malaikat). Juga akan dapat menenangkan hati dari goncangan untuk segera mendapatkan hasil dan buahnya. Maka, ia melakukan kebaikan karena apa yang dilakukannya itu adalah baik, dank arena Allah menghendakinya.

Ia tidak hanya mengharapkan cucuran kebaikan menurut pandangan mata dalam usianya yang terbatas ini. Karena, Allah tidak akan pernah meninggal dunia-maha suci Allah dari yang demikian itu- dan tidak akan pernah lupa, serta tidak akan pernah melalaikan amalannya sedikitpun. Sedangngkan, bumi bukan negeri tempat menerima balasan dan kehidupan dunia bukan akhir perjalanan.

(59)

47

manusia, baik dalam menghadapi kezaliman penguasa yang zalim, tekanan sistem jahiliah, maupun ambisi-ambisi manusia yang menekan kehendak bebasnya. Tekanan yang dipicu oleh perasaan diri yang terbatas usianya hingga tidak mampu meraih semua kesenangan dan ambisinya. Juga karena ketidakmampuannya melihat hasil-hasil kebaikan yang jauh jangkauannya, dank arena menyaksikan menangnya kebenaran atas kebatilan. Keimanan akan dapat mengobati perasaan ini secara mendasar dan sempurna.

Iman merupakan pokok kehidupan yang besar, yang menjadi sumber segala cabang kebaikan, dan menjadi tali pergantungan buah-buahnya. Kalau kbaikan tidak bersumber pada iman, maka ia merupakan cabang yang terputus dari batangnya, yang akan layu dan kering. Kalau tidak begitu, yang ada hanyalah system setan, yang tidak memiliki keteguhan dan kelanggengan.

Iman merupakan poros tempat bertambatnya semua rajutan kehidupan yang tinggi. Kalau tidak berporoskan iman, maka rajutan kehidupan akan berantakan, tidak memiliki tambatan dan akan berserakan bersama hawa nafsu dan keinginan-keinginan.

Iman adalah manhaj yang menyatukan berbagai macam amal dan perbuatan. Ia mengembalikannya kepada sisitem yang sesuai dengannya, saling membantu, dan berjalan bersamanya pada satu jalur. Semua itu dilakukan dengan gerakan yang sama, dengan motivasi yang dimaklumi, dan dengan tujuan yang pasti.

(60)

48

manhaj ini. Pandangan islam sudah sangat jelas dan tegas mengenai semua persoalan ini. al-Qur’an mengatakan,

“orang-orang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka seperti abu yang

diptiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak

dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di

dunia).”(Ibrahim: 18)

“orang-orang yang kafir amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang

datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya

air itu tidak dapat mendapatinya sesuatu apapun”. (an-Nur: 39)

Ini adalah nash-nash yang jelas dan terang mengenai persoalan tersia-sianya nilai semua amalan jika tidakberdasarkan keimanan yang menjadi motivator sekaligus penghubungnya dengan sumber segala yang wujud, dan menjadikan tujuan amalannya selaras dengan tujuan penciptaan itu sendiri. Inilah pandangan yang logis bagi akidah yang mengembalikan semua urusan kepada Allah. Barang siapa yang teroutus hubungannya dari keimanan dan dari Allah, maka terputus dan hilanglah hakikat maknanya.

(61)

49

sempurnanya perangkat yang digunakan untuk berintraksi. Yakni, eksistensi manusia itu sendiri yang berpedoman pada pola pikir yang salah. Ini sekaligus sebagai indikasi yang menunjukkan pada kerusakan yang membawa kerugian. Tidak sah amalan yang dilakukannya meskipun secara lahiriah bersentuhan dengan kebaikan.

Dunia orang beriman itu luas, lengkap, lapang, yinggi, indah, dan membahagiakan. Sedangkan, dunia orang non mukmin tampak kecil, kerdil, rendah, hina, membingungkan, menyengsarakan, dan sangat merugikan.

Amal saleh merupakan buah alami bagi iman, dan gerakan yang di diorong oleh adanya hakikat iman yang mantap di dalam hati. Jadi, iman merupakan hakikat yang aktif dan dinamis. Apabila sudah mantab di dalam hati, maka ia aka berusaha merealisasikan diri di luar dala bentuk amal saleh. Inilah iman islami, yang tidak mungkin stagnam (mandek) tanpa bergerak, dan tidak mungkin hanya bersembunyi tanpa menampakkan diri dalam bentuk yang hidup di luar diri orang yang beriman. Apabila ia tidak bergerak dengan gerakan yang otomatis ini, maka iman itu palsu atau telah mati. Keadaanya seperti bunga yang tidak dapat menahan bau harumnya. Ia menjadi sumber otomatis. Kalau tidak, berarti ia tidak ada wujudnya.

(62)

50

yang menonjol yang menjadi kekuatan pembangunan yang sangat besar di dalam kehidupan.

Inilah pengertiannya selama iman itu sebagai ikatan dengan manhaj Rabbani. Manhaj ini adalah gerakan yang konstan dan berkesenimbungan di dalam wujud semesta, yang bersumber dari suatu perencanaan dan menuju tujuan. Sedangkan panduan iman kepada manusia merupakan panduan untuk merealisasikan gerakan yang merupakan karakter semesta yaitu gerakan yang baik, bersih, konstuktif dan sesuai dengan manhaj yang bersumber dari Allah.

Referensi

Dokumen terkait

TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui

Jenis yang paling sedikit ditemui adalah Balanophora dioica yang hanya tersebar di dua lokasi di Gunung Talang, Pada penelitian ini jenis yang hanya di temukan

diameter kalus mencapai ± 1 cm pada umur empat minggu setelah tanam Hasil isolasi dan identifikasi kalus EGCG dengan HPLC dilakukan dengan cara membandingkan waktu

You can think of a home care agency as a kind of employment agency, in that it provides highly qualified child care providers, nannies, a home health aide, a nurse aide/assistant,

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori yang telah dipaparkan, dapat dijelaskan bahwa manajemen laba merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh manajemen

5-18 Gambar 5.23 Kondisi Saluran Jalan KS Tubun di Kawasan Tanjung Laut yang menuju ke Sungai Bontang (1) .....

(3) Untuk kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi di Lini IV ke petani atau Kelompok Tani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten

Pada tabel 4.77 di atas dapat diketahui bahwa variabel intensitas komunikasi orang tua Sdn 2 mampu menjelaskan perubahan pada variabel motivasi belajar. Mengacu pada