KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT
TINGGI MELALUI PEMBELAJARAN IPA ...
1
Sutarto Hadi
PENELITIAN DESAIN PENDIDIKAN:
MENDEKATKAN TEORI DENGAN PRAKTIS ...
3
Liliasari
PENINGKATAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI
PELAJAR MELALUI PENDIDIKAN IPA ...
7
Nancy Susianna
MENJAWAB TANTANGAN PENDIDIKAN ABAD 21:
KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI
DENGAN MODEL KURIKULUM SAINS SURYA ...
13
Bambang Sumintono
PENILAIAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI:
APLIKASI PERMODELAN RASCH
PADA ASESMEN PENDIDIKAN ...
19
Muhammad Zaini
URGENSI PENELITIAN PENGEMBANGAN DALAM MENGGALI
KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS ...
33
PEMAKALAH PARAREL ...
51
Abdul Salam M, Sarah Mariam
PEMBELAJARAN BERBASIS LEARNER AUTONOMY UNTUK
MELATIHKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI
MAHASISWA ...
53
Ahmad Rusyadi
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA
viii
UJI COBA DI SMAN 4 BANJARMASIN ...
67
Arif Sholahuddin, Mella Mutika Sari, Choirul Amin, M. Muslim
TINGKAT LITERASI SAINS SISWA SMPN
KOTAMADYA BANJARMASIN ...
75
Baderun
PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN PROYEKTED SKILL IPA
TERPADU DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN
BERPIKIR TINGKAT TINGGI DI DAERAH TERTINGGAL ...
85
Dewi Fitriana, Arif Sholahuddin, Siti Halimah Nurdiniah
MEREDUKSI MISKONSEPSI SISWA MENGGUNAKAN
STRATEGI KONFLIK KOGNITIF PADA MATERI
LARUTAN PENYANGGA ...
93
Eko Wahyuningsih
MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
PESERTA DIDIK PADA MATERI PERKEMBANGAN
DAN PERTUMBUHAN ... 103
Ermansyah Waluyo, Ahmad Naparin, Siti Wahidah Arsyad
HUBUNGAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN GURU IPA
SMPN DENGAN KEMAMPUAN MENGELOLA KELAS
DI KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN ... 113
Fahmi
STRATEGI PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN
BERPIKIR TINGKAT TINGGI ... 121
Fatminastiti
CARA MENINGKATKAN KETERAMPILAN
PROSES SAINS SISWA SMP ... 129
Hendra
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CTL) TERHADAP KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPA PADA
KELAS IX DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA ... 137
Hidayati Norrizqa
PADA TOPIK PERUBAHAN BENDA DI SEKITAR KITA ... 151
Iswan Setiadi
PEMBELAJARAN MEMALUI PEMECAHAN MASALAH
TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS ... 147
Juli Eka Nugraheni
MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENUMBUHKAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK PADA
MATERI PENCEMARAN LINGKUNGAN ... 161
Juni Angkowati
PELAKSANAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING
UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES (5M)
SISWA SMP PADA TOPIK ZAT ADITIF DAN ZAT ADIKTIF ... 167
Khairunnisa
ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS
IX SMPN 3 PARINGIN PADA MATA PELAJARAN IPA ... 179
Kiki Miranti
PENGEMBANGAN PERANGKAT PERANGKAT PEMBELAJARAN
MENGGUNAKAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN bERPIKIR KRITIS
PESERTA DIDIK SMP ... 187
Lia Amalia
PENGEMBANGAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SEBAGAI
HIHG ORDER THINKING PADA PEMBELAJARAN IPA ... 193
M. Arsyad
MEMPERBAIKI HASIL BELAJAR DENGAN PENERAPAN MODEL
INKUIRI TERBIMBING PADA TOFIK KLASIFIKASI MAHLUK
HIDUP DI SMP NEGERI 23 BANJARMASIN ... 201
M. Muslim
MODEL PROBLEM SOLVING DAN KETERAMPILAN
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA
x
Maulana Khalid Riefani, Khairunnida Rahma, Intan Azizah
IDENTIFIKASI POTENSI SUMBER BELAJAR IPA DI JAWA
TIMUR PARK 2 KOTA BATU KABUPATEN MALANG
JAWA TIMUR ... 225
Mella Wahyulina
MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN
MODEL INKUIRI MELALUI PEMBELAJARAN IPA ... 235
Misbah, Dewi Dewantara, Syubhan An’nur
PROFIL KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MAHASISWA
PADA MATERI USAHA-ENERGI ... 241
Muhammad Fuat Sya’ban, Winda Puspitalia
PEMBELAJARAN IPA BERBASIS KEUNGGULAN LOKAL
LAHAN GAMBUT UNTUK MELATIHKAN BERPIKIR
KRETAIF SISWA SMP ... 247
Muhammad Kusasi
STRATEGI DAN MODEL BERPIKIR KRITIS (CRITIKAL THINKING)
DAN PENGEMBANGANNYA ... 253
Mustika Wati, Misbah, Saiyidah Mahtari
IDENTIFIKASI MISKONSEPSI MAHASISWA PADA MATA
KULIAH TELAAH FISIKA ... 267
Mutiara Havina Putri
SCAFFOLDING DALAM HIGHER ORDER THINKING SKILL
PEMBELAJARAN IPA ... 271
Naita Novia Sari
PENERAPAN SCIENTIFIC APPROACH UNTUK MEWUJUDKAN
HIGH ORDER THINKING SKILLS DALAM
PEMBELAJARAN IPA ... 277
Nispi Hariyani
MEMFASILITASI KETERAMPILAN BERPIKIR REFLEKTIF
MARTAPURA KABUPATEN BANJAR ... 291
Norhasanah, Ruswaty
KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR SISWA
PADA PELAJARAN BIOLOGI KONSEP JAMUR DI SMA
NEGERI 4 BARABAI ... 301
Nurul Hidayati
KEVALIDAN PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK
MENGUKUR KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA
MADRASAH TSANAWIYAH ... 311
Rabiatul Adawiyah
PENGARUH PENDEKATAN INKUIRI TERBIMBING UNTUK
MENGUKUR KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI
SISWA MA PADA PEMBELAJARAN KONSEP ELASTISITAS ... 321
Sisca Yulisya
PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK MEWUJUDKAN
PEMBELAJARAN KREATIF ... 327
Syahmani,
UJI COBA MODEL KONSTRUKTIVIS i-SMART UNTUK MELATIH
KETERAMPILAN METAKOGNISI SISWA DAN PEMECAHAN
MASALAH KIMIA DI SMA ... 333
Syubhan An-nur, Ellyna Hafizah
IDENTIFIKASI KETERAMPILAN KREATIVITAS ILMIAH
MAHASISWA PENDIDIKAN IPA FKIP UNLAM ... 347
Yayuk Hartini
KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MENCIPTAKAN
PEMBELAJARAN YANG KREATIF DAN HASIL BELAJAR
YANG MEMBANGGAKAN ... 353
Zainuddin
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI
MAHASISWA PADA PERKULIAHAN EKSPERIMEN FISIKA 1
PENELITIAN DESAIN PENDIDIKAN:
MENDEKATKAN TEORI DENGAN PRAKTIS
Sutarto Hadi
shadiunlam@gmail.com
Universitas Lambung Mangkurat I. PENDAHULUAN
Persoalan yang sering kita hadapi dalam memperbaiki pendidikan dan pengajaran adalah hasil penelitian yang diharapkan bisa memberikan jalan keluar, ternyata sering terlambat datangnya. Hasil-hasil penelitian sebenarnya memberikan informasi yang bermanfaat, tapi persoalan pendidikan berkembang dinamis. Selain itu, penelitian pendidikan sering kali terpisah dari masalah pendidikan sehari-hari sehingga menciptakan kesenjangan. Hal itu memerlukan pedekatan penelitian baru yang diharapkan dapat secara langsung memberi solusi terhadap masalah pendidikan dan mengarah kepada pengembangan pengetahuan bermanfaat.
Menurut Van den Akker (1999) beberapa pendekatan penelitian ‘tradisional’ seperti eksperimen, survei, analisis korelasi, yang menekankan pada deskripsi, kurang memberikan preskripsi (petunjuk) yang bermanfaat dalam pendesainan dan pengembangan untuk mengatasi masalah pendidikan. Berdasarkan latar belakang tersebut para penelitian berkeyakinan bahwa mereka memerlukan pendekatan penelitian alternatif yang secara langsung relevan dengan masalah-masalah praktis (practical problems) dalam pendidikan maupun pembelajaran.
Sebelum membahas pendekatan penelitian tersebut kita bicarakan dulu tentang fokus proyek penelitian. Fokus penelitian biasanya bergantung pada pertanyaan penelitian atau tujuan penelitian. Fokus tersebut menentukan apakah peneliti akan mendeskripsikan, menjelaskan, memahami, memprediksi, membandingkan, mengevaluasi, mendesain/mengembangkan. Semua itu disebut fungsi penelitian. Satu pertanyaan penelitian dapat memiliki beberapa fungsi penelitian. Misalnya, tujuan penelitian adalah untuk mendesain dan mengembangkan strategi belajar-mengajar untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan pemodelan matematika di kelas 11 dan 12, maka peneliti pertama-tama perlu memahami dan kemudian secara hati-hati mendeskripsikan hambatan-hambatan yang dialami siswa dalam pemodelan matematika.
Dalam melaksanakan penelitian dimulai dengan masalah atau pertanyaan penelitian, ada urutan logis dalam pengembangan, yaitu (Plomp, 2013):
Pertanyaan penelitian -> fungsi penelitian (awal) -> pilihan desain penelitian
Dalam penelitian desain pendidikan fokus utama adalah pendesainan dan pengembangan sebagai fungsi utama penelitian.
Berbagai kepustakaan yang membahas metodologi penelitian biasanya menguraikan pendekatan penelitian. Berikut adalah contoh desain penelitian dan fungsi-fungsi penelitiannya:
Survei menguraikan (deskripsi), membandingkan, mengevaluasi
Studi kasus menguraikan, membandingkan, menjelaskan
Eksperimen menjelaskan, membandingkan
Penelitian tindakan mendesain/mengembangkan solusi persoalan praktis
Etnografi menguraikan, menjelaskan
Penelitian korelasi menguraikan, menjelaskan
Penelitian evaluasi menentukan efektivitas sebuah program (Dikutip dari Plomp, 2013)
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 4 II. PEMBAHASAN
Pengertian Penelitian Desain
Penelitian desain pendidikan (educational design research) juga sering disebut penelitian pengembangan (development research). Selain itu, penelitian desain juga dikenal dengan sebutan lain seperti kajian desain (design studies) atau eksperimen desain (design experiment), penelitian (implementasi) berbasis desain, penelitian tindakan partisipatif, penelitian formatif, penelitian rekayasa (engineering research).
Penelitian ini ada dua jenis, pertama kajian pengembangan (development studies), kedua kajian validasi (validation studies). Perbedaan keduanya terletak pada tujuannya. Kajian pengembangan bertujuan mencari penyelesaian terhadap masalah pendidikan yang kompleks melalui penelitian. Sementara kajian validasi bertujuan mengembangkan atau memvalidasi suatu teori. Kajian pengembangan adalah pengkajian sistematik dalam pendesainan, pengembangan dan evaluasi intervensi pendidikan untuk mendapatkan solusi terhadap masalah yang tidak ada petunjuk langsung yang dapat digunakan untuk mengatasinya, dengan tujuan untuk mendapatkan (i) intervensi optimal, dan (ii) prinsip-prinsip pendesainan dan mengetahui ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ intervensi tersebut berhasil. Kajian validasi adalah pengkajian sistematik dalam pendesainan, pengembangan dan evaluasi intervensi pendidikan (seperti lingkungan belajar) dengan tujuan untuk mengembangan dan memvalidasi teori tentang belajar, lingkungan belajar (dan sejenisnya) atau untuk memvalidasi prinsip-prinsip pendesainan (Plomp, 2013).
Menurut Eamonn Kelly (2009) penelitian desain sebagai metode penelitian akan sesuai digunakan apabila memenuhi beberapa syarat. Syarat tersebut adalah (1) situasi mula-mula tidak diketahui atau tidak jelas, (2) tujuan yang ingin dicapai tidak diketahui atau tidak jelas, dan (3) penggerak (operator) untuk memindahkan situasi awal ke tujuan yang ingin dicapai tidak diketahui, atau cara bagaimana mengaplikasikan penggerak (operator) tersebut tidak jelas. (disampaikan oleh T. Plomp dalam kuliah tamu di Universitas Lambung Mangkurat).
Tahapan Penelitian Desain
Karena sifatnya, penelitian desain cocok diterapkan dalam praktik pendidikan karena bertujuan untuk memberikan solusi terhadap masalah yang kompleks dalam pendidikan melalui penelitian. Artinya, penyelesaian masalah tersebut tidak sekedar coba-coba (trial and error). Selain itu, penelitian desain juga dapat digunakan untuk mengembangkan atau memvalidasi teori tentang proses belajar mengajar.
Apapun tujuan penelitian desain, proses penelitiannya selalu mengikuti langkah-langkah yang sistematik, sebagaimana ilustrasi berikut:
Pada prinsipnya, dalam penelitian desain ada proses berulang dalam membuat prototipe dan evaluasi serta revisi. Proses tersebut berlangsung sampai didapatkan keseimbangan antara apa yang diharapkan dan kenyataan. Setiap penelitian memiliki prosesnya sendiri-sendiri, seperti contoh berikut:
Gambar 2: Proses siklis Penelitian McKenney (2001) (dikutip dari Plomp, 2013)
Secara umum penelitian desain mengikuti tahapan sebagai berikut:
Tahap awal: analisis kebutuhan dan isi, review kepustakaan utama yang menghasilkan spesifikasi desain dan konsep.
Tahap pengembangan atau pembuatan prototipe/contoh/model yang dilaksanakan melalui proses pendesainan berulang dan evaluasi formatif.
Tahap asesmen (evaluasi semi-sumatif).
Ketiga proses tersebut dilaksanakan sambil diiringi dengan refleksi dan dokumentasi secara sistematik yang menghasilkan prinsip-prinsip desain.
III. PENUTUP
Kesenjangan antara harapan dan kenyataan dalam pendidikan dapat diselesaikan dengan cara melakukan pengembangan pendekatan dalam belajar. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa desain penelitian pendidikan atau yang sering disebut penelitian pengembangan (development research) dilakukan, dengan tujuan sebagai jembatan penghubung untuk menjelaskan teori dan mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
McKenney, S. (2001). Computer-based support for sciences education materials
developers in Africa: Exploring potentials. Doctoral dissertation. Enschede, the
Netherlands.
Plomp, T. (2013). Educational design research: An introduction. Dalam T. Plomp, & N. Nieveen (Eds.), An introduction to educational design research (pp.11-50). Enschede, the Netherlands: SLO.
Van den Akker, J. (1999). Principles and methods of development research. Dalam J. van den Akker, R.M. Branch, K. Gustafson, N. Nieveen, & T. Plomp (Eds), Design
approaches and tools in education and training (pp. 1-14). Boston: Kluwer
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 6
PENINGKATAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI
PELAJAR MELALUI PENDIDIKAN IPA
Liliasari
liliasari@upi.edu
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Abstrak
Menghadapi abad ke 21 bangsa Indonesia ditantang untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Pengembangan keterampilan tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan IPA. Pengetahuan IPA merupakan wahana berpikir yang diperlukan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal tersebut menyebabkan mereka tangguh dan dapat berkontribusi untuk mengatasi krisis dunia. Ada banyak macam model pembelajaran IPA bergantung pada jenjang pendidikan, dari model terintegrasi di sekolah dasar, model gabungan di sekolah menengah pertama dan model terpisah di sekolah menengah atas sampai dengan universitas. Di lembaga pendidikan tenaga kependidikan, ragam pembelajaran IPA juga diupayakan sejalan dengan keperluan di sekolah. Berpikir IPA dilakukan melalui pengembangan keterampilan generik sains dan penjelasan melalui multimodal representasi dari materi IPA. Hasil dari beberapa contoh penelitian untuk meningkatkan berpikir kritis dan disposisi berpikir kritis baik pada pembelajar maupun mahasiswa calon guru IPA menunjukkan keterkaitan erat antara indikator berpikir dan karakteristik topik.
Kata kunci: pendidikan IPA, keterampilan berpikir tingkat tinggi I. PENDAHULUAN
Banyak tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia pada abad ke 21. Banyak isu-isu sosial yang harus diatasi masyarakat Indonesia. Masyarakat Ekonomi Asean yang direncanakan terbentuk pada tahun 2020 ternyata dimajukan ke tahun 2015, yang didasarkan pada tiga pilar yaitu perdamaian komunitas politik, komunitas ekonomi, dan komunitas sosio-kultural yang terikat dan saling menguatkan satu sama lain, untuk menjamin berbagi keamanan, kestabilan, dan kemakmuran dalam daerah tersebut APSC (2009). Ada beberapa agenda dalam pengembangan sumber daya manusia yang memberikan masyarakat Asean kehidupan yang lebih baik, khususnya dalam investasi pendidikan dan belajar sepanjang hayat, dengan pelatihan dan pengembangan kapasitas penggunaan bahasa Inggris, TIK, IPA dan implementasi teknologi untuk meningkatkan kegiatan sosial-ekonomi.
Perlu adanya akses universal dalam pendidikan dasar untuk memperoleh perbaikan melalui integrasi Asean dalam membangun pengetahuan berbasis masyarakat, peningkatan pengembangan, perhatian pada usia dini, penyadaran peningkatan pemuda Asean melalui pendidikan, dan kegiatan melawan kompetisi global melalui politik terbuka. Setiap masyarakat Indonesia perlu melawan dan memenangkan persaingan ini. Ada empat dimensi belajar IPA berdasarkan kedalaman materi IPA, yaitu: (1) IPA sebagai cara berpikir; (2) IPA sebagai pengalaman untuk menemukan; (3) IPA sebagai pengetahuan; dan (4) IPA dalam hubungan dengan teknologi dan masyarakat. Perbedaan diantara keempat sudut pandang menunjukkan bagaimana pembelajar pada umumnya
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 8 mempelajari IPA. Hakikat perbedaan pandangan tersebut menunjukkan cara pembelajaran IPA di Indonesia masa kini, dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Dimensi dan intensitas belajar IPA
Umumnya, pembelajar diarahkan untuk mempelajari banyak konsep dan prinsip IPA, maka yang dianut adalah dimensi IPA sebagai pengetahuan. Hal ini menyebabkan pembelajar hanya mengenal banyak istilah-istilah IPA tanpa makna. Di pihak lain, sangat banyak konsep dan prinsip IPA yang harus dikembangkan, yang menyebabkan pembelajar bosan dan tidak menyukai IPA. Sebenarnya, IPA merupakan pembelajaran yang sangat menarik apabila guru dapat menerapkan pembelajaran melalui eksperimen, dengan melibatkan proses sains. Namun, kenyataannya hanya sebagian sekolah yang memiliki laboratorium, dan bahkan banyak guru tidak gemar mengajar praktikum meskipun sekolahnya memiliki laboratorium. Padahal pengalaman belajar yang melibatkan proses sains dapat memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk berlatih berpikir seperti ilmuwan melalui inkuiri IPA.
Pengenalan IPA berkaitan dengan interaksinya dengan teknologi dan masyarakat memiliki peranan yang sangat penting. Mengenalkan IPA berdasarkan isu-isu/permasalahan yang terkait kehidupan sehari-hari akan membuat pembelajaran IPA menjadi lebih menarik. Namun faktanya, tidak semua konsep dan prinsip IPA dapat dipelajari melalui cara belajar tersebut, sehingga tidak memperoleh pendalaman dalam proses belajarnya. Cara belajar seperti ini lebih efektif untuk jenjang pendidikan dasar, untuk pendidikan menengah dan tinggi pembelajar tidak dapat mendalami konsep yang dipelajarinya.
Masalah lain yang muncul dalam mempelajari IPA adalah bentang alam Indonesia yang sangat luas yang menyebabkan terjadinya kesenjangan informasi IPA khususnya pada daerah-daerah yang terpencil. Masalah ini dapat diatasi apabila digunakan TIK dalam bentuk multimedia interaktif. Mengatasi masalah masyarakat Asean, bangsa Indonesia perlu mencari model pembelajaran yang tepat sebagai pengembangan berpikir tingkat tinggi pembelajar. Bagaimana pembelajaran IPA dapat mengembangkan keterampilan berpikir? Tantangan ini dapat dijawab melalui paradigma baru belajar IPA dengan memberikan ruang untuk pembelajar mengembangkan berpikir IPA. Masalah utama yang perlu dijawab, yaitu “Bagaimana mengubah modus pendidikan IPA di Indonesia untuk membekalkan setiap pembelajar dengan pengalaman berpikir tingkat tinggi?”
II. METODE
Beberapa peneliti melakukan penelitian menggunakan desain ‘mixed methods‘, pada pendidikan menengah dan pendidikan tinggi Creswell dan Plano-Clark (2007). Biasanya pada pendidikan dasar dipelajari IPA secara terintegrasi, selanjutnya pada pendidikan menengah secara ‘combined‘ dan pada pendidikan tinggi seperti LPTK sebagai materi subjek dari disiplin-disiplin IPA (Biologi, Fisika, Kimia, IPBA), bergantung pada tujuan pendidikan dan hasil belajar yang ingin dicapai Ditjen Dikti
IPA sebagai pengalaman untuk menemukan IPA sebagai pengetahuan
IPA dan interaksinya dengan teknologi dan masyarakat IPA sebagai cara berpikir
(2014). Penelitian ‘mixed methods’ membahas aspek kualitatif dan kuantitatif penelitian sebagai satu kesatuan hasil, sedangkan untuk uji kuantitatif biasanya digunakan bantuan statistika.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Paradigma dalam Pembelajaran IPA
Paradigma pembelajaran IPA harus dibangun untuk menjadi komunitas Asean yang baik. Bila selama ini pembelajaran IPA hanya untuk mengetahui konsep-konsep IPA melalui hafalan, kesempatan untuk menjadi manusia Indonesia yang cerdas tidak akan tercapai. Bertolak dari pandangan tersebut, tujuan pendidikan perlu diubah untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi pembelajaran IPA.
Pembelajaran IPA harus menitikberatkan pada belajar IPA sebagai cara berpikir untuk meningkatkan keterampilan berpikir pembelajar. Berpikir IPA dapat dicapai melalui keterampilan generik sains (KGS). Berpikir IPA dapat dikembangkan melalui delapan indikator berpikir menurut Brotosiswoyo (2000), yaitu: (1) pengamatan langsung dan tak langsung; (2) kesadaran akan skala besaran; (3) bahasa simbolik; (4) konsistensi logis; (5) inferensi logika; (6) hukum sebab akibat; (7) pemodelan matematik; dan (8) pembentukan konsep. KGS yang lain dalam kimia adalah kemampuan spasial Suyanti (2003) dan Sudarmin (2007). Selain itu penggunaan KGS dalam pembelajaran IPA dapat menggunakan multimedia interaktif (Roblyer dan Doering, 2010).
Berpikir Tingkat Tinggi sebagai Tujuan Pendidikan IPA
Berpikir tingkat tinggi terdiri atas empat macam berpikir kompleks, yaitu berpikir kritis, berpikir kreatif, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. Ada dua sisi berpikir kritis, ialah disposisi berpikir kritis dan keterampilan atau kemampuan berpikir kritis. Disposisi mengarah pada pemikiran menuju berpikir kritis, sebagai dimensi kepribadian, berbasis kecenderungan keinginan seseorang mendekati masalah menggunakan penalaran. Jadi, disposisi berpikir kritis sejalan dengan motivasi internal untuk berhubungan dengan masalah dan membuat keputusan menggunakan proses berpikir. Indikator disposisi berpikir kritis, meliputi: (1) truth-seeking; (2)
open-mindedness; (3) analyticity; (4) systematicity; (5) self-confidence; (6) inquisitiveness; dan
(7) maturity of judgment (Facione dkk. 2000).
Keterampilan berpikir kritis mengandung lima kemampuan dan 12 indikator, yaitu: (1) penjelasan sederhana (memfokuskan pada pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan); (2) keterampilan dasar (menentukan kredibilitas sumber, mengamati dan menilai laporan observasi, menentukan kriteria); (3) inferensi (mendeduksi dan menilai deduksi, menginduksi dan menilai induksi, membuat dan menilai hasil penilaian); (4) penjelasan lanjut (mendefinisikan istilah dan menilai definisi, mengidentifikasi asumsi); dan (5) strategi and taktik (memutuskan bertindak, berinteraksi dengan orang lain) (Ennis, 1985).
Ada tiga contoh penelitian pendidikan IPA yang bertujuan meningkatkan berpikir kritis pembelajar, yaitu pembelajaran fisika quantum melalui multiple representation dan KGS untuk calon guru fisika di Bandar Lampung Abdurrahman (2010); pembelajaran Elektrolisis menggunakan multimedia interaktif dan KGS untuk calon guru kimia di Bandung (Nursa’adah, 2011): dan pembelajaran larutan asam-basa untuk pembelajar SMK Farmasi di Cimahi melalui multiple representasi dan Project Based Learning (Lesmana, 2015).
Peningkatan nilai N-gain disposisi berpikir kritis calon guru fisika dapat dilihat pada Gambar 2.
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 10
Gambar 2. Nilai N-gain Disposisi berpikir Kritis tentang Teori Atom Bohr (Abdurrahman, 2010)
Peningkatan persentase nilai N-Gain keterampilan berpikir kritis calon guru kimia dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Nilai persentase N-gain keterampilan berpikir kritis pada topik Sel Elektrokimia (Nursa’adah, 2011) 0.17 0.21 0.42 0.55 0.42 0.33 0.32 0.38 0.12 0.15 0.20 0.09 0.09 0.10 0.05 0.11 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60
TS INQ OM SC ANL SYS MJ Overall
N -g ai n S co re ( 0 -1)
Critical thinking Disposition (CTD) Indicator
Experiment Group Control Group
□ TS: Truth-Seeking □ INQ: Inquisitiveness □ OM: Open Mindedness □ SC: Self Confidence □ ANL: Analyticity □ SYS: Systematicity
□ MJ: Maturity of Judgment
1 2 3 4
C E C E C E C E
1.Penjelasan sederhana 2. Ketr Dasar 3. Inferensi 4. Strategi dan taktik C. kontrol E. Experimen
Peningkatan nilai persentse N-Gain disposisi berpikir kritis pembelajar di SMK Cihami Bekasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Nilai % N-Gain Disposisi Berpikir Kritis pada topik Asam-basa (Lesmana, 2015)
Belajar IPA melalui KGS pada berbagai topik IPA yang berbeda menghasilkan aspek pengembangan yang berbeda. Demikian pula pembelajaran IPA bagi calon guru IPA dan pembelajar juga memberikan pengembangan berpikir kritis yang berbeda. Peningkatan indikator truth seeking yang sangat tinggi diraih oleh pembelajar SMK ternyata memberikan hasil terendah pada mahasiswa calon guru fisika. Hal ini mungkin disebabkan oleh karakteristik materi yang berbeda. Meskipun demikian, peningkatan KGS selalu sejalan dengan peningkatan keterampilan berpikir kritis dan disposisi berpikir kritis (Brotosiswoyo, 2000; Ennis, 1985; dan Facione dkk, 2000).
IV. PENUTUP
Berdasarkan tiga contoh hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa: (1) penggunaan KGS, multiple representation dan multimedia interaktif dapat menimbulkan peningkatan disposisi berpikir kritis maupun keterampilan berpikir kritis; dan (2) peningkatan berpikir kritis dan disposisi berpikir kritis juga bergantung pada karakteristik topik IPA yang dipelajari dan model pembelajaran yang digunakan.
Sebaiknya peningkatan keterampilan berpikir kritis ataupun disposisi berpikir kritis dalam pembelajaran IPA ditingkatkan melalui sebanyak mungkin model pembelajaran. Peningkatan berpikir tingkat tinggi perlu terus dikembangkan secara konsisten, agar ditemukan indikator-indikator dominan sejenis yang dapat dikembangkan dari keterampilan berpikir tingkat tinggi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2010. The role of quantum physics multiple representation to enhance concepts mastery, generic science skills, and critical thinking disposition for pre-service physics teacher students. Disertation. Bandung: Science Education Program, SPs UPI. 99.5 93.9 66.7 48.5 93.2 56.9 89.9 81.987.4 63 83.5 65.2 80 79.4 43.9 8.2 78.5 42.6 74.2 66.8 61.2 30.7 67.3 14.1 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Arr Lw Hds Pnyg BL Hdls SfAB DiAB SfAB pHAB RPAB TitAB
Ni la i R at a-ra ta N -ga in ( % )
Critical thinking disposition
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Tru Omd Inq Anl Sys
TS : Truthseeking INQ : Inquisitiveness OM : Open Mindedness ANL : Analyticity SYS : Systematicity
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 12 APSC. 2009. APSC Blueprint Conference. Jakarta: Asean Community.
Brotosiswoyo, B.S. 2000. Kiat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Fisika di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Depdiknas.
Costa, A.L. 1985. Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: ASCD.
Creswell, J.W. and Plano-Clark, V.L. 2007. Mixed methods research. California: Sage Publications.
Ennis, R, H. 1985. Goals for A Critical Thiking Curriculum. Costa, A.L. (Ed). Developing
Minds A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandra, Virginia: Assosiation
for Supervisions and Curriculum Development (ASCD)
Facione, P.A. 1995. The disposition toward critical thinking. Journal of General
Education. 44, 1-25.
Kemdikbud. 2014. Buku Kurikulum Pendidikan Tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti.
Lesmana, I. 2015. Eksperimen asam-basa berbasis proyek untuk meningkatkan kemampuan multipel representasi dan disposisi berpikir kritis pembelajar SMK Farmasi. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Nursa’adah, E. 2011. Pembelajaran elektrolisis berbasis multimedia interaktif untuk meningkatkan kemampuan multipel representasi dan berpikir kritis mahasiswa calon guru kimia. Tesis. Bandung: SPs UPI.
Roblyer, M.D. and Doering, A.H. 2010. Integrating Educational Technology into
Teaching. Boston: Pearson Education, Inc.
Suyanti, R.D. 2006. Pembekalan keterampilan generik kimia anorganik bagi calon guru.
Disertasi. Bandung: SPs UPI.
Sudarmin, 2007. Pembekalan keterampilan generik kimia organik bagi calon guru.
MENJAWAB TANTANGAN PENDIDIKAN ABAD 21: KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI DENGAN MODEL KURIKULUM
SAINS SURYA Nancy Susianna
nancy.susianna@stkipsurya.ac.id
STKIP Surya Tangerang Abstrak
Indonesia saat ini memerlukan suatu kurikulum yang singkat, padat, dan mudah dimengerti, yang dapat mendorong kreativitas guru dalam merancang pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model Kurikulum Sains Surya yang singkat, padat, dan mudah dimengerti, yang dapat mendorong kreativitas guru dalam merancang pembelajaran. Penelitian ini bermanfaat bagi sekolah, guru, dan pemerhati pendidikan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur dan survei. Studi literatur yang dimaksud adalah penelaahan kurikulum dan iklan lowongan kerja. Kurikulum yang dianalisis sebanyak 15 buah kurikulum nasional yang digunakan dari berbagai negara yang tersebar di benua Asia, Australia, Amerika, Eropa dan Afrika. Iklan lowongan kerja yang dianalisis sebanyak 400 buah iklan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Survei dilakukan terhadap 580 guru yang tersebar di seluruh Indonesia, 174 dosen, 348 orang tua siswa, 82 pemilik perusahaan, dan 25 koordinator kurikulum. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket dan wawancara. Model Kurikulum Sains Surya adalah model kurikulum yang menghubungkan tiga komponen penting dalam suatu pembelajaran yang dinyatakan dalam bentuk tiga lingkaran berlapis yang saling berhubungan. Lingkaran pertama tentang kompetensi, lingkaran kedua tentang proses belajar mengajar, dan lingkaran ketiga tentang penilaianm. Salah satu kompetensi dalam Kurikulum Sains Surya adalah keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Kata kunci: tantangan pendidikan, keterampilan berpikir tingkat tinggi, kurikulum sains surya
PENILAIAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI:
APLIKASI PEMODELAN RASCH PADA ASESMEN PENDIDIKAN
Bambang Sumintono
bambang@um.edu.my
Universiti Malaya, Kuala Lumpur Malaysia I. PENDAHULUAN
Pada awal abad ke 20 pendidikan formal yang dilakukan di sekolah lebih fokus pada tiga hal yaitu: membaca, menulis, dan berhitung. Tidak aneh yang terjadi adalah peran guru yang dominan sebagai penyampai pengetahuan, karena buku teks pun lebih banyak berisi fakta-fakta yang harus diingat siswa. Tes/ujian yang digunakan diarahkan pada kemampuan mengingat fakta-fakta tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan sekolah pada abad lalu memang tidak mengarahkan siswa untuk membaca dan berpikir kritis ataupun menyelesaikan masalah yang kompleks.
Pengajaran sains pada pendidikan dasar dan menengah pada umumnya terbagi dalam dua bagian besar yaitu sains sebagai produk dan sains sebagai proses. Konteks sains sebagai produk adalah pada pengajaran tentang fakta, teori, prinsip dan hukum alam, sedangkan sains sebagai proses adalah pengembangan kemampuan siswa dalam metode ilmiah dan pemecahan masalah sains. Pada abad 20 pembelajaran membahas konteks produk, sedangkan pada abad 21pembelajaran membahas konteks proses. Lebih jauhnya ini menyangkut kepada peningkatan ketrampilan berpikir tingkat tinggi.
Bybee dan Fuchs (2006) menyebutkan tantangan pengajaran sains abad ke-21 perlunya reformasi pengajaran sains, supaya lebih relevan dengan tantangan yang ada. Hal mendasar yang perlu diperbaiki isunya masih sama yaitu: guru yang berkualitas, isi kurikulum yang tepat dan berkesinambungan, tes belajar yang sesuai dan sistem penilaian yang terkait dengan tujuan pembelajaran. Penerapkan sistem penilaian yang teliti, valid dan reliabel adalah jawabannya. Makalah ini akan menjelaskan ruang lingkup penilaian, khususnya tes yang bisa memberikan informasi maksimal dalam konteks penilaian ketarmpilan berpikir tingkat tinggi dalam konteks pengajaran sains di sekolah.
II. PEMBAHASAN Penilaian Pendidikan
Definisi penilaian pendidikan sangat beragam, namun biasanya hal itu menyebutkan bahwa penilaian adalah cara untuk menempatkan pembelajar dalam konteks yang dapat menyatakan apa yang dia ketahui dan mampu dia lakukan (menjelaskan apa yang dia belum tahu dan belum mampu dia lakukan). Definisi penilaian pendidikan seperti ini memang sangat luas yang mengindikasikan bahwa untuk mengetahui kemajuan belajar seseorang bisa dilakukan baik secara formal maupun informal, kapan saja dan dalam waktu jangka waktu yang tidak harus dibatasi (Musial dkk, 2009).
Bentuk penilaian pendidikan yang banyak dikenal adalah ujian. Ujian atau tes adalah prosedur evaluasi yang biasa dilakukan oleh seorang guru terhadap pengetahuan dan keterampilan siswa untuk mengetahui kinerjanya dengan menggunakan instrumen tertentu. Sedangkan, instrumen pun beragam, namun dalam konteks ini adalah soal yang harus dikerjakan oleh siswa. Ujian bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, dimaksudkan untuk memberikan pengukuran yang objektif dari kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Bentuk ujian atau tes yang paling umum dipakai oleh guru dalam menguji siswanya di kelas adalah tes tertulis.
Aktivitas kegiatan belajar mengajar di sekolah, yang lebih dikenal secara luas dalam konteks penilaian pendidikan disebut sebagai penilaian formatif dan penilaian
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 20 sumatif. Penilaian formatif adalah kegiatan penilaian oleh guru terhadap siswa yang tujuannya lebih kepada memberikan informasi yang bermanfaat sehingga pembelajaran berikutnya kualitasnya lebih baik lagi. Hal ini berimplikasi bahwa pada penilaian formatif guru mengumpulkan informasi dan melakukan interpretasi dari bukti hasil belajar yang ada, tentang apa yang perlu diketahui lebih lanjut oleh siswa, serta melakukan adaptasi pengajarannya sesuai dengan kebutuhan siswa. Bahasa yang populer ini disebut sebagai
assessment for learning.
Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui apa yang sudah diketahui pelajar atau yang bisa dia lakukan, pada periode akhir masa belajar yang ditetapkan. Tujuannya memang untuk memberikan informasi, prestasi apa yang telah dicapai, dalam istilah populernya disebut assessment of learning. Pada jenis penilaian ini, siswa selalunya berada dalam situasi dimana mereka harus menampilkan segala yang telah dikuasai selama waktu tertentu yang menunjukkan prestasi belajarnya, misalnya dalam Ujian Akhir Nasional (UAN).
Hasil kegiatan ujian yang dilakukan pada siswa biasanya digunakan dalam berbagai cara. Nilai atau skor yang didapat oleh siswa dalam satu ujian bisa menunjukkan seberapa bagus prestasinya dibanding temannya di kelas, ataupun dibanding prestasi yang telah dia raih sebelumnya di kelas yang sama. Secara lebih lengkapnya, hasil ujian ini dapat digunakan oleh guru untuk: (a) menentukan abilitas siswa relatif terhadap siswa lain dalam tes yang sama; (b) menunjukkan perkembangan kemampuan siswa dalam suatu jangka waktu dalam pengetahuan dan ketrampilan tertentu; (c) menunjukkan bukti pemahaman akan satu materi pelajaran, pengetahuan atau ide tertentu; dan (d) hal itu dapat meramalkan kinerja siswa di masa hadapan. Supaya hasil tes bisa dipercaya dan tepat untuk digunakan maka aspek validitas dan reliabilitas instrumen adalah hal esensial yang harus dipenuhi.
Analisis Hasil Ujian
Analisis hasil ujian dimulai dari proses mendapatkan informasi mengenai abilitas siswa dari hasil ujian yang dilakukan terhadap siswa, yang disebut juga skor ujian. Terdapat berbagai cara untuk mendapatkan skor yang menunjukkan kemampuan siswa. Cara yang umum dilakukan adalah menjumlahkan banyaknya jawaban yang benar. Skor ini menunjukkan kemampuan siswa. Analisis lebih lanjut adalah dengan melakukan prosedur statistik sederhana untuk bisa menjelaskan lebih jauh tentang kualitas soal, kualitas siswa maupun perbandingan atribut yang diukur.
Pendekatan yang banyak dipakai saat ini dalam analisis hasil ujian adalah pendekatan teori tes klasik (Clasical Test Theory atau CTT). Teori tes klasik bisa digunakan untuk melakukan prediksi tentang hasil dari suatu ujian (tes). Prediksi ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa parameter seperti kemampuan siswa dan tingkat kesulitan soal. Charles Spearman mengemukakan teori tes klasik ini pada tahun 1904 dan banyak diaplikasikan dalam bidang pendidikan khususnya penilaian pendidikan. Asumsi dasar yang dipunyai oleh teori tes klasik ini adalah skor yang didapat dilambangkan dengan X, tidak lain adalah terdiri dari skor murni (T) dan eror pengukuran (E), sehingga persamaannya: X = T + E. Artinya, di dalam skor hasil ujian yang didapat satu siswa misalnya, didalamnya terkandung skor murni dan eror pengukuran. Hal yang perlu dicatat adalah skor tampak (X) bersifat nyata (muncul di dalam data secara langsung) sedangkan skor murni (T) dan eror pengukuran (E) bersifat tersembunyi (latent) atau tidak bisa diamati secara langsung. Keduanya muncul di dalam data setelah melalui proses estimasi. Asumsi lain yang perlu diketahui adalah eror pengukuran (E) dalam CTT bersifat acak dan tidak berkorelasi dengan X maupun T, dan korelasi yang diharapkan muncul adalah 0 (nol). Teori tes klasik (CTT) hanya menekankan pada skor
tampak dari satu ujian, yang biasanya disimpulkan sebagai kemampuan (abilitas) seseorang dari ujian yang diikuti.
Skor mentah ini maka berbagai analisis dan interpretasi bisa dihasilkan sesuai dengan keperluan yang dilakukan, diantaranya adalah: a) Statistik deskriptif, yaitu tendensi sentral (misalnya rata-rata), ukuran keragaman (misalnya varians) dan tabel frekuensi. Ketiganya akan memberikan informasi secara langsung butir soal mana yang berguna dan mana yang tidak. Misalnya, keragaman skor antar siswa yang rendah menunjukkan rendahnya kualitas soal-soal di dalam tes; b) tingkat kesulitan butir. Tingkat kesulitan menunjukkan proporsi siswa yang dapat mengerjakan soal secara benar dari satu ujian. Titik terendah sebesar 1,0, artinya semua siswa dapat menjawab dengan betul soal tes dan titik tertinggi tingkat kesulitan adalah 0,0 yang menunjukkan tidak ada satupun (0%) individu yang bisa menjawab dengan benar. Butir soal yang memiliki titik ekstrim (0% atai 100%) seperti kedua contoh di muka tidak banyak berguna karena tidak bisa membedakan kemampuan individu, dengan kata lain soal yang tidak bagus kualitasnya; c) Daya diskriminasi butir menunjukkan seberapa jauh sebuah soal mampu membedakan individu yang memiliki kemampuan yang tinggi dan rendah. Sederhananya, jika siswa berkemampuan tinggi dan rendah dapat mengatasi soal nomor 10, maka soal ini memiliki daya diskriminasi butir yang rendah. Sebaliknya, jika siswa berkemampuan tinggi dapat mengatasi soal nomor 10 sedangkan yang berkemampuan rendah tidak dapat mengatasi, maka butir nomor 10 memiliki daya diskriminasi yang tinggi; d) Pembobotan butir soal, umumnya dalam konteks CTT, skor untuk tiap butir soal diberikan sama (misal 1 untuk jawaban betul dan 0 untuk jawaban salah), pembobotan skor diberlakukan bila satu soal yang diberikan mempunyai bobot yang berbeda untuk menghasilkan total skor mentah. Terdapat banyak cara untuk memberikan pembobotan, misal melalui reliabilitas soal, yaitu soal dengan reliabilitas tinggi memiliki bobot lebih besar.
Catatan Mengenai Teori Skor Klasik
Teori skor klasik bukan satu-satunya pendekatan dalam penilaian pendidikan dan psikometri. Ada beberapa pendekatan lain yang merupakan alternatif dari pendekatan teori klasik. Pada dasarnya, penggunaan skor mentah/raw score sebagai ukuran prestasi memiliki beberapa beberapa kelemahannya, diantaranya adalah (Alagumalai dkk, 2005):
a. Skor mentah pada dasarnya bukanlah hasil pengukuran. Lebih tepatnya skor mentah adalah jumlah jawaban benar dari soal yang dikerjakan siswa;
b. Skor mentah adalah informasi awal. Skor mentah juga biasanya dinyatakan dalam persentase (%) yang tidak lain hanyalah ringkasan data berupa angka, tetapi tidak memberikan data dari suatu pengukuran;
c. Skor mentah memiliki makna kuantitatif yang lemah. Makna kuantitatif dari skor mentah yang didapat akan berbeda, tergantung banyaknya soal, sedangkan persentase jawaban betul selalu tergantung pada tingkat kesulitan soal;
d. Skor mentah tidak menunjukkan kemampuan seseorang terhadap tugas tertentu. Skor mentah juga tidak bisa banyak menjelaskan tingkat kesulitan soalnya; dan e. Skor mentah dan persentase jawaban benar tidak selalu bersifat linier. Dalam
sebuah tes yang bersifat linier, siswa yang memiliki skor 60 (skala 0 hingga 100) selalu memiliki kemampuan lebih tinggi dibanding yang memiliki skor 55. Namun secara empirik terkadang keduanya memungkinkan memiliki kemampuan yang sama.
Melihat alternatif lain dalam melakukan analisis hasil ujian sangat diperlukan, khususnya dengan berbagai kelemahan teori tes klasik di atas. Kekurangan CTT kemudian diperbaiki dengan teori respon butir (Item Response Theory atau IRT) dengan berbagai variasi parameter logistiknya (PL), satu diantaranya yaitu dengan pemodelan
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 22 Rasch. IRT tidak tergantung pada sampel soal/pernyataan tertentu dan abilitas orang yang terlibat dalam ujian /survei. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan secara singkat tentang pemodelan Rasch, pengukuran yang objektif, serta aplikasi pemodelan Rasch dalam penilaian pendidikan dengan penggunaan perangkat lunak (software) yang dirancang untuk aplikasi Rasch l (Bond dan Fox, 2015).
Pemodelan Rasch
Georg Rasch mengembangkan satu model analisis dari teori respon butir pada tahun 1960-an yang mirip dengan biasa disebut IRT 1PL (satu parameter) Olsen (2003). Model matematika ini kemudian dipopulerkan oleh Benjamin Wright Linacre (2011). Dengan data mentah berupa data dikotomi (berbentuk benar dan salah) yang mengindikasikan kemampuan siswa, Rasch memformulasikan hal ini menjadi satu model yang menghubungan antara siswa dan item (Sumintono dan Widhiarso, 2015).
Seorang siswa yang mampu mengerjakan 80% soal dengan benar tentu mempunyai abilitas yang lebih baik dari siswa lain yang hanya bisa mengerjakan 65% soal. Data tersebut (persentase) menunjukkan bahwa data mentah yang diperoleh tidak lain adalah jenis data ordinal yang menunjukkan peringkat dan tidak linier Linacre (1999), karena data ordinal tidak mempunyai interval yang sama, maka data tersebut perlu diubah menjadi data rasio untuk keperluan analisis statistik. Sehingga bila seseorang mendapat skor 80%, maka nilai odds ratio-nya adalah 80:20 (bermakna: 80 skor benar dibandingkan 20 skor salah), yang tidak lain adalah data perbandingan frekuensi/rasio yang lebih tepat untuk tujuan pengukuran. Melalui data perbandingan rasio ini Rasch mengembangkan model pengukuran yang menentukan hubungan antara tingkat kemampuan siswa (person ability) dan tingkat kesulitan aitem (item difficulty) dengan menggunakan fungsi logaritma untuk menghasilkan pengukuran dengan interval yang sama. Hasilnya adalah satuan baru yang disebut logit (log odds unit) yang menunjukkan abilitas siswa dan kesulitan aitem; sehingga nantinya dari nilai logit yg didapat, disimpulkan bahwa tingkat kesuksesan siswa dalam mengerjakan soal sangat tergantung dari tingkat abilitasnya dan tingkat kesulitan soal (Englehard, 2013).
Data yang berbentuk dikotomi, pemodelan Rasch menggabungkan suatu algoritma yang menyatakan hasil ekspektasi probabilistik dari item ‘i’ dan responden ‘n’, yang secara matematis dinyatakan sebagai (Bond dan Fox, 2007):
Pni(xni=1/n, i) =
e(n – i ) 1 + e (n – i )
Keterangan: Pni(xni=1 /n , i ) adalah probilitas dari responden n dalam aitem i untuk menghasilkan jawaban betul (x = 1); dengan kemampuan responden, βn, dan tingkat kesulitan aitem δi.
Persamaan tersebut dapat lebih disederhanakan dengan memasukkan fungsi logaritma, yaitu:
log (Pni (Xni = 1 / βn, δi)) = βn – δi
Sehingga probabilitas akan satu keberhasilan dapat dituliskan sebagai:
Pemodelan Racsh dan Pengukuran Objektif
Data berupa angka yang merupakan skor data mentah dari ujian yang dikerjakan oleh siswa berasal dari soal ujian/instrumen yang diberikan. Instrumen tersebut dirancang
probabilitas untuk berhasil =
kemampuan
dari variabel yang sudah didefinisikan secara memuaskan (misalnya kemampuan kuantitatif), kemudian diidentifikasi konstruk-konstruk yang relevan (yaitu yang dapat diukur melalui tes hitungan, deret bilangan, komparasi kuantitatif), item-item dibuat dan dikembangkan untuk bisa mengukur variabel yang dimaksud. Pada saat yang sama, pilihan jawaban yang disediakan kemudian mengikuti pola penskoran yang dianut oleh teori test klasik (CTT). Dalam konteks pemodelan Rasch, pola penskoran yang ‘menetap’ ini tidak lain adalah pengukuran yang hasilnya bergantung pada siapa yang diukur (test
dependent scoring), sedangkan yang harus dilakukan dalam riset kuantitatif dalam
penilaian pendidikan adalah pengukuran yang objektif (objective measurement).
Konsep pengukuran yang objektif dalam ilmu-ilmu sosial dan penilaian pendidikan menurut Mok dan Wright (2004) harus mempunyai lima kriteria, yaitu:
1. Memberikan ukuran yang linear dengan interval yang sama; 2. Melakukan proses estimasi yang tepat;
3. Menemukan item yang tidak tepat (misfits) atau tidak umum (outliers); 4. Mengatasi data yang hilang;
5. Menghasilkan pengukuran yang replicable (independen dari parameter yang diteliti)
Kelima syarat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh pemodelan Rasch. Hal ini menyatakan bahwa kualitas pengukuran dalam penilaian pendidikan yang dilakukan dengan pemodelan Rasch akan mempunyai kualitas yang sama seperti halnya pengukuran yang dilakukan dalam dimensi fisik dalam bidang fisika (misal mengukur panjang dengan mistar centimeter, mengukur berat dengan neraca kilogram, dan lain-lain).
Bila dilihat lebih lanjut, skala logit (log odds unit) yang dihasilkan dalam pemodelan Rasch adalah skala dengan interval yang sama dan bersifat linear yang berasal dari data ratio (odds ratio) dan bukannya data mentah skor yang didapat (1). Oleh karena itu, proses estimasi abilitas seseorang ataupun tingkat kesulitan soal akan mempunyai nilai estimasi yang lebih tepat dan bisa saling dibandingkan karena mempunyai satuan yang sama (logit) (2). Berhubung algoritma yang digunakan akan melakukan pengurutan secara terstruktur antara responden dari abilitas tinggi ke rendah, yang secara bersamaan juga mengurutkan soal dari yang mudah ke yang sulit, maka adanya ketidaktepatan/konsistensi jawaban dari responden (misfit) ataupun pola yang diluar kebiasaan (outlier) akan mudah dideteksi, demikian juga untuk pola respon yang diterima satu soal tertentu (3). Pengurutan abilitas responden dan kesulitan soal secara terstruktur juga membuat model rasch dapat melakukan prediksi bila terdapat data yang hilang (4). Skala logit yang dihasilkan akan memunculkan nilai yang tergantung dari pola respon yang diberikan, bukannya pada skor awal yang ditentukan, sehingga pemodelan Rasch akan selalu menghasilkan pengukuran yang independen (5).
Analisis dengan pemodelan Rasch menghasilkan analisis statistik kesesuaian (fit
statistics) yang memberikan informasi pada peneliti apakah data yang didapatkan
memang secara ideal menggambarkan bahwa orang yang mempunyai abilitas tinggi memberikan pola jawaban terhadap item sesuai dengan tingkat kesulitannya. Parameter yang digunakan adalah infit dan outfit dari kuadrat tengah (mean square) dan nilai terstandarkan (standardized values). Menurut Sumintono dan Widhiarso (2014), infit (inlier sensitive atau information weighted fit) adalah kesensitifan pola respon terhadap item sasaran pada responden (person) atau sebaliknya, sedangkan outfit (outlier sensitive
fit) mengukur kesensitifan pola respon terhadap item dengan tingkat kesulitan tertentu
pada responden atau sebaliknya.
Riset kuantitatif dalam ilmu sosial dan penilaian pendidikan selalu menghadapi kritik yang mendasar dalam hal pengujian instrumen risetnya. Uji kuantitatif instrument yang biasa dilakukan dalam CTT adalah indeks reliabilitas (alpha Cronbach) yang hanya
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 24 mengukur interaksi antara item dan person, bagaimana kualitas individual item tidak pernah bisa dilakukan karena tiadanya indeks pengukuran yang bisa dilakukan, saat yang sama untuk mendeteksi jawaban responden yang tidak konsisten pun tidak tersedia. Hal yang berbeda dengan teori test klasik, dalam pemodelan Rasch analisis item dilakukan ke tingkat masing-masing item. Selain terhadap item, pemodelan Rasch juga secara bersamaan menguji person (responden), di mana akan terlihat pola jawaban responden yang konsisten, yang cenderung untuk menyetujui (dalam instrumen sikap) maupun mengidentifikasi jawaban yang asal saja. Uji untuk instrumen riset pun bisa dilakukan dalam bentuk uji dimensionalitas, maupun deteksi adanya bias dari item yang diujikan. Semua itu bisa dilakukan karena pada dasarnya pemodelan Rasch memenuhi semua syarat pengukuran objektif.
Aplikasi Model Rasch dengan Winstep untuk Penilaian 1. Peta Konstruk Ukur
Peta konstruk pada dasarnya adalah representasi visual untuk dapat mengetahui ada di mana tepatnya lokasi dari butir soal sekaligus responden dalam hal dimensi-dimensi yang diukur, yaitu:
1) Peta konstruk memberikan konteks yang menyeluruh dan substantif pada isi konstruk-konstruk yang diukur
2) Peta konstruk adalah suatu ide yang menggambarkan kontinum yang didapat dari pengukuran yang isinya terdapat dua hal, yaitu:
a) peta konstruk responden yang menyatakan kualitas responden, diperingkatkan dari yang terendah ke tertinggi (misalnya abilitas dalam TPA);
b) peta konstruk butir yang menunjukan pola jawaban yang diberikan oleh responden terhadap butir yang kemudian diurutkan dari soal yang mudah ke soal yang sangat susah;
Secara teoritik, contoh kontinum tingkat kesulitan butir dapat mengikuti Taksonomi Bloom. Pada tahun 1950-an, Benjamin Bloom mengajukan sebuah taksonomi proses kognitif. Taksonomi tersebut begitu berpengaruh dalam pendidikan dan telah mengalami berbagai revisi. Menurut Bloom, butir soal yang menekankan pada masalah ingatan atau pengetahuan termasuk pada proses kognitif di level terendah. Oleh karena itu, butir-butir yang mengukur proses ini cenderung memiliki tingkat kesulitan rendah. Semakin tinggi level proses kognitif yang dilakukan, maka semakin tinggi tingkat kesulitan soal yang mengukurnya. Level proses kognitif yang dikembangkan oleh Bloom bergerak mulai dari ingatan, aplikasi, analisis, evaluasi, dan berakhir pada sintesis. Artinya soal-soal jenis sintesis secara teoritik adalah soal yang sulit untuk dikerjakan dengan benar oleh siswa.
Gambar 1. Ilustrasi peta konstruk taksonomi Bloom
Berdasarkan ilustrasikan taksonomi Bloom pada Gambar 1, individu yang mampu mengerjakan dengan benar soal-soal yang mengukur kemampuan melakukan sintesis dapat dipastikan dia mempunyai abilitas yang lebih tinggi dibanding individu lain yang tidak dapat mengerjakan soal dengan benar. Peta konstruk juga dapat menggambarkan bahwa siswa yang hanya dapat menjawab soal-soal jenis ingatan, adalah siswa yang memang abilitasnya berbeda dengan siswa yang dapat menjawab dengan benar sampai ke tingkatan analisis. Program Winsteps peta konstruk bisa dihasilkan dengan menampilkan fungsi Variable Map (Gambar 2).
Responden
Butir
Tingkat Kesulitan Soal: Taksonomi Bloom
Responden dengan tingkat kecerdasan yang tinggi
Responden dengan tingkat kecerdasan sedang
Responden dengan tingkat kecerdasan rendah
.
.
.
.
.
.
Soal jenis Sintesis
Soal jenis Evaluasi
Soal jenis Pemahaman
Soal jenis Ingatan Soal jenis Analisis Soal jenis Aplikasi
soal yang sulit
soal yang mudah
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 26
MEASURE (logit) Person - MAP - Item <more>|<rare> 4 + | | |T S3 | 05P | 3 + | | T| | | 2 + |S | S2 | 20L | S| 1 + | S1 S10 | 01L 09L 07P 02P 11P 18P |S7 | | 0 03L 06P 10P +M | M| S6 | 15L 19L 04P13P | | -1 + S5 | 14L 12P | S8 S| |S | -2 + S9 08P 17P | | | S4 | | -3 T+ 16L | | |T | | -4 + <less>|<frequent>
Gambar 2. Ilustrasi peta konstruk dengan Winsteps
Terlihat bahwa identifikai peserta tes atau person ada di bagian kiri, yang menunjukkan abilitas dari setiap peserta tes dalam skala logit, sedangkan pada sebelah kanan adalah kontinum tingkat kesulitan item. Peta dapat lebih informatif jika modifikasi berdasakan jenis kelamin (sebelah kiri) dan jenis pertanyaan dari soal yang diberikan (kanan), hal ini bertujuan untuk mengetahui secara lebih tepat informasi tentang peserta tes dan butir soal yang diberikan.
2. Pengembangan Instrumen Pengukuran
Pemodelan Rasch menjadi alternatif pengembangan instrumen pengukuran pada penilaian pendidikan selain menggunakan teori klasik. Beberapa tahap yang biasanya dilalui dalam prosedur pengembangan instrumen pengukuran, yaitu:
a) Verifikasi asumsi unidimensionalitas dan independensi lokal pengukuran;
Skala Logit
sebaran abilitas siswa sebarantingkat kesulitan aitem lelaki perempuan
ki
b) Pengujian ketepatan butir-individu dengan model. Butir yang memiliki nilai ketepatan rendah dikeluarkan dari analisis. Analisis diulang lagi hingga semua butir memiliki ketepatan dengan model; dan
c) Jika jumlah butir yang tersisa masih melebihi jumlah butir yang ditargetkan, maka kita dapat menyeleksi butir dengan berbagai pertimbangan, misalnya: (a) butir yang tidak overlap lokasinya dengan butir lain; (b) butir yang dapat meningkatkan reliabilitas pengukuran; (c) butir yang opsi-opsi responsnya sesuai dengan urutannya (menelaah grafik karakteristik butir); atau (d) butir yang memberikan informasi yang sesuai dengan fungsi pengukuran (menelaah grafik fungsi informasi).
Proses evaluasi terhadap instrumen pengukuran merupakan proses analisis yang bersifat iteratif, yang dilakukan berulang-ulang hingga peneliti menemukan komposisi yang optimal, di mana semua kriteria dapat terpenuhi. Pada program Winsteps, unidimensionalitas terdapat pada fungsi Item, dimensionality dan ketepatan butir dengan model (infit-outfit) dan lokasinya (measure) dapat dilihat pada item fit order.
Gambar 3. Penilaian sesuai Butir Soal
Menurut Boone dkk. (2014), kriteria yang digunakan untuk memeriksa kesesuaian butir soal yang tidak sesuai (outliers atau misfits) adalah:
a. Nilai Outfit mean square (MNSQ) yg diterima: 0,5 < MNSQ < 1,5 b. Nilai Outfit Z-standard (ZSTD) yg diterima: -2,0 < ZSTD < +2,0
c. Nilai Point Measure Correlation (Pt Mean Corr): 0,4 < Pt Measure Corr < 0,85 Soal yang berada di baris teratas (soal no 9, S9) menunjukkan pola respon yang tidak fit, demikian juga S4, yang bila dibandingkan dengan butir lain, kedua soal ini mempunyai masalah.
Tiga kolom ini: OUTFIT MNSQ, OUTFIT ZSTDdanPT-MEASURE CORR adalah kriteria menilai kesesuaian
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 28 3. Deteksi Bias Pengukuran
Butir maupun instrumen pengukuran dapat bersifat bias, yaitu ketika sebuah butir lebih memihak pada salah satu individu dengan karakteristik tertentu. Sementara itu, individu dengan karakteristik oposisinya justru dirugikan. Misalnya, butir sebuah tes kecerdasan anak melibatkan gambar berupa salju untuk dikenali kejanggalannya. Bagi anak-anak yang pernah berinteraksi dengan salju, soal ini cukup mudah dipahami. Sebaliknya bagi anak-anak yang tidak berinteraksi dengan salju, soal ini sulit dipahami. Butir ini cenderung bias dalam mengukur, yang dalam psikometri dinamakan dengan butir yang terjangkit keberfungsian butir diferensial (DIF/differential item functioning). Pemodelan Rasch menyediakan menu untuk memfasilitasi peneliti yang hendak mendeteksi adanya butir-butir yang yang terjangkit DIF.
Pada paket program Winsteps, informasi mengenai bias butir ini dapat dilihat melalui Item: DIF, between/within. Butir-butir yang memiliki nilai P (PROB.) di bawah 0,05 menunjukkan bahwa butir tersebut terjangkit DIF pada tabel tersebut akan muncul nilai selisih tingkat kesulitan butir ditinjau dari dua sampel yang diuji. Misalnya jenis kelamin, latar belakang budaya atau lokasi demografis, bahkan Winsteps juga bisa mendeteksi kombinasi data demografis misalnya jenis kelamin dan lokasi demografis.
Gambar 4. Nilai Probabilitas 4. Analisis Abilitas Individu
Pemodelan Rasch tidak hanya dapat mengukur kemampuan abilitas individu secara lebih tepat, tetapi juga bisa mengetahui ketepatan abilitas dengan pola respon yang diberikan. Guru atau dosen bisa mengetahui lebih awal informasi dari hasil tes yang dilakukan, dimana tes formatif akan memberikan informasi yang berharga untuk perbaikan pengajaran maupun membantu siswa secara lebih tepat. Deteksi yang bisa dilakukan berupa identifikasi miskonsepsi siswa pada pokok bahasan tertentu, yang bisa diketahui dari informasi fit statistik-nya, maupun pola respon yang diluar kebiasaan.
Parameter yang digunakan seperti halnya untuk mengetahui ketepan item yaitu pada outfit mean-square, outfit-zstd dan point measure correlation Boone dkk. (2014). Nilai yang di luar batas ketepatan statistik menunjukkan pola responnya yang perlu diketahui lebih jauh. Pada program winstep, tabel informasi bisa dimunculkan dengan
Butir soal S5 mempunyai nilai probabilitas 0,045 yang menunjukkan nilainya kurang dari 5%. Hal ini menunjukkan butir soal ini perlu diperbaiki supaya tidak merugikan kelompok jenis kelamin tertentu.
fungsi person fir order (Gambar 5) yang mengurutkan dari yang tidak fit yang berada di urutan atas.
Gambar 5. Misfit Order
Gambar 5 menunjukan bahwa peserta tes 18PD (paling atas) mempunyai pola respon yang sangat tidak fit dibanding lainnya, demikian juga untuk 20 LK dan 19LD.
Alat analisis lain yang dipergunakan adalah skalogram yang menunjukkan pola respon secara sistematik antara peserta tes (diurutkan dari yang abilitas tinggi ke yang rendah secara vertikal, atas ke bawah) dan butir soal (diurutkan dari yang mudah ke yang susah secara horizontal, dari kiri ke kanan) (Gambar 6).
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 30
Gambar 6. Skalogram respon
Analisis di tingkat individu bisa dilakukan dengan person diagnostic, seperti Gambar 7.
Name: 01LK
Ref. Number: 1 Measure: .57 S.E. .80 Score: 6 Test: C:\Users\user\Desktop\dikotomi.prn
Hard items answered correctly -Harder- Hard items answered incorrectly --- | 4 | | | | | | | | | | | | 3.0 | | | | | 3 | | | | | | | | | | | | | | | | | 2 | | | | | | | | | | | | 2.0 |
Siswa 20PK termasuk kategori siswa yang tidak cermat (careless); dimana butir soal termudah kedua (no 9) dan keempat (no 5), dia tidak bisa mengerjakannya dengan benar; padahal soal yg lebih sulit dia bisa kerjakan (misal butir soal 10 dan 2)
Siswa 18PD dan 19LD disamping tidak cermat (tidak bisa mengerjakan soal yang paling mudah, butir soal 4); namun juga dapat mengerjakan soal yang sulit, soal 3 untuk 18PD dan soal 2 pada 19LD yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari logit abilitas, ini mengindikasikan adanya tebakan (lucky guess).
Pola respon yang sama, indikasi terjadinya saling contek
|---|---| | | | | | | | 1 | | 1.1 10.1 | | | | | | XXX | | | 7.0 | | | | | 0 | | | | |---|-6.0---| | | | | | | | | | | 5.1 -1 | | | | | | | | 8.1 | | | | | | | | | | | | | | | 9.1 -2 | | | | | | | | | | | 4.1 | | | | | | | | | | | | -3 | --- Easy items answered correctly -Easier- Easy items answered incorrectly Each row is .13 logits
Gambar 7. Respon diagnostic
Terlihat bahwa peserta ujian no 1 dengan nilai logit 0,57 (lambang XXX), dimana dua garis horizontal adalah batas standard error measurement abilitasnya. Kotak di sebelah kiri adalah soal yang dijawab dengan benar; dan di sebelah kanan adalah soal yang dijawab dengan salah. Terlihat bahwa soal yang tingkat kesulitannya berada di bawah abilitasnya yang ada di sebelah kiri dapat dijawab dengan benar (butir soal 4, 9, 8 dan 5), untuk soal yang tingkat kesulitan agak sedikit dia atas abilitasnya (soal no 1 dan 10). Namun pada sisi sebelah kanan, dua soal yang seharusnya dia jawab ternyata tidak dapat diselesaikan dengan benar, yaitu butir soal 6 dan 7. Hal ini bermakna untuk peserta tes no 1 ini, perlu remedial untuk materi soal no 6 dan 7. Sedangkan dua soal sulit yang tidak bisa dia kerjakan yaitu butir soal nomor 2 dan 3, alternatifnya adalah mengajarkannya kembali atau membuat ulasan lebih mendalam supaya bisa memahami lebih baik.
III. PENUTUP
Pengujian instrumen dan penentuan abilitas siswa dalam penilaian pendidikan adalah hal yang esensial. Analisis yang bisa menghasilkan pengukuran yang lebih tepat (karena bersifat equal-interval) akan menentukan kualitas hasil analisis dan upaya perbaikan proses pendidikan untuk bisa membantu kesulitan belajar siswa. Model Rasch dapat banyak membantu guru, dosen dan peneliti penilaian pendidikan dalam meningkatkan kualitas analisis yang dilakukan, karena prinsip dasar yang tepat dan model pengolahan data yang sesuai untuk analisis hasil ujian khususnya dalam pengolahan data ordinal. Hal ini karena model Rasch sesuai dengan lima persyaratan pengukuran yang objektif.
Aplikasi pemodelan Rasch dalam ujian formatif siswa dengan Rasch mempunyai banyak kelebihan karena memanfaatkan ketepatan pengukuran. Hal ini bisa untuk
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA 32 mendeteksi kualitas soal, maupun pada deteksi abilitas individu dan identifikasi bantuan pada kebutuhan belajarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alagumalai, S., Curtis, D.D. and Hungi, N. (editors). 2005. Applied Rasch Measurement:
book of exemplars. papers in honour of John P. Keeves. Dordrecth: Springer.
Bond, T.G., dan Fox, C. 2015. Applying the Rasch Model.Fundamental measurement in
the Human Sciences.3rd edition. New York: Routledge.
Boone, W. J., Staver, J.R. and Yale, M.S. 2014. Rasch Analysis in the Human Sciences. Dordrecht: Springer.
Bybee, R.W. and Fuchs, B. 2006. Preparing the 21st Century Workforce: A New Reform in Science and Technology Education. Journal of Research in Science
Teaching.43 (4): 349-352.
Englehard, G. 2013. Invariant Measurement, using rasch models in the social, behavioral
and health sciences. New York: Routledge.
Linacre, J. M. 1999. Investigating rating scale category utility. Journal of Outcome
Measurement. 3(2), 103-122.
Linacre, J.M. 2011. A User’s guide to WINSTEPS Ministeps; Rasch-model Computer Program. Program Manual 3.73.
Mok, M. and Wright, B. 2004. Overview of Rasch Model Families.In Introduction to
Rasch Measurement: Theory, Models and Applications (hal 1-24). Minnesota:
Jam Press.
Musial, D., Nieminen, G., Thomas, J. dan Burke, K. 2009. Foundations of Meaningful
Education Assessment. Boston: McGraw-Hill Higher Education.
Olsen, L. W. 2003. Essays on Georg Rasch and his contributions to statistics. Unpublished PhD thesis at Institute of Economics University of Copenhagen. Sumintono, B dan Widhiarso, W. 2014. Aplikasi Model Rasch untuk Penelitian Ilmu-ilmu
Sosial (edisi revisi). Cimahi: Trim Komunikata Publishing House.
Sumintono, B dan Widhiarso, W. 2015. Aplikasi Pemodelan Rasch pada Assessment
Pendidikan.Cimahi: Trim Komunikata Publishing House.