1 BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian analisis di dalam Bab III, dapat dismpulkan hal-hal berikut:
1. Perlindungan flora dan fauna liar terutama diatur dalam CITES
yang merupakan instrumen utama dalam ranah hukum Internasional.
CITES bekerja untuk mengatur perdagangan internasional baik
melalui impor, ekspor, re-ekspor dan introduksi dari laut spesies
yang tercakup dalam Konvensi tersebut yang dikendalikan melalui
sistem perizinan. Meski demikian, keberhasilan instrumen CITES ini
untuk memberikan perlindungan bagi flora dan fauna liar akan
sangat tergantung pada instrumen hukum nasional yang lebih
operasional.
2. Perlindungan flora dan fauna liar dalam hukum nasional dilakukan
dengan menggunakan beberapa instrumen peraturan
perundang-undangan yang meliputi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 68 Tahun
1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA)., PP No. 36 Tahun 2010 terkait
pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa (SM), taman
nasional (TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman wisata alam
(TWA), UU No. 41 Tahun 1999 dan juga instrumen pendukungnya
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No : P.
57/Menhut-II/2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional.
Institusi-institusi yang ikut bertanggungjawab dalam perlindungan
flora dan fauna antara lain : Kementrian Kehutanan, Kementrian
Kelautan dan Perikanan Penyusunan, Kementerian Negara
Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia sebagai otoritas ilmiah (Scientific Authority) ,
Pemerintah Daerah (kabupaten/ kota dan provinsi) ,dll.
3. Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum internasional dan
hukum nasional secara bersama sudah memberikan perlindungan
normatif yang memadai terhadap flora dan fauna langka liar melalui
instrumen hukum masing-masing. Perlindungan hukum yang
diberikan dalam tataran internasional dan nasional tersebut telah
sesuai dengan konsep teoritis perlindungan hukum yang di dalam
materi peraturannya mengatur secara preventif ( sosialisasi dan
penyuluhan ) dan represif ( penegakan hukum disertai sanksi ),
memberikan kemungkinan bagi institusi baik dari unsur
pemerintahan maupun swadaya untuk berkontribusi terhadap seluruh
upaya perlindungan satwa dan fauna liar.
B. SARAN
Saran yang masih perlu dijadikan masukan dalam penelitian ini adalah
1. Perlunya peran serta lebih aktif dari pemerintah daerah membuat
suatu regulasi berupa Peraturan Daerah berhierarki ke bawah (
Peraturan / keputusan kepala daerah, kepala dinas dan peraturan
desa ) yang lebih peka serta mengenali terhadap kekayaan sumber
daya alam hayati ( satwa dan fauna liar ) dan ekosistem di
daerahnya untuk memberikan suatu perlindungan hukum bersifat
mengikat, teknis dan kongkrit.
2. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada daerah yang lebih
leluasa berdasarkan desentralisasi dalam sistem otonomi daerah
dapat dipergunakan untuk menginventarisir seluruh satwa liar yang
sekiranya dianggap sudah mulai terancam punah namun belum ada
regulasi perlindungan hukumnya ( seperti burung kepodang emas
yang merupakan ciri khas jawa tengah yang sudah mulai terancam
masyarakat. Sehingga langkah yang bersifat legislasi tersebut akan