ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran mengenai learned helplessness pada pasien stroke rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung.
Sampel pada penelitian ini adalah 20 orang pasien stroke dewasa madya yang sedang menjalani masa rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung.
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner Learned Helplessness yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan teori learned helplessness dari Seligman (1990). Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan distribusi frekuensi dan tabulasi silang antara data utama dengan data penunjang, yaitu jenis kelamin, usia, pendidikan, tingkat religiusitas, status marital, pekerjaan, dukungan dari keluarga, pihak yang menanggung responden secara finansial selama terserang stroke, keyakinan sembuh, riwayat penyakit stroke yang diderita, jenis explanatory style, serta diagnosis dan prognosa dari dokter mengenai penyakit stroke yang diderita oleh responden.
Dari hasil penelitian, diperoleh data bahwa sebagian besar responden (55%) menunjukkan derajat learned helplessness yang tergolong mildly helpless, sementara sisanya menunjukkan derajat learned helplessness yang tergolong non helpless (35%) dan moderately helpless (10%).
Saran yang diajukan untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan penelitian mengenai keterkaitan antara penghayatan mengenai dukungan di dalam keluarga dengan learned helplessness dan penelitian mengenai explanatory style dari sudut pandang agama.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. Identifikasi Masalah ... 11
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian... 11
1.4. Kegunaan Penelitian ... 12
1.5. Kerangka Pikir ... 13
1.6. Asumsi ... 25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Learned Helplessness... 26
2.1.1. Dua Cara Dalam Memandang Kehidupan ... 26
2.1.2. Helplessness ... 27
2.1.3. Learned Helplessness dan Explanatory Style ... 29
2.1.4. Dimensi-Dimensi Explanatory Style... 30
2.1.5. Hubungan antara Learned Helplessness dengan Depresi ... 32
2.1.6. Simptom Utama Depresi ... 35
2.2. Stroke ... 37
2.2.1. Jenis Stroke ... 38
2.2.2. Simptom Umum dari Stroke ... 39
2.2.3. Pengertian Depresi Pasca Stroke... 43
2.2.4. Orang-orang yang Beresiko Tinggi Terserang Stroke ... 43
2.3. Masa Dewasa Madya ... 44
2.3.1. Fase Generativitas Vs. Stagnasi ... 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian ... 46
3.2. Skema Rancangan Penelitian ... 46
3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 47
3.3.1. Variabel Penelitian ... 47
3.3.2. Definisi Operasional... 47
3.4. Alat Ukur... 48
3.4.1. Kuesioner Learned Helplessness ... 48
3.4.2. Prosedur Pengisian ... 50
3.4.3. Sistem Penilaian ... 51
3.4.4. Data Penunjang ... 51
3.4.5. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 52
3.4.5.1. Validitas ... 52
3.4.5.2. Reliabilitas ... 52
3.5. Populasi Target dan Teknik Pengambilan Sampel... 52
3.5.1. Populasi Target ... 52
3.5.2. Karakteristik Populasi ... 52
3.5.3. Teknik Penarikan Sampel ... 53
3.5.4. Ukuran Sampel... 53
3.6. Teknik Analisis ... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Responden ... 54
4.1.1. Jenis Kelamin Responden ... 54
4.1.2. Usia Responden... 54
4.1.3. Agama Responden ... 55
4.1.4. Status Marital Responden ... 55
4.1.5. Pendidikan Responden ... 56
4.1.6. Pekerjaan Responden ... 56
4.2. Hasil ... 57
4.2.1. Learned Helplessness... 57
4.2.2. Explanatory Style ... 57
4.3. Pembahasan... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 71
5.2. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RUJUKAN LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1. Jenis Kelamin Responden ... 54
Tabel 4.2. Usia Responden... 54
Tabel 4.3. Agama Responden ... 55
Tabel 4.4. Status Marital Responden ... 55
Tabel 4.5. Pendidikan Responden ... 56
Tabel 4.6. Pekerjaan Responden ... 56
Tabel 4.7. Learned Helplessness... 57
Tabel 4.8. G – B ... 57
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner “Learned Helplessness”
Lampiran 2 Daftar Pertanyaan untuk Wawancara
Lampiran 3 Tes “ASQ”
Lampiran 4 Gambaran Derajat Simptom Utama Learned Helplessness
Lampiran 5 Hasil Tabulasi Silang antara Learned Helplessness dengan Data
Penunjang
Lampiran 6 Case Summaries Learned Helplessness dengan Explanatory Style
Lampiran 7 Case Summaries Hasil Wawancara
Lampiran 1
Kuesioner “Learned Helplessness”
Pilihlah jawaban yang paling sesuai dalam menjelaskan apa yang anda rasakan
selama seminggu yang lalu (pembacaan soal dan pengisian jawaban dilakukan oleh tester).
Selama seminggu yang lalu
1. Saya sangat sulit dalam memilih sesuatu.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
2. Saya tidak berselera untuk makan.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
3. Saya sangat mudah menyerah ketika menemui suatu hambatan.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
4. Saya lebih buruk dari orang lain.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
5. Saya sangat sulit untuk melakukan suatu pekerjaan dengan benar.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
6. Saya merasa putus asa.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
7. Saya merasa sangat lemas.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
8. Masa depan saya suram.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
9. Hidup saya sudah gagal.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
10. Saya merasa sangat cemas.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
11. Tidur saya tidak nyenyak.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
12. Saya merasa tidak bersemangat.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
13. Saya sangat sulit untuk memulai mengerjakan suatu aktivitas.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
14. Saya merasa tidak menentu.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
15. Orang-orang tidak menyukai saya.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
16. - Saya tidak berselera untuk melakukan hubungan intim dengan pasangan
saya. (untuk yang memiliki suami/istri)
- Saya tidak berselera untuk menjalin suatu hubungan yang dekat/intim
dengan lawan jenis. (untuk yang tidak memiliki suami/istri)
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
17. Saya sangat sulit dalam melaksanakan keputusan yang saya buat.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
18. Saya merasa sangat sedih.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
19. Saya sangat sulit untuk memulai tidur.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
D. Sering atau selalu (5 – 7 hari).
20. Saya ingin mengakhiri hidup saya.
A. Tidak pernah sama sekali (0 hari).
B. Jarang atau sekali-kali (1 – 2 hari).
C. Kadang-kadang (3 – 4 hari).
Lampiran 2
Daftar Pertanyaan untuk Wawancara
coret yang bukan*)
I. Identitas
Jenis Kelamin : laki-laki / perempuan*)
Umur :
Pendidikan :
Status Marital : menikah / belum menikah / duda / janda*)
Pekerjaan :
Pensiunan (bila pensiun) :
II. Riwayat Penyakit Stroke
1. Kapan Saudara pertama kali terserang stroke?
2. Apakah akibat dari serangan stroke tersebut pada diri Saudara baik secara
fisik maupun psikis ?
3. Bagaimana penghayatan Saudara terhadap akibat dari serangan stroke
tersebut?
4. Apakah setelah serangan stroke yang pertama, Saudara pernah mengalami
serangan stroke kembali? (Jika pernah) Kapan Saudara mengalami
serangan stroke kembali?
5. (Jika pernah mengalami lebih dari satu kali serangan stroke) Apakah
akibat dari serangan stroke tersebut pada diri Saudara baik secara fisik
maupun psikis ?
6. (Jika pernah mengalami lebih dari satu kali serangan stroke) Bagaimana
penghayatan Saudara terhadap akibat dari serangan stroke tersebut?
7. Kegiatan-kegiatan apa yang dulu sering Saudara lakukan, tetapi saat ini
tidak dapat Saudara lakukan karena terserang Stroke?
8. Bagaimana penghayatan Saudara mengenai tidak bisanya Saudara
melakukan kegiataan-kegiatan tersebut karena terserang stroke?
9. Bagaimana dukungan dari keluarga selama Saudara menjalani rawat jalan?
10.Bagaimana penghayatan Saudara mengenai dukungan dari keluarga
tersebut?
11.Selama Saudara menjalani rawat jalan, siapakah yang menanggung semua
kebutuhan Saudara? Dan bagaimana penghayatan Saudara mengenai hal
12.Apakah Saudara yakin bahwa nanti kondisi Saudara akan kembali ke
kondisi awal sebelum Saudara terserang stroke?
13.(Jika yakin) Apa alasannya sehingga Saudara yakin bahwa Saudara
nantinya akan sembuh?
14.(Jika tidak yakin) Apa alasannya sehingga Saudara tidak yakin bahwa
Saudara tidak akan pernah sembuh?
15.Sejauh mana penghayatan keagamaan Saudara mempengaruhi sikap
Lampiran 3
Tes “ASQ”
Terima kasih atas kesediaan Saudara untuk mengisi kuesioner ini. Di dalam
kuesioner ini Saudara dihadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang
menceritakan tentang suatu situasi yang ada kaitannya dengan penyakit stroke yang Saudara derita. Setiap pernyataan memiliki dua pilihan jawaban (sebagai penyebabnya) yang harus Saudara pilih salah satu dengan cara melingkari huruf A atau B yang berada di depan setiap pilihan jawaban (pembacaan soal dan pengisian jawaban dilakukan oleh tester).
Jika Saudara belum pernah mengalami situasi tersebut, maka cobalah membayangkan andaikan Saudara mengalaminya.
Di sini tidak ada jawaban yang benar atau jawaban yang salah, Saudara bebas memilih salah satu jawaban yang menurut Saudara paling sesuai dengan diri Saudara bukan berdasarkan apa yang benar menurut norma masyarakat.
Pilihlah salah satu pilihan jawaban yang menurut Saudara paling sesuai dengan diri Saudara!
1. Anda mengalami banyak kemajuan selama menjalani proses perawatan
jalan setelah keluar dari rumah sakit. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Anda sangat memperhatikan dan mengikuti dengan seksama semua
perintah dari dokter.
B. Dokter yang menangani Anda benar-benar telah bekerja keras
dalam merawat Anda.
2. Tiba-tiba anda tidak bisa merasakan tangan anda (mati rasa). Menurut
Anda, hal ini karena...
A. Anda tidak mengikuti petunjuk dari dokter dengan benar.
B. Dokter memberikan obat yang tidak cocok dengan kondisi Anda.
3. Setelah cukup lama menjalani rawat jalan, anda sudah tidak merasakan
A. Dokter memberikan obat yang tepat.
B. Anda rajin mengikuti hal-hal yang dianjurkan oleh dokter.
4. Anda tidak bisa mengingat tanggal lahir pasangan Anda. Menurut Anda,
hal ini karena...
A. Anda sulit dalam mengingat hari ulang tahun seseorang.
B. Anda sedang sibuk memikirkan hal-hal lainnya.
5. Anda kembali mampu untuk menggerakkan kaki anda. Menurut Anda, hal
ini karena...
A. Obat yang diberikan oleh dokter untuk merangsang saraf kaki
tersebut ternyata berhasil.
B. Proses pengobatan secara keseluruhan ternyata berhasil.
6. Anda sekarang sudah mampu menggenggam suatu barang, padahal
sebelumnya tidak. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Dokter memberikan terapi yang sesuai.
B. Anda melakukan terapi yang diberikan oleh dokter dengan benar.
7. Anda terlalu sibuk melatih kemampuan bicara anda, sehingga fungsi
tangan anda yang tadinya berada dalam kondisi yang cukup baik, menjadi
memburuk. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Anda sulit untuk membagi perhatian pada setiap bagian tubuh
Anda yang mengalami gangguan.
B. Anda terlalu senang bahwa Anda bisa kembali berkomunikasi
dengan orang lain, sehingga latihan fungsi tangan terkadang
terlupakan.
8. Anda sudah mampu berjalan kembali. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Fungsi motorik kaki Anda sedang dalam kondisi yang baik.
B. Fungsi motorik kaki Anda sudah baik.
9. Pandangan anda yang semula kabur, kini sudah mulai kembali normal.
Menurut Anda, hal ini karena...
B. Fungsi penglihatan Anda sudah membaik.
10.Setelah cukup lama menjalani rawat jalan, anda masih sulit untuk
menggenggam barang dengan tangan anda. Menurut Anda, hal ini
karena...
A. Anda tidak menuruti semua hal yang dianjurkan oleh dokter.
B. Anda kurang melatih genggaman tangan Anda di rumah.
11.Anda sudah berusaha menuruti semua yang dikatakan oleh dokter, tetapi
kemajuan yang anda capai tidak terlalu memuaskan. Menurut Anda, hal ini
karena...
A. Program pengobatan yang diberikan oleh dokter tidak cocok
dengan kondisi Anda.
B. Mungkin ada beberapa hal yang terlupakan selama proses
pengobatan.
12.Anda tidak juga dapat menyebutkan beberapa buah kata dengan benar
walaupun anda telah melatihnya cukup lama. Menurut Anda, hal ini
karena...
A. Anda kurang bersungguh-sungguh dalam mengikuti segala sesuatu
yang dianjurkan dokter selama ini.
B. Anda kurang bersungguh-sungguh dalam melatih kemampuan
berbicara anda.
13.Anda tiba-tiba merasa marah karena orang-orang sulit untuk mengerti apa
yang anda ucapkan. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Anda kesal karena mereka tidak mengerti apa yang Anda ingin
sampaikan.
B. Anda sedang berada dalam mood yang kurang baik.
14.Anda cukup baik saat melakukan tes yang berhubungan dengan daya
ingat. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Anda memang pengingat yang baik.
15.Karena merasa sudah cukup baik, anda bertanya kepada dokter apakah
anda sudah boleh untuk menghentikan perawatan jalan dan dokter
menjawab tidak. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Anda memang belum sembuh secara total.
B. Dokter belum percaya bahwa Anda sudah sembuh.
16.Anda mencoba suatu teknik latihan untuk merangsang fungsi motorik kaki
anda yang belum pernah diberikan oleh dokter, dan ternyata anda berhasil.
Menurut Anda, hal ini karena...
A. Anda memang memahami teknik yang tepat untuk melatih kaki
Anda.
B. Anda memahami apa yang harus dilakukan terhadap berbagai
hambatan fisik yang Anda alami akibat stroke.
17.Pasien lain bertanya kepada anda mengenai cara untuk mengembalikan
kemampuan tangan untuk menggenggam dengan cepat. Menurut Anda, hal
ini karena...
A. Anda memang cukup paham mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan fungsi motorik tangan.
B. Anda memang cukup paham mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan penanganan hambatan-hambatan fisik akibat
stroke.
18.Dokter anda memberitahu bahwa anda terlalu banyak mengkonsumsi gula,
sehingga kondisi anda memburuk. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Anda tidak terlalu memperhatikan mengenai diet Anda.
B. Anda tidak bisa menghindari mengkonsumsi gula yang ada di
hampir semua makanan.
19.Orang-orang di sekitar anda sudah dapat mengerti kata-kata yang anda
ucapkan, padahal sebelumnya tidak. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Kemampuan berbicara Anda sedang berada dalam kondisi yang
baik.
20.Anda menunjukkan kemajuan lebih pesat dalam pemulihan bagian-bagian
tubuh yang lumpuh daripada pasien-pasien stroke lainnya. Menurut Anda,
hal ini karena...
A. Anda mampu mengatasi kelumpuhan Anda dengan sangat baik.
B. Anda mampu mengatasi hambatan-hambatan yang Anda alami
akibat stroke dengan baik.
21.Anda kembali tidak dapat merasakan satu tangan anda. Menurut Anda, hal
ini karena...
A. Pengobatan yang Anda jalani tidak sesuai dengan kondisi Anda.
B. Pengobatan yang sedang Anda jalani saat ini lebih terfokus untuk
pemulihan bagian-bagian tubuh yang lain.
22.Setelah terserang stroke, ternyata anda kembali dapat melakukan olahraga
kegemaran anda. Menurut Anda, hal ini karena...
A. Dokter memberikan obat yang tepat.
B. Anda selalu berusaha keras agar tetap dapat melakukan apa yang
Anda suka.
23.Anda tidak bisa menggerakkan bagian-bagian tubuh sebelah kanan anda,
dan keadaannya lebih parah daripada sebelumnya. Menurut Anda, hal ini
karena...
A. Kondisi tubuh Anda selalu kurang baik.
B. Kondisi tubuh Anda sedang menurun.
24.Anda tetap belum dapat memegang pulpen dan menulis dengan lancar
walaupun telah cukup lama menjalani perawatan jalan. Menurut Anda, hal
ini karena...
A. Anda jarang melatihnya di rumah.
B. Dokter tidak memberitahu cara untuk melatihnya dengan benar.
Lampiran 4
Gambaran Derajat Simptom Utama Learned Helplessness
Lampiran 4.1 Negative Thought
Derajat Frekuensi Presentase
Non Negative Thought 15 75%
Mildly Negative Thought 3 15%
Moderately Negative Thought 2 10%
Total 20 100%
Lampiran 4.2 Negative Mood
Derajat Frekuensi Presentase
Non Negative Mood 8 40%
Mildly Negative Mood 7 35%
Moderately Negative Mood 5 25%
Total 20 100%
Lampiran 4.3 Negative Behavior
Derajat Frekuensi Presentase
Non Negative Behavior 12 60%
Mildly Negative Behavior 6 30%
Moderately Negative Behavior 2 10%
Total 20 100%
Lampiran 4.4 Negative Physical Response
Derajat Frekuensi Presentase
Non Negative Physical Response 2 10%
Mildly Negative Physical Response 12 60%
Moderately Negative Physical Response 6 30%
Lampiran 5
Hasil Tabulasi Silang antara Learned Helplessness dengan Data Penunjang
Lampiran 5.1
Learned Helplessness * Negative Thought Crosstabulation
7 0 0 7
75,0% 15,0% 10,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.2
Learned Helplessness * Negative Mood Crosstabulation
5 2 0 7
71,4% 28,6% ,0% 100,0%
3 5 3 11
27,3% 45,5% 27,3% 100,0%
0 0 2 2
,0% ,0% 100,0% 100,0%
8 7 5 20
40,0% 35,0% 25,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.3
Learned Helplessness * Negative Behavior Crosstabulation
6 1 0 7
85,7% 14,3% ,0% 100,0%
6 4 1 11
54,5% 36,4% 9,1% 100,0%
0 1 1 2
,0% 50,0% 50,0% 100,0%
12 6 2 20
60,0% 30,0% 10,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
Lampiran 5.4
Learned Helplessness * Negative Physical Response Crosstabulation
2 5 0 7
10,0% 60,0% 30,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Negative Physical Response
Total
Lampiran 5.5
Learned Helplessness * Permanence Bad Crosstabulation
6 1 7
85,7% 14,3% 100,0%
10 1 11
90,9% 9,1% 100,0%
2 0 2
100,0% ,0% 100,0%
18 2 20
90,0% 10,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.6
Learned Helplessness * Permanence Good Crosstabulation
5 2 7
71,4% 28,6% 100,0%
7 4 11
63,6% 36,4% 100,0%
1 1 2
50,0% 50,0% 100,0%
13 7 20
65,0% 35,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
Lampiran 5.7
Learned Helplessness * Pervasiveness Bad Crosstabulation
6 1 7
85,7% 14,3% 100,0%
10 1 11
90,9% 9,1% 100,0%
1 1 2
50,0% 50,0% 100,0%
17 3 20
85,0% 15,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.8
Learned Helplessness * Pervasiveness Good Crosstabulation
1 6 7
14,3% 85,7% 100,0%
5 6 11
45,5% 54,5% 100,0%
1 1 2
50,0% 50,0% 100,0%
7 13 20
35,0% 65,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.9
Learned Helplessness * Personalization Bad Crosstabulation
3 4 7
42,9% 57,1% 100,0%
4 7 11
36,4% 63,6% 100,0%
0 2 2
,0% 100,0% 100,0%
7 13 20
35,0% 65,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
Lampiran 5.10
Learned Helplessness * Personalization Good Crosstabulation
2 5 7
28,6% 71,4% 100,0%
3 8 11
27,3% 72,7% 100,0%
2 0 2
100,0% ,0% 100,0%
7 13 20
35,0% 65,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.11
Learned Helplessness * Total B Crosstabulation
5 2 7
71,4% 28,6% 100,0%
9 2 11
81,8% 18,2% 100,0%
2 0 2
100,0% ,0% 100,0%
16 4 20
80,0% 20,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.12
Learned Helplessness * Total G Crosstabulation
1 6 7
14,3% 85,7% 100,0%
3 8 11
27,3% 72,7% 100,0%
1 1 2
50,0% 50,0% 100,0%
5 15 20
25,0% 75,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
Lampiran 5.13
Learned Helplessness * G - B Crosstabulation
0 7 7
,0% 100,0% 100,0%
3 8 11
27,3% 72,7% 100,0%
1 1 2
50,0% 50,0% 100,0%
4 16 20
20,0% 80,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.14
Learned Helplessness * Hope Crosstabulation
6 1 7
85,7% 14,3% 100,0%
10 1 11
90,9% 9,1% 100,0%
2 0 2
100,0% ,0% 100,0%
18 2 20
90,0% 10,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.15
Learned Helplessness * Jenis Kelamin Crosstabulation
4 3 7
57,1% 42,9% 100,0%
6 5 11
54,5% 45,5% 100,0%
0 2 2
,0% 100,0% 100,0%
10 10 20
50,0% 50,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
Lampiran 5.16
Learned Helplessness * Umur Crosstabulation
1 6 7
14,3% 85,7% 100,0%
4 7 11
36,4% 63,6% 100,0%
1 1 2
50,0% 50,0% 100,0%
6 14 20
30,0% 70,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Lampiran 5.17
Learned Helplessness * Pendidikan Crosstabulation
1 2 2 1 1 0 7 % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness
Lampiran 5.18
Learned Helplessness * Status Marital Crosstabulation
7 0 7
100,0% ,0% 100,0%
10 1 11
90,9% 9,1% 100,0%
2 0 2
100,0% ,0% 100,0%
19 1 20
95,0% 5,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
Lampiran 5.19
Learned Helplessness * Pekerjaan Crosstabulation
1 3 2 1 7
14,3% 42,9% 28,6% 14,3% 100,0%
3 3 2 3 11
27,3% 27,3% 18,2% 27,3% 100,0%
1 1 0 0 2
50,0% 50,0% ,0% ,0% 100,0%
5 7 4 4 20
25,0% 35,0% 20,0% 20,0% 100,0%
Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness
Lampiran 5.20
Learned Helplessness * Jumlah Serangan Stroke Crosstabulation
5 2 0 7
70,0% 25,0% 5,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Jumlah Serangan Stroke
Total
Lampiran 5.21
Learned Helplessness * Akibat Stroke Crosstabulation
4 0 3 7
57,1% ,0% 42,9% 100,0%
3 1 7 11
27,3% 9,1% 63,6% 100,0%
0 0 2 2
,0% ,0% 100,0% 100,0%
7 1 12 20
35,0% 5,0% 60,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
Lampiran 5.22
Learned Helplessness * Akibat Yang Bersifat Fisik Crosstabulation
1 1 2 2 0 0 1 0 0 0 0 0 7 % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Akibat Yang Bersifat Fisik
Total
Lampiran 5.23
Learned Helplessness * Akibat Yang Bersifat Psikis Crosstabulation
1 0 1 1 0 4 7 % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness
tidak stabil Pelupa
Cemas Akibat Yang Bersifat Psikis
Total
Lampiran 5.24
Learned Helplessness * Penghayatan Mengenai Akibat Stroke Crosstabulation
1 2 2 0 2 7
35,0% 10,0% 35,0% 5,0% 15,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Menerima Bingung Takut Sedih
Sedih dan Takut Penghayatan Mengenai Akibat Stroke
Lampiran 5.25
Learned Helplessness * Kegiatan Yang Kini Tidak Bisa Dilakukan Akibat Stroke Crosstabulation
3 0 0 0 1 3 7 % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Kegiatan Yang Kini Tidak Bisa Dilakukan Akibat Stroke
Total
Lampiran 5.26
Learned Helplessness * Penghayatan Perubahan Kegiatan Crosstabulation
0 2 0 5 7
40,0% 25,0% 10,0% 25,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Menerima Sedih Menyesal Biasa Saja Penghayatan Perubahan Kegiatan
Total
Lampiran 5.27
Learned Helplessness * Penerimaan Terhadap Dukungan Keluarga Crosstabulation
1 5 1 7
14,3% 71,4% 14,3% 100,0%
0 4 7 11
,0% 36,4% 63,6% 100,0%
1 0 1 2
50,0% ,0% 50,0% 100,0%
2 9 9 20
10,0% 45,0% 45,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Biasa Saja Baik Sangat Baik Penerimaan Terhadap Dukungan
Keluarga
ampiran 5.28 L
Learned Helplessness * Penghayatan Terhadap Dukungan Keluarga Crosstabulation
5 0 2 7
75,0% 10,0% 15,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Negatif Bersifat Netral Penghayatan Terhadap Dukungan
Keluarga
Total
ampiran 5.29 L
Learned Helplessness * Pihak Yang Menanggung Kebutuhan Selama Rawat Jalan Crosstabulation
0 3 4 7
,0% 42,9% 57,1% 100,0%
1 5 5 11
9,1% 45,5% 45,5% 100,0%
0 0 2 2
,0% ,0% 100,0% 100,0%
1 8 11 20
5,0% 40,0% 55,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Tertentu Orang Lain Pihak Yang Menanggung Kebutuhan
Selama Rawat Jalan
Total
ampiran 5.30 L
Learned Helplessness * Penghayatan Mengenai Pihak Yang Menanggung Kebutuhan Selama Rawat Jalan Crosstabulation
4 1 2 7
57,1% 14,3% 28,6% 100,0%
5 4 2 11
45,5% 36,4% 18,2% 100,0%
1 1 0 2
50,0% 50,0% ,0% 100,0%
10 6 4 20
50,0% 30,0% 20,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Penghayatan Mengenai Pihak Yang
Menanggung Kebutuhan Selama Rawat Jalan
Lampiran 5.31
Learned Helplessness * Keyakinan Sembuh Crosstabulation
7 0 7
100,0% ,0% 100,0%
9 2 11
81,8% 18,2% 100,0%
0 2 2
,0% 100,0% 100,0%
16 4 20
80,0% 20,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Yakin Tidak Yakin Keyakinan Sembuh
Total
ampiran 5.32 L
Learned Helplessness * Alasan Yakin atau Tidak Yakin akan Sembuh Crosstabulation
0 4 1 0 1 1 0 7 % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness Count % within Learned Helplessness
Agama Tidak Tahu Alasan Yakin atau Tidak Yakin akan Sembuh
Total
ampiran 5.33 L
Learned Helplessness * Pengaruh Agama terhadap Sikap dalam Menghadapi Penyakit Stroke Crosstabulation
0 3 4 7
5,0% 40,0% 55,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Count
% within Learned Helplessness
Pengaruh Agama terhadap Sikap dalam Menghadapi Penyakit Stroke
Ada Pengaruhnya
Sangat
Lampiran 5.34
Learned Helplessness * Pengetahuan Mengenai Stroke Sebelum Terserang Stroke Crosstabulation
3 2 2 7
42,9% 28,6% 28,6% 100,0%
7 3 1 11
63,6% 27,3% 9,1% 100,0%
1 0 1 2
50,0% ,0% 50,0% 100,0%
11 5 4 20
55,0% 25,0% 20,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Pengetahuan Mengenai Stroke Sebelum
Terserang Stroke
Total
Lampiran 5.35
Learned Helplessness * Diagnosa Crosstabulation
5 2 0 7
71,4% 28,6% ,0% 100,0%
8 1 2 11
72,7% 9,1% 18,2% 100,0%
1 1 0 2
50,0% 50,0% ,0% 100,0%
14 4 2 20
70,0% 20,0% 10,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Serebri Stroke PIS
Stroke Infark Serebellum Diagnosa
Total
Lampiran 5.36
Learned Helplessness * Prognosa Crosstabulation
6 1 7
85,7% 14,3% 100,0%
10 1 11
90,9% 9,1% 100,0%
2 0 2
100,0% ,0% 100,0%
18 2 20
90,0% 10,0% 100,0%
Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness Count
% within Learned Helplessness
Baik Kurang Baik Prognosa
Univ
ersitas Kristen Mara
nath
a
Case Summariesa
Mildly
Helpless Temporary Temporary Specific Universal Internal Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful
Non Helpless Temporary Permanent Universal Universal Internal External Pessimis
tic Optimistic Optimistic Hopeful Moderately
Helpless Temporary Permanent Specific Universal Internal External Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful Moderately
Helpless Temporary Temporary Universal Specific Internal External Optimistic
Pessimis tic
Pessimis
itic Hopeful
Mildly
Helpless Temporary Temporary Specific Specific Internal External Optimistic
Pessimis tic
Pessimis
itic Hopeful
Mildly
Helpless Temporary Permanent Universal Universal External External
Pessimis
tic Optimistic Optimistic Hopeless Mildly
Helpless Temporary Temporary Specific Universal Internal Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful Mildly
Helpless Temporary Permanent Specific Specific Internal Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful Mildly
Helpless Temporary Temporary Specific Universal Internal Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful Mildly
Helpless Permanent Permanent Specific Specific External Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful
Non Helpless Temporary Temporary Specific Universal External Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful
Mildly
Helpless Temporary Temporary Specific Specific External External Optimistic
Pessimis tic
Pessimis
itic Hopeful
Non Helpless Temporary Temporary Specific Universal Internal Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful
Non Helpless Temporary Temporary Specific Specific Internal External Optimistic Pessimis
tic Optimistic Hopeful
Non Helpless Temporary Temporary Specific Universal External Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful
Mildly
Helpless Temporary Permanent Specific Universal Internal Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful
Non Helpless Temporary Temporary Specific Universal External Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful
Mildly
Helpless Temporary Temporary Specific Universal Internal Internal
Pessimis
Non Helpless Permanent Permanent Specific Universal Internal Internal Pessimis c
ti Optimistic Optimistic Hopeless Mildly
Helpless Temporary Temporary Specific Specific External Internal Optimistic Optimistic Optimistic Hopeful
Lampiran 7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Stroke merupakan salah satu penyakit serebrovaskuler yang menjadi sebab
kematian dan sebab utama cacat menahun. Walaupun penderita tetap hidup, tetapi
sering menjadi beban, baik bagi penderita dan keluarga maupun bagi masyarakat
(Chandra 1980, Mardjono 1982 dalam Rumantir, 1986). Stroke adalah penyakit
pada otak yang terjadi karena adanya gangguan dalam pendistribusian darah ke
otak yang akhirnya dapat menyebabkan kelumpuhan dalam fungsi-fungsi tubuh.
Simptom-simptom yang umum terjadi pertama kali pada penderita stroke adalah
mati rasa, lemah, atau lumpuh pada salah satu bagian dari tubuh, kesulitan dalam
berbicara atau sulit dalam menemukan kata-kata atau mengerti suatu pembicaraan,
secara tiba-tiba pandangan kabur atau kehilangan penglihatan, kebingungan atau
perasaan tidak tenang, dan sakit kepala yang berat. Secara garis besar stroke dapat
menyebabkan seseorang kehilangan kontrol pada fungsi-fungsi tubuhnya dan
fungsi-fungsi kognitifnya, termasuk proses-proses mental seperti berpikir,
merasakan, atau belajar (The Stroke Association, 2006).
David Diston, seorang mantan penderita stroke, menceritakan
pengalamannya ketika mengalami serangan stroke bahwa pada hari itu dia
mengalami hari yang luar biasa di tempat kerja dan tidak tampak adanya sesuatu
2
yang aneh tetapi tiba-tiba semuanya gelap dan 7 jam kemudian dia terbangun di
rumah sakit, dia tidak dapat menggerakkan tubuh bagian kanan, dan kemampuan
bicaranya telah hilang (The Stroke Association, 2006).
Angka kejadian stroke di dunia dalam setahun diperkirakan terdapat 200
orang dari 100.000 penduduk (www.yastroki.or.id, 2003). Di Inggris, berdasarkan
data yang diperoleh The Stroke Association, setiap tahun lebih dari 150.000 orang
di Inggris menderita stroke, yang berarti satu orang setiap 3 menit, kebanyakan
yang terserang stroke berusia di atas 65 tahun, tetapi setiap orang bisa terkena
stroke, termasuk anak-anak dan bahkan bayi, lebih dari 1000 orang yang berusia
di bawah 30 tahun terkena stroke setiap tahunnya (The Stroke Association, 2006).
American Heart Association menyatakan bahwa sekitar 700.000 penduduk
Amerika Serikat setiap tahunnya menderita stroke, hal ini berarti, secara rata-rata
stroke terjadi setiap 45 detik. Di Amerika Serikat hampir 157.000 orang
meninggal karena stroke setiap tahunnya, atau setiap 3 menit seseorang meninggal
karena stroke. Stroke menempati urutan ketiga di bawah penyakit jantung dan
kanker sebagai penyakit yang paling banyak menimbulkan kematian di Amerika
Serikat (www.americanheart.org, 2006).
Di Indonesia sendiri, menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki)
diperkirakan setiap tahun 500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar
25% darinya atau 125.000 orang meninggal, sementara sisanya mengalami cacat
ringan atau berat (www.yastroki.or.id, 2003). Menurut Dr. M. Rifai, Sp.S.
Neurolog Nusantara Medical Center, stroke dapat menyerang setiap usia, namun
3
yang sering terjadi pada usia di atas 40 tahun. Angka kejadian stroke meningkat
dengan bertambahnya usia, makin tinggi usia seseorang, makin tinggi
kemungkinan terkena serangan stroke. Menurut hasil kongres stroke sedunia,
dalam skala global stroke saat ini berada di peringkat kedua, di bawah penyakit
jantung ischemic sebagai penyebab kematian dan merupakan faktor utama
penyebab kecacatan serius. Sementara di Indonesia, stroke menempati urutan
pertama sebagai penyebab kematian di rumah sakit (www.yastroki.or.id, 2003).
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung mendata bahwa jumlah pasien stroke yang
dirawat selama periode Juli – Desember 2005 terdapat 323 orang pasien, yang
terdiri atas 5 orang berusia di bawah 16 tahun, 7 orang berusia antara 16 – 25
tahun, 15 orang berusia antara 26 – 35 tahun, 32 orang berusia antara 36 – 45
tahun, 75 orang berusia antara 46 – 55 tahun, 88 orang berusia antara 56 – 65
tahun, dan 101 orang berusia lebih dari 65 tahun (Fitriyani, 2006).
Kemajuan pesat di bidang kedokteran telah memberikan hasil yang cukup
baik terhadap cara-cara penanggulangan stroke. Beberapa penderita yang semula
mengalami kelumpuhan, melalui terapi medis dan fisioterapi yang teratur dapat
normal kembali. Tetapi pada sebagian penderita stroke, kondisi cacat yang
dialami tidak dapat disembuhkan secara tuntas. Serangan stroke yang diderita
meninggalkan cacat sisa, misalnya kelumpuhan sisi kiri atau sisi kanan tubuh.
Bagi penderita pasca stroke yang masih menyandang cacat sisa seringkali
mengalami banyak masalah dalam dirinya sehubungan dengan keterbatasan
4
sering menjadi rendah diri, sedih, kecewa, dan putus asa. Individu sering merasa
kesal pada saat tangannya tidak dapat menjangkau barang yang hendak
dipegangnya, individu menjadi murung ketika tangannya tidak dapat
dipergunakan untuk menulis, kakinya tidak mampu menapak dengan sempurna,
individu menjadi marah ketika semua orang tidak mengerti lagi apa yang
diucapkannya. Separuh badannya mati, separuh kemampuannya menjadi hilang
(Haryono, 1996).
Reaksi dalam menghadapi penyakit stroke berbeda-beda dan dapat
dikaitkan dengan bagaimana individu memandang suatu peristiwa atau keadaan,
dalam hal ini penyakit stroke yang diderita, terhadap dirinya. Salah satu reaksi
yang dapat muncul adalah depresi. Depresi adalah suatu keadaan yang sering
dijumpai dan merupakan penyerta yang serius pasca stroke; dan dari penelitian
epidemiologik paling tidak 30 % penderita pasca stroke mengalami depresi baik
pada awal ataupun pada stadium lanjut. Keadaan ini kurang diwaspadai dan
diamati oleh dokter yang merawatnya (Gustafon Y, 1995 dalam Poerwadi, 2001).
Pada penelitian mengenai depresi pada penderita stroke rawat inap di Rumah
Sakit Hasan Sadikin (RSHS) yang dilakukan oleh dr. Andy Soemara, Sp.Kj dalam
tesisnya pada tahun 1989, diketahui bahwa dari 22 pasien stroke (terdiri dari: 1
orang berusia di bawah 20 tahun, 2 orang berusia 21 – 30 tahun, 4 orang berusia
31 – 40 tahun, 2 orang berusia 41-50 tahun , 9 orang berusia 51 – 60 tahun, 2
orang berusia 61 – 70 tahun, dan 2 orang berusia 71 – 80 tahun), 63,64 % atau 14
pasien diantaranya mengalami depresi. Sebanyak 4 orang dari penderita stroke
5
yang mengalami depresi tersebut berusia 51 – 60 tahun dan 2 orang berasal dari rentang usia 41 – 50 tahun, sementara sisanya tersebar ke rentang-rentang
usia lainnya, yaitu 1 orang dari kelompok usia di bawah 20 tahun, 1 orang dari
kelompok usia 21 – 30 tahun, 4 orang dari kelompok usia 31 – 40 tahun, 1 orang
dari kelompok usia 61 – 70 tahun, dan 1 orang dari kelompok usia 71 – 80 tahun
(Soemara, 1989). Dari data tersebut tampak bahwa sebagian besar penderita
stroke yang mengalami depresi berada pada rentang usia 41 – 60 tahun.
Pada rentang usia 41 – 60 tahun tersebut, umumnya individu tengah
mengalami kemajuan dalam karirnya, yang mana kepuasan kerja mereka
mengalami peningkatan secara konstan (Santrock, 2002). Pada usia dewasa
madya, cepat atau lambat, semua orang dewasa harus melakukan penyesuaian diri
terhadap berbagai perubahan jasmani dan harus menyadari bahwa pola perilaku
pada usia mudanya harus diperbaiki secara radikal (Hurlock, 1994). Mereka yang
tengah mengalami kemajuan dalam karirnya, akan berusaha untuk
mempertahankan kemajuan karirnya tersebut sebagai bekal ketika mereka
memasuki masa-masa pensiun. Hal ini mereka lakukan sambil berusaha pula
untuk menyesuaikan diri dengan penurunan kemampuan fisik dan psikis yang
mulai mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya usia. Usaha mereka
untuk mempertahankan kemajuan karier dan untuk menyesuaikan diri dengan
proses penurunan kemampuan fisik dan psikis, akan mengalami suatu hambatan
yang besar ketika mereka terserang stroke. Stroke tidak hanya sekadar
6
mereka terhadap fungsi-fungsi tubuh dan kognitifnya. Hal ini menyebabkan
perubahan yang terjadi bersifat drastis, sehingga para individu dewasa madya
yang terserang stroke menjadi sangat sulit untuk melakukan penyesuaian.
Kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri terhadap kondisi akibat stroke
tersebut dapat menimbulkan gangguan-gangguan yang bersifat psikis.
Dr. David Baskin, profesor bedah saraf dan ilmu anestesi dari Baylor
College of Medicine di Houston, mengatakan bahwa banyak orang yang selamat
dari stroke tapi mereka harus hidup dengan efek sisanya yang menyebabkan
beberapa dari mereka menyatakan ingin menyerah dan mati saja
(www.americanheart.org, 2006). Dalam wawancara peneliti dengan dr. Nani
Kurniani, Sp. S (Kepala Bagian Penyakit Saraf RSHS Bandung), beliau
menyatakan bahwa walaupun belum ada penelitian dan pendataan terbaru
mengenai pasien stroke di RSHS, khususnya yang berhubungan dengan aspek
psikis, beliau mengamati terdapat beberapa pasien stroke rawat jalan yang datang
ke poliklinik atau ke tempat prakteknya bersikap pasif dan terkesan datang
sekadar memenuhi ajakan keluarganya untuk berobat. Mereka seakan-akan
menyerah dengan kondisi kelumpuhannya dan menganggap bahwa apa yang
mereka alami adalah takdir yang tidak dapat mereka ubah. Tetapi selain beberapa
pasien yang bersikap menyerah pada penyakitnya, beliau pun menemukan ada
beberapa pasien yang sangat aktif ketika memeriksakan kondisinya dan sangat
disiplin untuk melakukan kontrol secara rutin. Beliau menambahkan, walaupun
hampir tidak mungkin bagi penderita stroke untuk dapat kembali ke kondisi awal
7
tubuhnya sebelum terserang stroke, tetapi setidaknya jika dari pasien stroke
sendiri muncul keyakinan diri dan optimisme bahwa mereka masih mampu
menjalani hidup dengan baik (walaupun pernah terserang stroke) maka
prognosanya cenderung lebih positif terutama pada saat masa terapi. Sikap
menyerah terhadap kondisi kelumpuhan yang ditunjukkan oleh beberapa orang
pasien stroke tersebut, menurut Seligman termasuk ke dalam reaksi learned
helpless.
Learned helplessness diperkenalkan oleh Seligman (1990) sebagai suatu
reaksi menyerah, respon berhenti melakukan kegiatan yang biasa dilakukan, yang
merupakan hasil dari keyakinan individu bahwa apa pun yang mereka lakukan
tidak akan memberikan pengaruh apa pun kepada diri mereka. Reaksi ini
berhubungan dengan bagaimana individu menjelaskan kepada dirinya sendiri
mengenai mengapa suatu peristiwa terjadi yang kemudian dikenal sebagai
explanatory style. Jika yang muncul adalah optimistic explanatory style, maka
reaksi helplessness akan berhenti. Tetapi sebaliknya jika yang muncul adalah
pessimistic explanatory style, maka reaksi helplessness justru akan berkembang.
Individu yang tergolong pessimistic explanatory style cenderung akan
memandang penyebab dari peristiwa-peristiwa buruk yang dialaminya sebagai
sesuatu yang bersifat permanen, universal, dan internal, sementara individu yang
tergolong optimistic explanatory style cenderung akan memandang penyebab dari
peristiwa-peristiwa buruk yang dialaminya sebagai sesuatu yang bersifat
8
Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti terhadap 13 orang
pasien stroke, tujuh orang di antaranya menyatakan bahwa mereka pesimis
mengenai kesembuhannya dari hambatan-hambatan fisik dan psikis yang timbul
akibat terserang stroke, sementara enam orang sisanya menyatakan bahwa mereka
yakin suatu saat nanti mereka bisa sembuh sepenuhnya dari hambatan-hambatan
fisik dan psikis yang timbul akibat terserang stroke. Ketika ditanya mengenai
alasannya, tujuh orang yang tidak yakin akan kesembuhannya menyatakan hal
yang hampir senada, yaitu mereka meyakini bahwa penyakit stroke adalah suatu
penyakit yang sangat berat, mereka yakin bahwa hampir bisa dipastikan seseorang
yang terserang stroke maka kondisi tubuhnya tidak akan bisa kembali seperti sedia
kala sebelum terserang stroke, dan mereka takut dan khawatir jika mereka harus
menjalani sisa hidup mereka dengan hambatan-hambatan fisik dan psikis akibat
stroke.
Bisa disimpulkan, tujuh orang pasien yang pesimis akan kesembuhannya
tersebut cenderung melihat penyebab dari hambatan-hambatan fisik dan psikis
(dalam hal ini penyakit stroke) sebagai sesuatu yang bersifat permanen. Mereka
pun menambahkan bahwa kini mereka tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk
kesembuhannya, mereka putus asa karena merasa proses kesembuhannya berjalan
sangat lambat sehingga mereka meyakini bahwa kesembuhan adalah sesuatu yang
hampir tidak mungkin terjadi. Reaksi menyerah terhadap hambatan-hambatan
fisik dan psikis sebagai akibat dari penyakit stroke yang diperoleh dari keyakinan
bahwa mereka tidak akan pernah sembuh dari penyakit stroke tersebut,
9
menunjukkan bahwa pasien-pasien stroke tersebut mengalami learned
helplessness.
Pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan reaksi menyerah tidak
ditemukan peneliti pada enam orang pasien yang yakin bahwa mereka nantinya
akan sembuh dari stroke sehingga hambatan-hambatan fisik dan psikis yang
mereka alami dapat hilang. Pasien-pasien ini menunjukkan cara pandang yang
bersifat temporer terhadap penyebab dari hambatan-hambatan fisik dan psikis
yang mereka alami karena memandang penyakit stroke yang menyebabkan
munculnya hambatan fisik dan psikis tersebut nantinya akan sembuh.
Dalam penelitian mengenai aspek psikologis (respon kehilangan, konsep
diri, dan gangguan seksual) dari klien pasca stroke usia produktif rawat jalan di
Poliklinik Saraf RSHS pada tahun 1999 yang dilakukan oleh Rika Endah
Nurhidayah dari Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, dalam pengukuran fase depresi yang merupakan bagian
dari sub variabel respon kehilangan, diketahui bahwa dari 48 responden, 15 orang
di antaranya atau sekitar 31,3 % mengaku bahwa dirinya sudah tidak memiliki
semangat hidup, dan sekitar 93,7 % atau 45 orang dari responden yang sama
menghayati bahwa dirinya selalu mengkhawatirkan penyakitnya (Nurhidayah,
1999).
Bisa disimpulkan, pasien - pasien stroke pada penelitian tersebut memiliki
belief bahwa hambatan-hambatan fisik dan psikis akibat serangan stroke yang
10
proses belajar dari pengalaman-pengalaman orang-orang di sekitar mereka yang
mengalami hambatan-hambatan fisik dan psikis akibat serangan stroke, serta dari
pengalaman saat mereka mengalami sendiri hambatan-hambatan fisik akibat
serangan stroke tersebut. Belief ini akan mempengaruhi explanatory style mereka
terhadap peristiwa-peristiwa yang mereka alami, yang berhubungan dengan
hambatan-hambatan fisik dan psikis akibat stroke, menjadi tergolong pessimistic.
Pessimistic explanatory style akan menumbuhkan learned helplessness dalam diri
mereka yang akhirnya berkembang menjadi gangguan depresi.
Dalam survei awal yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa sumber
informasi mengenai stroke dan akibat-akibatnya pada tujuh orang pasien yang
pesimistik mengenai kesembuhannya, ternyata mereka peroleh dari pengamatan
mereka terhadap orang-orang terdekat mereka, seperti pasangan, keluarga, teman,
ataupun tetangga sekitar tempat tinggal mereka yang mengalami serangan stroke.
Selain itu mereka pun memperoleh pengetahuan mengenai stroke dari pengalaman
mereka saat menjalani rawat inap di rumah sakit, dan dari dokter atau pihak-pihak
yang merawat mereka. Sementara enam orang lainnya yang yakin bahwa dirinya
akan sembuh, menyatakan bahwa mereka tidak pernah tahu apa pun mengenai
penyakit stroke sebelum mereka mengalaminya. Pengamatan terhadap
orang-orang terdekat yang mengalami stroke dan pencarian informasi mengenai penyakit
stroke saat menjalani perawatan menunjukkan adanya proses belajar yang pada
akhirnya akan membentuk belief para pasien stroke mengenai hambatan-hambatan
fisik dan psikis akibat penyakit stroke.
11
Berdasarkan uraian mengenai learned helplessness pada pasien stroke di
atas, maka peneliti melalui penelitian ini tertarik untuk mengetahui bagaimana
gambaran learned helplessness pada pasien stroke rawat jalan di Rumah Sakit “X”
Kota Bandung.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana derajat learned helplessness
pada pasien stroke rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian
Untuk memperoleh gambaran mengenai learned helplessness pada pasien
stroke rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung.
1.3.2. Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai derajat learned helplessness
dan keterkaitannya dengan jenis kelamin, usia, pendidikan, tingkat religiusitas,
status marital, pekerjaan, dukungan dari keluarga, pihak yang menanggung
responden secara finansial selama terserang stroke, keyakinan sembuh, riwayat
penyakit stroke yang diderita, dan jenis explanatory style pada pasien stroke rawat
12
1.4. Kegunaan penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis
- Sebagai bahan masukan bagi ilmu psikologi khususnya dalam bidang
psikologi klinis mengenai derajat learned helplessness pada pasien
stroke rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung.
- Memberikan sumbangan informasi kepada peneliti lain yang tertarik
untuk meneliti mengenai tingkat learned helplessness dan mendorong
dikembangkannya penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan
topik tersebut.
1.4.2. Kegunaan Praktis
- Bagi pasien stroke rawat jalan, dengan mengetahui mengenai learned
helplessness pada dirinya, diharapkan pasien stroke rawat jalan tersebut
dapat menanggulanginya dengan lebih efektif.
- Bagi pihak yang mendampingi pasien stroke rawat jalan, dapat menjadi
informasi mengenai learned helplessness pada pasien stroke rawat jalan
sehingga dapat berkontribusi dalam memberikan dukungan untuk pasien
stroke rawat jalan, untuk membantu mencegah learned helplessness
yang berkepanjangan yang dapat berkembang menjadi gangguan depresi
(depression disorder).
- Bagi pihak Rumah Sakit, dapat menjadi sumbangan informasi mengenai
learned helplessness pada pasien stroke rawat jalan sehingga dapat
13
mengefektifkan proses terapi secara psikis pada pasien stroke rawat
jalan.
1.5. Kerangka Pikir
Stroke adalah penyakit pada otak yang terjadi karena adanya gangguan
dalam pendistribusian darah ke otak yang akhirnya dapat menyebabkan
kelumpuhan dalam fungsi-fungsi tubuh. Stroke terjadi ketika suplai darah ke otak
terhenti. Darah membawa nutrisi dan oksigen yang esensial ke otak. Tanpa adanya
suplai darah, sel-sel otak dapat rusak atau hancur dan tidak dapat melakukan tugas
mereka. Karena otak mengontrol segala sesuatu yang tubuh lakukan, kerusakan
pada otak dapat mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh. Otak juga mengatur
bagaimana individu berpikir, belajar, merasakan, dan berkomunikasi. Stroke dapat
berefek pada proses-proses mental tersebut (The Stroke Association, 2006).
Simptom-simptom atau reaksi-reaksi setelah serangan stroke yang umum
terjadi pertama kali pada penderita stroke adalah mati rasa, lemah, atau lumpuh
pada salah satu bagian dari tubuh, kesulitan dalam berbicara atau sulit dalam
menemukan kata-kata atau mengerti suatu pembicaraan, secara tiba-tiba
pandangan kabur atau kehilangan penglihatan, kebingungan atau perasaan tidak
tenang, dan sakit kepala yang berat. Secara garis besar stroke dapat menyebabkan
seseorang kehilangan kontrol pada fungsi-fungsi tubuhnya dan fungsi-fungsi
kognitifnya, termasuk proses-proses mental seperti berpikir, merasakan, atau
14
Selain problem-problem yang bersifat fisiologis, stroke dapat
menimbulkan problem-problem psikis. Gangguan emosional, terutama ansietas,
frustrasi, dan depresi, merupakan masalah yang umum dijumpai pada penderita
pasca stroke (Tobing 2001 dalam Poerwadi, 2001). Munculnya
gangguan-gangguan psikis tersebut erat kaitannya dengan pengalaman-pengalaman yang
dialami oleh pasien stroke baik pada saat mereka belum terserang stroke, maupun
setelah mereka terserang stroke. Pengalaman-pengalaman sebelum terserang
stroke diperoleh secara tidak langsung, yaitu melalui pengalaman orang lain,
seperti orang-orang terdekat mereka, yang terserang stroke lebih dulu. Misalnya,
mereka melihat bagaimana sulitnya seorang pasien stroke untuk mengucapkan
kata-kata yang menyebabkan pasien stroke tersebut tidak dapat memberitahukan
apa yang diinginkannya kepada orang lain, atau sulitnya seorang pasien stroke
untuk menggerakkan tangannya karena kelumpuhan akibat terserang stroke yang
menyebabkan pasien stroke tersebut tidak dapat melakukan pekerjaannya sebelum
terserang stroke. Selain mengamati apa yang dialami oleh para pasien stroke,
mereka pun mengamati perilaku dan perlakuan orang-orang di sekitar pasien
stroke.
Apa yang para pasien stroke (sebelum terserang stroke) lihat dan amati
dari pasien-pasien lain yang terserang stroke lebih dulu, mereka jadikan
pengalaman bagi diri mereka sendiri yang kemudian mereka olah sehingga terjadi
proses belajar yang pada akhirnya membentuk belief mereka mengenai akibat dari
penyakit stroke. Setelah mereka mengalami sendiri serangan stroke, belief mereka
15
mengenai akibat dari penyakit stroke yang mereka bentuk sebelumnya akan
mempengaruhi bagaimana reaksi mereka terhadap hambatan-hambatan fisik dan
psikis akibat serangan stroke yang mereka alami. Belief mengenai akibat dari
penyakit stroke yang mereka miliki sebelum terserang stroke akan mengalami
perubahan-perubahan selama menjalani masa perawatan, dan pada akhirnya akan
membentuk belief yang baru mengenai akibat dari penyakit stroke. Belief mereka
mengenai penyakit stroke ini juga dipengaruhi oleh kultur yang berlaku di
lingkungan tempat mereka tinggal. Jika belief mereka mengenai akibat dari
penyakit stroke menyatakan bahwa hambatan-hambatan fisik dan psikis yang
diakibatkan oleh penyakit stroke sebagai sesuatu yang sangat buruk dan dapat
menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya, maka konsekuensi yang akan
muncul adalah timbulnya reaksi-reaksi gangguan emosional seperti kecemasan,
frustrasi, atau depresi pada pasien stroke tersebut selama menjalani proses
perawatan. Gangguan-gangguan emosional ini jika tidak tertangani dengan baik
maka akan terus terbawa hingga pasien stroke memasuki masa perawatan jalan.
Pembentukan belief mengenai akibat dari penyakit stroke pada pasien
stroke menentukan bagaimana pasien stroke menjelaskan kepada dirinya sendiri
mengapa hambatan-hambatan fisik dan psikis yang diakibatkan serangan stroke
bisa menimpa dirinya. Bagaimana pasien stroke menjelaskan mengenai penyebab
dari hambatan-hambatan fisik dan psikis akibat penyakit stroke yang diderita
merupakan bentuk dari explanatory style. Explanatory style adalah kebiasaan
16
(Seligman, 1990). Explanatory style terbagi dua yaitu optimistic explanatory style
(dimiliki oleh orang-orang yang tergolong the optimist) dan pessimistic
explanatory style (dimiliki oleh orang-orang yang tergolong the pessimist).
Explanatory style memiliki 3 dimensi, yaitu permanence, pervasiveness,
dan personalization. Permanence menjelaskan bahwa individu yang tergolong
pessimistic explanatory style mempercayai penyebab dari peristiwa-peristiwa
buruk yang mereka alami bersifat permanen. Mereka percaya bahwa penyebab
peristiwa buruk tersebut akan bertahan untuk mempengaruhi kehidupan mereka.
Sebaliknya individu yang tergolong optimistic explanatory style percaya bahwa
penyebab dari peristiwa-peristiwa buruk yang mereka alami bersifat temporer.
Sebaliknya, untuk peristiwa-peristiwa baik, individu yang tergolong pessimistic
explanatory style mempercayai bahwa penyebab dari peristiwa-peristiwa baik
yang mereka alami bersifat temporer. Sementara individu yang tergolong
optimistic explanatory style percaya bahwa penyebab dari peristiwa-peristiwa baik
yang mereka alami bersifat permanen. Pervasiveness berbicara soal ruang. Para
individu yang memakai penjelasan universal untuk kegagalan, mereka menyerah
pada semua hal yang mereka miliki ketika kegagalan terjadi di suatu aspek.
Sementara, mereka yang membuat penjelasan spesifik mungkin akan menyerah
pada satu aspek kehidupannya, tetapi menunjukkan kekuatan di aspek-aspek
kehidupan yang lainnya. Dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa baik, individu
yang tergolong optimistic berusaha menjelaskannya secara universal, sementara
individu yang tergolong pessimistic menjelaskannya secara spesifik.
17
Personalization membahas mengenai apakah ketika hal-hal buruk terjadi, individu
menyalahkan dirinya sendiri (internalize) atau menyalahkan orang lain atau
keadaan (externalize). Mereka yang menyalahkan diri mereka sendiri ketika
mereka gagal memiliki low self-esteem sebagai konsekuensinya, mereka merasa
tidak berharga, tidak berbakat, dan tidak dicintai. Sementara orang-orang yang
menyalahkan peristiwa eksternal tidak kehilangan self-esteem ketika peristiwa
buruk terjadi. Ketika mengalami peristiwa-peritiwa baik, individu yang optimistic
akan menjelaskan munculnya peristiwa-peristiwa baik tersebut dengan
menghubungkan pada hal-hal di dalam dirinya (internal), sementara individu yang
pessimistic akan mengaitkannya dengan hal-hal di luar dirinya (external).
Dari ketiga dimensi dari explanatory style, bisa disimpulkan bahwa
individu yang tergolong pessimistic explanantory style adalah individu yang
dalam menjelaskan penyebab suatu peristiwa buruk, penjelasannya bersifat
internal, permanen, dan universal. Sementara untuk peristiwa-peristiwa yang baik,
individu yang pessimistic explanantory style cenderung memberikan penjelasan
yang bersifat eksternal, temporer, dan spesifik. Begitu pula pada pasien stroke,
pasien stroke yang tergolong pessimist ketika mengalami hambatan-hambatan
fisik seperti kesulitan untuk bicara akibat kerusakan pada saraf yang mengatur
fungsi bicara akan memberikan penjelasan bahwa kerusakan pada saraf fungsi
bicara tersebut berlangsung selamanya (bersifat permanen), akibat dari kesalahan
pengobatan secara keseluruhan (bersifat universal), dan karena kelalaian dirinya
18
internal). Sementara pasien stroke yang optimist akan memberikan penjelasan
bahwa kerusakan pada saraf fungsi bicaranya akan segera pulih seperti sedia kala
(bersifat temporer), akibat dari ketidakcocokkan jenis pengobatan yang dilakukan
terhadap saraf fungsi bicara (bersifat spesifik), dan disebabkan pihak-pihak yang
merawatnya memberikan bentuk pengobatan yang kurang cocok (eksternal).
Pessimistic explanatory style menyebabkan munculnya learned helplessness
dalam diri individu.
Explanatory style merupakan modulator (pembentuk) utama munculnya
learned helplesness. Learned helplessness didefinisikan sebagai suatu reaksi
menyerah, respon berhenti melakukan kegiatan yang biasa dilakukan, yang
merupakan hasil dari keyakinan individu bahwa apa pun yang mereka lakukan
tidak akan memberikan pengaruh apa pun kepada diri mereka (Seligman, 1990).
Pada pasien stroke rawat jalan, mereka mengalami learned helplessness ketika
mereka melakukan respon berhenti melakukan kegiatan pengobatan ataupun
terapi yang biasa dilakukan untuk mengobati hambatan-hambatan fisik dan psikis
akibat penyakit stroke, dan percaya bahwa apa pun yang mereka lakukan tidak
akan berpengaruh apa-apa terhadap hambatan-hambatan fisik dan psikis akibat
dari penyakit stroke yang mereka alami.
Reaksi dalam menghadapi penyakit stroke berbeda-beda dan dapat
dikaitkan dengan bagaimana individu memandang suatu peristiwa atau keadaan,
dalam hal ini penyakit stroke yang diderita, terhadap dirinya. Salah satu reaksi
yang dapat muncul adalah depresi. Depresi pada pasien stroke rawat jalan disebut
19
sebagai depresi pasca stroke, yaitu keadaan depresi (sindroma depresi) yang
ditemukan pada penderita-penderita stroke baik pada fase akut stroke maupun
setelah lewat fase akut stroke (Soemara, 1989). Mundurnya mobilitas, kekuatan
fisik, kesulitan kerja, hobi, kemampuan kognitif yang dihadapi pasien stroke akan
mencetuskan munculnya depresi (Poerwadi, 2001). Penyebab depresi adalah
munculnya belief dalam diri individu bahwa apa pun tindakan yang individu
lakukan akan sia-sia atau futile (Seligman, 1990).
Seligman melihat adanya kesamaan antara learned helplessness dengan
depresi, tetapi untuk membuktikan bahwa learned helplessness adalah laboratory
model dari real-word phenomenon yang disebut sebagai depresi merupakan suatu
permasalahan lain. Setelah serangkaian eksperimen mengenai helplessness baik
pada manusia maupun pada hewan, Seligman menemukan delapan simptom dari
sembilan simptom yang dimiliki depresi menurut DSM-III-R dalam
eksperimennya mengenai learned helplessness, yang menunjukkan bahwa
berdasarkan simptom-simptom yang muncul, learned helplessness dalam setting
laboratorium menghasilkan simptom-simptom yang hampir identik dengan
depresi. Pada akhirnya disimpulkan bahwa kemunculan depresi dapat dilihat
sebagai sebuah epidemik dari learned helplessness. Dengan demikian penyebab
learned helplessness dapat dilihat pula sebagai penyebab depresi, yaitu belief
bahwa semua yang individu lakukan tidak akan memberi pengaruh apa pun